Dokumen - Tips - Refleksi 20 Tahun Gerakan Mahasiswa Kontemporer PDF
Dokumen - Tips - Refleksi 20 Tahun Gerakan Mahasiswa Kontemporer PDF
20
TAHUN
BERKUASANYA
ANAK
DEPAN
Oleh
Jalu
Priambodo1
“dapet
berapa
bocah?”
“6
orang
kang,
haha”
“target
berapa?
Udah
naik
kan
dari
4
orang
yang
kemarin?”
“Tapi
yang
turun
aksi
cuma
4
orang..”
Percakapan
di
atas
merupakan
percakapan
yang
terjadi
baru-‐baru
ini
saja.
Beberapa
tahun
yang
lalu
mungkin
tidak
pernah
terbayang
di
benak
kita,
maupun
para
qiyadah
di
kampus
tentang
kondisi
tersebut.
Tepat
15
tahun
sebelum
percakapan
di
atas
terjadi,
seorang
Kepala
Gamais
tanpa
diduga
berhasil
terpilih
sebagai
Presiden
KM
ITB
melalui
proses
demokratis.
Terpilihnya
beliau
mengawal
sebuah
era
“anak
depan”.
Dan
“anak
depan”
ini
pula
kemudian
menggoreskan
sejarahnya
di
pentas
mahasiswa
nasional
selama
bertahun-‐tahun
ke
depan.
Beberapa
pekan
sebelum
percakapan
di
atas
terjadi,
seorang
anak
depan
baru
saja
dinyatakan
kalah
dalam
Pemilu
KM
ITB.
Namun,
kali
ini
lawannya
bukan
“anak
belakang”
yang
ideologis.
Tak
ada
apa-‐apanya
dibandingkan
dengan
legenda
Veritas,
G10,
Tiben
maupun
PSIK.
Pun
tak
miliki
rekam
jejak
sebagai
ketua
himpunan
yang
sangar,
juga
bukan
Mahasiswa
Berprestasi.
Untuk
memahami
mengapa
anak
depan
bisa
kalah
dan
percakapan
di
atas
bisa
terjadi,
ada
baiknya
kita
mengingat
kembali
rangkaian
peristiwa
ketika
“Anak
Depan”
menjadi
kekuatan
yang
ditakuti.
Seperti
halnya
siklus
dalam
kehidupan,
semua
diawali
dari
pencarian
mata
air.
Mata
Air
Para
Pelopor
Kenapa
disebut
“Anak
Depan”?
Soalnya
di
depan
ada
Masjid
Salman
ITB.
Pernyataan
ini
ada
benarnya
karena
memang
institusi
pertama
yang
menandai
revolusi
“Anak
Depan”
berada
di
Masjid
Salman
ITB.
Tepatnya
adalah
dengan
berdirinya
Majelis
Ta’lim
Salman
ITB
pada
tahun
1994.
Memang,
sebelumnya
telah
ada
grup-‐grup
halaqah
di
kampus
ITB
awal
90-‐an.
Akan
tetapi,
baru
setelah
Mata’
berdirilah,
eksistensi
“Anak
Depan”
melesat
cepat
dan
menjadi
kekuatan
dominan
di
kampus
ITB
selama
hampir
20
tahun.
Bisa
dibilang
angkatan
1994
merupakan
inisiator
pertama
berdirinya
Majelis
Ta’lim
Salman
ITB.
Diantara
para
inisiator
tersebut,
yang
dipilih
sebagai
1
Jalu
Pradhono
Priambodo,
Teknik
Industri
2002,
pernah
menjadi
anggota
Mata’,
Ketua
Tim
Materi
OSKM
2005
dan
Ketua
Panpel
KM
ITB
2005.
Jabatan
terakhir
di
kampus
Sekjes
Eksternal
KM
ITB
2006/2007.
Saat
ini
merupakan
Direktur
Eksekutif
INSTRAT.
Koordinator
Umum
pertama
adalah
Brian
Yuliarto2.
Selain
menjadi
Korum
Mata’
sosok
ini
kemudian
juga
mendirikan
Kesatuan
Aksi
Mahasiswa
Muslim
Indonesia
komisariat
ITB
bersama
Vijaya
Vitrayasa3.
Meski
memiliki
segudang
aktivitas,
namun
Brian
lulus
tepat
waktu
dan
langsung
berangkat
ke
Jepang
untuk
meneruskan
studi.
Pada
bulan
Desember
1995,
setahun
setelah
Mata’
berdiri,
Vijaya
Fitrayasa
menjadi
Korum
menggantikan
Brian.
Meski
menjadi
Korum
Mata’
yang
kedua,
namun
Vijay
menjadi
yang
pertama
untuk
hal
yang
lain.
Sebab,
setelah
setahun
menjadi
Korum
Mata
hingga
Desember
1996,
Vijay
memulai
tradisi
baru
sebagai
anggota
Mata’
pertama
yang
menjadi
Kepala
Gamais
ITB.
Bukan
hanya
itu,
Vijay
juga
nantinya
tercatat
sebagai
Presiden
pertama
KM
ITB
yang
terpilih
melalui
pemilihan
langsung
pasca
bergulirnya
Reformasi.
Korum
Mata’
selama
tiga
periode
awal
ini
terus
menerus
dipegang
oleh
angkatan
1994,
sebelum
digantikan
angkatan
95.
Korum
Mata’
pertama
dari
angkatan
1995
adalah
Sigit
Adi
Prasetyo4.
Semenjak
itulah
dimulai
pakem
bahwa
Korum
Mata’
dijabat
oleh
mahasiswa
tingkat
tiga.
Sigit
juga
menjadi
penerus
tradisi
Vijay
ketika
terpilih
menjadi
Presiden
kedua
KM
ITB.
Apa
yang
membuat
generasi-‐generasi
pelopor
“Anak
Depan”
begitu
produktif?
Jika
merujuk
pada
pengalaman
penulis
sendiri
selama
di
Mata’
maka
jawabannya
ada
pada
semangat
membaca
yang
sangat
kuat.
Hampir
di
setiap
dauroh
Mata’
peserta
diminta
untuk
membaca
sebuah
buku.
Begitu
pun
dalam
aktivitas
harian
di
masing-‐masing
divisi,
ada
target
untuk
membaca
buku
tertentu.
Saking
tingginya
semangat
baca,
anggota
Mata’
biasa
bertukar
gagasan
terhadap
isi
buku.
Perbincangan
seputar
buku
favorit
juga
tak
jarang
terjadi.
Semua
bahan
bacaan
tersebut
juga
bukan
buku
sembarang.
Bisa
dipastikan
nuansa
fikrah
dalam
buku
tersebut
sangat
kuat,
sebut
saja
beberapa
contohnya
:
Ma’alim
fi
Thariq,
Majmuatur
Rasail,
Fiqh
Dakwah,
Manhaj
Haraki.
Selain
itu,
Mata’
juga
tak
lepas
dari
kontrol
tilawah
Al
Quran
yang
sangat
ketat.
Ada
standar
1
juz
per
hari
serta
setoran
hapalan.
Dalam
setiap
rapat-‐rapat
Mata’
pun
diawali
dengan
tausiyah
maupun
tadabur
ayat
Quran.
Maka
tak
heran
jika
para
alumni
Mata’
memiliki
pemahaman
haraki
yang
sangat
kuat.
Pola
pengkaderan
Mata’
pun
memperoleh
tempat
yang
ideal
di
Salman.
Sebab,
jika
dirunut
lebih
jauh,
Masjid
Salman
ITB
merupakan
kawah
candradimuka
lahirnya
Islam
Pergerakan
di
Indonesia5.
Pola
kaderisasi
aktivis
Salman
yang
bersendikan
pada
usrah
memiliki
kemiripan
dengan
gerakan
Ikhwanul
Muslimin.
Selain
itu,
materi
yang
dibawakan
dalam
Latihan
Mujahid
Dakwah,
2
Brian
Yuliarto
FT
angkatan
1994
saat
ini
menjabat
sebagai
Ketua
Lembaga
Kemahasiswaan
ITB.
3
Vijaya
Fitriyasa,
Mesin
angkatan
1994,
terkenal
sebagai
satu-‐satunya
mahasiswa
ITB
yang
berhasil
menjadi
Korum
Mata’,
Kepala
Gamais,
serta
Presiden
KM
ITB.
Saat
ini
menjadi
pengusaha
bidang
migas.
4
Sigit
Adi
Prasetyo,
Teknik
Informatika
1995,
merupakan
Korum
Mata’
keempat
dan
menjadi
Presiden
KM
ITB
yang
kedua
setelah
Vijay.
Sebelum
menjadi
Presiden
Sigit
sempat
menjadi
Senator
mewakili
Informatika
ITB.
Saat
ini
berada
di
Timur
Tengah
sebagai
professional
di
bidang
migas.
5
Lihat
buku
“Fenomena
Partai
Keadilan”
karya
Ali
Said
Damanik
acara
khas
kaderisasi
Salman
memiliki
kemiripan
dengan
Ma’alim
Fi
Thariq.
Iman
Hijrah
dan
Jihad 6 ,
tiga
materi
pokok
dalam
LMD
memiliki
kemiripan
dengan
4
Bab
awal
dalam
buku
karya
Sayyid
Qutb
tersebut.
Para
aktivis
Mata’
generasi
awal
menyadari
betul
bahwa
kehadiran
mereka
di
Mata’
bukan
sekedar
untuk
melampiaskan
syahwat
mereka
terhadap
ilmu
Al
Quran.
Mereka
paham
betul
dengan
apa
yang
diucapkan
Sayid
Qutb
tentang
generasi
pertama
aktivis
dakwah,
yaitu
para
sahabat.
“Mereka
menjadikan
Quran
sebagai
perintah
harian”7.
Sehingga,
melalui
pemahaman
ini,
para
aktivis
Mata’
menjadi
penggerak-‐penggerak
dakwah
di
kampus.
Sebuah
arus
yang
tidak
mungkin
terbendung
lagi.
Arus
Yang
Tak
Terbendung
Betapa
kagetnya
para
aktivis
kampus
ITB
tahun
1998.
Organisasi
yang
mereka
bangun
dengan
susah
payah.
Selama
bermalam-‐malam
mereka
habiskan
untuk
rapat.
Mereka
berharap
merekalah
yang
akan
menjadi
pemimpin
organisasi
tersebut.
Namun
pada
akhirnya
mereka
harus
menerima
realitas
bahwa
pemilihan
demokratis
yang
mereka
susun
bersama
harus
diberikan
kepada
orang
yang
tidak
mereka
kenal.
Para
pendiri
KM
ITB
merupakan
korban
dari
arus
besar
“Anak
Depan”
dengan
terpilihnya
Vijaya
Fitrayasa
sebagai
Presiden
pertama
KM
ITB.
KM
ITB
memiliki
sejarah
teramat
panjang
dalam
perjalanan
bangsa
Indonesia.
Pada
tahun
1978
KM
ITB
menjadi
pihak
pertama
yang
menyatakan
diri
menolak
pencalonan
kembali
Soeharto
sebagai
Presiden
Indonesia.
Penolakan
ini
diawali
dengan
keluarnya
“Buku
Putih”
sebuah
maha
karya
hasil
kajian
mahasiswa
ITB
ketika
itu 8 .
Peluncuran
buku
ini
ternyata
mengilhami
mahasiswa
seluruh
Indonesia
menyerukan
hal
yang
sama.
Keputusan
keras
pun
akhirnya
diambil
dengan
membubarkan
organisasi
kemahasiswaan
ITB.
Dimulailah
era
NKK/BKK.
Ketika
kekuasan
Soeharto
mulai
memperlihatkan
tanda-‐tanda
memudar,
para
aktivis
kemahasiswaan
ITB
kembali
merapatkan
barisan.
Mereka
terdiri
dari
para
Ketua
Himpunan
dan
Ketua
Unit,
khususnya
unit-‐unit
kajian.
Gagasan
menghidupkan
kembali
KM
ITB
dimunculkan
lagi.
Sebuah
konsepsi
tentang
organisasi
ideal
pun
dibentuk.
Rapat-‐rapat
panjang
yang
diadakan
di
kampus
menunjukkan
hasil
yang
terang.
Pada
tanggal
20
Januari
1996
KM
ITB
kembali
dideklarasikan.
Derasnya
arus
perubahan
nasional
membuat
struktur
KM
ITB
belum
juga
disempurnakan.
Forum
BPI
yang
dipimpin
Haru
Suandharu9
dan
Forum
TVST
6
Slogan
Iman,
Hijrah
dan
Jihad
saat
ini
tidak
digunakan
lagi
dalam
LMD
Salman
ITB.
Pada
saat
Ketua
Himpunan.
Namun
ada
juga
yang
mengatakan
ketika
terpilih
sebagai
Kahim
Haru
belum
menjadi
“Anak
Depan”.
Saat
ini
Haru
adalah
anggota
DPRD
Kota
Bandung
dan
sempat
menjadi
Ketua
DPD
PKS
Kota
Bandung.
yang
dipimpin
Vijay
(waktu
itu
sebagai
Kepala
Gamais)
belum
menghasilkan
kesepakatan.
Alih-‐alih,
FKHJ
malah
membentuk
Satgas
KM
ITB
yang
dipimpin
Khalid
Zabidi10
untuk
menyikapi
bergulirnya
gerakan
reformasi.
Khalid
Zabidi
pulang
dan
dielukan
sebagai
pahlawan
reformasi
dari
kampus
ITB.
Akan
tetapi,
bukan
Khalid
yang
akhirnya
terpilih
sebagai
Presiden
pertama
KM
ITB.
Tanpa
diduga
sebelumnya,
Vijaya
yang
terpilih
sebagai
Presiden
melalui
pemilihan
langsung.
Banyak
yang
kaget
dengan
terpilihnya
Vijay,
namun
lebih
kaget
lagi
ketika
mengetahui
bahwa
Vijay
membawa
rombongan
Gamais
ITB
untuk
masuk
sebagai
Menteri
di
bawah
Kabinet
Vijay.
Era
“Anak
Depan”
telah
dimulai.
Gagap
budaya
menjadi
masalah
serius
ketika
“Anak
Depan”
memimpin
kemahasiswaan
ITB.
Tidak
ada
aktivis
kampus
yang
mengira
bahwa
dalam
sebuah
forum,
posisi
ikhwan
dan
akhwat
harus
terpisah.
Norma-‐norma
baru
diperkenalkan
oleh
“Anak
Depan”.
Tidak
ada
jalan
lain
bagi
mereka
yang
kecewa
selain
melawan
secara
kultural.
Perlawanan
“Anak
Belakang”
dimulai.
Vijay
menjadi
korban
pertama
setelah
diberhentikan
sebagai
Presiden
KM
ITB
dan
dikeluarkan
sebagai
anggota
KM
ITB
dengan
alasan
kegagalan
berkomunikasi
serta
kinerja
yang
kurang
memuaskan.
Keteguhan
“Anak
Depan”
tidak
hanya
ditunjukkan
dalam
aspek
budaya
dalam
kampus.
Mereka
juga
teguh
dalam
memperjuangkan
perubahan
di
tataran
nasional.
Meski
telah
bebas
dari
Rezim
Soeharto
dan
menyelenggarakan
Pemilu
bebas
pertama,
Indonesia
masih
meniti
jalan
perubahan.
Presiden
pertama
era
reformasi,
Gus
Dur,
lebih
sering
menghadirkan
kontroversi
dibanding
perbaikan.
Gus
Dur
dikenal
sebagai
bapak
pluralism,
namun
masa
pemerintahannya
dipenuhi
pertumpahan
darah
di
Ambon,
Poso,
Sampit,
Aceh,
bahkan
di
Jawa.
Kasus
Buloggate
dan
Bruneigate
menjadi
pemicu
dimulainya
gerakan
menurunkan
Presiden
Gus
Dur.
Akan
tetapi,
upaya
menurunkan
Gus
Dur
harus
menghadapi
serangan
balasan
dari
barisan
pendukungnya.
Organisasi
underbow
NU,
pendukung
pluralism,
aktivis
kiri
berada
di
belakang
Gus
Dur.
KM
ITB
dibawah
kepemimpinan
Presiden
kedua
KM
ITB,
Sigit
Adi
Prasetyo
turut
dalam
arus
penentang.
Gesekan
fisik
antar
mahasiswa
dan
ormas
kembali
terjadi.
Inilah
awal
kisah
legendaris
“Pasukan
Thifan”
dimulai.
Pasukan
khusus
yang
dilatih
bela
diri
dan
menjadi
garis
depan
aksi
mahasiswa.
Namun
gerakan
tak
bisa
dihentikan
dan
terus
memaksa
Gus
Dur
diturunkan.
Perang
urat
syarat
berlangsung
cukup
panjang
hingga
akhirnya
Gus
Dur
diturunkan
oleh
MPR.
Di
dalam
kampus
ITB,
aksi
penurunan
Presiden
Gus
Dur
akhirnya
memakan
korban
Presiden
Sigit
sendiri.
Berawal
dari
gagalnya
Pemilu
KM
ITB
tahun
200011,
kongres
memutuskan
perpanjangan
masa
kabinet
Sigit.
Sigit
pun
tercatat
sebagai
Presiden
KM
ITB
dengan
masa
jabatan
terpanjang.
10
Khalid
Zabidi,
SR
1993,
PSIK
ITB,
merupakan
pemimpin
Satgas
KM
ITB.
Saat
ini
merupakan
dosen
di
SR
ITB
dan
anggota
Sabang
Merauke
Circle
yang
diketuai
Syahganda
Nainggolan.
11
Terkenal
di
kalangan
“Anak
Depan”
sebagai
tragedy
Malari,
singkatan
dari
Malapetaka
Safari.
Safari
merupakan
ketua
Panpel
Pemilu
KM
ITB
ketiak
itu
yang
gagal
melaksanakan
tugasnya.
Pada
akhirnya
FKHJ
turun
tangan
dengan
melakukan
pendudukan
sekre
KM
diikuti
pemecatan
Sigit
serta
perubahan
AD/ART
KM
ITB
untuk
memberi
kekuasaan
lebih
bagi
Himpunan12.
Perubahan
AD/ART
KM
ITB
tahun
2001
juga
menyangkut
pelarangan
TPB
untuk
turut
memilih
Presiden.
Langkah
ini
dianggap
sebagai
upaya
untuk
menjegal
“Anak
Depan”
dalam
pemilihan
Presiden
KM
ITB.
TPB
dianggap
mudah
untuk
digerakkan
oleh
sentiment
keagamaan
dan
pengaruh
Gamais.
Tak
ada
yang
menduga
bahwa
ternyata
“Anak
Depan”
kembali
yang
terpilih
sebagai
pemenang
melalui
Akbar
Hanif
Dawam13.
Namun,
kejayaan
“Anak
Depan”
tidak
berlangsung
lama,
sebab
pada
pemira
selanjutnya
“Anak
Depan”
dikalahkan
oleh
Presiden
KMSR,
Alga
Indria14.
Kekalahan
pada
satu
periode
membuat
Presiden
“Anak
Depan”
selanjutnya
harus
mengejar
ketertinggalan
dalam
hal
penyikapan
politik
nasional.
Ahmad
Mustofa 15
melakukan
kritisi
keras
terhadap
pemerintah
Megawati.
Beberapa
kasus
seperti
penjualan
BUMN,
penghentian
kasus
BLBI,
DOM
Aceh
pembelian
pesawat
Sukhoi,
hingga
dibebaskannya
Akbar
Tandjung
dalam
kasus
suap
mewarnai
kabinet
Megawati.
Aksi-‐aksi
tersebut
berlanjut
hingga
Presiden
KM
ITB
selanjutnya,
Anas
Hanafiah16.
Rangkaian
aksi
mulai
surut
ketika
Mega
tidak
terpilih
kembali
sebagai
Presiden
Indonesia
tahun
2004.
Satu
hal
menarik
selama
masa
kepemimpinan
“Anak
Depan”
hingga
tahun
2004
adalah
derasnya
arus
gerakan
mahasiswa
ketika
itu.
Energi
“Anak
Depan”
seolah
tidak
pernah
habis.
Hanya
dalam
tempo
sepuluh
tahun,
dari
1994-‐2004
“Anak
Depan”
telah
mentransformasikan
dirinya
sebagai
kekuatan
yang
ditakuti,
tidak
hanya
di
dalam
kampus
namun
juga
secara
nasional.
Kekuatan
besar
tersebut
tidak
terlepas
dari
semangat
ukhuwah
dan
pengorbanan
“Anak
Depan”.
Tak
jarang
penulis
yang
ketika
itu
masih
TPB
menyaksikan
panji-‐panji
KM
ITB
dalam
aksi
dibawa
oleh
Korum
Mata’
maupun
Kepala
Gamais
ITB.
Keteladanan
para
ketua
lembaga
dakwah
kampus
dalam
aksi,
membawa
pengaruh
pada
besarnya
masa
yang
hadir
di
aksi
tersebut.
Padahal
para
ketua
lembaga
dakwah
ini
mungkin
bukan
yang
paling
menguasai
materi
aksi.
Namun
loyalitas
mereka
terhadap
saudara
seperjuangan
mereka
di
Kabinet
KM
ITB
membuat
mereka
rela
untuk
turun
langsung
dalam
setiap
penyikapan.
Pengorbanan
mereka
tak
jarang
berakhir
dengan
luka-‐luka
terkena
pukulan
aparat.
Sebuah
kekuatan
ukhuwah
yang
ditakuti
oleh
semua
pihak.
12
Sebelumnya
KM
ITB
berbasis
massa,
setelah
2001
berbasis
lembaga
13
Akbar
Hanif
Dawam,
PN
1998,
merupakan
Kahim
KMPN
sebelum
menjadi
Presiden
KM
ITB.
ketika
itu
dinilai
sebagai
Pemilu
paling
meriah
sebab
adanya
keterlibatan
dari
mahasiswa
SR.
Alga
juga
dikenal
sebagai
vokalis
grup
“Panas
Dalam”.
Saat
ini
berprofesi
sebagai
Dosen
di
STISI.
15
Ahmad
Mustofa,
Tekim
99,
biasa
dipanggil
Tope,
merupakan
Senator
HIMATEK
sebelum
menjadi
Presiden
KM
ITB.
Tope
juga
putra
dari
Ketua
Lakpesdam
Nahdatul
Ulama,
Maskur
Maskub.
Saat
ini
Tope
menjadi
pengusaha
Petrokimia.
16
Anas
Hanafiah,
EL
00,
merupakan
Kahim
HME
sebelum
terpilih
sebagai
Presiden
KM
ITB.
Anas
17
Olimpiade
KM
ITB
bertujuan
untuk
menyatukan
elemen-‐elemen
kampus
di
ITB
dan
masih
diselenggarakan
oleh
KM
ITB.
Semenjak
pertama
kali
diadakan
IEC
berkembang
pesat
dan
sempat
didukung
oleh
US
Embassy.
20
Hafidz
Ary
Nurhadi,
EL
98,
merupakan
Sekretaris
Umum
Majelis
Ta’lim
Salman
dan
sempat
menjadi
Ketua
Muslim
Elektro.
Saat
ini
menjadi
pengusaha
sekaligus
menjadi
inisitaor
gerakan
Indonesia
Tanpa
JIL.
21
Khairul,
FI’98,
merupakan
Ketua
HIMAFI
dan
dikenal
sebagai
salah
satu
aktivis
PSIK.
22
Kawit,
Farmasi
angkatan
99,
Ketua
KAMIFA
tertangkap
tangan
membawa
selebaran
gelap
yang
23
Jefri
Arifianto,
FT
99,
merupakan
Ketua
Diklat
Mahasiswa
Muslim
(DMM)
pertama
yang
diselenggarakan
Gamais.
DMM
menjadi
kegiatan
terbesar
di
ITB
menandingi
OSKM
karena
menghadirkan
pembicara
kelas
nasional
dan
diikuti
ratusan
mahasiswa
ITB
yang
bahkan
tidak
terlibat
di
Gamais.
24
Otep
Kurnia,
MA
99,
merupakan
Ketua
Himatika,
sebelumnya
Otep
adalah
ketua
LDPS
Matematika
dan
termasuk
yang
menyebarkan
selebaran
gelap
pada
OSKM
2001
namun
tidak
pernah
tertangkap.
25
Sigit
Firmansyah,
EL
01,
merupakan
Danlap
OSKM
2003
dan
Ketua
Tim
Materi
OSKM
2004.
Sigit
juga
peraih
penghargaan
menulis
ITB
2020.
Sigit
meninggal
dalam
usia
yang
sangat
muda
karena
kecelakan
ketika
mudik
di
bulan
Ramadhan
2004.
26
Muhammad
Syaiful
Nama,
EL’01,
merupakan
Kahim
HME
sebelum
terpilih
sebagai
Presiden
KM
ITB.
Dwi
juga
salah
satu
dari
sedikit
anggota
KAMMI
Komisariat
ITB.
melakukan
aksi
pengerahan
massa.
Kami
waktu
itu
menyadari
bahwa
yang
utama
adalah
pesan
atau
wacana
yang
hendak
disampaikan.
Dalam
menyikapi
tragedi
sampah
di
Kota
Bandung28,
KM
ITB
melakukan
aksi
bersih-‐bersih
bersama
BEM
se-‐Bandung
Raya.
Tentunya
aksi
bersih-‐bersih
tersebut
tidak
semata-‐mata
memungut
sampah,
namun
kami
juga
menyelipkan
pesan
politik
terhadap
pemerintahan
Kota
Bandung.
Aksi
bersih-‐bersih
ini
pun
menarik
minat
mahasiswa
ITB
yang
biasanya
tidak
mau
diajak
dalam
aksi
unjuk
rasa.
Sementara
mereka
bersih-‐bersih,
penulis
menyiapkan
rilis
media
berisi
teguran
terhadap
Walikota
Bandung.
Dalam
menyikapi
korupsi,
KM
ITB
menyelenggarakan
sekolah
anti
korupsi
(SEKANTOR)
bagi
BEM
Seluruh
Indonesia.
Tak
hanya
mengandung
pencerdasan
terhadap
peserta,
SEKANTOR
juga
mengandung
kritik
public
terkait
penanganan
kasus
korupsi.
SEKANTOR
melawan
mainstream
aksi
pemberantasan
korupsi
yang
sering
dilakukan
kampus
lain,
yang
terkadang
menyederhanakan
tindak
pidana
korupsi
dan
jarang
melihat
secara
lebih
kritis.
Dalam
upaya
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah,
KM
ITB
menyadari
bahwa
tidak
hanya
dibutuhkan
perang
opini
public
melalui
aksi
namun
juga
konsolidasi
gerakan.
Sebagai
contoh,
ketika
menyikapi
UU
Ketenagalistrikan,
KM
ITB
melakukan
kegiatan
bersama
serikat
pekerja
dalam
bentuk
seminar
public.
Seminar
public
tersebut
dilaksanakan
sekaligus
untuk
melakukan
konsolidasi
gerakan
serta
untuk
membangun
opini
public.
Penulis
menyadari
betul
bahwa
posisi
kampus
ITB
selamanya
akan
dipandang
penting
oleh
masyarakat.
Dengan
menyelenggarakan
seminar
saja
sudah
bisa
diliput
wartawan.
Peluang
ini
dimanfaatkan
betul
oleh
KM
ITB
dengan
mengundang
tokoh-‐tokoh
bangsa
untuk
hadir
di
ITB.
BJ
Habibie,
Hidayat
Nur
Wahid
serta
Amien
Rais
menjadi
tokoh
yang
pernah
diundang
KM
ITB
di
era
Dwi
Arianto.
Mereka
hadir
tidak
hanya
untuk
memberi
inspirasi,
namun
juga
untuk
menyatakan
sikap
dan
kritik
terhadap
pemerintahan
SBY.
Dan
tak
jarang
pernyataan
mereka
langsung
masuk
dalam
headline
media
massa,
sebab
mereka
menyatakan
sikap
tersebut
di
ITB.
Bagai
Buih
di
Lautan
Berkurangnya
frekuensi
aksi
pengerahan
massa
sejak
era
2006
seharusnya
tidak
dipandang
sebagai
melemahnya
gerakan
eksternal
KM
ITB.
Selama
aksi
pengerahan
massa
bisa
disubstitusi
oleh
gerakan
lain
tentu
tidak
menjadi
masalah.
Yang
salah
adalah
ketika
aksi
dianggap
tidak
penting
lagi,
namun
pada
sisi
yang
lain
kegiatan
dalam
kampus
ITB
hanya
dianggap
latihan
EO
belaka
dan
tidak
dimaknai
sebagai
kesempatan
untuk
menyatakan
sikap.
Dalam
perkembangannya
tak
jarang
mahasiswa
ITB
kehilangan
secara
bersamaan
dua
hal
yang
menjadikannya
kuat.
Pertama
soliditas
gerakan
dan
kedua,
pemahaman
yang
mengakar.
Soliditas
yang
lemah
ditandai
dengan
keengganan
mahasiswa
ITB
mengorbankan
waktu
untuk
membantu
saudara
seperjuangannya,
ada
excuse
berupa
“kamu
anak
kemahasiswaan
dan
saya
anak
LDK”.
Padahal
hal
ini
tidak
pernah
dicontohkan
generasi
sebelumnya.
Pemahaman
yang
tak
mengakar
ditandai
oleh
adanya
kebutuhan
akan
pemahaman,
namun
pemahaman
itu
tak
mengarah
pada
gerakan.
Persis
seperti
sajak
“Sebatang
Lisong”
karya
Rendra
“Apakah
artinya
kesenian
bila
terpisah
dari
derita
lingkungan
Apakah
artinya
berpikir
bila
terpisah
dari
masalah
kehidupan”
Sebentar
lagi
“Anak
Depan”
akan
genap
berada
pada
20
tahun
kekuasaannya
di
tahun
2014.
Tentunya
menarik
untuk
dilihat
kembali,
apakah
“Anak
Depan”
masih
perkasa
seperti
dahulu.
Ataukah
“Anak
Depan”
seperti
generasi
yang
diceritakan
oleh
Rasulullah,
“jumlah
mereka
banyak,
namun
seperti
buih
di
lautan”.
7
Abad
silam,
ketika
Umat
Islam
mengalami
kemunduran
dan
tidak
bisa
merebut
kembali
Jerusalem,
Salahuddin
al
Ayubi,
seorang
panglima
dari
Mesir
mengajak
mereka
melihat
kembali
perjalanan
dakwah
ini.
Maka
ketika
itulah,
perayaan
Maulid
Nabi
diadakan.
Sebuah
upaya
untuk
menggali
kembali
sejarah
perjuangan
panjang
generasi
awalun.
Mereka
menghidupkan
kembali
sosok
heroism
Rasulullah
SAW
dan
para
sahabat
dalam
diri
mereka.
Saat
itulah
mereka
berhasil
menemukan
kembali
kekuatan
untuk
mengusir
penjajah
dari
Jerusalem.
Dan
karena
alasan
itulah
mengapa
tulisan
ini
dibuat.
“Jangan
Pernah
Melupakan
Sejarah”