Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MENOPAUSE AND AGING


1. TRANSISI PERIMENOPAUSE

Menopause adalah satu titik di mana terjadi penghentian menstruasi permanen


setelah hilangnya aktivitas ovarium. Menopause berasal dari kata Yunani men (bulan)
dan pausis (berhenti). Tahun-tahun sebelum menopause yang meliputi perubahan dari
siklus-siklus ovulatorik normal ke penghentian mens dikenal sebagai tahun-tahun
transisi menopause, ditandai oleh ketidakteraturan siklus-siklus menstruasi.
Klimakterium, suatu istilah yang lebih tua, lebih umum, dan kurang akurat,
mengindikasikan satu periode waktu di mana seorang wanita lewat dari tahap
reproduktif kehidupan ke transisi menopause dan menopause hingga tahun-tahun
pasca menopause. Klimakterik adalah kata dalam bahasa Yunani untuk tangga.
Panjang siklus menstruasi ditentukan oleh kecepatan dan kualitas pertumbuhan dan
perkembangan folikel, dan normal untuk siklus ini bervariasi pada masing-masing
wanita.
Menarkhe diikuti oleh sekitar 5-7 tahun siklus yang relatif panjang pada awalnya,
dan kemudian terjadi peningkatan keteraturan seiring makin pendeknya siklus untuk
mencapai pola usia reproduktif pada umumnya. Pada usia 40an, siklus-siklus ini
mulai memanjang kembali. Insidensi siklus anovulatorik yang tertinggi adalah di
bawah usia 20 tahun dan di atas usia 40 tahun. Pada usia 25 tahun, lebih dari 40%
siklus memiliki panjang antara 25 dan 28 hari; dari 25 hingga 35 tahun, lebih dari
60% siklus memiliki panjang antara 25 dan 28 hari. Siklus 28 hari yang sempurna
memang model yang paling sering dijumpai, namun ternyata siklus ini hanya
berjumlah 12,4% dari seluruh siklus Vollman. Secara keseluruhan, sekitar 15% dari
siklus-siklus pada usia reproduktif panjangnya 28 hari. Hanya 0,5% wanita yang
mengalami siklus dengan panjang kurang dari 21 hari, dan hanya 0,9% yang
mengalami siklus lebih panjang dari 35 hari. Mayoritas wanita memiliki siklus yang
berlangsung dari 24 hingga 35 hari, namun sekurangkurangnya 20% wanita
mengalami siklus-siklus yang tak teratur.
Ketika wanita mencapai usia 40-an, anovulasi menjadi lebih menonjol, dan
sebelum anovulasi, panjang siklus menstruasi meningkat, dimulai 2 hingga 8 tahun
sebelum menopause. ketika panjang siklus melebihi 42 hari, menopause dapat
diramalkan mengikuti dalam waktu 1 hingga 2 tahun. Periode siklus yang lebih
panjang ini biasanya mendahului menopause, tanpa memandang usia ketika mens
berhenti, apakah menopausenya dini atau lambat. Durasi fase folikuler adalah penentu
utama panjang siklus. Perubahan siklus menstruasi sebelum menopause ditandai oleh
peningkatan kadar hormon penstimulasi. folikel (FSH) dan penurunan kadar inhibin,
namun dengan kadar hormon luteinisasi (LH) yang normal dan kadar estradiol yang
sedikit meninggi.
Pada wanita rata-rata, percepatan penghabisan folikel dan penurunan fertilitas
dimulai pada usia 37-38 tahun, dan menopause mengikuti kira-kira 13 tahun
kemudian (usia rata-rata 51 tahun). Namun, pada penelitian-penelitian epidemiologik,
sekitar 10% wanita dari populasi umum mengalami menopause pada usia 45 tahun,
kemungkinan karena mereka dilahirkan dengan kumpulan folikel ovarium yang lebih
kecil dari normal yang secara fungsional habis pada usia lebih dini. Menopause
terjadi ketika jumlah folikel yang tersisa turun di bawah ambang kritis, sekitar 1000,
tanpa memandang umur wanita yang bersangkutan.
Penurunan sekresi inhibin oleh folikel-folikel ovarium dimulai sejak awal (sekitar
usia 35 tahun), namun menjadi lebih cepat setelah usia 40 tahun. Hal ini
mencerminkan penurunan fekunditas yang terjadi seiring dengan penuaan.
kemampuan yang tak efektif untuk menekan gonadotropin dengan terapi hormon
pasca menopause adalah konsekuensi dari hilangnya inhibin, dan karena alasan ini,
FSH tak dapat digunakan secara klinis untuk mentitrasi dosis estrogen pada terapi
hormon pasca menopause.
Tahun-tahun perimenopause adalah suatu periode waktu di mana kadar FSH
pasca menopause (lebih dari 20 IU/L) dapat dijumpai meskipun tetap terjadi
perdarahan menstruasi, sedangkan kadar LH masih tetap berada dalam kisaran
normal. Kadang-kadang, terjadi pembentukan dan fungsi korpus luteum, dan wanita
perimenopause tidak aman dari resiko kehamilan yang tak terencana dan tak terduga
hingga dapat terbukti peningkatan kadar FSH (> 20 IU/L) maupun LH (> 30 IU/L).
Namun, bahkan pada kondisi-kondisi inipun, fluktuasi dapat terjadi, dengan satu
periode kegagalan ovarium yang diikuti dengan kembalinya fungsi ovarium.
Wanita yang melaporkan awitan ketidakteraturan menstruasi dianggap berada
dalam periode perimenopause dalam kehidupan. Median usia untuk awitan transisi ini
adalah 47,5 tahun. Hanya 10% wanita yang berhenti menstruasi secara mendadak
tanpa periode ketidakteraturan dalam jangka panjang. Transisi perimenopause dari
status reproduktif ke pasca reproduktif adalah sekitar 4 tahun durasinya bagi sebagian
besar wanita. Pada penelitian oleh Treloar, usia rata-rata untuk masuk ke transisi
perimenopause adalah 45,1 dan kisaran usia yang melibatkan 95% wanita adalah 39-
51. Durasi rata-rata transisi perimenopause adalah 5,0 tahun, dengan kisaran 2 hingga
8 tahun.
Penapisan Kesehatan Preventif untuk Wanita-wanita Perimenopause yang
Sehat
Kontribusi terpenting yang dapat diberikan oleh seorang dokter bagi wanita
perimenopause adalah edukasi yang ia butuhkan dan keinginan untuk membuat
pilihan terapetik. Proses edukasi awal ini akan membantu untuk membangun
hubungan yang kuat dengan pasien, suatu hubungan yang akan ingin mereka
lanjutkan ketika mereka menua.
 Memberikan panduan dan edukasi untuk memfasilitasi pengambilan keputusan
oleh pasien.
 Memberikan waktu dan lokasi yang tepat untuk diskusi yang sensitif dan tak
terganggu.
 Menggunakan bahan-bahan edukasional, khususnya handout, namun juga
menjelaskannya menggunakan kata-kata kita sendiri.
 Melibatkan anggota-anggota keluarga selama konseling dan kunjungan
edukasional.
 Terlibatlah dalam program-program edukasional masyarakat dan rumah sakit
untuk umum.
 Gunakan seorang konselor yang efektif dan terlatih bagi pasienpasien yang
membutuhkan bantuan mendalam dalam mengatasi ujian dan masalah-masalah
hidup.

2. USIA MENOPAUSE

Berdasarkan penelitian-penelitian belah-lintang, median usia diperkirakan antara


50 dan 52 tahun. Penelitian-penelitian ini bergantung pada ingatan retrospektif dan
penilaian subyektif individu-individu yang diwawancara.
Median usia untuk menopause pada Penelitian Massachusetts adalah 51,3 tahun.
Hanya merokok pada saat itu yang dapat teridentifikasi sebagai penyebab menopause
dini, dengan pergeseran sekitar 1,5 tahun. Faktor-faktor yang tak mempengaruhi usia
menopause meliputi penggunaan kontrasepsi oral, status sosial-ekonomi, dan status
perkawinan
Pada penelitian longitudinal klasik oleh Treloar, usia rata-rata menopause adalah
50,7dan kisaran yang melibatkan 95% wanita adalah 44 hingga 56. Dalam sebuah
survei di Belanda, usia rata-rata menopause adalah 50,2, dan pada sebuah penelitian
longitudinal di Italia, angka tadi adalah 50,9 tahun.
The Study of Women’s Health Across the Nation (SWAN) adalah sebuah
penelitian belah-lintang yang sedang berlangsung pada wanita-wanita Amerika.
Dalam penelitian ini, median usia menopause adalah 51,4, dengan awitan yang lebih
awal yang terkait dengan merokok pada saat itu, tingkat pendidikan yang lebih
rendah, dan status sosial-ekonomi yang lebih rendah, sedangkan usia yang lebih
lanjut berhubungan dengan paritas dan penggunaan kontrasepsi oral sebelumnya.
Penelitian di Belanda menyimpulkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral
sebelumnya berhubungan dengan menopause yang lebih dini (kurang dari 1 tahun).
Sekitar 1% wanita telah dilaporkan mengalami menopause sebelum usia 40.
Pada penelitian-penelitian epidemiologik, sekitar 10% dari wanita pada populasi
umum menjadi menopause pada umur 45 tahun. Analisis pohon keluarga telah
mengungkapkan bahwa gambaran-gambaran genetik dari menopause dini (usia 40-
45) dan kegagalan ovarium prematur hamper sama, dan menunjukkan pola pewarisan
yang dominan melalui kerabat maternal atau paternal. Ada dua penelitian yang
mengindikasikan bahwa anak-anak perempuan dari ibu-ibu yang mengalami
menopause dini (sebelum usia 46) juga akan mengalami menopause dini.
Ada bukti yang mencukupi untuk percaya bahwa wanita-wanita kurang gizi dan
vegetarian mengalami menopause yang lebih awal. Karena kontribusi lemak tubuh
pada produksi estrogen, wanita-wanita yang lebih kurus mengalami menopause yang
sedikit lebih awal. Konsumsi alkohol yang sering berhubungan dengan menopause
yang lebih lambat. Hal ini sesuai dengan laporan-laporan bahwa wanita-wanita yang
mengkonsumsi alkohol memiliki kadar estrogen darah dan urin yang lebih tinggi, dan
densitas tulang yang lebih tinggi pula.

3. SEKSUALITAS MENOPAUSE

Seksualitas adalah perilaku seumur hidup dengan perubahan dan perkembangan yang
berjalan. Ia dimulai sejak lahir (mungkin sejak sebelumnya) dan berakhir dengan kematian.
Catatan bahwa ia berakhir dengan penuaan sebenarnya tidak logis. Kebutuhan akan
kedekatan, perhatian, dan pertemanan sifatnya seumur hidup. Orangorang usia lanjut saat ini
hidup lebih lama, lebih sehat, dan memiliki tingkat pendidikan maupun waktu luang yang
lebih, dan kesadaran mereka tentang seksualitas telah meningkat.
Penurunan aktivitas seksual dengan penuaan lebih dipengaruhi oleh budaya dan sikap
dibanding alam dan fisiologi (atau hormon-hormon). Dua pengaruh terpenting pada interaksi
seksual usia lanjut adalah kekuatan hubungan dan kondisi fisik masing-masing pasangan.
Karenanya, satu-satunya penentu yang paling bermakna bagi aktivitas seksual wanita-wanita
usia lanjut adalah tidak adanya pasangan karena perceraian dan fakta bahwa wanita hidup
lebih lama disbanding laki-laki. Bila tersedia pasangan, tingkat aktivitas seksual yang tinggi
atau rendah yang tak berubah dapat dipertahankan seumur hidup
Ada dua perubahan seksual utama pada wanita yang menua. Terjadi penurunan tingkat
produksi dan volume cairan pelumas vagina, dan terjadi kehilangan elastisitas vagina dan
ketebalan epitel. Atrofi vagina yang lebih ringan dijumpai pada wanita-wanita yang aktif
secara seksual dibanding wanita-wanita yang inaktif; kemungkinan aktivitas seksual tadi
mempertahankan sirkulasi dan vaskulatur vagina. Dispareuni yang berhubungan dengan
atrofi urogenital pasca menopause meliputi perasaan kering dan sempit, iritasi vagina dan
rasa terbakar saat bersenggama, dan perdarahan serta rasa nyeri pasca sanggama. Tentu saja,
perubahan-perubahan ini dapat dicegah secara efektif melalui terapi estrogen. Memang, terapi
estrogen memiliki dampak positif pada seksualitas di luar efeknya pada jaringan vagina.
Dalam sebuah penelitian di Australia yang meneliti perubahanperubahan pada fungsi seksual
selama transisi menopause dan perimenopause, dijumpai korelasi antara penurunan
seksualitas dengan kadar estradiol, namun tidak dengan kadar testosteron.

4. PRODUKSI HORMON PASCA MENOPAUSE

Segera sesudah menopause, ovarium mensekresi terutama androstenedion dan


testosteron. Setelah menopause, kadar androstenedion yang bersirkulasi adalah sekitar
satu-setengah dari yang dijumpai sebelum menopause. Mayoritas androstenedion
pasca menopause ini berasal dari kelenjar adrenal, dengan hanya sejumlah kecil yang
disekresi dari ovarium, meskipun androstenedion adalah steroid utama yang disekresi
oleh ovarium pasca menopause. Dehidroepiandrosteron (DHA) dan sulfatnya
(DHAS), berasal dari kelenjar adrenal, mengalami penurunan bermakna seiring
penuaan; pada dekade pasca menopause, kadar DHA yang bersirkulasi adalah sekitar
70% lebih kecil, dan kadar DHAS sekitar 74% lebih kecil daripada kadar pada usia
dewasa muda.
Produksi testosteron turun sekitar 25% pasca menopause, namun ovarium pasca
menopause pada sebagian besar wanita, namun tak seluruhnya, mensekresi lebih
banyak testosteron daripada ovarium pramenopause, setidak-tidaknya pada tahun-
tahun pertama periode pasca menopause. Dengan hilangnya folikel dan estrogen,
peningkatan gonadotropin mengarahkan jaringan yang tersisa dalam ovarium hingga
ke tingkat peninggian sekresi testosterone.
Supresi gonadotropin dengan terapi agonis atau antagonis hormon pelepas
gonadotropin (GnRH) atau pada wanita-wanita pasca menopause menghasilkan
penurunan kadar testosteron bersirkulasi yang bermakna, mengindikasikan asal
ovarium pasca menopause yang gonadotropin-dependen. Namun, jumlah total
testosteron yang diproduksi setelah menopause turun karena jumlah sumber
utamanya, yaitu konversi androstenedion di perifer, telah berkurang. Kadar
androstenedion yang bersirkulasi pada awal pasca menopause turun sekitar 62% dari
kadar dewasa muda.
Penurunan kadar testosteron pada pasca menopause tidak besar, dari tak ada
perubahan pada sebagian besar wanita hingga penurunan 15% pada wanita-wanita
yang lain.
Pada akhir tahun-tahun pasca menopause, kadar androgen yang bersirkulasi
hampir seluruhnya, bahkan mungkin seluruhnya, berasal dari kelenjar adrenal.
Sebuah penelitian yang teliti tak mendeteksi adanya androgen yang bersirkulasi pada
wanita-wanita pasca menopause (dengan rata-rata 12 tahun sesudah menopause)
dengan insufisiensi adrenal komplet, dan tanpa testosteron atau androstenedion
intraovarium.
Kadar estradiol yang bersirkulasi pasca menopause adalah sekitar 10- 20 pg/mL,
yang sbeagian besar berasal dari konversi estrone di perifer, yang pada gilirannya
sebagian besar berasal dari konversi androstenedion di perifer. Kadar estrone yang
bersirkulasi pada wanita-wanita pasca menopause lebih tinggi daripada kadar
estradiol, sekitar 30-70 pg/mL. Tingkat produksi estrogen pasca menopause rata-rata
adalah sekitar 45 g/24 jam, yang hampir μ seluruhnya, bahkan mungkin seluruhnya,
adalah estrogen yang berasal dari konversi androgen di perifer. Rasio
androge/estrogen berubah secara drastic setelah menopause karena penurunan
estrogen yang lebih bermakna, dan awitan hirsutisme ringan sering dijumpai,
mencerminkan pergeseran pada rasio hormon seks yang bermakna ini. Dengan makin
bertambahnya umur sesudah menopause, dapat ditemukan penurunan pada kadar
dehidroepiandrosteron sulfat (DHAS) dan dehidroepiandrosteron (DHA) yang
bersirkulasi, sedangkan kadar androstenedion, testosteron, dan estrogen pasca
menopause yang bersirkulasi tetap relatif konstan.
Persentase konversi androstenedion menjadi estrogen berkorelasi dengan berat
badan. Peningkatan produksi estrogen dari androstenedion pada berat badan yang
meninggi kemungkinan disebabkan karena kemampuan lemak untuk
mengaromatisasi androgen.
Gejala-gejala yang sering dijumpai dan berhubungan dengan penurunan kompetensi
folikel ovarium, dan kemudian kehilangan estrogen pada klimakterium yang panjang
ini adalah:
 Gangguan pola menstruasi, termasuk anovulasi dan penurunan fertilitas,
penurunan keluarnya darah atau justru hipermenore, frekuensi mens yang tak
teratur, dan kemudian, yang terakhir, amenore.
 Instabilitas vasomotor (hot flushes dan berkeringat).
 Kondisi-kondisi atrofi: atrofi epitel vagina, pembentukan karunkula-karunkula
uretra, dispareuni dan pruritus karena atrofi vulva, introitus, dan vagina, atrofi
kulit secara umum, gangguan berkemih seperti urgensi, dan uretritis serta sistitis
abakterial.
 Masalah-masalah kesehatan akibat penurunan estrogen jangka panjang;
konsekuensi-konsekuensi dari osteoporosis dan penyakit kardiovaskuler.
a. MASALAH-MASALAH KELEBIHAN ESTROGEN
1) Pajanan terhadap estrogen tanpa hambatan

Selama periode perimenopause, ada insidensi perdarahan uterus disfungsional


yang bermakna. Meskipun kecemasan terbesar yang dicetuskan oleh gejala ini
adalah neoplasia endometrium, temuan umumnya adalah jaringan non-
neoplastik yang menunjukkan efek-efek estrogen yang tak dihambat oleh
progesteron. Hal ini disebabkan oleh anovulasi pada wanita-wanita
pramenopause dan dari produksi estrogen endogen ekstragonad atau pemberian
estrogen pada wanita-wanita pasca menopause.
Ada empat mekanisme yang dapat menghasilkan peningkatan kadar estrogen
endogen:
o Peningkatan androgen prekursor (tumor-tumor endokrin fungsional dan
nonfungsional, penyakit hepar, stress).
o Peningkatan aromatisasi (obesitas, hipertiroidisme, dan penyakit hepar).
o Peningkatan sekresi estrogen langsung (tumor-tumor ovarium).
o Penurunan kadar SHBG (globuling pengikat hormon seks) yang
menyebabkan peningkatan kadar estrogen bebas
Pada semua wanita, baik pramenopause maupun pasca menopause, baik
dengan terapi hormon maupun tidak, sebab-sebab organik yang spesifik
(neoplasia, penyulit-penyulit dari kehamilan yang tak terduga, atau perdarahan
dari lokasi-lokas ekstrauteri) harus disingkirkan. Selain anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, perdarahan uterus disfungsional membutuhkan
evaluasi. Pengukuran ketebalan endometrium melalui USG transvaginal dapat
digunakan pada wanita pasca menopause untuk menghindari biopsi-biopsi
yang tak diperlukan. Pada wanita-wanita perimenopause dan pasca menopause
dengan perdarahan abnormal, biopsi endometrium dianggap tak diperlukan bila
ketebalan endometriumnya kurang dari 5 mm karena resiko hiperplasia
endometrium atau kanker sangat kecil.
Pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lainnya meliputi:
o Kolposkopi dan biopsi serviks untuk sitologi abnormal atau lesi-lesi yang
jelas.
o Pemeriksaan endoserviks melalui kuretase untuk sitologi abnormal
(endoserviks harus selalu diingat sebagai sumber sitologi abnormal).
o Histerogram, histeroskopi, atau USG dengan pemberian saline dalam
uterus jika perdarahan persisten untuk menentukan adanya polip
endometrium atau fibroid submukosa
b. DAMPAK PENURUNAN ESTROGEN PASCA MENOPAUSE
Pasca menopause, sebagian wanita mengalami berbagai gejala, sedangkan wanita-
wanita yang lain tak mengalami reaksi atau hanya mengalami reaksi-reaksi
minimal yang dapat diabaikan. Perbedaan-perbedaan pada reaksi-reaksi
menopause dalam hal gejala-gejala antar berbagai budaya yang berbeda belum
banyak diketahui, dan memang, sulit untuk melakukannya. Laporan individual
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-budaya sehingga sulit untuk
menentukan hal ini karena variabilitas biologis versus budaya.
1) Gejala-gejala Vasomotor

Flush vasomotor dipandang sebagai ciri khas klimakterium wanita,


dialami hingga derajat tertentu oleh sebagian besar wanita pasca menopause.
Istilah “hot flush” adalah gambaran dari awitan kemerahan kulit kepala, leher,
dan dada secara mendadak, yang disertai perasaan panas badan yang hebat dan
kadang-kadang diakhiri dengan keringat yang banyak. Durasinya bervariasi dari
beberapa detik hingga beberapa menit, dan dapat selama satu jam, walaupun
jarang. Frekuensinya dapat jarang hingga berulang setiap beberapa menit.
Flushes lebih sering dan berat di malam hari (ketika seorang wanita sering
terbangun dari tidurnya) atau saat-saat stress. Di lingkungan yang dingin, hot
flushes lebih jarang, lebih ringan, dan durasinya lebih pendek dibanding di
lingkungan yang hangat.
Dalam follow up longitudinal pada sejumlah besar wanita, 10% dari
wanita-wanita tadi mengalami hot flushes sebelum menopause, sedangkan pada
penelitian yang lain, sebanyak 15-25% wanita pramenopause melaporkan hot
flushes. Meskipun flush ini dapat terjadi pada masa pramenopause, ia
merupakan gambaran utama dari pasca menopause, yang pada sebagian besar
wanita berlangsung selama 1-2 tahun, namun pada sebagian wanita (sekitar
25%) dapat bertahan hingga lebih dari 5 tahun
Fisiologi hot flush masih belum diketahui, namun ia tampaknya berasal
dari hipotalamus dan disebabkan oleh penurunan estrogen. Namun, tak semua
hot flushes disebabkan oleh defisiensi estrogen. Flushes dan berkeringat dapat
disebabkan karena penyakit-penyakit, termasuk feokromositoma, karsinoma,
lekemi, tumor-tumor pankreas, dan kelainan-kelainan tiroid. Sayangnya, hot
flush adalah sebuah gejala psikosomatik yang relatif sering, dan wanita-wanita
seringkali diterapi dengan estrogen yang sebenarnya tak diperlukan.
Meskipun hot flush adalah masalah pasca menopause yang paling sering
dijumpai, ia tak memiliki bahaya terhadap kesehatan. Flush disertai oleh pola
perubahan fisiologik yang diskret dan reliabel. Flush ini terjadi bersamaan
dengan peningkatan LH (bukan FSH) dan didahului oleh kesadaran prodromal
subyektif bahwa flush sedang dimulai. Aura ini diikuti oleh peningkatan panas
pada seluruh permukaan tubuh yang dapat diukur. Permukaan tubuh mengalami
peningkatan suhu, yang disertai dengan perubahan-perubahan pada konduktansi
kulit, dan diikuti oleh turunnya suhu inti – semuanya dapat diukur secara
obyektif. Singkatnya, flush bukanlah pelepasan panas tubuh yang terakumulasi,
namun merupakan eksitasi mekanismemekanisme pelepasan panas secara
mendadak dan tidak benar
2) Perubahan-perubahan atrofik
Produksi estrogen yang sangat rendah pada usia-usia akhir pasca
menopause, atau bertahun-tahun setelah kastrasi,terjadi atrofi pada permukaan
mukosa vagina, disertai dengan vaginitis, pruritus, dispareuni, dan stenosis.
Atrofi genitourinaria menyebabkan berbagai macam gejala yang mempengaruhi
kesenangan dan kualitas hidup. Uretritis dengan disuria, inkontinensia urgensi,
dan frekuensi berkemih merupakan hasil selanjutnya dari penipisan mukosa,
pada kasus ini pada uretra dan kandung kemih. Infeksi saluran kemih berulang
dapat dicegah secara efektif dengan terapi estogen intravagina pasca
menopause.
Karena kehabisan estrogen, vagina kehilangan kolagen, jaringan adiposa,
dan kemampuan untuk mempertahankan air. Ketika dinding vagina mengkerut,
rugae akan mendatar dan lenyap. Epitel permukaan kehilangan lapisan fibrosa
terluarnya dan menipis hingga menjadi beberapa lapis sel saja, sehingga sangat
menurunkan rasio sel superfisial terhadap sel basal. Akibatnya, permukaan
vagina menjadi rapuh, rentan terhadap perdarahan dengan trauma minimal.
Ketika perubahan-perubahan ini terjadi, pembuluh-pembuluh darah pada
dinding vagina menyempit dan sekresi-sekresi dari kelenjar sebasea berkurang.
Seiring berjalannya waktu, vagina itu sendiri berkontraksi dan kehilangan
fleksibilitasnya, sedangkan labia minora menjadi lebih pucat dan kecil. Selain
itu, pH menjadi lebih basa, sehingga lingkungan vagina kurang baik untuk
laktobasilus dan lebih rentan terkena infeksi oleh patogen-patogen urogenital
dan fekal. Organisme-organisme yang menginfeksi dapat naik ke sistem urinaria
untuk menyebabkan uretritis, infeksi saluran kemih, dan sistitis.
Penurunan pada kandungan kolagen kulit, elastisitas, dan ketebalan kulit
yang terjadi dengan penuaan dapat dihindari melalui terapi estrogen pasca
menopause. Efek estrogen pada kolagen terbukti pada tulang maupun kulit;
penurunan massa tulang dan kolagen berjalan bersamaan pasca menopause dan
terapi estrogen dapat mengurangi perputaran kolagen dan memperbaiki kualitas
kolagen. Meskipun belum jelas apakah terapi estrogen dapat mempengaruhi
tampilan fisik, sekurang-kurangnya satu penelitian membuktikan tak hanya
terjadi peningkatan ketebalan kulit wajah, namun juga perbaikan pada kerutan-
kerutan dengan estrogen topikal
3) Efek-efek psikofisiologik

Pandangan bahwa menopause memiliki efek yang merugikan pada


kesehatan jiwa ternyata tak didukung dalam kepustakaan psikiatrik, atau pada
survei-survei terhadap populasi umum.
Satu pandangan negatif tentang kesehatan jiwa pada saat menopause tidak
dibenarkan; banyak masalah yang dilaporkan pada saat menopause adalah
karena peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Maka, ada masalah-masalah yang
dijumpai pada awal pasca menopause yang sering dijumpai, namun tampaknya
tak memiliki hubungan kausal dengan estrogen. Masalah-masalah ini meliputi
kelelahan, gugup, nyeri kepala, insomnia, depresi, iritabilitas, nyeri sendi dan
otot, pusing berputar, dan berdebar-debar. Memang, pada usia ini, baik laki-laki
maupun wanita mengalami berbagai keluhan yang tak menunjukkan perbedaan
jenis kelamin yang dapat dijelaskan oleh suatu penyebab hormonal. Meskipun
begitu, wanita-wanita usia pertengahan lebih sering melaporkan keluhan-
keluhan dibanding laki-laki, kemungkinan mencerminkan persepsi dan konotasi
yang umumnya negatif yang oleh masyarakat dan budaya kita dikaitkan dengan
menopause.
Stabilitas emosional selama periode perimenopause dapat diganggu oleh
pola tidur yang buruk. Hot flushing memang memiliki dampak yang buruk pada
kualitas tidur. Terapi estrogen meningkatkan kualitas hidup, menurunkan waktu
yang dibutuhkan untuk mulai tertidur dan meningkatkan waktu tidur rapid eye
movement (REM). Kemungkinan flushing tidak memadai untuk membangunkan
seorang wanita namun memadai untuk mempengaruhi kualitas tidur, sehingga
mengurangi kemampuan untuk menangani masalah-masalah dan stress pada
hari berikutnya. Perbaikan tidur dengan terapi estrogen bahkan dapat dibuktikan
pada wanita-wanita pasca menopause yang dilaporkan asimptomatik
Karenanya, transisi perimenopause bukanlah penyebab depresi klinis;
namun, emosi yang labil tampaknya memang diperbaiki pada banyak wanita
yang diberi terapi hormon. Penyebab gangguan mood perimenopause yang
paling sering adalah depresi yang memang sudah ada sebelumnya, namun
tampaknya ada satu populasi wanita yang kecil yang moodnya sensitif terhadap
perubahan-perubahan hormonal
4) Kognisi dan penyakit Alzheimer

Wanita 3 kali lebih banyak yang menderita penyakit Alzheimer dibanding


laki-laki. Estrogen mampu melindungi fungsi sistem saraf pusat melalui
berbagai mekanisme. Sebagai contoh, estrogen melindungi terhadap
sitotoksisitas neuron yang diinduksi oleh oksidasi estrogen menurunkan
konsentrasi komponen amiloid P serum (glikoprotein yang dijumpai pada
kekusutan neurofibriler pada Alzheimer); dan estrogen meningkatkan
pertumbuhan sinaps dan neuron, khususnya densitas spina dendritik. Estrogen
melindungi terhadap toksisitas serebrovaskuler yang dipicu oleh peptida-peptida
amiloid, dan memicu pembentukan sinaps serta pertumbuhan dan ketahanan
hidup neuron. Obat-obat progestasional tak menunjukkan aksi-aksi yang sama.
Pemberian estrogen tanpa penghambat dalam jangka pendek pada pasien-
pasien dengan penyakit Alzheimer telah dilaporkan dapat memperbaiki
pencapaian kognitif, namun sebagian besar tidak memiliki efek. Pemberian
kombinasi estrogen dan progestin juga tak berhasil menunjukkan adanya efek
yang menguntungkan (pencegahan sekunder) pada penyakit Alzheimer.
Keberadaan terapi estrogen telah dilaporkan meningkatkan respon yang
menguntungkan terhadap takrin pada wanita-wanita dengan penyakit
Alzheimer, namun secara keseluruhan, bukti yang ada mendukung kegagalan
estrogen untuk mempengaruhi penyakit Alzheimer yang sudah ada sebelumnya
5) Penyakit kardiovaskular

Penyakit kardiovaskuler disebabkan karena aterosklerosis pada pembuluh-


pembuluh darah mayor. Faktor-faktor resikonya sama untuk laki-laki maupun
wanita: riwayat penyakit kardiovaskuler pada keluarga, tekanan darah tinggi,
merokok, diabetes mellitus, dan profil kolesterol/lipoprotein yang abnormal,
serta obesitas. Namun, ketika mengontrol faktor-faktor resiko tadi, laki-laki
memiliki resiko untuk menderita penyakit jantung koroner lebih dari 3,5 kali
lipat dibanding wanita.
Penyakit kardiovaskuler, khususnya aterosklerosis, adalah satu konsekuensi dari
perubahan-perubahan metabolik yang saling berinteraksi:
o Perubahan-perubahan menyimpang pada profil lemak-lipoprotein yang
bersirkulasi.
o Oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), menghasilkan suatu LDL
termodifikasi yang bersifat kemotaktik untuk monosit-monosit bersirkulasi,
yang menghambat motilitas makrofag (sehingga memerangkap makrofag-
makrofag dalam tunika intima), dan yang menyebabkan jejas serta kematian
sel pada endotelium.
o Jejas dan disfungsi endotel yang mempengaruhi produksi nitric oksida dan
prostasiklin.
o Migrasi dan fungsi makrofag, dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan
dan sitokin-sitokin.
o Proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
pertumbuhan dan sitokin-sitokin; sel-sel ini menjadi jenis sel yang dominan
dan sumber matriks jaringan ikat pada lesi aterosklerotik, plak fibrosa.
o Vasokonstriksi dan peristiwa-peristiwa trombogenik. Enzim-enzim
metalloporoteinase matriks disekresi oleh sel-sel radang dan sel-sel otot
polos. Enzim-enzim ini mencerna protein-protein pada kapsul fibrosa suatu
plak aterosklerotik, membuat plak menjadi tak stabil dan rentan terhadap
ruptur. Estrogen menginduksi aktivitas metalloproteinase matriks, dan ini
mungkin merupakan mekanisme yang terlibat pada efek protrombotik dari
estrogen dengan keberadaan aterosklerosis yang telah tegak.
o Remodeling arteri-arteri koroner. Sebuah arteri mampu berespon terhadap
plak aterosklerotik yang sedang tumbuh dengan cara meningkatkan diameter
keseluruhannya dalam upaya untuk mempertahankan alirannya. Mekanisme
remodeling adaptif ini belum diketahui, namun tingkat proses ini pastinya
mempengaruhi resiko infark dan oklusi
Protein C-reaktif. Timbulnya plak aterosklerotik melibatkan system imun
(monosit, sitokin, dan molekul adhesi sel). Karena alasan ini, penelitian-
penelitian mengindikasikan bahwa protein C-reaktif (CRP) adalah petanda
resiko kardiovaskuler pada laki-laki dan wanita. Namun, resiko ini terbatas pada
penyakit arterial; kadar CRP tak berhubungan dengan trombosis vena atau
emboli paru. CRP memprediksikan peningkatan resiko peristiwa
kardiovaskuler, bahkan pada individu-individu yang memiliki kadar lemak
normal dan, karenanya, dikemukakan bahwa CRP maupun profil lemak harus
digunakan untuk tujuan penapisan.

Homosistein. Peningkatan kadar homosistein berhubungan dengan peningkatan


penyakit jantung koroner. Peningkatan asupan asam folat dan terapi hormon
menurunkan kadar homosistein yang bersirkulasi. Nilai pengukuran homosistein
dalam program penapisan dan efikasi terapi yang diarahkan untuk menurunkan
kadar homosistein masih harus diteliti lebih lanjut.
Lipoprotein (a). Lp(a) tersusun atas dua bagian, sebuah partikel lipoprotein
yang mirip dengan LDL dan sebuah glikoprotein yang menyerupai suatu protein
penjendalan. Lp(a) adalah sebuah factor resiko independen untuk penyakit
jantung koroner, dan peningkatan kadarnya diturunkan oleh terapi hormon
pasca menopause
6) Osteoporosis

Osteoporosis, masalah tulang yang paling menonjol pada usia lanjut,


adalah berkurangnya massa tulang dengan rasio mineral terhadap matriks yang
normal, menyebabkan peningkatan kejadian fraktur.
Patofisiologi Osteoporosis ditandai oleh massa tulang yang rendah dan
pembusukan struktur mikro jaringan tulang, menyebabkan bertambahnya
kerapuhan tulang dan konsekuensinya terjadi peningkatan resiko fraktur dengan
trauma sekecil apapun atau bahkan tanpa trauma pun. Rangka tubuh terdiri atas
dua macam tulang. Tulang kortikal (tulang rangka perifer) bertanggungjawab
pada 80% dari seluruh tulang, sedangkan tulang trabekuler (tulang dari rangka
aksial – kolumna vertebralis, panggul, dan femur proksimal) membentuk suatu
struktur sarang tawon yang dipenuhi oleh sumsum tulang merah dan lemak,
mengakibatkan luas permukaan yang lebih besar per unit volume.
Resiko fraktur di kemudian hari akibat osteoporosis akan bergantung
pada massa tulang pada saat menopause dan kecepatan hilangnya tulang
setelah menopause. Hampir seluruh massa tulang di panggul dan korpus
vertebralis terakumulasi pada wanita-wanita muda pada akhir masa remaja
(sekitar usia 18 tahun), dan tahun-tahun tepat sesudah menarkhe (11-14 tahun)
sangat penting. Setelah masa remaja, hanya ada sedikit penambahan massa
tulang total yang berhenti sekitar usia 30 tahun, dan pada banyak individu,
penurunan massa tulang pada panggul dan tulang belakang dimulai setelah usia
18 tahun. Setelah usia 30 tahun pada sebagian besar orang, ada penurunan yang
lambat pada densitas massa tulang, sekitar 0,7% per tahun.
Awitan kehilangan tulang spinal dimulai pada umur 20-an, namun
perubahannya secara keseluruhan termasuk kecil hingga saat menopause.
Densitas tulang femur memuncak pada pertengahan hingga akhir usia 20-an dan
mulai turun sekitar usia 30. Secara umum, resorbsi tulang trabekular mulai
melampaui pembentukannya sekitar 0,7% per tahun. Hubungan menyimpang ini
berakselreasi setelah menopause, dan hingga 5% tulang trabekuler serta 1-1,5%
massa tulang total hilang per tahunnya setelah menopause. Percepatan
kehilangan ini berlangsung selama 5 tahun, di mana sesudahnya kehilangan
tulang akan menurun namun tetap berlanjut dalam tingkat yang berhubungan
dengan penuaan.
Ketika kadar estrogen menurun, remodeling tulang meningkat. Masing-
masing unit remodeling dipicu oleh ekskavasi osteoklas yang diikuti dengan
pengisian kembali oleh osteoblas. Estrogen menimbulkan supresi tonik pada
remodeling dan mempertahankan keseimbangan antara aktivitas osteoklastik
dan osteoblastik; bila tidak ada estrogen, aktivitas osteoklastik mendominasi,
menghasilkan resorbsi tulang.
Mekanisme aksi yang tepat untuk proteksi steroid seks pada tulang tetap
tidak diketahui; namun pengetahuan yang makin berkembang mengindikasikan
interaksi yang kompleks pada tingkat molekuler, dengan jalur klasik yang
melibatkan transkripsi genomik oleh reseptorreseptor hormon dan jalur
nongenomik yang menghambat apoptosis. Peningkatan efisiensi absorbsi
kalsium, kemungkinan akibat peningkatan ketersediaan vitamin D (1.25-
dihidroksikolekalsiferol) yang diinduksi oleh estrogen, dan peranan langsung
dari reseptorreseptor estrogen pada osteoblas tampaknya merupakan faktor-
faktor yang penting.
Meskipun estrogen berperan penting dalam meregulasi densitas tulang,
suatu kerentanan genetik juga sama pentingnya. Sebuah penelitian terhadap
anak-anak perempuan pramenopause dari wanitawanita dengan osteoporosis
menunjukkan reduksi massa tulang, mendukung ke arah pengaruh genetik
maupun berbagi gaya hidup yang sama yang menghasilkan massa tulang puncak
yang relative rendah.
Tanda dan Gejala Osteoporosis Disabilitas osteoporotik yang dialami
oleh wanita pasca menopause atau yang mengalami kastrasi meliputi nyeri
punggung, penurunan tinggi badan dan mobilitas, dan fraktur pada korpus
vertebra, humerus, femur atas, lengan atas sebelah distal, dan iga. Nyeri
punggung adalah gejala klinis mayor dari fraktur-fraktur kompresi vertebra.
Nyeri pada fraktur bersifat akut, dan kemudian mereda setelah 2-3 bulan, namun
berlanjut sebagai nyeri punggung kronis karena meningkatnya lordosis lumbal.
Nyeri mereda dalam waktu 6 bulan kecuali bila ada fraktur multipel yang
menyebabkan gambaran nyeri yang konstan.
Terapi hormon pasca menopause secara efektif menurunkan jumlah
semua fraktur osteoporotik, suatu kesimpulan yang kini telah dibuktikan oleh
percobaan klinis terandomisasi, terkontrol-plasebo.
Terapi estrogen menstabilkan proses osteoporosis atau mencegah terjadinya
proses tersebut. Selain menghambat aktivitas resorbsi osteoklastik, estrogen
meningkatkan absorbsi kalsium oleh suus, meningkatkan 1.25-
dihidroksivitamin D (bentuk aktif dari vitamin D), meningkatkan konservasi
kalsium oleh ginjal, dan mendukung ketahanan hidup osteoblas. Dengan terapi
estrogen, kita dapat mengharapkan penurunan 50-60% pada fraktur lengan dan
panggul, dan bila estrogen diperkuat dengan kalsium, dapat dijumpai penurunan
80% pada fraktur kompresi vertebra. Penurunan ini terutama dijumpai pada
pasien-pasien yang telah meminum estrogen selama lebih dari 5 tahun.
Suplementasi kalsium itu sendiri dapat menawarkan perlindungan terhadap
osteoporosis pasca menopause. Hal ini sebagian disebabkan karena fakta bahwa
penelitian-penelitian kalsium telah dilakukan pada wanita-wanita yang berada
pada tahun-tahun pasca menopause yang sangat dini, di tengah-tengah
hilangnya kalsium dengan cepat yang disebabkan karena defisiensi estrogen,
dan efek estrogen ini mengalahkan respon apapun terhadap kalsium.
Suplementasi kalsium (1000 mg per hari) menurunkan kehilangan tulang dan
mengurangi fraktur, khususnya pada individu-individu dengan asupan harian
yang rendah.
Vitamin D, Osteoporosis yang berhubungan dengan penuaan secara bermakna
disebabkan karena perubahan-perubahan pada metabolisme vitamin D dan
kalsium yang berhubungan dengan usia. Terdapat penurunan yang terkait-usia
pada kemampuan kulit dan ginjal untuk mensintesis bentuk aktif vitamin D
(1.25-dihidroksikolekalsiferol, juga dikenal sebagai 1.25-dihidroksivitamin D),
dan terdapat penurunan kemampuan usus untuk menyerap vitamin D dalam diit.
orang-orang yang berusia di atas 70 tahun harus menambahkan 800 unit vitamin
D pada suplementasi kalsium.
Bifosfonat efektif dalam mencegah kehilangan tulang dengan meningkatkan
apoptosis osteoklas dan menghambat resorbsi tulang. Bifosfonat terikat pada
mineral tulang di mana mereka bertahan selama bertahun-tahun, sehingga
tulang lebih tahan terhadap aksi osteoklastik. Generasi pertama bifosfonat
(etidronate) juga menghambat mineralisasi tulang, sehingga terapi intermiten
diperlukan. Generasi kedua bifosfonat memungkinkan pembentukan tulang
terjadi sambil menghambat resorbsi tulang dan memungkinkan penggunaan
terapi kontinyu, bukan intermiten. Bifosfonat harus diminum pada keadaan
perut kosong dengan satu gelas penuh air sekurang-kurangnya 30 menit
sebelum makan guna mencapai absorbsi yang adekuat.
Kalsitonin meregulasi kalsium plasma dengan cara menghambat resorbsi tulang
dan dapat digunakan pada pasien-pasien yang merupakan kontraindikasi untuk
mendapat terapi hormon. Penelitianpenelitian pemberian kalsitonin salmon
intranasal (200 IU per hari) mengindikasikan bahwa ia dapat meningkatkan
densitas tulang. Terapi kalsitonin harus dikombinasikan dengan vitamin D dan
suplementasi kalsium.
Fluorida
Penambahan fluorida, suatu stimulator yang penting untuk pembentukan tulang,
dapat menawarkan perlindungan yang bermakna terhadap osteoporosis. Respon
klinisnya bergantung pada formulasi dan dosisnya. Natrium fluorida lepas
lambat (25 mg dua kali sehari diberikan 12 kali tiap 14 bulan) dikombinasi
dengan suplementasi kalsium menurunkan angka fraktur vertebra tanpa disertai
efek samping yang bermakna.
Tibolone secara struktural terkait dengan progestin 19-nortestosteron yang
digunakan secara klinis dalam obat-obat kontrasepsi oral. Tibolone mencegah
kehilangan tulang pada wanita-wanita pasca menopause sama efektifnya dengan
terapi estrogen atau estrogen-progestin.
Teriparatide (Forteo) adalah fragmen asam amino 1-34 rekombinan manusia
dari hormon paratiroid. Satu lagi preparat di Kanada tersusun atas deret asam
amino 1-84. Ini adalah satu-satunya terapi, selain fluorida, yang langsung
menstimulasi osteoblas untuk membentuk tulang baru. Diberikan pada wanita-
wanita dengan osteoporosis sekali sehari, dosis subkutan, teriparatide
menghasilkan peningkatan yang lebih besar pada densitas tulang dan
kemungkinan penurunan fraktur yang lebih besar pula bila dibandingkan dengan
estrogen atau alendronate.

DAFTAR PUSTAKA

Leon speroff, cinical gynecologyc endocrinology and infertility, eight edition,

Anda mungkin juga menyukai