Anda di halaman 1dari 4

“Revolusi Berhenti Hari Minggu".

Judul itu lahir dari kebiasaan Pak Emil yang selalu


sibuk dari Senin-Sabtu, sejak mahasiswa. Maklum, Pak Emil adalah Ketua Dewan
Mahasiswa UI yang pertama (1955-1957). Bayangkan kesibukan Pak Emil, di
tengah situasi nasional dan internasional yang berlangsung di Indonesia ketika
mahasiswa, hingga menjadi asisten dosen, dosen muda, hingga guru besar.
Menurut teman dekat Pak Emil, satu-satunya hari Pak Emil tak terlihat di kampus
adalah hari Minggu. Rupanya, hari itu Pak Emil menggunakan waktu dengan
pacaran. Hari-hari berhenti dalam revolusi individualnya. Begitulah, kekasih hati
menjadi halte yang wajib disinggahi. Tak heran, dalam pelbagai nasihatnya, Pak
Emil meminta mahasiswa melakukan seluruh aktivitas, tak hanya kuliah atau diskusi.

Revolusi Berhenti Hari Minggu, demikian judul yang dipakai untuk merangkum
kumpulan tulisan para sahabatnya dalam menyambut 70 tahun usia Prof Dr Emil
Salim. Hasil kerja keras panitia lima; Koesnadi Hardjasoemantri, Alwi Dahlan,
Sabam Siagian, Wisaksono Nuradi, dan MS Kismadi. Tentang pemakaian istilah
tersebut, Emil Salim berkata, “Bertolak dari anggapan, kerja harus berhenti pada hari
Minggu dan perlu dicurahkan untuk kegiatan non-dinas. Pekerjaan saya selalu
menumpuk dan sudah jadi kebiasaan, bekerja 12 jam sehari. Keluarga saya masih
muda dan anak-anak berteriak, cukup, biarkan ‘revolusi’ berhenti hari Minggu. Tak
ada teori serius di balik ini, sekadar menarik garis antara tugas kantor dan kewajiban
keluarga…” Emil Salim bertemu Roosminnie Roza pada masa perpeloncoan
Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) tahun 1956. Dua tahun kemudian mereka
menikah dan sekarang, keluarga bahagia tersebut sudah disemarakkan dengan
kehadiran dua putra dan tiga cucu.

Lahir di Lahat, Sumsel, tanggal 8 Juni 1930, sejak remaja kegiatannya tidak sekadar
mencari ilmu. Selain duduk di bangku sekolah, dia mengembangkan talenta
alaminya dengan berorganisasi. Ketika perang kemerdekaan memanggil, ial dipilih
sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Sumatera Selatan, sekaligus
Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949). Ketika tahun 1949 terpaksa pindah
ke Bogor, karena ditangkap Belanda, dia langsung terpilih sebagai Ketua IPPI Bogor
dan anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi.

Tangkas berbicara sekaligus lancar menulis, kedua bakat tersebut sejak remaja
melekat pada dirinya. Kegemarannya berdebat, dan tidak gentar untuk menghadapi
siapa pun, semula diharapkan bisa membawa angin segar dalam sidang kabinet,
ketika tahun 1971 ia ditunjuk menjadi Menteri Negara Penyempurnaan &
Pembersihan Aparatur Pemerintahan merangkap Wakil Ketua Bappenas. Harapan
tinggal harapan. Emil yang muda dan agak pemberang malahan mulai terjinakkan.
Keberaniannya berbeda pendapat dengan Pak Harto, misalnya ketika mereka
membicarakan Bulog, lama-kelamaan luluh sampai akhirnya sejak tahun 1993,
sesudah 22 tahun menjadi menteri di beragam bidang, Emil dilepaskan.

Pembangunan selalu memerlukan kader. Dekan FE UI Prof Sumitro


Djojohadikusumo memimpikan para kadernya menambah ilmu di bekas sekolahnya,
London School of Economics and Political Science di Inggris. Sayangnya, British
Council tidak punya dana, yang ada justru tawaran dari AS. Maka mereka dikirim ke
Departemen of Economics Universitas California di Berkeley AS. Sambil belajar,
kelompok tersebut rutin berdiskusi membicarakan pemerintahan Bung Karno yang
meskipun secara politis populer dan namanya menjulang di dunia internasional
namun perekonomiannya morat-marit.

Begitu rezim Sukarno jatuh, para pendekar ekonomi ini beramai-ramai pulang,
mencoba resep baru untuk memacu pembangunan. Mereka inilah, di bawah
pimpinan Widjojo Nitisastro, kemudian menerima julukan, “Berkeley Mafia.” Prof
Widjojo Nitisastro mengakui, “Di antara murid Prof Sumitro, Emil Salim yang paling
setara dengan gurunya, dalam hal kecerdasan, daya analisa, mengambil
kesimpulan, penyampaian pendapat, daya beragumentasi, keterbukaan sikap, dan
keterusterangan.”

Pertengahan tahun 1998, angin musim semi perubahan seolah-olah bertiup


kencang. Emil Salim dengan tegar mengajukan diri sebagai calon Wakil Presiden.
Apa latar belakangnya? “Saya, dan semua rekan tahu, kemungkinan lolos sangat
kecil, karena memang tidak bakal dimungkinkan dalam konstelasi politik masa itu.
Namun yang ingin kami ungkapkan adalah hadirnya voice of dissent, ada calon lain
di luar yang sudah ditunjuk dari atas.”

Tapi “takdirnya”, barangkali, ada di bidang ekonomi. Kepakarannya dalam bidang


tersebut masih dibutuhkan. Melalui Keppres No. 144 tanggal 30 November 1999,
Abdurrahman Wahid (presiden saat itu) mengangkat Emil menjadi Ketua Dewan
Ekonomi Nasional –sebuah lembaga pengkaji masalah ekonomi, terdiri atas 13
pakar ekonomi dari berbagai bidang keahlian. Apa hasilnya? Tidak ada, kata para
pengamat. Bukan karena Emil tak bisa bekerja, tapi karena tugas Dewan memang
hanya memberi masukan kepada presiden. Jadi, terserah presidennya. Di samping
masih terus mengikuti berbagai masalah ekonomi, pencinta buku-buku Karl May ini
tak pernah surut perhatiannya terhadap persoalan lingkungan hidup. Sampai
sekarang, Emil memimpin Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) yang bergerak
pada bidang pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Sejak terpilih menjadi Menteri Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan dan


Lingkungan Hidup), 1978, nama Emil Salim tidak pernah usai diperbincangkan.
Terutama karena gebrakannya dalam soal lingkungan hidup. Konsep Andal (analisa
dampak lingkungan)-nya berhasil menyelamatkan beberapa kerusakan lingkungan
akibat proyek- proyek raksasa. Emil memberi contoh tentang perlunya Andal, yaitu
ketika ada rencana membangun Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kota Panjang,
Riau. Waduk yang dibutuhkan akan menenggelamkan areal yang ditempati candi
Muara Takus. Andal ternyata berhasil mencegah penenggelaman candi tersebut.

Emil juga pemrakarsa translokasi gajah dari Air Sugihan ke hutan Lebong Hitam di
Palembang, Sumatera Selatan, November 1982. Ketika itu, ratusan gajah dilaporkan
merajah kebun jagung milik transmigran. Rupanya, gajah-gajah itu kehilangan
daerah pengembaraannya lantaran dijadikan lokasi transmigrasi. Emil segera turun
tangan bersama ratusan prajurit Kodam IV Sriwijaya — waktu itu — dibantu
transmigran setempat, menggiring gajah ke tempat yang baru.

Pada saat bersekolah dulu, gurunya membacakan kisah petualangan Winnetou.


Akibat ulah gurunya, Emil Salim dan beberapa temannya menjelajahi hutan di
sekitar Bukit Surelo dan sepanjang sungai Lematang.
Mereka bertingkah bagai Old Shatterhand. Ingatan ini teringat kembali saat Emil
Salim ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup. Terlihatlah benang merah
antara hubungan manusia dengan hutan seperti yang dikisahkan Karl. Karena
benang merah yang ditonjolkan dalam buku-buku Karl May adalah kedamaian,
keikhlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan,” urai Emil.

Puluhan tahun kemudian, ketika ia ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup di


tanah-air, ingatannya pada cerita Karl May bangkit kembali. Hutan tidak lagi dilihat
sebagai obyek pengusaha HPH, tetapi sebagai “rumah besar” bagi segala makhluk
yang hidup. Maka terbayang di matanya peranan pacet, bunga pemberi madu,
monyet dll. Terpampanglah keterkaitan antara hubungan manusia dengan hutan
sebagaimana tergambarkan pada besarnya peranan hutan bagi Winnetou dan suku
Apachennya.

Sebagai Menteri KLH, ia tampak sangat mencintai tugas- tugasnya. Terlihat dari
lukisan-lukisan yang tergantung di dinding ruang kantornya, hampir semuanya dari
bahan bekas. Seperti lukisan burung cenderawasih dari bungkus rokok. Tidak
ketinggalan foto-foto satwa dan hutan. Satu-satunya lukisan pastel di ruang kerjanya
adalah lukisan gajah karya Gilang Cempaka, pelukis cilik dari Bandung.

Sebagai mahasiswa saya berupaya menjaga lingkungan melalui hal – hal kecil
seperti mengurangi penggunaan plastic dengan menggunakan tumblr, tidak
memakai sedotan plastic serta alat makan plastic, tidak membuang sampah
sembarangan serta berusaha memisahkan sampah sesuai jenisnya. Hal – hal
kecil ini meskipun terlihat sepele dapat membantu bumi kita yang saat ini sudah
mengalami penumpukan plastic yang tidak bisa musnah bahkan setelah ratusan
tahun. Tidak menyisakan makanan juga termasuk cara untuk menjaga
ketahanan pangan apalagi Indonesia termasuk negara dengan food waste yang
tinggi.

Ke depannya semoga pemerintah bisa menerapkan larangan penggunaan


kantong plastic terutama untuk seluruh supermarket atau pedagang di seluruh
Indonesia dan beralih ke paper bag atau tas dengan bahan alami sebagai
Langkah untuk melestarikan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Kemudian
yang paling penting seperti perkataan Prof. Emil Salim mengenai pentingnya
edukasi kepada masyarakat awam tentang bahaya plastic dalam jangka Panjang.
Kesadaran masyarakat sangat penting untuk bisa mendukung program larangan
penggunaan kantong plastic karena tanpa dukungan dari masyarakat luas
program ini menjadi kurang efektif karena masih ada beberapa orang yang
menggunakan plastic sehingga bisa mempengaruhi masyarakat lainnya untuk
tidak berhenti menggunakan kantong plastic. Saya harap para mahasiswa bisa
memberikan penyuluhan atau edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan
hidup serta bahaya penggunaan plastic dalam jangka Panjang. Bisa dengan
penyuluhan ke sekolah, masyarakat sekitar kampus atau membuat kegiatan
semacam jalan sehat sambal menyuarakan bahaya plastic.

Anda mungkin juga menyukai