Anda di halaman 1dari 5

40 Hari Menuju Mimpi

"Mulai sekarang Tara tidak perlu datang lagi ke sekolah" Tutur kepala sekolah.

Pupus harapannya, gadis dengan seragam kucelnya itu tampak kecewa memandangi ibu
kepala sekolahnya, "Jadi saya tidak boleh datang lagi ke sekolah ya, bu?"

"Iya, untuk sementara ini Tara ikut karantina Olimpiade Fisika Nasional di hotel selama
40 hari"

"Beneran bu!?" Anggukan dari sang ibu kepala sekolah sebagai jawabannya. Ekspresi
gadis itu berubah, yang tadinya panik bercampur sedih kini menjadi sumringah.

"Yes! Akhirnya bisa bolos 40 hari" Ungkapnya begitu keluar dari ruang kepala sekolah.
Gadis itu berlari dari kelasnya menenteng tas bewarna abu abunya itu, "Tara! Bolos lagi kamu?!"

"Saya olimpiade, Pak!"

Dia adalah Gintara Inaya, seorang gadis asal Bandung yang kini menitih pendidikan di
SMAN 3 Bandung. Ia merupakan murid kelas 11 jurusan fisika dan orang orang sekitarnya
memanggil namanya dengan panggilan Tara. Tara kerap sekali bolos mata pelajaran, bahkan
baginya sekolah itu membosankan, membuang waktu berharganya untuk tidur. Untuk itu jangan
berharap jikalau Tara adalah murid teladan, justru ia adalah sebaliknya. Hingga suatu hari, demi
menghindar dari mata pelajaran Pak Deden, ia nekat mengikuti seleksi olimpiade fisika dan
bermula dari itulah membawa seorang Gintara Inaya lolos mengikuti seleksi dengan nilai 8,03
urutan ke-5. Sayangnya, dari kelima peserta tersebut, hanya Tara yang perempuan serta hanya
Tara yang mewakili SMAN 3 Bandung. Entah bagaimana gadis itu akan menghadapinya besok.

Keesokan harinya, Tara kembali menemui kepala sekolahnya, sebelum memutuskan


untuk berangkat ke hotel tempat karantina olimpiadenya. "Tara sudah lolos sampai ke tahap
nasional saja Ibu yakin pasti Tara berpotensi apalagi Tara kan mewakili SMAN 3 Bandung"
Ucap Ibu Kepala Sekolah.

Usai mendengarkan kata kata sang kepala sekolah, Tara bersalaman kepada Ibu Kepala
Sekolah. Hari ini, gadis itu akan ke hotel daerah pusat Bandung untuk mengikuti karantina
olimpiade.

Sesampainya di Hotel, dengan penuh semangatnya, Gistara Inaya menghampiri 4 anak


laki-laki yang duduk di loby hotel di dampingi seseorang yang jika dilihat dari luarnya
kemungkinan besar adalah sang pembimbing. Tara membungkuk sopan ke arah 4 anak laki-laki
itu dilanjutkan dengan bersalaman ke yang lebih tua. Sebenarnya ia sedikit kikuk kala tau dirinya
dikelilingi anak yang berbeda gender dengannya, tetapi sebisa mungkin Tara bersikap sok akrab
dengan mereka.

"Salam kenal saya Gistara Inaya, biasa dipanggil Tara dari SMAN 3 Bandung jurusan
fisika" Tutur gadis itu.

"Hai, Tara! aku Raden"

"Ehh?!" Anak yang mengaku bernama Raden itu tiba tiba merangkul pundaknya,
membuat dirinya terlonjak kaget.

Tara tersenyum malu, "Mohon bantuannya ya Raden"

Raden mengangguk, berganti menatap ketiga temannya yang sepertinya enggan memberi
salam kepada Tara.

"Kenapa harus ada perempuan sih" Saut seseorang bermata sipit dengan kulitnya yang
cerah.

"Emang kenapa kalau aku perempuan?!" Ucap tara dengan nada sedikit ditinggikan.
Laki-laki itu berdiri, begitu pula dengan Tara. Mereka beradu tatap, "Pernah mikir nggak kenapa
peserta olimpiade sains kebanyakan laki-laki terutama bidang fisika?"

Tara tak menjawab, masih tetap dengan menatap sinis laki-laki yang bahkan ia tak
mengenal namanya. "Karena perempuan itu nggak berpikir, mereka mengandalkan emosi
daripada ikut olimpiade sains lebih baik berkutat di dapur saja sana" Ungkap laki-laki itu.

"Aku nggak terima ya dibilang seperti itu! Kita baru ketemu bahkan aku belum tau
namamu, tapi kamu sudah mengataiku seperti itu" Emosi di buatnya tiba tiba saja laki-laki itu
mengulurkan tangannya guna mengajak bersalaman.

"Dharma" dengan nada santainya seseorang itu berucap.

Tara menerima uluran tangan itu, "Lihat saja, rankingku akan naik diatasmu di tes final
nanti"

"Oke, siapa takut!" Tantang Dharma.

"Udahan dong, ini Tara nggak mau kenalan sama yang lain?" Tanya Pak Azam selaku
pembimbing yang akan membimbing karantina Tara dan yang lainnya.

Tara memasang ekspresi kesalnya, sementara Dharma santai menanggapi Tara. Sisa dua
anak lagi yang belum sempat berkenalan dengan Tara, maka dari itu Pak Azam mencairkan
suasana dengan memperkenalkan kedua anak yang kini menatap Tara dengan keheranan.
"Kenalkan ini Bima dan di sebelahnya ini Juna" Kata Pak Azzam seraya menunjuk dua
anak, yang katanya bernama Juna sedang memainkan gameboard, lalu satu lagi yang bernama
Bima sedang menyesap kopi. Tara manggut-manggut, tersenyum ke arah mereka walaupun
hanya Bima yang merespon.

Pada akhirnya mereka berempat beserta Pak Azam pun pergi meninggalkan loby,
berganti tempat ke kamar hotel yang sudah di pesan untuk karantina itu. Kamar hotel itu luas,
seperti bukan hotel pada umumnya. Tara sedikit sedih ketika mendengar intrupsi Pak Azam
bahwa dirinya tak bisa tidur dikamar hotel ini. Ia harus tidur di asrama putri bergabung dengan
siswi siswi SMA Pribadi Bandung mengingat hanya dia satu satunya peserta olimpiade yang
berjenis kelamin perempuan. Tara tak mau sedih karena hal sepele itu saja, ia harus
membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh Dharma adalah salah besar. Ia tak mau
direndahkan begitu saja hanya karena dirinya seorang perempuan. Baginya, perempuan itu sama
saja dengan laki-laki, tak ada yang membedakan. Namun, sangat disayangkan sekali representasi
nilai masa lalu menganggap perempuan hanya berkutat di dapur dan sumur. Padahal di era
modern seperti sekarang ini, sudah ada pandangan untuk persamaan derajat, tetapi masih saja ada
pandangan perempuan dianggap lemah daripada laki-laki. Oleh karena itu, Tara akan
membuktikan bahwa perempuan itu punya segudang mimpi, tak semata mata tentang dapur dan
sumur.

Sejak saat itu Tara tak mau menjadikan olimpiade sains nasional ini sebagai tameng
untuk bolos ataupun menghindari mata pelajaran Pak Deden. Tara bersemangat mengikuti
pembelajaran bersama keempat anak lainnya, Pak Azam pun berulang kali memujinya karena
Tara mengalami peningkatan secara drastis. Dari yang dulu rumus cara pengerjaan fisikanya
berantakan hingga menjadi serapi sekarang ini. Tak terasa 35 hari terlewati dengan capaian luar
biasa, Tara kini tak peduli lagi dengan persoalan bolos membolos yang ia pikirkan sekarang
hanyalah cara untuk mengalahkan Dharma yang ternyata anak dengan skor nilai tertinggi saat
seleksi olimpiade. Dibandingkan dengan dirinya yang hanya mendapat nilai 8,03, justru Dharma
bisa mendapat nilai 9,36 hingga membuat Tara merasa sedikit minder saat mengetahui hal itu
dari Juna.

"Hari ini kita tes sebelum tes final" Ucap Pak Azam.

Juna mengkerutkan dahinya, baru seminggu yang lalu mereka tes dan sekarang diadakan
tes lagi. Tara lunglai dibuatnya, ia belum terlalu paham untuk materi yang akan diujikan hari ini.
Mau tak mau mereka pun menjalani tes ujian walaupun berat rasanya tetapi syukur tes ujian hari
ini berjalan dengan lancar.

Pak Azam mulai mengambil lembar tes ujian mereka satu persatu selanjurnya di
masukanlah kertas-kertas itu ke dalam amplop berwarna coklat muda.

"Saya akan share hasil tes hari ini di grup WhatsApp"


Baru 30 menit yang lalu mereka tes ujian tetapi hasil tes sudah di bagikan. Dari hasil tes
tersebut Tara berhasil mengalahkan Raden, Bima dan juga Juna. Itu artinya kedudukan ranking
Tara saat ini ialah ranking dua, kurang satu lagi ia akan berhasil mengalahkan Dharma. Namun,
kesenangan Tara tak berangsur lama dikarenakan semua anak tampak diam dari biasanya,
terutama Bima. Tara memandangi Bima diam-diam, jelas tentu saja Bima menyadari hal itu dan
dengan buru-buru membereskan barangnya kemudian pergi.

"Kak Juna, Bima kenapa ya?" Tanya Tara pada Juna dengan nada memelas.

"Posisi Bima kamu rebut" Jawab Juna.

Tara diam sejenak. Akhirnya Tara berani berlari meninggalkan ruangan beserta isinya
untuk mencari Bima. Firasatnya mengatakan Bima saat ini pasti sedang ada di taman Hotel jadi
gadis itu berlari ke arah taman Hotel dan hasilnya benar.

Tara menghampiri Bima, "Bim, aku minta maaf" Dengan posisi berdiri dihadapan Bima,
Tara menunduk seraya berusaha tak meneteskan air matanya.

Tara terlalu takut menyinggung perasaan Bima, bagaimanapun Bima dari awal memang
niat mengikuti olimpiade. Tak sama dengan dirinya yang berawal dari coba-coba saja.

"Loh, kamu nggak salah Tara" Jawab Bima.

Bima mempersilahkan Tara duduk di sampingnya, "Kamu hebat bisa sampai di titik ini,
jangan merasa seakan-akan merebut posisiku begitu dong" Tutur Bima.

"Aku merasa bersalah, takutnya nanti kamu jadi mogok bimbingan apalagi sampai
mundur dari olimpiade"

Bima tertawa, bagaimana bisa Tara berpikir sejauh itu, "Kita itu sekarang tim, bukan
rival yang lagi berebut jadi nomor satu"

"Terus kamu ngapain tadi? seperti marah" Tanya Tara.

"Awalnya begitu, tapi setelah lihat kamu begini aku merasa kita itu satu tim jadi buat apa
aku marah? kita fokus aja gapai mimpi meraih medali emas"

"Kalau kalah bagaimana?"

"Kita udah seberusaha ini, kamu yakin kita kalah?" Tanya Bima balik. Tara berpikir,
benar apa yang dikatakan Bima. Ia dan teman temannya sudah sangat berusaha demi medali
emas jadi tidak ada kata tidak mungkin bila sudah berusaha.

"Buktiin ke Dharma kalau perempuan itu bisa" itulah kata kata terakhir Dharma sebelum
bangkit.
Tara sumringah, akhirnya ada yang satu kubu dengannya. Tara tak menyangka kata kata
Bima semakin bisa membuat api semangatnya tersungut, kali ini ia punya dua tujuan. Tujuan
pertama mendapat medali emas dan yang kedua adalah menbuktikan bahwa yang dikatakan
Dharma itu omong kosong.

Hari demi hari terlewati begitu saja. Kini tinggal 1 hari saja menuju mimpi. Tara kini
tengah dihadapkan dengan tes final, ini kesempatan untuk mengalahkan Dharma sekaligus
sebagai bahan persiapannya untuk olimpiade keesokan harinya.

"Dharma, stop melirik kertas Tara atau kertas ujian kamu saya ambil" Ucap Pak Azam
disela sela waktu mengerjakan.

Tara mendengus, "Pak, saya sudah selesai"

Tara mengucapkan kata syukur, ia mengumpulkan kertas ujiannya sembari berdoa agar
nilainya kali ini bisa diatas Dharma. Setelah Tara mengumpulkan kertas ujian, giliran Dharma
yang saat ini berdiri guna mengumpulkan kertas ujiannya.

Pak Azam tersenyum melihat kedua muridnya bersaing demi mendapatkan nilai bagus,
"Besok harus lebih semangat dari ini" Tutur Pak Azam.

"Siap pak!"

Tes final pun telah berakhir. Keesokan harinya, Tara bersiap-siap menggunakan jas hitam
dengan tulisan Peserta OSN di sebelah dada kiri. Ini saatnya menggapai mimpi dan Tara sangat
yakin dirinya akan membawa pulang medali emas itu.

Lantaran kemarin Tara berhasil mengalahkan Dharma, sekarang kedudukan Tara


merupakan sebagai leader untuk memandu jalan tim Olimpiade Sains Nasionalnya. Tara bangga
pada dirinya begitu mengingat perkataan Ibu Kepala Sekolah yang mengatakan bahwa dirinya itu
berpotensi. Walaupun Tara sempat berpikir bahwa olimpiade hari ini menyeramkan, nyatanya ia
berhasil melewati olimpiade bersama teman-temannya dan pulang dengan membawa kabar yang
menggembirakan. Benar, kabar menggembirakannya ialah timnya berhasil membawa pulang
medali emas. Di saksikan banyak orang, Tara memegang medalinya seraya merangkul teman
temannya dengan bangga. Tak hanya Tara saja yang merasa bangga, Dharma pun merasakan hal
yang sama hingga sadar bahwa Tara bukanlah perempuan lemah yang harus berkutat di dapur.
Dharma merasa bersalah, sebelum adegan membanggakan ini ia sempat meminta maaf kepada
Tara. Tara meresponnya dengan baik meski memang perrkataan Dharma itu salah, tetapi Tara
berhasil memaafkannya dengan hati lapang.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai