Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MANDIRI BIOKIMIA

OPTIMASI SUHU DAN WAKTU PADA PROSES PERKECAMBAHAN

SORGUM UNTUK TEPUNG TERHADAP

NILAI KELARUTAN PROTEIN

DISUSUN OLEH:

HILDA HILALATUL FAJRI

0105523710

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sorgum adalah komoditas pangan serealia ketiga di Indonesia setelah
padi dan jagung. Biji sorgum memiliki kandungan diantaranya adalah
karbohidrat (82.05%), protein (11.60%), lemak (3,13%), abu (3,13%) dan
serat kasar sebanyak (5,79%) (Rahayu et al.2021). Sorgum di berbagai
wilayah geografis dikonsumsi dalam bentuk makanan tradisional seperti Kisra
(roti pipih yang difermentasi), Aceda (bubur kental), Nasha (bubur yang
difermentasi), digunakan sebagai persiapan minuman yang berbahan dasar
susu dan digunakan untuk produk roti. Akhir-akhir ini sorgum mendapatkan
perhatian besar, karena sorgum dapat digunakan sebagai alternative untuk diet
sehat bagi kalangan penyakit celiac, sebagai sereal bebas gluten untuk
menggantikan tepung terigu yang memiliki kandungan gluten yang tinggi.
Sehingga sorgum ini sangat cocok untuk dikonsumsi oleh masyarakat yang
alergi terhadap gluten (Singh et al 2017).
Modifikasi struktural dan sinstesis senyawa baru dengan aktivitas
biologis yang tinggi serta peningkatan nilai gizi dan stabilitas biji-bijian untuk
mandapatkan kualitas dan nilai tambah pada sereal dapat dilakukan melalui
proses perkecambahan. Proses perkecambahan merupakan sebuah teknik yang
murah dan praktis untuk meningkatkan kualitas sereal tersebut. Sorgum yang
berkecambah akan jauh lebih sehat jika dibandingkan dengan sorgum asli, hal
ini disebabkan karena pada saat proses perkecambahan berbagai factor anti
nutrisi, tannin, fitat dan inhibitor protease dikurangi atau bahkan dihilangkan
sehingga akan menghasilkan sorgum yang lebih baik bagi kesehatan. Studi
menyatakan bahwa perkecambahan sorgum dapat mempengaruhi perubahan
fisikokimia, sifat nutrisi dan sifat fungsionalnya.
Infromasi terkait pengaruh dari proses perkecambahan sorgum untuk
tepung sangat minim, oleh karena itu diperlukan analisis waktu dan suhu
perkecambahan terhadap sifat nutrisi dan fungsional, serta kelarutan protein
dalam tepung untuk pengembangan produk makanan dengan manfaat untuk
kesehatan yang tinggi.
1.2 Rumusan masalah

1.2.1. Bagaimana pengaruh suhu dalam proses perkecambahan sorgum terhadap


kelarutan protein?

1.2.2. Bagaimana pengaruh waktu dalam proses perkecambahan sorgum


terhadap kelarutan protein?

1.2.3 Berapakah suhu dan waktu optimal yang dapat digunakan dalam proses
perkecambahan sorgum agar mendapatkan nilai kelarutan protein yang
baik?

1.3 Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui pengaruh suhu dalam proses perkecambahan sorgum


terhadap kelarutan protein

1.3.2. Untuk mengetahui pengaruh waktu dalam proses perkecambahan sorgum


terhadap kelarutan protein?

1.3.3 Untuk mengetahui suhu dan waktu optimal yang dapat digunakan dalam
proses perkecambahan sorgum agar mendapatkan nilai kelarutan protein
yang baik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan komoditas pangan yang


berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Sorgum dapat diolah menjadi tepung
pengganti tepung gandum (terigu) dalam menunjang diversifikasi pangan yang
dapat diproduksi secara lolak. Sorgum merupakan tanaman serelia yang memiliki
daya adaptasi yang luas. Sorgum toleran terhadap lahan marginal, kekeringan,
genangan air. Serta relatif tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Sorgum
dapat dikembangkan di lahan sub optimimum yang kini masih belum banyak
dimandaatkan. Hal tersebut membuat sorgum sangat berpotensi untuk
dikembangkan demi mencapai ketahanan pangan di Indonesia (Kurniasari et al
2023).

Sorgum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang.
Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut. Sorgum
memerlukan suhu lingkungan 23-34 oC tetapi suhu optimum berkisar antara 23 oC
dengan kelembaban relatif 20-40%. Sorgum tidak terlalu peka terhadap keasaman
(pH) tanah, tetapi pH tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5,5 – 7,5.
Tanaman sorgum tahan terhadap kekeringan, sebagai perbandingan satu kg bahan
kering sorgum hanya memerlukan 332 kg air selama pembudidayaan, sedangkan
pada jumlah bahan kering yang sama, jagung membutuhkan 368 kg air, barley 434
kg dan gandum 514 kg air (Kurniasari et al 2023).

Sorgum memiliki kandungan nutrisi yaitu karbohidrat yang cukup tinggi,


dalam 100 gram sorgum mengandung 70,7% karbohidrat. Dibandingkan dengan
terigu, kadar asam glutamate, lisin, dan prolin tepung sorgum lebih rendah. Namun
kandungan asam amino leusin dan alanin lebih tinggi dari pada terigu. Kandungan
asam amino lainnya pada tepung sorgum relatif mendekati terigu termasuk valin,
serin dan asam aspartat. Kadar lemak sorgum sekitar 3%, lebih tinggi dari
kandungan lemak beras (< 1%) dan gandum (< 2%). Selain itu, sorgum
mengandung mineral P, Mg, Ca, Zn. Cu, Mn, Mo, Cr berturut-turut sebesar 352;
171; 2,5; 0,44; 1,15; 0,06 dan 0,017 mg/100 gram (Susila 2012).

2.2 Perkecambahan

Proses perkecambahan benih merupakan suatu gejala pertumbuhan akibat


prses fisiologis dan biokimia yang terjadi di dalam benih dan merupakan suatu
awal yang penting untuk kehidupan tumbuhan tersebut. Pertumbuhan
sesungguhnya merupakan hasil reaksi biokimia, peristiwa biofisik dan proses
fisiologis yang berinteraksi dalam tubuh tanaman bersama dengan faktor luar.
Titik awalnya adalah suatu sel tunggal, yaitu zigot yang tumbuh dan berkembang
menjadi organisme multisel. Proses fisiologis dan biokimia terjadi pada benih
dipengaruhi oleh kualitas benih itu sendiri dan kondisi lingkungan perkecambahan.
Tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air
oleh benih, melunaknya kulit biji dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua
dimulai dari kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi
benih. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan
ditranslokasikan ketitik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan yang
telah diuraikan tadi nerismatik untuk menghasilkan energy bagi kegiatan
pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah
pertumbuhan kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian
sel-sel pada titik tumbuh (Rini et al 2005).

Perkecambahan dibagi menjadi dua tipe, yaitu Tipe Epigeal (Epigeous) dan
Tipe Hipogeal (Hypogeus). Tipe Epigeal (Epigeous) di mana munculnya radikel
diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta
kotiledon dan plumula keatas permukaan tanah. Contohnya kacang merah dan
kubis. Sedangkan Tipe Hipogeal (Hypogeus) di mana munculnya radikel diikuti
dengan pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan
tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan
tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan
tanah contohnya palem dan semua famili Graminae seperti jagung (Campbell
2012).

Faktor yang mempengaruhi proses perkecambahan benih dibedakan menjadi


dua yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang dapat mempengaruhi
proses perkecambaha yaitu tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi dan
penghambat perkecambahan. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi proses
perkecambahan yaitu air, temperature, oksigen, cahaya dan media tanam.

2.3 Protein

Protein berasal dari bahasa Yunani yaitu Protos yang memiliki makna “paling
utama”. Protein merupakan salah satu kelompok dari bahan makronutrien (nutrisi
yang dibutuhkan dalam jumlah banyak), tidak seperti bahan makronutrien lain
misalnya karbohidrat, lemak, protein memiliki peran lebih penting dalam
pembentukan biomolekul dari pada sumber energi (penyusun bentuk tubuh).
Fungsi dari protein sendiri yaitu sebagai zat utama pembentuk dan pertumbuhan
tubuh. Protein sebagai zat utama pembentuk merupakan zat utama pembentuk sel-
sel tubuh dan digunakan sebagai sumber energi jika karbohidrat dan lemak di
dalam tubuh berkurang. Protein dapat dijadikan sumber energy jika terdapat
organisme yang kekurangan energi. Keistimewaan yang dimiliki protein yaitu
strukturnya selain mengandung N (Nitrogen), C (Karbon), H (Hidorgen), O
(Oksigen), terdapat juga S (Belerang), P (Fosfor) dan Fe (Besi) (Annisa dan Dewi
2021).

Fungsi protein dalam tubuh manusia yaitu pertumbuhan dan pemeliharaan


jaringan, sehingga tubuh dapat mendukung dan pemeliharaan jaringan.Terdapat
beberapa fungsi lain dari protein yaitu sebagai sumber energy utama selain
karbohidrat dan lemak, sebagai zat pembangun, zat pengatur. Protein juga
mengatur proses metabolisme berupa enzim dan hormone untuk melindungi tubuh
dari zat beracun atau berbahaya serta memelihara sel dan jaringan tubuh dari zat
beracun atau berbahaya serta memelihara sel dan jaringan tubuh (Rismayanthi dan
Cerika 2006).

Sumber protein yang ada pada makanan dikelompokan menjadi bahan


makanan hewani dan bahan makanan nabati. Protein hewani merupakan protein
yang bersumber dari hewan. Contoh makanan yang mengandung unsur protein
diantaranya yaitu daging, ikan, ayam, telur, susu, ikan, kerang dan lain-lain.
Sedangkan sumber ptotein nabati merupakan protein yang bersumber dari tumbuh-
tumbuhan. Bahan makanan yang mengandung protein nabati dapat ditemukan
dalam sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan. Terdapat salah satu sumber
protein yaitu kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang memiliki
mutu atau nilai tertinggi, protein kacang-kacangan terbatas dalam asam amino
metionin (Annisa dan Dewi 2021).

Karakteristik fungsional dari protein adalah kelarutan protein, daya ikat air,
daya emulsi, pembusaan dan gelasi. Kelarutan atau solubility sangat berikatan
dengan keseimbangan hidrofobisitas atau hidrofilisitasnya. Kelarutan protein dapat
diartikan sebagai proporsi nilai N protein makanan yang larut dalam kondisi
tertentu. Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino, berat molekul
dan kepolaran asam amino. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelarutan
protein adalah pH, temperature dan kondisi pemrosesan.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah nampan, oven, inkubator, alat


penggiling, saringan, toples kedap udara, kain muslin, neraca, pH meter,
sentrifius. Bahan-bahan yang digunakan adalah sorgum, air destilasi, NaOH
dan HCl.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Perkecambahan Sorgum

Sorgum dibersihkan dan


direndam dengan air suling

Butir sorgum ditempatkan pada


pada kain muslin basah dua lapis
dan dibiarkan berkecambah
selama 12, 24, 36 dan 48 jam
pada suhu 25, 30 dan 35oC
dalam incubator.

Biji-bijian yang berkecambah


dikeringkan dalam nampan
kering pada suhu 45±2oC

Biji-bijian yang sudah kering


digiling dengan alat penggiling
dan disaring dengan saringan
ukuran 60 mm

Hasil saringan disimpan dalam


toples kedap udara
3.2.2 Kelarutan Protein

Sampel hasil perkecambahan


yang sudah berbentuk tepung
ditimbang 1,0 gram

Ditambahkan 50 mL air destilasi


dan pH diadjust sampai pH 6
dengan NaOH 0,1 M atau HCl

Larutan dikocok terus menerus


selama 1 jam dan disentrifugasi
selama 20 menit dengan 2000
rpm

Supernatant diukur kandungan


proteinnya sebagai nilai kelarutan
protein
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai kelarutan protein didapatkan dengan mengukur kandungan protein pada


supernatan tepung sorgum hasil perekcambahan pada waktu dan suhu yang berbeda-
beda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil nilai kelarutan
protein sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil pengaruh kondisi perkecambahan pada kelarutan protein tepung


sorgum

Perlakuan Suhu (oC) Waktu (Jam) Kelarutan Protein (%)


Tanpa Perkecambahan 25 10 38,82
12 40,25
25 24 48,00
36 50,95
48 54,63
12 43,25
Perkecambahan 30 24 52,54
36 58,82
48 71,86
12 53,64
35 24 66,91
36 80,31
48 84,98

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi proses perkecambahan pada


tepung sorgum dapat mempengaruhi nilai kelarutan protein. Proses pembuatan tepung
sorgum tanpa perkecambahan atau hanya dilakukan perendaman memiliki nilai
kelarutan protein sebesar 38,82%. Sedangkan proses pembuatan tepung sorgum
dengan perkecambahan memiliki nilai kelarutan protein sebesar 40,25 – 84,98%.
Artinya proses perkecambahan dalam pembuatan tepung sorgum ini dapat
memperbaiki atau meningkatkan sifat nutrisi dari tepung sorgum. Hal tersebut
disebabkan karena pada saat proses perkecambahan terjadi tahapan penguraian
bahan-bahan karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut.
Protein akan terdegradasi menjadi asam amino bebas dan peptida pendek sebagai
hasil dari ativitas proteolitik yang lebih tinggi oleh enzim protease yang
menghasilkan kelarutan protein pada tepung dari biji-bijian yang berkecambah lebih
tinggi.
Kelarutan protein dipengaruhi oleh pemrosesan dan suhu. Pada penelitian ini
dilakukan proses perkecambahan tepug sorgum dengan waktu dan suhu yang
berbeda-beda. Kondisi waktu yang digunakan yaitu 12, 24, 36 dan 48 jam, sedangkan
kondisi suhunya yaitu 25, 30 dan 35oC. Tabel 1 menunjukan bahwa pada masing-
masing kondisi tersebut menghasilkan nilai kelarutan protein yang berbeda-beda.
Semakin tinggi suhu yang digunakan didapatkan nilai kelarutan protein yang lebih
tinggi, karena pada saat peningkatan suhu protein akan megalami denaturasi. Protein
didenaturasi oleh pengaruh suhu pada ikatan nonkovalen yang terlibat dalam
stabilisasi struktur sekunder dan tersier. Begitupun dengan kondisi waktu yang
digunakan semakin lama proses perkecambahan maka nilai kelarutan proteinnya
semakin tinggi. Kandungan asam amino nitrogen bebas cenderung meningkat dengan
semakin lamanya waktu hidrolisis. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu
hidrolisis maka proses hidrolisis berjalan lebih sempurna. Sehingga pada penelitian
ini didapatkan nilai suhu optimum proses perkecambahan sorgum untuk mendapatkan
nilai kelarutan protein yang tinggi yaitu terjadi pada suhu 35oC dan waktu
optimumnnya yaitu selama 48 jam. Pada kondisi tersebut mendapatkan nilai
kelarutan sebesar 84,98%, syarat nilai kelarutan protein dalam industri pangan
menurut International Quality Ingredient (2011) yaitu ≥ 75%. Oleh karena itu, proses
perkecambahan untuk tepung sorgum sangat baik dilakukan pada suhu dan waktu
tersebut.

Daya larut protein merupakan salah satu hal penting dalam menentukan sifat
fungsional protein. Sifat fungsional lainnya seperti emulsifikasi dan daya buih
berpengaruh terhadap tingkat kelarutan dan karena itu indikator yang sangat bagus
dalam menentukan potensi sifat fungsional protein dan keterbatasan aplikasinya.
Interaksi hidrofobik dan ionik adalah faktor utama yang mempengaruhi karakteristik
kelarutan dari suatu protein. Interaksi hidrofobik merupakan interaksi protein dengan
proten dan menyebabkan penurunan kelarutan, sedangkan interaksi ionik merupakan
interaksi protein dengan air dan menyebabkan peningkatan kelarutan. Ion residu
dipermukaan rantai peptide dan protein menunjukan sifat elektrostatik yang saling
tolak menolak antar molekul protein.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa suhu


dan waktu pada proses perkecambahan tepung sorgum dapat mempengaruhi nilai
kelarutan protein. Semakin tinggi suhu maka nilai kelarutan proteinnya semakin
tinggi, begitupun dengan semakin lama waktu proses perkecambahan maka nilai
kelarutan proteinnya semakin tinggi. Suhu dan waktu optimal untuk proses
perkecambahan tepung sorgum adalah 35 oC dan 48 jam.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu perlu dijelaskan proses pengukuran


kandungan proteinnya. Selain itu perlu dilihat juga faktor pH terhadap nilai kelarutan
protein karna jika berdasarkan teori pH juga dapat mempengaruhi dari nilai kelarutan
protein.
DAFTAR ISI

Annisa DD, Dewi RK. 2021. Peran Protein ASI dalam Meningkatkan Kecerdasan
Anak untuk Menyongsong Generasi Indonesia Emas 2045 dan Relevansi
dengan Al-Quran. Jurnal Tadris IPA Indonesia 1(3): 427-435

Campbell. 2012. Buku Ajar Biologi. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga

Kurniasari R, Suwarto, Sulistyono. 2023. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman


Sorgum (Shorgum bicolor (L). Moench Varietas Numbu dengan Pemupukan
Organik yang Berbeda. Bul. Agrohorti 11(1): 69-78

Rahayu RL, Mubarok AZ, Istianah. 2021. Karakteristik Fisikokimia Cookies dengan
Variasi Tepung Sorgum dan Pati Jagung Serta Variasi Margarin dan Whey.
Jurnal Pangan dan Agroindustri 9(2): 89-99

Rini DS. Mustikowe, Surtiningsih. 2005. Respon Perkecambahan Benih Sorgum


(Shorgum bicolor L. Moerch) terhadap Perlakuan Osmoconditioning dalam
Mengatasi Cekaman Salinitas. J.Biologi 7(6): 307 - 313

Susila BA. 2012. Keunggulan Mutu Gizi dan Sifat Fungsional Sorgum (Sorgum
Vulgae). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk
Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. 527-534

Singh B, Singh JP, Kaur A, Singh N. 2017. Influence of Jambolan (Syzgium cumini)
and Xanthan gum incorporation on the physicochemical, antioxidant and
sensory properties of gluten-free eggless rice muufins. International Journal
of Food Science and Technology 50(5): 1190 – 1197.

Anda mungkin juga menyukai