Anda di halaman 1dari 76

SKRIPSI

STUDI TANTANGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA

ORANG TUA DAN ANAK TERHADAP PERILAKU ADIKSI

PENGGEMAR GAME ONLINE DI KELURAHAN MANNURUKI

KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR

Oleh:

REZKY ANANDA.R

06520190324

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian...................................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian.................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi interpersonal ........................................................................ 8

B. Tantangan lingkungan komunikasi interpersonal..................................... 9

C. Komunikasi keluarga antara orangtua dan anak .................................... 12

D. Game online............................................................................................ 14

E. Bentuk dan intensitas penggunaan game online..................................... 16

F. Perilaku adiksi......................................................................................... 17

G. Karakteristik remaja.................................................................................19

H. Teori pendukung......................................................................................21

1. Teori perental mediation .................................................................. 21

2. Teori stimulus respon ....................................................................... 24

I. Penelitian terdahulu................................................................................ 26

J. Kerangka konseptual................................................................................28

K. Definisi operasional................................................................................29
BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan waktu penelitian................................................................... 31

B. Bentuk dan strategi penelitian................................................................. 31

C. Teknik penentuan informan.....................................................................31

D. Jenis dan sumber data ........................................................................... 32

1. Data primer....................................................................................... 32

2. Data sekunder................................................................................... 33

E. Teknik pengumpulan data....................................................................... 33

1. Observasi.......................................................................................... 34

2. Wawancara........................................................................................ 34

3. Documentasi..................................................................................... 35

F. Teknik analisis data.................................................................................35

1. Reduksi .............................................................................................35

2. Penyajian ...........................................................................................35

3. Penarikan ..........................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi antarpribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan

pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang,

dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of

sending and receiving messages between two persons, or among a small

group of persons, with some effect and some immediate feedback) (Devito,

1989:4). Bentuk komunikasi antar pribadi yang banyak dilakukan dalam

kehidupan manusia adalah dalam kehidupan keluarga, hubungan keluarga

yang baik cenderung membuat konsep diri anak menjadi positif. Dengan

adanya komunikasi interpersonal maka membuat hubungan keluarga

membaik, komunikasi interpersonal yang efektif Apabila setiap anggota

keluarga dapat mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya dengan baik,

maka akan timbul keterbukaan dan saling memahami antar anggota keluarga.

Hal ini cenderung akan membuat konsep diri anak menjadi positif.

Menurut Chaffee dalam Turner dan West (2006:20), Komunikasi keluarga

adalah komunikasi yang berorientasikan sosial dan komunikasi yang

berorientasikan konsep. Komunikasi yang berorientasi sosial adalah

komunikasi yang relatif menekan hubungan keharmonisan dan hubungan

sosial yang menyenangkan dalam keluarga. Komunikasi keluarga terbagi atas


komunikasi suami- istri (ayah dan ibu), komunikasi orang tua dan anak, serta

komunikasi anak dengan anak yang lainya. Dalam lingkungan keluarga

komunikasi suatu hal yang penting dimana komunikasi berfungsi sebagai

media penjembatan dalam hubungan antarkeluarga. Komunikasi merupakan

salah satu cara yang digunakan dalam interaksi keluarga, seorang anak akan

memperoleh latihan dasar mengembangkan sikap sosial dengan baik dan

kebisaan berprilaku. Manfaat yang dapat diambil dari seringnya bertatap muka

dan berinteraksi yaitu di samping dapat mengakrabkan sesama anggota

keluarga. Anak – anak juga terlatih untuk peka terhadap lingkungannya.

Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi yang efektif, karena

komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan,

pengaruh pada sikap hubungan yangmakin baik dari tindakan (Effendy, 2002:

8)

Penggunaan internet pada anak dipengaruhi oleh peran orang tua dalam

menggunakannya. Smartphone sebenarnya bermanfaat agar anak melek

teknologi sejak dini. Meski begitu, sebelum mengenalkan smartphone pada

anak, Kita sebaiknya memahami aturannya terlebih dahulu. smartphone bisa

menyebabkan seseorang berperilaku adiksi karena pemakai merasa sangat

nyaman dengan kemudahan yang telah diberi oleh smartphone tersebut

(Rakhmawati, Ismah, & Lestari, 2020). Menurut Iskandar (2014) Indonesia

masuk dalam daftar 10 negara dengan penjualan gadget terbanyak di dunia

antara lain diperingkat pertama adalah Brasil dengan 47 juta penjualan dan

38,2 juta pengguna baru, Indonesia dengan 46 juta penjualan dan 39,8 juta
pengguna baru, Rusia dengan 31 juta penjualan dan 21,4 juta pengguna baru,

Jepang dengan 30 juta penjualan dan 22,9 juta pengguna baru, Meksiko

dengan 23 juta penjualan dan 16,3 juta pengguna baru, Jerman dengan 22 juta

penjualan dan 12,2 juta pengguna baru, Prancis dengan 18,7 juta penjualan

dan 11,21 juta pengguna baru, dan terakhir adalah Inggris dengan 17,7 juta

penjualan dan 8,24 juta pengguna baru.

Pengunaan internet di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat

menurut data survey APJII (Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet

Indonesia), pada tahun 1998 jumlah pengguna internet di 6 Indonesia baru

mencapai 500 ribu penguna, namun pada tahun 2017 telah mencapai 500 ribu

penguna. APJII pada tahun 2017 menunjukan jumlah pengguna internet di

Indonesia mencapai 143,26 juta pengguna dengan mayoritas pengguna

internet terbanyak berada pada usia 19-34 tahun (49,52%), dan diikuti dengan

usia 35-54 tahun (29,55%), dan 13-18 (16,68%). Horace H. Dediu melalui

blognya mengatakan pengunaan internet berdasarkan usia tertinggi rentan

usia 13-18 tahun sebesar 75,50%. Saat ini pengguna smartphone di Indonesia

terus meningkat. Sebuah lembaga riset menyebutkan bahwa Indonesia berada

di peringkat kelima daftar pengguna smartphone terbesar di dunia.

Pada Januari tahun 2018 di Bondowoso Jawa Timur ditemukan kasus dua

pelajar yang mengalami perilaku adiksi akut terhadap penggunaan laptop dan

smartphone. Tingkat perilaku adiksi tersebut sampai pada level akut sehingga

membuat kedua siswa mengalami guncangan jiwa. Kedua siswa itu

merupakan pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan kasus selanjutnya


pelajar Sekolah Menengah Akhir (SMA). Pada akhirnya kedua siswa ini

dirujuk ke dokter spesialis jiwa RSUD Koesnadi. tingkat adiksi anak tersebut

telah sampai kepada tingkat yang akut. Bahkan salah satu siswa ditemukan

membentur-benturkan kepalanya ke tembok saat ingin sekali mengakses

smartphone, namun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya (Dewi Prisca

Sembiring, Republika, 2018). Memburuknya komunikasi diakibatkan oleh

orang tua yang acuh dengan perkembangan anaknya. Hubungan yang tidak

baik atau buruk antara orang tua dengan anak, merupakan salah satu factor

penyebab anak lebih memilih menggenggam smartphone berjam-jam.

Biasanya orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya atau aktivitas lain,

sehingga waktu untuk anak kurang bahkan tidak ada.

Pada laman kompas.com Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa

pemerintah tengah menyiapkan regulasi khusus untuk membatasi pemakaian

smartphone. Aturan ini dibuat karena pemerintah menyadari parahnya

masalah perilaku adiksi terhadap smartphone yang dialami anak-anak di

tanah air. Perilaku adiksi ini dianggap jadi salah satu hal yang berpotensi

menghambat perkembangan anak menuju puncak bonus demografi pada

tahun 2030. Sebuah survei yang dilakukan oleh Asian Parent dan dirilis pada

November 2014 lalu di Singapura dan Indonesia, menunjukkan sebesar 98%

orang tua mengizinkan anaknya untuk menggunakan smartphone. Namun

pada waktu bersamaan, para orang tua juga khawatir ketika sang anak lebih

peduli pada smartphone dibanding kegiatan humanis lain, seperti


bersosialisasi, makan, belajar, dan sejenisnya. Hal ini terlihat dalam

penelitian yang masih dilakukan Asian Parent. Sebesar 92% orang tua

khawatir penggunaan smartphone berdampak pada kesehatan anak, 90%

orang tua takut anak berperilaku adiksi terhadap smartphone, dan terpapar

konten yang tidak sesuai untuk anak seperti pornografi dikemukakan 88%

orang tua. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa aspek kekhawatiran

orang tua terhadap penggunaan smartphone oleh anak berbeda tiap negara.

orang tua di Singapura 94% khawatir anak berperilaku adiksi terhadapat

smartphone. Lalu, 95% orang tua di Indonesia, khawatir anak terpapar konten

porno via internet. Serangkaian kekhawatiran tersebut sedikit banyak

merupakan dampak negatif penggunaan gadget yang kebablasan oleh anak.

Kebijakan orang tua sebagai pendamping dan pendidik anak berperan

amat besar pada keputusan untuk mengizinkan atau tidaknya gadget

digunakan oleh anak. Sebelum orang tua memutuskan mengizinkan anak

bermain gadget, harus memikirkan strategi untuk meminimalisir efek

buruknya. Peran orang tua sangat penting dalam mencegah terjadinya

kecanduan gadget pada anak.

Berdasarkan latar belakang diatas menunjukkan bahwa tampaknya

fenomena perilaku adiksi terhadap gadget di kelurahan mannuruki kecamatan

tamalate ini menjadi masalah yang harus dipecahkan, oleh karena itu peneliti

akan meneliti dengan judul “Studi Tantangan Komunikasi Interpersonal

antara Orang Tua dan Anak Terhadap Perilaku Adiksi Penggunaan Gadget Di

Kelurahan Mannuruki Kecamatan Tamalate Kota Makassar”


B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang peneliti akan kembangkan sebagai berikut:

1. Bagaimana tantangan komunikasi interpersonal yang dihadapi anak yang

berperilaku adiksi terhadap game online dikelurahan mannuruki

kecamatan tamalate?

2. Bagaimana kecanderungan komunikasi orang tua dan anak pada perilaku

adiksi terhadap game online di kelurahan mannuruki kecamatan tamalate?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui tantangan komunikasi interpersonal yang dihadapi anak yang

berperilaku adiksi terhadap game online di kelurahan mannuruki

kecamatan tamalate

2. Mengetahui kecanderungan komunikasi orang tua dan anak pada perilaku

adiksi terhadap game online di kelurahan mannuruki kecamatan tamalate

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai media referensi

bagi peneliti selanjutnya dan sebagai sumber informasi bagi kalangan

mahasiswa, dosen dan berbagai kalangan lain yang membutuhkan,

khsususnya dalam mengalami masalah. sekaligus mengetahui apa saja

tantangan komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak yang

berperilaku adiksi terhadap gadget.


2. Manfaat Teoristis

Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi berkaitan dengan komunikasi interpersonal dalam sebuah

keluarga dengan penerapan teori stimulus respon dalam parental

mediation.

3. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberi masukan pada orang tua yang

mempunyai anak pengguna gadget yang masih bersekolah dasar tentang

pola asuh agar gadget tidak berdampak negative terhadap anak dengan

menerapkan komunikasi interpesonal orang tua dan anak dalam keluarga.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal atau biasanya disebut komunikasi antarpribadi

menurut bahasa yaitu komunikasi antara individu secara tatap muka, yang

memungkinkan setiap pelaku komunikasi antarpribadi atau interpersonal

menangkap reaksi orang lain secara langsung baik verbal maupun non verbal.

Sementara Komunikasi interpersonal secara umum adalah komunikasi antara

individu secara tatap muka, masing-masing orang yang terlibat dalam

komunikasi tersebut saling mempengaruhi persepsi lawan komunikasinya.

DeVito berpendapat bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi

yang terjadi diantara dua orang yang telah memiliki hubungan yang jelas,

yang terhubungkan dengan beberapa cara. Jadi komunikasi interpersonal

misalnya komunikasi yang terjadi antara ibu dengan anak, dokter dengan

pasien, dua orang dalam suatu wawancara, dsb. Deddy Mulyana (2005)

menyatakan: “ komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah

komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan

setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara

verbal ataupun nonverbal.” (Mulyana, 2005:73).

1. Karakteristik komunikasi interpersonal ini adalah pihak-pihak yang

memberi dan menerima pesan secara spontan, baik secara verbal maupun

non verbal. Komunikasi interpersonal yang efektif diawali hubungan yang


baik. Waltzlawick berpendapat komunikasi tidak hanya berisi pesan tetapi

juga menekankan kepada aspek hubungan yang disebut dengan

metakomunikasi. Umumnya hubungan interpersonal suami istri atau

dengan yang lainnya adalah baik sehingga menjadi modal bagi

terbangunnya sebuah komunikasi interpersonal yang efektif. (Kholil, 2005:

43).

2. Tujuan komunikasi interpersonal, Menurut Burgon dan Huffner, ada tiga

tujuan komunikasi interpersonal yaitu Untuk mendapatkan respons atau

umpan balik. Hal ini sebagai salah satu tanda efektivitas proses

komunikasi. Selanjutnya Untuk melakukan antisipasi setelah mengevaluasi

respons atau umpan balik. Dan yang terakhir yaitu melakukan kontrol

terhadap lingkungan sosial, kita dapat melakukan modifikasi perilaku

orang lain dengan cara persuasi.

3. Fungsi komunikasi interpersonal adalah berusaha meningkatkan

hubungan, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi,

mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta sebagai pengetahuan dan

pengalaman dengan orang lain. Pendapat tambahan diungkapkan oleh

Cangara bahwa komunikasi interpersonal dapat meningkatkan hubungan

kemanusiaaan diantaranya pihak-pihak yang berkomunikasi.

B. Tantangan Linkungan Komunikasi Interpersonal

Dalam sebuah proses komunikasi, pasti akan ada sebuah tujuan, maksud,

ataupun pesan yang ingin disampaikan dari apa yang sedang di

komunikasikan tersebut. Terutama saat Anda sedang berkomunikasi dengan


orang lain atau sedang melakukan komunikasi interpersonal yang melibatkan

dua orang atau lebih. Namun, kerap kali pesan dan tujuan tersebut tidak

tersampaikan dengan baik sehingga terjadi miskomunikasi atau multitafsir.

Umumnya saat Anda tengah melakukan komunikasi interpersonal memang

ada beberapa tantangan yang akan mengganggu proses komunikasi tersebut.

Berdasarkan referensi yang penulis telusuri dari beberapa sumber maka

ditemukan 3 tantangan komunikasi interpersonal dan cara mengatasinya:

a. Behavior, Saat Anda tengah menjadi seorang komunikator maka Anda

harus menjaga sikap yang Anda tunjukan kepada komunikan Anda. Jangan

buat komunikan Anda menjadi tidak respect kepada Anda karena sikap

yang Anda tunjukan. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dengan hasil

akhir dari proses komunikasi tersebut jika Anda kehilangan respect dari

mereka. Maka dari itu, jagalah sikap Anda baik saat ataupun tidak dalam

sebuah proses komunikasi.

b. Context, Perhatikanlah konteks apa yang sedang menjadi topik dari

pembicaraan Anda dengan kawan bicara Anda. Jangan biarkan diri Anda

kehilangan kontrol sehingga membahas hal lain di luar konteks

pembicaraan sebelumnya. Jika Anda melakukan ini maka komunikasi yang

terjadi akan keluar dari tujuan awal dan inti dari komunikasi tersebut sudah

tidak sama lagi.


c. Relationship, Pastikan bahwa Anda memiliki sebuah hubungan yang baik

dengan kawan bicara Anda saat tengah melakukan proses komunikasi

tersebut. Saat Anda melakukan sebuah komunikasi dengan orang yang

sudah Anda kenal maka akan lebih mudah bagi Anda untuk menyampaikan

pesan atau tujuan dari komunikasi tersebut.

Komunikasi interpersonal ini kadang tidak berkembang dengan baik jika

salah satu dari pihak pelaku dari komunikasi ini tidak nyaman atau bisa di

bilang bahwa komunikasi ini tidak bisa di terima dengan baik oleh lawan

komunikan, seperti halnya hubungan komunikasi interpersonal antara anak

dan orang tua yang kurang berkembang di karenakan orang tua terhadap

anaknya sangat overprotektif terhadap perilaku atau tindakan yang akan di

lakukan oleh anak tersebut, sehingga anak merasa tertekan dan tidak

mempedulikan komunikasi yang di jalankan di dalam keluarga. Dapat dilihat

bahwa orang tua yang menjalin hubungan komunikasi yang baik kepada

anaknya dan dapat di terima dengan baik maka anak juga akan merasa

nyaman, itulah pentingnya membangun komunikasi interpersonal di dalam

keluarga.

Karena berdasarkan beberapa kasus yang di lihat banyak anak yang tidak

terlalu memperhatikan komunikasi interpersonal atau bisa di katakan

komunikasi anatarpribadi kepada orang tuanya karena anak takut terbuka

untuk berkomunikasi karena orang tua over protektif, Justru jika anak terlalu

di overprotektifkan maka hal yang di takutkan terjadi oleh orang tua maka

itulah yang terjadi nantinya atau bisa di katakan anak akan melakukan segala
hal secara diam- diam tanpa sepengetahuan orang tua apakah mereka

melakukan hal yang positif atau negatif, dan anak anak seperti ini akan lebih

banyak berbohong kepada orang tua karena takut melakukan komunikasi

kepada orang tuanya sendiri (hisma 2022).

C. Komunikasi Keluarga Antara Orang Tua dan Anak

Komunikasi keluarga merupakan suatu pengorganisasian yang

menggunakan kata-kata, sikap tubuh intonasi suara tindakan untuk

menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi

pengertian (Sedwig 1985). Keluarga merupakan jaringan orang-orang yang

berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama yang terikat oleh

perkawinan, darah, atau komitmen dan berbagi pengharapan-pengharapan

masa depan mengenai hubungan yang berkaitan” (Galvin 1991, hlm. 3).

Bentuk-bentuk komunikasi dalam keluarga menurut (Pratikto,2000),

salah satunya adalah komunikasi orangtua dengan anak. Komunikasi yang

terjalin antara orangtua dan anak dalam satu ikatan keluarga di mana orangtua

bertanggung jawab dalam mendidik anak. Hubungan yang terjalin antara

orangtua dan anak di sini bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman

bersama terhadap sesuatu hal dimana antara orangtua dan anak berhak

menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat.

Terdapat tiga pola komunikasi hubungan orang tua dan anak , yaitu :

a. Authotarian (cenderung bersikap bermusuhan)

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance orang tua rendah,

namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap


mengkomando (mengharuskan/memperintahkan anak untuk melakukan

sesuatu tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional dan

bersikap menolak. Sedangkan pihak-pihak anak mudah tersinggung,

penakut, pemurung dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh, stress,

tidak mempunyai arah masa depan yang jelas tidak berhasabat.

b. Permissive (cenderung berperilaku bebas)

Dalam hal ini, sikap asseptance orang tua tinggi, namun

kontrolnya rendah, memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan

dorongan atau keinginannya. Sedang anak bersikap implusif serta agresif,

kurang memiliki rasa percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah

hidupnya dan prestasinya rendah.

c. Authorirative (cenderung terhindar dari kegelisahan dan kekacauan)

Dalam hal ini acceptance orang tua dan kontrolnya tinggi, bersikap

responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan

pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak

perbuatan baik dan buruknya. Sedangkan anak bersikap berhasabat,

memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri self-control

bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tau yang tinggi,

mempunyai tujuan yang jelas dan berorientasi pada prestasi

(Yusuf,2001:51).

Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak dalam usia remaja

sangat penting mengingat usia remaja merupakan tahap usia dalam

pertumbuhan yang mengarah pada proses pembentukan aktualisasi diri yang


lebih baik. Dengan demikian, anak remaja sudah dapat menemukan identitas

diri meskipun belum sempurna termasuk proses pembentukan diri dari segi

minat dan bakat yang dimiliki(Papalia & Olds, dalam Bochari, 2012:3).

Komunikasi orang tua dan anak yang efektif juga berguna bagi orang tua

dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak

( Lestari, 2012:62). Salah satu bentuk dukungan orang tua terhadap anak

adalah komunikasi yang terbuka dan positif. Sebuah keluarga akan berfungsi

optimal apabila di dalamnya terdapat pola komunikasi yang terbuka, ada

sikap saling menerima, mendukung, rasa aman dan nyaman serta memiliki

kehidupan spiritual yang terjaga (Kriswanto, 2005:9)

D. Game Online

Game online merupakan permainan yang dapat dimainkan oleh banyak

orang pada waktu bersamaan melalui jaringan internet (Adams, 2013). Sejak

kemunculannya game online menjadi sangat populer dan mudah untuk

diakses. Game online dapat dimainkan di berbagai platform, seperti komputer

pribadi (PC), konsol game (alat khusus untuk bermain game) dan smartphone

(Demetrovics, 2014).

Saat ini, game online seperti Mobile Legend (ML), Arena of Valor (AoV),

Clash of Clans (CoC), Fortnite, Dota 2 dan Player Unknown’s Battle Ground

(PUBG) merupakan salah satu kegiatan rekreasi yang paling luas terlepas dari

budaya, usia, dan jenis kelamin. Game online akan berdampak positif apabila

dimanfaatkan untuk hiburan (Adams, 2013), di mana segala rasa penat dan

stres dapat dikurangi dengan bermain game (Russoniello, O’Brien, & Parks,
2009). Namun yang terjadi saat ini, game online banyak dimainkan secara

berlebihan dan digunakan sebagai tempat untuk melarikan diri dari realitas

kehidupan sehingga yang terjadi adalah berperilaku adiksi terhadap game

online (Griffiths, 2009).

Masa remaja juga lekat dengan stereotype periode bermasalah (Hurlock,

2010), yang memungkinkan percobaan terhadap hal baru tersebut berisiko

menjadi perilaku bermasalah. Akibatnya, remaja yang adiksi terhadap game

online cenderung kurang tertarik terhadap kegiatan lain, merasa gelisah saat

tidak dapat bermain game online (Jannah, Mudjiran, & Nirwana, 2015),

Perilaku adiksi terhadapat game online dapat memberikan dampak buruk

terhadap remaja. Sehingga diperlukan upaya agar remaja dapat terhindar dari

adiksi terhadap game online. Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang

adiksi game online. Namun dari banyaknya penelitian tersebut, masih sedikit

sekali penelitian yang lebih fokus terhadap upaya pencegahan perilaku adiksi

game online.

Ghuman & Griffiths (2012) menjelaskan ada masalah yang timbul dari

aktivitas bermain game online yang berlebihan, di antaranya kurang peduli

terhadap kegiatan sosial, kehilangan kontrol atas waktu, menurunnya prestasi

akademik, relasi sosial, finansial, kesehatan, dan fungsi kehidupan lain yang

penting. Bahaya utama yang ditimbulkan akibat adiksi game online adalah

investasi waktu ekstrem dalam bermain (Baggio et al., 2016). Penggunaan

waktu yang berlebihan untuk bermain game online membuat terganggunya

kehidupan sehari-hari. Gangguan ini secara nyata mengubah prioritas remaja,


yang menghasilkan minat sangat rendah terhadap sesuatu yang tidak terkait

game online (King & Delfabbro, 2018).

E. Bentuk dan Intensitas Penggunaan Game Online Pada Remaja

World Health Organization (2018) mendefinisikan perilaku adiksi game

online sebagai gangguan mental yang dimasukkan ke dalam International

Classification of Diseases (ICD-11). Hal ini ditandai dengan gangguan

kontrol atas game dengan meningkatnya prioritas yang diberikan pada game

lebih dari kegiatan lain. Perilaku tersebut terus dilanjutkan walaupun

memberikan konsekuensi negatif pada dirinya. Sebuah studi menunjukkan

bahwa adiksi game online lebih sering terjadi pada remaja (Brand, Todhunter,

& Jervis, 2017). Perilaku adiksi game online yang dialami remaja akan sangat

banyak menghabiskan waktunya.

Remaja menghabiskan waktu saat bermain game lebih dari dua jam/hari,

atau lebih dari 14 jam/minggu (Hardianti, 2015) bahkan 55 jam dalam

seminggu (van Rooij, 2011) atau rata-rata 20-25 jam dalam seminggu (Chou,

2005). Penelitian yang dilakukan (Jap,Tiatri2013) mengungkapkan bahwa

10,15% remaja di Indonesia terindikasi mengalami perilaku adiksi terhadap

game online. Artinya, 1 dari 10 remaja di Indonesia terindikasi mengalami

perilaku adiksi terhadap game online. Fenomena adiksi terhadap game online

ini semakin meluas dan semakin memprihatinkan, terutama karena banyaknya

remaja yang mengalami perilau adiksi terhadap game online.


F. Perilaku Adiksi

Game online yang dimainkan terus menerus akan mengakibatkan adiksi.

Adiksi didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak sehat atau merugikan diri

sendiri yang berlangsung terus menerus yang sulit diakhiri individu

bersangkutan (Yee, 2002). Mark (2004) juga menyatakan bahwa adiksi

merupakan perilaku ketergantungan baik secara fisik maupun psikologis

dalam suatu aktivitas. Menurut Lance Dodes dalam Yee (2002), ada dua jenis

adiksi yaitu adiksi fisik (adiktif terhadap alkohol atau kokain) dan adiksi non

fisik (adiksi terhadap game online).

Griffiths menyatakan bahwa adiksi merupakan aspek perilaku yang

compulsive, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol (Griffiths, Essau,

2008) Kata adiksi biasanya digunakan dalam konteks klinis dan diperhalus

dengan perilaku berlebihan (excessive). Konsep adiksi dapat diterapkan pada

perilaku secara luas, internet dapat menyebabkan adiksi, salah satunya adalah

computer game addiction.

Aspek-aspek adiksi game online menurut Young (1999) adalah: Merasa

sibuk dengan gamenya, Merasa membutuhkan menggunakan internet dengan

meningkatkan jumlah waktu untuk mencapai kepuasan, Berulang kali

melakukan upaya untuk mengontrol, Mengurangi, atau menghentikan

penggunaan smartphone namun selalu gagal, Merasa gelisah, murung,

depresi, atau marah ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan

penggunaan smartphone, Bermain game online lebih lama dari pada yang

direncanakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey R. Anshel,


(2012), pendiri Coorporate Vision Consulting sekaligus President Director

Ocular Nutrition Society, rata-rata pengguna smartphone rela menghabiskan

waktu berjam-jam bahkan hingga berhari-hari untuk berinteraksi dengan

smartphone tersebut.

Universitas Maryland melakukan sebuah penelitian yang melibatkan

1000 pelajar di seluruh dunia, termasuk Inggris. Selama 24 jam para pelajar

diminta untuk tidak mengakses smartphonenya dengan pengawasan yang

ketat dari pihak peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi

merupakan pusat kehidupan bagi para pelajar tersebut, yang dibuktikan

dengan 50% responden dalam penelitian ini tidak dapat menahan diri tanpa

mengakses smartphone dalam waktu 24 jam. Salah satu partisipan dalam

penelitian tersebut, Blondino mengaku merasa cacat dan mengungkapkan

bukan cacat fisik, akan tetapi cacat karena tidak menggunakan

smartphonenya. Merasa smartphonenya terus menerus bergetar dan merasa

masih menerima pesan walaupun dia tidak membawa handphonenya.

Salah seorang partisipan lain secara terang-terangan mengakui dirinya

berpperilaku adiksi terhadap game online dan merasa ada sesuatu yang

hilang. Gejala-gejala yang dialami kedua partisipan ini juga terlihat pada

kebanyakan partisipan lainnya (Anonim, 2011). adiksi game online adalah

orang yang membuka aplikasi pada gadget mereka sebanyak lebih dari 60 kali

dalam sehari (Griffiths, 2000). Hasilnya cukup menarik. Dari 1,4 miliar

pengguna smartphone yang diteliti, 176 juta orang di antaranya adalah adiksi

smartphone.
Adiksi yang dialami generasi muda ini tidak berbeda dengan mereka

yang alcoholism. Paparan layar gadget melepaskan hormon dopamine, zat

kimia yang memiliki peran penting dalam sistem otak yang berhubungan

dengan pembentukan sifat ketergantungan (Marcella, 2012). Hovart

menjelaskan bahwa, adiksi tidak hanya terhadap zat saja, akan tetapi juga

pada aktivitas tertentu yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan

dampak negatif (Hovart, 1989). Seseorang biasanya secara otomatis akan

melakukan apa yang disukai pada kesempatan yang ada. Perilaku Adiksi

merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang sangat kuat. Orang yang

mengalami perilaku adiksi tidak mampu terlepas dari keadaan tersebut, orang

itu kurang mampu mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan

tertentu yang disukai. Seseorang yang sudah kecanduan akan merasa

terhukum apabila tidak memenuhi hasrat kebiasaannya.

G. Karakteristik Remaja

World Health Organization (WHO) adalah salah satu badan PBB yang

bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional, pada tahun

1974, memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual.

Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis,

dan sosial ekonomi. Definisi tersebut sebagai berikut (D. Muangman,

“Adollescent Fertility Study in Thailand”, ICARP Search, April, 1980,

hlm.9). Remaja adalah suatu masa ketika:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual,


b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa,

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada

keadaan yang relatif lebih mandiri.

Perkembangan selanjutnya WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun

sebagai batasan usia remaja. WHO menyatakan walaupun definisi di atas

terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut

berlaku juga untuk remaja pria. WHO membagi kurun usia tersebut dalam

dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Dalam hal ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia

15- 24 tahun sebagai usia pemuda (Sanderowitz, J. & Paxman, J.M, 40,1985).

Dalam menjalani proses perkembangan, remaja memerlukan proses

penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja

(Sarlito, 2007, 24-25)

1. Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini masih

terheran-heran akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan

dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka

pengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan

mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini

ditambah dengan kurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan

para remaja awal sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.


2. Remaja Madya (Middle Adolescence) Pada tahap ini remaja sangat

membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang

menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri,

dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat yang sama dengan

dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak

tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli, ramai-ramai atau

sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya.

3. Remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini adalah masa konsolidasi

menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian hal di bawah ini:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

dengan pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti

dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public).

H. Teori Pendukung

1. Teori Parental Mediation

Istilah parental mediation (mediasi orang tua) menggambarkan

perilaku orang tua untuk mengelola dan mengendalikan penggunaan

media oleh anak-anak mereka (Livingstone et al., 2015, h.7). Bozoglan


(2018) dalam bukunya menyatakan bahwa teori mediasi orang tua

digambarkan sebagai serangkaian strategi yang digunakan oleh orang tua

untuk mengurangi penggunaan media yang berlebihan pada anak-anak

termasuk membatasi konsekuensi negatif dari penggunaan media oleh

anak. Teori mediasi orang tua dapat juga diartikan sebagai sebuah teori

yang dalam praktiknya orang tua akan menggunakan strategi komunikasi

interpersonal yang berbeda-beda sebagai upaya mereka untuk membatasi

dampak negatif dari media dalam kehidupan anak-anak (Clark, 2011,

h.325).

Penerapan strategi parental mediation (mediasi orang tua) dapat

bervariasi tergantung pada konteks media yang digunakan. Tak hanya itu,

Izzaura (2016) dalam jurnalnya menyatakan bahwa penerapan mediasi

orang tua dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu persepsi dan latar

belakang orang tua, gender dan usia anak, akses dan penempatan media

di rumah, dan karakteristik media yang digunakan (Izzaura 2016,h.12-

14). persepsi orang tua terhadap penggunaan media pada anak akan

mempengaruhi orang tua dalam memilih jenis strategi mediasi orang tua

yang akan diterapkan (Nikken & Janzs 2013, h.254),

Terdapat 3 jenis dimensi strategi parental mediation yang paling

umum digunakan oleh orang tua sebagai strategi mediasi orang tua pada

penggunaan media elektr1onik yaitu:

a. Mediasi aktif (active mediation) mengacu pada komunikasi atau

percakapan yang dilakukan oleh orang tua dengan anak mengenai


media tertentu yang digunakan oleh anak. Melalui strategi mediasi

aktif ini memungkinkan orang tua untuk mengekspresikan sikap

negatif tentang program atau konten pada televisi, mendorong anak-

anak untuk melihat acara televisi secara lebih kritis, memberikan

tambahan informasi, atau mendukung apabila terdapat konten atau

karakter yang baik pada media televisi.

b. Mediasi restriktif (restrictive mediation) mengacu pada peraturan

yang diterapkan oleh orang tua berkaitan dengan kebiasaan menonton

televisi oleh anak-anak mereka. Melalui mediasi restriktif orang tua

dapat membuat peraturan berkaitan dengan frekuensi dalam menonton

televisi dan jenis program televisi apa yang dapat ditonton, jam berapa

media televisi ditonton, serta di mana lokasi yang tepat untuk

menonton televisi. Masing-masing orang tua dalam keluarga memiliki

cara masing-masing mengenai mengapa dan bagaimana mereka

menegosiasikan aturan menonton televisi pada anak serta seberapa

ketat mereka dalam menegakkan aturan yang telah dibuat.

c. Menonton secara bersama (co-viewing/ social co viewing) merupakan

strategi ketiga dari mediasi orang tua dalam penggunaan televisi pada

anak, di mana dalam strategi ini komunikasi verbal tidak dilakukan

melainkan melakukan komunikasi non verbal dengan mengajak anak

menonton tayangan televisi secara bersama. Melalui strategi ini orang

tua ingin melindungi anak-anak mereka dari konten yang berbahaya


atau membantu anak-anak dalam mendapatkan manfaat dari konten

televisi yang sifatnya positif.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, ketiga strategi

mediasi orang tua dalam penggunaan televisi masih relevan untuk

digunakan sebagai upaya membatasi dampak negatif bermain video game

pada anak. Namun, beberapa penelitian mengubah istilah co-viewing

menjadi cousing atau co-playing yang berarti berbagi pengalaman media

dengan anak-anak tanpa kesengajaan dan tanpa perintah dari orang tua.

Strategi ini memungkinkan orang tua untuk mendampingi anak dengan

bermain game bersama dengan anak- anak (Nikken & Jansz, 2006, h.188;

Shin & Huh, 2011, h.947).

2. Teori Stimulus Respons

Pengertian Stimulus Respons Stimulus respons (S - R) adalah

model komunikasi paling dasar. Model ini dipengaruhi oleh disiplin

psikologi, khususnya yang beraliran behavioristic. Teori Stimulus respon

merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan

reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian dapat dipahami

adanya antara kaitan pesan pada media dan reaksi audien. Elemen utama

dari stimulus respon antara lain (Hidjanto, Djamal, Andi Fachrudin,2011,

h.69)

Stimulus Respon

Gambar 1.1 Model S-R


Model tersebut menggambarkan hubungan stimulus – respons. Model ini

menunjukkan komunikasi sebagai proses aksi reaksi yang sangat sederhana.

Model SR mengabaikan komunikasi sebagai suatu proses, khususnya yang

berkenaan dengan factor manusia. Secara implisit ada asumsi dalam model S-

R ini bahwa perilaku (respons) manusia dapat diramalkan. Ringkasnya,

komunikasi dianggap statis, manusia dianggap berprilaku karena kekuatan

dari luar (stimulus), bukan berdasarkan kehendak, keinginan, atau

kemampuan bebasnya. Model ini lebih sesuai bila diterapkan pada sistem

pengendalian suhu udara alih-alih pada prilaku manusia (Deddy

Mulyana,2005. h134)

Dalam teori stimulus respon terdapat unsur-unsur yang tidak dapat

dipisahkan. Ketiga unsur tersebut adalah pesan (stimulus), komunikan

(Organism) dan efek (Respon). Masing-masing unsur memiliki pengertian

sebagai berikut :

a. Pesan (stimulus, S) Pesan atau message merupakan elemen penting dalam

komunikasi. Sebab pesan merupakan pokok bahasan yang ingin

disampaikan oleh kemunikator kepada komunikan. Dalam komunikasi

publik, pesan bernilai sangat besar. Karena inilah yang menjafi inti dari

terjalinnya komunikasi. Tanpa adanya pesan maka kamunikasi baik antara

komunikator dan komunikan tidak akan dapat berjalan.

b. Komunikan (Organism, O): perhatian, pengertian, penerimaan Komunikan

merupan elemen yang akan menerima stimulus yang diberikan oleh

komunikator. Sikap komunikan dalam menyikapi stimukus yang diteria


akan berbeda-bea. Tergantung kepada masing-masing pribadi menyikapi

bentuk stimulus tersebut. Dalam mempelajari sikap ada tiga variabel yang

penting menunjang proses belajar tersebut yaitu: perhatian, pengertian,

penerimaan. Ketiga variabel imi menjadi penting sebab akan menentukan

bagaimana kemudian respon yang akan diberikan oleh komunikan setelah

menerima stimulus. Sikap yang dimaksud disini adalah kecendrungan

bertindakan, berpikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek,

ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan

kecendrungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap,

dengan demikian pada kenyataan tidak ada istilah sikap yang berdiri

sendiri. Sikap juga bukanlah sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga

menentukan apakah seseorang harus setuju atau tidak setuju terhadap

sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan.

c. Efek (respon, R): perubahan sikap Hosland, mengatakan bahwa proses

perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar.

I. Penelitian Terdahulu

Dalam mengkaji skripsi yang berhubungan dengan skripsi yang penulis

buat, penulis juga menemukan 3 skripsi yang terkait dengan pembahasan

yang akan penulis lakukan mengenai “Pola komunikasi orang tua terhadap

perilaku anak adiksi game online” secara umum sebagai berikut :

1. Penelitian ini berjudul “Pola Komunikasi Orang tua Terhadap Anak

Remaja Pecandu Game Online Arena of Valor di Jakarta” yang diteliti

oleh Angga Sudarnoto. Tahun penelitian 2021, Hasil penelitian ini


menunjukan bahwa menujukkan bahwa pola komunikasi orang tua (Ibu)

dengan anak remaja pecandu game online Arena of Valor di tunjukkan

dengan berbagai pola komunikasi orang tua dengan anak remaja dalam

menghadapi dampak kecanduan game online Arena of Valor diantaranya

pola komunikasi permissive dan pola komunikasi demokratis. Persamaan

dari penelitian ini yaitu sama- sama meneliti perilaku adiksi terhadap

gadget.

2. Penelitian yang berjudul “analisis tentang kecanduan game online pubg

mobile pada remaja di desa tounelet kecamatan kakas “diteliti oleh

Orlandi Ingkiriwang. Tahun penelitian 2021, Kecenderungan bermain

game PUBG bagi anak remaja khususnya, memberikan dampak secara

positif maupun dampak secara negatif, bagi perkembangan perilaku anak

remaja di Desa Tounelet kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa Dampak

positif dari bermain game online PUBG tersebut antara lain adalah dapat

meningkatkan daya pikir anak anak remaja Dapat membangun karakter

anak remaja untuk dapat bekerja sama atau membangun team work

Dapat juga meningkatkan konsentrasi berpikir bagi anak remaja. Bermain

game PUBG online juga memberikan manfaat bagi terbukanya

pertemanan. Dampak negatif dari remaja yang bermain game online

PUBG antara lain adalah dapat merubah perilaku anak cenderung lebih

keras dan 10 agresif, dan emosi bisa mendorong anak untuk lebih suka

bertarung/ berkelahi. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode

penelitian yang digunakan.


3. Penelitian berjudul “ pola komunikasi interpersonal orang tua terhadap

anak remaja dalam mengatasi pecandu game online mobile legends di

komplek kenten azhar kelurahan kenten kecamatan talang kelapa

banyuasin “ diteliti oleh delvi karani, tahun penelitian 2019, hasil

penelitian ini menunjukan bahwa pola komunikasi interpersonal orang

tua dengan anak pecandu game online mobile legend di tunjukan dengan

beragam pola komunikasi otoriter, pola komunikasi permissive dan pola

komunikasi demokratis. Perbedaannya terletak pada pemilihan teori

sedangkan persamaannya terletak pada pengendalian orang tua terhadap

gadget melalui komunikasi interpersonal.

J. Kerangka Konseptual

Perilaku remaja dalam menggunakan gadget dalam jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan perubahan dan terganggunya kegiatan sehari-hari,

Masalah yang paling menonjol akibat penggunaan gadget pada anak dan

remaja adalah menumbuhkan sifat individual, dimana anak dan remaja lebih

senang hanya bermain game online dibandingkan bersosialisasi dengan orang

sekitarnya. Apabila fenomena seperti ini terjadi dalam waktu yang lama akan

menimbulkan krisis sosial dan kurangnya rasa percaya diri dari remaja.

Orang tua sebagai pengasuh anak membentuk karakter dan kepribadian

anak merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam hal

mendidik anak. Oleh karena itu peneliti mengaitkan dua teori yaitu teori

parental mediation dan teori dialektika relasional dimana dalam penerapan


teori tersebut dapat diketahui strategi apa saja yang digunakan oleh orang tua

untuk mengurangi waktu bermain game online yang berlebihan pada anak

dan mengetahui cara orang tua berkomunikasi dengan anaknya.

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara

secara langsung dengan para informan, penulis melakukan wawancara

langsung dengan orang tua dan anak, untuk dapat mengetahui bagaimana pola

komunikasi yang digunakan orang tua kepada anaknya dan intensitas bermain

game online pada anak.

Untuk mengetahui prosedur rancangan penelitian yang akan dikembangkan

oleh peneliti maka dapat dilihat pada gambar kerangka pikir sebagai berikut:

Studi komunikasi interpersonal perilaku


adiksi game online

Teori perental
Metode Tantangan mediation
komunikasi anak
Teori stimulus respon

Arah komunikasi orang tua

Gambar 1.2 Kerangka Pikir

K. Definisi Operasional
Untuk membantu dalam istilah serta menentukan fakta agar terhindar dari

kesalahan multitafsir maka peneliti memberikan definisi operasional dalam

penelitian ini:

1. Komunikasi interpersonal merupakan suatu aktivitas. Komunikasi

interpersonal merupakan komunikasi timbal balik antara pengirim dan

penerima pesan misalnya komunikasi yang terjadi antara ibu dengan

anak, dokter dengan pasien, dua orang dalam suatu wawancara, dsb.

2. Adiksi atau addicion diartikan sebagai keadaan bergantung secara fisik

pada suatu obat bius, ketergantungan fisik dan psikilogis, dan

menambahkan gejala pengasingan diri dari masyarakat, apabila obat bius

dihentikan. Sama halnya dengan perilaku adiksi terhadap game online

mereka dapat dorongan atau tekanan kuat yang berasal dari dalam diri

untuk melakukan secara terus- menerus sehingga tidak ingin

bersosialisasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

3. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan

cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna lebih ditonjolkan

dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai

pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.

4. Parental mediation merupakan strategi komunikasi interpersonal orang

tua dan anak saat menggunakan media dengan benyuk pengawasan

pengawasan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Paradigma penelitian

Penelitian kali ini mengunakan metode Kualitatif Deskriptif. Keuntungan

dari metode ini adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat,

ataupun gambar mempunyai arti lebih dari hanya sekedar frekuensi. Dengan

demikian segala aspek yang ada pada setiap hubungan dari subjek yang

diteliti akan bisa kita potret secara lengkap, tidak sekedar perbedaan hitam

putih.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang dipiih peneliti adalah remaja di Kelurahan Mannuruki

Kecamatan Tamalate Kota Makassar, Waktu penelitian akan dilaksanakan

dari bulan Februari - Maret 2023.

C. Subjek dan Informan Penelitia

Adapun informan yang akan penulis jadikan sebagai narasumber

penelitian adalah remaja di kelurahan mannuruki kecamatan tamalate kota

makassar, serta orang tua dari remaja berperilaku adiksi terhadap game

online, yang penulis tentukan dengan teknik purposive sampling yaitu sampel

yang bertujuan dengan mempertimbangkan sesuatu, ditentukan berdasarkan

beberapa kriteria:

1. Remaja yang paling sering bermain game dengan usia 10 -19 tahun

2. Punya pengetahuan terhadap game online


3. Mempunyai perilaku ketergantungan game online

Kemudian terkait dengan informan orang tua dan anak pada penelitian

saya bisa dilihat pada tabel berikut:

No Nama informan Pendidikan

1 RS dan orang tua SMK

2 MR dan orang tua SMK

3 AF dan orang tua SMK

4 AM dan orang tua SMA

5 BS dan orang tua SMA

D. Jenis dan Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan

tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain

(Lofland dan Lofland, Moleong, 2007). Namun untuk melengkapi data yang

dibutuhkan, sumber data dibagi menjadi dua yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah pengambilan data dengan instrumen pengamatan,

wawancara, catatan lapangan dan penggunaan dokumen. data primer

merupakan data yang diperoleh langsung dengan teknik wawancara atau


sumber langsung. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data, data primer ialah data yang

diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan

penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukan (Hasan,2002:82) Data

primer didapat dari sumber informan yaitu individu atau perseorangan seperti

hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang

yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada (Hasan, 2005:

58) Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer yang telah

diperoleh yaitu bahan pustaka, literature, penelitian terdahulu, buku, dan lain

sebagainya. data sekunder adalah data yang digunakan untuk mendukung data

primer yaitu melalui studi kepustakaan, dokumentasi, buku, majalah , Koran,

arsip tertulis yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti pada

penelitian ini (Sugiono,2015:187).

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan yang paling penting bagi kegiatan

penelitian, karena pengumpulan data tersebut akan menentukan berhasil

tidaknya suatu penelitian. Sehingga dalam pemilihan teknik pengumpulan

data harus cermat. Teknik pengumpulan data digunakan dalam penelitian

kualitatif adalah dengan menggunakan teknik pengamatan (observasi),

wawancara, dokumentasi. Peneliti dapat menyesuaikan teknik pengumpulan


data yang digunakan dengan keadaan tempat penelitian. Peneliti

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data di antaranya:

1. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat

bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

diperoleh melalui observasi (Nasution,1998), Pengamatan dan pencatatan

yang di lakukan terhadap obyek di tempat terjadinya peristiwa, sehingga

observasi berada bersamaan dengan obyek yang diteliti. Observasi dapat

dilakukan dengan partisipan maupun non partisipan. Observasi yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif. Dimana dalam

dalam Hal ini peneliti langsung terjun ke lapangan untuk meneliti remaja

berperilaku adiksi terhadapgame online, Melalui teknik ini peneliti dapat

mengamati bagaimana komunikasi interpersonal orang tua terhadap remaja

yang adiksi game online.

2. Wawancara

Wawancara merupakan sebuah proses memperoleh sebuah keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanggung jawab sambil tatap muka antara

pewawancara dengan responden atau orang yang di wawancarai, dengan atau

tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini secara langsung

dengan para informan yaitu penulis melakukan wawancara dengan orang tua

dan anak untuk dapat mengetahui bagaimana tantangan komunikasi orang tua

terhadap anak berperilaku adiksi terhadap game online, dan intensitas

penggunaan game online pada anak.


3. Dokumentasi

Dokumentasi ialah metode penulis dalam menyelidiki benda-benda

tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat,

catatan harian, dan bentuk lainnya (Arikunto, 2006:158) Dengan teknik

dokumentasi ini diharapkan dapat terkumpul dokumen-dokumen yang berupa

dokumen tertulis, gambar maupun elektronik merupakan proses pengumpulan

dan pengambilan data berdasarkan tulisan-tulisan berbentuk catatan ataupun

dokumentasi foto. Dokumentasi yang diperoleh berupa tentang hal-hal yang

ada hubungan di Kelurahan Mannuruki Kecamatan Tamalate.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan suatu proses untuk mengolah data dan

informasi ke dalam proses penelitian, nantinya data tersebut akan dijadikan

sebagai hasil penelitian atau informasi baru. Proses analisis data perlu

dilakukan agar tahu kevalidan data yang didapat sehingga nantinya akan

memudahkan dalam proses-proses selanjutnya

1. Reduksi

Reduksi data merupakan tahap dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi

data merupakan penyederhanaan, penggolongan, dan membuang yang tidak

perlu data sedemikian rupa sehingga data tersebut dapat menghasilkan

informasi yang bermakna dan memudahkan dalam penarikan kesimpulan.

2. Penyajian

Data yang sudah dianalisis akan menghasilkan suatu kesimpulan. Hasil

analisis tersebut perlu dilaporkan dan disajikan. Proses penyajian data ini
bertujuan untuk menyampaikan hasil analisis agar dapat dipahami sesuai

dengan tujuan penelitian. Penyajian data dianjurkan untuk dibuat semenarik

mungkin dan diringkas dengan singkat padat dan jelas agar mudah dipahami

oleh pembaca terutama yang masih cukup awam dengan cara membaca data.

3. Penarikan

Setelah data selesai dianalisis, kegiatan yang harus dilakukan adalah

menafsirkan hasilanalisis tersebut. penafsiran hasil analisis ini bertujuan untuk

menarik kesimpulan penelitianyang telah dilaksanakan. penarikan

kesimpuulan ini dilakukan dengan cara membendingkanhipotesis yang telah

dirumuskan dengan hasil analisis yang didapat. Akhirnya, penaliti dapat

manarik kesimpulan apakah menerima atau menolak hipotesis yang telah

dirumuskan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

A. Profil wilayah kelurahan mannuruki kecamatan tamalate

Kelurahan Mannuruki memiliki sejarah yang kaya. Pada awalnya,

Mannuruki merupakan daerah yang dihuni oleh suku Bugis-Makassar, yang

merupakan suku mayoritas di Sulawesi Selatan. Pada masa lalu, daerah ini

dikenal sebagai pusat kegiatan perdagangan maritim dan pertanian. Mannuruki

juga memiliki peranan penting dalam sejarah pemerintahan lokal. Pada era

kolonial Belanda, Mannuruki menjadi salah satu pusat administratif di daerah

tersebut. Setelah kemerdekaan Indonesia, Mannuruki terus berkembang

sebagai bagian dari Kota Makassar. Seiring berjalannya waktu, Mannuruki

mengalami perkembangan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan

infrastruktur, layanan publik, dan kualitas hidup penduduk di Kelurahan

Mannuruki.

Saat ini, Mannuruki menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial di wilayah

Kecamatan Tamalate. Kelurahan ini juga memiliki berbagai fasilitas seperti

sekolah, pusat kesehatan, dan tempat ibadah yang memenuhi kebutuhan warga

setempat. Dengan sejarahnya yang kaya dan perkembangannya yang pesat,

Kelurahan Mannuruki di Kecamatan Tamalate tetap menjadi bagian yang

penting dalam peta perkembangan Kota Makassar dan memberikan kontribusi

yang berarti bagi masyarakatnya.


Kecamatan Tamalate merupakan salah satu kecamatan di Kota Makassar,

SulawesiSelatan, Indonesia. Di dalam Kecamatan Tamalate terdapat beberapa

kelurahan, salah satunya adalah Kelurahan Mannuruki. Berikut adalah profil

lengkap dari wilayah Kecamatan Tamalate dan Kelurahan Mannuruki:

a. Lokasi: Kecamatan Tamalate terletak di Kota Makassar, Sulawesi Selatan,

Indonesia. Kecamatan ini berada di bagian barat Kota Makassar.

Sedangkan Kelurahan Mannuruki merupakan salah satu kelurahan yang

terletak di Kecamatan Tamalate. Secara geografis, Kota Makassar terletak

di pesisir Teluk Makassar, bagian selatan Pulau Sulawesi. Kecamatan

Tamalate terletak di sebelah barat pusat Kota Makassar. Sedangkan

Kelurahan Mannuruki dapat ditemukan di dalam Kecamatan Tamalate.

Untuk lebih spesifik, lokasi Kelurahan Mannuruki dapat ditentukan

dengan mengacu pada peta Kota Makassar dan Kecamatan Tamalate.

b. Wilayah: Kecamatan Tamalate memiliki luas wilayah yang mencakup

beberapa kelurahan. Berikut adalah beberapa kelurahan yang terdapat di

Kecamatan Tamalate:

a) Kelurahan Barombong

b) Kelurahan Bulo Gading

c) Kelurahan Mangasa

d) Kelurahan Mannuruki

e) Kelurahan Tamalate

c. Populasi: Jumlah penduduk di Kecamatan Tamalate cukup bervariasi

tergantung pada masing-masing kelurahan.


d. Pemerintahan: Pemerintahan di Kelurahan Mannuruki berfokus pada

penyelenggaraan pelayanan publik, pembangunan, serta koordinasi dengan

berbagai lembaga dan masyarakat setempat. Lurah dan Badan

Permusyawaratan Kelurahan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan di Kelurahan Mannuruki,

Kecamatan Tamalate.

e. Infrastruktur: Kelurahan Mannuruki, yang terletak di Kecamatan

Tamalate, Kota Makassar, memiliki sejumlah infrastruktur penting untuk

mendukung kehidupan dan aktivitas masyarakat setempat. Beberapa

contoh infrastruktur yang biasanya ada di kelurahan ini meliputi:

a) Jaringan Jalan: Kelurahan Mannuruki memiliki jaringan jalan yang

menghubungkan berbagai bagian dalam kelurahan dan kecamatan.

Jalan-jalan ini dapat digunakan untuk transportasi pribadi,

angkutan umum, dan aksesibilitas bagi masyarakat.

b) Pendidikan: Terdapat sekolah-sekolah di Kelurahan Mannuruki,

termasuk sekolah dasar, sekolah menengah, dan mungkin juga

lembaga pendidikan tinggi. Sekolah-sekolah ini memberikan akses

pendidikan kepada anak-anak dan remaja di wilayah tersebut.

c) Puskesmas: Puskesmas atau pusat kesehatan masyarakat tersedia di

Kelurahan Mannuruki. Puskesmas menyediakan layanan kesehatan

dasar, seperti pemeriksaan kesehatan, pengobatan, imunisasi, dan

penyuluhan kesehatan.
d) Tempat Ibadah: Kelurahan Mannuruki biasanya memiliki tempat-

tempat ibadah, seperti masjid, gereja, atau kuil, yang melayani

kebutuhan keagamaan dan spiritual masyarakat setempat.

e) Tempat Rekreasi: Ada kemungkinan adanya tempat rekreasi di

Kelurahan Mannuruki, seperti taman, lapangan olahraga, atau

ruang terbuka hijau lainnya. Tempat-tempat ini bisa digunakan

untuk kegiatan rekreasi, olahraga, dan berkumpulnya masyarakat.

f) Pasar atau Tempat Perbelanjaan: Ada kemungkinan adanya pasar

tradisional atau pusat perbelanjaan di Kelurahan Mannuruki,

tempat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan

berbelanja kebutuhan rumah tangga.

g) Fasilitas Umum Lainnya: Selain itu, fasilitas-fasilitas umum

lainnya seperti kantor pos, bank, kantor pemerintahan, dan layanan

publik mungkin juga tersedia di Kelurahan Mannuruki.

f. Aktivitas Ekonomi: Kelurahan Mannuruki, yang terletak di Kecamatan

Tamalate, Kota Makassar, memiliki beragam aktivitas ekonomi yang

berkontribusi pada perekonomian lokal. Beberapa aktivitas ekonomi yang

umum di kelurahan ini termasuk:

a) Perdagangan: Mannuruki dapat menjadi pusat perdagangan kecil di

wilayah tersebut. Terdapat toko-toko ritel, warung, dan pedagang

kaki lima yang menjual berbagai barang konsumsi dan kebutuhan

sehari-hari.
b) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM): Banyak UMKM

beroperasi di Kelurahan Mannuruki. Ini termasuk toko-toko kecil,

warung makan, kios, bengkel, dan usaha jasa lainnya. UMKM ini

menjadi sumber mata pencaharian bagi penduduk setempat dan

menyumbang pada perekonomian lokal.

c) Industri Kreatif: Kelurahan Mannuruki mungkin juga memiliki

beberapa usaha di sektor industri kreatif, seperti kerajinan tangan,

produksi barang-barang unik, dan seni lokal. Industri kreatif ini

dapat mencakup pembuatan kerajinan tangan, pakaian, aksesori,

dan produk-produk seni lainnya.

d) Jasa: Sektor jasa seperti salon kecantikan, jasa reparasi, layanan

kebersihan, dan jasa pengiriman mungkin juga ada di Kelurahan

Mannuruki. Masyarakat dapat menawarkan berbagai layanan

kepada penduduk setempat dan sekitarnya.

Kelurahan Mannuruki di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, memiliki peran

penting dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat setempat. Dengan

adanya fasilitas dan potensi yang ada, Kelurahan Mannuruki terus berkembang

dan memberikan kontribusi bagi perkembangan Kota Makassar secara

keseluruhan.
4.2 Hasil Penelitian

A. Tantangan komunikasi interpersonal yang dihadapi anak yang

berperilaku adiksi terhadap game online

Untuk mengetahui tantangan komunikasi interpersonal yang

dihadapi anak yang berperilaku adiksi di kelurahan mannuruki kecamatan

tamalate maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara

wawancara terhadap orang tua dan anak yang berperilaku adiksi di

kelurahan mannuruki kecamatan tamalate kota makassar, selain itu juga

peneliti melakukan documentasi terhadap aktifitas wawancara dan

melakukan observasi langsung dilapangan. Berdasarkan kegiatan

pengumpulan data tersebut diatas maka peneliti mendapatkan hasil

penelitiannya sebagai berikut

Anak yang mengalami adiksi terhadap game online di kelurahan

mannuruki kecamatan tamalate ini menghadapi beberapa kesulitan atau

hambatan dalam berinteraksi dengan orang lain di sekitar mereka,

termasuk gangguan konsentrasi dan perhatian, Adiksi game online dapat

menyebabkan anak-anak menjadi terlalu terikat pada permainan dan sulit

untuk memusatkan perhatian mereka pada interaksi sosial. Mereka

mungkin terganggu oleh dorongan untuk terus bermain game dan

kehilangan minat atau ketertarikan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sebagaimana yang di ungkapkan oleh anak yang ber inisial RS

“ kadang kalau banyak orang dirumah atau lagi ada keluarga

datang saya lebih memilih dikamar bermain game dibandingkan


berinteraksi dengan mereka karena saya tidak terlalu nyaman di

keramaian, kalau habis berinteraksi dengan orang lain itu kayak energiku

habis”

Pendapat yang sama dengan informan saya yang berinisial AF

sebagaimana yang dia ungkapkan.

“ iya, saya merasakan memang saya akhir-akhir ini sering sekali

tidak mau di ganggu sama mama, kadang kalo lagi asyik main game, saya

kunci kamar biar tidak terganggu. Ini mungkin yang bikin mama kesal

sama saya. Sering diancam mau di sita hp saya kak, saya sering juga adu

argumen sama mama, mama sering larang untuk bermain game tapi saya

tetap cuek masa bodoh”

Anak yang adiksi terhadap game online mungkin cenderung lebih nyaman

dan terlibat dalam interaksi virtual dari pada interaksi langsung dengan

orang lain. Mereka mungkin kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi

sosial di dunia nyata dan merasa canggung atau tidak terampil dalam

berkomunikasi secara tatap muka. Seperti yang di ungkapkan informan

saya yang ber inisial MR

“ kalau saya tidak terlalu sering berinteraksi secara langsung

dengan teman sebayaku tapi lebih ke virtual, karena kalau game online itu

kita bisa berbicara dengan orang diluar kota atau pun luar negeri melalui
fitur di gamenya, bisaka juga belajar sedikit-sedikit bahasa inggiris kalau

ngomong dengan orang luar negeri meskipun dibantu dengan translate”

Akibat kurangnya interaksi secara langsung karena lebih banyak

berinteraksi dengan rekan-rekan mereka melalui permainan online. Hal ini

dapat menghambat perkembangan kemampuan mereka dalam berbicara,

mendengarkan, bernegosiasi, atau memecahkan konflik dengan orang lain

di kehidupan nyata.

Mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, dan

kebutuhan mereka secara jelas dan tepat. Ini bisa membuat mereka

terisolasi atau sulit untuk dipahami oleh orang lain, sehingga

mempengaruhi interaksi sosial yang sehat, seperti yang di ungkapkan oleh

informan saya yang ber inisial AM

“ kalau berbicaraka sama orang yang tidak terlalu akrab atau

berada ka di circle yang baru buat saya, saya merasa di cuekin dan sulit

dipahami oleh orang lain. Mungkin karena caraku komunikasi yang

kurang jelas dan terkadang ambigu membuat orang lain sulit memahami

apa yang saya rasakan atau butuhkan. Ini yang mungkin menghambat

terjalinnya interaksi sosial yang sehat dan mempengaruhi hubungan ku

dengan orang-orang di sekitarku.”

Mereka mengalami rasa takut atau kecemasan dalam berinteraksi dengan

orang lain secara langsung. Mereka khawatir tentang penilaian orang lain
atau merasa tidak mampu berkomunikasi dengan baik, yang dapat

merendahkan tingkat kepercayaan diri mereka.

Pendapat lain disampaikan oleh BS

“ Saya pribadi cepat akrab sama orang dan sejauh ini saya

merasa dihargai dan diberikan perhatian ketika berbicara dengan teman

maupun orang tua saya. Meskipun kadang ada kesalahpahaman, mereka

bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka dan mencari cara untuk

memahami saya dengan lebih baik.”

Anak yang mengalami adiksi game online juga menghadapi kesulitan

dalam mengekspresikan emosi mereka sendiri secara tepat dan jelas.

Mereka lebih nyaman dalam berkomunikasi melalui platform game online,

yang bisa membuat mereka kesulitan dalam mengekspresikan dan

mengartikulasikan perasaan mereka dengan jelas dalam interaksi sosial

langsung. Seperti yang dikemukakan oleh informan berinisial MR

“ kalau saya lebih suka dan sering berinteraksi melalui game yang

saya mainkan, karna sebagian besar waktuku saya habiskan didepan

handphone kalaupun ber interaksi langsung paling dengan orang tua atau

orang-orang yang ada dirumah saja.”

Pendapat yang sama di kemukakan oleh BS:

“ lebih nyaman saja kalau berinteraksi dengan orang lain melalui

virtual mungkin karna kepribadian saya yang introvert jadi lebih nyaman

saja dibandingkan dengan berinteraksi secara langsung.”


Adiksi terhadap game online juga dapat menyebabkan ketegangan atau

konflik antara anak dan orang tua mereka. Anak yang terlalu terikat pada

game online mungkin mengabaikan tugas- tugas yang ada dirumah, seperti

pekerjaan rumah atau kewajiban lainnya, yang dapat menyebabkan

ketegangan dalam interaksi dengan orang tua, Hal ini dapat mengurangi

waktu yang dihabiskan bersama keluarga dan mempengaruhi kedekatan

dan komunikasi antara anak-anak dan orang tua.

Hal ini seperti yang di kemukakan oleh ibu dari anak yang berinisial AF

selaku informan dalam penelitian ini, mengemukakan

“ mungkin sering sekali nak saya ribut dengan anak saya, gara-

gara anakku sekarang malas belajar karena terlalu sering main game di

handphonenya, sudah sering saya larang dia untuk bermain game tapi

anak saya tidak mau dengar, Saya mau anakku itu belajar setiap hari

bukan malah main game.”

Pendapat lain yang dikemukakan oleh ibu MR

“Saya khawatir melihat anak saya lebih tertarik dengan game dari

pada kewajibannya seperti kerja tugas sekolah, kalau disuruh ini itu

banyak alasannya, saya sudah berusaha untuk membatasi waktu

penggunaannya tapi anaknya kesulitan untuk mengalihkan perhatian

mereka dari game tersebut.”


Pendapat berbeda dikemukakan oleh orang tua dari RS

“ anakku juga lebih sering dikamarnya sehingga waktu yang

dihabiskan bersama orang tuanya sedikit, itupun kalau dia keluar cuman

makan dengan mandi setelah itu lanjut lagi main gamenya”

B. kecanderungan komunikasi orang tua dan anak pada perilaku adiksi

terhadap game online

kecenderungan komunikasi antara orang tua dan anak pada perilaku adiksi

terhadap game online di Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate dapat

bervariasi tergantung pada situasi dan dinamika keluarga yang ada.

Orang tua pada anak di kelurahan mannuruki kecamatan tamalate

berkomunikasi dengan anak dengan cara memberikan pemahaman tentang

risiko dan dampak negatif adiksi game online. Mereka menyampaikan

informasi tentang pengaruhnya terhadap kesehatan fisik dan mental, kinerja

akademik, dan hubungan sosial, Selain itu orang tua mereka juga memberikan

batasan dan aturan terkait penggunaan game online. Mereka menjelaskan

mengapa pembatasan diperlukan dan membahas konsekuensi jika aturan

tersebut dilanggar. Seperti yang di ungkapkan oleh informan saya ibu dari AF

“ saya sering beritahu anak saya nanti mata mu cepat minus kalau terlalu

sering depan handphone, jam tidurnya juga tidak teratur sering begadang,

kadang saya capek tanya dia tapi anaknya tetap tidak mau dengar”
Pendapat yang sama di ungkapkan dari ibu dari MR

“Tidak banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi anak yang

adiksi terhadap game online. Cukup ikutin saja maunya anak itu apa, dan

tinggal kita batasi saja waktunya bermain game simple kan jadi kita sama

dapat solusinya.”

Selain itu menurut pendapat ibu dari BS

“ saya tau, keadaan anak yang memang sudah suka maen game tidak bisa

langsung berhenti dengan mudah, kita arahkan saja dengan memberikan dia

pilihan. Boleh main game beberapa jam asal dia juga harus bisa membagi

waktu juga untuk belajar dan waktu sholat, waktunya makan dia harus

makan. Harus tau diri lah, walaupun saya kasih waktu buat main game”

Pendapat yang sama yang disampaikan orang tua AM

“ saya sudah sering sekali memberi nasehat kepada anak saya kalo main

game terus menerus itu tidak baik buat dia dan kesehatan dia juga, karena

pengaruh handphone juga bisa merusak otak, Pelan-pelan anak mungkin

akan mengerti kalau di beri nasihat secara baik.”

Pendapat berbeda dari orang tua RS

“ kalau saya hanya main game dirumah saya bebaskan, kadang saya

juga sibuk sama pekerjaan rumah yang penting game yang dimainkan aman-

aman saja.”

Beberapa anak saya peneliti teliti merasa tidak diizinkan untuk

mengemukakan pendapat mereka tentang game online atau menjelaskan


alasan mengapa mereka tertarik pada permainan tersebut. Pola komunikasi

otoriter ini dapat menciptakan hambatan dalam komunikasi terbuka antara

orang tua dan anak. Anak merasa bahwa pendapat dan kebutuhan mereka

tidak dihargai atau dipedulikan, sehingga mereka enggan berbagi informasi

tentang game yang mereka mainkan, pengalaman yang mereka alami, atau

masalah yang mereka hadapi terkait adiksi game online.

Seperti yang dikemukakan oleh informan AF

“orang tuaku tidak mau mengerti tentang minatku terhadap game online,

Cuma bisa melarang tanpa melihat sisi positif yang saya dapatkan ketika

bermain game, itu yang buat saya malas cerita tangtang game yang saya

main atau masalah yang saya hadapi.”

Tanggapan saya sama di ungkapkan RS

“ berharapka orang tuaku tidak melihat game dari sisi negatifnya saja

tapi bisa dia memahami bahwa ada juga sisi positifnya, bisaka menghasilkan

dari game, walaupun menurut orang tuaku kebanyakan dia liat dari sisi

negatifnya saya harap bisaka dia bantu untuk mengembangkan minat

bakatku dibidang lain.”

Beberapa anak yang peneliti teliti mengerti akan pola komunikasi otoriter

yang digunakan oleh orang tua mereka tanggapan yang berbeda diungkapan

BS
“ saya sadar kak, bahwa orang tuaku sering sekali memberikan

pengertian tentang kecanduan ini. Mereka coba memberikan nasihat tentang

kecanduan game yang saya alami. Ini upaya mereka membantu saya

mengatasi dampak negatif dari game online ini, tapi kadang memang saya

yang tidak mau mendengar kalau diberi nasihat.”

Selain itu AM mengungkapnkan bahwa

“ Saya percaya bahwa orang tua saya peduli dan ingin membantu saya

mengatasi adiksi game online. Namun, sulit bagi mereka untuk memahami

sepenuhnya apa yang saya rasakan atau butuhkan karena mereka tidak

berada di posisi yang sama dengan saya. Saya berharap dapat menemukan

cara untuk lebih terbuka dan jujur dengan mereka, sehingga kami bisa

bekerja sama mencari solusi yang tepat.”

Orang tua dapat memberikan dukungan dan pemahaman kepada anak yang

mengalami adiksi game online melalui komunikasi, memberikan dukungan

emosional kepada anak dalam mengatasi adiksi game online. Dengan

memberikan dorongan, pujian, dan apresiasi ketika anak berhasil mengelola

penggunaan game online dengan baik. Dukungan emosional yang diberikan

oleh orang tua dapat membantu anak merasa didukung, termotivasi, dan

membangun kepercayaan diri.

Selanjutnya ibu dari RS selaku informan dalam penelitian ini juga

mengatakan:
“ kadang saya beri pujian untuk anak saya karna dia menang

turnamen karena dari turnamen dia dapat hadiah berupa uang yang

bermanfaat untuk dia sendiri, tapi saya nda terlalu suka kalau anakku tidak

bisa dia imbangi hobbynya dengan kegiatan lainnya”

Sedangkan ibu dari AF mengungkapkan

“ Saya tidak pernah berikan apresiasi kepada anak saya karna saya

jengkel kalau dia terlalu sering bermain game.“

Pendapat yang sama di ungkapkan dari informan MR

“ Menurutku dengan memberikan pujian atau apresiasi pada anak

tidak efektif dalam mengatasi adiksi game online, apalagi pujian terhadap

perilakunya yang selalu main game tambah tidak mau lepas handphone nya

mungkin, semua itu tergantung diri dia sendiri”

4.3 Pembahasan penelitian

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti dengan

mengambil 5 informan yang merupakan orang tua dan anak adiksi terhadap

game online di kelurahan mannuruki kecamatan tamalate kota makassar, dapat

di kata kan komunikasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya

dalam mengatasi masalah adiksi terhadap game online, dalam penelitian ini,

penulis mengkaji tentang komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak

terhadap perilaku adiksi penggunaan game online dengan menggunakan teori

perental mediation yang dikemukakan oleh Dolf zillmann dan teori stimulus

respon yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov.


Teori perental mediation berfokus pada peran orang tua dalam memediasi atau

mengontrol pengaruh media atau game yang dikonsumsi oleh anak mereka.

Orang tua berperan penting dalam membentuk dan mempengaruhi komunikasi

interpersonal dengan anak yang mengalami perilaku adiksi. Tantangan

komunikasi interpersonal yang muncul termasuk kesulitan dalam membangun

dan mempertahankan hubungan yang sehat antara orang tua dan anak. Anak

yang adiktif mungkin cenderung terisolasi secara sosial, kurang

berkomunikasi dengan orang tua, atau menghindari interaksi yang lebih dalam

dan bermakna. Ini bisa menjadi tantangan bagi orang tua untuk memahami

dan mendekati anak dengan cara yang efektif.

Dalam teori perental mediation, terdapat tiga jenis strategi yang dapat

digunakan oleh orang tua dalam memediasi pengaruh media terhadap anak-

anak mereka yaitu:

a. Strategi restriksi aktif: Strategi restriksi aktif merupakan pendekatan di

mana orang tua secara tegas membatasi atau mengontrol akses anak

terhadap game online sebagai upaya untuk mengurangi kecanduan dan

dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Penting untuk memahami

bahwa setiap strategi yang diimplementasikan oleh orang tua haruslah

dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan berdasarkan

kepentingan terbaik anak. Restriksi aktif dapat memiliki manfaat dalam

mengurangi waktu yang dihabiskan untuk game online dan membantu

anak mengalihkan perhatiannya ke aktivitas lain yang lebih bermanfaat.

Namun, perlu diperhatikan bahwa penerapan restriksi aktif harus


dilakukan dengan cermat dan bijaksana. Hanya beberapa orang tua yang

menerapkan strategi ini dapat menimbulkan beberapa konsekuensi yang

perlu dipertimbangkan. Pertama, anak mungkin mengalami ketidakpuasan

atau frustrasi karena merasa dibatasi dalam melakukan aktivitas yang

mereka sukai. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan orang tua dan anak

serta menimbulkan perasaan ketegangan.

Selain itu, restriksi aktif yang tidak disertai dengan komunikasi yang

efektif dan pemahaman terhadap kebutuhan dan motivasi anak dapat

memperburuk komunikasi interpersonal yang sudah tidak berjalan dengan

baik. Anak mungkin merasa tidak didengarkan atau tidak dipahami oleh

orang tua, yang dapat menghambat terbentuknya ikatan emosional dan

saling pengertian antara keduanya.

Menurut penulis penting untuk mengeksplorasi dan memahami

implikasi strategi restriksi aktif pada anak yang mengalami kecanduan

game. Dalam penelitian ini, sudah dilakukan wawancara dan observasi

untuk mendapatkan perspektif anak tentang dampak dan pengaruh dari

restriksi aktif yang diimplementasikan oleh orang tua mereka, penulis

menemukan Strategi ini digunakan oleh beberapa orang tua informan yaitu

orang tua dari AF, MR, BS dimana orang tua mereka melakukan

pengawasan ketat dan pembatasan yang diterapkan oleh orang tua terhadap

game online yang konsumsi oleh anak

Selain itu, perlu diperhatikan pula faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan strategi restriksi aktif, seperti komunikasi


terbuka, pemahaman terhadap kebutuhan anak, dukungan psikologis, dan

penggantian aktivitas yang bermanfaat. Memperhatikan faktor-faktor ini

dapat membantu menemukan keseimbangan yang tepat antara restriksi dan

kebebasan yang memungkinkan anak untuk berkembang dengan baik

dalam lingkungan yang sehat.

b. Strategi mediasi aktif: Menurut penulis bahwa orang tua di Kelurahan

Mannuruki, Kecamatan Tamalete, yang menerapkan strategi mediasi aktif

belum sepenuhnya memahami apa yang diinginkan oleh anak-anak mereka

terkait adiksi game online. Pemahaman yang kurang ini dapat menjadi

hambatan dalam membangun komunikasi interpersonal yang sehat antara

orang tua dan anak.

Pentingnya pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan,

keinginan, dan motivasi anak dalam konteks adiksi game online telah

teridentifikasi. Orang tua yang memahami dengan baik akan dapat

membangun komunikasi yang lebih efektif dengan anak-anak mereka,

membantu mereka mengatasi adiksi game, dan menciptakan hubungan

yang lebih baik.

Dalam konteks ini, rekomendasi yang diajukan adalah adanya

program pelatihan dan peningkatan kesadaran bagi orang tua di Kelurahan

Mannuruki. Program ini akan memberikan pengetahuan dan keterampilan

yang diperlukan agar orang tua dapat lebih memahami perilaku anak dan

merancang strategi mediasi yang lebih tepat. Pemerintah setempat,


lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam

menyediakan sumber daya dan mendukung pelaksanaan program ini.

Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang

mendukung di mana anak-anak merasa nyaman untuk berbicara dan

mengungkapkan keinginan mereka terkait game online. Orang tua perlu

menciptakan ruang dialog yang terbuka, empatik, dan mendengarkan

dengan baik agar anak merasa didengar dan dipahami. Dalam lingkungan

yang seperti itu, orang tua akan lebih mudah memahami motivasi dan

kebutuhan anak mereka, sehingga strategi mediasi dapat

diimplementasikan dengan lebih efektif.

c. Strategi restriksi pasif: Strategi restriksi ini lebih ke kurang memantau atau

mengantrol secara ketat aktivitas permain game anak mereka seperti yang

dilakukan oleh orang tua informan RS. Menurut peneliti dalam konteks

komunikasi, arah komunikasi mungkin lebih santai dan anak memiliki

kebebasan yang lebih dalam memilih, namun orang tua mereka masih

dapat memberikan beberapa panduan atau arahan secara tidak langsung.

Komunikasi antara orang tua dan anak dapat lebih demokratis, dengan

arah komunikasi yang lebih timbal balik dan dialogika

Dengan menerapkan prinsip-prinsip teori parental mediasi, orang tua dapat

membantu anak mereka mengatasi adiksi game online dan memperbaiki

komunikasi interpersonal yang tidak berjalan dengan baik. Melalui mediasi

yang efektif, orang tua dapat berperan sebagai fasilitator dalam memahami,

mengelola, dan mengurangi dampak negatif adiksi game online pada anak-
anak mereka, serta membangun ikatan yang lebih kuat antara orang tua dan

anak.

Dalam Teori stimulus-respon menyatakan bahwa perilaku seseorang

dipengaruhi oleh rangsangan atau stimulus yang ada di sekitar mereka, dan

perilaku tersebut merupakan respons terhadap stimulus tersebut. Dalam

konteks ini, stimulus yang terlibat merupakan game online yang menjadi

kecanduan anak. Game online memberikan rangsangan yang kuat melalui

fitur-fitur menarik, tantangan, dan interaksi sosial dalam permainan.

Rangsangan ini mendorong anak untuk merespons dengan bermain game

secara berlebihan dan tidak dapat mengendalikan kebiasaan tersebut.

Respons anak dalam hal ini yaitu terus memainkan game online meskipun

mereka menyadari dampak negatifnya dan sudah mendapatkan nasihat dari

orang tua. Mereka merespons stimulus game online dengan dorongan kuat

untuk terus bermain, mencari pelarian, dan mendapatkan kepuasan dalam

aktivitas tersebut. Teori stimulus-respon juga mengaitkan bahwa stimulus

yang terulang secara konsisten cenderung menghasilkan respons yang sama.

Dalam hal ini, jika anak terus menerima stimulus dari game online dan

meresponsnya dengan bermain secara berlebihan, perilaku tersebut dapat

menjadi semakin terkondisi dan sulit untuk diubah.

Dalam menghadapi situasi ini, beberapa orang tua dapat menggunakan

pendekatan yang lebih aktif untuk mengatasi adiksi game anak, seperti

strategi mediasi aktif atau pembatasan yang terarah. Dengan memperhatikan


stimulus game online yang diberikan kepada anak dan memberikan respons

yang sesuai, orang tua dapat membantu mengubah pola stimulus-respon yang

tidak diinginkan dan juga orang tua dapat mempengaruhi stimulus dengan

mengurangi akses anak ke game online atau memberikan alternatif yang lebih

sehat dan menarik sebagai rangsangan pengganti. Dengan memberikan

respons yang tepat seperti dukungan, pengawasan, dan pengarahan, orang tua

dapat membantu mengubah respons anak terhadap stimulus game online,

sehingga anak dapat mengembangkan pola perilaku yang lebih sehat dan

terkendali.

Berikut adalah unsur-unsur stimulus-respon yang dapat diaplikasikan:

a. Stimulus (rangasangan): Stimulus dalam hal ini adalah game online yang

menjadi sumber ketergantungan anak. Game online menawarkan fitur-

fitur menarik seperti tantangan, penghargaan, interaksi sosial, dan

kepuasan instan. Stimulus ini memicu keinginan anak untuk terus bermain.

b. Respons: Respons anak adalah terus memainkan game online meskipun

mereka menyadari dampak negatifnya dan sudah mendapatkan nasihat dari

orang tua. Mereka merespons stimulus game online dengan dorongan kuat

untuk bermain secara berlebihan dan tidak dapat mengendalikan kebiasaan

tersebut.

c. Penguatan (reinforcement): Penguatan atau reinforcement dalam teori

stimulus-respon adalah konsekuensi yang mungkin mendorong atau

memperkuat perilaku yang ditampilkan. Dalam konteks ini, penguatan

dapat berasal dari kepuasan yang diperoleh anak saat bermain game
online, seperti mencapai tingkat tertinggi, memenangkan pertandingan,

atau mendapatkan penghargaan dalam permainan. Penguatan ini

mendorong anak untuk terus memainkan game online.

d. Penghambatan (punishment): Penghambatan atau punishment dalam teori

stimulus-respon adalah konsekuensi yang mungkin menghambat atau

mengurangi perilaku yang ditampilkan. Dalam konteks ini, penghambatan

dapat berupa dampak negatif yang dialami anak, seperti penurunan kinerja

sekolah, kurangnya interaksi sosial di dunia nyata, atau masalah kesehatan

fisik dan mental. Namun, perlu diingat bahwa penghambatan ini mungkin

tidak cukup kuat untuk menghentikan perilaku kecanduan game online.

e. Variabel mediasi: Variabel mediasi adalah faktor-faktor antara stimulus

dan respons yang dapat mempengaruhi hubungan antara keduanya. Dalam

konteks ini, variabel mediasi mungkin termasuk faktor-faktor seperti

kecanduan yang kuat terhadap game online, kurangnya keterampilan

pengelolaan diri, kebutuhan psikologis yang dipenuhi melalui game

online, atau kurangnya alternatif yang memuaskan di luar game online.

Peneliti mengamati salah satu faktor yang dapat memengaruhi respons mereka

adalah penguatan yang diperoleh anak dari bermain game online. Fitur-fitur

menarik dalam game seperti pencapaian, penghargaan, dan interaksi sosial dapat

memberikan kepuasan dan penguatan positif kepada anak. Hal ini mungkin

menjadi faktor yang mempertahankan perilaku kecanduan mereka.

Di sisi lain, faktor penghambatan atau hambatan dalam menghentikan perilaku

kecanduan game online mungkin tidak cukup kuat untuk mendorong anak
mengubah responsnya. Dampak negatif seperti penurunan kinerja sekolah atau

masalah kesehatan mungkin belum mencapai tingkat yang signifikan atau

dirasakan secara langsung oleh anak, sehingga respons mereka tetap bertahan.

Selain itu, faktor variabel mediasi juga perlu diperhatikan. Kecanduan yang kuat

terhadap game online, kurangnya keterampilan pengelolaan diri, kebutuhan

psikologis yang dipenuhi melalui game online, atau kurangnya alternatif yang

memuaskan di luar game online mungkin menjadi faktor yang mempengaruhi

respons anak.

Sebagai peneliti, penting untuk memperhatikan faktor-faktor tersebut dalam

merancang intervensi atau program penanganan adiksi game online. Pendekatan

yang holistik dan berfokus pada pengembangan keterampilan pengelolaan diri,

pengenalan alternatif yang memuaskan, dan pemenuhan kebutuhan psikologis

anak secara sehat dapat membantu mengubah respons mereka terhadap stimulus

game online.

Selain itu, melibatkan orang tua dan memberikan dukungan serta

pemahaman yang mendalam kepada mereka juga penting. Orang tua perlu

memahami bahwa anak mungkin mengalami kesulitan dalam menghentikan

perilaku kecanduan, dan dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang efektif.

Pendekatan yang bersifat kooperatif, pengawasan yang baik, dan pemenuhan

kebutuhan emosional anak dapat membantu memperkuat ikatan antara orang tua

dan anak serta mendukung perubahan respons anak terhadap game online
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam mengatasi

adiksi game online pada anak, komunikasi interpersonal antara orang tua dan

anak memiliki peran yang penting. Teori perental mediation dan teori

stimulus-respon dapat digunakan sebagai dasar dalam memahami dan

mengatasi masalah ini.

Dalam teori perental mediation, terdapat tiga jenis strategi yang dapat

digunakan oleh orang tua: restriksi aktif, mediasi aktif, dan restriksi pasif.

Restriksi aktif melibatkan pembatasan yang tegas terhadap akses anak

terhadap game online. Strategi ini dapat membantu mengurangi waktu yang

dihabiskan untuk game online dan mengalihkan perhatian anak ke aktivitas

lain yang lebih bermanfaat. Namun, perlu diperhatikan bahwa penerapan

restriksi aktif harus dilakukan dengan bijaksana dan disertai dengan

komunikasi yang efektif. Mediasi aktif melibatkan pemahaman yang

mendalam tentang kebutuhan dan motivasi anak serta membangun

komunikasi yang lebih efektif dengan mereka. Strategi ini dapat membantu

orang tua dalam mengubah respons anak terhadap stimulus game online.

Restriksi pasif melibatkan pengawasan yang kurang ketat terhadap aktivitas

game anak, namun tetap memberikan arahan secara tidak langsung.

Komunikasi antara orang tua dan anak dalam strategi ini lebih demokratis.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa dalam konteks stimulus-

respon, stimulus game online menjadi sumber ketergantungan anak. Anak

merespons stimulus tersebut dengan bermain game secara berlebihan dan

tidak dapat mengendalikan kebiasaan tersebut. Fitur-fitur menarik dalam

game seperti pencapaian, penghargaan, dan interaksi sosial memberikan

penguatan positif kepada anak, sehingga mempertahankan perilaku

kecanduan. Faktor-faktor mediasi seperti kecanduan yang kuat terhadap game

online, kurangnya keterampilan pengelolaan diri, kebutuhan psikologis yang

dipenuhi melalui game online, dan kurangnya alternatif yang memuaskan di

luar game juga mempengaruhi respons anak terhadap stimulus.

Untuk mengatasi adiksi game online, diperlukan pendekatan holistik

yang melibatkan pengembangan keterampilan pengelolaan diri, pengenalan

alternatif yang memuaskan, dan pemenuhan kebutuhan psikologis anak secara

sehat. Libatkan orang tua dalam proses ini dengan memberikan dukungan dan

pemahaman yang mendalam kepada mereka. Pendekatan yang kooperatif,

pengawasan yang baik, dan pemenuhan kebutuhan emosional anak juga dapat

memperkuat ikatan antara orang tua dan anak serta mendukung perubahan

respons anak terhadap game online.


B. SARAN

Bedasarkan Uraian dari hasil penelitian ini, maka peneliti menyarankan

sebagai berikut :

1. Orang tua perlu mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang baik

dengan anak mereka. Komunikasi yang efektif melibatkan mendengarkan

dengan empati, menyampaikan informasi dengan jelas dan terbuka, dan

membangun hubungan yang saling percaya. Dengan meningkatkan

kualitas pendekatan dan kemampuan berkomunikasi, orang tua dapat

membantu anak lebih cepat menerima informasi yang disampaikan tentang

bahaya adiksi bermain game online.

2. Sebagai orang tua, jadilah contoh yang baik dalam mengelola penggunaan

teknologi dan waktu luang. Tunjukkan anak bahwa Anda juga memiliki

kegiatan yang bermanfaat dan menarik di luar game online. Terlibatlah

dalam kegiatan keluarga, berinteraksi secara langsung dengan anggota

keluarga, dan hadir untuk anak dalam segala aspek kehidupan mereka. Ini

akan memberikan inspirasi kepada anak untuk mengikuti jejak positif

Anda dan mengurangi ketergantungan mereka pada game online.

3. Cari bantuan profesional jika diperlukan dalam mengatasi adiksi game

online, Konsultasikan dengan psikolog, terapis, atau konselor yang

memiliki pengalaman dalam mengatasi masalah adiksi. Mereka dapat

memberikan dukungan, penilaian, dan strategi pengelolaan yang lebih

khusus sesuai dengan kebutuhan anak.


4. mengatasi adiksi game online membutuhkan waktu dan upaya bersama

antara anak, orang tua, dan lingkungan yang mendukung. Dengan

kesabaran, kesadaran, dan dukungan yang tepat, anak dapat mengatasi

adiksi tersebut dan mengembangkan pola perilaku yang lebih sehat dan

seimbang.

5. Anak perlu berkomitmen untuk mematuhi batasan dan aturan yang

ditetapkan oleh orang tua, termasuk waktu yang diizinkan untuk bermain

game, lokasi dan perangkat yang digunakan, serta tanggung jawab lainnya.

Kesepakatan ini dapat membantu anak membangun disiplin diri dan

bertanggung jawab terhadap perilaku mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Effendy, (2005:5), lmu Komunikasi dalam Teori dan Praktek

Eka Anggraini, Serayu Publishing (2019). Mengatasi kecanduan gadget pada anak.Goggle
Scholar

Gunarsa, (2002). Psikologi untuk membimbing

Haryanto, (2020), Pencegahan Penyalahgunaan Gadget dan Perlindungan Anak pada Siswa
SMAIT Daarul’ Ilmi Bandar Lampung

ibid, (2012:59). komunikasi antar pribadi orangtua dan anak dalam proses pengembangan
bakat dan anak dalam proses pengembangan bakat dan anak dengan profesi
musisi, Melinda Ayu Santosa

Joseph A. DeVito, Komunikasi antarpribadi: konsep dan kajian empiris.

Karina Balgis Prastika, (2012). Pola komunikasi orang tua dengan anak (Studi Deskriptif
Kualitatif Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak yang Pengemis)

Kriswanto, Clara, (2005:9). Keluarga Permata Hatiku. Jakarta: Jagadnita Publishing


Kencana Prenada Media Group.

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya

Onong Uchjana Effendy,(2002:3), Hubungan masyarakat : suatu studi komunikologis

Rakhmawati, Ismah, & Lestari , (2020) Sosialisasi Bahaya Kecanduan Gadget

Shaffer, H. J. (1986). Conceptual crises and the addictions: A philosophy of science


perspective. Journal of Substance Abuse Treatment, 3(4), 285–296. Google
Scholar

Van deursen et al (2015), Modeling habitual and addictive smartphone behavior. The role of
smartphone usage types, emotional intelligence, social stress, self-regulation,
age, and gender

Young (1999), Internet addiction: Symptoms, evaluation and treatment. Innovations in


Clinical Practice, 17, 19-31.

Yusuf, (2001:51). Pola komunikasi orang tua dengan anak remaja dalam berinternet sehat di
surabaya, Mila Fajarwati
Sanderowitz, J. & Paxman, J.M.,“Adolescent Fertility: Worldwide concerns”. Population
Bulletin. Vol. 40, No. 2, April 1985
Yulia Singgih D. Gunarsa, “Perkembangan Remaja” dalam Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, dalam H. Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Grasindo,
Jakarta, 2001, hlm.271.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.24-
25
Hidjanto, Djamal, Andi Fachrudin, Dasar-Dasar Penyiaran: Sejarah, Organisasi,
Operasional dan Regulasi, Jakarta: Kencana,2011, h.69.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remajarosdakarya, 2005). h. 134
"Parenting dengan Metode Mediasi: Membangun Komunikasi Efektif dengan Anak" oleh
Dwina Fitriyani (2016).
Nini Sugiarti (2017Mediasi Orang Tua dalam Pembentukan Karakter Anak
Sutanto Hardjolukito (2013).Teori Stimulus-Respon dalam Psikologi
Heru Harjo Sudibyo (2019)Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Stimulus-Respon
L

N
Wawancara bersama orang tua dan anak AM

Wawancara bersama orang tua dan MR


Wawancara bersama orang tua dan BS

Wawancara bersama orang tua dan RS


Wawancara bersama orang tua dan AF
Surat izin penelitian dari kampus
Surat izin penelitian dari kantor gubernur sulawesi selatan

Anda mungkin juga menyukai