Anda di halaman 1dari 18

IMAN KEPADA ALLAH

Iman dari segi bahasa menurut banyak kalangan adalah membenarkan. Aku membenarkan
dan aku beriman memiliki makna yang sama. Namun, pendapat ini tidak shahih. Yang
benar, iman menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu karena membenarkannya.
Buktinya, kita sering berkata, “Aku beriman” atau “Aku menetapkan ini” atau “Aku
membenarkan ini”, tapi kita tidak mengatakan, “Aku beriman kepada fulan”.

Dengan demikian, iman mengandung makna yang lebih sempurna dari sekedar
membenarkan. Iman adalah pengakuan dengan konsekuensi menerima berita dan tunduk
pada hukum. Inilah iman, kalau sekedar kita beriman kepada Alla bahwa Allah itu ada,
maka ini bukanlah iman. Akan tetapi iman haruslah berkonsekuensi dengan sikap menerima
berita dan tunduk kepada hukum.

Beriman kepada Allah mencakup 4 perkara:

1. Beriman kepada adanya Allah


2. Beriman kepada rububiyah Allah, yaitu Dia-lah yang satu-satunya yang
menyandang hak rububiyah (menciptakan, mengatur dan memberi rezeki kepada
seluruh mahluk-Nya)
3. Beriman kepada uluhiyah-Nya, yakni Dialah satu-satunya yang berhak diibadahi
4. Beriman kepada asma dan sifat-Nya (nama dan sifat Allah)

Barangsiapa yang tidak beriman kepada adanya Allah, maka dia bukanlah seorang mukmin.
Siapa yang beriman kepada adanya Allah, tapi tidak beriman bahwa satu-satunya yang
menyandang hak rububiyah adalah Allah, maka dia bukanlah seorang mukmin.
Barangsiapa beriman bahwa satu-satunya pemilik rububiyah adalah Allah akan tetapi tidak
beriman bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi adalah Allah, maka ia bukan seorang
mukmin. Barangsiapa yang beriman bahwa satu-satunya
pemilik uluhiyah dan rububiyah adalah Allah, akan tetapi tidak beriman kepada asma dan
sifat Allah, maka ia bukanlah seorang mukmin, meskipun yang terakhir ini bisa
menghilangkan iman secara total, dan bisa pula hanya menghilangkan kesempurnaan iman.

Disarikan dari terjemahan Syarah ‘Aqidah Wasithiyyah Lisyaikhil Islam Ibni


Taimiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Penerbit Darul Haq cetakan
ke-6 tahun 2012 hal. 85-86.
IMAN KEPADA MALAIKAT

Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan Allah dari cahaya, senantiasa menyembah
Allah, tidak pernah mendurhakai perintah Allah serta senantiasa melakukan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Keimanan kepada malakat mengandung 4 unsur, yaitu:

Pertama: Mengimani adanya mereka.

Yaitu kepercayaan yang pasti tentang keberadaan para malaikat. Tidak seperti yang
dipahami oleh sebagian orang bahwa malaikat adalah hanya sebuah ‘kata’ yang bermakna
konotasi yang berarti kebaikan atau semacamnya. Allah Ta’ala telah menyatakan
keberadaan mereka dalam firman-Nya yang artinya: “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu)
adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan
perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (QS. Al-Anbiyaa’: 26-27)

Kedua: Mengimani nama-nama malaikat yang telah kita ketahui, sedangkan malaikat
yang tidak diketahui namanya wajib kita imani secara global.

Di antara dalil yang menunjukkan banyaknya bilangan malaikat dan tidak ada yang dapat
menghitungnya kecuali Allah Ta’ala adalah sebuah hadits shahih yang berkaitan dengan
baitul makmur. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya baitul makmur berada di langit yang ketujuh setentang
dengan Ka’bah di bumi, setiap hari ada 70 ribu malaikat yang shalat di dalamnya
kemudian apabila mereka telah keluar maka tidak akan kembali lagi.” (HR. Bukhari &
Muslim)

Ketiga: Mengimani sifat-sifat malaikat yang kita ketahui.

Seperti misalnya sifat Jibril, dimana Nabi mengabarkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa
sallam pernah melihat Jibril dalam sifat yang asli, yang ternyata mempunyai enam ratus
sayap yang dapat menutupi cakrawala (HR. Bukhari). Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat malaikat Jibril
dalam bentuk aslinya yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk, dari
sayapnya berjatuhan berbagai warna, mutiara dan permata yang hanya Allah sajalah yang
mengetahui keindahannya.” (Ibnu Katsir berkata dalam Bidayah Wan Nihayah bahwa
sanad hadits ini bagus dan kuat, sedangkan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata
dalam Al-Musnad bahwa sanad hadits ini shahih)

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa malaikat memiliki sayap dengan berbagai warna.
Hal ini menunjukkan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla dan memberitahukan bentuk
Jibril ‘alaihissalaam yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk. Kita
tidak perlu mempersoalkan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat
melihat enam ratus sayap dan bagaimana pula cara beliau menghitungnya? Padahal satu
sayap saja dapat menutupi ufuk? Kita jawab: “Selagi hadits tersebut shahih dan para
ulama menshahihkan sanadnya maka kita tidak membahas mengenai kaifiyat
(bagaimananya), karena Allah Maha Kuasa untuk memperlihatkan kepada Nabi-Nya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hal-hal yang tidak dapat dibayangkan dan
dicerna oleh akal fikiran.”

Allah ta’ala menceritakan bahwa sayap yang dimiliki malaikat memiliki jumlah bilangan
yang berbeda-beda. “Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan
pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Faathir: 1)

Sifat malaikat yang lain adalah terkadang malaikat itu -dengan kekuasaan Allah- bisa
berubah bentuk menjadi manusia, sebagaimana yang terjadi pada Jibril saat Allah
mengutusnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan pada manusia
apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Demikian juga dengan para malaikat yang diutus oleh Allah
kepada Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalaam, mereka semua datang dalam bentuk manusia.
Para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa mentaati apa yang diperintahkan
oleh Allah dan tidak pernah mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keempat, mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan mereka

Kita mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan mereka yang
mereka tunaikan berdasarkan perintah Allah Ta’ala, seperti bertasbih (mensucikan Allah)
dan beribadah kepada-Nya tanpa kenal lelah dan tanpa pernah berhenti. Di antara para
malaikat, ada yang memiliki tugas khusus, misalnya:
1. Jibril ‘alaihissalaam yang ditugasi menyampaikan wahyu dari Allah kepada para
Rasul-Nya ‘alaihimussalaam.
2. Mikail yang ditugasi menurunkan hujan dan menyebarkannya.
3. Israfil yang ditugasi meniup sangkakala.
4. Malaikat Maut yang ditugasi mencabut nyawa. Dalam beberapa atsar ada disebutkan
bahwa malaikat maut bernama Izrail, namun atsar tersebut tidak shahih. Nama yang
benar adalah Malaikat Maut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah
ta’ala yang artinya: “Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawa)mu akan mematikan kamu.” (QS. As-Sajdah: 11)
5. Yang ditugasi menjaga amal perbuatan hamba dan mencatatnya, perbuatan yang
baik maupun yang buruk, mereka adalah para malaikat pencatat yang mulia. Adapun
penamaan malaikat Raqib dan ‘Atid juga tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka kita menamakan malaikat sesuai dengan apa yang telah Allah
namakan bagi mereka.
6. Yang ditugasi menjaga hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu tidur
atau ketika jaga dan pada semua keadaannya, mereka adalah Al-Mu’aqqibat.
7. Para malaikat penjaga surga. Ridwan merupakan pemimpin para malaikat di surga
(apabila hadits tentang hal itu memang sah, ed).
8. Sembilan belas malaikat yang merupakan pemimpin para malaikat penjaga neraka
dan pemukanya adalah malaikat Malik.
9. Para malaikat yang diserahi untuk mengatur janin di dalam rahim. Jika seorang
hamba telah sempurna empat bulan di dalam perut ibunya, maka Allah ta’ala
mengutus seorang malaikat kepadanya dan memerintahkannya untuk menulis
rezekinya, ajalnya, amalnya dan sengsara atau bahagianya.
10. Para malaikat yang diserahi untuk menanyai mayit ketika telah diletakkan di dalam
kuburnya. Ketika itu, dua malaikat mendatanginya untuk menanyakan kepadanya
tentang Rabb-nya, agamanya dan nabinya.

Kesalahan-Kesalahan

Terdapat kesalahan-kesalahan yang merusak keimanan kepada malaikat. Bahkan bisa jadi
kesalahan itu membawa kepada kekufuran – na’udzu billahi min dzalik -. Oleh karena
itulah, kita berlindung kepada Allah agar tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut. Beberapa
kesalahan yang ada adalah:
1. Mengatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Sungguh inilah yang
juga dikatakan kaum musyrikin. Maha Suci Allah dari anggapan ini. Hal ini terdapat
dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak
perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri apa yang mereka
sukai.” (QS. An-Nahl [16]: 57)
2. Beribadah kepada para malaikat. Padahal jika mereka mau merenungi ayat-ayat Al-
Qur’an, akan jelas ditemukan bahwa para malaikat itu sendiri hanya menyembah
kepada Allah semata. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan oleh Allah,
mereka tetaplah makhluk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah
Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka
bersujud.” (QS. Al A’raaf [7]: 206)
3. Menamakan para malaikat dengan nama-nama yang tidak ditetapkan oleh Allah
ta’ala dalam Al-Qur’an dan tidak disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Seperti misalnya menamakan malaikat maut dengan nama Izroil,
malaikat pencatat amal dengan Roqib dan ‘Atid.
4. Mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah pembantu Allah. Maha Suci Allah dari
perkataan seperti ini. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah yang
menciptakan para malaikat tersebut. Dan segala makhluk yang diciptakan Allah
adalah membutuhkan Allah. Malaikat-malaikat tersebut pun melaksanakan tugas-
tugasnya karena diperintah oleh Allah dan diberi kemampuan untuk
melaksanakannya. Kesalahan anggapan ini adalah termasuk dari kesalahan
pemahaman karena menyamakan Allah dengan mahluk, dalam hal ini adalah
menyamakan Allah dengan kondisi para raja yang membutuhkan pembantu-
pembantu untuk melaksanakan pekerjaannya. Dan ini termasuk dalam hakikat
kesyirikan. –na’udzubillah mindzalik-.

Buah Keimanan Kepada Malaikat

Beriman kepada para malaikat memiliki pengaruh yang agung dalam kehidupan setiap
mukmin, di antaranya dapat kita sebutkan:

1. Mengetahui keagungan, kekuatan serta kesempurnaan kekuasaan-Nya. Sebab


keagungan (sesuatu) yang diciptakan (makhluk) menunjukkan keagungan yang
menciptakan (al-Khaliq). Dengan demikian akan menambah pengagungan dan
pemuliaan seorang mukmin kepada Allah, di mana Allah menciptakan para malaikat
dari cahaya dan diberiNya sayap-sayap.
2. Senantiasa istiqomah (meneguhkan pendirian) dalam menaati Allah ta’ala. Karena
barangsiapa beriman bahwa para malaikat itu mencatat semua amal perbuatannya,
maka ini menjadikannya semakin takut kepada Allah, sehingga ia tidak akan berbuat
maksiat kepada-Nya, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-
sembunyi.
3. Bersabar dalam menaati Allah serta merasakan ketenangan dan kedamaian. Karena
sebagai seorang mukmin ia yakin bahwa bersamanya dalam alam yang luas ini ada
ribuan malaikat yang menaati Allah dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-
sempurnanya.
4. Bersyukur kepada Allah atas perlindungan-Nya kepada anak Adam, dimana ia
menjadikan sebagian dari para malaikat sebagai penjaga mereka.
5. Waspada bahwa dunia ini adalah fana dan tidak kekal, yakni ketika ia ingat
Malaikat Maut yang suatu ketika akan diperintahkan untuk mencabut nyawanya.
Karena itu, ia akan semakin rajin mempersiapkan diri menghadapi hari Akhir
dengan beriman dan beramal shalih.

IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah termasuk salah satu rukun iman, sebagaimana
firman Allah azza wa jalla yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-
Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisaa’: 136)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah ta’ala memerintahkan agar kita beriman
kepada-Nya, kepada Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam, kepada kitab-Nya yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya yakni Al-Qur’an dan juga memerintahkan agar kita mengimani
kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur’an. Dalam hadits dari
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Hendaknya engkau beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasu-lNya, hari Akhir dan hendaknya
engkau beriman kepada qadar (takdirNya), yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Saudariku, perlu kita ketahui bersama bahwa keimanan kepada kitab-kitab Allah
terkandung di dalamnya empat unsur, yaitu:

Pertama, adalah beriman bahwa kitab-kitab itu benar-benar diturunkan dari sisi Allah
ta’ala.

Kedua, beriman kepada apa yang telah Allah namakan dari kitab-kitabNya dan mengimani
secara global kitab-kitab yang kita tidak ketahui namanya. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan.” Ayat ini menunjukkan bahwa terdapat kitab bagi
setiap Rasul, akan tetapi kita tidak mengetahui seluruh namanya. Adapun kitab-kitab yang
kita ketahui namanya adalah Al-Qur’an Al-Karim yang diturunkan kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu’alaihiwasallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi
Isa ‘alaihissalaam, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihissalaam, Suhuf
Ibrohim, dan Taurat (Ada sebagian ulama yang menyatakan kitab yang diturunkan bagi
nabi Musa ‘alaihissalaam adalah Taurat, ada pula yang menyatakan bahwa bagi nabi
Musa ‘alaihissalaam terdapat kitab lainnya yaitu Suhuf Musa).

Ketiga, yaitu membenarkan berita-berita yang benar dari kitab-kitab tersebut sebagaimana
pembenaran kita terhadap berita-berita Al-Qur’an dan juga berita-berita lainnya yang tidak
diganti atau dirubah, dari kitab-kitab terdahulu (sebelum Al-Qur’an).

Keempat, yaitu mengamalkan hukum-hukum yang tidak dihapus (nasakh) serta dengan rela
dan pasrah menerimanya, baik kita ketahui hikmahnya atau tidak. Ketahuilah saudariku,
bahwa seluruh kitab yang ada telah terhapus (mansukh) dengan turunnya Al-Qur’an. Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaimin terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS.
Al-Maa’idah 5:48). Artinya, Al-Qur’an sebagai ‘hakim’ atas kitab-kitab yang ada
sebelumnya. Maka tidaklah diperbolehkan untuk mengamalkan hukum apapun dari hukum-
hukum terdahulu, kecuali yang sah dan diakui oleh Al-Qur’an.
Buah Keimanan Kepada Kitab-Kitab Allah

Setelah mengetahui bagaimana mengimani kitab-kitab Allah secara benar, maka tentunya
keimanan tersebut akan berdampak bagi diri seorang muslim. Diantara buah keimanan
tersebut adalah:

1. Mengetahui pertolongan Allah ta’ala pada hamba-hamba-Nya dimana Allah


menurunkan kepada setiap kaum kitab yang memberi petunjuk pada mereka.
2. Mengetahui dengan hikmah-Nya, Allah ta’ala mensyari’atka kepada setiap kaum
sesuai dengan keadaan mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-
Maa’idah 5:48)

IMAN KEPADA RASUL

Definisi Nabi dan Rasul

Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka adalah
orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya
(lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna
membimbing atau memberi arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang
yang mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan sedangkan
Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan diperintahkan untuk
menyampaikannnya (*). Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki
kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan,
dan jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu Allah.
Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

(*) Syaikh Ibn Abdul Wahhab menggunakan definisi ini dalam Ushulutsalatsah dan Kasyfu
Syubhat, begitu pula Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin.
“Ditampakkan kepadaku umat-umat, aku melihat seorang nabi dengan sekelompok orang
banyak, dan nabi bersama satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR.
Bukhori dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi juga menyampaikan wahyu kepada umatnya. Ulama
lain menyatakan bahwa ketika Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu bukan
berarti Nabi tidak boleh menyampaikan wahyu. Wallahu’alam. Perbedaan yang lebih jelas
antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi
diutus untuk mempertahankan syari’at yang sebelumnya.

Bagaimana Beriman Kepada Nabi dan Rasul ?

Ketahuilah saudariku! Beriman kepada Nabi dan Rasul termasuk ushul (pokok) iman. Oleh
karena itu, kita harus mengetahui bagaimana beriman kepada Nabi dan Rasul dengan
pemahaman yang benar. Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin menyampaikan dalam
kitabnya Syarh Tsalatsatul Ushul, keimanan pada Rasul terkandung empat unsur di
dalamnya (*).

(*) Perlu diperhatikan bahwa penyebutan empat di sini bukan berarti pembatasan bahwa
hanya ada empat unsur dalam keimanan kepada nabi dan rosul-Nya.

1. Mengimani bahwa Allah benar-benar mengutus para Nabi dan Rasul. Orang yang
mengingkari – walaupun satu Rasul – sama saja mengingkari seluruh Rasul. Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS.
Asy-Syu’araa 26:105). Walaupun kaum Nuh hanya mendustakan nabi Nuh, akan
tetapi Allah menjadikan mereka kaum yang mendustai seluruh Rasul.
2. Mengimani nama-nama Nabi dan Rasul yang kita ketahui dan mengimani secara
global nama-nama Nabi dan Rasul yang tidak ketahui. – akan datang penjelasannya

3. Membenarkan berita-berita yang shahih dari para Nabi dan Rasul.
4. Mengamalkan syari’at Nabi dimana Nabi diutus kepada kita. Dan penutup para nabi
adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau diutus untuk
seluruh umat manusia. Sehingga ketika telah datang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka wajib bagi ahlu kitab tunduk dan berserah diri pada Islam
Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-NisaA’ 4:65)

Jumlah Nabi dan Rasul

Ketahuilah saudariku, jumlah Nabi tidaklah terbatas hanya 25 orang dan jumlah Rasul juga
tidak terbatas 5 yang kita kenal dengan nama Ulul ‘Azmi. Hal ini berdasarkan hadits dari
Abu Dzar Al-Ghifari, ia bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, berapa jumlah rasul?”,
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Tiga ratus belasan orang.” (HR. Ahmad
dishahihkan Syaikh Albani). Dalam riwayat Abu Umamah, Abu Dzar bertanya, “Wahai
Rasulullah, berapa tepatnya para nabi?”,
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “124.000 dan Rasul itu 315 orang.” Namun
terdapat pendapat lain dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa jumlah Nabi dan Rasul
tidak dapat kita ketahui. Wallahu’alam.

Oleh karena itulah, walaupun dalam Al-Qur’an hanya disebut 25 nabi, maka kita tetap
mengimani secara global adanya Nabi dan Rasul yang tidak dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang
rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara
mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min 40:78). Selain 25 nabi
yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat 2 nabi yang disebutkan
Nabi shalallahu’alaihiwasalam, yaitu Syts dan Yuusya’.

Berkenaan dengan tiga nama yang disebut dalam Al-Qur’an yaitu Zulkarnain, Tuba’ dan
Khidir terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama apakah mereka Nabi atau
bukan. Akan tetapi, untuk Zulkarnain dan Tuba’ maka yang terbaik adalah mengikuti
Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam, Beliau shalallahu’alaihiwasalam bersabda, “Aku
tidak mengetahui Tubba nabi atau bukan dan aku tidak tahu Zulkarnain nabi atau
bukan.” (HR. Hakim dishohihkan Syaikh Albani dalam Shohih Jami As Soghir). Maka kita
katakan wallahu’alam. Untuk Khidir, maka dari ayat-ayat yang ada dalam surat Al-Kahfi,
maka seandainya ia bukan Nabi, maka tentu ia tidak ma’shum dari berbagai perbuatan yang
dilakukan dan Nabi Musa ‘alaihissalam tidak akan mau mencari ilmu pada
Khidir. Wallahu’alam.
Tugas Para Rasul ‘alaihissalam

Allah mengutus pada setiap umat seorang Rasul. Walaupun penerapan syari’at dari tiap
Rasul berbeda-beda, namun Allah mengutus para Rasul dengan tugas yang sama. Beberapa
diantara tugas tersebut adalah:

1. Menyampaikan risalah Allah ta’ala dan wahyu-Nya.


2. Dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Memberikan kabar gembira dan memperingatkan manusia dari segala kejelekan.
4. Memperbaiki jiwa dan mensucikannya.
5. Meluruskan pemikiran dan aqidah yang menyimpang.
6. Menegakkan hujjah atas manusia.
7. Mengatur umat manusia untuk berkumpul dalam satu aqidah.

Kesalahan-Kesalahan Dalam Keimanan Kepada Nabi dan Rosul

Terdapat berbagai pemahaman yang salah dalam hal keimanan pada Nabi dan Rasul-
Nya ‘alaihisholatu wassalam. Beberapa di antara kesalahan itu adalah:

1. Memberikan sifat rububiyah atau uluhiyah pada nabi. Ini adalah suatu kesalahan
yang banyak dilakukan manusia. Mereka meminta pertolongan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah wafat, menyebut
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cahaya di atas cahaya (sebagaimana kita dapat
temui dalam sholawat nariyah) dan sebagainya yang itu merupakan hak milik Allah
ta’ala semata. Nabi adalah manusia seperti kita. Mereka juga merupakan makhluk
yang diciptakan Allah ta’ala. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan dari
manusia biasa lainnya, namun mereka tidak berhak disembah ataupun diagungkan
seperti pengagungan pada Allah ta’ala. Mereka dapat dimintai pertolongan dan
berkah ketika masih hidup namun tidak ketika telah wafat.
2. Menyatakan sifat wajib bagi Nabi ada 4, yaitu shidiq, amanah, fatonah dan tabligh.
Jika maksud pensifatan ini untuk melebihkan Nabi di atas manusia lainnya, maka
sebaliknya ini merendahkan Nabi karena memungkinkan Nabi memiliki sifat lain
yang buruk. Yang benar adalah Nabi memiliki semua sifat yang mulia. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung.” (QS. Al-Qolam 68:4) Mustahil bagi orang yang akan
memperbaiki akhlak manusia tapi memiliki akhlak-akhlak yang buruk dan yang
lebih penting lagi, pensifatan ini tidak ada dasarnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Mengatakan bahwa ada nabi perempuan.

Kekhususan Bagi Nabi

1. Mendapatkan wahyu.
2. Ma’shum (terbebas dari kesalahan).
3. Ada pilihan ketika akan meninggal.
4. Nabi dikubur ditempat mereka meninggal.
5. Jasadnya tidak dimakan bumi.

Kebutuhan manusia pada para Nabi dan Rasul-Nya adalah sangat primer. Syaikhul Islam
Ibn Taimiyah mengatakan, “Risalah kenabian adalah hal yang pasti dibutuhkan oleh
hamba. Dan hajatnya mereka pada risalah ini di atas hajat mereka atas segala sesuatu.
Risalah adalah ruhnya alam dunia ini, cahaya dan kehidupan. Lalu bagaimana mau baik
alam semesta ini jika tidak ada ruhnya, tidak ada kehidupannya dan tidak ada
cahayanya.”

IMAN KEPADA HARI AKHIR

Beriman dengan hari akhir hukumnya wajib bagi setiap muslim karena merupakan salah satu
di antara enam rukun iman. Bahkan, di antara rukun iman yang enam, iman kepada hari akhir
merupakan salah satu yang banyak dibicarakan di dalam ayat-ayat makkiyyah dan yang
banyak didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal-awal masa
kenabian beliau. Hal tersebut menunjukkan bahwa keimanan kepada hari akhir merupakan
hal yang sangat penting dan paling mendasar di dalam Islam.

Terdapat banyak sekali ayat yang menyatakan wajibnya beriman dengan hari akhir. Bahkan
di dalam banyak ayat pula, Allah menyebutkan keimanan kepada Allah dan keimanan kepada
hari akhir secara bergandengan. Semisal dalam Surat An Nisa’ ayat 162, Allah berfirman
(yang artinya), “Dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada
mereka pahala yang besar”. Digandengkannya keimanan kepada Allah dan keimanan kepada
hari akhir menunjukkan betapa pentingnya keimanan kepada hari akhir di dalam Islam.

Definisi dan cakupan beriman dengan hari akhir

Pengertian beriman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
adalah mengakui dengan pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk.
Sedangkan hari akhir, menurut beliau pula, dinamakan demikian dikarenakan tidak ada hari
lagi setelahnya. Hari akhir dinamakan juga dengan hari kiamat dan banyak nama lainnya
yang disebutkan di dalam Al Quran dan hadits.

Adapun cakupan keimanan kepada hari akhir secara umum dikategorikan sebagai berikut:

1. Beriman dengan Tanda-tandanya

Wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk beriman pada tanda-tanda kiamat yang telah
dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “maka tidaklah yang
mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan
tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya” (QS Muhammad: 18).

Terdapat banyak sekali penjelasan dari hadits tentang tanda-tanda datangnya kiamat yang
secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian.

Pertama, tanda kiamat yang sudah terjadi. Di antara contohnya adalah diutusnya dan
wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga ditaklukkannya Baitul
Maqdis di zaman ‘Umar bin Khaththab.

Kedua, tanda kiamat yang sedang terjadi dan akan terus semakin marak terjadinya, semisal
merebaknya zina, tersebarnya alat musik, dan maraknya riba.

Ketiga, tanda-tanda besar yang akan berujung pada terjadinya hari kiamat itu sendiri, semisal
keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa dari langit, keluarnya Ya’juj dan
Ma’juj, dan terbitnya matahari dari barat. Banyak lagi tanda-tanda kiamat yang telah
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang seluruhnya
wajib kita imani apabila berasal dari hadits yang shahih.

2. Beriman dengan hari akhir/kiamat itu sendiri

Setelah berbagai tanda kiamat besar terjadi maka seluruhnya akan berakhir pada terjadinya
kiamat itu sendiri yang akan terjadi pada hari Jumat. Sebagaimana dalam sebuah
hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,“Hari Kiamat tidaklah terjadi
kecuali pada hari Jum’at” (HR. Muslim). Namun hari jumat di pekan, bulan, dan tahun
kapankah terjadinya, hanya Allahlah yang mengetahuinya, “Sesungguhnya pengetahuan
tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah” (QS Al A’raf : 187).

Termasuk pula dalam hal ini mengimani segala hal yang Allah dan Rasul-Nya kabarkan
tentang apa yang terjadi ketika hari kiamat nanti. Semisal apa yang Allah firmankan (yang
artinya), “Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat
dahsyat. Ingatlah pada hari ketika kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita
yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya, gugurlah kandungan semua wanita
yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka
tidak mabuk” (QS. Al-Hajj: 1-2). Atau dalam hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Matahari mendekat kepada para makhluk di hari kiamat sampai hanya
berjarak 1 mil dari mereka, sehingga semua manusia berkeringat sesuai dengan amalan
mereka” (HR. Muslim).

3. Beriman dengan pertanyaan, azab, dan nikmat kubur

Termasuk keimanan kepada hari akhir pula adalah keimanan tentang apa yang terjadi di
alam barzakh yang mencakup dua hal. Pertama, beriman denganadanya pertanyaan di alam
kubur. Adanya pertanyaan kubur berdasarkan sebuahketerangan dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallamtentang pertanyaan malaikat di alam kubur kepada mayit tentang siapa
tuhannya, agamanya, dan nabinya(HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, beriman dengan adanya azab dan nikmat yang akan Allah berikan di dalam kubur. Di
antara keterangan yang menunjukkan adanya azab kubur adalah sabda beliau, ”Orang-orang
yang berada di dalam dua kubur ini, sungguh sedang disiksa. Dan tidaklah keduanya disiksa
karena suatu masalah yang besar. Adapun salah satu dari keduanya, dahulu tidak mau
menjaga diri dari air kencing. Sedangkan yang lain, dahulu suka mengadu domba manusia”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan tentang nikmat kubur adalah apa yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam jelaskan
tentang mayit yang telah menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, “Kemudian ada
suara dari langit yang menyeru, “Benarlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku,
hamparkanlah permadani untuknya di surga, bukakan baginya pintu-pintu surga dan
berikan kepadanya pakaian surga.” Beliau melanjutkan, “Kemudian didatangkan kepadanya
wewangian surga, lalu kuburnya diluaskan sejauh mata memandang” (HR. Tirmizi, Ibnu
Majah, dan Ahmad).

4. Beriman dengan hari kebangkitan dan hari berkumpul

Hari kebangkitan dimulai setelah Allah memerintahkan Malaikat Israfil untuk meniup
sangkakala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “dari berbagai ayat Al Qur’an bisa
disimpulkan bahwa akan ada tiga kali tiupan sangkakala. Tiupan pertama adalah tiupan Al
Faz’u (tiupan yang mengejutkan), sebagaimana disebutkan dalam surat An Naml ayat
87. Tiupan kedua adalah tiupan Ash Sha’iq (tiupan yang mematikan) dan tiupan
ketiga adalah tiupan Qiyam (kebangkitan). Dua macam tiupan terakhir ini dijelaskan dalam
firman Allah, yang artinya: “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit
dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian sangkakala itu ditiup
sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannnya masing-masing)” (QS. Az
Zumar : 68).

Setelah manusia seluruhnya dibangkitkan, maka mereka semua akan dikumpulkan ke Padang
Mahsyar, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (ke
Padang Mahsyar) dalam keadaan berjalan, dan (ada juga yang) berkendaraan, serta (ada
juga yang) diseret di atas wajah-wajah kalian” (HR Tirmidzi, Hasan).

5. Beriman dengan Segala yang Terjadi Setelahnya

Diantara rangkaian peristiwa yang terjadi setelah manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar
yang wajib diimani adalah:
[1] Hisab. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali,
kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka” (QS Al Ghasyiyah: 25-26).

[2] Dibagikannya catatan amal. Allah berfirman dalam Surat Al Haqqah ayat 19 dan 25
(yang artinya), “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab dari sebelah
kanannya, maka dia berkata : “Ambillah, bacalah kitabku ini””. “Adapun orang yang
diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka Dia berkata : “Wahai alangkah
baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku ini””.

[3] Ditimbangnya amal perbuatan. Allah berfirman (yang artinya), “timbangan pada hari
itu ialah kebenaran (keadilan), Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”(QS Al A’raf: 8).

[4] Melewati shirath. Berdasarkan sebuah hadits, “Ashshirath dibentangkan diatas


punggung jahannam. Aku dan umatku yang pertama kali melewatinya” (HR. Muslim).

[5] Adanya telaga. Berdasarkan sebuah hadits, “Sesungguhnya aku akan berada di depan
kalian ketika mendatangi telaga (pada hari kiamat nanti)” (HR. Bukhari dan Muslim).

[6] Syafa’at. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa
kelak manusia akan mendatangi para nabi untuk meminta syafa’at dan pada akhirnya Nabi
Muhammad-lah yang memberikan syafa’at atas izin Allah.

[7] Dan pada akhirnya dimasukkanlah manusia ke dalam surga atau pun neraka.

BERIMAN KEPADA TAKDIR ALLAH

Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts wal Ifta' ditanya, “Apa makna
mengimani takdir?” Mereka menjawab: “Maknanya adalah mengimani bahwa Allah ' Azza
wa Jalla telah mengetahui segala sesuatu sebelum dia ada (terjadi), dan mencatatnya di sisi-
Nya (dalam Lauhul Mahfuzh ), kemudian apa saja yang ada (terjadi) semuanya atas
kehendak-Nya, lalu dia menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya
tersebut. Inilah empat tingkat iman terhadap takdir yang wajib diimani.
Seorang hamba tidak disebut percaya kepada takdir secara sempurna sampai dia mengimani
empat hal di atas. Hal ini sebagaimana tercantum dalam riwayat yang shahih dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang
iman. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “ Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir (Kiamat), serta
percaya kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR.Muslim, no.8)

Telah shahih pula riwayat dari sahabat 'Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu 'anhu , bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “ Sesungguhnya engkau tidak akan
merasakan hakikat mengetahui sampai engkau mengetahui bahwa apa yang (ditakdirkan)
menimpamu tidak akan luput darimu dan apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan
menimpamu. (HR.Abu Dawud no.4700)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan makna tersebut dalam tulisan beliau
dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah -kami menasehatkan Anda untuk mempelajari dan
menghafalnya-. Allahlah pemberi taufik. Shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad,
keluarga, dan para sahabatnya. ( Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah li al-Buhuts al-'Ilmiyah wa
al-Ifta, III/512, fatwa no. 4088)

Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah also Berkata: “Di ANTARA
Preferensi Allah Terhadap hamba-Nya Adalah bahwa Dia tidaklah menakdirkan differences
mereka Suatu Kebaikan maupun Musibah, kecuali ITU Adalah Kebaikan untuk review
mereka. Jika mereka diberikan kebahagiaan maka merekapun bersabar sehingga Allah
membalas mereka dengan balasan bagi orang-orang yang bersyukur. Dan jika mereka
ditimpa suatu musibah maka merekapun bersabarlah hingga Allah membalas mereka
dengan balasan bagi orang-orang yang bersabar.” ( Tafsir Ibnu Sa'di hlm. 160)

Sungguh kebahagiaan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan orang-orang yang
beriman saat senang ataupun susah. Dengan syukur ketika diberikan nikmat dan bersabar,
bahkan ridha tatkala musibah. Saat seorang mukmin selalu berprasangka baik kepada
Allah Ta'ala , insya Allah imannya akan semakin kokoh, ia akan selalu bersemangat, serta
hidupnya akan selalu bertawakal pada Allah. Dia juga akan berikhtiar untuk selalu
istiqamah, serta menjalankan ketaatan dalam rangka meraih husnul khatimah .
Seorang mukmin akan selalu berdoa kepada Allah Ta'ala dengan mengucapkan saat
mendapatkan kesenangan. “ Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah
kebaikan-kebaikan.”

Dan jika mendapatkan sesuatu yang tidak disukainya, beliau berkata: “ Segala puji bagi
Allah atas segala keadaan. ” (HR. Ibnu as-Sinni dalam 'Amalul Yaum wa al-Lailah. Di -
shahih -kan juga oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami ', no. 4640)

Kesimpulan madzhab salaf tentang takdir:

1. Beriman kepada rububiyah Allah yang mutlak. Dia adalah Rabb , penguasa yang
menciptakan segala sesuatu, yang mendidiknya, menakdirkannya, menginginkannya, serta
menulisnya, Subhanallah .

2. Sesungguhnya manusia juga memiliki kehendak dan kemampuan untuk berusaha, yang
terwujud atas perbuatan-perbuatannya dan karenanya pula ia diberi pahala atau dosa.

3. Sesungguhnya kemampuan dan kemauan hamba tersebut, tidak keluar dari kuasa Allah
dan kehendak-Nya. Dialah yang menganugerahkan semua itu kepadanya, dan ia mampu
memilah dan memilih. Perbuatan mana saja yang dipilih oleh manusia, baik atau buruknya,
keputusan keluar dari kehendak dan kuasa, serta menciptakan Allah.

4. Percaya kepada takdir, yang baik maupun yang buruk adalah berdasarkan penisbatannya
kepada makhluk. Adapun, jika dinisbatkan kepada Al-Khaliq maka seluruh takdir adalah
baik, dan tidak dinisbatkan kepada Allah. Ilmu Allah, kehendak, penulisan dan pencipta-
Nya terhadap segala sesuatu semuanya adalah bentuk hikmah, keadilan, rahmat
dan. Keburukan tidak ada sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan Allah. Tidak ada kekurangan
atau pemandangan pada Dzat Allah. Bagi-Nya adalah kesempurnaan dan keagungan
mutlak. Maka tidak dinisbatkan itu untuk-Nya secara sendiri, termasuk dalam makhluk-
Nya, tetapi menciptakan dari segi ini saja buruk buruk. (Dikutip dari Kitab Tauhid 2 , oleh
Tim Ahli Tauhid, hlm.176)

Anda mungkin juga menyukai