Sejarah suku Kutai bisa dikatakan cukup panjang terutama dalam hal
penamaannya yang konon sebenarnya bukan untuk menamakan suku, tetapi sebuah
kerajaan. Beberapa pendapat mengatakan jika Kutai awalnya adalah nama dari sebuah
kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa.
Menurut sejarahnya, semua suku yang ada di Kalimantan saling berhubungan dan
berada dalam satu rumpun, hanya saja dikarenakan adanya perbedaan agama serta politik
penguasaan membuat mereka terpecah menjadi suku yang berbeda dan mempunyai jenis
kebudayaan yang berbeda pula.
Nama Kutai sebagai sebuah suku sendiri diduga berasal dari adanya politik
kepentingan penguasa yang berkeinginan untuk menyatukan 2 kerajaan yakni Kerajaan
Kertanegara dari Kutai Lama dengan Kerajaan Martadipura dari Muara Kaman. Hal
tersebut dilakukan karena penguasa ingin memperbesar kekuasaan Kutai Kartanegara
serta mencegah meluasanya kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti mongol.
Pendapat tersebut juga menyebutkan jika masyarakat Dayak pada waktu itu
sebagian memutuskan melebur menjadi suku Kutai, dikarenakan adanya aturan untuk
patuh dengan peraturan penguasa. Namun, sebagian masyarakat Dayak juga masih
mempertahankan identitas mereka dan memilih untuk pindah ke daerah pedalaman.
Kemudian, terdapat tradisi lisan di masyarakat Kutai juga menyebutkan jika
leluhur suku Kutai berasal dari negeri Cina sama dengan tradisi lisan yang disampaikan
oleh masyarakat suku Dayak Kenyah. Oleh karenanya, muncul anggapan jika Kutai
termasuk persatuan dari masyarakat suku Dayak yang ingin mendapatkan identitas baru.
Lantas, dikarenakan adanya pengaruh agama Islam serta adanya akulturasi dari
para pedagang membuat budaya masyarakat Kutai agak berbeda dengan budaya
masyarakat suku Dayak. Sehingga, tidak salah jika suku Kutai asli akan menyebut suku
Dayak sebagai Densanak Tuha (Saudara Tua) mengingat mereka masih sama-sama
berasal dari satu leluhur.
BAHASA KUTAI
Bahasa Kutai, adalah bahasa yang hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan
suku Kutai. Suku Kutai adalah suku yang mendiami alur sepanjang Sungai Mahakam.
Sepertinya bahasa Kutai adalah suatu bahasa yang terbentuk dan terpengaruhi oleh
bahasa-bahasa disekitarnya seperti bahasa Melayu Malaysia, Melayu Banjar, dan bahasa-
bahasa Dayak di sekitarnya.
Bahasa Kutai umumnya hidup dan berkembang dalam bentuk penuturan (percakapan),
serta sastra dalam bentuk puisi (pantun). Sangat sedikit bukti-bukti tertulis yang
dihasilkan dalam bahasa Kutai, terlebih lagi yang dihasilkan pada periode pemerintahan
Sultan Kutai Kartanegara. Umumnya produk tertulis pada zaman itu berbahasa Melayu.
Berdasarkan morfologi penuturannya, ada beberapa dialek dalam bahasa Kutai yang
umum dijumpai saat ini, yaitu :
1. dialek Tenggarong (umum, sudah agak modern karena bercampur / dipengaruhi
akan bahasa indonesia).
2. dialek Kota Bangun,
3. dialek Muara Muntai,
4. dialek Muara Kaman,
5. dialek Muara Ancalong.
Dialek Muara Ancalong yang dialeknya berbeda karena penduduk mayoritas adalah
dari suku dayak..
Dalam satu kecamatan bisa saja dialek bahasa kutai yang digunakan terdengar berbeda-
beda. Jadi penjelasan di atas adalah hanya contoh dari banyak dialek yang ada. Dialek-
dialek ini berkembang dengan diikuti perbedaan morfologi maupun peristilahan untuk
setiap kosa kata.
KESENIAN
Pakaian Adat
Pakaian adat Kustin merupakan pakaian khas masyarakat Suku Kutai yang mendiamai
Kalimantan Timur. Pakaian adat tersebut umumnya dipakai oleh golongan menengah ke
atas. Di mana sebagai pakaian resmi upacara pada masa Kerajaan Kutai Kertanegara.
Dikutip dari buku Pakaian Adat Tradisional Daerah Kalimantan Timur (1990), dewasa
ini pakaian Kustin dipakai oleh Suku Kutai pada upacara pernikahan oleh golongan
menengah ke atas. Istilah Kustin berasal dari kata "kostum" yang artinya kebesaran.
Penamaan rumah Lamin berasal dari kata “Lamin” yang artinya rumah yang panjang. Hal
ini tak lepas dari bentuknya yang memanjang, luas, dan sambung menyambung.
Rumah Lamin termasuk ke dalam jenis rumah panggung dengan panjang sekitar 300
meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3 meter.
Dengan ukurannya yang sangat besar membuat rumah ini dapat menampung sekitar 25-
30 kepala keluarga sekaligus.
Sehingga struktur rumah adat khas Kalimantan Timur berbentuk rumah panggung
beratap pelana yang dibangun secara memanjang dan dihiasi berbagai jenis ukiran.
Rumah sengaja tidak menempel ke tanah karena untuk mengantisipasi dari serangan
hewan buas atau serangan dari suku lain. Selain itu juga dapat melindungi dari bencana
banjir, mengingat banyak rumah lamin yang ditemukan berdiri di tepian sungai.
Sedangkan untuk tangga naik ke rumah Lamin dibuat satu sisi berbentuk anak tangga dan
sisi satunya tetap berbentuk silinder. Hal ini bertujuan agar hewan melata seperti ular
tidak bisa masuk ke rumah.
Sumpit adalah senjata tradisional Kalimantan pemakaiannya dengan cara ditiup. Senjata
tradisional tersebut kerap dipakai untuk alat berburu dan untuk senjata perang.
Sumpit dibuat dari bilahan bambu sebagai batang Sumpit (pipa sumpit) dan damek anak
panah) yang dibuat dari bilah bambu, lidi aren atau dirap.
Alat Musik
Alat Musik Ketipung
Ketipung merupakan alat musik tradisional
Kalimantan Timur yang berupa gendang kecil
berkepala tunggal. Alat musik tradisional
Ketipung biasa dibuat dari kayu, kulit binatang,
dan rotan.
Ketipung sendiri biasa dimainkan dengan ditabuh
menggunakan telapak tangan. Permainan Ketipung
dilakukan bersamaan dengan alat musik lainnya, seperti alat musik gambus, biola,
rebana, dalam sebuah ansambel musik Tingkilan. Ensambel musik Tingkilan adalah
kesenian yang biasa dimainkan untuk mengiringi seni tari Jepen (sejenis Zapin). Tari
Jepen ini merupakan seni tari pergaulan pada masyarakat Suku Kutai.
Tari Jepen
Tari Jepen adalah salah satu tarian tarian tradisional dari Suku Kutai Kalimantan Timur
yang banyak dipengaruhi dari kebudayaan Melayu dan Budaya Islam. Tarian ini
merupakan salah satu tarian yang mempresentasikan kebudayaan Melayu yang dinamis,
atraktif, energik, dan bersahaja. Pada dasarnya gerakan dalam tarian ini sangat kental
akan nuansa Melayu, yang gerakannya sama dengan tarian berasal dari masyarakat
Melayu yang ada di Indonesia seperti Tari Zapin, Tari Dana dan Tari Bedana. Secara
genre, Tari Jepen dapat dikelompokkan menjadi Jepen Bahari/Lawas dan Jepen Kreasi.
Dalam pertunjukkannya, penari menari dengan balutan busana perpaduan khas Melayu
yang kental akan nuansa Islami dan campuran busana khas Indonesia. Dengan tata rias
yang minimalis, namun penari tetap terlihat santun dan bersahaja. Saat menari, penari
juga dilengkapi dengan selendang sebagai properti menari lainnya. Pada Tari Jepen ini,
diiringi dengan musik Tingkilan. Musik Tingkilan merupakan salah satu seni musik khas
Kutai. Ada beberapa alat musik yang digunakan yaitu gambus, ketipung, kendang dan
juga biola. Selain itu juga diiringi dengan nyanyian yang disebut dengan bertingkilan
yang berarti bersahut-sahutan. Nyanyian ini biasanya dibawakan oleh dua orang
penyanyi yang saling bersahutan dengan menyanyikan syair-syair yang berisi petuah atau
pesan moral. Tarian Jepen ini bisa ditemukan di berbagai acara budaya seperti
pernikahan, penyambutan tamu, dan lain-lain.
LAGU DARAH SUKU KUTAI
Burung Enggang
Burung enggang si burung wali
Apa kabar datang ke sini
Singgah di ranting puhun wanyi
Merana hidup terangguk-angguk
Burung enggang si burung tari
Bulu ditata disusun rapi
Hilang bulu menderita bathin
Di dalam hati urang ha’ mara
ADVERTISEMENT
Burung enggang enda’ nya mati
Ranca’ merista di dalam hati
Namun hilang jangan ha’ hilang si burung enggang
Oh burung enggang
Mandi’ sampai hati melihat
Namun punah mandi’lah jua
Merista diri seumur hidup.
SISTEM RELIGI
Meskipun dominan memeluk agama Islam, orang-orang Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai
Kartanegara masih ada yang menganut kepercayaan kaharingan seperti halnya Suku
Dayak. Kaharingan adalah kepercayaan menyembah Ranying Hatalla Langit (Tuhan)
yang telah menciptakan alam semesta. Mereka biasanya melakukan upacara pembakaran
mayat seperti Ngaben dalam ajaran agama Hindu.
Tempat ibadah bagi kepercayaan ini bernama Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab
suci yang mereka yakini adalah Panaturan dan buku-buku agama lain seperti Talatah
Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk meminta pertolongan Tuhan dengan upacara
menabur beras), dan sebagainya.
SISTEM KEKERABATAN SUKU KUTAI
Sistem kekerabatan masyarakat Kutai bersifat patrilineal yaitu garis keturunan ditarik ke
pihak laki-laki. Di zaman dahulu, orang Kutai juga terbagi atas kelas-kelas sosial seperti
bangsawan, rakyat, dan hamba sahaya. Sisa kaum bangsawan terlihat dari gelar yang
mereka pakai seperti Kiamas, Mas, Aji, Raden, dan Pangeran Datu. Saat ini masyarakat
Kutai sudah lebih terbuka dan melakukan penggolongan kehormatan berdasarkan tingkat
pendidikan yang diperoleh seseorang dan kekayaannya, bukan lagi dari gelar bangsawan.
SISTEM PERALATAN/TEKNOLOGI
Teknologi yang digunakan sudah cukup maju pada masyarakat, sudah menggunakan alat-
alat canggih. Adanya industri pertambangan migas maupun non-migas membuat
kemajuan teknologi mempengaruhi masyarakat suku Kutai untuk turut dalam kemajuan
teknologi. Karena sebagian matapencaharian mereka juga bagian dari industri tersebut.
Sedangkan masyarakat pedalaman masih menggunakan peralatan manual untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
SISTEM PENGETAHUAN