Anda di halaman 1dari 17

Makalah Perilaku Individu dan Kelompok

dalam Organisasi
Mei 05, 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai perilaku organisasi berarti membahas tentang perilaku
manusia. Manusia adalah pendukung utama setiap organisasi apapun bentuknya.
Perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok atau organisasi adalah awal dari
perilaku organisasi itu. Kelompok merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tiap
hari manusia akan terlibat dalam aktivitas kelompok. Demikian pula kelompok
merupakan bagian dari kehidupan organisasi. Pada umumnya manusia yang menjadi
anggota dari suatu organisasi besar atau kecil adalah sangat kuat kecenderungannya
untuk mencari keakraban dalam kelompok-kelompok tertentu. Dimulai dari adanya
kesamaan tugas pekerjaan yang dilakukan, kedekatan tempat kerja, seringnya
berjumpa, adanya kesamaan kesenangan bersama, maka timbullah kedekatan satu
sama lain. Mulailah mereka berkelompok dalam organisasi.
Perilaku di dalam organisasi berasal dari dua sumber yaitu individu dan
kelompok. Perilaku kelompok adalah semua kegiatan yang dilakukan dua atau lebih
manusia yang berinteraksi dan saling mempengaruhi dan saling bergantung untuk
menghasilkan prestasi yang positif baik untuk jangka panjang dan pertumbuhan diri.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya. Sepanjang
kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok manusia
lainnya. Karena hal itu dikatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial karena
memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain. Hal-hal yang
dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk pekerjaan yang diinginkan
merupakan unsur sebuah budaya. Maka, aspek sosial ditinjau dari hubungan
antarindividu, antar masyarakat serta aspek budaya ditinjau dari proses pendidikan
manusia tersebut melalui materi yang di pelajari, cara belajarnya, bagaimana gaya
belajarnya, bentuk- bentuk belajar serta pengajaranya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh
tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi
dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan yang
dilakukan secara bertahap berkesinambungan di semua lingkungan yang saling
mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat) unsur sosial merupakan aspek
individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir. Langeveld mengatakan “setiap
bayi yang lahir dikaruani potensi sosialitas atau kemampuan untuk bergaul, saling
berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan saling
menerima”. Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari, saat terjadi
interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang lain atau individu dengan
kelompok, serta antar kelompok.
Berbicara tentang pendidikan tentunya tidak hanya sebatas proses yang terjadi di
dalam lembaga sekolah semata, tetapi dalam skala yang lebih luas sekolah sebagai
lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses
pemberdayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui apabila
kita menempatkannya dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat.
Pendidikan dalam konteks di atas (kebudayaan) meliputi masalah-masalah yang
pelik seperti konsep kekuasaan (power). Sebab, pada hakikatnya kebudayaan
mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, yang berati hakikatnya
juga mempertahankan kekuasaan tertentu.
Dengan kondisi yang demikian, ketika pendidikan sudah menjadi bagian dari
kepentingan kekuasaan, maka tujuan dari pendidikan pun akan menjadi tidak jelas,
kalau boleh dikatakan tak ubah seperti layangan putus, yang tidak tahu kemana arah
angin akan membawanya, jangankan ingin memberi angin segar bagi
keberlangsungan suatu bangsa, pendidikan yang demikian justru hanya akan menjadi
agen kepentingan elit politik, yang pada gilirannya tidak mustahil menjadi bom yang
siap memporakporandakan bangsa ini. Oleh karenanya, pendidikan sebagai bentuk
pelaksanaan konsep kekuasaan Negara perlu dirumuskan peranannya agar terdapat
keseimbangan antara kebebasan individu serta keterikatan individu sebagai warga
negara dalam wadah persatuan Indonesia. Sebab, proses pendidikan yang sebenarnya
adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik kesadaran
akan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.
Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan menjelaskan tentang perilaku
individu dan kelompok dalam organisasi serta kekuasaan dan politik dalam lembaga
pendidikan.

B. Permasalahan
1. Bagaimana perilaku individu dalam oganisasi?
2. Bagaimana perilaku kelompok dalam organisasi?
3. Bagaimana perilaku organisasi yang dapat diperankan kepala sekolah sebagai
pimpinan pendidikan?
4. Bagaimana kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami perilaku individu dalam organisasi.
2. Untuk mengetahui dan memahami perilaku kelompok dalam organisasi.
3. Untuk mengetahui dan memahami perilaku organisasi yang dapat diperankan kepala
sekolah sebagai pimpinan pendidikan.
4. Untuk mengetahui dan memahami kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan.
BAB II
PERILAKU INDIVIDU DAN KELOMPOK DALAM ORGANISASI SERTA
KEKUASAAN DAN POLITIK DALAM
LEMBAGA PENDIDIKAN

1. Perilaku Individu dalam Organisasi


A. Pengertian Perilaku Individu
Menurut kamus bahasa Indonesia, individu adalah pribadi orang, seorang,
organisme yang hidupnya sendiri.[1] Sedangkan perilaku adalah tingkah laku,
tanggapan seseorang terhadap lingkungan. Jadi, Perilaku individu adalah perilaku
seseorang sehari-hari di dalam kehidupannya. Faktor yang mempengaruhi perilaku
individu adalah kepribadian, persepsi, sikap, kemampuan dan keterampilan, latar
belakang keluarga, biografis, pengalaman dan kapasitas belajar.
Organisasi adalah sistem kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan
bersama.[2] Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu
mempunyai karakteristik pula. Adapun karakteristik yang dipunyai organisasi
antaranya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan,
tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system),
sistem pengendalian dan lain sebagainya.
Perilaku individu dalam organisasi adalah bentuk interaksi antara karakteristik
individu dengan karakteristik organisasi. Setiap individu dalam organisasi, semuanya
akan berperilaku berbeda satu sama lain, dan perilakunya adalah ditentukan oleh
masing-masing lingkungannya yang memang berbeda.
Perilaku individu juga dapat dipahami dengan mempelajari karakteristik individu.
Menurut Nimran, karakteristik yang melekat pada individu terdiri dari ciri-ciri
biografis, kepribadian, kemampuan, persepsi dan sikap. Berikut adalah penjelasan
dari masing-masing karakteristik tersebut.
1) Ciri-ciri biografis, yaitu ciri -ciri yang melekat pada individu. Antara lain.
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Status perkawinan
d. Jumlah atau banyaknya tanggungan
e. Masa kerja
2) Kepribadian
kepribadian sebagai pengorganisasian yang dinamis dari sistem psikofisik dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian diri dengan lingkungannya” dia
menambahkan bahwa kepribadian sebagai keseluruhan cara bagaimana individu
beraksi dan berinteraksi dengan orang lain.
3) Kemampuan
Kemampuan adalah kapasitas seseorang untuk melaksanakan beberapa kegiatan
dalam satu pekerjaan. Kategori kemampuan dikelompokkan menjadi dua yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
4) Persepsi
Persepsi sebagai suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan,
dan menafsirkan stimulus lingkungan. Dia menambahkan bahwa ada sejumlah faktor
yang mempengaruhi persepsi.
5) Sikap (Attitude)
Sikap merupakan suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis
tindakan padasituasi yang tepat.[3] Sikap merupakan satu faktor yang harus dipahami
agar dapat memahami perilaku orang lain. Dengan saling memahami individu maka
organisasi akan dapat dikelola dengan baik.

B. Memahami Perilaku Manusia


Menurut Thoha, perbedaan perilaku manusia beberapa aspek mendasar sebagai
berikut:
1. Manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak sama. Berbagai pendapat
menjelaskan penyebab perbedaan ini seperti ada yang beranggapan karena disebabkan
sejak lahir manusia ditakdirkan tidak sama kemampuannya, ada yang mengatakan
karena perbedaan dalam kemampuan menyerap informasi dari suatu gejala, ada yang
beranggapan karena kombinasi diantara keduanya.[4]
2. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda. Perilaku umumnya didorong oleh
serangkaian kebutuhan, yaitu beberapa pernyataan dalam diri seseorang (internal
state) yang menyebabkan seseorang itu berbuat untuk mencapainya sebagai objek
atau hasil. Orang berpikir tentang masa depan, dan membuat pilihan tentang
bagaimana bertindak.

C. Kinerja Individu
Perilaku individu dapat dipengaruhi oleh effort (usaha), ability (kemampuan) dan
situasi lingkungan.
1. Effort
Usaha individu diwujudkan dalam bentuk motivasi. Motivasi adalah suatu proses
untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang
mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.[5]
2. Ability
Ability seorang individu diwujudkan dalam bentuk kompeten. Individu yang
kompeten memiliki pengetahuan dan keahlian. Sejak dilahirkan setiap individu
dianugerahi Tuhan dengan bakat dan kemampuan. Bakat adalah kecerdasan alami
yang bersifat bawaan. Kemampuan adalah kecerdasan individu yang diperoleh
malalui belajar.

2. Perilaku Kelompok dalam Organisasi


A. Pengertian Perilaku Kelompok
Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya.[6] Sedangkan kelompok merupakan dua individu atau lebih yang
berinteraksi dan saling bergantung, bergabung untuk mencapai sasaran
tertentu. Perilaku adalah semua yang dilakukan seseorang. Bentuk perilaku seseorang
adalah semua yang aktifitas, perbuatan dan penampilan diri sepanjang hidupnya.
Bentuk perilaku manusia adalah aktifitas individu dengan relasinya dalam
lingkungannya.
Jadi, definisi dari pengertian perilaku kelompok adalah suatu aktifitas yang
dilakukakan oleh seorang individu dengan yang lainnya untuk mendapatkan aspirasi
anggota, berinteraksi dari setiap individu dan saling bergabung untuk mencapai
sasaran yang diinginkan.

B. Bentuk-bentuk Kelompok
Kelompok dapat berbentuk kelompok formal (formal group), ataupun merupakan
kelompok informal (informal group). Kelompok formal dibentuk organisasi,
sedangkan kelompok informal dibentuk oleh sekumpulan orang yang mempunyai
kepentingan bersama.
Kelompok formal (formal group) dapat diartikan sebagai kelompok yang
diciptakan oleh keputusan manajerial untuk mencapai tujuan organisasi. Kelompok ini
terdiri dari kelompok komando dan kelompok tugas. Kelompok komando (command
group) yaitu adanya rantai komando dari pimpinan ke yang dipimpin, maka perintah
pemimpin haruslah dikerjakan. Sedangkan kelompok tugas (task group) bersifat
komunal dan kebersamaan dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama.
[7]
Kelompok informal (informal group) terbentuk secara alamiah dalam lingkungan
kerja yang muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan akan kontak sosial. Tipe
interaksi diantara individu secara informal sangat mempengaruhi perilaku dan kinerja
mereka.
Kelompok informal dibagi menjadi dua, yaitu kelompok minat dan kelompok
persahabatan. Kelompok minat (interest group) yaitu beberapa individu sengaja
berkelompok karena mempunyai kesamaan minat dan kepentingan. Sedangkan
kelompok persahabatan (friendship group) yaitu beberapa individu berkelompok
karena terdapat kecocokan dan itu menimbulkan kesenangan dan kegembiraan
sehingga mendorong orang untuk mengulangi dengan membuat kelompok.

C. Tahap-tahap Perkembangan Kelompok


Pengembangan kelompok bisa berjalan dalam dua arah positif dan negatif. Kita
mempelajari perilaku kelompok ini dengan tujuan untuk dapat mengembangkan
kelompok ke arah yang positif dan menghindari arah pengembangan yang negatif.[8]
Pengembangan kelompok juga dalam mendirikan dan membesarkan kelompok,
ada lima tahap pengembangan yang dikemukakan oleh Bruce W. Tuckman, dalam
jurnal Pycological Bulletin, June 1965, yaitu:
a. Tahap Forming (pembentukan)
b. Tahap Storming (keributan)
c. Tahap Norming (pengaturan norma)
d. Tahap Performing (melaksanakan)
e. Tahap Adjourning (pengakhiran)

3. Perilaku Organisasi Pendidikan


A. Tujuan dan Fokus Perilaku Organisasi
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Kajian perilaku organisasi
berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok.
Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena
membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu
mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu
memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-
faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer
meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini
membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan
kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi
menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok.
Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif
merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Dalam bidang manajemen pendidikan, kajian tentang perilaku organisasi telah
lama menjadi perhatian para pakar terutama karena organisasi pendidikan dicirikan
oleh keterlibatan sejumlah besar manusia, mulai dari tenaga kependidikan, pendidik,
siswa, orangtua dan masyarakat. Dengan kompleksitas itu pemahaman terhadap ilmu
perilaku organisasi merupakan suatu hal yang penting khususnya bagi pengelola
dalam meningkatkan kinerja organisasi pendidikan.
Perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi, yaitu
individu, kelompok, dan struktur atau organisasi. Singkatnya, perilaku organisasi
merupakan kajian terhadap apa yang dilakukan orang dalam organisasi dan
bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi tersebut.

B. Pendekatan Antardisiplin dalam Perilaku Organisasi


Menurut Robbins, perilaku organisasi merupakan ilmu terapan yang dibangun
dengan dukungan sejumlah disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial,
antropologi, dan ilmu politik. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha
mengukur, menjelaskan, dan mengubah perilaku manusia. Sumbangan terpenting dari
ilmu psikologi terhadap perilaku organisasi adalah kajian tentang pembelajaran,
motivasi, kepribadian, persepsi, pelatihan, keefektifan kepemimpinan, kepuasan kerja,
pengambilan keputusan individu, penilaian kinerja, pengukuran sikap, seleksi
karyawan, disain kerja, dan stres kerja. Sumbangan terpenting psikologi terhadap
perilaku organisasi terutama berkaitan dengan tiga hal, yaitu motivasi, keefektifan
kepemimpinan, dan stres kerja. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang
menggerakkan individu.
Dalam bidang pendidikan, motivasi menjadi kajian yang lebih kompleks lagi
karena berkaitan dengan beragamnya status manusia di dalamnya seperti guru, siswa,
kepala sekolah, dan personil lainnya.

C. Efektifitas Kepemimpinan
Efektifitas kepemimpinan menjadi salah satu tanggung jawab perilaku organisasi.
Kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang untuk menggerakkan orang
lain dengan memimpin, membimbing, memengaruhi orang lain, untuk melakukan
sesuatu agar dicapai hasil yang diharapkan.[9]
Kata “sadar” menunjukkan bahwa kepemimpinan didasarkan oleh kerelaan dan
bukan paksaan. Hal ini berbeda dengan kekuasaan yang diterima sebagai suatu
keterpaksaan. Pengakuan terhadap pentingnya variabel kepemimpinan dalam
organisasi telah menjadi dasar analisis para ahli dari berbagai kalangan. Dari analisis
itu terungkap pentingnya strategi kepemimpinan yang dirumuskan dalam berbagai
bentuk perilaku kepemimpinan yang efektif. Teori kepemimpinan perilaku yang
sudah lama dikenal misalnya, memandang kepemimpinan yang efektif (yang
mendorong kinerja bawahan) adalah kepemimpinan yang memperhatikan dua aspek
secara bersamaan: orientasi terhadap tugas dan orientasi terhadap manusia. Orientasi
terhadap tugas melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang
jelas dan sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia melahirkan
kepemimpinan kesejawatan; kemauan pemimpin mendengarkan suara hati bawahan,
memanusiakan bawahan dan mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek
kehidupan organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan
partisipatif meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada gilirannya
meningkatkan kinerja mereka.

D. Kepemimpinan Kepala Sekolah


Kepemimpinan menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pimpinan
dengan bawahan sehingga kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin
diimplementasikan dalam bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan.
Pola interaksi biasanya diawali dengan upaya memengaruhi bawahan agar mereka
mau digerakkan sesuai dengan tujuan organisasi.[10]
Sedangkan Wiles dan Bondi (1986) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “a
power relationship: the leader is percieved as having the right to prescribe behavior
patterns for other. Sources of power include referent power (liking), expert power,
coercive power and legitimate (authority), power”.
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan
manajemen menjadi menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah
memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah,
yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan
adminstratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu
menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang
terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun
manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral. Sebagai
suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh
kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah
itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah
berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin
terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut,
kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Kepala sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa
kehadiran kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan
berjalan efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang menjalankan perannya dalam
memimpin sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ia berperan sebagai pemimpin
pendidikan.[11]

4. Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga Pendidikan


A. Konsep-konsep Kekuasaan
Masalah kekuasaan merupakan fenomena yang sangat menarik khususnya bagi
masyarakat modern. Selain hampir seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh
pengaruh kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri dalam arti ingin menguasai sesuatu
merupakan sifat dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kekuasaan mungkin
hanya diidentikkan dengan kekuasaan politik, padahal itu hanya sebahagian dari apa
yang disebut kekuasaan sosial (social Power).
Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan
dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya
terhadap alam. Dalam pengertian yang lain, kekuasaan merupakan kemampuan
manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Disini dapat kita lihat bahwa
kekuasaan merupakan suatu hal yang hakiki bagi manusia dalam arti menyimpan dan
menggunakan energi yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang lain dari
lainnya.
Arthur Schopenhauer, menjelaskan tentang arti kekuasaan dari segi kemanusiaan,
menurutnya sumber kekuasaan tidaklah datang dari kekuatan yang transenden,
meliankan berada dalam diri manusia, yaitu kehendak (will). Tambahnya, hanya ada
satu kebenaran yang pasti di balik kenyataan, yaitu berbagai pertarungan yang terus
menerus, yang penuh gairah dari kehendak manusia, yang kehendak tersebut sangat
sulit untuk dihindari. Falsafah Schopenhauer ini selanjutnya mempengaruhi
Nietzsche, ia berpendapat bahwa dari berbagai macam kehendak yang paling
menentukan adalah kehendak berkuasa (the will to power).
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa kekuasan merupakan
karakter khas manusia untuk bisa berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam
proses interaksinya terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat
menaikkan kelas manusia tersebut untuk bisa mendominasi.

B. Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan


Ketika membicarakan hubungan kekuasaan dan pendidikan, maka asumsi yang
banyak berkembang bahwa keduanya merupakan bagian yang terpisah, dan tidak
memiliki hubungan satu sama lainnya, padahal keduanya (kekuasaan dan pendidikan)
merupakan dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik
Negara berkembang maupun Negara maju. Keduanya bahu membahu dalam proses
pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Ada hubungan erat dan
dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara, keduanya merupkan sumber
transformasi sosial dalam masyarakat modern.
Pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata memiliki konotasi yang
berbeda dengan pengertian kekuasaan yang kita lihat sehari-hari. Jenis kekuasaan
tersebut dapat kita bedakan menjadi kekuasaan yang transformative dan kekuasaan
yang berfungsi sebagai transmitif.[12]
Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih bayak
mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan
kekuasaan. Setidaknya ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan
pendidikan berdasarkan kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
1. Proses Domestifikasi dan Stupidikasi
Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam
pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta
didik menjadi menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan
menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang
dilakukan oleh para penguasa.
2. Indoktrinasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk
bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum.
Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya
berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga
pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. Melalui kurikulum inilah
proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada
terjadi. Dengan kondisi yang demikian, maka apa yang terjadi dalam proses
pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransferkan ilmu pengetahuan secara
paksa.
3. Demokrasi
Inti dari pendidikan demokrasi ialah manusia yang bebas, yaitu seseorang yang
menghadapi masalah-masalah hidup yang penuh problematic dengan alternatif-
alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi
yang terbaik. Dari sini jelas bahwa tuntutan dari demokratis yaitu adanya
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapkan kepada seseorang.
Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan
suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis
kungkungan.
4. Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan capital budaya yang sangat ampuh oleh suatu
masyarakat dalam melanjutkan kehidupannya. Masyarakat yang ketiadaan capital
budaya akan sangat rentan kepada disintegrasi pada waktu mengalami krisis. Kita bisa
lihat bagaimana Negara-negara di Asia tenggara ketika menghadapi krisis tahun 1997,
akibat kurangnya capital budaya tidak kuat menahan krisis sehingga berakibat
keterpurukan yang berlarut seperti di Indonesia. Pengalaman ini kiranya cukup
mengajarkan betapa pentingnya kekuasaan yang berakar dari bawah (grass-root) atau
yang berdasarkan kepada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Iniah
yang disebut tribalisme positif, yang merupakan kekuatan yang mengikat dari suatu
masyarakat.
Integrasi sosial hanya dapat ditumbuhkan dari bawah, dari pendekatan
multikulturalisme dalam pengembangan budaya dan pengembangan pendidikan.
Sumber kekuasaan bukan berasal dari atas tetapi yang tumbuh dari bawah/masyarakat
adat. Kekuasaan yang datang dari atas hanya akan mematikan budaya dan
menghasilkan budaya yang cendrung kepada uniformisme dan menghilangkan budaya
local yang justru merupakan kekuatan dari kebudayaan itu sendiri.
Dari penjelasan diatas tentang hubungan pendidikan dan kekuasaan termasuk
masalah-masalah yang ada di dalamnya, maka dapat kita catat beberapa hal
penting. Pertama, proses pendidikan menghasilkan manusia yang bebas, yang
mempunyai akal budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis dan
kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Kedua,
kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang terbatas tetapi sekaligus pula
bebas untuk dikembangkan oleh individu-individu dalam mengembangkan
individunya sendiri melalui partisipasi antara sesamanya dalam lingkungan
kebudayaan.
Selanjutnya, pendidikan sering juga dijadikan media dan wadah untuk
menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di
Negara–negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai
oleh Plato dalam bukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan
institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang
berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek
pendidikan senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya,
setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.

C. Peran Negara dalam Pembangunan Pendidikan


Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan
individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang
pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-
program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan
sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Untuk memastikan
terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat
ketat terhadap program-program pendidikan tersebut. Akan tetapi, campur tangan dari
pemerintah tidak selamanya berdampak positif bagi penyelenggaraan pendidikan,
kekuasaan pemerintah dalam manajemen pendidikan nasional harusnya tidak sampai
melampaui batas yang dapat melanggar hak asasi manusia.
Kekuasaan politik secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem
pendidikan dengan bentuk “hidden curriculum”, yang tanpa disadari suatu sistem
pendidikan telah menjalankan berbagai macam kepentingan para penguasa.
Karenanya dalam reformasi pendidikan dewasa ini dikembangkan kesadaran
masyarakat dan peserta didik terhadap adanya hidden curriculum dibalik kurikulum
sistem pendidikan. Selanjutnya, terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan
secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan
perspektif studi cultural.
1. Perspektif Mikro
Dalam perspektif mikro, yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam
proses belajar mengajar. Peserta didik dalam proses belajar berkaitan dengan tujuan
pendidikan, metodologi, dan evaluasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut
didukung oleh sistem internal, yaitu; 1) pembuat kebijakan, 2) manajemen dan
3) service. Selanjutnya, keseluruhan sistem tersebut didukung oleh sistem eksternal,
yaitu; 1) budaya, 2) kekuatan politik dan 3) kondisi ekonomi.
Dalam pandangan mikro ini masing-masing komponen mempunyai
permsalahannya sendiri dalam pengembangannya. Negera dapat berbuat sesuatu atau
melakukan intervensi dalam perumusan tujuan, penentuan metodologi dan cara
evaluasi pembelajaran. Keseluruhan upaya Negara tersebut tergantung kepada
pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, sistem manajemen yang digunakan,
serta service pendidikan yang diberikan dengan bantuan Negara. Keseluruhannya
juga tergantung kepada budaya masyarakat untuk menopang dan berkomitmen atas
terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
2. Perspektif Studi Kultural
Dalam perspektif studi cultural, sistem pendidikan merupakan bagian yang
terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhun.
[13]
Dalam hal ini, antara Negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi
dalam sistem kekuasaan. Peran Negara dalam perspektif ini dapat bersifat positif
apabila lembaga-lembaga pendidikan juga mempunyai control terhadap pelaksanaan
kekuasaan Negara.
Lembaga pendidikan dalam perspektif ini bukanlah merupakan kepanjangan
tangan dari kekuasaan Negara, melainkan sebagai partner dari Negara dalam
melaksanakan kekuasaannya. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh dalam
metodologi pendidikan, dalam manajemen dan service pendidikan terhadap rakyat
banyak.
Dengan melihat dua perspektif sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat kita
uraikan berbagai peranan Negara terkait pendidikan. Secara garis besar peranan
tersebut adalah:
1) Pemerataan pendidikan. Jika pada masa lalu pemerataan pendidikan berorientasi
kepada target, maka hari ini dan masa depan haruslah diarahkan kepada kualitas.
2) Kualitas. Jika pada masa lalu kualitas dicapai dengan evaluasi dan standarisasi semu
melalui tujuan terpusat dan kurikulum baku secara nasional, maka hari ini dan
kedepan kualitas utama yang ingin dicapai ialah yang tertinggi sesuai kebutuhan dan
kondisi daerah.
3) Proses pendidikan. Pada masa lalu proses pendidikan tidaklah dipertimbangkan.
4) Metodologi. Pada masa lalu metodologi adalah indiktrinasi sedangkan pada masa
depan metodologi yang efektif adalah dialog.
5) Manajemen. Pada masa lalu manajemen dipegang oleh Negara dengan birokrasinya
yang memegang, pada masa depan manajemen terpusat pada institusi sekolah.
6) Pelaksanaan service pendidikan. Pada masa lalu Negara adalah pelaku utama. Pada
masa depan pemerintah sebagai partner yang cukup memberikan arah.
7) Perkembangan demokrasi. Pada masa lalu Negara menentukan bingkai dalam
berdemokrasi dan terbatas pada prosedur. Pada masa depan Negara mengarahkan
perubahan tingkah laku yang demokratis.
8) Perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa lalu bukan merupakan suatu
bahan pertimbangan dalam penyususnan kurikulum.
9) Perkembangan nilai moral dan agama. Pada masa lalu ditentukan oleh Negara dalam
kurikulum yang terpusat. Pada masa depan berakar dari kebudayaan dan agama
setempat.
10) Nasionalisme. Pada masa lalu pemaksaan dari atas dan bersifat formalistik dan
mengabaikan identitas daerah. Pada masa depan pendidikan multikulturalisme
menjadi sangat relevan untuk dikembangkan.
11) Pendanaan. Pada masa lalu seluruhnya ditaggung oleh Negara. Dana sebagai alat
pelestarian kekuasaan pemerintah. Pada masa depan Negara menggunakan dana
secara selektif sebagai sarana intervensi pemerataan pendidikan, kualitas.
12) Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun. Pada masa lalu ditentukan secara terpusat oleh
pemerintah pusat. Pada masa depan pelaksanaan wajib belajar sesuai dengan kondisi
dan kemampuan daerah dan dapat dilaksanakan secara bertahap.
Demikianlah secara garis besar peranan Negara dalam pendidikan yang berubah
fungsinya dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Kemauan politik telah ada
dengan amandemen UUD mengenai pendidikan. Dari segi teknis, diperlukan
penelitian-penelitian akuntabilitas yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai
justifikasi pengalokasian dana nasional dan daerah maupun dana dari masyarakat.
Dimasa lalu apropriasi dana kebanyakan didasarkan atas asumsi dan conjectures
sehingga cendrung semata-mata kearah pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas
anggaran Negara harus ditopang oleh riset yang terus menerus dan ekstensif.

D. Politik Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Pendidikan adalah suatu
tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan-
hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-
hubungan dan peranan-peranan individu yang menentukan watak pendidikan di suatu
masyarakat.
Jika politik dipahami sebagai “praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas dalam
masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi
sumberdaya dan nilai- nilai sosial”. Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah
sebuah bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga
pendidikan. Bahkan menurut Baldridge, lembaga-lembaga pendidikan dipandang
sebagai sistem politik mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sistem
politik.
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling
berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu
mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada
kaitanya dengan aspek- aspek kependidikan.[14]

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Perilaku organisasi berupaya
mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku individu atau kelompok.
Pertama, penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal
penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran
lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja
tersebut.
Kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi
kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab
munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-
akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan
pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Ketiga, yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi
menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok.
Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif
merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Berhasil atau tidaknya organisasi mencapai visi dan misinya juga dipengaruhi
oleh perilaku kepemimpinan dalam organisasi seperti “membuat keputusan,
menetapkan sasaran, memilih dan mengembangkan personalia, mengadakan
komunikasi, memberikan motivasi, dan mengawasi pelaksanaan manajemen”.
Kemudian, pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya
dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-
jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu
yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat. Politik adalah bagian dari
paket kehidupan lembaga- lembaga pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa
pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung unsur- unsur politik,
begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitanya dengan aspek- aspek
kependidikan.
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya
dengan aspek–aspek kependidikan. Terkait peran Negara terhadap proses pendidikan
secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan
perspektif studi cultural. Dalam perspektif mikro yang dijadikan pusat perhatian ialah
peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dalam perspektif studi cultural, sistem
pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik dan
ekonomi sebagai suatu keutuhan.

B. Kritik dan Saran


Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas
selesainya makalah Organisasi Kepemimpinan Pendidikan tentang Perilaku Individu
dan Kelompok dalam Organisasi serta Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga
Pendidikan ini. Namun, dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami
sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan
dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat
kami perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu
pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi ke arah yang
lebih baik dan semoga makalah kami ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Idochi. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Jakarta:


Rajawali Pers.

Badrudin. 2015. Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Danim, Sudarwan dan Khairil. 2010. Psikologi Pendidikan: Dalam Perspektif Baru.
Bandung: Penerbit Alfabeta.

Djaali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Fida. 2011. Aspek-aspek Sosial dalam Pendidikan.


Palembang: http://pandidikan.blogspot.co.id/2011/04/aspek-aspek-sosial-dalam-
pendidikan.html. diakses pada tanggal 1 April 2016 pukul 19.00.

Maulana, Rizky. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Lima Bintang.

Nawawi, Hadari. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT Gunung Agung.

Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Suharsaputra, Uhar. 2013. Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Sutrisno, Edy. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana.

Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesia Tera.

Wahjono, Sentot Imam. 2010. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai