Anda di halaman 1dari 41

ACCOUNTING THEORY

LIABILITY

LECTURER : ELOK HENIWATI, SE.,M.Si., Ak., Ph.D

GROUP 5 :

WARNA (B1034211038)
MARIA YOANITA TIA (B1034211018)
VALLENCIA (B1034211029)

FACULTY OF ECONOMICS AND BUSINESS


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023

TABLE OF CONTENTS
BAB 1.........................................................................................................................................4
PREFACE................................................................................................................................. 4
1.1 Background.............................................................................................................. 4
1.2 problem formulation.................................................................................................4
1.3 purpose of the paper................................................................................................. 4
BAB 2.........................................................................................................................................5
DISCUSSION........................................................................................................................... 5
DEFINITION................................................................................................................. 5
Pelunasan Sebelum jatuh tempo...................................................................................30
Utang Terkonversi........................................................................................................ 32
Pembebasan Substantif.................................................................................................34
Penyajian...................................................................................................................... 37
Hak Mengkompensasi.................................................................................................. 37
BAB 3.......................................................................................................................................39
3.1 Summary...................................................................................................................... 39
REFERENCES....................................................................................................................... 40
BAB 1

PREFACE

1.1 Background

1.2 problem formulation

1.3 purpose of the paper


BAB 2

DISCUSSION

Seperti aset , kewajiban merupakan elemen neraca yang akan membentuk informasi semantik
berupa posisi keuangan bila dihubungkan dengan elemen yang lain yaitu aset dan ekuitas
atau pos-pos rinciannya. Kewajiban merepresentasikan sebagian sumber dana dari aset badan
usaha berupa potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan untuk menyediakan barang
dan jasa.

DEFINITION

FASB mendefinisikan kewajiban dalam kerangka konseptualnya sebagai berikut


(SFAC No. 6,prg. 35 ) : kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomik masa datang
yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk
mentransfer aset atau menyediakan atau menyerahkan jasa kepada kesatuan lain di masa
datang sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
dengan makna yang sama, IASC mendefinisikan kewajiban sebagai berikut: dalam
statement of accounting concept no.4 australian accounting standard board (AASB)
mendefinisikan kewajiban sebagai berikut:liability are the future sacrifices of service
potential or future economic benefit that the entity is presently obligate to make to order
entity as the resume of fast transaction or other fast events
definisi-definisi di atas memisahkan antara makna atau pengertian dan pengukuran
serta pengakuan sehingga definisi tersebut lebih bersifat semantik daripada struktural.
Definisi IASC dan AASB menanggalkan kata probable karena dianggap bahwa tI don't
believe merupakan kriteria pengakuan bukan sifat dari kewajiban. Kriteria ini dinyatakan
AASB sebagai berikut:
A liability shall be recognised in the statement of financial position when and only
when:
a. it is probable that the future sacrifice of service potential or future economic
benefits will be required; and
b. the amount of the liability can be measured reliable
Seperti dalam mendefinisi aset, APB No.4 mendefinisi kewajiban dengan menggabungkan
makna, pengukuran dan pengakuan sebagai berikut:
Liabilities-economic obligations of an enterprise that are recognized and measured in
conformity with generally accepted accounting principles. Liabilities also include
certain deferred credits that are not obligations but that are recognized and measured
in conformity with generally accepted accounting principles.
Sumber-sumber di atas dianggap cukup mewakili untuk membahas pengertian kewajiban.
Mathews dan Perera (1986, hlm. 167-169) membahas perkembangan pendefinisian
kewajiban dan mengutip pengertian kewajiban dari berbagai sumber. kata-kata kunci yang
terkandung dalam tiap definisi antara lain:
a debt owed
money cost of discharging an enforceable obligation
payable in money or goods and services
existing legal (or equitable) duty to render service
future outlay of money
obligations to convey assets or perform services
a negative present value of an anticipated actual or constructive cash flow
Definisi FASB digunakan sebagai basis pembahasan dalam bab ini karena definisi tersebut
cukup lengkap secara semantik. Artinya definisi tersebut telah mencakupi berbagai gagasan
atau kata kunci yang terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber-sumber
yang lain. Definisi IASC dan AASB secara substantif tidak berbeda dengan definisi FASB.
APB No.4 mendefinisi kewajiban dalam dua kata kunci yaitu economic obligation
yang dihubungkan dengan generally accepted accounting principles (GAAP). Ini berarti
bahwa APB menggabungkan pengertian kewajiban sekaligus menetapkan kriteria pengakuan
dan pengukuran. Dengan demikian, pengertian kewajiban menjadi tidak lengkap tanpa
memahami pengertian GAAP sehingga secara semantik definisi APB kurang lengkap dan
kurang bersifat umum. Jadi, definisi APB lebih bersifat struktural dari pada semantik. Hal ini
berbeda dengan AASB yang memisahkan antara pengertian (yang cukup luas dan lengkap)
dan prosedur pengukuran. Berbeda dengan definisi-definisi yang lain, APB memasukkan
pos-pos tertentu yang bukan keharusan (not obligations) untuk mengorbankan sumber
ekonomik sebagai bagian dari kewajiban. Pos-pos ini secara umum disebut kredit tangguhan
misalnya pos pendapatan sewa takterhak (unearned rent revenues).
Definisi-definisi kewajiban di atas sangat menekankan konsep kesatuan usaha dengan
dinyatakannya secara eksplisit ungkapan kesatuan usaha (entitas/entitas atau perusahaan
/enterprise) di dalamnya untuk menunjukkan pihak yang mempunyai keharusan untuk
melakukan pengorbanan ekonomik. Selain definisi APB, definisi kewajiban selalu memuat
pula ungkapan manfaat ekonomik, sumber ekonomik, atau potensi jasa. Ini berarti bahwa
pengertian kewajiban tidak dapat dipisahkan dengan pengertian aset. Aset dapat
menimbulkan kewajiban dan sebaliknya timbulnya kewajiban dapat dibarengi dengan
pengakuan aset.
Dengan berbagai variasi di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa kewajiban
mempunyai tiga karakteristik utama yaitu: (a) pengorbanan manfaat ekonomik masa datang,
(b) keharusan sekarang untuk mentransfer aset, dan © timbul akibat transaksi masa lalu.
Seperti aset, karakteristik (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat aspek semantik
sedangkan kriteria (b) dan ( c ) lebih memuat aspek struktural pengakuan.
Pengorbanan Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu tugas (duty) atau
tanggung jawab (responsibility) kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan usaha untuk
melunasi, menunaikan atau melaksanakannya dengan cara mengorbankan manfaat ekonomik
yang cukup pasti di masa datang. Pengorbanan manfaat ekonomik diwujudkan dalam bentuk
transfer atau penggunaan aset kesatuan usaha. Cukup pasti di masa datang mengandung
makna bahwa jumlah rupiah pengorbanan dapat ditentukan dengan layak. Demikian juga,
saat pengorbanan manfaat ekonomik dapat ditentukan atas dasar kejadian tertentu atau atas
permintaan pihak lain (on demand).
Transfer manfaat ekonomik kepada pemilik (pemegang saham) tidak termasuk dalam
pengertian pengorbanan sumber ekonomik masa datang yang membentuk kewajiban karena
untuk menjadi kewajiban pengorbanan tersebut harus bersifat memaksa (nondiscretionary)
dan bukan atas dasar kebijakan atau keleluasaan manajemen untuk memutuskan
(discretionary) baik dalam hal jumlah rupiah maupun dalam saat transfer. Secara umum,
keharusan mengorbankan sumber ekonomik masa datang tidak dapat menjadi kewajiban
kalau keharusan tersebut bersifat terbuka atau tidak pasti (open-ended). Kesatuan usaha tidak
mempunyai keharusan untuk mentransfer aset ke pemilik kecuali dalam hal kesatuan usaha
dilikuidasi. Walaupun secara konseptual (dari sudut konsep dasar kesatuan usaha) ekuitas
juga merupakan kewajiban bagi perusahaan, pengorbanan sumber ekonomi nya tidak cukup
pasti baik dalam jumlah maupun saat sehingga kewajiban harus dibedakan dan dilaporkan
secara terpisah dengan ekuitas.
Bahwa pengorbanan ekonomik harus dikaitkan dengan pihak lain berarti bahwa
kewajiban hanya dapat terjadi antar kesatuan usaha atau paling tidak melibatkan kesatuan
usaha yang lain. Kewajiban tidak timbul dari kejadian internal misalnya adanya keharusan
membentuk dana asuransi diri (self-insurance) guna mengantisipasi pengorbanan sumber
ekonomik untuk mengganti fasilitas fisis yang sewaktu-waktu rusak atau menutup rugi akibat
musibah.

Keharusan Sekarang
untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang
harus harus timbul akibat keharusan (obligation or duties) sekarang.pengertian ‘’sekarang’’
(present) dalam hal ini mengacu pada dua hal : waktu dan adanya.waktu yang dimaksud
adalah tanggal pelaporan (neraca).Artinya, pada tanggal neraca kalau perlu atau kalau
dipaksakan secara yuridis,etis atau rasional pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi
karena sebuah keharusan untuk itu telah ada. Tentu saja jumlah rupiah pengorbanan yang
dipaksakan pada tanggal neraca tidak akan sebesar jumlah rupiah yang akan dibayar pada
masa yang akan datang (setelah tanggal neraca). perbedaan ini terjadi akibat sifat yang
melekat kepada kewajiban yaitu bunga yang bermakna sebagai nilai waktu uang atau harga
penundaan (the time value money or the price of delay) .
menurut Kam (1990. hal 111-112), mendefinisikan kewajiban sebagai pengorbanan
sumber ekonomik masa datang tidak menunjuk pada sesuatu yang sekarang ada dan nyata
(real) tetapi menunjuk kejadian masa yang akan mendatang tidak menunjuk sesuatu yang
jelas belum terjadi . dengan kata lain, pengorbanan tersebut tidak nyata pada saat sekarang.
objek yang nyata sebenarnya adalah keharusan yang sekarang ada jadi keharusan sekarang
seharusnya menjadi fokus atau kata kunci definisi lebih dari itu pengorbanan sumber
ekonomik masa datang sebenarnya sama maknanya dengan transpor aset atau penyerahan
jasa di masa datang sehingga definisi fasb berlebihan (redundant) .oleh karena itu ,Kam
mengusulkan pemafrasan kembali definisi kewajiban sebagai berikut :
Liabilities are obligations of a particular entity which necessitate The Entity of
transfer assets or render service to other entities in the future and are the result of past
transaction or events.
keharusan mengorbankan sumber ekonomi dapat timbul akibat perjanjian kontrak
antara dua kesatuan usaha, pengenaan / pemaksaan (imposition) pada entitas oleh pemerintah
atau pengadilan atau kondisi lingkungan bisnis (politik dan ekonomi ,sosial).pengertian
kewajiban mencakup keharusan kontraktual (contractual or legally enforceable
obligations),keharusan konstruktif atau bentukan (constructive obligation), keharusan demi
keadilan (equitable obligation) dan keharusan bergantung atau bersyarat (contingent
obligation) . walaupun semua kewajiban tak semua harus diakui dalam akuntansi secara
definisional.
keharusan kontraktual
adalah keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang
didalamnya kewajiban bagi suatu kesatuan usaha dinyatakan secara eksplisit atau implisit dan
meningkat kewajiban ini muncul karena aspek hukum sebagai lingkungan eksternal yang
tidak dapat dihindari dan yang dapat memaksakan secara hukum untuk memenuhinya (legally
enforceable)penghindaran kewajiban dari keharusan kontraktual menimbulkan sanksi
ataupun hukuman (penalti) pihak yang harus dilunasi pada umumnya sudah jelas
(identifiable) dan bukti tentang adanya keharusan ini biasanya didukung oleh dokumen
tertulis sehingga keterverifikasikannya tinggi.utang pajak, utang bunga, utang usaha, utang
wesel dan utang obligasi merupakan kewajiban yang berkaitan dengan keharusan kontraktual

Keharusan konstruktif
Adalah keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka
menjalankan dan memajukan usahanya untuk memenuhi Apa yang disebut praktik usaha
yang baik (best business practice) atau etika bisnis (ethic business) dan bukan untuk
memenuhi kewajiban yuridis. kebijakan tersebut menimbulkan kewajiban karena kesatuan
usaha sengaja memberi mengkonstruksi atau membentuk hak bagi belahan lain
(misalnya,pelanggan pemasok pegawai atau perusahaan lain).
tanpa harus melalui perjanjian tertulis yang disepakati kedua belah pihak. contoh
kewajiban yang masuk dalam kategori ini antara lain adalah kebersediaan perusahaan untuk
membayar atau membeli kembali botol gelas minuman dengan harga yang ditentukan
(misalnya botol coca cola) servis gratis yang dijanjikan oleh dealer sepeda motor,
pengembalian uang(refund) untuk barang yang ternyata cacat atau rusak, penggantian harga
film oleh toko cuci cetak bila film hilang atau rusak dan tunjangan hari raya untuk karyawan.
Keharusan demi keadilan
adalah keharusan Yang ada sekarang yang menimbulkan kewajiban bagi
perusahaan semata-mata karena panggilan etis atau moral daripada karena peraturan hukum
atau praktik bisnis yang sehat keharusan ini muncul dari tugas (duties)kepada pihak lain
untuk melaksanakan sesuatu yang dipandang wajar, adil, dan benar menurut hati nurani
(conscience)dan rasa keadilan (sense of justice) Tidak ada sanksi hukum untuk tidak
memenuhi keharusan ini tetapi kewajiban ini mengikat lantaran sanksi sosial atau moral.
kewajiban memberi donasi untuk badan amal tiap akhir tahun dan kewajiban memberi
hadiah kepada penduduk yang tinggal di sekitar pabrik karena ketidaknyamanan yang
ditimbulkannya merupakan contoh kewajiban yang dilandasi oleh keharusan Demi keadilan
ini Keharusan konstruktif Dan Demi keadilan merupakan keharusan karena kehendak sendiri
atau pertimbangan internal walaupun bentuk konsekuensi keuangannya sama seperti
keharusan kontraktual.
keharusan bergantung atau bersyarat adalah keharusan yang pemenuhannya tidak
pasti karena bergantung pada kejadian masa datang atau terpenuhinya syarat-syarat tertentu di
masa datang ketergantungan (contingency) adalah suatu kondisi situasi atau serangkaian
keadaan yang melibatkan ketidakpastian (uncertainty) yang menyangkut laba (gain)atau rugi
(loss contingency) yang mungkin terjadi munculan (outcome) yang harus dikonfirmasi
dengan kejadian atau syarat masa datang untuk kedua ketergantungan tersebut adalah :

a. yang tidak berkaitan dengan ketergantungan laba pemerolehan aset versus tidak
atau pengurungan suatu kewajiban versus tidak atau
b. yang berkaitan dengan keberhargantungan rugi hilangnya atau turunnya Nilai suatu
aset versus tidak atau timbulnya suatu kewajiban versus tidak
keharusan bergantung merupakan satu diantara yang berkaitan dengan rugi (loss
contingency)selanjutnya fasb menjelaskan bahwa bila terdapat ketergantungan rugi
kemungkinan atau ke boleh jadi(likelihood) bahwa suatu saat atau beberapa kejadian masa
datang akan memastikan munculnya di atas dapat berkisar dari cukup pasti (probable)sampai
jauh dari pasti (remote)dengan agak Pasti (reasonably possible)diantara keduanya yang
didefinisikan sebagai berikut :
1) cukup pasti suatu atau beberapa kejadian masa datang yang boleh jadi terjadi
2) agak pasti kemungkinan bahwa suatu atau beberapa kejadian masa datang
terjadi adalah lebih dari jauh dari pasti tetapi kurang dari cukup pasti
3) jauh dari pasti kemungkinan bahwa suatu atau beberapa kejadian masa datang
terjadi adalah kecil atau tipis.

evaluasi terhadap kemungkinan terjadinya kejadian masa datang akan menentukan perlakuan
akuntansi untuk pos-pos kewajiban yang terkait dengan keterbaruan rugi karena definisi
kewajiban memuat ungkapan cukup pasti yang oleh FASB (SFAC No.6, footnote 18)
dimaknai sebagai berikut :
Probable is used with its usual meaning,..., And refers to that which can reasonably
be expected or believed on the basis of available evidence or logic but it is neither certain
nor proved . Its intended to acknowledge that business or other economic activities occur in
an environment characterized by uncertainty in which few outcomes are certain

keharusan sekarang merupakan karakteristik dari kewajiban. keempat keharusan di atas


merupakan keharusan sekarang yang memenuhi kriteria kewajiban untuk keharusan
kontraktual, konstruksi, dan Demi keadilan, pengorbanan sumber ekonomi masa datang yang
pada umumnya dianggap cukup pasti (probable) karena kesepakatan telah dicapai atau
kebijakan telah diputuskan sehingga Sudah Cukup jelas jumlah waktu dan waktu
pengorbanannya. Untuk keharusan bergantung pengorbanan sumber ekonomi masa datang
belum pasti baik jumlah rupiah maupun titik tidaknya. Oleh karena itu tidak semua kewajiban
yang timbul akibat keharusan sekarang tersebut dapat diakui sebagai kewajiban.Artinya,
perlakuan akuntansi untuk ke empat jenis keharusan tersebut dapat berbeda dan hal ini akan
dibahas di bagian lain bab ini tentang pengakuan.

AKIBAT TRANSAKSI ATAU KEJADIAN MASA LALU


transaksi masa lalu yang dimaksud di sini adalah transaksi yang menimbulkan
keharusan sekarang telah terjadi sebagai contoh Karena perusahaan mendapat pinjaman bank
(dengan kontrak) keharusan sekarang berupa keharusan kontraktual timbul pada akhir periode
akuntansi (berupa pokok pinjaman dan bunga) yang menuntut pengorbanan sumber
ekonomik masa datang (suatu saat setelah akhir periode tersebut). Dalam hal ini
penandatanganan kontrak merupakan peristiwa yang telah terjadi yang menimbulkan
keharusan akan tetapi tidak semua penandatanganan kontrak dengan sendirinya menimbulkan
keharusan sebelum salah satu pihak melaksanakan (to perform) apa yang diperjanjikan
kontrak akan bersifat eksekutori.

Tuntutan ganti rugi resmi dari pihak lain atas tuduhan pelanggaran hak paten yang
diajukan ke pengadilan dalam suatu tahun menimbulkan keharusan sekarang bagi perusahaan
di akhir tahun meskipun pengorbanan ekonomik masa datangnya masih bergantung pada
keputusan pengadilan. Tuntutan yang diajukan merupakan peristiwa yang telah terjadi yang
menimbulkan sumber keharusan sekarang sehingga keharusan tersebut memenuhi kriteria
kewajiban meskipun sifatnya bergantung (contingent). Jadi, untuk memenuhi definisi
kewajiban, keharusan sekarang harus didahului transaksi atau kejadian masa lalu.

Kebanyakan kewajiban terjadi karena adanya transaksi pertukaran antara kesatuan


usaha dan kesatuan usaha lainnya. Anggaran pembelian suatu mesin yang telah disetujui
disertai jadwal pembelian dan pembayaran mempunyai implikasi pengorbanan sumber
ekonomik dimasa datang. Akan tetapi, anggaran tidak menimbulkan keharusan sekarang atau
kewajiban meskipun persetujuan anggaran dapat dipandang sebagai kejadian masa lalu.
Alasannya adalah belum terjadi transaksi atau kejadian yang memberi kesatuan usaha
penguasaan (access) atau pengendalian terhadap manfaat ekonomik masa datang (aset) atau
kewajiban di masa datang atas dasar anggaran merupakan pengakuan yang bersifat hipotesis.

HAK HAK KEWAJIBAN TAK BERSYARAT


Pembahasan di atas menimbulkan pertanyaan: transaksi atau kejadian manakah yang
dapat disebut sebagai transaksi atau kejadian masa lalu yang memenuhi definisi kewajiban?
Apakah penandatanganan kontrak, diserahkannya gugatan ke pengadilan, dan persetujuan
anggaran pembelian aset dengan sendirinya menimbulkan kewajiban?

Untuk menjawab hal ini perlu dipahami konsep hak-kewajiban tak bersyarat
(unconditional right of offset) yang umumnya melekat pada kontrak. Konsep ini menyatakan
bahwa walaupun kontrak telah ditandatangani, salah satu pihak tidak mempunyai kewajiban
apapun sebelum pihak lain memenuhi apa yang menjadi hak pihak lain. Suatu pihak tidak
punya kewajiban apapun kalau dia tidak mendapatkan hak atas sesuatu yang nyata dari pihak
lain (misalnya penguasaan aset). Jadi, konsep hak-kewajiban tak bersyarat menyatakan "tidak
ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak," Secara teknis,
konsep ini diartikan bahwa hak atau kewajiban timbul bila salah satu pihak telah berbua!
sesuatu (to perform). Kontrak-kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak
saling-mengimbangi takbersyarat (unconditionally offsetting contracts) atau kon trak
eksekutori (executory contracts).
Masalah timbul dalam hal kontrak pembelian yang tidak dapat dibatalkan (purchase
commitment). Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama tetap memperlakukan
kontrak tersebut sebagai eksekutori sehingga kewajiban tidak perlu diakui. Alasannya, aset
atau manfaat ekonomik masa datang belum dikuasai secara nyata. Pendapat kedua
menganjurkan bahwa kewajiban diakui pada saat penandatanganan kontrak bersamaan
dengan aset (sediaan) yang terlibat. Alasannya, pada saat itu, pada dasarnya ketiga kriteria
kewajiban telah dipenuhi. Keharusan yang menyebabkan pengorbanan sumber ekonomik
masa de- tang telah ada dan cukup pasti sehingga informasi tersebut relevan untuk
mengevaluasi aliran kas masa datang. Aset dapat diakui meskipun belum diterima secara fisis
karena dengan kontrak tersebut manfaat ekonomik masa datang cukup pasti dapat dikuasai
(diperoleh). Kontrak yang tak bisa dibatalkan menjadi bukti yang kuat akan adanya
pengorbanan sumber ekonomik di masa datang. Jumlah rupiah yang terlibat juga pasti. Jadi,
kewajiban atas kontrak eksekutori semacam ini dapat diakui karena memenuhi definisi
kewajiban dan memenuhi kriteria pengakuan yang lain (keterandalan, keberpautan, dan
keterukuran)

Untuk dapat menentukan apakah penandatanganan kontrak dengan sendirinya


menciptakan kewajiban yang harus diakui, perlu dipelajari karakteristik dari kontrak tersebut.
Penandatanganan sewa guna dapat menjadi transaksi masa Lalu karena pada umumnya
begitu kontrak ditandatangani ter sewa guna (lessee) dapat menguasai langsung aset yang
disewa guna. Dapat tidaknya kewajiban diakui dalam beberapa kontrak seperti kontrak
bonus, kontrak pembekerjaan pegawai, dan penciptaan dana pensiun tidak selalu mudah
ditentukan.

Transaksi atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menandai saat, titik, atau
tanggal pengakuan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak memang sangat pelik.
Mengikatnya kontrak tidak selalu dengan tanggal penandatanganan kontrak. Hukum
perikatan atau kontrak juga cukup kompleks untuk menentukan timbulnya hak dan kewajiban
yuridis. Dalam hal kontrak, Most (1982, hlm. 352) menunjukkan bahwa titik atau saat
tersebut dapat berupa:

1. Tanggal kontrak ditandatangani.


2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu pihak.
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh salah satu pihak.
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk digunakan oleh pihak lain
5. Tanggal objek kontrak telah diserahkan.
6. Tanggal diterima/ di bayarnya uang muka
7. dalam kasus kontrak konstruksi jangka panjang
a. suatu titik selama konstruksi berjalan
b. pada saat konstruksi dimulai

Jadi, saat penentuan transaksi masa lampau perlu dipertimbangkan dengan seksama
dengan memperhatikan kondisi yang melingkupi suatu kontrak. Namun demikian, secara
konseptual diperlukan pedoman atau kriteria untuk memilih saat yang tepat. Selanjutnya,
Most mengemukakan hal yang harus dipertimbang. kan untuk memilih saat yang tepat yaitu:
a. Pemenuhan definisi aset dan kewajiban.
b. Kekuatan mengikat (firmness of the commitment) yaitu seberapa kuat bahwa
pelaksanaan kontrak tidak dapat dibatalkan.
c. Kebermanfaatan bagi keputusan.

Karakteristik Pendukung

Selain ketiga karakteristik di atas, FASB menyebutkan beberapa karakteristik


pendukung yaitu keharusan membayar kas, identitas terbayar jelas, dan terpaksa- kan secara
atau berkekuatan hukum (legally enforceable). Karakteristik pendukung hanya menegaskan
adanya kewajiban tetapi tidak membatalkan suatu objek untuk disebut sebagai kewajiban.

Keharusan membayar kas.


Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan pembayaran kas. Keharusan
membayar kas pada waktu dan jumlah rupiah tertentu di masa datang merupakan petunjuk
yang kuat atau jelas mengenai adanya kewajiban. Akan tetapi, untuk menjadi kewajiban,
penyerahan aset (kas) bukan satu-satunya kriteria tetapi meliputi pula penyerahan jasa. Esensi
kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik masa datang daripada pada
terjadinya pengeluaran kas. Meskipun demikian, adanya pengeluaran kas merupakan hal
penting untuk mengaplikasi definisi kewajiban karena dua hal yaitu:
(1) sebagai bukti adanya suatu kewajiban dan
(2) sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban yang cukup objektif

Identitas terbayar jelas.


Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan bahwa kewajiban
memang ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat ditentukan
pada saat keharusan terjadi. Artinya, untuk menjadi kewajiban pada akhir tahun, pada saat itu
identitas terbayar tidak harus diketahui. Misalnya perusahaan menjanjikan hadiah yang akan
diundi pada awal tahun berikutnya. Pada akhir tahun ini, perusahaan sudah mempunyai
kewajiban meskipun pemenangnya belum tahu. Pengorbanan sumber ekonomik masa datang
sudah cukup pasti dan tidak dapat dihindari tetapi siapa yang yar tidak diketahui. Dengan
demikian kewajiban dapat dikatakan telah timbul. diba-

Jadi, yang penting adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan s ekonomi di masa
datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat
pelunasan kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.

BERKEKUATAN HUKUM
mengorbankan manfaat ekonomik timbul akibat klaim yuridis (legal claims) yang
mempunyai kekuatan memaksa. Adanya daya paksa yuridis hanya menunjukkan bahwa
kewajiban tersebut memang ada dan dapat dibuktikan secara yuridis material. Meskipun
demikian, daya paksa yang melekat pada klaim-klaim hukum bukan merupakan syarat mutlak
untuk mengakui adanya kewajiban. Keharusan melakukan pengorbanan manfaat ekonomik
masa datang tidak harus timbul dari desakan pihak eksternal tetapi dari minat atau kebijakan
internal manajemen. Itulah sebabnya kewajiban mencakupi pengorbanan sumber ekonomik
mass depan yang timbul akibat keharusan konstruktif dan demi keadilan. Klaim pihak lain
seperti utang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau
mempunyai daya paksa secara hukum (legally enforceable) untuk memenuhi definisi
kewajiban. Akan tetapi, demi keadilan dan kewajaran, perusahaan harus membayar utang
usaha tersebut. Pendapatan sewa takterhak (unearned rent revenues), laba kotor tangguhan
(deferred gross profit), dan beberapa pos lain yang timbul dalam penyesuaian akhir tahun
memenuhi kriteria sebagai kewajiban meskipun maretia tidak dilandasi oleh daya paksa
hukum dan bahkan bukan merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik .
Itulah sebabnya, definisi kewajiban APB memasukkan beberapa pos kredit tangguhan
(deferred credits) yang non keharusan (non obligations) sebagai kewajiban. Laba kotor
tangguhan adalah contoh kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos kredit tangguhan yang
merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan (deferred tax credit atau
deferred tax liabilities).
Dari apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kewajiban
sebenarnya merupakan bayangan cermin dari definisi aset. Transaksi, kejadian, atau keadaan
dapat mempengaruhi aset dan kewajiban secara bersamaan karena konsep kesatuan usaha
yang mendasari sistem berpasangan. Konsep hak-kewajiban tak bersyarat (unconditional
right of offset) sebenarnya juga mengatakan bahwa dalam hal tertentu adanya aset harus
diimbangi dengan timbulnya kewajiban atau sebaliknya timbulnya kewajiban harus
diimbangi akses atau kendali terhadap suatu aset. Walaupun demikian, perubahan aset tidak
selalu disertai dengan perubahan kewajiban

hubungan definisi aset dan kewajiban Dalam hal aset, transaksi atau kejadian masa
lalu menimbulkan penguasaan sekarang (present control) terhadap manfaat ekonomik masa
datang yang cukup pasti. Dalam hal kewajiban, transaksi atau keJadian masa lalu
menimbulkan keharusan sekarang (present obligation) untuk pengorbanan manfaat ekonomik
yang cukup pasti.

PENGAKUAN, PENGUKURAN, DAN PENILAIAN


Sebagai bayangan cermin aset, kewajiban juga harus diukur dan diakui pada saat
terjadinya. Kalau aset diukur atas dasar penghargaan sepakatan (kos), demikian juga
kewajiban. Jadi, kos sebagai pengukur tidak hanya diterapkan untuk aset pada saat
pemerolehan tetapi juga untuk kewajiban pada saat terjadinya. Sebagai ketentuan umum,
pengukuran kewajiban harus sejalan dengan pengukuran aset yang berkaitan.

Kalau aset yang direpresentasi oleh kos mengalami tiga tahap perlakuan
(pemerolehan, pengelolaan, dan penyerahan), kewajiban sebenarnya juga mengalami tiga
tahap perlakuan yaitu: penanggungan (pengakuan terjadinya), penelusuran, dan pelunasan
(penyelesaian). Dalam hal kewajiban, penelusuran berarti penentuan status dan jumlah rupiah
(kos) kewajiban setiap saat. Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal neraca) dapat
disebut dengan penilaian kewajiban Begitu terjadi dan dicatat atau diakui, kewajiban akan
tetap menjadi kewajiban sampai kesatuan usaha menyelesaikannya, atau sampai adanya
transaksi atau kejadian yang membatalkannya atau yang membebaskan kesatuan usaha dari
keharusan untuk melunasinya.
PENGAKUAN
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat
transaksi yang sebelumnya telah terjadi.meningkatnya suatu keharusan harus di evaluasi atas
dasar kaidah pengakuan (recognition rules).
Kam (1990)membedakan antara kaidah pengakuan dan kriteria pengakuan.
Kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan pedoman umum dalam rangka memenuhi
karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen statemen keuangan hanya dapat diakui bila
kriteria definisi, keberpautan, keterandalan, dan keter- ukuran dipenuhi. Kriteria umum ini
tidak operasional sehingga diperlukan kaidah pengakuan sebagai penjabaran teknis kriteria
pengakuan umum. Jadi, kaidah pengakuan merupakan prosedur aplikasi untuk menandai
adanya elemen dan saat dipenuhinya kriteria pengakuan umum. Dalam hal kewajiban, kaidah
pengakuan berkaitan dengan saat atau apa yang menandai bahwa kewajiban telah mengikat
sehingga suatu kewajiban dapat diakui (dibukukan). Kam mengajukan empat kaidah
pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu

1. Ketersediaan dasar hukum.


2. Keterterapan konsep dasar konservatisma.
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi.
4. Keterukuran nilai kewajiban.

Keempat kaidah tersebut secara teknis memicu pencatatan atau pengakuan kewajiban.
Dengan kata lain, meretia memberi petunjuk tentang adanya bukti teknis (technical evidence)
untuk mengakui kewajiban.

1. Ketersediaan
dasar hukum. Kalau terdapat bukti yuridis yang kuat tentang adanya daya paksa
untuk memenuhi keharusan, jelas tidak dapat disangkal bahwa suatu kewajiban memang ada.
Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi. Faktur pembelian
(invoice) dan tanda penerimaan barang (receiving report) merupakan dasar hukum yang
cukup meyakinkan untuk mengakui kewajiban. Telah disebutkan bahwa ketersediaan dasar
hukum yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karakteristik pendukung definisi
kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga dapat diakui bila terdapat
bukti substantif adanya keharusan konstruktif atau demi keadilan.

2. Ketetapan
konsep dasar konservatisma. Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria
keterandalan Keadaan-keadaan tertentu yang menjadikan konsep konservatisme terterapkan
dapat memicu pengakuan kewajiban Implikasi dianutnya konsep konservatisme adalah rugi
dapat segera diakui tetapi tidak demikian untung.dianutnya konsep konservatisme adalah rugi
dapat segera diakui tetapi tidak demikian dengan untung. Ini berarti kewajiban dapat diakui
segera sedangkan aset tidak. Gugatan perdata terhadap suatu perusahaan yang boleh jadi
menimbulkan rugi baginya dapat memicu pencatatan kewajiban (sebagai pasangan rugi yang
diantisipasi) atas dasar penerapan konsep konservatisme. Untuk dealer sepeda motor, utang
jaminan suku cadang (sebagai pengimbang biaya pemakaian suku cadang) dapat diakui atas
dasar konsep dasar konservatisma meskipun penggantian suku cadang belum terjadi

3. Keterukuran nilai kewajiban.


Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas keterandalan
informasi. Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti (probable) yang mengacu tidak
hanya pada terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang tetapi juga pada jumlah
rupiahnya. Oleh karena itu, adanya kepastian mengenai jumlah rupiah dapat memicu
diakuinya suatu kewajiban. Kalau pengukuran suatu pos kewajiban bersifat sangat subjektif
dan arbitrer, pada umumnya pos tersebut tidak diakui.

Yang menjadi masalah teknis adalah kapan keempat kaidah di atas dipenuhi. Hal ini
berkaitan dengan penentuan saat (timing) pengakuan kewajiban. Pada umumnya saat
pengakuan terjadi sangat jelas karena kebanyakan kewajiban timbul dari kontrak yang
menyebutkan secara tegas saat mengikatnya kontrak, jumlah rupiah pembayaran kewajiban,
dan saat pembayaran Akan tetapi, untuk beberapa kasus, jumlah rupiah (kos) kewajiban
bergantung pada kejadian di masa datang meskipun cukup pasti bahwa keharusan membayar
di masa datang tidak dapat dihindari. Hendriksen dan van Breda menunjukkan saat-saat untuk
mengakui kewajiban yaitu:
1) Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah
mengikat. Dalam hal kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah
satu pihak
2) Bersamaan dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya
belum dicatat sebagai aset sebelumnya.
3) . Bersamaan dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk
menggunakan barang dan jasa diperoleh
4) Pada akhir perioda karena penggunaan asas akrual melalui proses
penyesuaian. Pengakuan ini menimbulkan pos utang atau kewajiban akrual
(accrued liabilities).
keempat kaidah sebagai bukti teknis dan ketentuan saat pencatatan sebagaimana diuraikan di
atas pada umumnya mudah diidentifikasi dan diterapkan untuk keharusan kontraktual,
konstruktif, dan demi keadilan. Untuk ketiga keharusan tersebut, pengorbanan sumber
ekonomik masa datang pada umumnya dianggap cukup pasti (probable) karena kesepakatan
telah dicapai atau kebijakan telah diputuskan sehingga sudah cukup jelas jumlah dan waktu
pengorbanannya.

Pengakuan Kewajiban Bergantung

Untuk keharusan bergantung (khususnya rugi bergantung yang menimbulkan kewajiban),


kaidah pengakuan keempat (keterukuran nilai kewajiban) dan pasti tidaknya pengorbanan
sumber ekonomik masa datang akan terjadi menimbulkan masalah pengakuan. Kewajiban
kontraktual, konstruktif, dan demi keadilan dalam beberapa kasus juga bersifat bergantung
terutama bila kewajiban tersebut melibatkan penaksiran jumlah masa datang yang
meragukan. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan yang lebih tegas untuk mengakui
kewajiban yang berkaitan dengan rugi bergantung FASB memberi contoh keadaan-keadaan
ketergantungan rugi (loss contingencies) yang berpotensi memicu pengakuan kewajiban
sebagai berikut (SFAS No. 5, prg 4):

a. Ketertagihan piutang usaha.

b. Keharusan berkaitan dengan jaminan produk dan kerusakan produk.

c. Risiko rugi atau kerusakan properitas (fasilitas) kesatuan usaha akibat kebakaran,
ledakan, dan bahaya lainnya,

d. Ancaman pengambilalihan aset oleh pemerintah

e. Persengketaan yang memberatkan atau menunggu keputusan

f. Klaim atau pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin (possible)
terjadi

g. Risiko rugi akibat bencana yang ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian dan
kecelakaan dan perusahaan reasuransi

h. Jaminan terhadap utang pihak lain


i. Keharusan bank komersial dalam ikatan standby letters of credit

j. Perjanjian untuk membeli kembali piutang atau aset yang terkait yang telah dijual

Rugi potensial yang dapat ditimbulkan oleh keadaan ketergantungan di atas dapat diakui
(dibebankan ke pendapatan) sebelum terlaksananya kejadian yang menjadi syarat terjadinya
rugi atau hanya diakui pada saat diperoleh kepastian tentang status kejadian yang menjadi
syarat FASB menetapkan bahwa rugi taksiran yang dapat terjadi dari ketergantungan rugi
harus diakru (to be accrued) dengan membebankannya ke pendapatan (sebagai biaya atau
rugi) bila kedua kondisi berikut dipenuhi (SFAS No. 5, prg. 8):

a. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan bahwa


suatu aset cukup pasti telah turun nilainya (impaired) atau suatu kewajiban cukup pasti
telah terjadi pada tanggal statemen keuangan. Pada tanggal statemen keuangan harus
sudah dapat disimpulkan bahwa kejadian atau beberapa kejadian, yang menegaskan
adanya rugi, cukup pasti (probable) akan terjadi.

b. Jumlah rupiah rugi dapat diestimasi dengan cukup tepat (reasonably estimated).

Bila kondisi di atas tidak dipenuhi, jumlah rupiah rugi potensial harus tetap diungkapkan
dengan menjelaskan sifat dan implikasi ketergantungan tersebut. Ketentuan tentang dapat
diakuinya rugi potensial sebelum kejadian yang menegaskan terjadi dilandasi oleh
interpretasi tentang makna kewajiban dan aset serta konsep dasar penandingan (matching)
dan konservatisme.

FASB berargumen bahwa makna kewajiban relevan untuk mengakui rugi bersyarat. Pertama,
utang adalah keharusan sekarang (present) sehingga kondisi (a) di atas dimaksudkan untuk
mewajibkan pengakuan rugi yang berkaitan perioda-perioda masa datang tetapi memerlukan
pengakuan rugi yang berkaitan dengan perioda sekarang karena rugi tersebut sebenarnya
berkaitan dengan transaksi atau kejadian masa lalu yang telah terjadi (misalnya terjadinya
gugatan ganti rugi). Kedua, keharusan kepada pihak lain (other entities) berupa pengorbanan
sumber ekonomik yang cukup pasti (probable) jumlah dan saatnya. Dengan demikian,
kondisi (b) konsisten dengan dan mendukung konsep atau makna kewajiban.

Kondisi (a) dan (b) merupakan argumen atau dasar pikiran untuk mengakui adanya
penurunan kemampuan (impairment) aset. Rugi harus diakui apabila aset telah turun nilainya
dan jumlah rugi dapat ditaksir dengan cukup tepat. Misalnya, penurunan kemampuan
investasi dalam perusahaan anak harus diakui kalau ternyata perusahaan anak benar-benar
telah mengalami rugi. Demikian juga, kalau kondisi ekonomi menyebabkan nilai aset tidak
lagi mencerminkan kemampuan dan potensi jasa yang sebenarnya, rugi harus diakui.

Pengakuan rugi bergantung juga konsisten dengan konsep penandingan. Rugi potensial harus
dikaitkan dengan periode terjadinya peristiwa yang menimbulkan rugi tersebut. Misalnya,
rugi piutang tak tertagih harus disosiasi dengan piutang yang menimbulkan rugi tersebut.
Rugi akibat gugatan harus dikaitkan dengan periode terjadinya gugatan yang mungkin
disebabkan oleh transaksi atau kejadian yang telah terjadi di masa lalu.

Rugi bergantung dapat diakui dengan landasan konsep dasar konservatisme. Tanpa
memperhatikan probabilitas terjadinya hal-hal yang menjadi syarat timbulnya rugi, dalam
kondisi ketidakpastian akuntansi dapat mengambil keputusan atas dasar munculan yang tidak
menguntungkan. Rugi merupakan salah satu munculan dalam kondisi ketidakpastian
sehingga pengakuan rugi sebelum terjadi dapat dijustifikasi.

Jadi, pengakuan rugi sebelum terjadi dapat dijustifikasi asal kondisi dan di atas dipenuhi.
Argumen yang diajukan di atas lebih difokuskan pada dapet tidaknya rugi potensial diakui
daripada pada timbul tidaknya kewajiban. Pengakuan rugi bergantung tidak selalu disertai
dengan timbulnya kewajiban. Kondisi atau kriteria pengakuan kewajiban bergantung paralel
dengan kondisi pengakuan rugi bergantung.

Pengukuran

Pengakuan dilakukan setelah suatu kewajiban terukur dengan cukup pasti. Penentuan kos
kewajiban pada saat terjadinya paralel dengan pengukuran aset. Terjadinya kewajiban pada
umumnya disertai dengan pemerolehan aset atau timbulnya biaya. Pemerolehan aset dapat
berupa penguasaan barang dagangan atau aset nonmoneter lainnya yang terjadi dari transaksi
pembelian. Pemerolehan aset dapat juga berupa kas yang terjadi dari transaksi peminjaman
(penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk barang atau jasa. Oleh karena itu,
pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya adalah
penghargaan sepakatan (measured considerations) dalam transaksi-transaksi tersebut dan
bukan jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Jadi, konsep dasar penghargaan
berlaku baik untuk aset maupun untuk kewajiban. Hal ini berlaku khususnya untuk kewajiban
jangka panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup material sehingga
jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama dengan jumlah rupiah pengorbanan sumber
ekonomik (kas) masa datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos
pendanaan (financing cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap
tidak material. Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai
sekarang (current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik
seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya. Dengan demikian, basis pencatatan
kewajiban adalah nilai setara tunai bukan nilai nominal utang. Misalnya saja, kalau suatu
utang usaha diakui sebesar Rp1.000.000 padahal disepakati secara tegas dan diketahui
bersama bahwa utang tersebut dapat dilunasi setiap saat dalam waktu kurang dari sepuluh
hari dengan jumlah Rp970 000, maka dengan dasar nilai setara tunai utang tersebut
sebenarnya tidak melebihi 970.000. Kalau utang tersebut dicatat sebesar Rp1.000.000 maka
jelas utang tersebut akan tersaji lebih (overstated).

Pencatatan utang sebesar nilai pelunasan (Rp1.000.000) dapat didukung atas dasar konsep
konservatisme. Jumlah rupiah ini merupakan jumlah rupiah yang diperlukan untuk melunasi
utang dalam keadaan yang paling tidak menguntungkan yaitu melewatkan kesempatan
mendapatkan potongan. Sebaliknya, kalau ditinjau atas dasar konsep pengelolaan perusahaan
yang baik dan konsep kontinuitas usaha (going concern), maka jelas akan merupakan praktik
akuntansi yang lebih baik untuk melaporkan utang tersebut pada jumlah rupiah tunainya yaitu
Rp970.000. Utang tersebut akan tetap dicatat sebesar Rp970.000 sampai hak untuk
memperoleh potongan tersebut sudah habis dan tambahan utang sebesar Rp30.000 timbul.
Imbangannya adalah biaya berupa rugi diskun terlewatkan (loss on lapsed discount). Nilai
setara tunai lebih tepat mengukur kewajiban karena aset yang bersangkutan juga diukur
dengan jumlah tersebut.

Kewajiban Dalam Pembelian Kredit

Dasar pengukuran aset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos tunai
implisit (implied cash cost). Karena kewajiban merupakan bayangan cermin aset,
pengukurannya juga mengikuti pengukuran aset. Misalnya suatu perusahaan menandatangani
kontrak pembelian mesin. Perusahaan menyepakati harga kontrak mesin Rp1.600.000 dan
dibayar dalam delapan kali angsuran tiap akhir triwulan sebesar Rp200.000 tanpa
menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam kasus ini sebenarnya harga nominal
(kontrak) tersebut melebihi kos tunai implisit yaitu jumlah rupiah yang diperlukan seandainya
pembelian dilakukan secara tunai Kalau mesin tersebut dapat diperoleh juga dari toko yang
sama dengan harga tunai Rp1.465.000 maka jumlah rupiah ini kos tunai implisit sedangkan
selisih sebesar Rp 135.000 adalah setara dengan bunga dan harus dibebankan terhadap
pendapatan selama jangka waktu kontrak. Bunga ini akhirnya akan menjadi biaya yang
sesungguhnya terjadi atau nyata dan bukan bunga hipotetis. Dengan demikian, secara
konseptual kewajiban harus diakui pada saat transaksi sebagai berikut:

Mesin 1.465.000

Utang Usaha 1.465.000

Secara teknis pembukuan, dapat saja jumlah rupiah bunga dicatat untuk kepentingan internal
dan jumlah utang dicatat sebesar nominalnya sebagai berikut:

Mesin 1.465.000

Bunga Tangguhan 135.000

Utang Usaha 1.600.000

Bila cara di atas dilakukan, pelaporan kewajiban harus tetap menunjukkan nilai tunai
implisitnya dengan cara mengurangkan bunga tangguhan terhadap utang usaha. Bunga
tangguhan tidak dilaporkan sebagai aset. Pada umumnya, atas dasar kepraktisan, perusahaan
tidak berusaha untuk menentukan kos tunai implisit baik dengan cara menanyakan langsung
ke toko penjual barang ataupun dengan cara mendiskon nilai kontrak dengan tarif bunga yang
berlaku. Kalau aset dan kewajiban dicatat dan dilaporkan sebesar Rp1.600.000, jelas kos aset
dan kewajiban tercatat terlalu tinggi. Walaupun demikian, kalau jangka waktu kontrak adalah
pendek maka jumlah kelebihan kos adalah kecil dan dapat diabaikan atas konsep materialitas.

Diskon dan Premium Utang Obligasi

Nilai nominal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik penerbit maupun kreditor. Dasar pengukuran
demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan pembayaran
bunga periodik dan pokok pinjaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran jumlah rupiah
(kos) utang dan aset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah kos tunai implisit.
Dalam hal obligasi jangka panjang, jumlah rupiah uang yang diterima oleh penerbit dan yang
dibayarkan oleh kreditor pada saat penerbitan hanyalah merupakan bagian kecil dari jumlah
rupiah total yang terlibat dalam kontrak obligasi. Jumlah rupiah total ini adalah seluruh
jumlah rupiah pembayaran pembayaran masa datang (bunga periodik dan nominal obligasi).
Pembayaran masa datang ini sebenarnya terdiri atas dua unsur yaitu (1) nilai sekarang
pembayaran bunga periodik dan nilai sekarang nominal obligasi dan (2) bunga efektif yang
terlibat dalam penentuan harga obligasi tersebut.

Sebagai contoh, seorang investor membayar Rp 803.542 untuk obligasi yang diterbitkan oleh
suatu perusahaan. Nominal obligasi Rp1.000.000 berjangka lima tahun dengan bunga
nominal 10% per tahun dibayar setahun sekali. Tingkat bunga pasar (efektif) pada saat
diterbitkan adalah 16%. Investor akan mencatat kos investasi sebesar jumlah rupiah yang
benar-benar dikeluarkan pada saat transaksi. Sebaliknya, penerbit akan mencatat kos utang
efektifnya sebesar jumlah rupiah aset (kas) yang diterima. Pengukuran semacam itu jelas
menunjukkan kesepakatan yang benar-benar disetujui bersama oleh dua pihak yang terlibat.
Dalam transaksi tersebut tidak terkandung unsur untung atau rugi; artinya penghargaan yang
diberikan oleh satu pihak sama dengan penghargaan yang diterima pihak yang lain. Jadi,
jumlah Rp803.542 merupakan penghargaan sepakatan dan menjadi harga efektif utang
obligasi.

Makna Harga Efektif Obligasi

Segera setelah transaksi terjadi maka "kesepakatan" dalam hubungannya dengan obligasi
tersebut mulai menunjukkan makna yang sebenarnya. Dengan telah mulai berjalannya
kesepakatan dalam transaksi obligasi di atas, bunga Rp100.000 tiap tahun mulai terhimpun
dan dibayar secara periodik sampai jatuh tempo. Bersamaan dengan itu, jumlah rupiah utang
obligasi yang mula-mula tercatat akan berangsur-angsur berubah (bertambah) menuju jumlah
rupiah nilai jatuh tempo atau nominal Kalau kos utang dan aset dicatat sebesar nominal pada
saat terjadinya, jelas kos tersebut tersaji lebih (overstated). hal ini, selisih nomina dengan
penghargaan sepakatan merupakan diskun obligasi. Bagi penerbit obligasi, perhitungan biaya
bunga menjadi tidak lengkap (tepat) apabila tidak memperhatikan kedua proses di atas
(perhitungan bunga periodik dan akumulasi diskun). Jumlah rupiah utang obligasi tiap saat
(keharusan saat itu) sebelum jatuh tempo akan terlalu besar apabila dinyatakan sebesar
nominalnya.

Diskun Obligasi
Diskun obligasi yang belum diamortisasi bukan merupakan suatu rugi karena aset yang
diperoleh sebelumnya tidak ada yang berkurang atau menguap (dissipation). Tia juga bukan
aset karena tidak ada pengeluaran yang mengakibatkan bertambahnya aset fisis sebesar
jumlah rupiah diskun tersebut. Kalau demikian, kesimpulan yang pasti adalah bahwa diskun
utang obligasi pada waktu penerbitan adalah suatu jumlah rupiah debit yang menunjukkan
biaya bunga yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian, diskun tersebut
harus dilaporkan dalam neraca sebagai pengarang nilai nominal (jatuh tempo) utang obligasi.
Jadi, akun diskun obligasi merupakan akun penilaian (valuation account) terhadap akun utang
obligasi yang memuat nominal utang. Juga tidak tepat mengartikan diskun utang obligasi
sebagai "bunga dibayar di muka (prepaid interest) karena memang belum dibayar. Diskun
obligasi sebenarnya merupakan bunga yang "belum dibayar," yaitu bagian bunga efektif total
yang baru akan dibayar pada saat utang obligasi jatuh tempo.

Premium Obligasi

Sejalan dengan penalaran tentang makna diskun obligasi yang dilandasi konsep dasar
penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan bahwa premium yang dibayarkan investor untuk
obligasi merupakan unsur dari jumlah rupiah utang perusahaan. Bersamaan dengan
berjalannya waktu mendekati jatuh tempo, jumlah rupiah bagian utang yang merupakan
premium harus diamortisasi secara sistematik dengan cara memisahkan dari penghargaan
sepakatan bagian yang diperhitungkan sebagai pembayaran "bunga" periodik. Mengartikan
premium obligasi sebagai "pendapatan tangguhan" (deferred income) jelas tidak tepat karena
secara konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses pemerolehan utang.
Pendapatan hanya timbul dari kegiatan pembentukan pendapatan (earning process). Atas
dasar konsep kontinuitas usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah
benar-benar merupakan utang dan jumlah amortisasi periodik adalah merupakan penyesuai
(pengurang) terhadap biaya dan bukannya merupakan elemen pendapatan. Tanpa penyesuaian
ini biaya bunga periodik akan menjadi tersaji lebih (overstated). Penghargaan sepakatan
sebagai pengukur keharusan sekarang pada saat terjadinya kewajiban lebih didasarkan pada
aspek substansi daripada yuridis. Dari segi yuridis, utang memang harus diukur sebesar nilai
nominalnya karena kalau terjadi likuidasi hak menerima pelunasan yang melekat pada
investor adalah sebesar nominal. Untuk ini, telah ditegaskan sebelumnya bahwa pandangan
akuntansi tidak harus sejalan dengan pandangan yuridis karena tujuan pengukuran yang
berbeda. Akuntansi mendasarkan diri pada anggapan bahwa perusahaan akan berlangsung
terus (konsep kontinuitas usaha) sehingga pengukuran tidak didasarkan pada keadaan
perusahaan dilikuidasi. Pandangan yuridis yang tidak memperhatikan diskun dilandasi
konsep pengukuran dengan asumsi perusahaan dilikuidasi. Dalam keadaan tidak normal
seperti likuidasi atau reorganisasi memang dapat dijustifikasi pengukuran dengan
menggunakan konsep yang berbeda dengan akuntansi. Akan tetapi, secara umum akuntansi
tidak harus mendasarkan diri pada konsep tersebut.

Kewajiban Moneter dan Nonmoneter

Kewajiban dapat bersifat moneter maupun nonmoneter. Kewajiban moneter adalah kewajiban
yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas Jengan jumlah rupiah dan
saat yang pasti (baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara berkala). Secara
konseptual, pada saat terjadinya, kewajiban moneter diukur atas dasar nilai diskunan
pembayaran kas masa datang (discounted future cash outflows). Hal ini berlaku khususnya
untuk kewajiban moneter jangka panjang. Untuk kewajiban moneter jangka pendek,
kewajiban dapat diukur atas dasar nilai nominal (face value) berdasarkan konsep dasar
materialitas. Termasuk dalam pengertian kewajiban moneter adalah penerimaan di muka
(advances) yang akan dikompensasi dengan pembelian barang dan jasa di masa datang.
Disebut kewajiban moneter karena kalau pembelian barang dan jasa batal, uang muka
tersebut harus dikembalikan.

Kewajiban nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah
dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan pembayaran di muka
untuk barang dan jasa tersebut. Bila pembayaran di muka penuh, kewajiban nonmoneter
diukur atas dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk
barang dan jasa. Sebagai ilustrasi, dimisalkan suatu perusahaan menerima uang muka sebesar
Rp 100.000 yang menggambarkan jumlah rupiah penuh harga barang yang dipesan seorang.
Dimisalkan pula kos produksi, pemasaran, dan penjualan ditaksir dengan cukup pasti sebesar
Rp80 000. Atas dasar permasalahan di atas, terdapat tiga alternatif untuk mengakui kewajiban
yaitu:

a) Kas 100.000

Kewajiban Menyerahkan Barang 100.000


b) Kas 100.000

Pendapatan Tangguhan 100.000

c) Kas 100.000

Kewajiban Menyerahkan Barang 80.000

Laba Tangguhan 20.000

Bila kos barang dan jasa merupakan unsur yang dominan, pembayaran di muka dapat
dianggap seluruhnya menimbulkan kewajiban (sebagai kewajiban lancar). Akan tetapi, kalau
kos merupakan unsur yang kecil dari seluruh harga jual barang dan jasa, pembayaran di muka
dapat dianggap seluruhnya menimbulkan kredit atau pendapatan tangguhan atau pendapatan
takterhak (unearned revenues) yang merupakan kewajiban nonkeharusan. Keduanya masih
memenuhi definisi kewajiban karena adanya keharusan untuk menyerahkan barang dan jasa.
Perlakuan ini secara konseptual lebih didukung daripada pemisahan uang muka menjadi
komponen kos (merepresentasi kewajiban) dan laba. Berikut argumen-argumen yang
mendukung:

a. Keharusan menyerahkan barang dan jasa merupakan bagian dari operasi perusahaan
secara keseluruhan sehingga barang dan jasa dinyatakan dalam harga jual dari kaca mata
kedua pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, pembayaran di muka merupakan
pendapatan tangguhan yang menunggu penyerahan barang bukan jumlah untuk menutup
kos barang dan jasa.

b. Sebagai bagian dari operasi perusahaan secara keseluruhan, penerimaan uang muka
lebih tepat bila diperlakukan seluruhnya sebagai kewajiban. Ini merupakan konsekuensi
argumen a di atas.

c. Laba secara otomatis tercipta pada saat pendapatan telah diakui sehingga pemisahan
antara kewajiban dan laba tangguhan tidak ada manfaatnya karena keduanya sama-sama
dilaporkan di sisi kredit dan bersifat kewajiban yang keduanya terselesaikan pada saat
barang atau jasa telah diserahkan.
d. Kas yang diterima tidak dapat dikaitkan dengan kos penyediaan barang/produk dan jasa
yang diberi uang muka karena beberapa komponen produk atau jasa pada umumnya
sudah diperoleh perusahaan (misalnya depresiasi) bahkan beberapa komponen mungkin
belum diperoleh perusahaan pada saat penerimaan uang muka. Tidak ada basis untuk
menghubungkan secara rasional uang muka dengan kos barang dan jasa yang harus
diserahkan. Ini memperkuat argumen b di atas.

e. Penyerahan barang merupakan saat yang kritis untuk mengakui pendapatan daripada
saat penerimaan kas sehingga laba (baik sekarang atau tangguhan) tidak dapat diakui pada
saat penerimaan kas. Jadi, percuma saja untuk memisahkan uang muka untuk
merepresentasi kos dan laba.

Penilaian

Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the value of current
obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang
pada setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai di lunasinya kewajiban. Makin
mendekati saat jatuh tempo, nilai kewajiban akan semakin mendekati nilai nominal (face
value) kewajiban. Jadi, penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah yang
harus dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain,
penilaian adalah penentuan nilai sekarang kewajiban. Dalam hal obligasi, nilai sekarang
tersebut disebut nilai bawaan (carrying value) stat nilai pelunasan sekarang (current
settlement value). Nilai pelunasan sekarang pada umumnya bergantung pada tukar pasar
obligasi. Amortisasi diskun atau premium merupakan proses dalam rangka penelusuran
kewajiban untuk menentukan nilai pelunasan sekarang. Untuk kewajiban moneter, nilai
sekarangnya biasanya ditentukan atas dasar aliran kas keluar masa datang diskunan dengan
tingkat bunga pasar sebagai tarif diskun.

Pelunasan

Begitu terjadi akibat transaksi, kejadian, atau keadaan yang memicu kesatuan usaha
mengakui kewajiban, suatu kewajiban akan terus mengikat atau menjadi keharusan sampai
keharusan tersebut dipenuhi (satisfied) melalui transaksi, kejadian, atau keadaan yang
mempengaruhi kesatuan usaha. Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang sengaja dilakukan
oleh kesatuan usaha untuk memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi
normal usaha (in due course of business) sehingga tia bebas dari kewajiban tersebut.
Pelunasan biasanya merupakan pemenuhan secara langsung kepada pihak yang berpiutang.
Pelunasan menjadikan kewajiban tersebut hapus, tiada, atau lenyap (extinguished) secara
langsung (kewajiban langsung didebit). Kebanyakan kewajiban dipenuhi secara langsung
dengan pembayaran tunai. Beberapa kewajiban dipenuhi dengan pentransferan aset atau
penyediaan jasa oleh kesatuan usaha kepada kesatuan usaha lainnya. Beberapa kewajiban
menjadi batal atau kesatuan usaha menjadi bebas dari kewajiban lantaran pengampunan
(forgiveness) sebagian/seluruhnya, kompromi, penimbulan/pengakuan kewajiban
baru/pengganti, pengambilalihan kewajiban oleh pihak lain, atau keadaan khusus misalnya
dalam kasus restrukturisasi utang. Bila kewajiban menjadi hapus lantaran berbagai transaksi
atau kejadian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keharusan sekarang (present obligation
mengalami pembebasan atau pembatalan (defeasance).

Pelunasan secara langsung disebut juga pelunasan secara yuridis karena kewajiban kepada
pihak yang berpiutang secara yuridis hapus melalui transaksi langsung yang benar-benar
terjadi (misalnya pembayaran tunai secara langsung). Pada saat pembayaran, pengutang atau
debitor (debtor) secara yuridis bebas de kewajiban dan secara teknis/administratif dan tuntas
dapat mendebit utangnya. Pelunasan secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha
melakukan tindakan yang mengarah ke pelunasan misalnya dengan pembentukan dana
khusus untuk pelunasan (sinking fund) baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust
agency). Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini menjadikan kesatuan usaha secara
substantif menempati keadaan yang disebut pembatalan atau pembebasan kewajiban) secara
substantif (in-substance defeasance).

Masalah akuntansi yang berkaitan dengan pelunasan langsung maupun tidak langsung adalah
penentuan kapan (timing) kewajiban telah dapat dikatakan hapus atau lenyap sehingga
jumlah rupiahnya dapat diakui (derecognized) dari sistem pembukuan." FASB memberi
pedoman tentang sant pelenyapan (extinguishment) kewajiban. Debitor harus mengakui suatu
kewajiban hanya apabila tia telah lenyap. Pada mulanya FASB menentukan kriteria
lenyapnya untuk kewajiban dalam SFAC No. 76 (prg. 3) sebagai berikut:

a. Debitor membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan
dengan utang. Pelunasan ini meliputi pemerolehan kembali sekuritas utang yang beredar
di pasar modal, tanpa memperhatikan apakah sekuritas utang tersebut dibatalkan
(cancelled) atau ditahan sementera sebagai obligasi treasuri (treasury bonds).
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statuanya sebagai penanggung utang
(obligor) utama baik oleh putusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan
(probable) bahwa debitor tidak akan diharuskan untuk melakukan pembayaran di masa
datang yang berkaitan dengan utang dengan penjaminan dalam bentuk apapun (debt
under any guarantees).

c. Debitor menaruh kas atau aset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu
perwalian (trust) yang semata-mata digunakan untuk pelunasan pembayaran bunga serta
pokok suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor untuk
diharuskan lagi melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman
tersebut. Dalam keadaan ini, ulang dapat dinyatakan hapus/lenyap (extinguished)
meskipun debitor secara yuridis tidak bebas dari statusnya sebagai obligor utama dalam
perjanjian utang semula.

Ketentuan di atas telah diganti (superseded) oleh ketentuan dalam SFAS No. 125 karena
ketentuan di atas didasarkan atas pendekatan bahwa dalam serangkaian transaksi, tiap aset
atau kewajiban merupakan komponen yang tidak dapat dipecah-pecah
(indivisible-component approach). Pendekatan ini menjadi basis utama ketentuan di atas yang
disebut pembebasan kewajiban secara substantif atau pembebasan substantif (in-substance
defeasance). FASB berargumen pendekatan ini tidak tepat sebagai basis untuk pengembangan
standar yang berkaitan dengan pelenyapan dan pengawaakuan kewajiban. Dengan
pendekatan ini, transaksi-transaksi yang tidak cukup mempunyai substansi ekonomik dapat
membenarkan pengawaakuan kewajiban dan pengakuan untung yang dipandang FASB tidak
menyimbolkan secara tepat realitas kegiatan yang ada (not representationally faithful). Oleh
karena itu, FASB menerapkan pendekatan komponen-keuangan (financial-components
approach). Dengan pendekatan ini, berbagai transaksi yang berkaitan dengan suatu kewajiban
tertentu dapat dianggap terpisah dan independen sehingga berbagai aset atau kewajiban yang
terlibat harus diperlakukan sebagai komponen-komponen terpisah. Dengan pendekatan ini,
FASB mengganti ketentuan di atas dengan menghapus ketentuan c dan merevisi ketentuan b
melalui SFAS No. 125. Di dalamnya FASB menetapkan bahwa suatu kewajiban dapat
dikatakan lenyap kalau salah satu dari kondisi berikut dipenuhi (prg. 16);

a. Debitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada
kewajiban. Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, aset finansial lain, barang,
atau jasa atau penebusan sekuritas utang oleh debitor untuk menghapus utang atau untuk
menahannya sebagai utang obligasi treasuri.

b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang
(obligor) utama baik oleh putusan pengadilan maupun oleh kreditor.

Atas dasar ketentuan b, jika kreditor membebaskan debitor dari kewajibannya karena pihak
ketiga mengambil alih/menanggung kewajiban tersebut dan debitor semula (original debtor)
hanya menjadi penanggung sekonder, pembebasan tersebut dengan sendirinya melenyapkan
kewajiban debitor semula. Penanggung sekonder berfungsi atau bertanggung jawab sebagai
penjamin (guarantor). Dengan ketentuan a, kewajiban dapat dikatakan lenyap bila debitor
menyerahkan atau mentransfer kas atau aset finansial (financial assets) lain. Aset finansial
merupakan salah satu jenis dari apa yang disebut instrumen finansial (financial instruments).
FASB mendefinisi instrumen finansial sebagai berikut (SFAS No. 107, prg. 3):

Instrumen finansial adalah kas, bukti pemilikan (ownership interest) dalam suatu entitas, atau
suatu kontrak yang memuat dua ketentuan berikut:

a. Mengenakan atas suatu entitas keharusan kontraktual untuk (1) menyerahkan kas atau
instrumen finansial lainya kepada entitas kedua atau (2) menukar finansial yang dipegang
entitas kedua dengan instrumen finansial lain atas keuntungan entitas kedua.

b. Mengalihkan/ memberi kepada entitas kedua di atas suatu hak kontraktual untuk (1)
menerima kas atau instrumen finansial lainya dari entitas pertama atau (2) menukarkan
instrumen finansial yang dipegangnya dengan instrumen finansial lain dari entitas
pertama atas keuntungan entitas kedua.

Ketentuan a merupakan merupakan imbangan atau pasangan dari ketentuan b. Artinya,


ketentuan a harus disertai dengan ketentuan b atau sebaliknya. Ketentuan a memandang
kontrak dari sudut penerbit instrumen (issuer) atau entitas pertama dan ketentuan b dari sudut
pemegang instrumen (holders) atau entitas kedua. Oleh karena itu, kas, bukti kepemilikan,
atau kontrak dari sudut pandang pemegang instrumen disebut sebagai aset finansial (financial
assets) sedangkan kontrak dari sudut pandang penerbit instrumen (entitas pertama) disebut
sebagai kewajiban financial (financial liabilities). Pemegang aset finansial dapat mentransfer
aset tersebut ke pihak ketiga untuk pelunasan kewajiban.

Transfer Aset Finansial

Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer aset finansial (termasuk kas),
barang, atau jasa. Pada umumnya, bila kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara
penuh kas, barang, atau jasa ke debitor, maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas.
Debitor tidak lagi terlibat dengan aset atau kreditor secara finansial. Pelunasan kewajiban
dengan aset finansial juga dapat bersifat tuntas bila penyerahan aset finansial bersifat tak
bersyarat dan dianggap sebagai penjualan. Artinya, aset finansial dianggap dijual secara tunai
dan kas yang diterima seketika itu pula dianggap untuk melunasi kewajiban.

Lain halnya kalau pelunasan kewajiban dilakukan dengan transfer aset finansial yang
menimbulkan keterlibatan berlanjut (continuing involvement) pentransfer (transferor) dengan
aset transferan (transferred assets) atau tertransfer (transferee). Dalam hal ini, kewajiban tidak
lenyap secara tuntas atau ada kewajiban baru yang berkaitan dengan aset transferan. Contoh
keterlibatan berlanjut adalah adanya hak regres (recourse), janji untuk membeli kembali,
penerbitan opsi, dan penjaminan dengan kolateral (pledges of collateral). Keterlibatan
berlanjut menimbulkan masalah konseptual apakah transfer diperlakukan sebagai penjualan
aset (sebagian atau seluruhnya) atau sebagai pinjaman berjaminan (secured borrowings).
Perlakuan yang berbeda mempunyai konsekuensi yang berbeda pula terhadap akuntansi bagi
pentransfer dan tertransfer. Oleh karena itu, diperlukan kriteria untuk menentukan apakah
perlakuan yang tepat (sebagai penjualan atau penjaminan) untuk transfer aset finansial baik
bagi pentransfer maupun tertransfer. Secara umum, transfer aset dianggap sebagai penjualan
apabila pentransfer menyerahkan penguasaan (control) atas aset finansial tersebut dan
menerima aset lain sebagai penghargaan (consideration) atas aset finansial tersebut.

Repayment before maturity

If an obligation is paid off at maturity (nominal) it automatically reflects the present value (at
the time of repayment) of the obligation so that there is no difference between the amount of
rupiah paid and the nominal value. The maturity value will also be the same as the book value
or carrying value of the obligation due to the amortization process of the difference between
nominal and market value at the time of debt issuance (for example bonds). During
circulation, the market value or present value of the obligation fluctuates according to the
prevailing interest rate, but generally these fluctuations are not recognized in the debtor's
books. Therefore, if the debt is repaid before maturity (APBO No. 26 calls it early
extinguishment of debt), the debtor must redeem the debt at the market price so that there
may be a difference between the default value and the redemption value.
The withdrawal of outstanding bonds is a transaction that affects the contract between
debtors and creditors, but this transaction is very different from operational activity flow
transactions and asset use transactions (investment). Thus, there is a view that profits or
losses originating from these transactions should be reported as a capital adjustment.
Transactions relating to owners and non-owners must be differentiated. Because the bond
redemption transaction is not related to the owner.
Depending on its nature, gain or loss may be reported as an ordinary item or an
extraordinary item. The criteria for determining this is whether the item is the result of a
transaction or event that has the following post characteristics (APBO No. 9):
a. Very different from the routine operational activities of business entities
b. Not expected to happen often
c. Material impact on the company's overall operations
For repayment with funding, there are actually three alternative treatments for the
difference, namely:
(a) The difference is amortized over the remaining original life of the debt being
withdrawn
Old loan terms are affected by differences arising from early repayment of old debt.
However, if the new debt matures over the original debt, part of the difference is
amortized over the life of the new debt and the remainder is recognized immediately
when the new debt matures as profit or loss.
(b) The difference is amortized over the life of the new debt issued
Based on the idea that the motivation for debt refinancing is to obtain a more
favorable interest rate over the life of the new debt than the interest rate over the
remaining life of the old debt. if debt refinancing is carried out because of lower
interest rates over the remaining life of the old debt or because of the anticipation of
higher interest rates after the old debt matures. So, new debt is now cheaper than debt
that can be obtained after the old debt matures.
(c) The difference is recognized at the time of withdrawal and reported in the profit and
loss statement for the year concerned
Based on the idea that early repayment with refinancing is the same as any other
repayment. So, early repayment is considered a debt recall and new debt is considered
a separate or independent transaction

Of the alternatives above, the FASB adheres to alternative (c) with the argument that
all obligations have the same characteristics. Therefore, repayment of debt before maturity is
the same as repayment at maturity regardless of how to do this (by refinancing or not).
Therefore, the difference between the withdrawal price and the carry value (book value)
should be treated as profit or loss in the year the withdrawal occurs rather than being
amortized into the future. Profit or loss can be reported as ordinary or extraordinary items
depending on an assessment of the conditions surrounding the transaction.

Convertible Bond

Convertible debt is a financial instrument which is basically a means of payment or guarantee


so that it can be used by the holder to pay off debt. Debt securities of this kind usually have
the status of both liabilities and equity. This means that the instrument holder has the
privilege to change debt status to equity at any time as long as this right is still valid (has not
expired). An example could be a Convertible Bond.
Hendriksen and van Breda (1991, p. 688) show that convertible bonds usually have
the following characteristics:

1. The nominal interest rate is well below the market interest rate for comparable
ordinary bonds.
2. The conversion price set is higher than the market price of ordinary shares.
3. The conversion price never decreases during the term of the conversion rights except
due to adjustments required as a result of taking away the rights attached to ordinary
shares such as in the event of a stock split or stock dividend.

Karakteristik obligasi terkonversi menimbulkan masalah akuntansi pada saat


pengakuan, pengkonversian, dan pelunasan. Karena bersifat kewajiban dan ekuitas, masalah
pada saat pengakuan adalah apakah harga penerbitan obligasi harus dipecah menjadi porsi
yang merepresentasi utang obligasi (masuk kewajiban) dan porsi yang merepresentasi hak
konversi (masuk ekuitas sebagai modal setoran/paid-in capital) atau harga penerbitan tidak
dipecah dan utang terkonversi dianggap utang semata-mata (solely as debt).
Pendukung alokasi karena utang terkonversi mengandung sifat utang dan ekuitas harus diakui
secara terpisah, berpendapat:

a. Hak konversi mempunyai nilai ekonomik sehingga tidak berbeda dengan sifat hak
opsi atau waran.
b. Pada saat penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak konversi)
dapat diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesulitan teknis untuk
mengimplementasi pemisahan tersebut.
c. Tujuan penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan
ekuitas. Sifat utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan jelek yang
dapat menimpa perusahaan.
Sementara itu, pendukung semata-mata utang mengajukan argumen sebaliknya:
a. Utang obligasi terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (inseparability of the debt and the
conversion option)
b. Penilaian hak konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua
komponen (utang dan hak konversi).

Jadi, ketidakterpisahan (inseparability) dan kepraktisan (practicality) menjadi


landasan pikiran untuk memperlakukan utang terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal
inilah yang menjadi basis opini APB yang memandang nilai obligasi dan hak konversi
sebagai satu kesatuan.
Meskipun demikian, untuk sekuritas utang dengan hak beli saham yang terpisah (debt
with stock purchase warrants), APB mengambil posisi sebaliknya yaitu porsi nilai securitas
yang melekat pada hak beli harus diperlakukan sebagai modal setoran dan nilainya ditentukan
atas dasar nilai wajar relatif dari kedua sekuritas pada saat penerbitan. Hal ini berlaku untuk
sekuritas utang dengan hak beli saham atau waran terpisah (detachable warrants). Artinya
waran tetap berlaku meskipun utang sudah dilunasi atau pengambilan hak waran tidak harus
disertai dengan penyerahan sekuritas utang yang berkaitan.
Perdebatan mengenai perlakuan sekuritas hibrida timbul karena perbedaan elemen
kewajiban dan ekuitas secara definisional sehingga selalu timbul masalah klasifikasi terhadap
sekuritas hibrida atau instrumen keuangan. Salah satu pemecahan masalah ini adalah
mendefinisi ekuitas dalam arti luas yang mencakupi utang/kewajiban kemudian
mengklasifikasi ekuitas menjadi beberapa kelas atas dasar hak-hak yang melekat pada tiap
kelas.
Cara lain adalah menyediakan subklasifikasi yang tegas untuk berbagai instrumen
finansial untuk dapat diakui dan dilaporkan dalam neraca secara mudah. Memorandum
(1990), Hendriksen dan van Breda (1991, hlm. 691) mendaftar klasifikasi instrumen finansial
tersebut yaitu:
1. Unconditional receivable-payable contracts
2. Conditional receivable-payable contracts
3. Financial option contracts
4. Financial guarantees or other conditional exchange contracts
5. Financial forward contracts
6. Equity instruments

Selain memenuhi definisi, suatu pos atau objek juga harus memenuhi kriteria
pengakuan yang lain yaitu terukur (measurable), terandalkan (reliable), dan berpaut
(relevant). Oleh karena itu, cara lain untuk mengatasi masalah instrumen keuangan adalah
bukan dengan pengakuan melainkan dengan pengungkapan (disclosures).

Pembebasan Substantif

Telah disebutkan bahwa kewajiban dapat dinyatakan terlunasi dan lenyap apabila telah
dilakukan pembayaran atau telah terjadi pembebasan secara hukum oleh pihak kreditur atau
pengadilan. Pada mulanya, FASB (melalui SFAS No. 76) menetapkan bahwa kewajiban
dapat dianggap lenyap bila debitor menaruh kas atau aset lainnya (misalnya obligasi
pemerintah) yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu perwalian dan aliran kas dari aset
tersebut akan cukup untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok pinjaman. Bila telah
dicapai saat sehingga debitur tidak perlu lagi melakukan pembayaran di masa datang yang
berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat tersebut secara substantif debitor-sudah
bebas dari kewajiban sehingga dapat mengawasi kewajiban dan aset dalam perwalian
meskipun utang belum jatuh waktu. Demikian juga, bila debitor membentuk dana pelunasan
utang obligasi, pada saat debitur sudah tidak perlu lagi membayar atau menyetor kas ke dana
tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan (aliran kas) dari dana tersebut sudah
pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat jatuh tempo, maka pada saat itu kewajiban
debitur secara substantif dianggap dianggap lenyap meskipun kewajiban belum jatuh tempo.
Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan membayar, telah terjadi pembebasan substantif
(in-substance defeasance).
Sebagai contoh, perusahaan menerbitkan utang obligasi nominal Rp50.000.000 yang
akan jatuh tempo dalam waktu 10 tahun. Bersamaan dengan penerbitan, perusahaan
membentuk dana pelunasan obligasi dengan menyetor kas secara berkala ke suatu perwalian
dana. Pada akhir tahun obligasi ke enam, dana pelunasan telah terkumpul sebesar
Rp40.000.000 (termasuk yang berasal dari pendapatan dana) dan perusahaan tidak perlu lagi
menyetor kas ke dana tersebut karena perhitungan menunjukkan bahwa pada saat jatuh tempo
dana akan berkembang menjadi Rp50.000.000. Jadi, pada akhir tahun obligasi keenam telah
terjadi pembebasan substantif. Apakah pada saat itu perusahaan dapat mengawasi
(menghapus) kewajiban dan aset (dana pelunasan) sebagai berikut:

Utang Obligasi………………….………………….…… 50.000.000


Dana Pelunasan Obligasi………………….……. 40.000.000
Untung Pembebasan Utang (Ekstraordiner)……. 10.000.000

Pelunasan Obligasi Rp40.000.000 sebenarnya representasi nilai tunai dana sampai


saat pencatatan di atas. Untung Pembebasan Utang dalam pencatatan di atas sebenarnya
merepresentasi pendapatan atau aliran kas yang berasal dan terakumulasi dari aset (dana)
yang ditempatkan pada perwalian dari saat pencatatan di atas sampai saat jatuh tempo utang.
Pada saat pencatatan di atas untung tersebut belum terealisasi tetapi masih merupakan
antisipasi. Oleh karena itu, lebih tepat kalau selisih tersebut dicatat sebagai
Untung/Pendapatan Dana Belum Terealisasi dan harus diakui sebagai untung/pendapatan
secara berkala.
Telah dijelaskan sebelum ini bahwa pada mulanya FASB membolehkan
pengawaakuan kewajiban pada saat tercapainya pembebasan substantif melalui SFAS No. 76,
paragraf 3c. Namun kemudian, FASB membatal kan ketentuan tersebut dengan
dikeluarkannya SFAS No. 125. Dalam standar ini, FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi
pembebasan substantif, kewajiban tidak dapat dihapus karena kejadian tersebut tidak
memenuhi karakteristik atau kriteria kritis sebagai berikut:
a. Debitor tidak dengan sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya
lantaran perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu perwalian.
b. Untuk pelunasan kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang
ditempatkan dalam perwalian.
c. Creditor tidak mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas aset dalam
perwalian dan juga tidak dapat menghentikan atau membatalkan perwalian tersebut.
d. Kalau ternyata aset dalam perwalian melebihi apa yang diperlukan untuk membayar
pokok dan bunga pinjaman, debitur dapat menggunakan kelebihan tersebut.
e. Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam kontrak
pembentukan dana pembebasan utang.
f. Debitur tidak menyerahkan kendali atas manfaat aset karena manfaat aset tersebut
masih melekat pada debitur meskipun debitur telah telah mengakuinya sementara itu
kreditur juga tidak mengakuinya sebagai aset sehingga praktis aset tersebut masih
dikuasai oleh debitur.
Keuntungan bagi debitur dalam pengakuan kewajiban pada saat terjadinya pembebasan
substantif untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dan peningkatan kinerja
secara kosmetik (window dressing):
a. Kewajiban dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban-ekuitas mem- baik.
b. Laba tahun berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang terjadi dalam
pengawaakuan kewajiban.
c. Untung pengawaakuan kewajiban tidak dikenai pajak (di Amerika) karena untung
tersebut sebenarnya belum terealisasi sehingga perusahaan dapat menghemat atau
menunda pajak dan meningkatkan profitabilitas secara cukup berarti pada saat
pembebasan substantif.
d. Bila aset berupa obligasi pemerintah (US Treasury Bonds), perusahaan dapat
menghemat pajak karena untuk penghitungan pajak (di Amerika) pendapatan bunga
obligasi pemerintah dapat dikompensasi oleh biaya bunga utang.
e. Pembebasan substantif memungkinkan perusahaan untuk memperlakukan kewajiban
jangka panjang seperti mengelola surat-surat berharga (marketable securities) di sisi
aset.
Pengakuan pembebasan substantif tidak menggambarkan realitas ekonomik karena
kejadian tersebut merupakan kejadian sepihak (tidak melibatkan kreditor).

Penyajian

Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya sejalan
dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39) menggariskan bahwa aset lancar disajikan
menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini
berarti kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka panjang.
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas perusahaan.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria
sebagai kewajiban jangka pendek harus diklasifikasi sebagai kewajiban jangka panjang.
Suatu kewajiban diklasifikasi sebagai kewajiban jangka pendek bila:
a. diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan;
atau
b. jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.

Siklus operasi normal perusahaan sangat sulit untuk diidentifikasi sehingga dalam
implementasinya, waktu satu tahun dianggap sebagai siklus operasi normal perusahaan.
Waktu satu tahun dianggap cukup praktis untuk kepentingan akutansi karena ia tidak terlalu
singkat dan juga tidak terlalu lama.
kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasi sebagai kewajiban jangka
panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan
sejak tanggal neraca, apabila:
(a) kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan;
(b) perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan jangka
panjang, dan
(c) maksud tersebut pada huruf (b) didukung dengan perjanjian pembiayaan kembali atau
penjadwalan kembali pembayaran yang resmi disepakati sebelum laporan keuangan
disetujui.
Penyajian utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam kewajiban lancar akan
mempengaruhi likuiditas.

Hak Mengkompensasi

Telah disinggung sebelumnya bahwa kewajiban tidak selayaknya disajikan di ne- raca dengan
mengkompensasinya atau mengkontranya dengan aset yang dianggap berkaitan. Misalnya
dalam hal pembebasan substantif, dana pelunasan obligasi tidak dapat dikompensasikan
dengan utang obligasi. Kompensasi tidak dapat dilakukan karena tidak ada transaksi yang
menghubungkan antara debitor dan kreditor.
Hak mengontra adalah hak yuridis debitur, lantaran kontrak atau lainnya, untuk
menghapus semua atau sebagian utang kepada pihak lain dengan cara mengkompensasi utang
tersebut dengan jumlah yang pihak lain berhutang kepada debitur. Hak mengontra dikatakan
ada bilamana semua kondisi berikut dipenuhi:
a. Tiap pihak dari dua pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah
rupiah tertentu.
b. Pihak pelapor (reporting party) mempunyai hak mengontra jumlah yang diutangnya
dengan jumlah yang di hutang pihak lain.
c. Pihak pelapor memang berniat untuk mengkontra.
d. Hak mengontra terpaksakan secara hukum.
BAB 3

CLOSING

3.1 Summary
REFERENCES

Anda mungkin juga menyukai