Anda di halaman 1dari 53

Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia

DISUSUN OLEH:

Disusun Oleh:

KELOMPOK 6 KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KLIEN LANSIA

RIRIN SYAFBRINA 2214201160

MEYSA PUTRI 2214201143

FANNISHAH LATIFAH ZAHARA 2214201134

WIWIN WULANDARI 2214201180

MICKY CANDRA 2214201144

WAHYUNI ADELA PUTRI 2214201176

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Diana Arianti, M.Kep

S1 KEPERAWATAN

STIKES ALIFAH PADANG 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
bejudul “Komunikasi Terapeutik Pada Klien Lansia” ini dengan baik.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Komunikasi Terapeutik
Keperawatan, dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih terutama
kepada Ibuk Ns. Diana Arianti, M.Kep. selaku pembimbing yang telah memberikan
bantuan,masukan,dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Oktober 2023

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 4


1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
1.3. Tujuan Masalah ............................................................................................ 5

BAB 2 : LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Komunikasi Terapeutik pada Lansia .............................................. 6


2.2 Prinsip Komunikasi Terapeutik pada Klien Lansia ..................................... 7
2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik Klien Lansia .............................................. 8
2.4 Strategi Komunikasi pada Klien Lansia ....................................................... 9
2.5 Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia .......................................... 11
2.6 Konsep Dasar Keperawatan Gerontik .......................................................... 15
2.7 Contoh Dialoq RolePlay Komunikasi Terapeutik pada Lansia ................... 17
2.8 Pembahasan Kasus dalam Penerapan Komunikasi Terapeutik pada Lansia 21

BAB 3 : PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................... 25
3.2 Saran ............................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, demi kelangsungan hidup kita
sendiri, yang mencakup keamanan fisik, peningkatan kesadaran pribadi, ekspresi diri kepada
orang lain, dan mewujudkan ambisi pribadi. Kedua, demi kelangsungan hidup masyarakat,
tepatnya untuk meningkatkan hubungan sosial dan mengembangkan eksistensi suatu
masyarakat.

Semakin tua seseorang semakin rentan pula kesehatannya. Terdapat banyak bukti
bahwa kesehatan optimal pasien lanjut usia, atau selanjutnya disebut pasien geriatri, tidak
hanya bergantung pada kebutuhan biomedis mereka tetapi juga pada kondisi di sekitar
mereka, misalnya perhatian yang lebih besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
bahkan kondisi psikologis. Meskipun seperti kita ketahui pelayanan kesehatan mengalami
kemajuan yang signifikan dari waktu ke waktu bagi pasien lanjut usia, namun pada akhirnya
mereka tetap memerlukan komunikasi dan empati yang baik serta perawatan yang memadai
dari berbagai pihak, terutama dari keluarga, sebagai elemen penting dalam perawatan
masalah kesehatan. Purwaningsih dan Karlina (2012) menyatakan bahwa hubungan
memberi dan menerima antara perawat dan pasien di bagian keperawatan disebut
komunikasi keperawatan terapeutik, yaitu komunikasi keperawatan profesional. Komunikasi
terapeutik penting dan bermanfaat bagi pasien karena komunikasi yang baik dapat membantu
memahami perilaku pasien dan membantunya mengatasi masalah yang dihadapinya (Utami,
2015, dan Prasanti, 2017).

Proporsi penduduk lanjut usia meningkat dibandingkan penduduk muda. Laju


pertumbuhan penduduk lanjut usia di Indonesia dinilai tercepat di dunia. Jumlah penduduk
lanjut usia saat ini sekitar 16 juta jiwa dan akan mencapai 25,5 juta jiwa pada tahun 2020
atau setara dengan 11,37% total penduduk. Artinya, jumlah penduduk lanjut usia di india
menduduki peringkat keempat dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Terdapat
banyak bukti bahwa kesehatan optimal pasien lanjut usia tidak hanya bergantung pada
kebutuhan biomedis tetapi juga pada perawatan yang diberikan kepada lansia. terhadap
kondisi ekonomi, sosial, budaya dan psikologis pasien. Meskipun pelayanan medis terhadap
pasien lanjut usia cukup baik, namun tetap memerlukan komunikasi dan empati yang baik
sebagai bagian penting dalam penanganan permasalahan kesehatannya. Komunikasi yang
baik ini akan membantu dalam membatasi perilaku fungsional, sosial, ekonomi, dan
emosional pasien lanjut usia yang tidak stabil. Penderita demensia mungkin mengalami
kesulitan memahami apa yang orang lain katakan atau katakan apa yang dipikirkan dan
diinginkan pasien. Hal ini membuat pasien dan perawat sangat frustrasi dan bingung. Oleh
karena itu, perawat harus memfasilitasi komunikasi yang mudah dimengerti klien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka akar masalah yang dapat dirumuskan adalah

a) Bagaimana konsep komunikasi terapeutik pada lansia?


b) Bagaiamana prinsip komunikasi terapeutik pada klien lansia?
c) Bagaimana teknik komunikasi terapi pada klien lansia?
d) Bagaimana strategi komunikasi pada klien lansia?
e) Bagaimana menganilisa hambatan komunikasi terapeutik pada lansia?
f) Bagaimana konsep dasar keperawatan gerontik?
g) Bagaimana contoh dialoq roleplay komunikasi terapeutik pada lansia?
h) Bagaimana pembahasan kasus dalam penerapan komunikasi terapeutik pada lansia?

1.3 Tujuan Masalah

Tujuan komunikasi terapeutik rohaniawan pada pelayanan spiritual pasien gangguan jiwa
yaitu:

a) Untuk mengetahui konsep komunikasi terapeutik pada lansia.


b) Untuk mengetahui prinsip komunikasi terapeutik pada klien lansia.
c) Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik klien lansia
d) Untuk mengetahui strategi komunikasi pada klien lansia
e) Untuk menganalisa hambatan komunikasi terapeutik pada lansia
f) Untuk mengetahui konsep dasar keperawatan gerontic
g) Untuk mengetahui bagaimana contoh dialoq roleplay komunikasi terapeutik pada
lansia
h) Untuk mengetahui pembahasan kasus dalam penerapan komunikasi terapeutik pada
lansia.
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Komunikasi Terapeutik pada Lansia

Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi Terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan


dan kegiatannya terfokus pada kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan
hubungan kolaboratif yang ditandai dengan pertukaran perilaku, emosi, pikiran, dan
pengalaman dalam membangun hubungan terapeutik yang intim. Berkomunikasi dengan
lansia memerlukan perhatian terhadap faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dalam
keadaan pribadi serta penerapan keterampilan komunikasi yang tepat. Selain itu juga
memerlukan pertimbangan yang matang dan memperhatikan waktu yang tepat.

Keuntungan komunikasi terapeutik adalah memajukan dan mendorong kerjasama


antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi,
mengungkapkan perasaan, mengkaji masalah dan mengevaluasi tindakan perawat.
Komunikasi dengan lansia adalah proses penyampaian pesan atau gagasan dari perwakilan
atau perawat kepada lansia dan mengumpulkan masukan dari lansia untuk mencapai
konsensus isi pesan komunikasi.

Komunikasi yang baik berarti pesan yang singkat, jelas, lengkap dan sederhana.
Sarana komunikasi meliputi panca indera manusia (mata, mulut, tangan dan jari) dan buatan
(televisi, radio, surat kabar). Sikap menyampaikan pesan harus dekat, suara harus jelas, tidak
terlalu cepat, dan menggunakan kalimat pendek. Wajah berseri-seri, memandang orang tua,
sabar, teliti, tidak tergesa-gesa, dada sedikit menunduk dan ibu jari terangkat memberi salam.
Faktor yang perlu diperhatikan agar komunikasi lancar adalah menguasai dokumen atau
pesan yang ingin disampaikan, menguasai bahasa daerah, tidak terburu-buru untuk bersikap
percaya diri, mempunyai sikap lemah lembut, percaya diri, ramah dan sopan. Lingkungan
yang mengedepankan komunikasi adalah suasana terbuka, akrab, nyaman, menjaga sikap
bersahabat, sikap hormat, dan memahami situasi lansia.
2.2 Prinsip Komunikasi Terapeutik pada Klien Lansia

Komunikasi pada lansia memerlukan pendekatan khusus serta pengetahuan yang


dianggapnya benar dan tidak mudah digantikan dengan pengetahuan baru sehingga pada
lansia tidak dapat diajarkan sesuatu yang baru. Dalam berkomunikasi dengan lansia
diperlukan pengetahuan tentang sikap-sikap yang unik pada lansia. Gunakan perasaan dan
pikiran lansia,bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan memberikan kesempatan pada
lansia untuk mengungkapkan pengalaman dan memberi tanggapan sendiri terhadap
pengalam tersebut.

Dalam memberi asuhan pada lanjut usia, pada dasarnya proses menua disertai masalah
seperti kesepian, kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan lemah fisik. Hal tersebut
merupakan proses alamiah dan akan terjadi pada semua orang maka dari itu tidak boleh
memberi stigma (destigmatisasi) pada orang lain termasuk lansia. Lanjut usia sangat
membutuhkan perhatian dan kasih sayang, oleh karena itu jangan dikucilkan dari pergaulan
sosial.

Berkomunikasi dengan lansia memerlukan suasana yang saling menghormati, saling


menghargai, saling percaya, dan terutama saling terbuka. Kesulitan dalam berkomunikasi
pada lanjut usia disebabkan oleh berkurangnya fungsi organ komunikasi dan perubahan
kognitif yang berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan belajar, daya memori, dan
motivasi klien. Penyampaian pesan pada lansia harus langsung tanpa perantara, saling
memengaruhi dan dipengaruhi, komunikasi secara timbal balik secara langsung, serta
dilakukan berkesinambungan, tidak statis, dan selalu dinamis. Menghindari sikap belas
kasihan, dan memberi pelayanan yang cepat dan tepat, serta bermutu yang efektif dan efisien.

Ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagi berikut (Arwani, 2003:54):

1) Ikhlas (genuiness)

Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien harus bisa diterima dan pendekatan
individu dengan verbal maupun nonverbal akan memberikan bantuan kepada pasien
untuk mengkonsumsikan kondisi secara tepat.

2) Empati (Emphaty)

Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi klien. Objektif dalam memberikan
penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan.
3) Hangat (warmth)

Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan
mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan
persaannya lebih mendalam.

2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik pada Klien Lansia

Teknik komunikasi terapeutik yang penting digunakan perawat adalah ketegasan, daya
tanggap, fokus, dukungan, klarifikasi, kesabaran, dan ketulusan. Pada pasien lanjut usia,
selain karakteristik psikologis yang perlu diketahui, perawat juga harus memperhatikan
perubahan fisik, psikologis, atau sosial yang terjadi akibat proses penuaan. Gangguan
pendengaran, penglihatan dan daya ingat akan sangat mempengaruhi kemampuan
berkomunikasi, hal ini harus diperhatikan oleh perawat.

Suasana komunikasi dengan lansia yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang
perlu diperhatikan adalah suasana saling menghormati, saling menghormati, saling percaya
dan keterbukaan. Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang
perlu saling mendukung. Sama seperti komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal pada
orang dewasa sama pentingnya dengan pada orang dewasa yang lebih tua. Ekspresi wajah,

“Lansia mempunyai pengetahuan, pengalaman, sikap dan keterampilan yang bersifat


permanen dan sulit diubah dalam jangka pendek.”

“Mendorong dan meningkatkan pengetahuan/pengalaman dan sikap yang sudah dimiliki


merupakan elemen penting dalam berkomunikasi dengan orang lanjut usia”

Menurut Wahjudi Nugroho (2008), penolakan merupakan sebuah ekspresi


ketidakmampuan seseorang untuk secara sadar memahami pikiran, keinginan, perasaan, atau
kebutuhannya selama kejadian nyata atau sesuatu yang menimbulkan ancaman.
Penyangkalan merupakan reaksi terhadap kurangnya persiapan lansia dalam menerima
perubahan yang menghadangnya. Komunikator keperawatan hendaknya memahami kondisi
ini agar dapat terjalin komunikasi yang efektif tanpa menyinggung perasaan yang relatif
sensitif pada lansia.
Beberapa langkah dapat dilakukan untuk menangani pelanggan lama dengan reaksi
eliminasi, antara lain:

1) Segera kenali reaksi penolakan pelanggan

2) Memungkinkan pelanggan yang lebih tua untuk berperilaku dalam jangka waktu tertentu,
Ini adalah mekanisme pengaturan mandiri selama tidak membahayakan orang lain dan
lingkungannya.

3) Membimbing lansia untuk melakukan perawatan diri

4) Langkah ini dimaksudkan untuk mempermudah proses penerimaan pelanggan mengenai


perawatan yang akan diberikan dan upaya membantunya menjadi klien yang mandiri.

5) Keterlibatan yang tepat dari keluarga atau anggota keluarga dekat

6) Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau tenaga medis memperoleh informasi
atau data tentang klien dan menyusun rencana/tindakan efektif yang dapat dilaksanakan
dengan benar dan akurat.

2.4 Strategi Komunikasi pada Klien Lansia

Strategi komunikasi dengan lansia sebaiknya menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode fisik

Perlakuan melihat kesehatan objektif, kebutuhan, peristiwa yang dialami pasien lanjut
usia dalam hidupnya, perubahan fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapat
dicapai dan dikembangkan serta penyebab penyakit yang perkembangannya dapat dicegah
atau dihentikan. Pelayanan fisik umum pada pasien lanjut usia dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu pasien lanjut usia yang masih beraktivitas, yang kondisi fisiknya masih
memungkinkan untuk bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga masih dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari; Pasien lanjut usia bersifat pasif atau tidak mampu berdiri, lumpuh
atau lemah secara fisik. Perawat harus mengetahui dasar-dasar merawat pasien lanjut usia,
terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan keberhasilan individu dalam menjaga
kesehatannya. Kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi, karena
sumber infeksi dapat muncul jika kebersihan kurang diperhatikan.
2. Pendekatan Psikis

Perawat harus berperan penting dalam pendekatan pendidikan lansia. Mereka dapat
bertindak sebagai pendukung, penafsir segala hal yang tidak mereka kenal, dan sebagai
teman dekat. Perawat harus sabar dan teliti dalam menciptakan kesempatan dan waktu yang
cukup untuk menerima berbagai bentuk keluhan sehingga lansia merasa puas. Perawat harus
selalu berpegang pada prinsip “Triple S” yaitu kesabaran, kasih sayang dan pelayanan.
Apabila perawat ingin mengubah perilaku dan pandangannya terhadap kesehatan dapat
dilakukan secara perlahan dan bertahap, harus mampu memberikan dukungan psikologis
terhadap kepuasan diri sehingga semua pengalaman yang dialaminya semakin menambah
beban, bila perlu diusahakan agar ketika mereka menjadi tua mereka bisa merasa puas dan
bahagia.

3. Pendekatan sosial

Diskusi, pertukaran ide, dan bercerita merupakan bagian dari upaya perawat dalam
pendekatan sosial. Menciptakan peluang untuk bertemu dengan pelanggan yang lebih tua
berarti menciptakan inklusi sosial bagi mereka. Pendekatan sosial ini memberikan pelajaran
kepada perawat bahwa orang yang berhubungan dengan mereka adalah makhluk sosial yang
membutuhkan pertolongan orang lain.

4. Supportif

Perubahan yang terjadi pada lansia baik secara fisik maupun psikis lambat laun
membuat emosi nasabah relatif tidak stabil. Perubahan tersebut perlu disikapi dengan
menjaga kestabilan emosi klien lanjut usia, misalnya dengan menerima, tersenyum, dan
mengangguk. Sikap ini dapat meningkatkan kepercayaan diri pelanggan lansia sehingga
lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya. Dengan cara ini diharapkan pelanggan akan
termotivasi untuk menjadi dan bekerja secara maksimal. Dalam memberikan dukungan fisik
dan emosional, staf medis tidak boleh merendahkan atau memberikan instruksi kepada klien
karena hal ini dapat mengurangi kepercayaan klien terhadap perawat atau staf medis lainnya.
Misalnya, frasa berikut dapat memotivasi dan meningkatkan kepercayaan klien tanpa
terdengar merendahkan atau mendidik seperti: Saya yakin Anda memiliki lebih banyak
pengalaman dari pada saya.
5. Klarifikasi

Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, seringkali proses komunikasi
tidak berjalan lancar. Perawat hendaknya mengklarifikasi dengan mengajukan pertanyaan
berulang-ulang dan memberikan penjelasan beberapa kali agar tujuan pembicaraan kita dapat
diterima dan dipahami oleh klien dengan cara yang sama “Dapatkah anda menerima apa
yang saya katakan sebelumnya?

6. Sabar dan Ikhlas

Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahan-perubahan


yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan perubahan ini bila tidak di sikapai dengan
sabar dan ikhlas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi
yang di lakukan tidak terapeutik, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional
dan menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.

Dalam usaha untuk berkomunikasi dengan baik, perawat harus memiliki pengetahuan
cukup, yang membuatnya lebih mudah menjalankan tugas sehari-hari. Jujur saja, jika ada
yang memutuskan menjadi perawat, mereka bisa memastikan ketulusan yang mendalam
terhadap semua pasiennya itu. Semangat dan pantang menyerah harus selalu ada setiap hari
agar pada akhirnya pasien selalu semangat khususnya untuk Pasien lanjut usia terkadang
merasa “kurus” dan “sakit” karena tua.” Namun kenyataannya, perawat harus bisa berbicara
berkomunikasi dengan pasiennya sehingga tidak hanya pandai dalam teori namun
kenyataannya harus bisa melakukannya dengan baik dan akurat.

2.5 Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia

Pasien dengan Defisit Sensorik

Beberapa pasien mengalami kehilangan pendengaran dan penglihatan terkait usia,


yang keduanya memerlukan penyesuaian komunikasi. Penelitian menunjukkan bahwa 16%
orang yang berusia di atas 65 tahun mengalami gangguan pendengaran yang mempengaruhi
komunikasi (Crews dan Campbell, 2004; Mitchell, 2006). Pada orang berusia di atas 80
tahun, angka gangguan sensorik mencapai lebih dari 60% (Chia et al., 2006). Penuaan
menyebabkan penurunan fungsi pendengaran yang disebut presbyacussis, yang terutama
mempengaruhi suara bernada tinggi. Bunyi berfrekuensi tinggi merupakan konsonan yang
memengaruhi pemahaman pasien tentang awal dan akhir kata. Misalnya, jika Anda
mengatakan "Take the pill in the morning" (Minum obat anda di pagi hari), pasien akan
mendengar vokal dalam kata tersebut, namun mereka mungkin berpikir Anda mengatakan
"Rake the hills in the morning" (Dakilah bukit di pagi hari). Fook dan Morgan, 2000; Ross
dkk, 2007.

Gangguan penglihatan terkait usia termasuk berkurangnya diameter pupil seperti


warna lensa yang kuning sehingga menyulitkan membedakan warna-warna dengan panjang
gelombang pendek seperti lavender, biru dan hijau, serta mengurangi elastisitas otot siliaris
sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan akomodasi saat material mengambil
tanda yang benar pada jarak yang berbeda. Kebanyakan pasien lanjut usia mempunyai
penyakit mata yang mengurangi penglihatan (seperti katarak, degenerasi makula, glaukoma,
komplikasi mata diabetes). Lebih dari 15% orang berusia di atas 70 tahun melaporkan
penglihatannya buruk dan 22% mengatakan penglihatan mereka hanya bagus pada jarak
tertentu (Crews dan Campbell, 2004). Di antara orang yang berusia di atas 80 tahun, 30%
melaporkan adanya gangguan penglihatan (Chia et al., 2006).

Penderita Demensia

Pada tahun 2008, diperkirakan terdapat sekitar 5,2 juta orang lanjut usia di Amerika
Serikat, beberapa di antaranya menderita demensia, dan jumlah ini diperkirakan akan
meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun ke depan (Hingle & Sherry, 2009). Akibatnya,
dokter diperkirakan akan menemui lebih banyak pasien demensia dan pasien ini datang ke
ruang praktik dokter bersama anggota keluarga atau pengasuh informal. Istilah pengasuh
digunakan mulai saat ini untuk merujuk pada siapa pun yang menemani kunjungan tersebut
sebagai pengasuh informal. Penilaian dan pengobatan pasien lanjut usia dengan demensia
juga akan mendapat manfaat dari keterlibatan perawat. Ada banyak tahapan demensia, yang
terkait dengan berbagai kesulitan dalam komunikasi. Penderita pada tahap awal seringkali
kesulitan menemukan kata-kata yang ingin disampaikan, pasien sering menggunakan kata-
kata yang tidak bermakna seperti “ini”, “sesuatu” dan “tahukah Anda”. Dalam kasus
demensia berat, pasien mungkin menggunakan jargon yang tidak dapat dipahami atau tetap
berdiam diri. Demensia berdampak buruk pada penerimaan dan ekspresi komunikasi pasien.
Kebanyakan pasien mengalami kehilangan ingatan dan kesulitan mengingat kejadian baru-
baru ini. Beberapa pasien demensia memiliki rentang perhatian yang sangat pendek dan
mengalami kesulitan untuk fokus pada topik tertentu.
Pasien yang Ditemani oleh Caregiver

Ciri utama kunjungan geriatri adalah kehadiran orang ketiga, dengan anggota keluarga
atau pengasuh informal lainnya hadir setidaknya pada sepertiga kunjungan geriatri.
Meskipun pengasuh dapat mengambil berbagai peran, termasuk dukungan, partisipasi pasif,
atau perlawanan, dalam sebagian besar kasus, mereka mengutamakan kesejahteraan orang
yang mereka cintai. Pengasuh sangat penting dalam sistem perawatan kesehatan untuk orang
lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu nutrisi, kehidupan sehari-hari, pekerjaan rumah
tangga, pengelolaan pengobatan, transportasi dan perawatan lainnya bagi pasien lanjut usia.
pengasuh membantu memfasilitasi komunikasi antara dokter dan pasien dan meningkatkan
partisipasi pasien dalam perawatan mereka sendiri. Penting juga untuk merawat pasien lanjut
usia dalam konteks atau perspektif pengasuh mereka untuk mencapai hasil terbaik dalam
kedua kasus (Griffith et al., 2004).

Hambatan Komunikasi dengan Lansia

Proses komunikasi antara staf medis dan pasien lanjut usia tidak menyenangkan jika
sikap agresif dan bimbang.

1. Agresif

Sikap agresif dalam berkomunikasi seringkali ditandai dengan perilaku berikut:

a) Berusaha mengendalikan dan mendominasi lawan bicara (lawan bicara)

b) Meremehkan orang lain

c) Pertahankan hak Anda dengan menyerang orang lain

d) Menonjol

e) Mempermalukan orang lain di muka umum, bahkan secara lisan serta Tindakan

2. Keragu-raguan

Tanda-tanda ketidakamanan meliputi:

a) Menarik diri saat diajak bicara

b) Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri)


c) Merasa tidak berdaya

d) Tidak berani mengungkapkan keyakinan Anda

e) Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya

f) Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Wajar jika terdapat hambatan komunikasi pada lansia, begitu juga dengan penurunan
fisik dan psikologis klien, namun sebagai tenaga medis yang profesional, perawat harus
mempunyai kemampuan untuk mengatasi hambatan tersebut. Oleh karena itu, perlu
digunakan teknik atau trik tertentu yang perlu diingat agar komunikasi antar pihak dapat
berlangsung secara efektif:

a) Selalu memulai komunikasi dengan memeriksa pendengaran pelanggan


b) Bicaralah jika perlu
c) Dapatkan perhatian pelanggan sebelum berbicara. Lihatlah dia supaya dia bisa
melihat mulutmu.
d) Menata lingkungan yang kondusif untuk terjadinya komunikasi yang baik.
Mengurangi gangguan visual dan pendengaran. Pastikan ada cukup cahaya.
e) Saat merawat orang tua yang mengalami gangguan komunikasi, ingatlah
kelemahannya. Jangan berasumsi bahwa terputusnya komunikasi adalah akibat
kurangnya kerja sama pelanggan.
f) Jangan berharap untuk berkomunikasi seperti orang sehat. Sebaliknya, bertindaklah
sebagai mitra yang tugasnya mempermudah klien untuk mengungkapkan perasaan
dan pengertian.
g) Bicaralah perlahan dan jelas sambil menatap matanya dengan kalimat pendek dan
bahasa sederhana.
h) Dukung kata-kata Anda dengan isyarat visual.
i) Gabungkan bahasa tubuh ke dalam percakapan Anda. Misalnya, ketika
mengkomunikasikan hasil tes yang diinginkan, pesan bahwa berita tersebut baik
harus dibuktikan dengan ekspresi wajah, postur tubuh, dan nada suara yang memberi
semangat (misalnya tersenyum, ceria, atau hampir tidak tertawa).
j) Ringkaslah poin-poin terpenting dari percakapan tersebut
k) Memberi klien banyak waktu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan
pertanyaanmu.
l) Biarkan dia melakukan kesalahan, jangan langsung membentaknya, tahan keinginan
untuk menyelesaikan kalimat.
m) Dengarkanlah meskipun keinginanmu sulit dengarkan dia.
n) Bertujuan untuk satu topik pada satu waktu.

2.6 Konsep Dasar Keperawatan Gerontik

Pengertian Keperawatan Gerontik

Keperawatan geriatri merupakan disiplin ilmu yang mempelajari perawatan lansia dan
berfokus pada pengkajian kesehatan dan pengkajian kesehatan. status fungsional,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Keperawatan geriatri adalah praktik perawatan
penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan. Keperawatan Geriatri adalah suatu
bentuk pelayanan keperawatan profesional yang memanfaatkan pengetahuan dan teknik
Keperawatan Geriatri, meliputi bidang bio-psiko-sosial dan spiritual, dimana kliennya
adalah orang-orang yang berusia di atas 60 tahun, baik dalam keadaan sehat maupun tidak.
atau sakit. Tujuan keperawatan geriatri adalah memberikan kenyamanan pada lansia,
menjaga fungsi tubuh, dan membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai
melalui pengetahuan dan teknik pengobatan perawatan geriatri.

Perubahan yang terjadi pada Lansia

Banyak kemampuan menurun seiring bertambahnya usia. Dari ujung rambut hingga
ujung kaki, perubahan terjadi seiring bertambahnya usia. Menurut Wahjudi Nugroho (2008),
perubahan yang terjadi pada lansia adalah:

Perubahan biologis

1) Perubahan pada sistem saraf

Struktur dan fungsi sistem saraf berubah seiring bertambahnya usia. Massa otak
berangsur-angsur berkurang karena hilangnya sel-sel saraf yang tidak tergantikan.
Terjadi penurunan sintesis dan neurotransmitter utama. Impuls saraf disalurkan lebih
lambat, sehingga orang lanjut usia membutuhkan waktu lebih lama untuk bereaksi dan
merespons. Reaksi menjadi lambat dan hubungan antar saraf menurun, berat otak
menurun 10-20%, kelima saraf sensorik menjadi lebih kecil sehingga menyebabkan
berkurangnya respon visual dan pendengaran, saraf indera penciuman dan rasa menjadi
lebih kecil, tubuh menjadi lebih sensitif. Dengan adanya suhu, daya tahan tubuh terhadap
dingin menjadi rendah, dan kurang sensitif terhadap sentuhan. . Waktu reaksi yang lama
membuat lansia berisiko mengalami kecelakaan dan cedera. Hilangnya kesadaran atau
pingsan bisa terjadi jika orang tersebut terlalu cepat bangun dari posisi berbaring atau
duduk. Perawat harus menyarankan pasien untuk menunggu untuk merespons
rangsangan dan bergerak lebih lambat. Kebingungan yang terjadi secara tiba-tiba dapat
merupakan gejala awal suatu infeksi atau perubahan kondisi fisik (pneumonia, infeksi
saluran kemih, interaksi obat, dehidrasi, dan lainnya).

2) Perubahan Penglihatan

Saat sel-sel baru terbentuk di permukaan luar lensa, sel-sel di tengahnya


menumpuk dan menjadi kuning, keras, padat, dan keruh. Jadi bagian luar lensa tetap
elastis untuk berubah bentuk (akomodasi) dan fokus pada jarak jauh dan dekat. Orang
lanjut usia membutuhkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan
gelap dan terang serta membutuhkan cahaya yang lebih terang untuk melihat objek yang
sangat dekat. Meskipun kondisi penglihatan patologis bukan merupakan bagian normal
dari penuaan, penyakit mata semakin meningkat pada orang lanjut usia. Bidang pandang
dan kemampuan mata untuk menyesuaikan diri berkurang, lensa menjadi lebih buram
(buram pada lensa), berubah menjadi katarak, muncul midriasis, dan kemampuan
membedakan warna menurun.

3) Perubahan pendengaran

Hilangnya kemampuan mendengar suara frekuensi tinggi terjadi pada usia paruh
baya. Hal ini disebabkan oleh perubahan permanen pada telinga bagian dalam. Orang
lanjut usia seringkali tidak dapat mengikuti percakapan karena konsonan berfrekuensi
tinggi (huruf f, s. th, ch, sh, b. T. p) semua terdengar sama. Ketidakmampuan
berkomunikasi membuat mereka merasa terisolasi dan menarik diri dari interaksi sosial.
Jika dicurigai adanya gangguan pendengaran, tes telinga dan pendengaran harus
dilakukan. Gangguan atau gangguan pendengaran, terutama terhadap suara bernada
tinggi, suara tidak jelas, dan kesulitan memahami kata, terjadi pada 50% orang yang
berusia di atas 65 tahun. Atrofi gendang telinga menyebabkan otosklerosis. Gangguan
pendengaran menyebabkan lansia tidak bereaksi seperti yang diharapkan, gagal
memahami percakapan, dan menghindari interaksi sosial. Perilaku ini sering
disalahartikan sebagai kebingungan atau “penuaan”.

Contoh Dialoq RolePlay Komunikasi Terapeutik pada Lansia

Fase Pra Interaksi

Pada jam 07.00 dua orang perawat akan melakukan pemeriksaan TTV untuk melihat
perkembangan kondisi pada pasien lansia yang bernama Tn. R. Klien menderita penyakit
hipertensi yang dirawat di ruang mawar Rumah Sakit Ibnu Sina Padang, saat itu Tn.R
ditemani oleh anak pertamanya

Fase Orientasi

(Perawat 1 dan Perawat 2 mendatangi Tn. R di ruang mawar.)

P1 dan P2: Assalamu'alaikum.

Keluarga: Wa'alaikum salam.

P1 dan P2: Selamat pagi ibuk dan kakek (sambil tersenyum tersenyum)

Keluarga: Pagi juga bu (Kakek sedikit kebingungan melihat kedatangan perawat.)

P1 dan P2: Gimana kabar kakek hari ini, sehat? (berbicara sedikit keras dan mengambil
posisi didekat pasien dan sedikit membungkuk)

Tn. R: Pagi. Alhamdulillah sudah agak lumayan. Ini siapa ya? (Kakek masih tampak
kebingungan dan tampak berfikir)

P1: Kakek... perkenalkan saya perawat Ririn dan ini perawat Wiwin (Perawat 1 dan perawat
2 mencoba melakukan pendekatan kepada Kakek dan juga keluarganya.)

P2: Kami berdua yang bertugas untuk merawat kakek pada hari ini dari jam 7 pagi sampai
jam 2 siang nanti. kakek sudah makan belum pagi ini? (pasien melakukan kontak mata dan
tersenyum lembut sambil menyentuh bahu pasien)

Tn. R: Sudah sus.

P2: Makan nya banyak atau sedikit kek?


Tn. R: Cuma sedikit karena saya kurang selera makan sus.

Keluarga: Enggak sus,wong tadi si kakek sudah makan 3 piring sus. mungkin dia lupa

(perawat hanya tersenyum)

P1: Pagi ini obat nya sudah diminum kek?

Tn. R: emm... sudah belum ya, sudah sus (sambil berpikir)

Keluarga: lya sus obat nya tadi sudah diminum semua

(Setelah bertanya kepada kakek, perawat mencoba menjelaskan asuhan keperawatan yang
akan diberikan kepada kakek dan juga keluarganya.)

P1: Baiklah kek, ibuk. Kami disini akan melakukan pemeriksaan kepada kakek. Apakah
kakek dan ibu tidak keberatan?

Keluarga: iya baiklah kalau begitu saya mohon lakukan yang terbaik buat orang tua saya ya
sus.

P2: iya bu terimakasih, kami akan mencoba melakukan yang terbaik buat orang tua ibuk.
Kami juga mohon kerja samanya nanti dalam pemeriksaan ya buk.

Fase Kerja

P1: Permisi kek… maaf ya kek... kakek tiduran saja ya, biar kakek lebih santai.

Tn. R: hah apa sus?

P1: kakek tiduran dulu yaa... (berbicara agak keras sambil menyatukan kedua telapak tangan
lalu diletakan dipipi sambil mata terpejam sesaat)

Tn. R: (langsung tiduran)

(Setelah itu perawat langsung memberikan tindakan kepada kakek)

P1: kek... tolong tangan kirinya sedikit diangkat ya kek (perawat 1 memasang manset tensi,
kemudian mengukur tekanan darah).
P2: cucu kakek sudah berapa sekarang? (perawat mencoba mengajak komunikasi pada
kakek)

Tn. R: sedikit, cuman 12 sus, sudah besar-besar semua.

P1: ooh sudah berkeluarga semua?

Tn. R: yang 6 orang sudah, terus yang enamnya lagi masih kuliah. Mereka cantik dan
ganteng-ganteng loh sus.

P1: ya iya dong. Kayak kakeknya… (perawat dan kakek ketawa)

(sambil menunggu perawat I mengukur tekanan darah, perawat 2 menyiapkan thermometer


untuk mengukur suhu kakek.)

P2: Kek... maaf ya... tolong kakek angkat sedikit tangan kanannya.

Tn. R: (mengangkat sedikit tangan kanan nya)

P2: (setelah kakek mengangkat tangannya, perawat langsung memasang termometer).

P2: kek... Langsung dijepit tangannya ya kek... dan jangan dulu dilepas sebelum waktunya
ya kek

Tn. R: (hanya mengangguk)

(Setelah beberapa menit kemudian tekanan darah dan suhu sudah selesai diukur, kemudian
peralatan dilepas kembali, dan setelah itu perawat I dan perawat 2 melanjutkan untuk
memeriksa nadi dan pernapasannya.)

P2: Baik kek tekanan darah kakek normal yah, yaitu 119/88mmHg dan suhu tubuh kakek
36,5 derajat celcius ya kek.

Fase Terminasi

(setelah semua pemeriksaan sudah dilakukan, hasil pemeriksaan dicatat oleh perawat dan
semua peralatan dirapikan)

Keluarga: Bagaimana sus?


P1: keadaannya sudah membaik dari kemaren, tapi orang tua ibu harus banyak minum air
putih dan juga makan sayur-sayuran. Orang tua ibu harus banyak istirahat dan juga jangan
dulu banyak pikiran, biar kakek cepat sembuh.

(dokter datang ke ruangan pasien untuk melihat keadaan pasien)

Dokter: Assalamu'alaikum

Semua: Walaikummusalam

Dokter: bagaimana keadaan pasien sus? (dokter bertanya kepada perawat)

P2: alhamdulillah sudah ada perkembangan dok

Dokter: Ooh baik kalau begitu nanti catatan pemeriksaannya tolong diantarkan ke meja saya
ya.

P2: iya dok…

Dokter:(melihat pasien dan mencoba memeriksa pasien) Gimana kek kabarnya?

Tn. R: udah agak mendingan dok…

Dokter: ohh kalau begitu, kakek harus banyak istirahat ya biar cepet sembuh.

Keluarga: gimana dok keadaan orang tua saya?

Dokter: (berbicara pada keluarga pasien) Alhamdulillah sudah banyak perkembangan. orang
tua ibu harus banyak beristirahat agar cepet sembuh dan jangan lupa berdoa, Kalau begitu
saya permisi dulu ya (sambil meninggalkan ruangan)

Semua: iya dok

P1: Kalau begitu kami juga permisi dulu ya buk, kakek kami permisi dulu ya, cepat sembuh
ya kek. Nanti kalau ada perlu bantuan panggil kami di ruang perawat atau langsung bisa
memencet bel yang sudah tersedia.

Tn. R: Yaa Sus, terimakasih

P2: mari buk... mari kek....


Keluarga: Ya bu.

(Akhirnya setelah perawat berpamitan, perawat langsung pergi meninggalkan ruangan


kamar mawar Tn.R)

2.8 Pembahasan Kasus dalam Penerapan Komunikasi Terapeutik pada Lansia

Dalam kasus tersebut dijelaskan cara berkomunikasi secara terapeutik pada lansia
dalam pemberian tindakan pemeriksaan Tanda-Tanda Vital pada Tn. R perawat telah
mengakaji bahwa terdapat adanya gangguan pendengaran dan penglihatan. Pada
pelaksanaannya komunikasi terapeutik yang akan dilakukan oleh perawat, hal tersebut dapat
menjadi sebuah hambatan, oleh sebab itu harus dilakukan cara-cara untuk mengatasi
hambatan tersebut agar komunikasi terapeutik dapat berjalan dengan baik dan memberikan
manfaat dalam proses penyembuhan pasien.

Pada kasus tersebut terlihat bahwa Tn. R ditemani oleh keluarganya, hal tersebut
sangat penting dan sangat membantu dalam berlangsungnya komunikasi terapeutik pada
pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien lansia, adanya peran serta dari keluarga
pada proses komunikasi akan memudahkan perawat untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan yang dapat menghambat komunikasi terapeutik, serta keluarga dapat menjadi
pihak yang akan mengklarifikasi jawaban-jawaban dari pasien lansia yang ingatannya
kadang kurang baik, contohnya seperti pada kasus diatas perawat menanyakan apakah pasien
sudah makan, lalu pasien menjawab belum, dan langsung diklarifikasi oleh keluarganya
bahwa pasien tersebut sudah makan, begitu pula saat perawat menanyakan apakah pasien
sudah mjinum obat atau belum keluarga pun ikut memastikan jawaban dari si pasien
mengatakan bahwa obatnya sudah diminum.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran keluarga serta dukungan
darinya sangat penting untuk pasien lansia. Hal pertama yang harus dilakukan dalam
komunikasi terapeutik dengan lansia sama seperti komunikasi lainnya, yaitu membuka
pembicaraan dengan menyapa dan memperkenalkan diri, menarik perhatian pasien terlebih
dahulu. Presentasi penting dalam komunikasi terapeutik dengan lansia dan sebaiknya selalu
dilakukan pada setiap awal pertemuan karena daya ingat pasien sudah menurun, kemudian
minta pasien untuk menunjukkan perhatian dan memberikan respon nonverbal seperti kontak
mata langsung, duduk dan menyentuh pasien untuk menunjukkan dukungan.
Ketika pasien memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan, perawat
hendaknya memperhatikan respon pasien dengan cara mendengarkan baik-baik dan
menunjukkan empati, serta memberikan pasien suasana komunikasi dalam lingkungan yang
nyaman, menyenangkan dan mengubahnya sesuai dengan kondisi fisik lansia, misalnya kita
dapat berkomunikasi dalam jarak dekat untuk membantu pasien dengan mudah mendengar
perkataan perawat dan memberinya waktu untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan
perawat, hal ini dilakukan karena kita ingat bahwa reaksi mental pasien lanjut usia
mengalami penurunan.

Dalam komunikasi terapeutik dengan lansia, penting untuk menginformasikan kepada


pasien tentang tindakan yang akan dilakukan dan menjelaskan tujuan tindakan tersebut agar
pasien lansia memahami dan dapat bekerjasama dengan pelayanan keperawatan yang
ditunjuk yang diberikan. Saat merawat pasien lanjut usia dengan gangguan komunikasi, kita
harus selalu memperhatikan kelemahan mereka dan tidak berasumsi bahwa keberhasilan
komunikasi disebabkan oleh kurangnya kerjasama klien.

Jangan berharap untuk berkomunikasi seperti pasien lanjut usia tanpa gangguan
tersebut, namun bersikaplah sebagai mitra yang tugasnya membantu klien mengungkapkan
perasaan dan pengertiannya. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya
mengenai hal-hal yang belum dipahaminya, dengan cara ini dapat terjalin hubungan saling
percaya dan saling menghargai. Begitu pula jika pasien melakukan kesalahan, jangan
langsung menegurnya karena pada umumnya seiring bertambahnya usia pasien, emosinya
semakin sensitif.

Apapun tindakan yang akan dilakukan, mintalah persetujuan dari pasien untuk
menghormati hak otonominya, jika terdapat penolakan biarkan pasien bertingkah lalu dalam
tenggang waktu tertentu, hal ini merupakan mekanisme diri sejauh tidak membahayakan
klien, orang lain serta lingkungannya, setelah itu kita dapat libatkan keluarga pasien untuk
memberikan penjelasan mengenai pentingnya suatu tindakan yang ditolak pasien tersebut
dan menjelaskan kerugian atau bahaya bila tindakan yang ditolak pasien tersebut tidak
dilakukan.

Dalam komunikasi terapeutik pada lansia dengan adanya gangguan-gangguan seperti


gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan dapat disiasati dengan menggunakan
komunikasi nonverbal seperti gimik untuk menjelaskan suatu tindakan dan bahasa tubuh
untuk memperjelas ucapan yang kita ucapkan.

Contohnya pada kasus diatas adalah saat perawat meminta pasien untuk berbaring dan
pasien tidak begitu mendengarnya lantas perawat mengulangi ucapannya sambil
memperagakan gimik menyatukan kedua telapak tangan lalu diletakan dipipi sambil mata
terpejam sesaat untuk menjelaskan bahwa perawat meminta pasien untuk berbaring.
Komunikasi pada lansia tidak harus identik dengan komunikasi yang kaku dan formal, kita
dapat berkomunikasi secara santai dengan menyelipkan candaan-candaan untuk mencairkan
suasana komunikasi agar terjalin keakraban antara perawat dengan pasien. Dalam pemberian
informasi pada pasien perawat tidak boleh seolah-olah sedang menggurui, lakukan dengan
cara-cara yang menyenangkan dan santai agar dapat diterima oleh pasien dengan baik.

Dalam komunikasi terapeutik dengan lansia, ada tiga hal mendasar yang menjadi ciri
khas komunikasi terapeutik, yaitu pertama, ketulusan (keaslian) adalah segala perasaan
negatif yang dirasakan pasien. Pengalaman tersebut harus diterima dan didekati secara
individu, baik secara individu. Bersikaplah obyektif dalam melakukan penilaian terhadap
kondisi pasien dan jangan berlebihan dan yang ketiga adalah kehangatan yaitu sikap yang
hangat dan akomodatif.

Penegasan diri adalah suatu sikap yang memungkinkan Anda menerima dan
memahami lawan bicara dengan menunjukkan sikap peduli, sabar mendengarkan dan
memperhatikan ketika lawan bicara berbicara untuk dapat memahami maksud dari
komunikasi atau percakapan tersebut. Sikap ini justru akan membantu tenaga medis menjaga
hubungan terapeutik dengan pasien lanjut usia. Ketika perawat melihat adanya perubahan
sikap atau kebiasaan klien, sekecil apapun, perawat hendaknya mempertanyakan atau
memperjelas perubahan tersebut, misalnya dengan menanyakan “apa yang sedang Anda
pikirkan saat ini?” Apakah ini membantu? Sikap positif tenaga medis ini akan menciptakan
perasaan tenang bagi pasien.

Yang ketiga adalah fokus, yaitu sikap ini merupakan upaya perawat untuk menjaga
konsistensi terhadap dokumen komunikasi yang diinginkan. Upaya ini perlu diperhatikan
karena pada umumnya pasien lanjut usia suka mengatakan hal-hal yang belum tentu sesuai
dengan kepentingan tenaga medis. Keempat adalah dukungan, dimana terjadi perubahan
pada diri lansia, baik secara fisik maupun psikis, lambat laun membuat emosi klien relatif
tidak stabil. Misalnya, kita harus merespons perubahan ini dengan menjaga kestabilan emosi
klien lanjut usia. Sikap ini dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien lansia sehingga
lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya. Dengan cara ini diharapkan klien akan
termotivasi untuk menjadi dan bekerja secara maksimal.

Dalam memberikan dukungan fisik dan emosional, tenaga medis tidak boleh
merendahkan atau memberikan instruksi kepada klien karena hal ini dapat mengurangi
kepercayaan klien terhadap perawat atau tenaga medis lainnya. Misalnya, frasa berikut dapat
memotivasi dan meningkatkan kepercayaan klien tanpa terdengar merendahkan atau
mendidik: “Saya yakin Anda memiliki lebih banyak pengalaman daripada saya sehingga
klien dapat melakukan ini dan jika diperlukan kami dapat membantu klien. Poin kelima
adalah klarifikasi, dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, seringkali proses
komunikasi tidak berjalan mulus.

Perawat harus mengklarifikasi dengan mengajukan pertanyaan berulang-ulang dan


menjelaskan beberapa kali sehingga tujuan percakapan kita dapat diterima dan dipahami oleh
klien dengan cara yang sama. Bisakah Anda meminta bantuan? Pak/ nyonya?jelaskan lagi
apa yang saya sampaikan tadi?dan yang ke enam adalah Sabar dan Ikhlas. Seperti yang kita
ketahui, klien Lansia ini sering kali mengalami perubahan yang terkadang memalukan dan
kekanak-kanakan. Perubahan tersebut jika tidak disikapi dengan sabar dan ikhlas dapat
menimbulkan perasaan tidak nyaman, ketidaknyamanan bagi dirinya perawat, oleh karena
itu komunikasi yang dilakukan tidak mempunyai efek terapeutik. Namun, hal ini dapat
menimbulkan komunikasi emosional dan merusak hubungan antara klien dan profesional
kesehatan.
BAB 3

PENUITUP

3.1 Kesimpulan

Kesehatan optimal pasien sebagai lansia tidak hanya bergantung pada kebutuhan
biomedisnya saja, namun juga pada kondisi disekitarnya seperti peningkatan perhatian
terhadap masyarakat, ekonomi, budaya bahkan psikologi pasien. Hubungan memberi dan
menerima antara perawat dan pasien dalam asuhan keperawatan disebut komunikasi
keperawatan terapeutik, yaitu komunikasi keperawatan profesional.

Komunikasi antara perawat dengan pasien lanjut usia harus efektif terutama pada
pasien lanjut usia karena sangat mempengaruhi kesehatan pasien lanjut usia tersebut.
Komunikasi yang baik dengan pasien merupakan kunci keberhasilan dalam menyelesaikan
permasalahan klinisnya. Perawat harus mewaspadai perubahan fisik, psikologis, emosional,
dan sosial yang mempengaruhi pola komunikasi. Perubahan pada telinga bagian dalam dan
telinga mengganggu proses pendengaran pada orang lanjut usia yang tidak dapat menoleransi
suara. Komunikasi yang biasa dilakukan oleh lansia tidak terbatas pada pertukaran perilaku,
perasaan, pikiran dan pengalaman tetapi juga pada hubungan terapeutik yang intim.

Teknik komunikasi yang baik akan meningkatkan hasil bagi pasien lanjut usia dan
perawatnya. Data menunjukkan bahwa hasil layanan kesehatan bagi lansia tidak hanya
bergantung pada pemenuhan kebutuhan biomedis namun juga pada hubungan kepedulian
yang tercipta melalui komunikasi yang efektif.

3.2 Saran

Bagi perawat harus memahami tentang komunikasi terapeutik pada lansia agar
pemeriksaan pasien lansia di rumah sakit berjalan dengan lancer. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini sangat banyak sekali kesalahan. Besar harapan kami kepada
para pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
makalah ini menjadi lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Rulam. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Arwani. 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC

Azizah, Lilik Ma'arifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu

Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Damaiyanti, Mukhripah. (2010). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan.


Bandung: Refika Aditama.

Indrawati. 2003. Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta: EGC

Kushariyadi. 2010. Asuhan keperawatan pada klien lanjut usia. Jakarta: Salemba Medika

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Stanley, Mickey, 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Ed 2. Jakarta: EGC.


MAKALAH KOMUNIKASI TERAPEUTIK

TENTANG

“KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DI IGD”

DISUSN OLEH :

REVA PITRI RAHMADANI 2214201157

ANMOLI ANDISA 2214201125

NURFITRIA INSANI 2214201151

FEBBY RAHMADANTI 2214201136

AMANDA BELIA PUTRI 2214201123

SINTA NABELLA 2214202268

DOSEN PEMBIMBING

Ns. Diana arianti, M. Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN 3C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Karunia-Nya sehingga

penyusun makalah yang berjudul “KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DI IGD”

dapat selesai tepat waktu.

1. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.

2. Dosen pembimbing, Ns. Diana arianti, M. Kep selaku dosen mata kuliah Promosi

Kesehatan Dan Pendidikan Kesehatan di kelas 3C yang telah memberikan arahan,

bimbingan serta masukan dalam proses pembuatan makalah ini.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus kepada

seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, semoga Tuhan senantiasa

membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Kami menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan

dan kelengkapan penyusunan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Padang, 15 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………..….iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………...……....

A. Latar belakang ……………………………………………………………….1

B. Rumusan masalah ……………………………………………………………2

C. Tujuan ………………………………………………………….…………….3

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………

A. Definisi komunikasi terapeutik pada pasien IGD ……………………………4

B. Teknik komunikasi terapeutik pada gawat darurat ……………………..……6

C. System pengelolaan/penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) …..…9

D. Pelayanan keperawatan gawat darurat ………………………………………15

E. Hubungan perawat-pasien dan komunikasi keperawatan ……………...……17

F. Prinsip komunikasi gawat darurat …………………………………………..19

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………………

A. Kesimpulan ………………………………………………………………….20

B. Saran ………………………………………………………………………...21

DAFTAR REFERENSI BUKU …………………………………………………………….…22

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dokter dan

perawat yang direncanakan dan berfokus pada kesembuhan pasien, dalam berkomunikasi

dengan pasien dokter dan perawat menjadikan dirinya secara terapeutik dengan berbagai

teknik komunikasi seoptimal mungkin dengan tujuan mengubah perilaku pasien kearah

yang positif (Mahmud, 2009).

Kelemahan dalam berkomunikasi merupakan masalah yang serius bagi dokter,

perawat maupun pasien. Bahkan prinsip dasar komunikasi terapeutik seringkali diabaikan

oleh dokter dan perawat.Diantara mereka ada yang beranggapan bahwa mereka tidak

membutuhkan keahlian lain kecuali melakukan tindakan medis untuk menyembuhkan

penyakit. Komunikasi dokter dan perawat dengan pasien umumnya bersifat formal dan

terbatas (Wahyudin, 2009).

Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan Darurat adalah perlu mendapatkan

penanganan atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban.

Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan ancaman nyawa korban.

Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan semua itu terbentuk dari sel-sel,

sel tersebut akan tetap hidup bila pasokan oksigen tidak terhenti, dan kematian tubuh itu

akan timbul jika sel tidak bias mendapatkan pasokan oksigen. Kematian ada dua macam

yaitu mati klinis dan mati biologis, mati klinis adalah apabila seorang penderita henti

nafas dan henti jantung, waktunya 6-8 menit setelah terhentikan pernapasan dan system

pernapasan sirkulasi tubuh sedangkan mati biologis adalah mulai terjadinya kerusakan

1
sel-sel otak dan waktunya dimulai 6-8 menit setelah berhentinyasystem pernapasan dan

siekulasi (modul penanggulangan gawat darurat, 2008).

Tingkat kepuasan pasien terdiri dari penilaian pasien terhadap pelayanan

kesehatan, tujuannya agar respon komprehensif pelayanan yang dihasilkan dari harapan

sebelumnya dapat dilihatserta hasil pengobatan yang diperoleh setelah adanya pelayanan

kesehatan (Liyang & Tang, 2013).

Dampak negatif yang muncul saat tidak berjalannya komunikasi terapeutik adalah

kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dirumah sakit,

menurunkan kualitas dari rumah sakit itu sendiri serta pandangan miring masyarakat

terhadap mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Pasien yang datang ke rumah sakit,

pertama kali akan bertemu dengan perawat sebelum bertemu dengan dokter. Pertemuan

pertama akan memberi kesan yang baik jika disambut dengan keramahan dan penjelasan

terutama tentang prosedur pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan yang rinci,

sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Pelayanan gawat darurat merupakan tolak ukur kualitas pelayanan rumah sakit,

karena merupakan ujung tombak pelayanan rumah sakit, yang memberikan pelayanan

khusus kepada pasien gawat darurat secara terus-menerus selama 24 jam setiap hari.

Karena itu pelayanan di Instalasi Gawat Darurat harus diupayakan seoptimal mungkin.

Serta menerapkan komunikasi efektif dan terapeutik dalam memberikan pelayanan

terhadap pasien (Depkes, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa defienisi komunikasi terapeutik pada pasien IGD ?

2. Apa saja teknik komunikasi pada gaway darurat?

2
3. Apa yang dimaksud dengan SPGDT ?

4. Apa saja pelayanan keperawatan gawat darurat ?

5. Apa hubungan perawat – pasien dan komunikasi keperawatan ?

6. Apa prinsip – prinsip komunikasi gawat darurat?

C. TUJUAN

1. Mahasiswa mengerti defienisi komunikasi terapeutik pada pasien IGD

2. Mahasiswa mengetahui teknik komunikasi pada gaway darurat

3. Mahasiswa mengerti dengan SPGDT

4. Mahasiswa mengerti pelayanan keperawatan gawat darurat

5. Mahasiswa mengetahui hubungan perawat – pasien dan komunikasi keperawatan

6. Mahasiswa mampu mengetahui prinsip – prinsip komunikasi gawat darurat

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFENISI KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN IGD

Keperawatan gawat darurat (Emergency nursing) merupakan pelayanan

keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit

yang mengancam kehidupan.

Kegiatan pelayanan keperawatan menunjukkan keahlian dalam keahlian dalam

pengkajian pasien, setting prioritas, intervensi krisis, dan pendidkan kesehatan

masyarakat. Sebagai seorang spesialis, perawat gawat darurat menghubungkan

pengetahuan dan keterampilan untuk menangani respon pasien pada resusitasi, syok,

trauma, ketidakstabilan multisystem, keracunan, dan kegawatan yang mengancam jiwa

lainnya.

Rossiter dkk. (1980) dalam kreps dan thornton (1984: 107) menyebutkan bahwa

karakteristik komunikator dalam komunikasi terapeutik adalah empati

(emphaty),kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), validasi (validation), dan kepedulian

(caring). kelima karakteristik ini merupakan keterampilan atau kemampuan yang penting

untuk komunikasi kesehatan yang efektif. Dalam berbagai situasi kelima-limanya bisa

ditukar satu sama lain. Misalnya, empati dan kepedulian dapat diekspresikan melalui

pesan nonverbal kontak mata dan anggukan kepala. Adapun, validasi, kejujuran, dan

kepercayaan dapat diekspresikan melalui self disclosure atau keterbukaan diri (kreps dan

thornton, 1984: 105 - 106).

4
Rossiter (1980) dalam kreps dan thornton (1984: 107) juga menambahkan bahwa

salah satu kompetensi penyedia layanan kesehatan adalah mendengarkan dengan rasa dan

memahami kondisi pasien, dari mulai pikiran, perasaan, bahkan sikapnya. Terkait hal ini,

Rossiter pun menyebutkan kriteria pendengar yang ideal:

a. Memiliki rasa ingin tahu dan pikiran yang terbuka;

b. Mendengarkan ide-ide baru;

c. menghubungkan apa yang didengar dengan apa yang diketahui;

d. Memahami dirinya sendiri dan mendengarkan orang lain;

e. Memperhatikan apa yang dikatakan orang lain;

f. Tidak mengikuti pendapat umur secara membabi buta;

g. Mempertahankan perspektif

h. Mencari gagasan, pola, dan argumen;

i. Mendengarkan esensi dari suatu hal;

j. Kerap waspada secara mental, memetakan sesuatu, menolak, dan menyetujui;

k. Introspeksi namun tetap kritis .

l. Berusaha memahami sejumlah nilai, prilaku, dan hubungan.

m. Fokus pada ide dari seseorang pembicara.

n. Mendengarkan dengan perasaan dan intuisi.

5
Mundakir (2006: 117) berpendapat bahwa komunikasi terapeutik dilaksanakan

dengan tujuan sebagai berikut:

a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan

pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila

pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan.

b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif

dan mempertahankan kekuatan egonya.

c. Memperngaruhi orang lain lingkungan fisik, dan dirinya sendiri dalam hal

peningkatan derajat kesehatan.

d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga

kesehatan) secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu

penyelesaian masalah klien.

Tujuan komunikasi terapeutik menurut Mundakir di atas sangat relavan dengan

topik pembahasan di buku ini. Dalam hal ini, psikiater dan perawat memang berperan

membantu pasien menyelesaikan masalah-masalah kejiwaan yang mengganggu dirinya.

Peran itu dilakukan dengan cara merangkul pasien, mengurangi beban perasaan dan

pikiran, memengaruhi dan mengurangi keraguan untuk mengambil tindakan, dan

mempererat hubungan.

B. TEKNIK KOMUNIKASI PADA GAWAT DARURAT

Purba (2008) menyebutkan bahwa teknik komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut

1. Mendengarkan

Tenanga kesehatan harus berusaha untuk mendengarkan informasi yamg

disampikan oleh pasien dengan penuh empati dan perhatian.ini dapat ditunjukan

6
dengan memandang ke arah pasien selama berbicara :menjaga kontak pandangan

yang menunjukan keingintahuan : dan menanganggukan kepala saat berbicara

tentang hal yang dirasakan penting atau memerlukan umpan balik.Teknik ini

dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada pasien dalam mengungkapkan

perasaan dan menjaga kestabilan emosinya.

2. Menunjukkan Penerimaan

Menerima bukan berarti menyetujui,melainkan bersedia untuk mendengarkan

orang lain tanpa menunjukan sikap ragu dan penolakan. Dalam hal ini sebaiknya

tenanga kesehatan tidak menampilkan ekspresi wajah yang menampilakn

ketidaksetujuan atau penolakan.selama pasien berbicara sebaiknya tenaga

kesehatan tidak menyela atau membantah,tetapi menunjukkan sikap anggukan

kepala.

3. Mengulang pernyataan pasien

Dengan mengulang pernyataan pasien,tenaga kesehatan memberikan umpan balik

sehingga pasien mengetahui bahwa pesannya mendapatkan respons dan berharap

komunikasi dapat berlanjut.Mengulang pokok pikiran pasien juga dapat

mengindentifikasi bahwa tenaga kesehatan mengikuti semua orang yang

dikatakan oleh pasien

4. Klasifikasi

Apabila terjadi kesalahan pahamanan,tenaga kesehatan perlu mengehentikan

pembicaraan untuk meminta penjelasan agar tercapai kesamaan ide,perasaan dan

perspesi

5. Memfokuskan pembicaraan

7
Tujuan penerapan metode ini untuk membatasi materi pembicaraan agar lebih

spesifik dan mudah dimengerti Tenaga kesehatan tidak perlu menyela

pembicaraan pasieen.kecuali tidak ada informasi baru yang disampaikan

6. Menyampaikan hasil pengamatan

Tenaga kesehatan perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap pasien untuk

mengetahui bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik.tenaga kesehatan

menjelaskan yang didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan oleh

pasien,dengan demikian,hal ini akan menjadikan pasien dapat berkomunikasi

dengan lebih baik dan fokus pada permasalahan yang sedang dibicarakan

7. Menawarkan informasi

Penghayatan kondisi pasien akan lebih baik apabila ia mendapatkan informasi

yang cukup dari perawat,memberikan informasi yang lebih lengkap merupakan

pendidikan kesehatan bagi pasien.tenaga kesehatan dimungkinkan untuk

memfasilitasi pasien dalam pengambilan keputusan bukan menasehatinya

8. Diam

Dengan diam akan terjadi proses pengorganisasian pikiran di pihak tenaga

kesehatan dan pasien.penerapan metode ini memerlukan keterampilan dan

ketepatan waktu agar tidak menimbulkan perasaan yang tidak enak.diam

memungkinkan pasien berkomunikasi dengan dirinya sendiri,mengimpun

pikirannya dan memproses informasi.

9. Menunjukan penghargaan

Menunjukan penghargaan dapat dinyatakan dengan mengucapkan salam kepada

pasien,terlebih disertai menyebutkan namanya,hal ini akan diterima oleh pasien

8
sebagy suatu pengahargaan yang tulus.dengan demikian pasien keberadaannya

dihargai

10. Refleksi

Reaksi yang muncul dalam berkomunikasi anatara tenaga kesehatan dan pasien

disebut refleksi

C. SISTEM PENGELOLAAN/PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT

TERPADU (SPGDT)

Suatu metode yang digunakan untuk penanganan korban yang mengalami kegawatan

dengan melibatkan semua unsur yang ada.

1. Fase Pra RS

Pada fase ini keberhasilan penanggulang gawat darurat tergantung pada beberapa

komponen :

a. Komunikasi

1. Dalam komunikasi hubungan yang sangat diperlukan adalah :

 Pusat komunikasi ambulan gawat darurat (contoh: 118, Pro-

emergency,dll).

 Pusat komunikasi ke rumah sakit.

 Pusat komunikasi polisi

 Pusat komunikasi pemadam kebakaran (contoh: 113)

2. Untuk komunikasi fasilitas pager, radio, telepon, telepon genggam.

3. Tugas pusat komunikasi adalah :

 Menerima permintaan tolong

 Mengirim ambulan terdekat

9
 Mengatur dan memonitor rujukan penderita gawat darurat.

 Memonitor kesiapan rumah sakit yaitu terutama unit gawat darurat dan

ICU.

b. Pendidikan

1. Pada orang awam

Pada prang awam adalah orang pertama yang menemukan korban

atau pasien yang mendapat musibah atau trauma. Mereka adalah anggota

pramuka, PMR, guru, ibu rumah tangga, pengemudi, dan petugas hotel

atau restoran. Kemampuan yang harus dimiliki orang awam adalah :

 Mengetahui cara minta tolong misalnya menghubungi melalui telepon

ke 118.

 Mengetahui cara resusitasi jantung paru

 Mengetahui cara menghentikan pendarahan

 Mengetahui cara memasang pembalut atau bidai

 Menetahui cara transportasi yang baik.

2. Pada orang awam khusus

Yang termasuk disini adalah orang awam yang telah mendapatakn

penegtahuan cara-cara penanggulangan kusus gawat darurat sebelum

korban dibawa ke rumah sakit atau ambulan datang, mereka datang Polisi,

Hansip, DLLAJR, Search and Rescue (SAR)

3. Pada Perawat

Perawat harus mampu menanggulangi penderita gawat darurat dengan

gangguan.

10
a. System Pernapasan

 Mengetahui obstruksi jalan nafas

 Membuka jalan nafas buatan

 Melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dengan didahulukan

penilaian ABC.

b. System sirkulasi

 Mengenal aritmia dan infark jantung

 Pertolongan pertama pada henti jantung

 Melakukan EKG

 Mengenal syok dan member pertolongan pertama

c. System vaskuler

 Menghentikan pendarahan

 Memasang infus atau transfusi

 Merawat infuse

d. System saraf

 Mengenal koma dan memberikan pertolongan pertama

 Memberikan pertolongan pertama pada trauma kepala

e. System pencernaan

 Pertolongan pertama pada truma abdomen dan pengenalan

tanda perdarahan intraabdomen.

 Persiapan operasi segera (cito)

 Kumbah lambung pada pasien keracunan

f. System perkemihan

11
 Pertolongan pertama pada payah ginjal akut

 Pemasangan kateter

g. System integument atau toksikologi

 Pertolongan pertama pada luka bakar

 Pertolongan pertama pada gigitan binatang

h. System edokrin

 Pertolongan pertama pasien hipo/hiperglikemia.

 Pertolongan pertama pasien krisis tiroid

i. System musculoskeletal

 Mengenal patah tulang dan dislokasi

 Memasang bidai

 Mentransportasikan pasien ke rumah sakit

j. System pengindraan

 Pertolongan pertama pasien trauma mata atau telinga

 Melakukan irigasi mata dan telinga

k. Pada anak

 Pertolongan pertama anak dengan kejang

 Pertolongan pertama anak dengan astma

 Pertolongan pertama anak dengan diare atau konstipasi

c. Transportasi

1. Syarat transportasi penderita

a. Penderita gawat darurat siap ditransportasikan bila :

 Gangguan pernapasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi.

12
 Perdarahan harus di hentikan.

 Luka harus ditutup.

 Patah tulang apakah memerlukan fiksasi

b. Selama transportasi harus diminitor :

 Kesadaran

 Pernapasan

 Tekanan darah dan denyut nadi

 Daerah permukaan

c. Syarat kendaraan

 Penderita datang terlentang

 Cukup luas untuk lebih dari dua pasien dan petugas dapat bergerak

 Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infus lancar

 Dapat melakukan komunikasi ke sentral komunikasi dan rumah

sakit

 Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulan lain

d. Syarat alat yang harus ada yaitu resusitasi, oksigen, alat hisap, obat-

obatan dan infus, balut dan bidai, tanduk, EKG transmitter, inkubator

(untuk bay), dan alat-alat persalinan.

e. Syarat personal

 Dua orang perawat yang dapat mengemudi.

 Telah mendapat pendidikan tambahan gawat darurat.

 Sebaiknya diasramakan agar mudah di hubungi.

2. Cara transportasi

13
 Tujuan memindahkan penderita dengan cepat tetapi selamat.

 Kendaraan penderita gawat darurat harus berjalan berhati-hati dan

menaati peraturan lalu lintas.

2. Fase Rumah Sakit

a. Puskesmas

Ada Puskesmas yang buka selama 24 jam dengan kemampuan :

1. Resusitasi.

2. Menanggulangi fase gawat darurat baik medis maupun pembedahan

minor.

3. Dilengkapi dengan laboratorium untuk menunjang diagnostik seperti

pemeriksaan Hb, leukosit, gula darah.

4. Personal yang dibutuhkan satu dokter umum dan dua sampai tiga

perawat dalam satu shift.

b. Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau unit Gawat Darurat (UGD).

Berhasil atau gagal ya suatu IGD atau UGD tergantung pada :

1. Keadaan penderita waktu tiba di IGD

 Tergantung pada mutu penanggulangan para rumah sakit.

 IGD harus aktif meningkatkan mutu penanggulangan pra rumah sakit.

2. Keadaan gedung IGD sebaiknya dirancang sedemikian rupa sehingga

 Masyarakat mudah mencapainya

 Kegiatan mudah dikontrol

 Jarak jalan kaku didalam ruangan tidak jauh

 Tidak ada infeksi silang

14
 Dapat menggulangi Keadaan bencana.

3. Kemampuan dan keterampilan petugasnya

 Golongan pertama, yang tidak langsung menangani penderita yaitu

cleaning Service, keamanan, penerangan, kasir.

 Golongan kedua, yang langsung menangani penderita yaitu perawat,

dokter dan koasisten ; perawat-tulang punggung IGD; kualitas perawat

turut menentukan kualitas perawat turut menentukan kualitas perawat

turut menentukan kualitas pelayanan IGD; Perawat yang harus

memahami perawatan Gawat darurat untuk melakukan resusitasi

kardiopulmoner dan support; dan bagi perawat yang memilih kerja di

IGD maka perlu pendidikan lanjutan misalnya DIII, S1, S2 agar dasar

ilmiahnya kuat.

3. Pembiayaan

Pembiayaan perawatan pasien Gawat darurat antara lain berasal dari :

 Asuransi Jasa Raharja

 Askes Pegawai Negeri

 Askes / Jamsostek

 Dana sehat

 Subsidi pemerintah

D. PELAYANAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pelayanan keperawatan yang

ditunjukkan kepada pasien gawat darurat yaitu pasien yang tiba-tiba berada dalam

15
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya/ anggota badannya

(akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secara cepat dan tepat.

1. Peran, Fungsi dan Kewenangan Perawat

 Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat

a. Melakukan triage,mengkaji dan menetapkan dalam spektrum yang

lebih luas terhadap kondisi klinis pada berbagai keaadaan yang bersifat

mendadak mulai dari ancaman nyawa sampai kondisi kronis.

b. Mengkaji dan memberikan asuhan keperawatan terhadap individu-

individu dari semua umur dan berbagai kondisi.

c. Mengatur waktu secara efisien walaupun informasi terbatas.

d. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan keluarganya.

e. Memfasilitasi dukungan spiritual.

f. mengkoordinasikan berbagai pemeriksaan diasnotik dan memberikan

pelayanan multidisiplin.

g. mendokumentasikan dan komunikasi informasi tentang pelayanan yg

telah diberikan serta kebutuhan tindak lanjut.

h. memfalitasikan rujukan dalam rangka menyelesaikan masalah

kegawatdaruratan

i. membantu indifidu beradaptasi terhadap kegiatan sehari2

j. memfalitasikan tindak lanjut perawat dengan memanfaatkan sumber

yg ada di masyiarakat.

k. menyiapkan persiapan pemulangan pasien secara aman melalui

pendidikan kesehatan

16
l. mengkoordinasikan dan melaporkan kepada istitusi terkait terhadap

kejadian² yg di anggap perlu(penyakit dbd,diare,kecelakaan lalu

lintas,bencana/KLB dll)

m. jika terjadi klb/bencana komunikasi ke pada seluruh tim pelayanan

gawat darurat

n. merespkn secara cepat dan memfalitasi terhadap bencana yg terdapat

di komunitas dan institusi.

2. Kewenangan perawat

1) kewenangan seorang perawat dalam pertolongan gawat darurat di dasarkan pada

kemampuan perawat membetrikan pertolongan gawat darurat

2) perawat yg mendapat pelatihan kusus tersebut memperoleh sertifikat yg di akui

oleh profesi keperawatan maupun keperawatan lainnya.

3) perawat yg telah mendapat sertifikat tetsebut memperoleh izin utk melaksanakan

praktek keperawatan gawat darurat sesuai lingkup kewenangannya.

E. HUBUNGAN PERAWAT – PASIEN DAN KOMUNIKASI KEPERRAWATAN

1) Hubungan Perawat Pasien

Hubungan perawat - pasien didasarkan pada hubungan bantuan (Helping

Relationship) dan komunikasi terapeutik.

2) Hubungan Bantuan (Relationship) :

a. Ciptakan lingkungan yang teapeutik dengan menunjukkan perilaku dan sikap:

 Carring (sikap pengasuhan yang ditunjukkan peduli dan selalu ingin

memberi bantuan)

 Acceptance (menerima pasien apa adanya

17
 Respect (menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya)

 Empaty (merasakan perasaan pasien)

 Trust (memberi kepercayaan)

 Integrity (mempunyai prinsip keprofesian yang kokoh)

 Identifilkasikan bantuan yang diperlukan pasien sesuai dengan objektif.

b. Analisis proses komunikasi dengan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi.

c. Terapkan tehnik komunikasi (sesuai lampiran) untuk memfasilitasi hubungan

bantuan: focusing (fokus), questioning (bertanya), validating

 Komunikasi dengan pasien atau keluarga denge bahasa yang mudah

dimengerti dengan memperhatikan tingkar perkembangan dan

keterbatasan fisik pasien.

 Pastikan bahwa hubungan bantuan oleh pasien/ keluarga.

 Antisipasi kebiasaan pasien dan keluarga pada akhir hubungan bantuan

tersebut yang harus tercantum dalam perencanaan pemulangan pasien atau

didalam melakukan rujukan ke pusat kesehatan (puskesmas)

3. Komunikasi keperawatan

Untuk memperoleh komunikasi yang efektif perawat perlu :

1. Perlakukan setiap pasien sebagai individu yang memerlukan bantuan.

2. Gunakan sikap untuk memotivasi dan menghargai pasien sebagai manusia

seutuhnya.

3. Hal-hal yang harus dihindari perawat gawat darurat pada saat mewawancarai

pasien.

18
a. Cegah untuk tidak menyalahkan, memojokkan, memberikan sebutan

yang negatif terhadap pasien (judgemental).

b. Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan yang dapat membuat

pasien merasa tidak nyaman dan ceras.

F. PRINSIP KOMUNIKASI GAWAT DARURAT

Ciptakan lingkuan terapeutik dengan menunjukkan prilaku dan sikap

a. Caring (sikap pengusahan yang peduli dan selalu ingin memberikan bantuan)

b. Acceptance ( menerima pasien apa adanya)

c. Respeck (hormati keyakinan pasien apa adanya)

d. Empaty ( merasakan perasaan pasien)

e. Trust (member kepercayaan)

f. Integrity (berpegang pd prinsip profesional yang kokoh)

g. Identifikasikan bantuan yang diperlukan

h. Terapkan teknik komunikasi: terfokus, bertanya, dan validasi

i. Bahasa yang mudah dimengerti

j. Pastikan hubungan profesional dimengerti oleh pasien/keluarga

k. Motivasi dan hargai pendapat & respon klien

l. Hindari: menyalahkan, memojokkan, dan memberikan sebutan yang negatif.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPILAN

komunikasi terapeutik adalah empati (emphaty),kepercayaan (trust), kejujuran

(honesty), validasi (validation), dan kepedulian (caring). kelima karakteristik ini

merupakan keterampilan atau kemampuan yang penting untuk komunikasi kesehatan

yang efektif. Dalam berbagai situasi kelima-limanya bisa ditukar satu sama lain.

Misalnya, empati dan kepedulian dapat diekspresikan melalui pesan nonverbal kontak

mata dan anggukan kepala. Adapun, validasi, kejujuran, dan kepercayaan dapat

diekspresikan melalui self disclosure atau keterbukaan diri (kreps dan thornton, 1984:

105 - 106).

Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan Darurat adalah perlu mendapatkan

penanganan atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban.

Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan ancaman nyawa korban.

Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan semua itu terbentuk dari sel-sel,

sel tersebut akan tetap hidup bila pasokan oksigen tidak terhenti, dan kematian tubuh itu

akan timbul jika sel tidak bias mendapatkan pasokan oksigen. Kematian ada dua macam

yaitu mati klinis dan mati biologis, mati klinis adalah apabila seorang penderita henti

nafas dan henti jantung, waktunya 6-8 menit setelah terhentikan pernapasan dan system

pernapasan sirkulasi tubuh sedangkan mati biologis adalah mulai terjadinya kerusakan

sel-sel otak dan waktunya dimulai 6-8 menit setelah berhentinyasystem pernapasan dan

siekulasi (modul penanggulangan gawat darurat, 2008).

20
B. SARAN

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembeca dapat memahami bagaimana

Untuk menjadi pribadi perawat yang baik dan dapat diterima dalamsebuah interaksi

untuk itu diharapkan terutama profesi keperawatan untukdapat menguasai bagaimana

komunikasi terapeutik terutama di situasikuhusus atau tertentu seperti di IGD.

21
DAFTAR REFERENSI BUKU

Komunikasi Terapeutik. Sri Wahyuningsih, 2021

Komunikasi Untuk Keperawatan. Lisa Kennedy Sheldon, 2009

Keperawatan Gawat Darurat. Musliha, 2010

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Paula krisanty, Santa Manurung dkk

22
DAFTAR PUSTAKA

EMS 119, Buku Panduan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat,

Jakarta 2008

Arjatmo T. 2001. Keadaan gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya

baru

Brubber & suddart. 2002. Buku ajar keperawatan medical bedah. EGC.

Jakarta

Gunawan, I, 2016. Pengantar statistik inferensial, PT KajagraIndo Persada,

Jakarta.

Hadi, L., Prabowo, T., dan Yulitasari, B. 2013. Komunikasi terapeutik

perawat berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien di

puskesmas Dukun Magelang, Vol 1, no 1.

Hanafi I & Richard S.D, 2012, „Keterampilan komunikasi interpersonal

perawat berpengaruh peningkatan kepuasan pasien, Vol 5, no 2.

http://www.download.portalgaruda.org/article.php?article

23
24

Anda mungkin juga menyukai