Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Proses Kognitif Kompleks


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Bahasa Indonesia ini
dengan baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Pendidikan Karakter” itu
sangat berarti untuk anak bangsa dari mulai dini. Semuanya perlu dibahas pada
makalah ini kenapa Pendidikan Karakter itu sangat diperlukan serta layak dijadikan
bagaikan modul pelajaran.

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang keberadaan Pendidikan
Karakter untuk kemajuan bangsa. Mudah-mudahan makalah yang kami buat ini bisa
menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. Kami menyadari kalau
masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan
dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan
banyak terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian belajar secara umum dapat diartikan sebagai proses suatu hal yang
tidak diketahui menjadi tahu dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dilingkungan
sekitarnya.
Belajar merupakan proses dalam pendidikan yang penting dalam kehidupan.
Belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan-
pengetahuan baru.
Seorang guru harus mengenal kiat dan strategi “membelajarkan“ siswa sehingga
tujuan yang diharapkan tercapai. Pemahaman konseptual mengajar dapat membantu
siswa memahami konsep-konsep utama dalam pembelajaran. Selain mengeksplorasi
banyak aspek pemikiran kita juga berlatih bagaimana guru dapat membimbing siswa
untuk terlibat dalam proses-proses kognitif kompleks lainnya: memahami konsep,
memecahkan masalah, dan mentransfer apa yang dipelajari untuk pengaturan lainnya.
Kemampuan berpikir yang merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran
siswa. Kemampuan berpikir seseorang dapat dikembangkan melalui belajar, bertanya
terus pada diri sendiri, memiliki keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang baru,
berkemauan memanfaatkan sesuatu yang ada di sekitar, sehingga menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kemampuan berpikir ini
dimungkinkan untuk berkembang karena manusia memiliki rasa ingin tahu yang selalu
terus berkembang. Berarti keterampilan berpikir setiap orang akan selalu berkembang
dan dapat dipelajari. Depdiknas (2003) menegaskan salah satu kecakapan hidup (life
skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya
antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan
masalah kehidupan yang dihadapinya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :
1. Apakah pengertian konsep ?
2. Apakah pengertian berpikir, berpikir kritis, berpikir kreatif?
3. Apakah jenis-jenis pemikiran ?
4. Bagaimanakah langkah-langkah pemecahan masalah ?
5. Apakah transfer dalam pembelajaran ?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami arti dari konsep.
2. Mengetahui dan memahami arti dari berpikir, berpikir kritis, berpikir kreatif.
3. Mengetahui dan memahami jenis-jenis pemikiran.
4. Mengetahui dan memahami cara dari langkah-langkah pemecahan masalah.
5. Mengetahui dan memahami arti transfer dalam pembelajaran

BAB II
TINJAUN MATERI
A. Pemahaman Konseptual dan Strategi Mengajarkan Konsep
Pemahaman konseptual merupakan aspek penting dari pembelajaran. Tujuan
penting pengajaran adalah membantu siswa memahami konsep-konsep utama dalam
subjek daripada hanya menghafal fakta terisolasi. Dalam banyak kasus, pemahaman
konseptual ditingkatkan saat guru mengeksplorasi topik secara mendalam dan
memberikan yang tepat, adalah contoh menarik dari konsep.

1. Apakah Konsep
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, yang artinya suatu
yang dipahami. Aristoteles dalam “the classical theory of concept” menyatakan
bahwa konsep merupakan penyususan utama dalam pembentukan ilmiah dan
filsafat pemikiran manusia. Konsep adalah poin penting pemikiran. Konsep
kelompok objek-objek, peristiwa, dan karakteristik berdasarkan properti umum.
Konsep membantu Anda untuk menyederhanakan, meringkas, dan mengatur
informasi (Quinn, 2009, 2011). Soedjadi (2000:14) konsep merupakan ide abstrak
yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang
pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilahatau rangkaian kata. Jika Anda
tidak punya konsep, maka Anda akan menemukan masalah yang sebenarnya
sepele menjadi sulit untuk dirumuskan dan bahkan tidak mungkin untuk
dipecahkan. Tentu saja, konsep membantu siswa untuk memahami dunia (Chi &
Brem, 2009; Oakes dkk, 2010). Konsep juga membantu proses mengingat,
sehingga lebih efisien (Racine, 2011). Saat siswa mengelompokkan objek-objek
untuk membentuk konsep, mereka dapat mengingat konsep, kemudian mengambi
karakteristik konsep tersebut.
Konsep tidak hanya membantu untuk menyinggung memori, tetapi juga
membuat komunikasi yang lebih efisien. Konsep membantu siswa untuk
menyederhanakan dan meringkas informasi, serta meningkatkan efisiensi memori,
komunikasi, dan penggunaan waktu. Siswa membentuk konsep melalui
pengalaman langsung dengan benda-benda dan peristiwa dalam dunia mereka.
Siswa juga membentuk konsep melalui pengalaman dengan simbol (hal-hal yang
menyebabkan, atau mewakili, sesuatu yang lain). Beberapa konsep ada yang
relatif sederhana, jelas, dan nyata. Sedangkan yang lain lebih kompleks, samar,
dan abstrak.

2. Mempromosikan Pembentukan Konsep


Guru dapat membimbing siswa untuk mengenali dan membentuk konsep
efektif dalam beberapa cara. Proses ini diawali dengan fitur penting dari konsep
yang diberikan. Dalam mengajar pembentukan konsep kepada anak-anak, akan
sangat membantu untuk mendiskusikan dengan fitur penting dari konsep, definisi
dan contoh konsep (misalnya, menggunakan strategi pengaturan), kategorisasi
hierarki dan peta konsep, pengujian hipotesis, dan pencocokan prototipe.
a. Belajar Mengenai Fitur Konsep
Aspek penting dari pembentukan konsep adalah belajar fitur penting,
atribut, atau karakteristik dari konsep (Madole, Oakes, & Rakison, 2010;
Racine, 2011). Hal tersebut mendefinisikan elemen konsep, dimensi yang
membutuhkan beberapa dari konsep lain..
b. Mendefinisikan Konsep dan Memberikan Contoh
Aspek penting dari konsep pengajaran adalah secara jelas mendefinisikan
konsep dan memberikan contoh yang dipilih secara cermat. Strategi aturan
contoh adalah cara yang efektif untuk melakukan hal ini (Tennyson &
Cocchiarella, 1986). Strategi ini terdiri atas empat langkah, sebagai berikut:
1) Tentukan konsep. Selain mengidentifikasi fitur penting konsep atau
karakteristik, hubungkan ke konsep atasan, yang merupakan kelas yang
lebih besar ke konsep yang sesuai.
2) Jelaskan istilah dalam definisi. Pastikan bahwa fitur atau karakteristik utama
dipahami dengan baik.
3) Berikan contoh untuk menggambarkan fitur atau karakteristik penting.
Memberikan konsep selain contoh yang telah disebutkan merupakan strategi
yang baik untuk mengajarkan pembentukan konsep. Lebih banyak contoh
yang diperlukan saat Anda mengajarkan konsep-konsep yang kompleks dan
saat Anda bekerja dengan peserta didik yang kurang memuaskan.
4)Berikan contoh tambahan. Mintalah siswa untuk mengkategorikan konsep,
menjelaskan kategori mereka, atau meminta mereka membuat contoh
konsep sendiri.

c. Kategorisasi Hierarki dan Peta Konsep


Pengategorian ini penting karena konsep yang dikategorikan membuat
karakteristik dan fitur dari bagian kategori (Chi & Brem, 2009). Peta konsep
adalah presentasi visual dari koneksi konsep dan organisasi hierarki.
Pengarahan pada siswa untuk membuat peta fitur suatu konsep atau
karakteristik, dapat membantu mereka untuk mempelajari konsep (Amadieu
dkk, 2009). Anda dapat membuat peta konsep dengan bantuan siswa, atau
membiarkan mereka memcoba mengembangkan secara individual atau dalam
kelompok kecil.
d. Pengujian Hipotesis
Siswa dapat mengambil manfaat dari praktik pengujian hipotesis untuk
menentukan yang termasuk konsep atau tidak. Hipotesis adalah asumsi tertentu
dan prediksi yang dapat diuji untuk menentukan akurasi konsep. Salah satu
cara untuk mengembangkan hipotesis adalah berdasarkan aturan tentang alasan
mengapa beberapa benda disebut konsep dan yang lainnya tidak. Bekerja sama
dengan siswa Anda pada pengembangan strategi yang paling efisien untuk
mengidentifikasi konsep yang benar.
e. Pencocokan Prototipe
Dalam pencocokan prototipe, individu memutuskan apakah suatu hal
adalah anggota kategori dengan membandingkannya dengan hal yang paling
khas dari kategori (Rosch, 1973). Semakin mirip hal dengan prototipe, semakin
besar kemungkinan orang akan mengatakan hal tersebut bagian dari kategori
yang kurang mirip, maka semakin besar kemungkinan orang akan menilai
bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam kategori tersebut.

B. Beberapa Proses Berpikir Dan Aplikasinya Untuk Pemecahan Masalah


1. Proses Berpikir
a. Apakah Berpikir
Berpikir adalah manipulasi dan mengubah informasi dalam memori.
Jenis pemikiran meliputi pembentukan konsep, penalaran, berpikir kritis,
pengambilan keputusan, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah.Berpikir adalah
kegiatan mental dalam memecahkan masalah (Gagne, 1980).Johnson (2002); Krulik
and Rudnick (1996) mengemukakan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kreatif
dan berpikir kritis. Berpikir kreatif (yang menjadi bahasan pada bahasan ini) adalah
aktivitas mental untuk mengembangkan atau menemukan ide-ide asli (orisinil),
estetis, konstruktif yang berhubungan dengan pandangan konsep, dan menekankan
pada aspek berpikir intuitif dan rasional.
b. Penalaran
Penalaran adalah pemikiran logis yang menggunakan induksi dan deduksi
untuk mencapai kesimpulan.
1) Penalaran Induktif
Penalaran dari hal spesifik ke umum adalah penalaran induktif. Penalaran
tersebut terdiri atas penarikan kesimpulan (membentuk konsep) mengenai
semua anggota kategori berdasarkan mengamati beberapa anggotanya
(Goswani, 2011; Heit, 2008). Para peneliti telah menemukan bahwa
keterampilan penalaran induktif sering merupakan prediksi yang baik dari
prestasi akademik (Kinshuk & McNab, 2006). Penalaran induktif adalah
penalaran dari hal-hal spesifik ke hal-hal yang bersifat umum, yakni
mengambil kesimpulan (membentuk knsepp) tentang semua anggta kategori
berdasarkan observasi dari beberapa anggota (Markman & Gentner, 2001).
Misalknya saat murid di kelas sastra hanya membaca beberapa puisi Emily
Dickinson, dan diminta menarik kesimpulan tentang sifat umum dari puisinya,
maka dia diminta menggunakan penalaran induktif. Saat murid ditanya apakah
konsep yang dipelajarai di kelas matematika berlaku untuk bidang lain, seperti
bisnis atau sains, sekali lagi, dia harus menggunakan penalaran induktif. Riset
psikologi pendidikan sering kali juga dilakukan dengan penaran induktif,
mempelajari beberapa sampel untuk mengambil kesimpulan tentang populai
dari sampel itu. Aspek penting dari penalaran induktif adalah pengamatan yang
berulang. Berdasarkan pengamatan berulang, informasi tentang pengalaman
yang sama terakumulasi ke titik bahwa pola berulang dapat dideteksi dan
kesimpulan lebih akurat didapatkan tentang hal tersebut. Guru dapat membantu
siswa untuk meningkatkan penalaran induktif dengan mempertimbangkan
bahwa kesimpulan yang dihasilkan tergantung pada kualitas dan kuantitas dari
informasi yang tersedia. Siswa sering melebih-lebihkan kesimpulan sehingga
lebih pasti dari bukti yang ada. Mempertimbangkan aspek lain dari penalaran
induktif, itu adalah dasar untuk analogi. Analogi adalah korespondensi antara
hal-hal lain yang berbeda. Analogi dapat digunakan untuk meningkatkan
pemahaman siswa tentang konsep-konsep baru dalam membandingkan dengan
konsep yang sudah dipelajari.Misalnya, kita buat analogi antara komputer dan
memori manusia. Salah satu tipe analogi menggunakan penalaran formil dan
mempunyai empat bagian, dimana hubungan antara dua bagian pertama adalah
sama atau sangant mirip dengan dua bagian terakhir. Misalnya, pecahkan
analogi berikut ini, Beethoven adalah untuk musik sebagaimana Picasso untuk.
Untuk menjawab dengan benar (seni), anda harus menemukan hubungan antara
Beethoven dan musik (yang pertama menciptakan yang kedua) dan
mengaplikasikan hubungan ini untuk Picasso (apa yang diciptakan Picasso?).
Analogi dapat membantu memecahkan problem, terutama jika dipersentasikan
secara visual. Benjamin Franklin memberikan bahwa objek yang lebih lancip
menghasilkan percikan listrik yang lebih kuat ketimbang objek yang tumpul
saat keduanya diberi aliran listrik. Pada mulanya dia percaya bahwa ini adalah
observasi yang tidak penting, tetapi kemudian dia menyadari bahwa sebuah
objek yang analog tongkat lancipbisa dipakai untuk menarik petir (analogi
untuk percikan listrik), dan karenanya bisa mengalihkan petir dari bangunan
dan kapal.
Maka sala satu jenis analogi merupakan penalaran formal dan memiliki empat
bagian, dengan hubungan antara dua bagian pertama, atau sangat mirip dengan,
hubungan antara dua hal yang terakhir.
2) Penalaran Deduktif
Berbeda dengan penalaran induktif, penalaran deduktif adalah penalaran
dari umum ke khusus. Penalaran deduktif selalu spesifik, yaitu jika aturan awal
atau asumsi ini benar, maka kesimpulannya akan benar (Ricco, 2011).Misalnya
saatmemecahkan teka-teki, juga menggunakan penalaran deduktif.
Ketikamempelajari aturan umum dan kemudian memahami bagaimana aturan
itu berlaku dalam beberapa situasi tetapi tidak untuk situasi yang lain, maka
anda melakukan penalaran deduktif. Saat para psikolog pendidikan
menggunakan teori dan intuisi untuk membuat prediksi, kemudian
mengevaluasi prediksi ini dengan menggunakan observasi lanjutan, maka
mreka sedang menggunakan penalaran deduktif.Penalaran deduktif hampir
selalu pasti dalam mengertian bahwa jika aturan atau asumsi awalnya benar,
maka konklusinya akan mengikuti logika secara benar. Misalnya, jika kita
semua tahu kaidah umum bahwa anjing menggonggong dan kucing mengeong
(dan jika kaidah ini selalu benar), anda bisa mendeduksi dengan tepat apakah
hewan piaraan tetangga anda yang tampak aneh adalah anjing atau kucing
berdasarkan suara yang dikeluarkan hewan itu.
Saat menggunakan teori dan instuisi untuk membuat prediksi, kemudian
mengevaluasi prediksi ini dengan membuat pengamatan lebih lanjut, pendidik
dan psikolog menggunakan penalaran deduktif. Banyak aspek penalaran
deduktif yang telah dipelajari, termasuk kesempatan saat pengetahuan dan
penalaran yang betentangan. Selama masa remaja, individu semakin mampu
menalar deduktif bahkan saat alasan yang dipertimbangkan adalah palsu
(Kuhn, 2009). Dari awal masa remaja sampai awal dewasa, individu
meningkatkan kemampuannya untuk membuat kesimpulan akurat jika
pengetahuan dan penalaran bertentangan. Artinya mereka bisa “menalar secara
independen dari status kebenaran premis” (Kuhn & Franklin, 2006).

c. Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah berpikir reflektif dan produktif, dan mengevaluasi
bukti. Kesadaran adalah suatu konsep yang mencerminkan pemikiran kritis.
Menurut Ellen Langer (1997, 2005), kesadaran penting untuk berpikir kritis.
Kesadaran berarti menjadi waspada, hadir secara metal, dan kognitif fleksibel saat
melalui kegiatan dan tugas hidup sehari-hari. Siswa yang sadar akan
mempertahankan kesadaran aktif pada keadaan hidup mereka.
Siswa dengan kesadaran ialah siswa yang menciptakan ide-ide baru terbuka
terhadap informasi baru, dan sadar lebih dari satu perspektif. Sebaliknya, siswa
yang ceroboh akan terperangkap dalam ide-ide lama, terlibat dalam perilaku
otomatis, dan beroperasi dari perspektif tunggal. Siswa yang ceroboh juga akan
menerima hal yang pernah dibaca atau didengar tanpa mempertanyakan
keakuratan informasi. Selain itu, siswa yang ceroboh akan terjebak dalm pola
pikir yang kaku, tidak memperhitungkan kemungkinan variasi dalam konteks dan
perspektif. Langer menekankan bahwa mengajukan pertanyaan yang baik adalah
unsur penting dari pemikiran secara sadar. Ia juga menekankan bahwa penting
untuk fokus dalam proses belajar daripada hasil. Dari sintesis yang telah
dibahasmaka berpikir kritis bukan berarti menjadi kritis atau menjadi negatif.
Berpikir kritis lebih tepat diartikan sebagai berpikir evaluatif. Hasil eva-luasi
dapat berentang mulai dari positif menuju negatif, penerimaan me-nuju
penolakan, atau apapun diantaranya. Menurut Ennis & Beyer berpi-kir kritis dapat
didefinisikan sebagai memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan secara
masuk akal dan reflektif. Jadi berpikir kritis artinya membuat pertimbangan yang
masuk akal. Berikut adalah contoh-contoh tentang berfikir kritis
a. Berpikir Kritis di Sekolah
Berikut adalah beberapa cara guru agar membentuk pemikiran kritis dalam
rencana pelajaran secara sadar:
a) Menanyakan tidak hanya apa yang terjadi, tetapi juga “bagaimana” dan
“mengapa”.
b) Periksalah yang seharusnya “fakta” untuk menentukan apakah ada bukti untuk
mendukung mereka.
c) Berdebat dengan cara yang masuk akal daripada melalui emosi.
d) Mengakui bahwa terkadang terdapat lebih dari satu jawaban atau penjelasan
yang baik.
e) Bandingkan berbagai jawaban atas pertanyaan dan putuskan jawaban yang
benar-benar terbaik.
f) Mengevaluasi dan mungkin mempertanyakan apa yang orang lain katakan
daripada segera menerimanya sebagai kebenaran.
g) Ajukan pertanyaan dan berspekulasi melalui apa yang sudah Anda ketahui
untuk menciptakan ide-ide dan informasi baru.
Salah satu cara untuk mendorong siswa agar berpikir kritis adalah menyajikan
topik kontroversial atau artikel yang berkaitan tentang kedua sisi dari suatu
isu untuk dibahas. Berpikir kritis dipromosikan saat siswa menghadapi adu
argumen dan perdebatan karena dapat memotivasi mereka untuk menggali
topik lebih dalam dan berusaha untuk memecahkan masalah (Kuhn, 2009).
Dalam situasi ini, siswa sering kali diuntungkan saat guru menahan diri atas
pernyataan tentang pandangan sendiri, sehingga memungkinkan siswa lebih
leluasa mengeksplorasi sisi yang berbeda dari isu dan berbagai perspektif
pada topik. Berdasarkan banyak tugas yang mengharuskan siswa untuk fokus
pada isu, pertanyaan, atau masalah bukan hanya membaca fakta-fakta, guru
merangsang kemampuan siswa untuk berpikir kritis.

b. Berpikir Kritis pada Masa Remaja


Masa remaja merupakan masa transisi yang penting dalam
perkembangan berpikir kritis (Kuhn, 2009). Beberapa perubahan kognitif
terjadi selama masas remaja yang memungkinkan peningkatan berpikir kritis,
termasuk sebagai berikut (Keating, 1990):
a) Peningkatan kecepatan, otomatisasi, dan kapasitas pengolahan informasi,
yang membebaskan sumber daya kognitif untuk tujuan lain.
b) Pengetahuan lainnya dalam berbagai domain.
c) Kemampuan meningkat untuk membentuk kombinasi kemampuan baru.
d) Rentang yang lebih besar dan penggunaan strategi atau prosedur lebih
spontan seperti perencanaan, mempertimbangkan alternatif, dan pemantauan
kognitif.
Jika dasar yang kuat dari keterampilan dasar (seperti membaca dan
keterampilan matematika) tidak dikembangkan sejak masa kanak-kanak,
keterampilan berpikir kritis tidka mungkin berkembang pada masa remaja.
Bagi remaja yang tidak memiliki keterampilan dasar, potensi keuntungan
dalam pemikiran remaja adalah tidak mungkin.

c. Berpikir Kritis dan Teknologi


David Jonassen (2006, 2010) berpendapat bahwa salah satu penggunaan
terbaik dari teknologi dalam pendidikan, melibatkan aplikasi komputer agar
siswa berpikir kritis mengenai isi bacaan yang dipelajari. Ia menyebutkan bahwa
aplikasi seperti “alat pikiran”, dan melihatnya sebagai alat konstruktif yang
disimpulkan oleh siswa terkait pengetahuan dan penalaran tentang isi pelajaran.
Jonassen membedakan beberapa kategori alat pikiran, termasuk alat-alat
semantik organisasi, alat pemodelan dinamis, alat interpretasi informasi, serta
percakapan dan alat-alat kolaborasi.
Alat organisasi semantik seperti pusat data dan alat pemetaan konsep,
membantu siswa mengatur, menganalisis, dan memvisualisasikan informasi
yang dipelajari. Alat pemodelan dinamis membantu siswa mengeksplorasi
hubungan antara konsep-konsep. Hal tersebut termasuk spreadsheet, sistem
pakar, sistem alat pemodelan, dan microworlds. Alat interpretasi informasi
membantu pelajar mengakses dan menginterpretasikan informasi, termasuk
visualisasi dan alat-alat konstruksi pengetahuan. Misalnya, alat visualisasi adalah
model visual dari fenomena yang kompleks agar lebih dipahami. Alat
Pengetahuan konstruksi, seperti hypermedia, video pengeditan, atau program
desain jaringan, konstruksi sistem siswa pada pengetahuan dalam berbagai
bentuk.
Berbagai alat-alat percakapan digital dan kolaborasi, seperti e-mail,
diskusi online, chatting, konferensi video, dan blog, memungkinkan siswa untuj
berinteraksi dan berkolaborasi dengan para ahli dan siswa lain di seluruh dunia.

d. Pengambilan Keputusan
Dalam penalaran deduktif, orang menggunakan kaidah yang jelas untuk
mengambil kesimpulan. Sebaliknya saat kita membuat keputusan, kaidahnya jarang
yang jelas dan kita mungkin hanya punya pengetahuan terbatas tentang konsekuensi
dari keputusan itu (Gigenrenzer & Selton, 2001; Tversky & Fox, 1995). Selain itu,
informasi penting mungkin tidak tersedia dan kita mungkin tidak bisa mempercayai
semua informasi yang kita punya (Martlin, 2002).Luthans dan Davis (1996)
mengemukakan bahwa, decision making is almost universally defined as choosing
between alternatives. Artinya, bahwa secara umum pengertian dari pengambilan
keputusan adalah me-milih di antara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat oleh
Garry Deslerr (2001) yang mengatakan bahwa, decision is a choice made bet-ween
available alternatives. Ditinjau dari sudut pandang lain dinyatakan pula bahwa,
decision making is the process of developing and analyzing alternatives and choosing
from among them.Pengambilan keputusan adalah berpikir yang melibatkan evaluasi
alternatif dan membuat pilihan. Salah satu jenis pengambilan keputusan adalah
menimbang biaya dan manfaat dari berbagai hasil. Banyak prasangka (prasangka
konfirmasi, kepercayaan ketekunan, prasangka terlalu percaya, dan prasangka
pandangan masa lalu) dapat mengganggu pengambilan keputusan yang baik.
a. Bias dan Kelemahan dalam Pengambilan Keputusan
Subyek berakibat lain dari penelitian pengambilan keputusan adalah bias
dan cacat heuristis (aturan praktis) yang mempengaruhi kualitas keputusan
(Baker, 2010; Pretz, 2008). Kelemahan umum melibatkan bias konfirmasi,
ketekunan kepercayaan, bias terlalu percaya diri, bias masa lalu, dan ketersediaan
dan perwakilan heuristis. Pengambilan keputusan ditingkatkan saat Anda
menyadari ini merupakan kekurangan potensial.

b. Bias Konfirmasi
Salah satu jenis prasangka adalah bias konfirmasi, cenderung mencari dan
menggunakan informasi yang mendukung ide-ide Anda bukan membantahnya.
Dengan demikian, dalam membuat keputusan, seorang siswa mungkin memiliki
keyakinan awal bahwa pendekatan tertentu dalam bekerja. Ia menguji
pendekatan dan menemukan bahwa itu tidak bekerja pada beberapa waktu. Ia
menyimpulkan bahwa pendekatannya tepat, daripada mengeksplorasi fakta lebih
lanjut bahwa dalam sejumlah kasus tidak bekerja. Anda cenderung mencari dan
mendengarkan orang-orang dengan pandangan mengonfirmasi pendapat anda
daripada mendengarkan pandangan yang berbeda pendapat (Kerschreiter dkk,
2008).
c. Ketekunan Kepercayaan
Terkait erat dengan prasangka konfirmasi, ketekunan kepercayaan adalah
kecenderungan untuk berpegang pada keyakinan dalam menghadapi bukti yang
bertentangan. Orang-orang memiliki kesulitan dalam melepaskan ide atau
strategi setelah meyakininya (Stanovich, 2010).
d. Bias Terlalu Percaya Diri
Bias terlalu percaya diri adalah kecenderungan dalam memiliki
kepercayaan diri yang berlebihan dalam penilaian dan keputusan daripada yang
seharusnya, berdasarkan probabilitas dan pengalaman masa lalu.
e. Bias Masa Lalu
Bias masa lalu adalah kecenderungan untuk melaporkan secara salah,
setelah fakta, bahwa Anda secara akurat memprediksi kejadian.
f. Pengambilan Keputusan di Masa Remaja
Masa remaja adalah masa peningkatan pengambilan keputusan. Remaja
yang lebih tua sering membuat keputusan yang lebih baik daripada remaja yang
lebih muda, yang lebih baik saat ini daripada anak-anak. Kebanyakan orang
membuat keputusan yang lebih baik saat mereka tenang daripada dalam keadaan
emosional, terutama pada remaja (Steinberg dkk, 2009). Konteks sosial juga
berperan penting dalam pengambilan keputusan remaja (Wray-Lake, Crouter, &
McHale, 2010).

e. Berpikir Kreatif
Aspek penting dari pemikiran adalah berpikir kreatif (Baghetto & Kaufman, 2010;
Sternberg, 2009, 2010a, b). Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir tentang cara
baru, dan tidak biasa, dan datang dengan solusi yang unik. JP Guilford (1967)
membedakan antara berpikir konvergen (yang menghasilkan satu jawaban yang benar dan
karakteristik dari jenis pemikiran yang diperlukan pada ujian kecerdasan konvensional)
dan berpikir divergen (yang menghasilkan banyak jawaban untuk pertanyaan yang sama
dan karakteristik kreativitas). Meskipun siswa paling kreatif adalah cukup cerdas, tetapi
sebaliknya belum tentu benar.
1) Langkah-Langkah dalam Proses Kreatif
Proses kreatif sering digambarkan sebagai urutan lima langkah, meskipun siswa
tidak selalu mengikuti urutan yang sama:
a) Persiapan. Siswa tenggelam dalam isu masalah yang membuat mereka tertarik
dan rasa ingin tahu mereka muncul.
b) Inkubasi. Siswa mengelola ide di kepala mereka, titik di mana mereka
cenderung membuat beberapa koneksi yang tidak biasa dalm pemikiran
mereka.
c) Wawasan. Siswa mengalami momen “Aha!” saat semua potongan teka-teki
terlihat cocok satu sama lain.
d) Evaluasi. Sekarang, siswa harus memutuskan tentang suatu ide yang berharga
dan layak dikejar. Mereka harus berpikir. “Apakah ide baru atau sudah jelas?”
e) Elaborasi. Langkah terakhir sering meliputi rentang waktu terpanjang dan
melibatkan pekerjaan paling sulit. Langkah ini adalah yang dipikirkan oleh
penemu asal Amerika, Thomas Edison, saat ia mengatakan bahwa kreativitas
adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen keringat.
2) Pengajaran dan Kreativitas
Tujuan penting pengajaran adalah membantu siswa menjadi lebih kreatif
(Kaufman & Sternberg, 2010; Sternberg, 2009, 2010a, b, c). Guru perlu
menyadari bahwa siswa akan lebih menunjukkan kreativitas dalam beberapa
domain daripada yang lain (Skiba dkk, 2010). Seorang siswa yang menunjukkan
keterampilan kreatif misalnya, berpikir secara matematis mungkin tidak
ditunjukkan pada keterampilan kesenian. Desain sekolah dan ruang kelas dapat
mempengaruhi kreativitas siswa (Baghetto & Kaufman, 2009). Lingkungan
sekolah yang mendorong bekerja secara independen, yang merangsang tetapi
tidak mengganggu, dan membuat sumber daya tersedia cenderung mendorong
kreativitas siswa. Siswa juga akan sangat beruntung jika Anda adalah seorang
pemikir kratif dan terlibat dalam proses pengajaran sehari-sehari Anda secara
kreatif.
Berikut adalah beberapa cara guru dapat menumbuhkan kreativitas dalam
diri siswa: mendorong pemikiran kreatif pada kelompok dan secara individual,
menyediakan lingkungan yang menyediakan kreativitas, jangan terlalu
mengontrol siswa, mendorong motivasi internal, mendorong agar berpikir
fleksibel, membentuk kepercayaan diri siswa, mendorong siswa untuk berani
mengambil resiko, membimbing siswa agar gigih dan menunda gratifikasi, san
memperkenalkan siswa pada orang-orang kreatif.
2. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan.
Pertimbangkan tugas yang mengharuskan siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah.Memecahkan masalah melibatkan aktivitas seperti menggunakan proses berpikir
dasar untuk memecahkan kesulitan tertentu, merakit fakta tentang informasi tambahan yang
diperlukan, memprediksi atau menyarankan alternatif solusi dan menguji ketepatannya,
mereduksi ke tingkat penjelasan yang lebih sederhana, mengeliminasi kesenjangan, memberi
uji solusi ke arah nilai yang dapat digeneralisasi.
a. Langkah-Langkah Dalam Pemecahan Masalah
Upaya telah dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang dilalui oleh
individu secara efektif dalam memecahkan masalah. Berikut adalah empat langkah
tersebut (Bransford & Stein, 1993):
a. Carilah dan Bingkai Masalah
Sebelum memecahkan masalah, Anda harus menyadari bahwa masalah
tersebut ada (Mayaer, 2008). Di masa lalu sebagian besar latihan pemecahan
masalah di sekolah adalah masalah yang didefinisikan dengan baik oleh mereka
sendiri secara spesifik dan sistematis yang menghasilkan solusi yang jelas. Saat ini,
Pendidik semakin menyadari kebutuhan untuk mengajar keterampilan dunia nyata
kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah, bukan hanya menawarkan masalah
yang jelas untuk dipecahkan (Chen, 2010; Laxman, 2010). Diperlukan eksplorasi
yang cukup dan perbaikan bagi siswa untuk mempersempit masalah ke titik yang
menghasilkan solusi spesifik. Penjelajahan alternatif tersebut merupakan bagian
penting dari pemecahan masalah.
b. Mengembangkan Strategi Pemecahan Masalah yang Baik
Setelah menemukan masalah dan secara jelas mendefinisikannya, siswa
perlu mengembangkan strategi untuk menyelesaikannya (Quiamzade, Mugny, &
Darnon, 2009; Yu, Dia, & Lee, 2010). Dia antara strategi yang efektif, terdapat
pengaturan sub tujuan dan penggunaan algoritma, heuristis, serta analis rata-rata
akhir.
1) Sub-tujuan adalah menetapkan tujuan menengah yang menempatkan siswa
dalam posisi yang lenih baik untuk mencapai tujuan akhir atau solusi. Siswa
mungkin melakukan hal buruk dalam memecahkan masalah karena mereka tidak
menghasilkan sub-masalah atau sub-tujuan. Perhatikan bahwa dalam membentuk
sub-tujuan, Anda bekerja mundur dalam waktu. Hal ini sering kali merupakan
strategi yang baik. Siswa terlebih dahulu membuat sub-tujuan paling dekat dengan
tujuan akhir, dan kemudian bekerja mundur ke sub-tujuan paling dekat dengan awal
upaya pemecahan masalah.
2) Algoritma adalah strategi yang menjamin solusi masalah. Algoritma ada dalam
berbagai bentuk, seperti formula, instruksi, dan ujian yang menjadi kemungkinan
solusi. Saat siswa memecahkan masalah perkalian atau pembagian panjang dengan
prosedur yang ditetapkan, mereka menggunakan algoritma (Martin, 2009). Saat
mengikuti petunjuk untuk diagram kalimat, mereka menggunakan algoritma.
Algoritma membantu dalam memecahkan masalah yang jelas (Lau & Yuen, 2010).
3) Heuristis adalah strategi atau aturan baku yang dapat menyarankan solusi
masalah, tetapi tidak menjamin akan bekerja. Heuristis membantu Anda untuk
mempersempit kemungkinan solusi dan membantu Anda dalam menemukan satu
yang bekerja (Acar, Turkmen, & Roychoudhury, 2010). Dalam menghadapi ujian
pilihan ganda, beberapa heuristis dapat berguna. Misalnya, jika Anda tidak yakin
tentang jawaban, Anda bisa mulai dengan mencoba untuk menghilangkan jawaban
yang terlihat paling tidak mungkin, dan kemudian menebak antara yang tersisa.
Selain itu, untuk petunjuk tentang jawaban atas satu pertanyaan, Anda dapat
memeriksa pernyataan atau menjawab pilihan untuk pertanyaan lain pada ujian.
4) Analisis rata-rata akhir adalah heuristis yang mengidentifikasi tujuan (akhir) dari
masalah, menilai situasi saat ini, dan mengevaluasi yang perlu dilakukan (sarana)
untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi. Nama lain dari analisis rata-rata
akhir adalah pengurangan perbedaan. Analisis rata-rata akhir juga dapat
melibatkan penggunaan sub-tujuan. Analisis rata-rata akhir umumnya digunakan
dalam memecahkan masalah.
c. Evaluasi Solusi
Setelah berpikir bahwa Anda telah memecahkan masalah, Anda mungkin
tidak tahu mengenai keefektifan solusi, kecuali Anda mengevaluasinya. Hal tersebut
menyebabkan sesuatu untuk memiliki pikiran kriteria yang jelas dalam efektivitas
solusi.
d. Pemikiran dan Definisi Masalah dan Solusi dari Waktu ke Waktu
Langkah terakhir penting dalam pemecahan masalah adalah untuk terus
memikirkan kembali dan mendefinisikan masalah dan solusi dari waktu ke waktu
(Bereiter & Scardamalia, 2006). Orang yang pandai memecahkan masalah,
termotivasi untuk mempebaiki kinerja masa lalu dan membuat kontribusi yang asli.

b. Hambatan Untuk Memecahkan Masalah


Beberapa kendala umum dalam memecahkan masalah adalah fiksasi, kurangnya
motivasi atau ketekunan, dan pengendalian emosi yang tidak memadai.
a. Fiksasi
Sangat mudah untuk jatuh ke perangkap dan terpaku pada strategi tertentu untuk
memecahkan masalah. Fiksasi adalah menggunakan strategi sebelumnya dan gagal untuk
melihat masalah dari perspektif baru yang segar. Fiksasi fungsional adalah jenis fiksasi saat
seorang individu gagal untuk memecahkan masalah karena memandang unsur-unsur yang
terlibat hanya dalam hal fungsi biasa saja. Seorang siswa yang menggunakan sepatu untuk
memalu paku telah mengatasi fiksasi fungsional untuk memecahkan masalah.
Set mental adalah jenis fiksasi saat seorang individu mencoba untuk memecahkan
masalah dengan cara tertentu yang telah bekerja di masa lalu. Misalnya, saat Anda
memiliki seperangkat jiwa mengenai penggunaan mesin tik ketimbang komputer untuk
menulis buku. Anda merasa nyaman dengan mesin tik dan tidak pernah melewatkan setiap
bagian yang anda tulis. Butuh waktu lama bagi Anda untuk keluar dari set mental ini.
Setelah melakukannya, Anda menemukan bahwa buku lebih mudah ditulis dengan
komputer. Anda mungkin memiliki satu set mental yang sama terhadap penggunaan
komputer dan video teknologi baru yang tersedia untuk penggunaan di kelas. Strategi yang
baik adalah tetap berpikiran terbuka mengenai perubahan tersebut dan memantau apakah
set mental Anda adalah menjaga dalam mencoba teknologi baru yang dapat membuat kelas
lebih menarik dan lebih produktif.
b. Kurangnya Motivasi atau Ketekunan
Bahkan, jika siswa telah memiliki kemampuan besar pemecahan masalah, hampir
tidak penting jika mereka tidak termotivasi untuk menggunakannya (Perry, Turner, &
Meyer, 2006). Hal ini terutama penting bagi siswa secara internal termotivasi untuk
mengatasi masalah dan bertahan dalam menemukan solusi. Beberapa siswa menghindari
masalah dan menyerah terlalu mudah.
Tugas penting bagi guru adalah menyusun atau mengarahkan siswa menuju masalah
yang berarti bagi mereka, kemudian mendorong dan mendukung mereka dalam mencari
solusi. Siswa jauh lebih termotivasi untuk memecahkan masalah yang dapat berhubungan
dengan kehidupan pribadi mereka daripada masalah buku yang tidak memiliki makna
pribadi bagi mereka. Pembelajaran berbasis masalah membawa pendekatan personel ke
dunia nyata (Baturay & Bay, 2010; Kumar, 2010).
c. Pengendalian Emosional yang Tidak Memadai
Emosi dapat menghambat pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang baik tidak
hanya motivasi tinggi, tetapi juga mampu mengendalikan emosi mereka, dan dengan
demikian berkonsentrasi pada solusi masalah (Kuhn, 2009). Kecemasan atau takut dapat
membatasi kemampuan siswa untuk memecahkan masalah. Individu yang kompeten di
pemecahan masalah biasanya tidak takut membuat kesalahan.
c. Perubahan Perkembangan
Anak-anak memiliki beberapa kelemahan yang mencegah mereka dalam memecahkan
banyak masalah secara efektif. Hal yang utama adalah kurangnya perencanaan, yang meningkat
selama bertahun-tahun pada sekolah dasar dan menengah. Di antara alasan untuk keterampilan
perencanaan yang buruk dari anak-anak adalah cenderung mencoba untuk memecahkan masalah
terlalu cepat dengan mengorbankan akurasi dan ketidakmampuan mereka untuk menghambat
aktivitas. Perencanaan sering dibutuhkan dalam menghambat perilaku saat ini untuk berhenti dan
berpikir, anak-anak pra sekolah sering mengalami kesulitan dalam menghambat perilaku yang
sedang berlangsung, terutama jika menyenangkan (Bjorklund, 2005). Kelemahan lain dari
kemampuan pemecahan masalah anak-anak adalah meskipun mereka mungkin tahu aturan,
mereka gagal untuk menggunakannya.
Alasan lain bahwa anak-anak dan remaja menjadi pemecah masalah yang lebih baik
daripada anak-anak yang lebih muda adalah pengetahuan dan strategi (Bjorklund, 2011;
Martinez, 2010). Permasalahan yang harus dipecahkan oleh anak-anak dan remaja, sering lebih
kompleks daripada yang dihadapi oleh anak-anak yang lebih muda, dan memecahkan masalah
secara akurat ini biasanya membutuhkan akumulasi pengetahuan. Semakin banyak anak tahu
mengenai topik tertentu, semakin baik mereka akan dapat memecahkan masalah yang berkaitan
dengan topik. Penggunaan strategi anak-anak meningkat saat usia mereka bertambah. Terutama
yang penting dalam menggunakan strategi untuk memecahkan masalah, adalah dengan memiliki
berbagai strategi untuk dipilih, dan kisaran ini meningkat selama tahun-tahun sekolah dasar dan
menengah. Remaja memiliki peningkatan kapasitas untuk memonitor dan mengelola sumber
daya mereka agar secara efektif memenuh tuntutan tugas pemecahan masalah (Kuhn, 2009).
Remaja juga lebih baik daripada anak-anak dalam menyaring informasi yang tidak relevan untuk
memecahkan masalah (Kuhn, 2009).

d. Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Berbasis Proyek


a. Pembelajaran Berbasis Masalah
Penekanan dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pada pemecahan masalah autentik
seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Donnelly, 2010; Hung, 2009). Ada siswa yang
memecahkan masalah berkaitan dengan membayangkan, merencanakan, menerapkan pameran,
merancang video, dan membuat program. Tidak seperti instruksi langsung saat guru menyajikan
gagasan serta menunjukkan keterampilan, dalam pembelajaran berbasis masalah, guru
mengorientasikan siswa untuk masalah atau masalah dan mendapatkan siswa untuk
mengeksplorasi dan menemukan solusi sendiri (Aends, 2004). Pembelajaran berbasis masalah
sangat efektif untuk membantu siswa dalam mengembangkan kepercayaan diri dan
menghasilkan kemampuan berpikir sendiri.
Aliran umum pembelajaran berbasis masalah terdiri atas lima tahap (Arends, 2004):
1) Megorientasikan siswa untuk masalah ini.
2) Mengatur siswa untuk belajar.
3) Membuat penyelidikan independen dan kelompok.
4) Mengembangkan dan menyajikan artefak dan pameran.
5) Menganalisis dan mengevaluasi kerja.
b. Pembelajaran Berbasis Proyek
Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa bekerja secara nyata, masalah yang berarti dan
menciptakan produk nyata (Gutherie, 2010; van Rooij, 2009). Pembelajaran berbasis proyek dan
pembelajaran berbasis masalah, terkadang diperlakukan sebagai sinonim. Tetapi, seentara masih
menekankan proses belajar secara konstruktivis, pembelajaran berbasis proyek memberikan
ekstra perhatian terhadap produk akhir dari pembelajaran berbasis masalah (Bereiter &
Scardamalia, 2006). Jenis-jenis masalah dieksplorasi dalam pembelajaran berbasis proyek adalah
sama dengan yang dipelajari oleh para ilmuwan, matematikawan, sejarawan, penulis, dan
profesional lainnya (Bell, 2010; Kanter, 2010).
Lingkungan belajar berbasis proyek yang ditandai dengan lima fitur utama (Krajcik &
Blumenfeld, 2006):
1. Pertanyaan yang mengarahkan. Proses pembelajaran dimulai dengan suatu pertanyaan penting
atau masalah yang perlu diselesaikan.
2. Autentik, letak penyelidikan. Saat meneliti pertanyaan penting siswa belajar tenetang proses
pemecahan masalah oleh para ahli terhadap kedisiplinan dalam konteks yang relevan.
3. Kolaborasi. Siswa, guru, dan peserta masyarakat bekerja sama untuk mencari solusi masalah ini.
4. Suatu sistem. Teknologi pembelajaran digunakan untuk menantang siswa dalam melampaui
yang biasanaya pada konteks pemecahan masalah.
5. Produk akhir. Siswa membuat produk akhir secara nyata yang membahas kunci dan
mengarahkan pertanyaan.
Tujuan penting kognitif kompleks bagi siswa untuk menerapkan yang dipelajari dalam
satu situasi ke situasi baru (Banich & Caccamise, 2010; Stahl, 2010). Tujuan penting dari
sekolah adalah siswa belajar hal-hal yang dapat diterapkan di luar kelas. Sekolah tidak berfungsi
secara efektif jika siswa melakukannya dengan baik pada ujian di seni bahasa, tetapi tidak dapat
menulis surat yang kompeten sebagai bagian dari aplikasi pekerjaan. Sekolah juga tidak efektif
mendidik siswa jika siswa melakukannya dengan baik pada ujian matematika di kelas, tetapi
tidak dapat memecahkan masalah aritmatika pada pekerjaan.
C. Cara Mentransfer dan Memperkuat Proses Berpikir Kompleks Untuk Pemecahan
Masalah
1. Apakah Transfer
Transfer terjadi jika seseorang menerapkan pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya untuk belajar atau memecahkan masalah dalam situasi baru (Mayer,
2008). Siswa mengambil manfaat saat dapat menerapkan yang dipelajari di kelas
untuk situasi kehidupan mereka di luar kelas. Jadi, jika seorang siswa belajar konsep
dalam matematika, kemudian menggunakan konsep ini untuk memecahkan masalah
dalam ilmu pengetahuan, maka transfer telah terjadi. Hal ini juga terjadi jika seorang
siswa membaca dan studi tentang konsep keadilan di sekolah, kemudian
memperlakukan orang lain lebih adil di luar kelas.
Beberapa strategi yang dapat meningkatkan transfer termasuk memberikan
dua atau lebih konsep karena satu sering tidak cukup, memberikan representasi atau
model kepada siswa, seperti matriks, yang membantu mereka untuk menyusun
kegiatan pemecahan masalah, dan mendorong siswa untuk menghasilkan lebih
banyak informasi sendiri serta meningkatkan ingatan yang perlu ditransfer (Sears,
2008). Strategi lain untuk meningkatkan transfer adalah memberikan kasus kontras
yang terstruktur dengan baik kepada siswa, dan mereka mencoba untuk menemukan
solusinya sebelum kuliah tentang solusi ahli. Idenya adalah dengan terlebih dahulu
menciptakan solusi, siswa membawa pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan
masalah dan membuat koneksi ke fitur masalah. Saat mereka melihat solusi ahli dan
kaitan fitur penting satu sama lain, para siswa harus lebih memahami cara kerjanya,
dan dengan demikian, mentransfer lebih baik di masa depan.

2. Jenis Transfer
Transfer dapat dicirikan sebagai (1) dekat atau jauh, dan (2) jalan rendah atau
jalan tinggi (Schunk, 2011).

a. Transfer Dekat atau Jauh


Dalam transfer dekat, situasi pembelajaran di kelas mirip saat pembelajaran
awal berlangsung. Sevagai contoh, jika seorang guru geometri menginstruksikan
kepada siswa dengan cara logis untuk membuktikan konsep, kemudian menguji siswa
pada logika ini dalam pengaturan yang sama saat mereka belajar konsep, transfer dekat
terlibat.
Transfer jauh berarti transfer belajar situasi yang sangat berbeda dari yang saat
pembelajaran awal berlangsung. Misalnya, jika seorang siswa mendapat pekerjaan
paruh waktu di suatu kantor arsitek dan menerapkan yang dipelajarinya di kelas
geometri untuk membantu arsitek dalam menganalisis masalah spasial yang berbeda
dari masalah yang dihadapi di kelas geometri, transfer jauh telah terjadi.

b. Transfer Jalan Rendah atau Jalan Tinggi


Gabriel salomon dan david Parkins (1989) membedakan antara pengalihan
jalan-rendah dan jalan-tinggi. Transfer jalan-rendah terjadi saat pembelajaran
sebelumnya secara otomatis, sering secara tidak sadar, transfer ke situasi laian. Hal ini
terjadi biasanya dengan keterampilan yang dipraktikkan saat ada sedikit kebutuhan
untuk berpikir reflektif. Misalnya, saat pembaca yang kompeten menemukan kalimat
baru dalam bahasa ibu mereka, mereka membacanya otomatis.

Sebaliknya, transfer jalan-tinggi sadar dan berusaha. Siswa sadar untuk


membentuk hubungan antara yang dipelajarinya dalam situasi sebelumnya dan situasi
baru dihadapi. Transfer jalan-tinggi penuh kesadaran, yaitu siswa menyadari yang
dilakukannya dan berpikir tentang hubungan anatara konteks. Transfer jalan-tinggi
menyiratkan keabstrakan aturan umum atau prinsip dari pengalaman sebelumnya,
kemudian menerapkannya pada masalah baru dalam konteks bau. Sebagai contoh,
siswa bisa belajar tentang konsep sub-tujuan (menetapkan tujuan menengah) di kelas
matematika. Beberapa bulan kemudian, salah satu siswa berpikir tentang sub-tujuan
yang bisa membantunya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang panjang dalam
sejarah. Ini adalah transfer jalan-tinggi.

Salomon dan Parkins (1989) membagi transfer jalan-tinggi ke transfer jangkauan ke


depan dan transfer jangkauan ke masa lalu. Transfer jangkauan ke depan terjadi saat
siswa berpikir tentang cara mereka menerapkan yang telah dipelajari dengan situasi
baru (dari situasi mereka saat ini, mereka melihat “maju” untuk menerapkan informasi
ke situasi baru di depan). Untuk transfer jangkauan ke depan berlangsung siswa harus
tahu sesuatu tentang situasi transfer pembelajaran. Sedangkan transfer jangkauan ke
belakang terjadi saat siswa melihat kembali ke situasi sebelumnya (”lama”) untuk
informasi yang akan memecahkan masalah dalam konteks baru.

3. Praktik Budaya Dan Transfer


Praktik-praktik budaya dapat mempengaruhi cara transfer menjadi mudah atau
sulit. Pengetahuan sebelumnya, meliputi berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh
peserta didik melalui pengalaman budaya, seperti melibatkan etnis, status sosial-
ekonomi, dan gender (Dewan Riset Nasional, 1999). Pada beberapa kasus,
pengetahuan budaya ini dapat mendukung pembelajaran anak-anak dan memfasilitasi
pemindahan, tetapi juga dapat mengganggu (Cole, 2006; Greenfield dkk, 2006). Untuk
anak-anak dari beberapa latar belakang budaya, terdapat kecocokan atau transfer
minimal antara yang dipelajari di komunitas asal dan yang dibutuhkan atau diajarkan
oleh sekolah.

Salah satu model untuk strategi mengajar yang akan menggeneralisasi terdiri atas
tiga tahap untuk meningkatkan pemindahan (Phye & Sanders, 1994). Pada tahap awal
akuisisi, siswa diberi informasi mengenai pentingnya strategi, dan cara
menggunakannya, serta kesempatan untuk berlatih dan praktik menggunakannya. Pada
tahap kedua, yang disebut retensi, siswa mendapatkan lebih banyak latihan dalam
menggunakan strategi, dan memeriksa ingatan mereka tentang menggunakan strategi
tersebut. Pada fase ketiga, transfer, siswa ddiberi masalah baru ntuk dipecahkan.
Masalah-masalah ini mengharuskan mereka untuk menggunakan strategi yang sama,
tetapi di permukaan masalah baru tampil berbeda.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemahaman terhadap konsep merupakan aspek penting dalam kehidupan
manusia. Oleh karena itu, pemahaman konsep harus diajarkan oleh guru kepada siswa
dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian siswa dapat mendefinisikan obyek
yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman konsep yang dibangunnya
sendiri. Siswa diharapkan tidak hanya dapat menghafalkan sesuatu obyek berdasarkan
pengetahuan yang sudah terpola, tetapi siswa juga mampu mendeskripsikan obyek
dengan penalarannya sendiri.

Dalam hal membantu siswa untuk memahami konsep suatu obyek, guru juga
harus mampu membantu mengajarkan kepada siswa agar dapat menjadi pemikir yang
baik. Sebab dengan proses berpikir yang baik, siswa dapat membentuk konsep,
bernalar dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan dapat
memecahkan masalahnya sendiri.

Hal yang sangat diharapkan dari efek perlakuan tersebut adalah siswa dapat
memecahkan masalahnya sendiri dengan lebih baik. Kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah menjadi ukuran keberhasilan seorang guru dalam mengajarkan
pemahaman konsep dan proses berpikir yang baik. Selain itu, hal yang tidak kalah
penting dalam pemahaman konsep adalah bagaimana guru dapat membantu siswa
untuk mentransferkan konsep yang dimilikinya. Transfer dalam pemahaman
konseptual dapat diartikan sebagai, kemampuan sorang siswa dalam
mengaktualisasikan konsep yang dimiliki kedalam situasi yang baru dan nyata. Dan
pada titik ini, ketika siswa mampu mentransferkan konsep yang dimilikinya, maka itu
merupakan ukuran keberhasilan guru dalam membangun pemahaman konsep kepada
siswa. Dengan kata lain, keberhasilan seorang guru dalam memberikan pemahaman
konseptual kepada siswa tergantung dari apakah siswa tersebut dapat mentransferkan
konsep yang dimiliki atau tidak.
Antara pemahaman konseptual, proses berpikir, pemecahan masalah, dan transfer
merupakan empat tahapan dalam proses kognitif kompleks yang saling berhubungan
satu sama lain. Tidak dibenarkan jika salah satu tahapan dari proses kognitif kompleks
dilewatkan begitu saja. Semua harus diajarkan secara kompleks agar siswa dapat dapat
lebih baik dalam memecahkan masalahnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Baer, J. 1993. Creativity and Divergent Thinking: A Task Specific Approach. London:
Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Hadis, Abdul. 2006. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2006.

Winkel, W. S. 2004. Psikologi Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi.

Anda mungkin juga menyukai