Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2

HUKUM ISLAM DAN ACARA PERADILAN AGAMA


DOSEN/TUTOR YULI RAKHMAWATI, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH
NAMA : SITI NURMALA SOLIHAT
NIM : 042076779

FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL, DAN ILMU POLITIK (FHISIP)


UNIVERSITAS TERBUKA
UNIT PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH (UPBJJ)
BOGOR
POKJAR BINA MAHUNIKA
TAHUN 2023
TUGAS 2
Pada Tahun 2019 Pemerintah Indonesia telah menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit
yang menjadi bencana berskala nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020
tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Sebagai Bencana Nasional, oleh sebabnya pemerintah selalu menghimbau terkait
pelaksaanaan physical distancing, memakai masker, dan beraktivitas baik bekerja, belajar,
dan produktif dirumah. Hal ini tentu saja berkibat pada setiap lini kehidupan umat manusia,
termasuk di dalamnya juga pada bidang perbankan syariah. Hal ini mengakibatkan
terbukanya peluang bagi nasabah yang mengalami kendala dalam kegiatan perbankan dan
pelunaasan kewajiban tidak memenuhi prestasinya dengan alasan di atas. Kemukakan
pendapat saudara terkait dengan kasus di atas, kemukakan analisa hukum yang akurat dan
komperhensif di tinjau dari :
1. UU Hukum Perbankan Syariah
Jawab:
Dalam hukum perbankan syariah dikenal mengenai 2 kelembagaan yakni :
1. Kelembagaan Perbankan Syariah
2. Industri Keuangan Syariah Nonbank (IKBN Syariah)
Karena pertanyaan diatas ditinjau dari UU Hukum Perbankan, maka saya akan
menganalisis point pertama, dimana kelembagaan perbankan syariah terdiri atas :
a. Bank Syariah umum
Adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran (vide Pasal 1 angka 8 UU No 21 Tahun 2008). Ketentuan lebih lanjut
mengenai bank umum syariah diatur melalui PBI Nomor 11/3/PBI/2009 tentang
Bank Umum Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor
15/13/PBI/2013 Pasal 2 menegaskan bahwa bentuk badan hukum Bank (Bank
Umum Syariah, pen) adalah perseroan terbatas Kemudian, Pasal 5 menegaskan
bahwa modal disetor untuk mendirikan bank ditetapkan paling kurang sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
b. Unit Usaha Syariah
UUS adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah atau unit syariah (vide Pasal 1 angka 10 UU Nomor 21 Tahun 2008).
c. Bank Pembiayaan Rakyat syariah
Bank pembiayaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (vide Pasal 1 angka 9 UU
Nomor 21 Tahun 2008). PBI yang mengatur bank pembiayaan rakyat syariah,
yakni PBI Nomor 11/23 / PBI / 2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 2 PBI Nomor 11/23 / PBI / 2009 menegaskan bahwa bentuk badan hukum
BPRS adalah perseroan terbatas Kemudian, Pasal 4 menegaskan bahwa BPRS
hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin
Bank Indonesia. Pemberian izin sebagaimana dimaksud dilakukan dalam dua
tahap, yakni (a) persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian BPRS, dan (b) izin usaha, yaitu ızın untuk melakukan kegiatan usaha
BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) selesai dilakukan.
Kegiatan usaha bank syariah ataupun unit usaha syariah secara umum dibedakan
menjadi tiga macam, yakni bidang penghimpun dana, penyalur dana, dan jasa.
1. Kegiatan penghimpun dana
Secara umum meliputi giro, tabungan, dan deposito. Dalam kegiatan
menerbitkan produk dimaksud, pihak bank syariah atau unit usaha syariah
tidak diperkenankan menggunakan prinsip bunga, tetapi harus menggunakan
prinsip titipan (wadiah) atau prinsip bagi hasil (mudharabah)
2. Kegiatan penyalur dana
prinsip yang digunakan sebagai pengganti bunga yakni bank syariah atau unit
usaha syariah dapat menerapkan akad tradisional Islam yang sudah sejak lama
dikenal Akad tradisional Islam yang dapat digunakan dalam kegiatan
penyaluran dana berupa produk pembiayaan adalah (a) akad jual beli
(murabahah, salam, dan istisna), (b) akad bagı hasıl (mudarabah dan
musyarakah); (c) akad sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahiyya bit
tamlik), serta (d) akad pinjam-meminjam nirbunga (qardh dan gardh al-
hasan).
3. Kegiatan dan Produk dibidang jasa
Kegiatan dan Produk di Bidang Jasa Untuk mengetahui kegiatan di bidang ini,
Anda perlu kembali membuka Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah serta peraturan bank Indonesia dan surat edaran
Bank Indonesia terkait. Dalam undang-undang dimaksud, dikenal istilah akad
hawalah, akad kafalah, akad wakalah, dan akad sharf.
Pelunasan kewajiban tidak memenuhi prestasinya" dalam konteks hukum perbankan syariah
merujuk pada situasi di mana nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran atau
pelunasan pembiayaan sesuai dengan yang telah disepakati dalam akad pembiayaan
syariah. Dalam situasi Covid 19 terklasifikasi dalam kegiatan usaha bank syariah pada point 2
dan 3:
2. Kegiatan penyalur dana
Pembiayaan akad jual beli, salam dan istisna pembiayaan dilakukan atas suatu
barang dengan keuntungan yang disepakati, pembiayaan barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga dilakukan terlebih dahulu dengan syarat
tertentu, pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
yang disepakati. Dimana dalam kegiatan ini nasabah mempunya kewajiban
untuk melakukan pelunasan pembiayaan.
3. Kegiatan dan Produk dibidang jasa
Hawalah pengaliahan hutang dari pihak berutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung atau membayar. Kafalah adalah akad pemberian jaminan yang
diberikan satu pihak kepada pihak lain. Dalam kegiatan ini nasabah mempunya
kewajiban untuk melakukan pembayaran atas jassa yang digunakan.
Apabila terjadi pandemi COVID-19 maka dapat dianggap sebagai keadaan memaksa (force
majeure) yang dapat mempengaruhi kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban
keuangannya. Dalam hukum perbankan syariah, terdapat prinsip keadilan dan kepatuhan
terhadap syariat Islam yang harus diperhatikan dalam menangani nasabah yang mengalami
kesulitan akibat pandemic.
Keadaan memaksa di perbankan syariah juga mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pada
Pasal 40 yang berbunyi: “Keadaan memaksa atau darurat adalah keadaan dimana salah satu
pihak yang mengadakan akad terhalang untuk melaksanakan prestasinya”. Sedangkan
menurut KHES, yakni pada Pasal 43 ayat 1, yang rumusannya sebagai berikut: “Kewajiban
menanggung kerugian yang disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak dalam
perjanjian sepihak dipikul oleh peminjam”, kemudian ayat selanjutnya: “Kewajiban
menanggung kerugian yang disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak
dalam perjanjian timbal balik, dipikul oleh pihak yang meminjamkan”.
2. UU Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah
Jawab:
Dalam hukum di Indonesia, ada 2 (dua) macam penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu
penyelesaian secara litigasi dan secara non litigasi. Penyelesaian litigasi yaitu wilayah
Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, sedangkan non litigasi bisa dibagi 2 (dua) yaitu melalui arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa yaitu mengarah pada pencapaian denga cara perdamaian
yang didalamnya ada konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian Ahli.
Regulasi yang diterapkan pada masa pandemic yakni Perma No.14 Tahun 2016 tentang
Tatacara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah bertujuan untuk menjamin pelaksanaan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui jalur pengadilan, dengan
Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan
mengadili perkara ekonomi syariah, maka dengan adanya pandemi Covid-19 yaitu keadaan
yang memaksa/darurat sehingga para pihak dibolehkan tidak hadir secara langsung ke
pengadilan, melainkan secara audio visual jarak jauh.
Adapun sengketa yang sering terjadi masa covid 19 yakni akad murahabah, kemudian diikuti
oleh mudaharabah dan kemudian perlawanan eksekusi. Apabila para pihak terjadi
permasalahan pembiayaan maka penyelesaian sengketa yang bisa diajukan melalui mediasi di
Pengadilan Agama. Penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah proses pemecahan masalah
yang mana pihak luar tidak memihak dengan pihak yang bersengketa untuk membantu
menyelesaikan sengketa itu. Maka mediasi tetap berjalan dilakukan dengan cara
teleconference, yang tidak bertentangan dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016. Kehadiran
secara audio visual jarak jauh (teleconference) ini sudah dianggap hadir secara langsung
dalam Pasal 5 ayat (3) yaitu pertemuan mediasi tetap bisa dilakukan secara media audio
visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak datang untuk saling melihat dan
mendengar, cara ini dianggap sah sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 6 ayat (2)
yaitu kehadiran para pihak secara audi visual jarak jauh yang dimaksud pada Pasal 5 ayat (3)
dianggap sebagai kehadiran secara langsung di Pengadilan. Dalam hal ini bahwa pada
pandemi Covid-19 ini hakim mediator atau bahkan mediator luar tidak perlu menerapkan
secara normatif pada pelaksanaan mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang
mediasi, diperlukan adanya keberanian hakim dan mediator mengambil langkah hukum
supaya pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Keuntungan menyelesaikan sengketa melalui mediasi ini bahwa sengketa bisa diselesaikan
dengan win-win solution, waktu yang digunakan tidak terbuang-buang, biaya lebih ringan,
tetap damai hubungan antara pihak yang bersengketa. Oleh karena itu pelaksanaan
penyelesaian sengketa melalui mediasi di Pengadilan Agama tidak jauh beda dari sebelum
adanya pandemi ini, yang menjadi pembeda hanya adanya penerapan protokol kesehatan
sesuai yang sudah ditetapkan pemerintah supaya memutus mata rantai Covid-19 di Indonesia.

3. Tinjauan Hukum Perdata


Jawab:
"Pelunasan kewajiban tidak memenuhi prestasinya" merujuk pada situasi di mana pihak yang
memiliki kewajiban dalam suatu perjanjian atau kontrak tidak dapat memenuhi kewajibannya
sesuai dengan yang telah disepakati. Dalam konteks hukum perdata, ini dapat merujuk pada
wanprestasi, yaitu ketidakmampuan atau kelalaian pihak yang berjanji untuk memenuhi
kewajibannya dalam suatu perjanjian. Wanprestasi dapat terjadi baik karena kesalahan yang
disengaja maupun tidak disengaja, dan dapat melibatkan berbagai jenis kewajiban, seperti
pembayaran, pengiriman barang, atau penyediaan jasa.
Dalam hukum perjanjian, pelunasan kewajiban yang tidak memenuhi prestasinya
dapat menjadi dasar bagi pihak lain untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak yang
wanprestasi. Hal ini dapat melibatkan upaya penyelesaian sengketa melalui mekanisme
hukum, seperti gugatan perdata untuk menuntut pemenuhan kewajiban yang tidak terpenuhi
atau ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat wanprestasi.
Namun pada kasus diatas tidak termasuk wanprestasi karena kejadian luar biasa diluar
kehendak manusia untuk itu kejadian tersebut tercantum dalam KUH Perdata pada Pasal
1244 KUH Perdata menyebutkan “Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force
majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak
sudah dapat menduga sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal
tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para pihak”.
Pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure
selain Pasal 1244 KUH Perdata yang sudah disebutkan di atas, antara lain pada KUH Perdata
Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan
memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Untuk itu dapat ditarik kesimpulan dalam kasus perbankan syariah yang terkena dampak
Covid-19, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk penyelesaiannya.
1. pihak bank dapat melakukan komunikasi terbuka dan transparan dengan nasabahnya
mengenai situasi ekonomi yang sulit akibat pandemi ini. Bank dapat memberikan
pemahaman kepada nasabah mengenai kesulitan yang dihadapi dan upaya yang telah
dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
2. bank dapat menjalin dialog dengan nasabah yang terdampak untuk mencari solusi
yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Misalnya, bank dapat
menawarkan restrukturisasi kewajiban dengan memberikan kelonggaran pembayaran
atau mengubah jangka waktu pembayaran. Jika restrukturisasi kewajiban tidak
memungkinkan, bank dapat menjalankan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada
dalam perjanjian bank syariah. Hal ini melibatkan mediasi, arbitrasi, atau prosedur
alternatif penyelesaian sengketa lainnya yang disetujui bersama oleh bank dan
nasabah.

Pada akhirnya, tujuan penyelesaian kasus perbankan syariah di tengah pandemi


Covid-19 adalah mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan bagi
kedua belah pihak. Penting untuk menjaga hubungan baik antara bank dan nasabah
serta berusaha mencapai penyelesaian yang mempertimbangkan kepentingan bersama
dan efek jangka panjang dari pandemi ini.

Sumber :
1. Tinjauan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) dalam Sengketa Perjanjian
Murabahah di BNI Syariah Cabang Medan
2. BMP Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama
3. Hambatan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Mediasi Pada Masa
Pandemi Covid-19

Anda mungkin juga menyukai