Anda di halaman 1dari 12

Pemberdayaan Perempuan dalam Kebijakan Pembangunan Dilihat Dari Aspek

Aksiologi

Nama: Abdullah Khusnul Karim

Npm: 41183506220002

Pendahuluan

Sejak tahun 1980-an, pemerintah telah menggunakan istilah pemberdayaan


masyarakat untuk menggambarkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diharapkan
bahwa masyarakat dapat mengambil bagian dalam membangun dan menjaga lingkungan
mereka.Untuk mencapai keberhasilan dalam kampanye pemberdayaan Setelah itu,
pemerintah membentuk beberapa lembaga akar rumput, Dengan menggunakan LKMD/k,
PKK, dan Karang Taruna untuk mendorong komunitas lokal untuk ikut serta dan
mempertahankan solidaritas bersama. Penggiat kampanye Kebanyakan orang di masyarakat
adalah karyawan pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah bekerja sebagai penghubung
antara agenda pembangunan dan kebijakan dengan apa tindakan yang harus diambil oleh
komunitas.

Ketidaksetaraan gender masih sering terjadi di berbagai aspek kehidupan manusia.


Meskipun jenis dan tingkat diskriminasi dapat berbeda-beda di berbagai negara, polanya
cukup mengejutkan. Di negara-negara berkembang, tidak ada area mana pun yang benar-
benar memberikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal hak sosial, ekonomi,
dan hukum.

Selain masalah ketidaksetaraan gender, Indonesia juga menghadapi masalah


kemiskinan dan pengangguran yang seolah-olah tidak pernah berakhir. Pada saat ini,
pemerintah mulai menyadari bahwa kegagalan untuk menangani kedua masalah tersebut
dapat memiliki dampak yang signifikan, yang dapat menyebabkan banyak masalah di bidang
sosial, ekonomi, dan politik. Indonesia, sebagai negara berkembang, tentunya harus terus
melakukan perombakan dan penyesuaian dalam pengelolaan dan pelaksanaan kebijakannya
untuk mencapai kemajuan. Selain masalah kemiskinan dan pengangguran, ada banyak
masalah lain yang dapat menghalangi kemajuan negara berkembang, seperti masalah
pendistribusian pendapatan pembangunan sumber daya manusia dan ketidaksetaraan gender
di bidang ekonomi.
Ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan dapat dilihat dari ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam tingkat pendidikan, serta perbedaan dalam akses dan peluang
untuk memperoleh pendidikan. Data dari SUPAS tahun 1995 menunjukkan bahwa
perempuan berusia 16 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan SLTP ke atas baru 28,58
persen, sementara laki-lakinya 38,81 persen. Penduduk perempuan berusia 25 tahun ke atas
yang memiliki diploma atau sarjana baru hanya 2,6 persen, sementara laki-lakinya hanya
38,81 persen. Selain itu, data SUSENAS 1999 menunjukkan bahwa persentase perempuan
berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14.1%) jauh lebih besar daripada persentase laki-
laki, yaitu 6.3%.

Seperti yang telah disebutkan di atas, tingkat pendidikan dan kesejahteraan


perempuan yang rendah masih menunjukkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di
bidang lapangan kerja. Ini ditunjukkan oleh kurangnya peluang bagi perempuan untuk
bekerja dan berusaha, serta kurangnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi seperti
kredit, pasar, teknologi, dan informasi. Wanita masih dianggap sebagai pencari nafkah
tambahan dan hanya berstatus sebagai pekerja keluarga, meskipun penghasilan mereka
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarga.

Selain itu, diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan di tempat kerja merupakan
masalah penting lainnya yang masih belum diselesaikan. Kenyataan masyarakat
menunjukkan masih ada perbedaan perlakuan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki,
terutama mereka yang bekerja di sektor formal. Pekerja perempuan di sektor formal masih
mendapatkan perlakuan yang berbeda, termasuk perbedaan dalam gaji mereka, proses seleksi
dan promosi yang berbeda, dan perbedaan yang terkait dengan status perkawinan mereka.

Karena nilai-nilai sosial budaya patriarki masih kuat, kesetaraan dan keadilan gender
tampaknya belum dapat dicapai sepenuhnya. Menurut prinsip-prinsip ini, laki-laki dan
perempuan tidak setara dalam hal peran dan posisi. Keadaan ini ditandai dengan pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Ini semua
berasal dari diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi ini menyebabkan perempuan
tidak memiliki akses, kesempatan, dan kontrol atas pembangunan, dan mereka juga tidak
memperoleh manfaat dari pembangunan yang setara dan adil dengan laki-laki. Selain itu,
posisi dan peran perempuan di dalam keluarga dan masyarakat sering dipandang negatif
karena pemahaman yang salah tentang agama.
Di berbagai negara, kebijakan pembangunan telah mempertimbangkan pemberdayaan
perempuan. Aksiologi, sebagai penelitian tentang prinsip, memainkan peran penting dalam
pembentukan kerangka kebijakan yang mendukung perempuan dan mendukung kesetaraan.
Dalam esai ini, akan dibahas bagaimana aksiologi digunakan untuk mempertimbangkan
aspek pemberdayaan perempuan dalam kebijakan pembangunan.

Tidak ada sistem hukum yang mendukung kesetaraan gender. Keadaan ini antara lain
ditandai oleh kesadaran gender yang masih rendah di kalangan penegak hukum, kurangnya
penegak hukum yang menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan, dan kurangnya
sistem untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan penegakan hukum. Sementara itu,
beberapa faktor yang menyebabkan budaya hukum yang tidak mendukung keadilan gender
termasuk kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam
hukum, kurangnya akses masyarakat terhadap informasi dan sumber daya hukum, peran
media massa yang buruk dalam menyebarkan produk hukum kepada masyarakat, dan
kurangnya peran organisasi masyarakat dalam pengawasan dan diseminasi hukum.

Dengan Inpres No.9 tahun 2000, pemerintah Indonesia juga menerapkan


Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai program pembangunan. Strategi untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan dikenal sebagai pengaturan gender.
Aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan program dalam kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.

Tujuan PUG adalah:

1. Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender

2. Memberikan perhatian khusus pada kelompokkelompok yang mengalami marjinalisasi,


sebagai dampak dari bias gender

3. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun


nonpemerintah, sehingga mereka mau bertindak di bidang masing-masing.

Membebaskan perempuan Indonesia dari masalah ini adalah kewajiban yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Karena pemberdayaan perempuan sebenarnya adalah proses yang
memungkinkan setiap wanita Indonesia mampu membuat pilihan yang bijak sendiri. Oleh
karena itu, pemberdayaan perempuan harus diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan
fungsi dan kemampuan perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Proses pembangunan
hanya dapat berlangsung secara seimbang jika mencakup pemberdayaan perempuan,
kelompok yang selama ini dianggap paling lemah. Menurut penjelasan di atas, memberikan
kebebasan kepada kaum perempuan dalam hal ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, antara
lain, tampaknya merupakan pendekatan yang paling logis untuk membebaskan mereka dari
kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Dengan melihat fenomena dan data terbaru, akan dibahas bagaimana nilai-nilai
aksiologi membantu pemerintah meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan.

Pembahasan

Di Indonesia, peningkatan peran dan keterlibatan wanita dimaksudkan untuk


mencapai kondisi kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan wanita dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat kita. Kata sejajar dan bermitra berarti memupuk persamaan hak
untuk menghormati dan bekerja sama satu sama lain. tidak ada disana dominan, dominasi,
dan pemaksaan keinginan Duduk dan berdiri sama tinggi. rendah dalam segala aspek
keluarga, masyarakat, dan kehidupan negara. Di seluruh dunia pendidikan, baik di sekolah
maupun di luar sekolah, dengan pertimbangan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan
gizi, serta peningkatan kondisi keluarga.

Pemberdayaan Wanita dalam Kebijakan Pembangunan

Konsep yang dikenal sebagai pemberdayaan perempuan mengacu pada upaya untuk
memberikan perempuan akses yang sama terhadap sumber daya, kesempatan, dan
kemampuan untuk membuat keputusan sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan di banyak negara bertujuan
untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui program pendidikan, akses ke
layanan kesehatan, pelatihan keterampilan, dan pengarusutamaan gender dalam kebijakan
publik.

Upaya untuk meningkatkan peran, akses, dan kesempatan wanita dalam berbagai
aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebijakan publik, dan partisipasi
mereka dalam pengambilan keputusan, dikenal sebagai pemberdayaan wanita dalam
kebijakan pembangunan. Tujuan pemberdayaan wanita adalah untuk menciptakan kesetaraan
gender, mengurangi kesenjangan, dan memungkinkan wanita untuk berkontribusi aktif dalam
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Bidang Pemberdayaan Wanita dalam Kebijakan Pembangunan

1. Pendidikan: Akses pendidikan yang sama adalah bagian penting dari pemberdayaan
wanita. Kebijakan pendidikan yang inklusif dan merata membantu mengurangi kesenjangan
gender dalam akses ke pendidikan, dan memberikan kesempatan yang sama untuk pendidikan
memungkinkan wanita maju di banyak bidang.

2. Kesehatan: Kebijakan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan wanita


juga mencakup akses yang memadai terhadap layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan
reproduksi dan keluarga. Ini meningkatkan kesehatan fisik wanita dan memungkinkan
mereka untuk berpartisipasi lebih aktif dalam kehidupan sosial dan profesional mereka.

3. Partisipasi Politik dan Pengambilan Keputusan: Kebijakan pembangunan juga


mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Ini
termasuk meningkatkan jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam jabatan politik, menjadi
anggota lembaga legislatif, dan meningkatkan peran mereka dalam pengambilan keputusan
publik.

4. Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Pemberdayaan


wanita melalui kebijakan pembangunan juga menekankan betapa pentingnya menghapus
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Perlindungan hukum, penegakan hukum
yang adil, dan norma sosial yang mendukung kesetaraan gender adalah semua contohnya.

Ketika perempuan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan,
mereka cenderung menjadi agen perubahan yang kuat dalam keluarga, masyarakat, dan
ekonomi. Pemberdayaan wanita tidak hanya merupakan tujuan moral yang penting untuk
mencapai kesetaraan gender, tetapi juga merupakan strategi yang logis dan efektif untuk
memajukan pembangunan umum. Wanita yang mendapatkan dukungan yang tepat memiliki
potensi besar untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan
berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.
Aksiologi dan Nilai-nilai dalam Pemberdayaan Perempuan

Aksiologi menekankan betapa pentingnya nilai-nilai untuk membentuk tata nilai yang
mendasari tindakan manusia. Nilai-nilai seperti kesetaraan, keadilan, martabat, dan hak asasi
manusia adalah contoh nilai-nilai dasar yang sejalan dengan tujuan pemberdayaan
perempuan. Misalnya, nilai kesetaraan berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki harus
memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti hak untuk
mendapatkan akses terhhadap Pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik.

Prinsip-prinsip Aksiologi dalam Pemberdayaan Perempuan:

1. Kesetaraan Nilai kesetaraan adalah prinsip aksiologi utama yang menekankan


bahwa semua orang memiliki hak yang sama dalam semua aspek kehidupan mereka, tanpa
memandang jenis kelamin mereka. Dalam konteks pemberdayaan perempuan, kesetaraan ini
berarti akses yang setara terhadap pendidikan, karir, keputusan politik, dan sumber daya
lainnya.

2. Keadilan: Nilai keadilan mengacu pada pembagian hak, kebutuhan, dan


kesempatan yang adil. Dalam konteks pemberdayaan perempuan, keadilan memastikan
bahwa perempuan memiliki akses yang sama ke sumber daya, pekerjaan yang layak,
perlindungan hukum yang setara, dan kesempatan untuk maju.

3. Martabat: Martabat adalah nilai yang menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai


kemanusiaan yang ada pada setiap orang. Dalam hal pemberdayaan perempuan, martabat
menuntut perlakuan yang menghormati hak asasi manusia, integritas, dan keberagaman
perempuan dalam semua bidang kehidupan.

4. Hak Asasi Manusia Aksiologi menekankan betapa pentingnya hak asasi manusia
sebagai dasar moral. Nilai-nilai hak asasi manusia memastikan bahwa perempuan diberi hak
yang sama dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan mereka, seperti mendapatkan
pendidikan, memilih pekerjaan, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan terbebas dari
diskriminasi dan kekerasan. Semua ini dilakukan untuk mendorong pemberdayaan
perempuan.

Kontribusi Aksiologi pada Kebijakan Pemberdayaan Perempuan:


1. Pemahaman Nilai-nilai Universal: Aksiologi membantu menentukan nilai-nilai
universal yang mendasari pemberdayaan perempuan, yang dapat diterima secara luas dalam
berbagai budaya dan masyarakat.

2. Pendekatan Holistik: Nilai-nilai aksiologi memandang perempuan sebagai orang


yang memiliki semua hak dan potensi yang harus diakui dan dikembangkan.

3. Pembenaran Filosofis: Aksiologi memberi dasar filosofis yang kuat untuk


membenarkan pemberdayaan perempuan sebagai keharusan moral dan kebutuhan praktis.

4. Perubahan Budaya dan Kesadaran: Dengan menggunakan prinsip-prinsip aksiologi,


kebijakan pemberdayaan perempuan memiliki kemampuan untuk menghasilkan perubahan
budaya yang mendukung dan membuat masyarakat lebih menyadari pentingnya kesetaraan
gender.

Aksiologi memainkan peran penting dalam memahami prinsip-prinsip moral yang


menjadi landasan bagi pemberdayaan perempuan. Dengan menggunakan prinsip-prinsip
aksiologi, kebijakan pemberdayaan perempuan dapat digunakan dengan lebih baik untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan, keadilan, dan martabat bagi
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

Fakta dan Gejala Terbaru

Namun, situasi di berbagai masyarakat menunjukkan bahwa ada masalah besar dalam
menerapkan kebijakan pemberdayaan perempuan. Misalnya, di beberapa negara masih ada
ketidaksamaan gender dalam akses ke pendidikan dan kesempatan kerja. Selain itu, fenomena
ini tercermin dalam fakta bahwa perempuan jarang berada di posisi kepemimpinan di
berbagai sektor. Faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi seringkali berfungsi sebagai
penghalang bagi perempuan untuk mencapai pemberdayaan yang sebenarnya.

Beberapa perkembangan terbaru mengenai pemberdayaan perempuan dalam


kebijakan pembangunan mencakup beberapa tren dan perubahan yang masih menjadi
perhatian utama:

1. Kesenjangan Pendidikan Gender

Meskipun akses perempuan terhadap pendidikan telah meningkat, terutama di banyak


negara maju, masih ada kesenjangan dalam akses dan kualitas pendidikan bagi perempuan di
beberapa wilayah. Ini dapat dilihat dari jumlah perempuan yang masih kurang dalam
mengakses pendidikan tinggi atau terbatasnya kesempatan bagi perempuan di daerah
pedesaan untuk belajar.

2. Peran Perempuan di Tempat Kerja

Di beberapa negara dan industri, perempuan masih menghadapi tantangan dalam


mencapai kesetaraan pekerjaan. Meskipun partisipasi perempuan telah meningkat di berbagai
bidang, masih ada perbedaan dalam representasi perempuan di posisi kepemimpinan dan
dalam upaya untuk mengatasi perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki.

4. Partisipasi Politik

Meskipun jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam parlemen dan posisi politik
lainnya telah meningkat, masih sedikit perempuan yang terwakili dalam posisi kekuasaan
politik dan pengambilan keputusan. Ini menjadi salah satu hambatan utama dalam mencapai
kesetaraan gender dalam politik di beberapa negara.

5. Kekerasan Perempuan

Di banyak negara, kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual,


kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan manusia, masih menjadi masalah besar.
Meskipun kesadaran akan masalah ini telah meningkat dan upaya dilakukan untuk
menanganinya, belum ada cara untuk menyelesaikan masalah dengan benar dan melindungi
korban.

Inovasi dan Langkah-Langkah Positif: Tentu saja, ada juga banyak inisiatif dan langkah-
langkah positif yang terus muncul dalam upaya pemberdayaan perempuan. Beberapa di
antaranya adalah kehadiran program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan di beberapa
sektor, penggunaan teknologi untuk mempermudah akses perempuan ke pendidikan dan
informasi, dan upaya pemberdayaan politik yang lebih inklusif.

Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai dalam mendorong pemberdayaan


perempuan dalam berbagai bidang kebijakan pembangunan, masih ada banyak tantangan
yang harus diatasi. Untuk mencapai kesetaraan gender secara keseluruhan, pendidikan,
keterlibatan ekonomi, kesehatan, partisipasi politik, dan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan masih menjadi fokus utama. Untuk mengatasi masalah ini dan mendorong
perubahan positif untuk pemberdayaan perempuan, diperlukan kerjasama yang kuat antara
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat.
Kontribusi Aksiologi dalam Kebijakan Pembangunan

Prinsip-prinsip aksiologi dapat menjadi landasan untuk kebijakan pembangunan yang


lebih inklusif dan berkeadilan gender dalam menghadapi tantangan tersebut. Dengan
membangun sistem yang didasarkan pada prinsip-prinsip seperti keadilan, kesetaraan, dan
martabat, kebijakan pemberdayaan perempuan dapat direalisasikan dengan lebih baik

Selain itu, prinsip-prinsip aksiologi dapat berkontribusi pada transformasi budaya dan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang peran perempuan dalam pembangunan. Metode
ini akan menghasilkan pergeseran paradigma yang mengakui kemampuan perempuan dan
peran mereka dalam kemajuan suatu negara.

Dalam konteks kebijakan pembangunan, aksiologi dapat berkontribusi dalam


beberapa cara berikut:

1. Nilai-nilai moral, seperti kesetaraan, keadilan, martabat, dan hak asasi manusia,
memberikan fondasi untuk kebijakan pembangunan. Nilai-nilai ini menjadi pijakan untuk
pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

2. Pandangan Holistik Aksiologi menggambarkan tujuan dan nilai-nilai kebijakan


pembangunan secara keseluruhan. Ini mendukung argumen moral untuk kebijakan yang
mengutamakan keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.

3. Pandangan Jangka Panjang: Prinsip-prinsip aksiologi cenderung mendukung


pembangunan berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan prinsip moral, kebijakan
pembangunan dapat lebih berkonsentrasi pada hasil yang menguntungkan masyarakat secara
keseluruhan dalam jangka panjang.

4. Penilaian kebijakan aksiologi, yang mengacu pada prinsip-prinsip moral yang


dipegang teguh, membantu dalam penilaian kebijakan pembangunan. Ini memungkinkan
untuk menilai apakah kebijakan mendukung prinsip-prinsip moral yang diinginkan dan
membantu pemberdayaan masyarakat.

5. Mengatasi Ketimpangan dan Diskriminasi: Nilai-nilai aksiologi seperti kesetaraan


dan keadilan digunakan untuk mengatasi ketimpangan dan diskriminasi dalam kebijakan
pembangunan. Aksiologi membantu menemukan dan memerangi elemen yang menghambat
kesetaraan dan martabat manusia.
6. Meningkatkan Partisipasi dan Keterlibatan: Aksiologi mendukung kebijakan yang
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam proses pembangunan. Ini bisa
mencakup pemberdayaan individu melalui pengambilan keputusan, memperkuat hak-hak
mereka, dan meningkatkan partisipasi secara keseluruhan dalam pembangunan.

7. Adaptasi dan Pengembangan Kebijakan yang Berkelanjutan: Nilai-nilai aksiologi


membantu dalam adaptasi kebijakan yang responsif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan
budaya. Kebijakan pembangunan dapat dibuat terus-menerus agar relevan dan berkelanjutan
seiring waktu dengan mempertimbangkan nilai-nilai ini

Selain memberikan landasan moral bagi kebijakan pembangunan, aksiologi juga


berfungsi sebagai pedoman dalam pembuatan kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan
berfokus pada kesejahteraan manusia. Dengan mendasarkan kebijakan pada nilai-nilai
aksiologi, pembangunan dapat lebih baik mengintegrasikan elemen moral, sosial, dan etis
dalam kebijakan sehingga menghasilkan hasil yang menguntungkan bagi masyarakat secara
keseluruhan.

Simpulan

Jadi, untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan, penting bagi kebijakan


pembangunan untuk melibatkan perempuan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip aksiologi
seperti kesetaraan, keadilan, dan martabat, kebijakan pembangunan dapat lebih baik
meningkatkan partisipasi dan kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, kendala yang ada menunjukkan bahwa upaya yang lebih besar diperlukan untuk
menerapkan nilai-nilai aksiologi dalam kebijakan pembangunan. Untuk mencapai hal ini,
pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membuat
lingkungan yang mendukung pemberdayaan perempuan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang
sama untuk berkembang dan berkontribusi pada pembangunan negara, tidak peduli jenis
kelaminnya, penting untuk terus memperkuat kebijakan yang didasarkan pada nilai-nilai
aksiologi.

Karena keyakinan gender dalam masyarakat dan organisasi pelaksana pembangunan,


pembangunan berdampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa analisis gender sangat strategis bagi kaum feminis untuk
memperjuangkan nasib kaum perempuan dan sangat penting bagi setiap upaya perubahan
sosial.

Dalam kebijakan pembangunan, prinsip aksiologi dapat diterapkan untuk mendorong


pemberdayaan perempuan. Dengan mempertimbangkan fakta dan fenomena saat ini, serta
nilai-nilai aksiologi, diharapkan upaya untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan dapat diperkuat untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan.

Aksiologi memberikan dasar nilai-nilai moral penting untuk kebijakan pembangunan.


Hak asasi manusia, kesetaraan, keadilan, dan martabat adalah pilar dari kebijakan yang
inklusif dan berkelanjutan. Aksiologi melihat pembangunan dari perspektif holistik, yang
berarti bahwa kebijakan harus lebih berfokus pada kesejahteraan masyarakat dalam jangka
panjang. Selain itu, nilai-nilai aksiologi membantu dalam mengevaluasi kebijakan saat ini,
memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip moral yang baik dan berdampak
positif pada pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, aksiologi membantu mengatasi ketimpangan dan diskriminasi dengan


mengidentifikasi hambatan yang menghalangi kesetaraan dan martabat manusia. Nilai-nilai
aksiologi juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam proses
pembangunan, memperkuat hak individu, dan membangun kebijakan yang responsif terhadap
perubahan sosial, ekonomi, dan budaya.

Jadi, aksiologi bukan hanya memberikan fondasi moral, tetapi juga berfungsi sebagai
pedoman yang kuat untuk merancang kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, inklusif,
dan berorientasi pada kesejahteraan manusia. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai
aksiologi, kebijakan pembangunan dapat lebih baik menjangkau aspek moral, sosial, dan etis,
sehingga memiliki dampak yang lebih baik pada masyarakat secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Muhtamar, S. (2017). Batas-Batas Normatif Prinsip Partisipasi dalam Perundang-Undangan


Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum, 4(1), 170-187.

Ediyono, S. (2023). MENUJU TRANSFORMASI SOSIAL: PEMBERDAYAAN POTENSI


DAN SUMBER KESEJAHTERAAN MELALUI PENDEKATAN ONTOLOGIS,
EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS DALAM SISTEM LAYANAN DAN RUJUAN
TERPADU DI KABUPATEN TEGAL. Journal of Scientech Research and Development,
5(2), 84-97.

Bayoa, G. A. (2013). Partisipasi perempuan dalam implementasi kebijakan pengelolahan


program keluarga dan masyarakat sejahtera (Suatu studi analisi dalam Peraturan Daerah
Huda, N., Rasyid, A. A., Suyata, P., & Sumarno, S. (2013). Pengembangan Model Penelitian
Perspektif Gender. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 17(2), 304-317.

Huraerah, A. (2008). Pengorganisasian dan pengembangan masyarakat: model dan strategi


pembangunan berbasis kerakyatan. Humaniora.

Ruslan, M. (2010). Pemberdayaan perempuan dalam dimensi pembangunan berbasis gender.


Jurnal Musawa, 2(1), 79-96.

Parawansa, K. I. (2003). Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan. Bali,


hlm, 1-15.

Anda mungkin juga menyukai