Anda di halaman 1dari 3

IDENTIFIKASI BUKU

Judul : Perang Makassar 1669 (Prahara Benteng Somba Opu)


Penulis : S.M. NOOR
Penerbit : Pt. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 216 Halaman

SINOPSIS NOVEL: "PERANG MAKASSAR 1669 (PRAHARA BENTENG SOMBA OPU)"

Sesungguhnya karena kesabaran rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam
Perjanjian Bungaya melalui aku; tetapi mereka menghendaki jantungku. dan hati ini adalah martabat
dan harga diri setiap manusia!"
Sebuah epos berlatar Perang Makassar, 1669. Tragedi sejarah yang terjadi setelah seluruh
kekuatan armada perang di Nusantara bagian timur berhasil dibujuk kompeni Belanda untuk
mengeroyok Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa, pimpinan I Malombassi Daeng Mattawang
Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin.
Kerajaan Gowa adalah salah satu dari tiga kerajaan tersohor di nusantara yang sangat
diperhitungkan oleh VOC. Salah satu faktor pendukungnya, karena Gowa berada di posisi yang
sangat strategis, tepat berada di kawasan perlintasan perdagangan sejumlah negara asing yang
bermaksud memperebutkan hasil kekayaan bumi yang melimpah di semenanjung kepulauan Maluku.
Dan strategi politik perekonomian yang diberlakukan para Raja-raja Gowa pada Abad 16, bahwa
"Gowa adalah Negara yang terbuka bagi siapa saja", kemudian sangat mendukung
bertumbuhkembangnya Bandar Makassar sebagai pelabuhan transit pelayaran bagi siapa saja, dari dan
menuju ke Maluku. Meskipun diberlakukan secara terbuka, tetapi para Raja-raja Gowa tidak mau
menerima sistem kongsi, karena ia tidak mau didikte oleh negara asing.
Kondisi seperti itulah yang membuat gerah kaum komponi VOC yang bermarkas di Benteng Fort
Rotterdam, sehingga secara diam-diam berkali-kali bermaksud menggempur Gowa yang dipandang
oleh mereka sangat angkuh. Dan bertepatan dengan itu, sejumlah kerajaan lain di dataran "Sulawesi
Selatan" yang telah ditaklukkan Gowa, sedang sengit-sengitnya terlibat pergolakan dan konflik
kekuasaan. Sementara Kerajaan Bone yang menjadi seteru utama Gowa, sedang dalam puncak
ketegangan untuk segera meladeni Gowa yang dipandang sangat arogan dengan kebesarannya. Lebih-
lebih ketika Gowa mempekerjakan secara paksa ratusan masyarakat Bugis untuk menggali kanal
pembatas antara Benteng Somba Opu dengan Benteng Panakukang yang dikuasai kompeni.
Epos (novel sejarah) ini mengambil setting waktu ketika perseteruan antara kerajaan Gowa yang
dipimpin Sultan Hasanuddin dan VOC Belanda sedang berkecamuk di akhir abad ke-17. Dikisahkan,
seorang perwira kerajaan Gowa asal Desa Bira bemama I Makkuruni bersama pasukannya berhasil
menenggelamkan lima kapal perang Belanda dalam pertempuran di Laut Bonerate. Peristiwa ini
menyulut murka VOC sekaligus melambungkan nama Makkuruni di seantero imperium Gowa.
Kebetulan ayah Makkuruni, Karaeng Bira adalah seorang pembuat kapal yang ditugaskan oleh
kerajaan untuk membuat kapal sebagai persiapan menghadapi serangan Belanda yang dibantu oleh
kerajaan Bone, Buton dan Ambon. Makkuruni kemudian ditugaskan oleh ayahnya untuk
mengantarkan kapal-kapal tersebut ke ibu kota kerajaan, Somba Opu. Maka berangkatlah Makku
(panggilan Makkuruni) menuju Somba Opu. Sesampai di Galesong (pangkalan militer Gowa) Makku
disambut sebagai pahlawan. Oleh Sultan Hasanuddin ia diangkat sebagai wakil | Mappasossong. Anak
Sultan Hasanuddin sekaligus komandan kapal perang kerajaan Gowa. Berbagai pertempuran pun
dilalui oleh Makku bersama perwira-perwira tangguh Gowa lainnya. Salah satunya adalah
pertempuran di Laut Masalembo yang memporak-porandakan pasukan gabungan Belanda, Bone,
Buton dan Ambon.
Siapapun yang mempelajari sejarah Perang Makassar dengan sungguh-sungguh, dia akan
menangisi sejarah. Sodokan keharuan melihat betapa semua makhluk sebagai satu kaula kerajaan rela
mati dengan ikhlas oleh suatu cibiran terhadap martabat dan harga diri. Keangkuhan, kesombongan,
ketamakan, sirik, dengki dan semacamnya berbaur menjadi sejenis monster yang melumat habis
sendi-sendi kerajaan besar yang pernah berjaya yang punya nama besar dan harga diri agar tidak bisa
lagi dilacak oleh sejarah. Seperti yang diungkapkan dengan penuh haru oleh Panglima Kerajaan Gowa
Laksamana Intanriawa Daeng Riujung Karaeng Bontomarannu ketika mendengar dari sahabatnya
tempat dia melarikan diri,
Novel ini sebuah rekaan fiksi, sebuah penelusuran imajiner berdasar fakta-fakta sejarah di sekitar
detik-detik terakhir Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa, sebuah ibu kota dengan bandar dagang dan
pangkalan angkatan lautnya, Galesong yang terkenal, serta mempunyai hubungan luar negeri yang
kuat terutama negara-negara Eropa seperti Perancis, Denmark, Swedia, Spanyol, Inggris, dan
Portugal. Pada masa jayanya Kerajaan Gowa ini, yang mempunyai lebih banyak angkatan laut dan
marinir dibanding pasukan infanteri pernah punya 10.000 kapal perang dan tidak kurang 1000 gugus
armada besar dan kecil. Ketika pecah Perang Makassar yang paling terakhir Juli 1669 seluruh
kekuatan armada di Nusantara Timur ini dibujuk oleh Kompeni Belanda untuk datang mengeroyok
ibu kota Kerajaan Gowa, Somba Opu.
Tergambar dalam novel ini betapa kuat dan besarnya angkatan laut Gowa pada masa lalu. Wilayah
kekuasaannya bahkan sampai Bima dan Madagaskar. Keperkasaan militer Gowa tersebut tak lepas
dari keberanian dan kesetiaan prajurit Gowa kepada Negara dan rajanya. Bahkan kematian di medan
tempur adalah sebuah kebanggaan. Semangat bahari dan perjuangan menegakkan harga diri adalah
kekuatan utama novel ini.
Meski demikian, S.M. Noor tak melulu berkisah tentang perang, penulis tak lupa menyelipkan
bumbu romantis dalam novelnya. Jalinan asmara antara tokoh utama. I Makkuruni dan I Patimang,
putri sultan Hasanuddin turut menghiasi jalan cerita novel ini. Kerendahan hati dan keberanian
Makkuruni berhasil memikat hati sang putri. Namun sayang, penulis tak menceritakan akhir kisah
cinta ini.
Usaha S.M. Noor untuk mengkaji secara detail sejarah perang Makassar patut diacungi jempol.
Banyak detail yang tak banyak diketahui terkuak dalam novel ini. Seperti persahabatan antara
kerajaan Gowa dan kerajaan Perancis, Inggris dan Denmark. Kerajaan Denmark bahkan mengutus
seorang perwiranya bernama Kapten De Larssen untuk menyusupkan amunisi dan meriam ke Gowa.
Dalam keadaan sakit keraspun Karaeng Somba dengan penuh semangat mengumbar patriotisme
prajurit- prajuritnya untuk mempertahankan martabat dan harga diri dari cabikan-cabikan
pengkhianatan Surat-Surat Perjanjian.
Meski sukses menggambarkan situasi sesuai setting waktu, namun penulis tidak benar-benar
menceritakan perang Makassar yang sesungguhnya yakni saat serangan total Belanda ke kota Somba
Opu. Serangan itu berakibat jatuhnya benteng Somba Opu ke tangan Belanda yang dibantu oleh Bone,
Buton dan Ambon. Meski demikian, keberanian S.M. Noor mengangkat kisah sejarah yang
melegenda ini patut diapresiasi. Setiap waktu, setiap hari dan setiap jam adalah waktu-waktu
penantian dalam perang. Seperti kata Bung Karno. Jangan sampai kita melupakan sejarah. Sebab
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

Anda mungkin juga menyukai