Anda di halaman 1dari 15

Peranan Penggunaan Agunan Dan Jaminan

Dalam Pembiyaan Di Bank Syariah


Oleh:

Feby Angel Auralia

Abstrak

Perbankan syariah atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem
manajemen perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan
sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut
pinjaman dengan mengunakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada
usaha- usaha berkategori terlarang (haram). Bagi kaum muslimin, kehadiran bank islam dapat
memenuhi kebutuhan akan sebuah lembaga keuangan yang bukan hanya sebatas melayani secara
ekonomi namun juga spiritual. Konsepsi jaminan dan agunan perbankan konvensional dan
perbankan syariah memiliki dasar pemikiran yang berbeda. Jaminanan dan agunan dalam bank
konvensional muncul dikarenakan adanya hubungan kreditur-debitur. Hubungan ini berimplikasi
pada kewajiban hukum adanya jaminan dan agunan berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pada setiap transaksi kredit. Sedangkan perbankan syariah
melihat konsep jaminan dan agunan dari konsep Rahn dan Kafalah, meskipun dalam realitasnya
praktik jaminan dan agunan bank syariah masih juga menggunakan norma hukum jaminan yang
digunakan dalam sistem hukum positif Indonesia yang bersumber dari hukum Barat.

Abstract

Sharia banking or Islamic banking (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) is a banking management


system whose implementation is based on Islamic law (sharia). The formation of this system is
based on the prohibition in Islam to lend or collect loans using loan interest (usury), as well as
the prohibition to invest in businesses that are categorized as forbidden (haram). For Muslims,
the presence of an Islamic bank can fulfill the need for a financial institution that serves not only
economically but also spiritually. Conception of guarantees and collateral in conventional
banking and Islamic banking has a different rationale. Guarantees and collateral in conventional
banks arise because of the creditor-debtor relationship. This relationship has implications for
legal obligations to guarantee and collateral based on the provisions of Article 1131 of the Civil
Code on every credit transaction. Whereas Islamic banking sees the concept of guarantees and
collateral from the concepts of Rahn and Kafalah, even though in reality the practice of guarantees
and collateral Islamic banks still use the guarantee law norms used in the Indonesian positive
legal system which originates from Western law.

1
A. Pendahuluan satunya terlihat nyata adalah keberadaan
agunan dalam pembiyaan bank syariah yang
Perkembangan lembaga keuangan islam dinyatakan dalam ketentuan pasal 23 ayat (2)
mengalami perkembangan pesat di dunia UU No. 21 tahun 2008 berkaitan dengan
mulai berbagai model legal framework of pengaturan kelayakan penyaluran dana.
Islamic institution yang dipraktikan, baik di Berdasarkan pada ketentuan tersebut dapat
Negara mayoritas maupun minoritas muslim dilihat dalam praktik perbankan syariah
seperti inggris. Pada awal dipraktikannya sangat menitikberatkan keberadaan agunan
sistem perbankan syariah di indonesia, dalam penilaian pemberian pembiyaan pada
kondisi perbankan syariah yang tidak nasabah.
mengalami negative spread pasca krisis
moneter 1998, memunculkan keinginan Ketentuan ini berbeda dengan penyebutan
pemerintah untuk mereformasi legaslital agunan dalam ketentuan pasal 8 UU No. 10
formal perbankan syariah melalui tahun 1998 yang tidak dinyatakan secara
diundangkannya UU No. 10 Tahun 1998 tegas dalam pasal tersebut, padahal jika
tentang perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 merujuk pada pasal 1131 KUH perdata jelas
tentang perbankan. Aturan ini mengatur bank menyebutkan seluruh hak kebendaan
yang beroprasi secara ganda(dual system seseorang menjadi jaminan bagi seluruh
bank), kemudian dilanjutkan dengan perikatan. Ketentuan pasal 8 UU No. 10
dibuatnya arsitektur perbankan Indonesia tahun 1998 ini juga berbeda dengan
(API). ketentuan pasal 24 ayat (1) UU No. 14 tahun
1976 tentang perbankan yang secara tegas
Tuntutan agar pengaturan tentang bank menyebutkan keharusan pemberian jaminan
syariah di Indonesia lebih ditingkatkan dalam kredit. Jika melihat fakta-fakta
mengakibatkan dikeluarkannya ketentuan tersebut maka tulisan ini akan melihat apakah
UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan terjadi pergeseran kedudukan jaminan dan
Syariah, yang memberikan legaslitasi kuat agunan dalam norma UU No. 21 tahun 2008
atas keberadaan perbankan syariah di dan UU No. 7 tahun 1998, kemudian
indonesia. Aturan ini merupakan kelanjutan menjabarkan perbedaan antara jaminan dan
dari policy yang dikeluarkan oleh bank agunan dalam bank konvensional dan bank
indonesia, dimana bank indonesia pada tahun syariah.
2002 telah menerbitkan “cetak biru
pengembangan Bank Syariah di indonesia”. Bank Islam adalah sebagai sebuah
UU No. 21 tahun 2008 memperkenalkan alternatif lembaga jasa keuangan di samping
kegiatan usaha antara bank umum syariah perbankan konvensional yang telah lama ada.
(BUS), unit usaha syariah (UUS), dan bank Ini terkait dengan tugas bank yang
pembiyaan rakyat syariah (BPRS). merupakan lembaga perantara jasa keuangan
(financial intermediary), dengan tugas
Paska berlakunya ketentuan UU No. 21 pokoknya menghimpun dana dari
tahun 2008 perubahan nyata terlihat dalam masyarakat, dan diharapkan dengan dana
nomenklatur hukum yang mengatur yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan
ketentuan tentang perbankan syariah. Salah

2
dana kredit atau pembiayaan yang tidak yang dapat meringankan beban pemberi
disediakan baik oleh pihak swasta maupun pinjaman apabila peminjam gagal memenuhi
negara dalam upaya meningkatkan taraf tanggung jawabnya’. Islam tidak memandang
hidup rakyat banyak.3 Peran bank sebagai hina ide ini dan telah menetapkan prinsip
perantara keuangan adalah mengambil posisi yang luas terhadap pandangan ini.5 Salah
tengah di antara orang-orang atau pihak yang satu jenis pembiayaan yang dipraktikkan
berlebihan dana (penyimpan, penabung, dalam perbankan syariah adalah pembiayaan
deposan) dan orang- orang/pihak yang mudharabah. Ia adalah pembiayaan yang
membutuhkan atau kekurangan dana disalurkan kepada pihak lain untuk suatu
(peminjam, debitor, investor) usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini
bank berperan sebagai shahib al-maal
Allah swt berfirman, yaitu: Artinya: Dan (pemilik dana) yang membiayai 100%
jika (orang yang berhutang itu) dalam kebutuhan suatu usaha, sedangkan nasabah
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia bertindak sebagai mudharib (pengelola
berkelapangan. dan menyedekahkan dana).
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. Al- Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh
Baqarah/2: 280). Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada
Berdasarkan ayat tersebut, adalah sebuah prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah
kenyataan, kredit/pembiayaan kepada tidak ada jaminan (agunan), namun agar
pengusaha kecil sangat tidak mungkin mudharib tidak melakukan penyimpangan,
dilaksanakan dengan menggunakan Agunan. bank dapat meminta jaminan (agunan) dari
Berdasarkan konsep Bank Muamalat mudharib atau pihak ketiga, dan jaminan
seyogianya menerapkan hal tersebut secara (agunan) ini hanya dapat dicairkan jika
wajar. Ternyata bank muamalat berhasil, mudharib terbukti melakukan pelanggaran
tidak saja berhasil dalam menyalurkan dari terhadap hal-hal yang telah disepakati UU
22% pembiayaan dalam bentuk KUK (Kredit No. 10 Tahun 1998 pasal 8 menyatakan
Usaha Kecil), namun juga berhasil menekan bahwa dalam menyalurkan dana, bank wajib
kredit macet pada tingkat nol persen. mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
Pembiayaan usaha kecil yang sudah dan akan kesanggupan debitur untuk melunasi
dilaksnakan bank muamalat juga hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
menggunakan dana sendiri tanpa bantuan
pemerintah, yaitu sumber dana yang berasal Jika dianalisis fatwa yang dikeluarkan
dari nasabah tabungan-tabungan, deposan oleh Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-
dan pemegang saham. MUI/IV/2000, yaitu menjelaskan bahwa
pada prinsipnya dalam pembiayaan
’karena sejak zaman dahulu, pemberi mudharabah tidak ada jaminan (agunan).
pinjaman tidak pernah lagi menaruh Maka berpijak dari kalimat fatwa DSN
kepercayaan penuh kepada peminjam hanya tersebut sangat tidak tepat jika bank islam
berdasarkan perjanjian berdasarkan lisan, sebagai pengguna sistem operasional
untuk itu harus ada tanggungan yang jelas

3
perbankan syariah menggunakan agunan untuk dikelola orang lain adalah karena
dalam segala pembiyaan. Calon peneliti adanya kepercayaan. Dalam kaitannya pada
memberikan argumentasi yang mendasar, praktik perbankan, mudharib berkedudukan
yaitu tujuan bank islam adalah untuk sebagai seorang yang meminjam. Dengan
membantu memajukan pertumbuhan adanya persyaratan jaminan (agunan), maka
perekonomian ditengah-tengah kemiskinan posisi calon mudharib ini menjadi sulit.
umat (meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak) terkhusus kepada perekonomian B. Pembahasan
kaum dhuafa. Kemudian, jika diperhatikan 1. Konsep Jaminan Syariah
rata-rata orang yang datang ke bank untuk
meminjam dana dalam rangka memajukan Sebelum menganalisasi implementasi
pendapatan yang bersifat produktif semuanya konsep jaminan syariah, perlu pemahaman
adalah orang- orang yang merasa mengenai jaminan syariah. Pemahaman ini
kekurangan. Jika orang tersebut tidak merasa dimulai dari pengertian tentang jaminan.
kekurangan rasanya tidak perlu orang untuk Jaminan dalam bahasa Arab dikenal dengan
datang ke bank mengajukan pinjaman. istilah al-rahn. Al-rahn dalam bahasa Arab
Artinya tidaklah tepat jika segala sesuatu memiliki pengertian tetap dan terus-menerus,
bentuk pengajuan pinjaman keperbankan yang didasari dari bahasa Arab
syariah menggunakan agunan atau jaminan. ‫ ُ)مال َءا ُرال ّهاِن‬rahinulma’u) yang artinya
apabila tidak mengalir dan kata ‫ن ِع ْ َم ة َنِها َر‬
Alasannya mengapa agunan atau jaminan ‫ )ة‬rahinatul ni’mah) yang bermakna nikmat
tidak tepat untuk digunakan? Karena, setiap yang tidak putus. Menurut Sayyid As-Sabiq,
orang yang datang untuk meminjam uang al-rahn menurut syara’ memiliki arti
kebank karena ketiadaan harta, seandainya menjadikan suatu barang yang mempunyai
ada harta yang bisa dijadikan jaminan atau nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai
agunan berarti orang tersebut tergolong orang jaminan hutang, yang memungkinkan untuk
yang tidak perlu dibantu berdasarkan konsep mengambil seluruh/sebagian hutang dari
Islam karena dianggap mampu. Apa bedanya barang tersebut.
bank konvensional dengan bank
islam/syariah jika menggunakan agunan Dengan demikian, esensi al-rahn adalah
(jaminan)? Sangat zhalim menurut peneliti menahan barang milik debitur atau si
jika mudharib (pengelola dana) meminta peminjam (rahin) yang mempunyai nilai
agunan (jaminan) dengan alasan tidak adanya ekonomis sebagai jaminan untuk menjamin
kepercayaan yang dianggap sebagai usaha pelunasan hutang debitur kepada kreditur
tingkat kehati-hatian, dalam ajaran Islam hal atau yang memberikan pinjaman
ini dapat disebut sebagai ungkapan tidak (marhunbih). Dalam al-rahn terdapat unsur
amanah, sesuai firman Allah SWT di atas adanya barang yang dijadikan jaminan
(QS. An-Nisa’/4: 58). barang yang dijadikan jaminan tersebut
bernilai ekonomis dan bermanfaat serta dapat
Pada hakikatnya, seseorang yang dimanfaatkan oleh marhunbih sebagai
meminjamkan hartanya atau memberikannya penerima al-rahn.

4
Memberikan manfaat disini dimaksudkan dalam pelaksanaannya bank harus
bahwa al-rahn memberikan ketenangan memperhatikan asas-asas perkreditan atau
kepada marhunbih (pemilik uang) dan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. yang sehat. Untuk mengurangi risiko
Selain itu, unsur yang penting lainnya tersebut, jaminan pemberian kredit atau
timbulnya al-rahn dikarenakan adanya pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
perjanjian utang piutang yang dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
mendahuluinya. Dalam konsep hukum kesanggupan Nasabah Debitur untuk
perjanjian dalam BW, al-rahn dapat melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
dianalogkan sebagai perjanjian ’accesoir’ diperjanjikan merupakan faktor penting yang
atau perjanjian ikutan (tambahan). harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
Sebagai konsep hukum jaminan, al-rahn memberikan kredit, bank harus belakukan
dapat dianalogkan sebagai lembaga jaminan, penilaian yang seksama terhadap watak,
sebagaimana lembaga jaminan konvensional kemampuan, modal, agunan, dan prospek
lain yang juga merupakan perjanjian usaha dari Nasabah Debitur. Mengingat
’accesoir’, yaitu hak tanggungan, fidusia dan bahwa agunan sebagai salah satu unsur
gadai. pemberian kredit, maka apabila berdasarkan
2. Norma Jaminan dan Agunan dalam unsur-unsur lain telah dapat diperoleh
UU Perbankan dan UU Perbankan keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur
Syariah mengembalikan utangnya, agunan dapat
hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih
Jika diperhatikan lebih lanjut, pada yang dibiayai dengan kredit yang
dasarnya norma dalam UU No. 10 Tahun bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya
1998 tentang Perbankan tidak menyebutkan didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah
secara spesifik kewajiban tersedianya yang bukti kepemilikannya berupa girik,
jaminan atas kredit. Pasal 8 ayat (1) UU No. betuk, dan lain-lain yang sejenis dapat
10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib
menyebutkan: Dalam memberikan kredit meminta agunan berupa barang yang tidak
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip berkaitan langsung dengan obyek yang
Syariah, Bank Umum wajib mempunyai dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan
keyakinan berdasarkan analisis yang tambahan.
mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk Ketentuan tersebut berbeda jika melihat
melunasi utangnya atau mengembalikan ketentuan lama undang-undang perbankan.
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang Pasal 24 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1967
diperjanjikan. Namun jika merujuk pada tentang Perbankan menyebutkan: “Bank
Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan tersebut Umum tidak memberikan kredit tanpa
dikatakan: Kredit atau pembiayaan jaminan kepada siapapun juga”. Pada
berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan perkembangan pengaturan norma agunan
oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pembiayaan perbankan syari’ah,

5
secara tegas disebutkan dalam Bagian didasari pada perjanjian pinjam meminjam,
Kelayakan Penyaluran Dana Pasal 23 ayat (2) sebagaimana pernyataan Subekti yang
UU Perbankan Syariah disebutkan bahwa: menyebutkan bahwa segala macam
Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana pemberian kredit itu pada hakikatnya
dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah merupakan suatu perjanjian pinjam
dan/atau UUS wajib melakukan penilaian peminjam sebagaiman diatur dalam Pasal
yang saksama terhadap watak, kemampuan, 1754 s/d Pasal 1769 KUHPer. Sedangkan
modal, Agunan, dan prosepek usaha dari pendapat lain sebagaimana dikemukan oleh
calon Nasabah Penerima Fasilitas. Mariam Darus Badrulzaman dan Djuhaendah
Hasan, bahwa pada dasarnya perjanjian
Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU kredit memilik identitas yang berbeda dengan
Perbankan Syariah menyebutkan: Dalam perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian
melaksanakan penilain terhadap Agunan, pinjam uang. Salah satu identitasnya yang
Bank syariah dan/atau UUS harus menilai berkaitan dengan adanya jaminan, yakni
barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai pemaknaan perjanjian kredit bank harus
dengan fasilitas Pembiayaan yang mempunyai keyakinan atas kemampuan
bersangkutan dan barang lain, surat berharga debitur dalam pengembalian kredit, di mana
atau gransi risiko yang ditambahkan sebagai hal ini diformulasikan dalam bentuk jaminan
Agunan tambahan, apakah sudah cukup baik berupa materiil maupun immateri.
memadai, sehingga apabila Nasabah
Penerima Fasilitas kelak tidak dapat melunai Pada praktiknya, bank harus melakukan
kewajibannya, Agunan tersebut dapat analisis pemberian kredit agar terhindar dari
digunakan untuk menanggung pembayaran potensi menjadi kredit macet. Kredit bank
kembali pembiayaan dari Bank Syariah mengandung resiko, sehingga dalam
dan/atau UUS yang bersangkutan. pelaksanaanya bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan yang sehat. Asas-asas
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah perkreditan yang sehat ini di antaranya:
apakah terjadi pergeseran norma tentang
Agunan yang dinyatakan secara tegas dalam a. Bank tidak dapat diperkenankan
undang-undang a quo perbankan syariah di untuk memberikan kredit tanpa
Indonesia saat ini, atau apakah pembiayaan di adanya suatu perjanjian tertulis.
bank syariah memang mengadopsi konsep b. Bank tidak dapat diperkenankan
perjanjian kredit sebagaimana yang dipahami untuk memberikan kredit pada
dalam konsepsi hukum privat positif di usaha yang sejak semula telah
Indonesia. diperhitungkan kurang sehat dan
akan membawa kerugian.
3. Jaminan/Agunan dalam Perjanjian c. Bank tidak dapat diperkenankan
Kredit Bank Konvensional dan untuk memberikan kredit untuk
Pembiayaan Bank Syariah pembelian saham dan modal kerja
Ditelaah lebih lanjut pada dasar dalam rangka kegiatan jual beli
teoritisnya, perikatan perjanjian kredit saham.

6
d. Bank tidak dapat diperkenankan Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
untuk memberikan kredit menyembunyikan persaksian. Dan
melampaui batas maksimum barangsiapa yang menyembunyikannya,
pemberian kredit (legal lending maka sesungguhnya ia adalah orang yang
limit). berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”
Dengan pemaknaan demikian pula, dapat
dipahami bahwa Agunan (jaminan kredit) ini Jaminan dalam praktik lembaga keuangan
merupakan jenis perjanjian accesoir yang syariah berlandaskan pada Fatwa DSN No.
mengikuti perjanjian pokok, dimana hal ini 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn
merupakan bagian dari realisasi prinsip kredit Tasjily22 diperbolehkan adanya jaminan
melalui Collateral, serta berimplikasi pada barang. Dalam perkembangannya, Fatwa
status krediturnya sebagai kreditur sparatis DSN No. 92/DSNMUI/IV/2014 tentang
yakni kreditur pemegang jaminan kebendaan Pembiayaan yang Disertai Rahn (Al-Tamwil
Al-Mautsuq Bi Al-Rahn) menegaskan
Dalam praktik perbankan, jaminan ini adanya kebolehan penggunana agunan pada
diartikan secara luas meliputi agunan dan pembiayaan/penyaluran dana pada lembaga
penanggungan baik bersifat perorangan keuangan syariah. Ketika muncul perdebatan
maupun jaminan perusahaan. Jaminan secara apakah boleh atau tidak agunan digunakan
sempit hanya agunan saja, yang meliputi sebagai salah satu dasar pertimbangan
benda bergerak dan tidak bergerak, pembiayaan atau hutang dalam Bank Syariah,
sedangkan agunan pokok adalah barang, bahkan telah menjadi hal yang diwajibkan
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan bagi nasabah penerima fasilitas bank syariah
fasilitas pembiayaan, dan agunan tambahan (meskipun hal ini menjadi perdebatan adanya
merupakan barang-barang lain yang tidak agunan dalam pembiayaan mudharabah dan
dibiayai dengan fasilitas pembiayaan. musyarakah, yang dianggap tidak
Jaminan dalam konsepsi ekonomi Islam ini mengharuskan adanya jaminan), maka pada
dilahirkan dari konsep al-rahn (gadai) dan dasarnya DSN MUI sebagai sole interpretor
kafalah di mana ditafsirkan dari dalil Naqli of islamic economy di Indonesia saat ini telah
dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al Qur’an menafsirkan kebolehan praktik tersebut
surat Al-Baqarah ayat 283 dan Yusuf ayat 72 berdasarkan kedua fatwa yang dikeluarkan.
ditegaskan:
Untuk itulah fatwa Dewan Syariah
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
Nasional-Majelis Ulama Indonesia sangat
bermu´amalah tidak secara tunai) sedang
diperlukan agar berjalannya operasional
kamu tidak memperoleh seorang penulis,
lembaga keuangan syariah dapat sesuai
maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dengan apa yang diharapkan.
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian 1. Konsep Jaminan dan Pembiayaan
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai Mudharabah Shahib al-maal
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan (pemilik dana) membiayai 100%
hendaklah ia bertakwa kepada Allah kebutuhan suatu usaha, sedangkan
7
nasabah bertindak sebagai Mengapa hal ini diperlukan? Mengingat
mudharib (pengelola dana). Dalam banyaknya pemikiran dan persoalan yang
Islam, prinsip paling utama dalam timbul ketika sesuatu pembiayaan dilakukan
pelaksanaan akad mudharabah oleh pihak perseorangan atau pihak
adalah kepercayaan. perbankan. Hal ini dapat di lihah salah satu
2. Penjelasan Fatwa DSN-MUI No. dilemah yang muncul kepermukaan, yaitu:
07/DSN-MUI/IV/2000 Dalam Pembiayaan mudharabah didefinisikan oleh
fatwa yang dikeluarkan oleh para fuqa sebagai kerjasama dua pihak
Dewan Syariah Nasional No. dengan mempertemukan modal dan tenaga
07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan secara langsung serta membagi keuntungan
bahwa pada prinsipnya dalam secara bersama sama dan membebankan
pembiayaan mudharabah tidak ada kerugian kepada penyedia modal ini bergeser
agunan, namun agar mudharib menjadi kerjasama yang melibatkan tiga
tidak melakukan penyimpangan, pihak ,pemilik modal pengusaha dan bank.
bank dapat meminta jaminan dari Perbedaan makna tersebut berakibat
mudharib atau pihak ketiga, dan implikasi yang berbeda pada dataran tersebut
jaminan ini hanya dapat dicairkan teknis oprasional mudharabah ditandai
jika mudharib terbukti melakukan dengan penentuan pembagian keuntungan
pelanggaran terhadap hal-hal yang yang melibatkan tiga pihak yang akhirnya
telah disepakati. secara otomatis menetapkan agunan sebagai
3. Analisa Fatwa DSN-MUI tentang jaminan. Sementara itu beberapa ketentuan
Jaminan Pembiayaan Mudharabah tersebut ditingalkan bank yang menjadi
Dalam menganalisa fatwa DSN tumpuan berlangsungnya interaksi ekonomi
MUI tentang Jaminan Pembiayaan masyarakat modern.
Mudharabah ini penulis melakukan
Permasalahan ini memberikan gambaran,
pendekatan tujuan bank Islam
untuk mengetahui kedudukan seakan- akan agunan merupakan kata kunci
untuk dijadikan solusi pada kegiatan
hukum agunan pada pembiayaan
mudharabah, dengan sebelumnya pembiayaan, baik secara lembaga maupun
individu. Sehinngga tingkat maslahah jadi
menganalisis faktor-faktor
dipersyaratkannya jaminan pada terabaikan, dan lebih berorientasi pada hanya
profit.
pembiayaan mudharabah.
Walaupun agunan menurut undang-
undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun
4. Konsep Kegunaan Agunan 2008 tentang perbankan syariah pasal 26,
yaitu: Agunan adalah jaminan tambahan,
Pembahasan tentang konsep agunan baik berupa benda bergerak maupun benda
dalam pembiayaan dari aspek teoritis dan tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik
praktis pada perbankan syariah memberi agunan kepada bank syariah dan/atau UUS,
ruang untuk mengkaji ulang tentang guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah
permasalahan definisi dan teknisnya.

8
penerima fasilitas. Artinya agunan bukanlah fisik pembiayaannya terbilang
hal yang mutlak untuk diberlakukan. Senada cukup aman.
dengan program pemerintah yang berkaitan 2. BNI syariah, memiliki produk
dengan Peraturan Menteri Koordinator pembiayaan tanpa
Bidang Perekonomian nomor 8 Tahun 2015 mensyaratkan agunan barang
tentang Pedoman Pelaksanaan KUR. Pada fisik, melalui produk Hasanah
pasal 10 dibagian 4 agunan KUR adalah Card. Persyaratannya pun cukup
usaha yang dibiayai. mudah, yaitu fotokopi identitas
dan bukti penghasilan (slip
Secara umum ada beberapa bank syariah gaji). Direktur Bisnis BNI
yang telah memperaktekan kredit tanpa Syariah, Imam T Saptono,
agunan, yaitu: mengatakan secara umum ada
1. Bank Syariah Danamon, dengan dua hal yang menjadi
gamblang menawarkan produk pertimbangan BNI Syariah saat
kredit tanpa agunan (KTA) syariah mengeluarkan produk Hasanah
ke nasabah. UUS Danamon Card, yaitu strategi pemasaran
sebenarnya memiliki produk dan alasan bisnis. Imam
pembiayaan kepada koperasi menjelaskan dari aspek
karyawan, dimana koperasi harus marketing, kartu pembiayaan
mengajukan proposal pembiayaan, atau kartu kredit (konvensional)
laporan keuangan, hasil rapat akhir adalah salah satu ikon produk
tahun, dan beberapa persyaratan perbankan yang menunjukan
lainnya, yang tak mengharuskan modernitas, progresif dan
adanya jaminan fisik berupa memiliki emotional bonding
barang. Direktur Syariah yang cukup kuat dengan
Danamon, Herry Hykmanto, penggunanya. “Kami meyakini
mengatakan saat ini pihaknya bahwa pasar perbankan syariah
fokus pada pembiayaan usaha 5- 10 tahun ke depan akan
kecil menengah dan produktif. didominasi oleh kelompok
“Tidak ada produk KTA syariah di muda, produktif dan dari
UUS Danamon.” kalangan middle class. Oleh
1. Product Management Head karenanya kami yakin produk
UUS Danamon, Puti Hasanah Card adalah produk
Nurulharni, menambahkan yang dapat membawa wajah
produk pembiayaan kepada BNI Syariah secara keseluruhan
koperasi karyawan menerapkan sebagai bank syariah yang
persyaratan yang begitu ketat modern, energik dan tetap
untuk dipenuhi, sehingga walau peduli terhadap penerapan nilai-
tak ada agunan barang secara nilai syariah,” papar Imam.
Wacana adalah bagian dari

9
wacana yang berkembang ketidaksesuaian antara agunan
dalam masyarakat sehingga yang diajukan oleh nasabah
untuk meneliti perlu dilakukan dengan pedoman yang ditetapkan
analisis intlektual berkaitan oleh bank. Hal ini dapat
dengan agunan tersebut. Perlu menyebabkan nasabah kesulitan
diteliti bagaimana tentang suatu dalam memenuhi persyaratan
hal diproduksi dan pengajuan kredit.
dikontruksikan dalam 3. Ketidakpastian hukum, salah satu
masyarakat. (Eriyanto, dampak dari faktor-faktor negatif
2001:271). penggunaan agunan adalah
ketidakpastian hukum. Nasabah
dapat menghadapi resiko hukum
jika terjadi ketidakjelasan dalam
transaksi atau ketidaksesuaian
5. faktor negatif penggunaan agunan jaminan. Hal ini dapat berdampak
bagi nasabah dalam bank syariah negatif terhadap kepercayaan
nasabah terhadap bank syariah.
Berikut adalah faktor negatif penggunan
4. Keuntungan yang terbatas, faktor
agunan bagi nasabah dalam bank syariah:
negatif penggunaan agunan juga
1. Ketidakjelasan salah satu faktor dapat membatasi keuntungan
negatif penggunaan agunan yang dapat diperoleh oleh
adalah adanya ketidakjelasan nasabah. Ketidaksesuaian
dalam transaksi. Hal ini sering jaminan atau ketidakjelasan
terjadi ketika bank dan nasabah transaksi dapat mengakibatkan
tidak menyepakati secara jelas penolakan pengajuan kartu kredit
mengenai jenis agunan yang oleh bank, sehingga nasabah tidak
digunakan, nilaiagunan, dan juga dapat memanfaatkan agunan
tata cara penggunaannya. untuk memenuhi kebutuhan
Ketidakjelasan ini dapat finansialnya.
mengakibatkan ketidakadilan 5. Kerugian financial, jika terjadi
bagi nasabah jika terjadi masalah dalam agunan, nasabah
permasalahan dalam pelunasan dapat mengalami kerugian
kredit. financial yang signifikat salah
2. Ketidaksesuaian jaminan, faktor satu contohnya adalah jika
negatif lainnya adalah nasabah harus membayar denda
ketidaksesuaian jaminan. Bank atau biaya tambahan akibat
syariah memiliki pedoman yang ketidakjelasan transaksi atau
ketat dalam menentukan jenis ketidaksesuaian jaminan.
agunan yang dapat diterima.
Namun, terkadang terdapat

10
Jika dilihat dalam kajian teoritis atas tanggung jawab kepada pihak ketiga untuk
kebaradaan jaminan tersebut, pada menjamin keamanan atas simpanan tersebut
prinsipnya dapat merujuk pada Hasbi as- di bank syariah. Terlebih lagi, jika melihat
Shiddiqi menjelaskan bahwa hukum Islam track record keberadan bank syariah yang
bisa berubah menurut situasi dan kondisi, masih dianggap baru di dunia perbankan
sebagaimana kaidah fiqh “taghayyiru al- selalu memilik resiko, maka bank diharuskan
ahkam bi taghayyiru al-azman wa al- meminimalisir kemunculan resiko tersebut.
amkan”.Menurut beliau, ada dalil pokok Dengan demikian, pembebanan agunan
yang mendasari hal tersebut, yaitu: Pertama, dalam pembiayaan syariah ini pada dasarnya
kaidah dalam fiqh muamalat yang merupakan realiasasi dari prinsip-prinsip
menyebutkan “hukum asal bagi muamalat pengelolaan bank Syariah berupa prinsip
ialah semua perbuatan diperbolehkan, kehati-hatian, di samping prinsip lain yang
kecuali ada dalil yang melarangnya”.Kedua, diakui seperti prinsip kepercayaan, prinsip
hadis Nabi “Anda lebih tau tentang dunia mengenal nasabah, dan prinsip kerahasiaan.
anda”. Pada praktik bank syariah, ketentuan
Di samping itu, dalam kaidah-kaidah fikih pengikat pada jaminan/agunan ini masih
juga dikenal kaidah “al-adah al-muhakamah” menggunakan ketentuan yang sama dengan
yaitu adat dapat dijadikan (pertimbangan yang dipraktikan dalam bank konvensional.
dalam penetapan) hukum, atau umumnya Hal ini dikarenakan belum adanya ketentuan
disebut dengan kaidah al-urf. Dalam khusus atau fatwa DSN yang mengatur akan
pemaknaan kaidah ini, hukum jaminan dan hal tersebut. Jika merujuk pada pemaknaan
perikatannya yang tidak diatur secara tegas UU No. 21 Tahun 2008 tetang Perbankan
oleh Islam berlaku ketentuan kaidah tersebut, Syariah sebagai lex specialis derogat legi
dianggap sebagai bagian dari al-adah. Selama generalis, maka setiap peraturan lain yang
al-adah ini tidak bertentangan dengan belum diatur dalam undang-undang
patokan “mengharamkan yang halal, dan perbankan syariah juga berlaku bagi praktik
menghalalkan yang haram”, maka penerapan perbankan di Indonesia. Maka, ketentuan
jaminan ini tidak dapat dibenarkan dalam penggolangan jaminan hingga pengikat
konteks hukum Islam. Padangannya dilihat jaminan dalam bank syariah juga
jauh lebih flexible, dimana penekanan pada menggunakan dasar hukum perundang-
pembentukan suatu hukum harus pula undangan yang berlaku di bank
melihat perubahan masyarakat dalam konvensional.
perubahan adat. Fungsi jaminan pembiayaan berupa
Ditambah lagi bank syariah sebagai watak, kemampuan dan prospek usaha yang
lembaga intermediasi melihat meski dimiliki oleh debitur merupakan jaminan
kedudukan nasabah dan bank pada dasarnya immateril berfungsi sebagai first way out,
merupakan hubungan kemitraan, dana yang diharapkan pengelola dapat memperoleh
digunakan oleh bank merupakan dana dari pendapatan guna memenuhi pembiayaannya.
masyarakat (pihak ketiga/orang yang Sedangkan fungsi jaminan pembiayaan
menabung), sehingga bank memiliki berupa agunan bersifat materil sebagai

11
second way out ketika debitur gagal fatwa yang spesifik mengatur atas kebutuhan
(wanprestasi) atau macet dalam tersebut masih belum diputuskan.
pelunasannya. Oleh karena itu, dalam praktik Berdasarkan berberapa penelusuran penulis,
perbankan syariah praktik Kredit Tanpa pada dasarnya bentuk pembiayaan tanpa
Agunan (KTA) sebagaimana banyak agunan di bank syariah sudah banyak
digunakan dalam Bank Konvensional tidak dipraktikan, di antaranya seperti: BNI
begitu banyak, bahkan masih belum Syari’ah dengan Hasanah Card; BJB Syariah
ditemukan fatwa yang mengatur. Adanya dengan produk pembiayaan serbaguna (IB
praktik pembiayaan dalam agunan ini umum Maslahah); Pembiayaan multijasa Bank
dilakukan dengan akad qordul hasan yang Victoria Syariah; Warung Mikro,
prinsipnya untuk saling membantu. pembiayaan umroh, BSM Implan dari Bank
Hal ini berbeda dengan praktik KTA yang Syariah Mandiri.
banyak dilakukan di bank konvensional. Berdasarkan pada Penjelasan Umum
Praktik kredit tanpa agunan (KTA) yang Undang-Undang Perbankan Syariah, dapat
dilakukan oleh bankbank konvensional ini dikatakan bahwa dasar pemikiran
seharusnya perlu diperjelas ke pada kreditur. dibentuknya Undang-Undang Perbankan
Padahal jika kita melihat konsepsi dasarnya, Syariah adalah mengimplementasikan
penawaran dalam bentuk KTA yang pernah prinsip-prinsip syariah ke dalam sistem
booming tahun 2012 lalu ini seakan menjadi hukum nasional, khususnya perundang-
hal yang ambigu mengingat Pasal 1131 undangan perbankan syariah. Selain itu, pada
KUHPer dengan tegas menentukan bahwa tataran praktis, implementasi ini
Seluruh harta benda seseorang baik yang dilaksanakan dalam kerangka kepatuhan
telah ada sekarang maupun yang akan datang, syariah (syariah compliance). Penentuan
baik benda bergerak maupun tidak bergerak, prinsip-prinsip syariah dalam hal ini
menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya. muamalah (khususnya perikatan syariah dan
Pada perkembangannya, praktik semacam jaminan syariah) merupakan kewenangan
KTA di bank syariah juga mulai marak Majelis Ulama Indonsia (MUI).
terjadi. Hal ini dikarenakan klaim dari Implementasi penetapan prinsip-prinsip
berbagai pihak yang menganggap bank syariah pada masing-masing Bank Syariah
syariah terlalu correteral minded. Pasalnya, dan UUS dilakukan oleh Dewan Pengawas
nasabah unbankable karena faktor tidak Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada
adanya jaminan umumnya akan lebih masing-masing institusi perbankan syariah.
memilih ke BMT di bandingkan ke bank Selain itu, untuk menindaklanjuti fatwa
syariah yang mewajibkan adanya agunan tersebut ke dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut. Pemerintah saat ini mulai menekan dilakukan oleh Komite Perbankan Syariah
agar bank-bank syariah mulai lebih yang dibentuk secara internal di Bank
mempertimbangkan pembiayaan kredit tanpa Indonesia.
agunan untuk peningkatan di sektor UMKM, Sebagai tambahan dalam Peraturan Bank
khususnya ketika membutuhkan fresh Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
money. Hanya saja, hingga saat ini ketentuan Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana

12
Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan tambahan. Berbeda dengan ketentuan Pasal
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, lebih 23 UU No. 21 Tahun 2008 yang tegas
menitik beratkan pada jenis-jenis akad menyebutkan adanya norma agunan tersebut.
penghimpunan dan penyaluran dana pada Hanya saja prinsip dari alasan keberadaan
perbankan syariah seperti wadi’ah, kewajiban agunan dalam perbankan syariah
mudharabah, musyarakah, murabaha, Salam, ini tidak mengadopsi konsepsi sebagaimana
Istishna, Ijarah dan Qardh yang disertai dalam konvensional. Hal ini muncul lebih
dengan persyaratan yang melingkupinya. Di dikarenakan melihat adanya prinsip rahn dan
dalam peraturan PBI tersebut tidak secara kafalah dalam Islam, kaidah usuliyah-
jelas di atur tentang jaminan syariah. fiqhiyah dan kaidah al-urf. Disamping itu,
Dari dasar pemikiran tersebut di atas, Bank Syariah lebih melihat pada keberadaan
dapat dikatakan bahwa seharusnya Undang- dana yang disalurkan merupakan dana
Undang Perbankan Syariah masyarakat yang harus dikeluarkan secara
mengimplementasikan konsep Jaminan hati-hati dengam pertimbangan resiko dan
Syariah (al-rahn) dalam aturan hukumnya, moral hazard, sehingga kebutuhan akan
bukan hanya mengatur Perikatan Syariah agunan ini menjadi salah satu dasar
(Akad) terutama dalam hal pembiayaan. pemberian pembiayaan
Dalam sistem Hukum Syariah paling tidak Dari analisis permasalahan yang
terdiri atas 2 (dua) unsur atau subsistem, yaitu dikemukakan di atas dapat disimpulkan
Perikatan Syariah (Akad) dan Jaminan bahwa implementasi jaminan syariah dalam
Syariah (Al-rahn). Antara subsistem tataran tata aturan perundang-undangan
Perikatan Syariah dengan susbsistem dalam hal ini UndangUndang Perbankan
Jaminan Syariah mempunyai pola hubungan belum di atur secara tegas.
yang erat, karena keberadaan subsistem Hubungan hukum antara nasabah
Jaminan Syariah merupakan bagian integral pembiayaan dengan bank syariah:
dari Perikatan Syariah. menunjukkan bahwa meskipun Islam
memiliki aturan terkait dengan pelaksanaan
C. PENUTUP pembuatan akad (perjanjian) yang terangkum
Berdasarkan uraian di atas, makan dapat dalam Hukum Muamalat (fiqh muamalah),
disimpulkan bahwa pada dasarnya jika namun sampai dengan saat ini dalam praktik
merlihat dalam pembentukan norma, terdapat pembuatan akad atau perjanjian pembiayaan
pergeseran norma dimana agunan dalam pada perbankan syariah banyak dipengaruhi
Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tidak oleh hukum positif. Artinya, untuk
disebutkan secara tegas, tetapi dinyatakan memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum
tersirat dalam penjelasan pasal. Penjelasan perjanjian pembiayaan pada perbankan
pasal tersebut jelas menunjukan kedudukan syariah tetap mengacu kepada KUH Perdata
jaminan sebagai faktor terpenting dan harus yang terdapat pada Buku III tentang
ada sebagaimana dipahami dalam Pasal 1135 Perikatan, khususnya Pasal 1233 s.d. Pasal
KUHPer, yang kemudian dijabarkan lebih 1456, sehingga walaupun bank syariah
lanjut dengan agunan pokok ataupun agunan berpegang teguh bahwa hubungan hukumnya

13
dengan nasabah penerima fasilitas adalah penerima fasilitas), bukan karena Islam
hubungan kemitraan, namun apabila mengadopsi prinsip kedudukan
mengacu pada ketentuan Buku III KUH krediturdebitur sebagaimana dimaknai dalam
Perdata maka secara yuridis hubungan hukum perikatan pada bank konvensional.
tersebut adalah hubungan hutang piutang Sehingga kedudukan agunan dalam hal ini
(kreditur-debitur). Lain halnya dengan sebagai implementasi prinsip kehati-hatian
hukum Islam yang memandang hubungan bank syariah dalam menyalurkan
hukum bank syariah dengan nasabah pembiayaan.
didasarkan pada prinsip amanah yang tidak Tapi tentang kedudukan hukum agunan
terbatas pada kepercayaan atas dasar itikad menjadi bagian sistem operasional perbankan
baik saja tetapi dilandasi dengan nilai syariah, itu tidak melanggar, karena untuk
ketauhidan bahwa apa yang dilakukan menjaga tingkat kehati-hatian. Maka peneliti
senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Dengan menyimpulkan boleh agunan diminta jika
demikian, hubungan bank syariah dan pinjaman di atas 20 juta-an. Karena jika di
nasabahnya tidak hanya profit oriented tetapi atas pinjaman 20 juta-an bank islam tidak
juga falah oriented. Fungsi jaminan secara memberlakukan pinjaman, dikhawatirkan
yuridis (i.c. hukum positif) adalah kepastian bank bisa merugi, apabila rugi, maka
realisasi suatu prestasi dalam suatu masyarakat islam secara universal akan
perjanjian, atau dalam konteks ini yaitu terugikan.
memberikan kepastian hukum bagi pihak
bank atas pelunasan kewajiban nasabah
penerima fasilitas pembiayaan (Pasal 23
UndangUndang Perbankan Syariah), serta
sebagai pendorong motivasi nasabah D. SARAN
pembiayaan dalam melunasi kewajiban-nya Adapun saran-saran yang dapat diajukan
dan sebagai pemenuhan peraturan dalam berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah
pencairan pembiayaan. Sementara dari segi Pemberian pinjaman kepada nasabah yang
hukum Islam, pada dasarnya akad-akad mengajukan pembiayaan usaha produktif
pembiayaan tidak mewajibkan adanya tidak memiliki agunan, jika hanya 20 juta-an
pembebanan agunan. Oleh karenanya, kebawah sebaiknya dipermudah bukan
pensyaratan agunan dalam akad pembiayaan dipersulit.
bank syariah merupakan jenis perjanjian Lembaga bank islam, harus mampu
accesoir (tambahan) yang mengikuti akad menjalankan tujuan bank islam, bukan hanya
pembiayaan sebagai perjanjian pokoknya. sekedar mengumpulkan uang nasabah, akan
Praktik pembiayaan perbankan syariah yang tetapi harus siap untuk juga untuk penyaluran
mensyaratkan agunan sebagai dasar yang bersifat ta’awun dan menarik minat
pemberian fasilitas pembiayaan ini menurut nasabah untuk memamfaatkan eksistensi
penulis lebih disebabkan adanya kesadaraan bank islam.
akan risiko munculnya moral hazard berupa
penyimpangan oleh pengelola dana (nasabah

14
DAFTAR PUSTAKA

Fitriani ifa latifa. “jaminan dan agunan dalam


pembiyaan bank syariah dan kredit bank
konvensional”. Jurnal hukum &
pembangunan 47, No 1 (2017): 124-139.

Machmud Nurbaedah Yudhy. “fungsi agunan


dalam perbankan syariah dari prespektif
hukum positif dan hukum islam”. Jurnal
Qawanin Vol. 5, No 1 (2021).

Hafidah Noor. “implementasi konsep


jaminan syariah dalam tata aturan UU
perbankan Syariah”. Perbankan syariah,
jaminan syariah Vol 6, No 2 (2012).

15

Anda mungkin juga menyukai