Anda di halaman 1dari 8

B.

PAKAIAN ADAT MINAHASA

Pakaian adat suku Minahasa, Bajang

Pakaian adat bagi mereka yang termasuk dalam suku Minahasa,


merupakan pakaian yang umum digunakan dalam berbagai perhelatan,
diantaranya pesta adat, acara pernikahan, maupun untuk upacara
penyambutan tamu yang datang. Busana tersebut juga sekaligus menjadi
ciri khas yang melekat pada Provinsi Sulawesi Utara.
Ketika seorang wanita menikah, maka ia akan menggunakan
pakaian adat berupa kebaya, di mana desain baju yang dikenakan
menyerupai ikan duyung. Untuk warna yang digunakan yaitu warna
putih. Sedangkan kain yang digunakan untuk bagian bawahnya
menggunakan sebuah sarung. Sarung tersebut dibuat dengan cara
disulam, dimana motifnya berupa ikan, burung salimburung, bunga, dan
kaki seribu. Berbagai motif tersebut dikenal dengan istilah laborci-
labirci. Selain menggunakan setelan tersebut, kaum wanita juga akan
menggunakan perhiasan tambahan berupa sanggul, kronci atau mahkota,
kelana atau kalung leher, simban atau kalung mutiara, gelang, dan
anting. Ada pula selendang yang dipakai pada bagian pinggang serta
porong atau topi yang dipakai di kepala. Perlu Anda pahami, seluruh
bagian dari pakaian itu diberi sebuah hiasan berupa motif bunga padi,
terkadang juga menggunakan motif bunga kelapa. Hal inilah yang
kemudian juga menjadi ciri khas dari pakaian adat Minahasa. Setelan
tersebut dikenal dengan sebutan Karai Momo.
Untuk mempelai laki-laki akan mengenakan setelan kemeja dan
celana panjang. Apabila diamati, baju yang dikenakan oleh laki-laki
tampak lebih sederhana dibanding dengan baju yang digunakan oleh
wanita. Pakaian tersebut dikenal dengan nama baniang. Kemeja tersebut
memiliki warna hitam dengan dengan lengan yang panjang dan motif
kelapa, padi, dan ular yang disulam.

C. SENJATA ADAT MINAHASA


Santi

Santi merupakan salah satu senjata khas Minahasa. Senjata berupa


parang atau pedang ini digunakan oleh oleh para pelindung negeri
(waraney) di masa lampau. Dalam bahasa Tombulu, santi berarti
pemisah. Selain digunakan untuk berperang, santi juga digunakan
sebagai alat berburu dan bertani. Konon, pedang khas Minahasa ini
pertama kali dibuat sekitar lima ribu tahun lalu oleh Opo Marentek.
Bentuk santi mirip dengan senjata-senjata tradisional berbentuk pedang
lainnya, seperti kampilan dari Mindanau, mandau dari suku Dayak,
parang nenek moyang dari Toraja, serta senjata dari daerah Timor dan
Maluku.

D. ALAT MUSIK MINAHASA

Kolintang
Kolintang adalah salah satu alat musik tradisional masyarakat
Minahasa di Sulawesi Utara. Alat musik ini terbuat dari kayu khusus
yang disusun dan dimainkan dengan cara dipukul. Sekilas Kolintang ini
hampir sama dengan alat musik Gambang dari Jawa, namun yang
membedakan adalah nada yang dihasilkan lebih lengkap dan cara
memainkannya sedikit berbeda. Kolintang merupakan salah satu alat
musik tradisional yang cukup terkenal di masyarakat Minahasa, dan
sering digunakan untuk mengiringi upacara adat, pertunjukan tari,
pengiring nyanyian, bahkan pertunjukan musik.

E. LAGU DAERAH MINAHASA

1. Elur en Kayo’mba’an
Elur en Kayo’mba’an dalam bahasa Indonesia berarti damailah
selamanya. Lagu ini merupakan gambaran keindahan alam Minahasa
sebagai karunian Tuhan yang menjadikan masyarakat harus turut serta
menjaganya dan hidup mengasishi antar sesama.
2. Ung Genang
Ung Genang memiliki arti cinta. Lagu Ung Genang bercerita tentang
keraguan perempuan kepada pasanganya. Secara tidak langsung lagu ini
juga menggambarkan citra perempuan Minahasa yang transparan dan
berani untuk mengambil sikap. Ung Genang juga meminta lelaki untuk
memberikan wujud cinta yang dipenuhi dengan kesunguhan dan
kepastian.

F. TARIAN MINAHASA
Tari Maengket

Tarian ini sudah ada di tanah minahasa sejak orang minahasa


mengenal pertanian terutama padi di ladang. Pada zaman dahulu, tarian
maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-
gerakan yang hanya sederhana, tetapi saat ini tarian ini telah
berkembang khususnya bentuk tarinya tanpa meninggalkan keasliannya
terutama syair atau sastra lagunya. Tarian maengket ini terdiri dari tiga
babak, yaitu :
1. Marambak adalah tarian dengan semangat gotong-royong. Tarian
ini sering diadakan pada acara syukuran memiliki rumah baru.
Kebiasaan suku Minahasa yang saling membantu dalam membuat
rumah yang baru, ketika rumah tersebut selesai dibangun maka
diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa Minahasa
disebut “rumambak” yang berarti menguji kekuatan rumah baru.
Biasanya seluruh masyarakat kampung diundang dalam syukuran
ini.
2. Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana proses
mencari jodoh oleh pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu.
Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala
di Minahasa.
3. Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara
syukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memperoleh hasil
pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda.

G. MAKANAN KHAS MINAHASA

Nasi Jaha

Nasi Jaha adalah makanan pokok khas Minahasa yang terbuat dari
beras ketan yang dicampur santan, bumbu rempah-rempah, dan
kemudian dibungkus dengan daun pisang. Bumbu yang dimaksud
terbuat dari daun pandan, jahe, bawang, kemiri, kunyit, serai, dan dapat
ditambahkan ikan woku atau cakalang. Penyajian Nasi Jaha ini adalah
berbentuk silinder yang terbentuk karena dimasak (dibakar) di dalam
batang bambu. Nasi Jaha ini dapat dijumpai di berbagai acara di
Sulawesi Utara sebagai hidangan khas. Makanan khas Minahasa ini
dapat disantap langsung atau ditemani lauk atau makanan khas lainnya.

H. KERAJINAN KHAS MINAHASA

Kain tenun khas Minahasa

Tradisi Minahasa juga memiliki kerajinan tenun. Ada dua jenis tenun
Minahasa yaitu :
1. kadu/wau, merupakan kain panjang yang dapat dibuat rok
perempuan atau kemeja. Kain tersebut juga dipakai sebagai layar
perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk
mengangkut beras atau padi.
2. Benetenan, merupakan Kain tenunan yang terbuat dari kapas
olahan dari pohon –nama lokalnya pohon Bentenan, dipercaya
sebagai pohon mistis- yang tumbuh di Minahasa. Motif kain inilah
yang kini digunakan dan dikembangkan sebagai batik khas
Minahasa setelah sebelumnya ditemukan terakhir kali pada akhir
abad ke 19 dan hanya ditemukan di museum ternama dunia
(Belanda, Prancis dan Jepang). Pada masanya, kain Bentenan biasa
digunakan sebagai sarung tanda kebesaran, alas tempat duduk
‘orang besar’ dan maskawin. Namun, alat tenun ‘asli’ untuk
pembuatan kain tenun jenis ini belum ditemukan. Menurut teori
yang berkembang, alat serta kainnya mendapat pengaruh yang kuat
dari Selatan Filipina dan Sangir-Talaud.

Anda mungkin juga menyukai