Revolusi Berhenti Hari Minggu, demikian judul yang dipakai untuk merangkum
kumpulan tulisan para sahabatnya dalam menyambut 70 tahun usia Prof Dr Emil
Salim. Hasil kerja keras panitia lima; Koesnadi Hardjasoemantri, Alwi Dahlan,
Sabam Siagian, Wisaksono Nuradi, dan MS Kismadi. Tentang pemakaian istilah
tersebut, Emil Salim berkata, “Bertolak dari anggapan, kerja harus berhenti pada hari
Minggu dan perlu dicurahkan untuk kegiatan non-dinas. Pekerjaan saya selalu
menumpuk dan sudah jadi kebiasaan, bekerja 12 jam sehari. Keluarga saya masih
muda dan anak-anak berteriak, cukup, biarkan ‘revolusi’ berhenti hari Minggu. Tak
ada teori serius di balik ini, sekadar menarik garis antara tugas kantor dan kewajiban
keluarga…” Emil Salim bertemu Roosminnie Roza pada masa perpeloncoan
Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) tahun 1956. Dua tahun kemudian mereka
menikah dan sekarang, keluarga bahagia tersebut sudah disemarakkan dengan
kehadiran dua putra dan tiga cucu.
Lahir di Lahat, Sumsel, tanggal 8 Juni 1930, sejak remaja kegiatannya tidak sekadar
mencari ilmu. Selain duduk di bangku sekolah, dia mengembangkan talenta
alaminya dengan berorganisasi. Ketika perang kemerdekaan memanggil, ial dipilih
sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Sumatera Selatan, sekaligus
Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949). Ketika tahun 1949 terpaksa pindah
ke Bogor, karena ditangkap Belanda, dia langsung terpilih sebagai Ketua IPPI Bogor
dan anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi.
Tangkas berbicara sekaligus lancar menulis, kedua bakat tersebut sejak remaja
melekat pada dirinya. Kegemarannya berdebat, dan tidak gentar untuk menghadapi
siapa pun, semula diharapkan bisa membawa angin segar dalam sidang kabinet,
ketika tahun 1971 ia ditunjuk menjadi Menteri Negara Penyempurnaan &
Pembersihan Aparatur Pemerintahan merangkap Wakil Ketua Bappenas. Harapan
tinggal harapan. Emil yang muda dan agak pemberang malahan mulai terjinakkan.
Keberaniannya berbeda pendapat dengan Pak Harto, misalnya ketika mereka
membicarakan Bulog, lama-kelamaan luluh sampai akhirnya sejak tahun 1993,
sesudah 22 tahun menjadi menteri di beragam bidang, Emil dilepaskan.
Begitu rezim Sukarno jatuh, para pendekar ekonomi ini beramai-ramai pulang,
mencoba resep baru untuk memacu pembangunan. Mereka inilah, di bawah
pimpinan Widjojo Nitisastro, kemudian menerima julukan, “Berkeley Mafia.” Prof
Widjojo Nitisastro mengakui, “Di antara murid Prof Sumitro, Emil Salim yang paling
setara dengan gurunya, dalam hal kecerdasan, daya analisa, mengambil
kesimpulan, penyampaian pendapat, daya beragumentasi, keterbukaan sikap, dan
keterusterangan.”
Emil juga pemrakarsa translokasi gajah dari Air Sugihan ke hutan Lebong Hitam di
Palembang, Sumatera Selatan, November 1982. Ketika itu, ratusan gajah dilaporkan
merajah kebun jagung milik transmigran. Rupanya, gajah-gajah itu kehilangan
daerah pengembaraannya lantaran dijadikan lokasi transmigrasi. Emil segera turun
tangan bersama ratusan prajurit Kodam IV Sriwijaya — waktu itu — dibantu
transmigran setempat, menggiring gajah ke tempat yang baru.
Sebagai Menteri KLH, ia tampak sangat mencintai tugas- tugasnya. Terlihat dari
lukisan-lukisan yang tergantung di dinding ruang kantornya, hampir semuanya dari
bahan bekas. Seperti lukisan burung cenderawasih dari bungkus rokok. Tidak
ketinggalan foto-foto satwa dan hutan. Satu-satunya lukisan pastel di ruang kerjanya
adalah lukisan gajah karya Gilang Cempaka, pelukis cilik dari Bandung.
Sebagai mahasiswa saya berupaya menjaga lingkungan melalui hal – hal kecil
seperti mengurangi penggunaan plastic dengan menggunakan tumblr, tidak
memakai sedotan plastic serta alat makan plastic, tidak membuang sampah
sembarangan serta berusaha memisahkan sampah sesuai jenisnya. Hal – hal
kecil ini meskipun terlihat sepele dapat membantu bumi kita yang saat ini sudah
mengalami penumpukan plastic yang tidak bisa musnah bahkan setelah ratusan
tahun. Tidak menyisakan makanan juga termasuk cara untuk menjaga
ketahanan pangan apalagi Indonesia termasuk negara dengan food waste yang
tinggi.