Disusun oleh :
Kenneth Leroy / 22
Maggie Zeta Rosida S. / 24
XI MIPA 3
Tahun Ajaran
2019 / 2020
I. Identitas Buku
1. Judul : Hello Salma
2. Pengarang : Erisca Febriani
3. Penerbit : Coconut Books
4. Kota Terbit : Depok
5. Tahun Terbit : 2018
6. Tebal Buku : 2 cm
7. Jumlah Halaman : 384 Halaman
8. Cetakan : Pertama, Maret 2018
9. ISBN : 978-602-5508-23-3
Kenneth Leroy, lahir di Jakarta, 11 November 2002, ia adalah anak pertama dari dua bersaudara.
Dia adalah seorang pelajar SMA yang bersekolah di SMA Negeri 2 Jakarta kelas XI jurusan MIPA.
Dia suka bermain game, seperti Mobile Legend. Selain bermain game, dia juga suka bermain alat
musik gitar. Saat ini dia sedang diberi tugas mengulas novel fiksi oleh Bu Sri Handayani.
Maggie Zeta Rosida Simangunsong, lahir di Medan, 9 Maret 2004, ia adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Maggie adalah panggilan akrabnya, saat ini dia masih duduk di kelas XI SMA jurusan
MIPA di SMA Negeri 2 Jakarta, dia suka membaca buku dan nonton YouTube. Setelah lulus nanti
ia berencana untuk melanjutkan kuliah di jurusan Ekonomi Akuntansi di Universitas Gajah Mada
(UGM), Yogyakarta.
III. Sinopsis
Jakarta, Mei 2015
Kantin belakang sekolah adalah salah satu tempat yang hampir tidak pernah sepi di SMA
Garuda. Selalu ada murid yang memelipir ke sana, menghindari waktu upacara bendera sambil
sarapan pempek dan nasi uduk atau mabal pada jeda sebelum istirahat—minta izin buang air kecil
ke guru, tetapi tidak kembali hingga bel istirahat berbunyi. Hari kantin belakang sekolah lebih
penuh daripada biasanya. Pagi tadi guru mengumumkan bahwa sekolah akau mengadakan rapat
membahas UAS. Semua murid dipulangkan lebih awal. Sebagian lari ke kantin karena malas
pulang.
Ada tiga kantin di SMA Garuda. Kantin pertama adalah koperasi, biasanya yang jajan di
sana adalah guru – guru serta murid yang ingin membeli peralatan sekolah. Kantin kedua terletak di
dalam. Ini kantin untuk anak-anak normal, yang memang pergi ke sana karena ingin menghilangkan
dahaga dan lapar. Kantin ketiga, ada di belakang sekolah; tempat berkumpulnya mereka yang sering
menongkrong, beli gorengan cuma tiga biji tetapi duduknya bisa dua jam. Karena letaknya di
belakang, jauh dari ruang guru, tempatnya sedikit Iebih bebas. Murid bisa merokok di sana tanpa
takut ketahuan. Bisa main gitar tanpa harns ditimpuki karena bernyanyi keras-keras. Hampir tidak
ada anak perempuan datang ke sana kalau tidak mau mendapat risiko digodai gerombolan tukang
rusuh.
Saat ini, gerombolan tukang rusuh dari kelas 12 sudah tidak ada lagi karena mereka tidak
memiliki kewajiban untuk hadir ke sekolah setelah Ujian Nasional. Namun, tetap saja kantin
belakang sekolah masih menjadi momok bagi anak perempuan karena masih ada Nathan dan
teman-temannya. Para siswi tidak masalah kalau hanya harus bertemu Nathan karena tertolong
wajah tampannya. Masalahnya adalah di teman-teman Nathan, Kalau nekat mendatangi kantin
belakang, siap-siap saja merelakan uang lima ribu untuk disedekahkan ke mereka.
“Biasanya tak pakai minyaaak wangi, oh. Biasanya tak suka begitu. Saya cemburuuuu...
saya curiga. Takutnya ada main di sana." "Solali laliii, ola ola lasolali lali, ola la la! Mwah!” Arif
menyahuti kalimat Robi yang bernyanyi sembari mengecupkan bibirnya ke udara. "Belakangan ini
sering keluar malam. Tak betah di rumah. Minggu-minggu ini saya jarang disentuh. Tak
diperhatikan." "Habis si Eneng bau, Abang jadi males nyentuh!” celetuk Arif lagi.
Nathan tertawa terpingkal-pingkal. "Lagi dong, sawer nih," dia mengeluarkan uang lima
ribu dari dompet dan dikibaskan di depan Robi supaya bersemangat.
Suasana kantin yang semula riuh, mendadak berubah hening. Suara-suara yang tadi
terdengar nyaring, tenggelam dalam waktu beberapa detik begitu melihat kemunculan tiga orang ke
dalam kantin. Dimas, kelas 11, bersama dua temannya.
Dimas duduk tanpa permisi di depan Nathan. "Kok berhenti? Lanjut dong," tukasnya dengan
suara seperti memerintah alih-alih bersahabat justru menunjukkan sikap senioritas. Dimas
mengeluarkan sekotak rokok yang dia sembunyikan dalam bajunya, dia sodorkan sebatang ke
Nathan. "Rokok, Nath?" tawarnya.
Nathan mengangkat alis kanan, dia menggeleng. "Sori, nggak."
"Kenapa? Disuruh Salma berhenti ngerokok, ya?" Dimas bertanya lagi, tetapi dengan nada
sedikit mengejek.
Nathan masih diam, bersikap seolah tidak mendengarkan.
“Cowok kok nggak punya prinsip, mau aja dipaksa cewek. Lagian Salma itu baru jadi pacar
udah ngatur-ngatur, gimana kalau jadi istri?” Dimas memasukkan lagi sebatang rokok ke dalam
kotaknya.
Tangan kanan Nathan sudah mengepal. Menahan letupan emosinya agar tidak lepas kendali.
“Hm, Nath, mau ke kelas?” Arif bangkit, paham bahwa situasi menjadi kian tegang dan
barangkali apabila tidak cepat ditangani maka akan terjadi perang dunia ketiga. “Yok.”
“mau aja lo diperbudak sama kemauan cewek lo. Cewek kayak gitu doang, banyak kali yang
jauh lebih bagus dibanding Salma, yang bisa menerima lo tanpa harus mengubah kepribadian lo.”
Pada akhirnya, Nathan dan Dimas pun berkelahi. Melihat situasi yang kian membahayakan,
Arif berlari kedalam. Mengadu ke guru, ke teman, ke satpam, pada siapa pun yang masih di sekolah
dan mampu membantu mereka semua.
Dimas terkapar berlumuran darah. Robi mengumpulkan tenaga untuk mencengkram lengan
Nathan, bahkan sampai menggigit lengan Nathan kuat-kuat sampai temannya itu berteriak kesakitan
dan akhirnya berhasil ditarik menjauh dari Dimas. “! Mati nanti anak orang!” teriak Robi,
menyadarkan Nathan yang seperti orang kesurupan.
Bu Rena datang, terkejut melihat kondisi Dimas yang terkapar di lantai dengan wajah
berdarah-darah.
“Ya Allah, ini kenapa lagiiii?” Suara Bu Rena terdengar putus asa, “cepat bawa Dimas ke
dalam! Kalian kenapa diam saja? Angkat teman kalian, panggil Pak Rudi untuk membawa Dimas
ke UKS!” Bu Rena histeris, takut sesuatu terjadi pada salah satu muridnya.
Teman-teman Dimas yang semula membeku, mau tak mau akhirnya bergerak mengangkat
Dimas masuk ke dalam gedung sekolah.
“Kamu! Lagi-lagi kamu!” Bola mata Bu Rena terarah pada Nathan. “Kamu ikut ke Ruang
Kepala Sekolah.”
***
Panas. Pengap. Berkeringat.
Sekiranya tiga kata itu yang mewakili kondisi Salma saat ini. Hampir dua jam dia berada di
aula untuk latihan marching band. Berkali-kali mengulang formasi dan lagu yang sama hingga
mencapai kata sempurna, tidak ada lagi kesalahan. Biasanya pendingin ruangan menyala. Namun,
sejak dua jam lalu listrik di sekolah mati dan mereka harus berkutat dalam ruangan yang panas.
“Sal!” Salma mendongak, melihat Rahma melangkah termasuk terburu-buru wajahnya
terlihat panik.
“Nathan” ucap Rahma
Mendengar nama Nathan disebut dengan nada lirih, Salma menyipitkan mata.
“Dia habis berantem sama Dimas.”
“Terus?!” suara Salma meninggi hingga beberapa orang yang ada di dalam aula melirik ke
arahnya. “Nathan nggak apa-apa?” terselip nada khawatir dalam suaranya. “Dia nggak apa-apa, kan,
Rah?” ulanginya lagi, ingin memastikan.
“Dia nggak apa-apa.”
Salma berlari keluar, melewati lorong yang akan membawanya ke Ruang Kepala Sekolah.
Gadis berambut panjang itu berdiri di depan kaca lebar transparan yang membuatnya leluasa
melihat. Dalam ruangan itu, dia melihat Nathan duduk di sofa. Di hadapan kepala sekolah dan Bu
Rena. Di sebelah Nathan, ada teman-temannya, Robi dan Arif, serta Om Ardi—ayah Nathan.
“Hey, kenapa pada di sini?” ternyata Bu Rena keluar, berdiri di depan pintu. “Sana, jangan
berkerumun.”
Dengan berat hati, Salma akhirnya berbalik. Melangkah menjauhi Ruangan Kepala Sekolah.
***
Nathan duduk di antara ayah, teman-temannya, dan Dimas sebagai saksi. Kepala sekolah,
Bu Rena, Dimas dan ibunya yang menatapnya jengkel. Dia benar-benar merasa terintimidasi
sekarang. Cowok itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
“Baik, begini saja, Nathan.” Ibu Kepala Sekolah berusaha mengengahi. “Kamu minta maaf,
ya. Ayo.”
“Nathan menggeleng, bersikukuh dengan keinginannya. “Saya akan minta maaf kalau
memang saya yang bersalah, tapi posisinya di sini dia yang salah. Saya lebih memilih pindah
sekolah daripada minta maaf sama Dimas.” Dia menatap Kepala Sekolah dan Bu Rena. “Saya
bersedia pindah, kalau memang itu keputusan finalnya,” ujarnya lugas.
***
Matahari nyaris terbenam, ada awan tipis yang mulai menyelimuti matahari, membuatnya
tidak lagi berwarna kuning terang melainkan lembayung.
Begitu Nathan sudah duduk manis di kursi depan, Salma melemparkan pertanyaan, “Kenapa
kamu nggak cerita?”
“Cerita apaan?”
“Soal kamu yang lebih milih pindah sekolah daripada minta maaf ke Dimas. Aku justru tahu
dari Afifah—”
“Udahlah, nggak usah dibahas. Nggak penting,” potong Nathan, terkesan tidak mau berbagi.
“Penting! Kenapa kamu lebih milih pindah?”
“Kenapa? Takut kangen, ya? Kan saya ada di sini.” Dia mengacak lembut rambut Salma
yang duduk di sebelahnya, tapi segera ditepis gadis itu. Nathan terkejut melihat tindakan Salma.
“Nath, serius! Apa susahnya tinggal minta maaf?” Nada suara Salma meninggi
“Kalau saya nggak salah, harus ya minta maaf?” Nathan membalas, “sama aja kayak orang
nggak bersalah terus dituduh ngaku supaya bisa masuk penjara. Saya juga nggak bakal mulai kalau
dia nggak mancing duluan, Sal.”
“Kenapa sih kamu selalu berantem!?”
“Dia yang mulai duluan.” Nathan menjawab seperti seorang anak yang ketahuan bersalah
oleh ibunya.
“Dari dulu juga selalu gitu, dia yang mulai, kamu nggak bakal mulai kalau nggak dia
duluan. Alasan kamu pasti kayak gitu, Nath. Tapi, mau diliat dari sudut manapun, kamu tetap
salah.”
Nathan terdiam, membiarkan Salma memarahinya.
“Sekarang, kamu emang kelihatan hebat, tapi apa itu buat kamu puas? Kamu hampir buat
dia sekarat, kamu udah pernah ngerasain kehilangan Daniel, kan?”
Mendengar Salma mengungkit nama Daniel, Nathan segera angkat suara. Dia tidak mau
luka lama muncul kembali. Ada kepedihan yang dia rasakan setiap kali ada seseorang mengungkit
masa lalunya, terlebih lagi seseorang itu adalah Salma.
“Iya! Saya yang salah, saya emang selalu salah. Dari dulu selalu gitu, kamu nggak pernah
mau dengerin saya. Kamu menyimpulkan semuanya sendirian.” Nathan balas membentak. “Yang
namanya pacaran itu harus saling ngerti satu sama lain, jangan egois.”
Mata Salma terasa panas.
“Sekarang siapa yang egois? Kamu bilang katanya mau berubah, udah berapa kali kamu
ngomong gitu dan ujungnya ingkar.” Seperti mendapatkan kekuatan, Salma melanjutkan, “Kita
putus aja.” Kalimat itu meluncur tanpa bisa ditahan. Salma yang kaku, Salma yang selalu canggung,
entah mengapa untuk detik ini mampu berkata seperti itu. Karena terlalu marah dan emosi hingga
menutup seluruh logika, bersikap selayaknya bukan dirinya. “Kita putus aja sebelum kamu nepatin
janji buat berubah dan minta maaf.”
“Kata putus sedemikian gampangnya keluar dari mulut kamu?” Nathan bangkit berdiri,
menatap Salma dengan tatapan tidak menyangka. “Saya udah berjuang lama buat dapetin kamu.”
Cowok itu mengangguk. “Emang, saya yang terus berjuang, tapi yang diperjuangkan juga jangan
seenaknya.”
Seketika Salma bungkam.
“Oke, kalau memang itu mau kamu. Saya nggak bisa maksa, daripada buat kamu nangis dan
kecewa terus-terusan Cuma karena satu cowok brengsek ini.” Cowok itu berbalik, berjalan menuju
ke motornya, memakai helm lantas bergegas pergi. Menyisakan asap tipis membubung ke udara,
meninggalkan Salma yang membeku dalam posisinya, seolah-olah tidak menyangka dengan hal
yang telah dia lakukan.
***
Jakarta, Juli 2015
Murid-murid berpakaian putih abu-abu yang masih terlihat baru berlarian memasuki
gerbang SMA Garuda, diiringi oleh teriakan beberapa senior dari OSIS, “Sini Dek, di sini!”
Salma menatap ke luar jendela mobil yang berhenti. “Belajar yang benar, ya, nanti Papa
jemput,” kata Firman, ayahnya, begitu Salma menyodorkan tangan untuk berpamitan.
“Era bekelnya diseepkeun,!” imbuh Asti.
Gadis itu melangkah turun dari mobil, menginjakkan sepatu ketsnya yang terlihat bersih
mengilat ke depan gerbang.
Tahun ajaran baru, penampilan sekolah juga berbeda. Ada beberapa bagian sudah dicat
dengan warna berbeda.
Berhubung waktu itu jam belajar masih belum aktif, alhasil selama dua jam awal mereka
habiskan untuk bercerita tentang Nathan. Tentang hal-hal yang tidak pernah Salma ketahui,
kenakalan serta kejahilannya di dalam kelas. “Lo kan suka tuh nulis cerita, dituangin jadi novel,
bagus kali. Daripada nulis tentang Justin Bieber, khayal babu doang. Mending nulis cerita nyata,
lebih seru.” Afifah mencetuskan sebuah ide dan Rahma mengangguk-angguk setuju.
Berbicara soal hobi, Salma suka sekali menulis sebuah cerita di blog. Selain itu, dia juga
suka mengoleksi novel. Sejak SD, Salma menyisihkan uang jajannya untuk membeli novel.
Kecintaannya pada buku mengalahkan apa pun. Bahkan, dia rela membawa bekal berbulan-bulan
agar irit uang jajan. Untuk mendukung hobinya, sewaktu SMP, Salma masuk ke ekskul Mading dan
sering mengirim puisi hingga cerita pendek.
Sayangnya, memasuki SMA, ayahnya melarang Salma mengikuti ekskul Mading lantaran
dinilai kurang bermanfaat. Karena tidak mau melawan keinginan orang tua, akhirnya Salma
menurut dan sebagai gantinya, dia melampiaskan hasratnya membuat sebuah blog yang menjadi
pelariannya setelah lelah seharian belajar dari pagi sampai malam.
Pembatas tinggi yang diciptakan orang tuanya tidak menghalangi Salma menulis. Baginya,
menulis adalah caranya menuangkan emosi dan ekspresi. Dia bukan seseorang yang pintar dalam
bersuara, maka tulisan adalah cara paling bijaksana menuangkan perasaan.
Jakarta, Agustus 2015
Salah satu cara untuk menerima hari-hari setelah perpisahan adalah berusaha terbiasa. Selain
berwajah tampan, Nathan pintar beradaptasi. Dia tidak perlu waktu lama untuk mengumpulkan
teman-teman baru. Dalam dua Minggu, temannya tidak terbatas kawan sekelas saja, mulai dari adik
sampai kakak kelas, guru, satpam penjaga sekolah, hingga para penjaga kantin. Kedatangan Nathan
bahkan sudah menjadi topik pembicaraan berkat kecepatan mulut murid cewek kalau sedang
bergosip. Tipikal obrolan para siswi kalau ada murid baru berwajah ganteng.
***
Jakarta, September 2015
Di luar gerimis. Aroma hujan menyeruak masuk melalui celah jendela kamarnya yang
terbuka. Udara malam, aroma hujan, bunyi rintik sewaktu jatuh ke tanah merupakan perpaduan
komplet untuk menulis. Gadis itu duduk di depan meja belajarnya sambil memandang layar
laptopnya yang masih putih. Kursornya berkedip-kedip seakan mengejek Salma untuk mulai
mengetik. Jari-jarinya menempel di atas keyboard, kemudian tertuanglah rangkaian kata yang
selama ini menghantui kepalanya.
“Kamu lagi ngapain dek?” Salma tersentak. Perhatiannya teralihkan dari layar laptop.
Ibunya berdiri di samping meja belajar, meletakkan gelas berisi susu di meja lantas menutup laptop
Salma secara paksa. “Kamu awas ketahuan Papa ngetik terus, nanti dikirain the kamu nggak
belajar.”
Salma terdiam. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak suka melihat Salma menulis.
Katanya takut mengganggu konsentrasi dan fokus belajarnya.
“Ini, jangan lupa diminum. Oh iya, Papa kemarin nanya, kamu sudah ada rencana mau
bimbel di mana?”
Gadis itu menggeleng.
“Ya sudah kalau begitu,” kata ibunya sambil mengusap puncak kepala Salma. “Laptopnya
disimpan, tong ngetik wae2!” Perempuan itu berbalik dan kembali menutup pintu kamar Salma.
Ada satu kalimat dari Nathan dan selalu Salma ingat hingga sekarang, sewaktu Salma
bertanya kenapa Nathan jarang belajar, lalu dia menjawab begini:
“Males jadi orang pintar. Orang pintar itu terlalu serius, hidupnya ambisius. Hidup kayak
gitu tuh capek, kayak hidup dalam arena balapan. Fokusnya Cuma satu, mau jadi yang paling
terdepan, jadinya lupa untuk mengamati sekeliling, lupa kalau ada banyak hal penting dan lebih
menyenangkan di dekatnya dibandingkan fokus di depan. Mending juga gini, nggak usah pinter-
pinter amat, tapi jangan terlalu nego.”
Salma tersenyum getir. Kalimat itu betul-betul menohoknya.
***
Ada kehebohan yang menggemparkan SMA Taruna. Hari itu, topik obrolan tentang Nathan
berhasil dialihkan. Dari kelas 12 sampai kelas 10 membicarakan satu orang. Namanya Rebecca dari
kelas 11-IPS-5. Sudah tipikal anak SMA, kalau ada siswi cantik yang tidak suka bersosialisasi.
Rebecca ini gadis cantik yang tidak suka bersosialisasi. Bahkan, bisa dibilang galak sehingga tidak
punya teman. Padahal banyak cowok suka padanya, tapi enggan untuk menyatakan perasaan karena
belum apa-apa, mereka sudah dibentak duluan.
Nathan masuk ke kelasnya, menaruh ransel di kursi dan bertanya-tanya heran. Ada satu
perubahan pesat sejak Nathan masuk di SMA baru, dia sudah tidak pernah terlambat lagi.
“Ada apaan? Bokep, ya? Gila Lo!” Nathan menunjuk Deni yang asyik menatap layar hape
diikuti segerombolan teman-teman lainnya mengelilingi.
“Nih baca.” Deni menyerahkan ponselnya. “Anjir, lah, gokil tuh cewek. Curhat kok di
Facebook, mending juga di Twitter.”
“Twitter kan cuma buat laki-laki,” jawab Nathan.
“Kok gitu?”
“Iya kan lambangnya burung.”
“Haha taik kotok Lo,” Deni tertawa ngakak. “Dah, buruan baca itu yang gue tunjukkin.”
Nathan menuruti instruksi Deni. Dia menggulir layar ponsel dan menemukan sebuah status
dari sebuah akun Facebook.
Hello Salma merupakan salah satu karyanya. Buku ini merupakan sequel dari Dear Nathan. Bila
novel pertamanya lebih banyak menceritakan tentang Nathan dan permasalahannya, di sekuelnya
ini gantian Salma yang menjadi fokus cerita. Novel ini menceritakan Salma dan segala
permasalahan tentang keluarga serta masa depannya.
2. Tafsiran
Cerita dibuka dengan cek cok antara Nathan dan Dimas. Awalnya, Dimas hanya mengejek Nathan
yang sudah tidak merokok lagi. Perdebatan antara kedua lelaki itu semakin panas ketika Dimas
menjelek-jelekan Salma. Nathan naik pitam. Ia hajar Dimas hingga babak belur. Permasalahan ini
pun diselesaikan dengan melibatkan kepala sekolah dan wali murid. Wali Dimas menuntut agar
Nathan dikeluarkan dari sekolah bila tidak meminta maaf atas sikapnya. Remaja itu tetap tidak mau
meminta maaf karena memang itu bukan salahnya. Nathan akhirnya memutuskan untuk keluar dari
sekolah.
Keputusan Nathan untuk keluar dari sekolah membuat Salma sedih. Ia mencoba membujuk
pacarnya itu agar meminta maaf pada Dimas, tapi Nathan menolak. Salma pun mengancam Nathan
bahwa ia akan memutuskan hubungan. Nathan yang tetap teguh pada pendiriannya, memilih untuk
putus dan pindah ke sekolah lain.
Putusnya hubungan mereka sekaligus pindahnya Nathan membuat hari Salma kembali monoton dan
membosankan. Sejak itu pula permasalahan selalu menaungi dirinya. Orang tuanya mulai
menekannya untuk belajar dengan tekun agar masuk kedokteran UI. Padahal, kedokteran
bukanlah passion Salma. Tak hanya itu, mereka juga melakukan berbagai cara agar anaknya
berhasil. Namun, berbagai kenyataan pahit terjadi pada Salma. Semua orang kecewa. Pun dengan
dirinya. Ia selalu menyendiri hingga ia depresi. Ia berada di titik terbawah dalam sejarah hidupnya.
Sementara itu, Nathan di lingkungan barunya, bertemu dengan seorang yang mirip dengan ibunya.
Perempuan bernama Rebecca itu mengalami gejala depresi, hingga berkali-kali mencoba bunuh
diri. Gadis itu dibully di sekolah karena menulis sesuatu yang buruk di sosial media. Ia tak punya
teman dan semakin terpuruk. Nathan bertekad untuk membantunya, membuatnya menjadi seperti
sedia kala agar temannya itu tidak bernasib sama seperti ibunya.
3. Evaluasi
Kelebihan Novel:
1. Novel ini memiliki banyak kata-kata yang dapat memotivasi pembaca.
Contoh kalimat:
“Ketika kamu berpikir kalau hidupmu tidak berguna, itu adalah racun. Bisikan itu berusaha
menghancurkan kekuatan besar dalam dirimu. Kamu harus percaya bahwa kamu lebih kuat
daripada apa yang kamu percaya, lebih kuat daripada apa yang kamu lihat, dan lebih pintar
daripada apa yang kamu pikirkan.” (hal 159)
2. Novel ini mengajarkan dan mengajak para pembaca untuk tidak membully.
Contoh kalimat:
“Banci lo kalau ikutan nge-bully. Zaman sekarang jempol itu lebih tajam dari lidah, sesuatu
yang lo kira lucu itu bisa nyakitin hati orang lain,” (hal 60)
3. Novel ini mengajarkan bahwa depresi tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan,
melainkan harus dari kemauan diri sendiri. Dan orang depresi butuh teman, bukan lawan.
Dapat dibaca di novel halaman 104-111
Kekurangan Novel:
1. Kualitas buku ini kurang bagus karena kertas yang digunakan di buku ini adalah kertas
koran tipis sehingga buku gampang robek dan halamannya lepas.
2. Terdapat kata-kata kasar di buku ini yang tidak baik untuk dicontoh.
Dapat dibaca di novel halaman 61
3. Terdapat konflik-konflik yang tidak baik untuk dicontoh, seperti berkelahi dan merokok.
Dapat dibaca di novel halaman 8-11
V. Rangkuman
Menurut saya, novel ini sangat bagus untuk dibaca oleh kalangan remaja dan juga orang tua.
Karena novel ini mengangkat tema depresi atau mental illness yang sedang banyak di alami anak-
anak remaja saat ini. kita bisa memetik pesan bahwa wajar saja semua orang memiliki masalah,
hanya saja masalah tidak seharusnya dipendam sendiri. Kita sebagai mahluk sosial memerlukan
orang lain untuk membagi masalah kita agar beban menjadi lebih ringan. Dan tentunya, orangtua
diharapkan mampu mengambil tindakan yang sepatutnya, sebagaimana lazimnya, orangtua
mendukung apapun keputusan anak dalam menentukan nasib masa depan dan cita-citanya, bukan
malah mengekang cita-cita anak dan memaksakan kehendaknya. Tapi dalam novel ini, banyak
adegan yang kurang mengenakkan. Contohnya, pemeran utama yang merokok dan ada berkata
kasar yang sebaiknya tidak dicontoh. Di luar itu, saya merekomendasikan novel ini.