Anda di halaman 1dari 4

Pertemuan-4

B. Sistematika Berfikir
1. Metode Induktif
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan
bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang
diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari
metode berpikir induktif.
Contoh:
Jika dipanaskan, besi memuai.
Jika dipanaskan, tembaga memuai.
Jika dipanaskan, emas memuai.
Jika dipanaskan, platina memuai.
∴ Jika dipanaskan, logam memuai.
Jika ada udara, manusia akan hidup.
Jika ada udara, hewan akan hidup.
Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.
∴ Jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
Metode berpikir induktif adalah proses berpikir logis yang diawali dengan observasi
data, pembahasan, dukungan pembuktian, dan diakhiri dengan kesimpulan umum. Proses
penalaran induktif dapat berupa generalisasi atau perampatan, analogi, dan hubungan
kausal.
a. Generalisasi atau perampatan adalah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas
sejumlah gejala yang bersifat khusus, serupa, atau sejenis yang disusun secara logis dan
diakhiri kesimpulan yang bersifat umum.
b. Analogi adalah proses penalaran berdasarkan pengamatan terhadap gejala khusus
dengan membandingkan atau mengumpamakan suatu objek yang sudah teridentifikasi
secara jelas terhadap objek yang dianalogikan sampai dengan kesimpulan yang berlaku
umum.
c. Hubungan kausal (sebab – akibat/akibat – sebab) adalah proses penalaran berdasarkan
hubungan ketergantungan antargejala yang mengikuti pola sebab − akibat, akibat −
sebab, sebab – akibat – akibat.
Karangan ilmiah kualitatif induktif dilandasi penalaran (1) observasi data, (2)
estimasi desain, (3) verifikasi analisis, (4) pembenaran komparasi, (5) konfirmasi
keluaran, dan (6) generalisasi/induksi. Karangan ilmiah, yang merupakan penelitian
kuantitatif induktif, proses penalarannya dapat diawali dengan (1) observasi estimasi atas
masalah, (2) verifikasi hipotesis formulasi, (3) pembenaran hipotesis, (4) konfirmasi
signifikansi, (5) generalisasi/induksi.
2. Metode Deduktif
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang
umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Metode berpikir deduktif adalah proses berpikir logis yang diawali dengan penyajian
fakta yang bersifat umum, disertai pembuktian khusus, dan diakhiri kesimpulan khusus yang
berupa prinsip, sikap, atau fakta yang berlaku khusus. Penalaran deduktif dapat berupa
silogisme atau entimem.
a. Silogisme adalah suatu proses penalaran yang menghubungkan dua proposisi
(pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan sebuah kesimpulan yang merupakan
proposisi yang ketiga. Sementara itu, proposisi merupakan pernyataan yang dapat
dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di
dalamnya (Keraf, 1982). Silogisme terdiri atas tiga bagian, yakni premis mayor, premis
minor, dan kesimpulan.
1) Premis Mayor
Premis mayor mengandung term mayor dari silogisme, merupakan generalisasi
atau proposisi yang dianggap benar bagi semua unsur atau anggota kelas tertentu.
Premis adalah proposisi yang menjadi dasar bagi argumentasi, sedangkan term
adalah suatu kata atau frasa yang menempati fungsi subjek atau predikat.
2) Premis Minor
Premis minor mengandung term minor dari silogisme, berisi proposisi yang
mengidentifikasi atau menunjuk sebuah kasus atau persitiwa khusus sebagai anggota dari
kelas itu.
3) Kesimpulan
Kesimpulan adalah proposisi yang menyatakan bahwa apa yang berlaku bagi
seluruh kelas akan berlaku pula bagi anggota-anggotanya.
b. Entimem adalah bentuk silogisme yang tidak lengkap; bagian silogisme yang dianggap
sudah dipahami dihilangkan.
Karangan ilmiah kualitatif deduktif sering digunakan dalam pembahasan masalah-
masalah humaniora. Selain itu, jenis karangan ini juga digunakan untuk mengupas
masalah-masalah yang berkaitan dengan kualifikasi produk yang bernilai ekonomi,
seperti keindahan pakaian, kecantikan, dan keserasian dapat pula menggunakan jenis
karangan ini. Tidak ketinggalan, karangan jenis ini pun dapat pula berisi pembahasan
produk teknologi yang dipadukan dengan seni, misalnya keindahan rumah, kemewahan
mobil, dan kenyamanan menumpang pesawat terbang.
Karangan ilmiah kuantitaf deduktif ditandai dengan penggunaan angka kuantitatif
yang bersifat rasional. Proses penalaran kuantitatif deduktif dapat dirinci dengan
menguraikan bidang observasi, tujuan, penjelasan data yang diperlukan, rumusan masalah,
kerangka teori yang terkait dengan penjelasan dan pembahasan variabel, rumusan hipotesis
dan penjelasannya, desain penelitian yang terkait dengan pengumpulan data, deskripsi data,
analisis data, hasil analisis, dan kesimpulan deduktif yang merupakan interpretasi atas hasil.
Setelah memahami tentang penalaran dalam karangan ilmiah, maka kemudian dapat
memahami dengan benar pengertian tentang: karangan, ilmiah, karangan ilmiah, dan
penalaran dalam karangan ilmiah.
1. Hakikat Karangan
Karangan pada hakikatnya merupakan karya tulis yang berupa bangunan bahasa, yang
berisi ide/gagasan tertentu. Dari pengertian ini, ada 3 hal penting yang terkandung dalam
pengertian karangan, yaitu tulisan, bahasa, dan ide/ gagasan
2. Ilmiah
Pembahasan tentang apa yang dimaksud ilmiah tidak dapat dilepaskan dari hakikat
pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas tahu. Pengetahuan berbeda
dengan pengalaman (hasil dari aktivitas mengalami). Aktivitas tahu dapat diperoleh dengan
dua cara: melalui intuisi/perasaan, dan melalui proses berpikir.
Hasil aktivitas tahu yang diperoleh melalui intuisi/perasaan bersifat intuitif, yang
dalam pengertian Jawa sering diistilahkan dengan ‘ngelmu’. Sedangkan hasil aktivitas tahu
yang diperoleh melalui proses berpikir akan menghasilkan pengetahuan diskursif.
Pengetahuan diskursif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Bersifat biasa yang diperoleh melalui proses berpikir yang biasa-biasa saja. Ciri-cirinya:
praktis (berguna dalam hidup sehari-hari) dan tidak mendalam (tidak tahu proses
penciptaannya/ sebab musababnya). Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman,
sehingga menjadi pengetahuan praktis/biasa saja;
b. Bersifat ilmiah. Pengetahuan ini diperoleh melalui proses berpikir ilmiah.
Ciri proses berpikir ilmiah antara lain:
1) bertujuan untuk menemukan kebenaran
2) kebenaran tersebut harus sesuai antara konsep dengan faktanya
3) hubungan antara pernyataan dengan kenyataan bersifat logis
Adapun syarat proses berpikir dikatakan ilmiah adalah
1) Ada objek (hal yang dipikirkan) yang dikhususkan.
Misal:
a) Fakta alamiah --muncul Ilmu Alamiah seperti: Biologi, Fisika, Kimia, Geologi,
Geodesi, Astronomi, Kosmologi;
b) Fakta sosial --muncul Ilmu Sosial seperti: Sosiologi, Sejarah, Ekonomi, dll;
c) Fakta manusia --muncul Ilmu Humaniora seperti: Filsafat manusia, Anatomi,
Psikologi, Sastra, dll.
2) Harus ada metodenya (cara untuk mencapai kebenaran). Tuntutan metodologis inilah
yang kemudian melahirkan ‘teori’ (kebenaran yang universal) sebagai acuan dalam
berpikir.
3) Harus sistematis (berpikir secara lurus/logis) Hasil dari proses berpikir secara ilmiah
inilah yang disebut dengan ilmu pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian, ilmiah adalah proses berpikir yang bersifat diskursif yang memiliki
ciri (1) bertujuan menemukan kebenaran, (2) kebenaran tersebut harus sesuai antara konsep
dengan faktanya, dan (3) hubungan antara pernyataan dengan kenyataan bersifat logis; serta
memiliki syarat-syarat: (a) harus memiliki objek, (b) harus memiliki metode, dan (c) harus
sistematis.
3. Karangan Ilmiah
Karangan ilmiah adalah hasil proses berpikir ilmiah yang ditulis. Dengan kata lain,
karangan ilmiah adalah karangan hasil berpikir ilmiah yang di dalamnya mencerminkan ciri
ilmu pengetahuan.
Suatu karangan dapat dikatakan ilmiah jika memenuhi empat syarat, yaitu:
a. Isi, berisi masalah ilmu pengetahuan.
b. Penalaran, disusun menurut sistematika/penalaran ilmiah.
c. Teknik Penyusunan, menurut teknik penulisan karangan ilmiah.
d. Bahasa, disusun dengan bahasa ilmu (bahasa yang dipakai dalam ilmu pengetahuan).
Berdasarkan cara penyajian dan sasaran pembacanya, karangan ilmiah dapat
dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Karangan ilmiah popular, yaitu karangan ilmiah yang disusun dengan sistematika
penyajian yang populer/merakyat. Dari sudut pembaca: dapat dipahami masyarakat
umum. Teknik penyusunan, sistematika, dan bahasa - populer, isi: ilmiah. Contoh: buku
petunjuk tentang cara-cara tertentu, psikologi populer, artikel surat kabar.
2) Karangan ilmiah akademis, disusun berdasarkan 4 syarat karangan ilmiah. Karangan jenis
ini disusun oleh masyarakat ilmiah dan ditujukan untuk masyarakat ilmiah yang tertentu
pula (pelajar, mahasiswa, ilmuwan, cendikiawan). Masyarakat awam/umum sukar
memahami.
Adapun ciri karangan ilmiah adalah:
a) Isi mencerminkan hakikat ilmu pengetahuan/objek ilmu tertentu,
b) Mengandung teori/semacam kerangka berpikir,
c) Ada metodenya (cara mencari dan menemukan kebenaran),
d) Mengandung penalaran.
4. Penalaran Dalam Karangan Ilmiah
Penalaran dalam suatu karangan ilmiah mencakup 5 aspek, yaitu:
a. Aspek keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antarbagian yang satu dengan yang lain dalam suatu
karangan. Artinya, bagian-bagian dalam karangan ilmiah harus berkaitan satu sama lain.
Pada pendahuluan misalnya, antara latar belakang masalah – rumusan masalah – tujuan –
dan manfaat harus berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian
landasan teori, harus berkaitan dengan pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan
kesimpulan.

b. Aspek urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang sesuatu yang harus didahulukan atau ditampilkan
kemudian (dari hal yang paling mendasar ke hal yang bersifat pengembangan). Suatu
karangan ilmiah harus mengikuti urutan pola pikir tertentu. Pada bagian Pendahuluan,
dipaparkan dasar-dasar berpikir secara umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka
analisis yang akan dipakai untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail
dan lengkap. Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus sebagai
penutup karangan ilmiah.
c. Aspek argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta, analisis terhadap fakta,
pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal yang telah dibuktikan. Hampir
sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan argumen-argumen mengapa masalah
tersebut perlu dibahas (pendahuluan), pendapat-pendapat/temuan-temuan dalam analisis
harus memuat argumen-argumen yang lengkap dan mendalam.
d. Aspek teknik penyusunan
Yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah digunakan secara konsisten.
Karangan ilmiah harus disusun dengan pola penyusunan tertentu, dan teknik ini bersifat
baku dan universal. Untuk itu pemahaman terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah
merupakan syarat multak yang harus dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.
e. Aspek bahasa
Yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan tersebut, baik dan benar, serta
menggunakan bahasa baku. Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang baik, benar dan
ilmiah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat justru akan mengurangi kadar keilmiahan suatu
karya sastra lebih-lebih untuk karangan ilmiah akademis. Beberapa ciri bahasa ilmiah:
kalimat pasif, sedapat mungkin menghindari kata ganti diri (saya, kami, kita), susunan
kalimat efektif/hindari kalimat-kalimat dengan klausa-klausa yang panjang.

Anda mungkin juga menyukai