Anda di halaman 1dari 20

Diterjemahkan dari bahasa Islan ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Mengatasi Konflik Etnis melalui Pendidikan Multikultural:


Kasus Kalimantan Barat, Indonesia

Ayami Nakaya
Universitas Hiroshima
Jepang

ABSTRAK: Penelitian ini mengkaji efektivitas pendidikan multikultural yang


diberikan setelah konflik etnis (1996‒2001) di Kalimantan Barat, Indonesia.
Penelitian yang dilakukan meliputi analisis buku teks, observasi praktik,
wawancara dengan guru dan LSM, serta survei identitas sosial siswa SMP.
Pendidikan multikultural ditemukan membantu siswa memahami masa lalu dan
situasi multikultural di masa kini. Namun, terdapat dua masalah yang
teridentifikasi: trauma dan kecemasan para pemangku kepentingan terkait
dengan mengajarkan masa lalu yang negatif dan kelemahan berpikir kritis,
terutama dalam hal (kembali) memproduksi prasangka dan konflik. Berdasarkan
analisis identitas sosial, penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan
multikultural diterapkan dalam pendidikan kewarganegaraan transformatif.

KATA KUNCI: pendidikan multikultural, pendidikan kewarganegaraan transformatif,


konflik etnis, kurikulum lokal, identitas sosial

Pendidikan Multikultural, Pendidikan Kewarganegaraan Transformatif, dan Identitas Sosial


Metode
Multikulturalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Pendidikan Multikultural Pasca-konflik di Kalimantan Barat
Identitas Sosial Siswa
Catatan
Referensi
Kontak Penulis

Pada akhir tahun 1990an, konflik etnis yang penuh kekerasan di Indonesia
cenderung terjadi pada masa reformasi kelembagaan dan negosiasi ulang model
nasional, terutama setelah jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1999 (Bertrand, 2004).
Dalam konflik etnis ini, setidaknya 10.000 orang terbunuh secara nasional antara
tahun 1997 dan 2002. Di Kalimantan Barat, terdapat tiga konflik utama: di Sanggau
Ledo (1996‒1997), Sambas (1999), dan Pontianak (2001). Setidaknya 1.000 orang
meninggal di Kalimantan Barat, dan lebih dari 50.000 orang mengalami insiden
kekerasan etnis (Prevent Conflict, 2002).
Pelaku utama dalam konflik-konflik ini, yaitu suku Madura dan Dayak, memiliki sejarah
panjang konflik yang berakar pada eksploitasi sumber daya, migrasi ke dalam, dan kohesi sosial
(Achwan, Nugroho, Prayogo, & Hadi, 2005). Suku Dayak merupakan masyarakat adat yang tinggal di
dalam kawasan hutan, yang lebih dari separuhnya telah berada di kawasan hutan

118
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

dieksploitasi oleh pemerintah. Masyarakat Melayu (kelompok etnis mayoritas lokal) dan
Dayak menganggap masyarakat Madura sebagai pendatang yang mendominasi pasar
sebagai penjual, angkutan darat dan sungai sebagai kuli angkut, dan pasar kerja di
pelabuhan (International Crisis Group, 2001). Namun, baik suku Dayak maupun Madura
memandang perbedaan budaya lebih penting dibandingkan faktor politik atau ekonomi
(Fanselow, 2015). Kedua kelompok ini menyimpan stereotip negatif terhadap satu sama
lain. Bagi orang Madura, Dayak adalah “pribumi pemalas” yang kurang disiplin dan iri
dengan orang Madura yang “pekerja keras” dan “kaya”. Sementara itu, Suku Dayak
memandang Madura sebagai wilayah yang agresif dan rawan kekerasan. Ada pula
benturan budaya dalam hal suku Dayakadat(hukum adat) dan masyarakat Maduracarok(
ritual pemulihan harga diri melalui kekerasan).

Banyak negara telah menerapkan alat-alat pendidikan—seperti perdamaian,


hak asasi manusia, agama, kewarganegaraan, dan pendidikan multikultural—untuk
mengatasi konflik etnis (Salomon & Cairns, 2010; Fontana, 2016). Di Kalimantan
Barat, pendidikan multikultural diterapkan untuk mengatasi konflik etnis. Hal ini
dilakukan oleh organisasi non-pemerintah (LSM) yang bekerja sama dengan
pemerintah daerah, lembaga internasional, dan guru sekolah. Penelitian ini mengkaji
bagaimana pendidikan multikultural dapat membantu mengatasi konflik etnis dan
mencegah konflik di masa depan.

Pendidikan Multikultural, Kewarganegaraan Transformatif


Pendidikan, dan Identitas Sosial

Kerangka teori penelitian ini didasarkan pada pendidikan multikultural,


pendidikan kewarganegaraan transformatif, dan teori identitas sosial.
Banks (2004) mengidentifikasi lima dimensi pendidikan multikultural: integrasi
konten, konstruksi pengetahuan, pedagogi kesetaraan, pengurangan prasangka, dan
pemberdayaan sekolah dan struktur sosial. Dimensi-dimensi ini menunjukkan
bagaimana buku teks dan guru pendidikan multikultural mengintegrasikan konten
multikultural dan membantu siswa memahami konstruksi prasangka, budaya otentik,
diskriminasi sosial, dan kesetaraan antar kelompok etnis, dan dengan demikian
mengembangkan sikap rasial yang positif.

Banks (2008, 2017) lebih lanjut menjelaskan bagaimana pendidikan kewarganegaraan


transformatif dapat membangun masyarakat demokratis multikultural. Kewarganegaraan
transformatif melibatkan tindakan sipil yang dirancang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral, seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan kesetaraan, di luar hukum
dan konvensi yang ada. Pendidikan kewarganegaraan transformatif mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan tindakan sosial pada siswa untuk mengidentifikasi permasalahan masyarakat
dan mendorong keadilan sosial yang diterapkan melalui pengetahuan akademik transformatif
(2008). “Pengetahuan akademis transformatif terdiri dari paradigma dan penjelasan yang
menantang beberapa asumsi epistemologis utama pengetahuan arus utama” (Banks, Orozco, &
Peretz, 2016, hal. 45). Tujuannya adalah untuk mempertanyakan struktur sosial, politik, dan
ekonomi dalam masyarakat tersebut

119
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

melanggengkan kesenjangan dan berkontribusi pada marginalisasi kelompok-kelompok yang


terpinggirkan (2016). Pendidikan kewarganegaraan transformatif membantu siswa mencapai
identifikasi budaya, nasional, regional, dan global yang reflektif dan memahami keterkaitan
dan konstruksi identitas-identitas ini (Banks, 2008). Hal ini berkontribusi dalam
menyeimbangkan kesatuan dan keragaman, membantu siswa menjaga hubungan dengan
komunitas budaya mereka serta berpartisipasi secara efektif dalam budaya nasional bersama
(Banks, 2009).

Identitas sosial, konsep ketiga dalam kerangka ini, diciptakan oleh media,
masyarakat, komunitas tradisional, komunitas agama, sekolah, wilayah, provinsi,
dan negara. Dengan demikian, identitas sosial dapat menimbulkan prasangka dan
intoleransi (Yuki, 2006). Oleh karena itu, pendidikan yang bertujuan mengatasi
konflik hendaknya dikembangkan berdasarkan situasi identitas sosial siswa. Karena
siswa SMP di wilayah penelitian lahir beberapa tahun setelah konflik etnis, mereka
hidup dalam situasi yang berbeda dengan orang tuanya. Terdapat perbedaan cara
berpikir, gaya hidup, dan pandangan dunia yang disebabkan oleh desentralisasi,
demokratisasi, perkembangan teknologi yang pesat, dan globalisasi.

Metode

Penelitian ini menerapkan desain eksploratif sekuensial (Creswell, 2013),


yang memerlukan fase awal pengumpulan dan analisis data kualitatif, diikuti
dengan fase pengumpulan dan analisis data kuantitatif.
Pertama, analisis dokumen diterapkan untuk mengidentifikasi multikulturalisme
dalam sistem pendidikan Indonesia dan menganalisis efektivitas dan efisiensi buku teks
pendidikan multikultural yang digunakan di Kalimantan Barat. Aliansi untuk Perdamaian dan
Rekonsiliasi (ANPRI, 2008), sebuah serikat untuk membangun perdamaian dan rekonsiliasi
yang terdiri dari enam LSM, mengembangkan dan menerbitkan buku teks pendidikan
multikultural untuk sekolah menengah pertama pada tahun 2001 dan merevisinya pada tahun
2008. Buku teks tersebut diharapkan dapat diterapkan dan diajarkan sebagai subjek lokal di
Kalimantan Barat. Buku ajar tahun 2008 ini diperuntukkan bagi siswa SMP tahun pertama
hingga ketiga. Buku pelajaran tahun pertama berisi 120 halaman, buku pelajaran tahun kedua
dan ketiga masing-masing sekitar 70 halaman, dan semuanya berisi foto hitam putih. Untuk
memahami buku ajar tersebut, dilakukan wawancara terhadap salah satu ketua staf
kelompok penerbit buku ajar tersebut.

Kedua, dua sekolah menengah pertama yang mengajarkan pendidikan


multikultural dipilih untuk observasi kelas dan wawancara pada bulan Maret 2016.
Keduanya merupakan sekolah swasta yang berlokasi di Pontianak, ibu kota Kalimantan
Barat. Saat itu, beberapa sekolah swasta dan tujuh sekolah negeri diketahui telah
menerapkan pendidikan multikultural. Sekolah A telah mengintegrasikannya dengan
mata pelajaran lain seperti musik, IPS, dan kelas ekstrakurikuler. Untuk penelitian ini,
pendidikan multikultural di kelas musik diamati. Ini diikuti dengan wawancara dengan

120
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

kepala sekolah yang mengajar pendidikan multikultural, pernah mendapat pelatihan dari
LSM, dan membantu penyempurnaan buku teks, dan juga dengan wakil kepala sekolah.
Sementara itu, Sekolah B telah mengajarkan pendidikan multikultural dua jam per minggu
kepada siswa tahun pertama sejak tahun 2008. Wawancara dilakukan dengan kepala sekolah
dan guru yang mengajar pendidikan multikultural.

Selanjutnya dilakukan survei terhadap siswa SMP untuk mengetahui


identitas sosial mereka, meliputi aspek nasional, etnis, lokal, dan global. Survei
dilakukan terhadap 107 siswa SMP di Sekolah A Pontianak pada bulan Maret
2016. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan SPSS 21 untuk
mengetahui keunikan identitas nasional, etnis, dan lokal, serta pengakuan
terhadap globalisasi. Item survei mengenai identitas dipinjam dari penelitian
sebelumnya dan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Hal ini mengacu pada
atribut dan faktor yang mungkin mempengaruhi identitas siswa, jenis kelamin,
kelompok etnis, agama, bahasa ibu, program TV favorit (Indonesia, Asia, dan
Barat), dan frekuensi penggunaan Internet. Jawaban diberikan dalam skala
Likert: 1 = tidak sama sekali, 2 = jarang, 3 = jarang, 4 = sering, 5 = sangat sering.
Faktor persepsi efek juga diberikan dalam skala Likert: 1 = sangat tidak setuju, 2 =
tidak setuju, 3 = ragu-ragu, 4 = setuju, 5 = sangat setuju.
Penelitian sebelumnya telah mengembangkan langkah-langkah untuk menentukan identitas
lokal/tempat, keterikatan pada tempat tinggal, kebanggaan, pemikiran, dan aktivitas (Lewicka, 2008;
Scannell & Gifford, 2010). Penelitian ini berfokus pada keterikatan terhadap tempat tinggal untuk
membandingkannya dengan tingkatan lainnya, karena keterikatan merupakan faktor penting untuk
pembangunan dan komitmen sosial (Obori, 2010). Pertanyaannya adalah, “Apakah Anda mempunyai
keterikatan dengan tempat di mana Anda tinggal?”

Penelitian ini menggunakan Multigroup Ethnic Identity Measure (Phinney & Ong, 2007).
Item-itemnya adalah sebagai berikut, dengan frasa pendek yang dibuat oleh penulis untuk
dianalisis:

1. Saya telah menghabiskan waktu untuk mencoba mencari tahu lebih banyak tentang kelompok etnis saya,
seperti sejarah, tradisi, dan adat istiadatnya (menghabiskan waktu untuk mencoba mencari tahu lebih
banyak tentang kelompok etnis);

2. Saya memiliki rasa memiliki yang kuat terhadap kelompok etnis saya (strong sense
of Miliki);

3. Saya memahami apa arti keanggotaan kelompok etnis bagi saya


(pemahaman tentang keanggotaan kelompok etnis);
4. Saya sering melakukan hal-hal yang membantu saya untuk lebih memahami latar belakang
etnis saya (sering melakukan hal-hal untuk memahami latar belakang etnis);

5. Saya sering berbicara dengan orang lain untuk mengetahui lebih banyak tentang kelompok etnis
saya (talks to people to learn more aboutethnic group); roh

6. Saya merasakan keterikatan yang kuat dengan kelompok etnis saya (attachment).

Para peneliti telah mendefinisikan identitas nasional dengan berbagai cara. Tanabe
(2010) mendefinisikannya secara luas sebagai “persepsi umum tentang interaksi antar

121
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

rakyat dan bangsa” dan mengelompokkannya ke dalam konsepsi umum mengenai “kondisi anggota suatu
bangsa”, “kebanggaan terhadap bangsa”, “sentrisme bangsa”, dan “antiforeignisme” (hlm. 41‒48).
Sebagai perbandingan dengan identitas lain, penelitian ini menanyakan, “Apakah Anda merasakan
keterikatan dengan bangsa Anda?”

Mengenai globalisasi, penelitian ini menggunakan enam item dari Survei


Sosial Asia Timur (Hamada, 2013):

1. Globalisasi adalah peningkatan pergerakan manusia, material, dan uang


antar negara dan wilayah. Menurut Anda apakah fenomena ini
bermanfaat?
(a) perekonomian negara Anda (baik bagi perekonomian),

(b) peluang kerja di negara Anda (baik untuk pasar tenaga


kerja), dan
(c) lingkungan negara Anda (baik bagi bangsa)?
2. Mengenai hubungan Indonesia dengan negara lain, bagaimana pendapat
anda mengenai hal tersebut
(a) perlunya pengendalian impor produk luar negeri untuk melindungi
perekonomian negara (need for import control);

(b) perlu mengejar keuntungan negara sendiri, meskipun hal tersebut


meningkatkan ketegangan dengan negara lain (mencari kepentingan
nasional); roh

(c) risiko yang ditimbulkan terhadap budaya negara dengan meningkatnya


peluang mengonsumsi film, musik, dan buku asing (pengaruh buruk terhadap
budaya)?

Sehubungan dengan rasa identitasnya, peserta ditanya tentang rasa


kontribusi sebagai alasan memilih pekerjaan di masa depan.

Multikulturalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Sebelum menjelaskan analisis buku teks, saya akan menjelaskan secara singkat
multikulturalisme dalam sistem pendidikan Indonesia untuk memperjelas konteksnya.
Multikulturalisme dalam pendidikan Indonesia diperkenalkan setelah negara ini merdeka
sebagai prinsip dasar kebangsaan:Bhinneka Tunggal Ika (Bhinneka Tunggal Ika). Misalnya,
enam agama utama diajarkan dalam mata pelajaran agama, seperti halnya budaya etnis
(termasuk rumah adat dan pakaian berbagai kelompok) diperkenalkan dalam mata
pelajaran IPS dan pendidikan kewarganegaraan. Strategi ini bertujuan untuk
menumbuhkan identitas nasional untuk mempersatukan bangsa yang multikultural.
Namun, budaya kelompok mayoritas sering kali muncul di buku teks, dan keberagaman
diwakili oleh satu budaya mayoritas di setiap provinsi, meskipun terdapat banyak
kelompok etnis. Konten politik cenderung demikian

122
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

dihindari, namun “budaya yang diijinkan” disertakan, bahkan jika penyertaan tersebut tidak
meningkatkan identitas kelompok etnis (Katou, 1993, hal. 34).

Pada tahun 1994, kurikulum lokal diterapkan di sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama, yang merupakan sebuah langkah besar menuju desentralisasi
pendidikan. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan, melalui studi budaya dan industri
tradisional lokal, lulusan yang memiliki rasa keterikatan lokal dan komitmen terhadap
pembangunan lokal. Dinas pendidikan di tingkat provinsi mengembangkan
kurikulumnya, sementara masing-masing sekolah menerapkan mata pelajaran lokal
wajib dan tidak wajib (Nakaya, 1997, 2004). Meskipun terdapat banyak kasus yang
berhasil, kontroversi juga muncul mengenai definisi "lokal". Ketika kelompok mayoritas
menetapkan mata pelajaran wajib berdasarkan budaya dan bahasa mereka sendiri,
kelompok minoritas mengalami kesulitan dalam studi mereka. Hal ini secara tidak
sengaja menciptakan diskriminasi antar kelompok etnis di provinsi tersebut. Namun,
Kurikulum 2006 (Kurikulum Berbasis Sekolah) sampai batas tertentu dapat mengatasi
permasalahan ini karena sekolah diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum
mereka sendiri berdasarkan standar dan pedoman nasional.

Pendidikan Multikultural Pra-konflik di Kalimantan Barat

Kurikulum lokal tentang kebudayaan di Kalimantan Barat setelah tahun 1994


mencakup mata pelajaran “budaya etnis tradisional” dan “pariwisata”, yang diterapkan
di sekolah menengah pertama. Pada saat itu, belum ada buku teks dan belum ada pedoman
rinci atau pelatihan untuk mengajar. Karena ini adalah kurikulum baru, penerapannya
berjalan lambat, terutama di sekolah-sekolah yang jauh dari kota utama.

Dalam penelitian lapangan etnografi sebelumnya di ruang kelas pada tahun 1995
hingga 1996 (Nakaya, 1997), saya mengidentifikasi kemungkinan berkurangnya prasangka
terhadap orang Dayak dengan adanya aspek-aspek berikut yang berkaitan dengan guru:
motivasi tinggi, sikap saling pengertian, dan pengetahuan yang kaya. dan kegiatan nyata yang
berkaitan dengan pelestarian budaya sebagai anggota masyarakat Dayak. Melalui
mempelajari hukum dan adat istiadat Dayak (adat) Dengan menggunakan berbagai jenis
cerita yang menarik, siswa dengan mudah membayangkan gaya hidupnya, cara menjamu
tamu, dan perjodohan yang pantas. Humor, wawasan, dan pengetahuan guru yang kaya
memotivasi siswa untuk belajar lebih banyak dan memperlakukan orang Dayak dengan
hormat. Namun, ada juga risiko peningkatan prasangka jika terdapat aspek-aspek yang
berkaitan dengan guru berikut ini: tidak ada pengalaman atau pengetahuan sebelumnya
tentang orang Dayak, bias yang tidak disadari terhadap orang Dayak, dan kurangnya
kesepakatan untuk mengajar mata pelajaran tersebut karena perbedaan spesialisasi. . Konflik
etnis di Kalimantan Barat terjadi sebelum kurikulum ini diterapkan secara luas.

123
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Pendidikan Multikultural Pasca-konflik di Kalimantan Barat

Pasca konflik etnis, serangkaian kegiatan dimulai sebagai persiapan


pendidikan multikultural, termasuk penyuntingan buku teks secara kolaboratif dan
pelatihan yang dilakukan oleh LSM, pendidik, pemerintah daerah, dan lembaga
internasional. Selanjutnya, dengan memanfaatkan buku ajar dan pelatihan tersebut,
beberapa SMP menerapkan pendidikan multikultural sebagai mata pelajaran atau
muatan terpadu dalam mata pelajaran tertentu. Bagian ini menyajikan analisis
penulis terhadap buku teks pendidikan multikultural, persepsi LSM dan pendidik,
serta identitas sosial siswa.

Buku pelajaran

Bagian pengantar buku teks pendidikan multikultural menjelaskan hal itu


tujuannya adalah untuk mengembangkan perdamaian melalui pemahaman dan penghormatan terhadap budaya yang
berbeda.

Pada Bab 1 (Pendidikan Multikultural), peserta didik ditantang untuk memahami


pendidikan multikultural secara umum dan dalam konteks lokal (khususnya Kalimantan
Barat). Sebuah sidebar berbunyi, “Akibat konflik: konflik bersenjata di Kalimantan Barat
menghancurkan kehidupan individu. Tidak ada pemenang dan tidak ada yang kalah.
Semua orang adalah pecundang” (ANPRI, 2008, hal. 4). Setelah menyebutkan secara
singkat faktor-faktor konflik ‒ termasuk faktor politik, ekonomi, dan budaya ‒ buku teks
ini menceritakan sejarah panjang konflik di Kalimantan Barat sejak tahun 1962. Di
dalamnya terdapat informasi tentang kelompok etnis, tempat, periode terjadinya, contoh
orang yang dikorbankan ( terutama anak-anak yang kehilangan rumah dan sekolah), dan
adanya prasangka antar kelompok yang berbeda, serta upaya untuk menciptakan
pemahaman emosional dan empati. Bagian selanjutnya hanya menyebutkan contoh
konflik di negara lain, menekankan efektivitas pendidikan multikultural untuk
menyelesaikan konflik jangka panjang. Selanjutnya, konteks ini dihubungkan dengan
konteks Kalimantan Barat. “Mengapa pendidikan multikultural dimulai? Karena terjadi
konflik bersenjata yang disebabkan oleh perbedaan suku, agama, suku, kelompok sosial,
warna kulit, dan asal usul di dunia ini, termasuk Kalimantan Barat” (ANPRI, 2008, hal. 5).
Definisi buku teks tentang pendidikan multikultural adalah “pendidikan tentang
berbagai macam budaya untuk meningkatkan pemahaman, rasa hormat, dan
penerimaan terhadap berbagai budaya,” yang “bertujuan untuk menyebarkan
toleransi” (ANPRI, 2008, p. 9). Namun, laporan ini kurang menjelaskan faktor politik dan
ekonomi yang menimbulkan perasaan tidak adil dan prasangka di antara kelompok etnis.
Untuk membantu siswa berpikir kritis dan mengubah masyarakat untuk mencegah
konflik berikutnya sebagai warga negara yang transformatif (Banks, 2017), dinamika
terjadinya konflik juga harus dijelaskan.

124
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Pada akhir Bab 1, tugas diberikan baik dalam bentuk kerja individu (menulis
pengalaman pribadi dengan teman dan tetangga) maupun kerja kelompok
(mengumpulkan kliping dari media dan meneliti adat istiadat tradisional suku-suku di
Kalimantan Barat). Tugas-tugas seperti itu "membantu menciptakan status setara di
kelas dengan menyuarakan sejarah dan pengalaman semua siswa di kelas dan dengan
memungkinkan semua orang mengalami kesetaraan dan pengakuan" (Banks, 2008, hal.
135; Gutmann, 2004) dalam konteks etnis kelas campuran. Namun, tugas-tugas ini juga
dapat menyebabkan siswa membentuk citra negatif atau menegaskan prasangka mereka
jika mereka mengetahui cerita negatif dari teman, tetangga, atau media. Sebelum
menugaskan kegiatan tersebut, siswa harus dilatih untuk berpikir tentang bagaimana
informasi diciptakan oleh individu dan media melalui lensa berwarna. Dalam hal ini,
kelemahan buku teks dalam dimensi “konstruksi pengetahuan” (Banks, 2004) terlihat
jelas. Buku teks ini juga harus memperkenalkan persoalan bagaimana kekerasan budaya
melanggengkan prasangka tersebut dan bagaimana kekerasan struktural mengarah pada
kekerasan langsung (Galtung, 1969) dalam masyarakat. Hal ini akan membantu siswa
memahami bagaimana mengambil tindakan di dunia nyata, sehingga mencegah siklus
rekonstruksi pengetahuan negatif melalui tindakan mereka sendiri.

Bab 2 (Pengantar Pendidikan Multikultural di Kalimantan Barat) memberikan


gambaran tentang situasi multikultural di Kalimantan Barat, dengan latar belakang
sejarah dari masa kolonial, data statistik dan demografi setiap suku bangsa, pengenalan
sederhana tentang penanda budaya (nilai, pakaian, upacara, gaya hidup, dan bangunan),
dan kategorisasi kelompok sub-etnis berdasarkan wilayah, sejarah, dan percampuran
etnis karena perkawinan. Bab ini sepertinya mencakup diskusi tentang budaya berbagai
kelompok etnis; Namun, ada penjelasan tertentu yang dapat memperkuat stereotip
tersebut. Misalnya, bagi masyarakat Dayak, adat mengayau dan alasannya—misalnya,
untuk menyelesaikan ketegangan antar kelompok sub-etnis, mendapatkan sebidang
tanah baru, mendapatkan pasangan untuk menikah, melindungi petani, mendapatkan
kekuasaan, atau membalas dendam—ditonjolkan. . Meskipun buku teks menyebutkan
bahwa adat tersebut dilarang pada abad kesembilan belas, namun juga memuat foto
upacara tengkorak mengikuti aturan adat. Setelah penjelasan rinci tentang pengayauan,
bab ini tiba-tiba menjelaskan tentang kebaikan dan keterbukaan pikiran orang Dayak.
Kaitannya dengan materi sebelumnya lemah, dan siswa mungkin sudah membentuk
persepsi bahwa "tradisional" berarti buas atau primitif atau bahwa pengayauan adalah
kebiasaan eksklusif. Bab ini juga menampilkan foto seorang anak dengan daun telinga
tradisional yang kendur dengan anting-anting besar dan rumah panjang tradisional.
Meskipun foto-foto ini mungkin dipilih untuk menunjukkan budaya asli, ada risiko
memperkuat stereotip, terutama jika dibandingkan dengan representasi masyarakat
Melayu, dengan foto-foto yang memperlihatkan kostum indah dan upacara mewah.
Terkait dengan masyarakat Madura, setelah dijelaskan alasan mereka merantau dari
Pulau Madura, rasa bangga dan keanggotaan kelompok mereka yang kuat semakin
ditonjolkan. Buku teks tersebut menyoroti adat istiadat Madura carok, yaitu serangan
bersenjata terhadap musuh. Bab tersebut menyatakan bahwacarokbukan merupakan
budaya Madura tetapi berada pada spektrum “karakter Madura”.

125
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Penjelasan-penjelasan tersebut, meskipun menyoroti keunikan kelompok etnis,


mempunyai potensi dampak negatif dalam arti bahwa mereka menilai suatu budaya
dengan menggunakan ukuran tunggal dari brutal hingga elegan, dan mengarah pada
rekonstruksi citra negatif terhadap Dayak dan Madura.

Bab 3 (Interaksi Antar Masyarakat Multietnis di Kalimantan Barat) berupaya


membantu siswa memahami konsep asimilasi, akulturasi, dan integrasi. Bab ini
membantu siswa memahami interaksi komunitas etnis dan agama yang bercampur
melalui perkawinan, dengan menggunakan contoh seperti Melayu dan Dayak serta
Melayu dan etnis Tionghoa, namun tidak ada kasus Dayak dan Madura. Selain itu,
hubungan baik mereka dijelaskan dengan menggunakan cerita lokal, sejarah,
upacara, dan penerimaan budaya Jawa (mayoritas bangsa); tidak ada penjelasan
mengenai keadaan asimilasi atau akulturasi atau integrasi ini dalam kehidupannya
masing-masing, kecuali tugas siswa yang diminta mendengarkan cerita keluarga dan
tetangganya. Juga tidak ada informasi mengenai bagaimana kesetaraan status
dalam kehidupan sosial mereka dapat dijamin melalui undang-undang dan sistem.
Untuk menjadi warga negara yang transformatif, siswa harus menerima
pengetahuan akademis yang lebih transformatif (Banks, 2008), yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengidentifikasi permasalahan
dalam masyarakat dan mewujudkan integrasi yang sukses dan bebas konflik.
Mulai Bab 4 dan seterusnya, buku teks ini memperkenalkan praktik
budaya kelompok etnis utama, seperti upacara panen Dayak, upacara
Madura, dan teater boneka Jawa. Pengaruh budaya migran juga dibahas.
Namun, hal ini tidak berfokus pada "pengurangan prasangka" (Banks, 2004).
Buku teks pendidikan multikultural untuk SMP kelas dua dan tiga mempunyai
fitur yang sama pada Bab 4 namun dengan penjelasan yang lebih detail.

Persepsi LSM dan Pendidik

Wawancara dengan pimpinan staf LSM menghasilkan wawasan tentang proses ideal
produksi buku teks yang dipimpin LSM serta tantangan-tantangan dalam pemanfaatan ideal
buku tersebut di sekolah. Buku teks revisi (2008) muncul setelah tahapan konflik beralih dari
rekonsiliasi ke ketenangan. LSM mengundang guru dari tujuh sekolah yang berminat
mendiskusikan konten tersebut, yang kemudian direvisi berdasarkan uji coba pelaksanaan di
sekolah tersebut. Pemimpin staf LSM tersebut mengindikasikan bahwa revisi utama adalah
memasukkan kasus-kasus konflik lain di Indonesia untuk membantu mencegah konflik di
masa depan. Namun, ia mengakui buku revisi tersebut memiliki keterbatasan, seperti tidak
dijelaskan analisis faktor konflik. Terlepas dari soal buku pelajaran itu sendiri, ia
menyayangkan buku pelajaran tersebut hanya “direkomendasikan” oleh pemerintah
daerah. Sekolah negeri perlu mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk memulai
pendidikan multikultural dalam kurikulum lokal. Meskipun Kurikulum Berbasis Sekolah
diluncurkan pada tahun 2006, sekolah negeri merasa kesulitan untuk menggunakan
Kurikulum Berbasis Sekolah yang “direkomendasikan” tersebut.

126
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

buku daripada yang "wajib". Oleh karena itu, pendidikan multikultural tidak
dilaksanakan secara luas seperti yang diharapkan oleh LSM.
Di Sekolah A, kepala sekolah telah mengikuti beberapa lokakarya pendidikan
multikultural yang diselenggarakan oleh LSM dan merasa bertanggung jawab untuk
melaksanakannya. Sekolah tersebut merupakan sekolah swasta Islam; mereka memiliki
jadwal kelas yang padat, karena kurikulumnya memasukkan mata pelajaran Islam tambahan
di luar kurikulum nasional. Oleh karena itu, mereka berusaha mengintegrasikan pendidikan
multikultural ke dalam beberapa mata pelajaran. Wakil kepala sekolah menegaskan, mereka
akan merasa malu jika siswa tidak mengetahui budaya tradisionalnya sendiri. Idenya
merupakan landasan fundamental multikulturalisme: mengenal diri sendiri untuk memahami
orang lain (Mansouri, 2009).

Mengenai buku teks, kepala sekolah mencatat sulitnya mencapai


konsensus di antara otoritas pendidikan setempat, orang tua, dan guru karena
sensitifnya isu tersebut, terutama bagi mereka yang masih mengalami trauma
dan mereka yang merasa cemas akan dampak negatif materi pendidikan baru ini.
Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa pemerintah daerah tidak mewajibkan
buku teks tersebut.
Oleh karena itu, kepala sekolah (seorang migran dari Jawa) mengintegrasikan
pendidikan multikultural ke dalam kelas musiknya tetapi tanpa menggunakan buku teks.
Saat penulis mengamati kelasnya, ia memperkenalkan multikulturalisme sebagai hidup
bersama dan menghormati budaya masing-masing, melalui presentasi multimedia.
Pertama, melalui nyanyian lagu nasional, ia menekankan pentingnya menghormati
budaya setiap suku untuk menjaga perdamaian di masyarakat. Kedua, ia
memperkenalkan konsep perdamaian di setiap agama, terutama Islam. Ketiga, ia
memperkenalkan musik dan tarian dari berbagai suku. Para siswa asyik menyanyikan
berbagai lagu etnik.

Di Indonesia, gagasan nasional tentangBhinneka Tunggal Ika("Bhinneka Tunggal Ika)


diulangi dalam berbagai kesempatan untuk membangun jati diri bangsa yang kokoh sebagai
bagian dari strategi nasional untuk menjaga persatuan. Di kelasnya, dia mempraktikkan
strategi yang sama tetapi lebih dari itu karena dia memperkenalkan musik darisemua
kelompok etnis di Kalimantan Barat, bukan hanya kelompok mayoritas. Namun, karena
kelasnya adalah kelas musik, maka kelas tersebut tidak dapat mempelajari aspek budaya lain
(misalnya, akar dan dinamika) dan masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh kelompok
etnis. Dia menyebutkan kata kunci sepertitanggung jawab, toleransi, kepedulian, dukungan
terhadap orang lain, dedikasi, Danempati, meskipun dengan menampilkan konsepnya saja.
Diskusi lebih lanjut mengenai kontekstualisasi untuk membangun masyarakat demokratis
multikultural (Banks, 2008; Gutmann, 2004) diperlukan di sini.

Di Sekolah B, separuh siswanya adalah etnis Tionghoa, sedangkan sisanya adalah


suku Dayak dan Melayu. Guru-gurunya sebagian besar adalah orang Dayak. Menurut kepala
sekolah, konflik antar siswa jarang terjadi dan tidak pernah serius. Kasus-kasus tersebut
mencakup penggunaan bahasa negatif terhadap siswa etnis lain; hal ini diatasi dengan
berbicara langsung dengan siswa dan orang tua mengenai perilaku bermasalah tersebut.

127
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Guru yang diwawancarai (seorang Dayak) sangat termotivasi untuk


menerapkan pendidikan multikultural karena pengalamannya sendiri dalam
menghadapi konflik, yang ia ingat betul. Dia terutama mengajar ekonomi selain
pendidikan multikultural. Setelah mendapatkan pelatihan dari LSM dan belajar
mandiri, serta mengajar dan berdiskusi dengan siswa, dia menyadari pentingnya isu
ini dan menjadi tertarik padanya.

Dia memilih untuk menggunakan konten dari buku teks di kelasnya berdasarkan
pendiriannya sendiri dan kebutuhan siswanya. Ia menyebutkan kekhawatirannya
terhadap kemerosotan budaya tradisional dan kesalahpahaman terhadap budaya siswa
itu sendiri. Ia berkata, “Setiap budaya mempunyai makna yang baik, [tetapi] kita perlu
mengubah proses atau cara penerapannya. Kebijaksanaan yang dihormati harus
dijaga.” Dia mencontohkan tato yang kini dilarang. Tato mempunyai makna yang dapat
membantu siswa memahami pandangan dunia suku Dayak. Oleh karena itu, di kelas, ia
akan menjelaskan filosofi budaya yang terlibat, bukan hanya tato itu sendiri. Praktik ini
dapat mencapai tujuan pertama pendidikan multikultural, yaitu untuk meningkatkan
"kesadaran dan apresiasi terhadap budaya siswa sendiri dan budaya orang
lain" (Mansouri, 2009, hal. 164).

Karena banyak siswa yang memiliki latar belakang campuran etnis, bahasa,
dan bahkan agama, guru juga bertujuan untuk menghubungkan muatan budaya
etnis dan situasi multikultural dengan kehidupan siswa. Kegiatan ini meliputi
pembuatan kamus Bahasa Indonesia dan bahasa orang tua siswa. Guru selanjutnya
meminta siswa untuk mendiskusikan kisah keluarga mereka—termasuk yang baik
dan yang buruk—untuk membantu mereka memahami asal usul dan kompleksitas
etnis mereka. Menurutnya, latihan ini membantu siswa untuk memahami perbedaan
etnis dan agama yang hidup berdampingan. Kedua kegiatan ini dicatat dalam buku
teks.
Jika dia menemukan bukti adanya kesulitan atau konflik antara orang tua siswa dalam
laporannya, guru membimbing siswa dalam perilakunya. Salah satu contohnya, ketika dia
menyadari seorang siswa kehilangan mata pencahariannya karena konflik antara orang tuanya
dan perilaku negatif ayahnya, dia menyarankan agar siswa tersebut dengan ketat mengikuti
agama ibunya, dan dia memilih untuk melakukannya. Meskipun demikian, rekonsiliasi antar
anggota keluarga mungkin rumit dan sulit untuk didiskusikan di kelas dengan siswa lain
sebagai studi kasus untuk pemahaman multikultural. Dalam upaya mencari contoh dari
keluarga siswa yang melakukan perkawinan campuran, terkadang ada kecenderungan untuk
meremehkan kesulitan yang sebenarnya, atau sebagian siswa akan merasa sedih jika keluarga
campuran tersebut tidak berhasil. Sebagaimana dicatat oleh Sleeter (2016), sejarah keluarga
berguna untuk menantang mitos nasional. Hal ini berpeluang mendorong mahasiswa berpikir
kritis terhadap realitas kebijakan multikultural nasional sebagai langkah menuju terwujudnya
masyarakat demokratis multikultural. Namun, metode yang menggunakan sejarah keluarga
dapat menjadi cara yang sensitif dan menantang dalam mendekati masalah ini, khususnya
bagi siswa pada usia ini. Tugas membangun hubungan antara cita-cita pembangunan
perdamaian dan realitas kehidupan siswa sangatlah penting; Namun, itu menempatkan
sebuah

128
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

tingkat tanggung jawab guru yang tidak dapat diterima, seperti yang dikemukakan Lauritzen
dan Nodeland (2017).

Identitas Sosial Siswa: Kebangsaan, Etnis,


Perspektif Lokal, dan Global

Untuk menemukan cara meningkatkan pendidikan multikultural, bagian ini mengkaji


identitas sosial siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Hasil dan Analisis

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari siswa SMP (n = 107; laki-laki 60
orang dan perempuan 47). Mayoritas responden beragama Islam (105); dua
orang tidak memberikan agamanya; tidak ada responden Katolik. Dari segi
etnis, lebih dari separuhnya adalah Melayu (55,3%), disusul etnis campuran
(16,5%, Dayak, Tionghoa, atau lainnya), Madura (13,6%), Jawa (10,7%), dan
Bugis (3,9%).
Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran dan opini siswa, Gambar
1 menunjukkan bahwa orang tua merupakan faktor yang paling kuat, disusul agama dan
guru. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ini mempunyai kemungkinan besar
untuk memperkuat stereotip atau meningkatkan kesadaran multikulturalisme di
kalangan siswa. Mengenai frekuensi penggunaan Internet di kalangan pelajar, banyak
responden yang menyatakan “sangat sering” (11,2%) dan “sering” (27,1%). Mereka
juga percaya bahwa Internet telah mempengaruhi mereka, dengan jawaban “sangat
setuju” (16,8%) dan “agak setuju” (29%). Tingkat pengaruhnya lebih kuat
dibandingkan dengan masyarakat (12,1%, 29%) dan teman (12,1%, 23,4%).

80
70
60
50
40
30
20
10
0

Sangat Setuju Agak Setuju

Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan.

Tabel 1 menunjukkan bahwa siswa memiliki rasa etnis,


keterikatan lokal, dan nasional. Namun keterikatan etnis kurang kuat dibandingkan
aspek lainnya. Di antara kelompok etnis, tidak ada perbedaan yang signifikan

129
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

di tingkat keterikatan nasional. Dalam gagasan Banks (2017) tentang kewarganegaraan


transformatif, kelompok etnis minoritas cenderung memiliki identitas nasional yang lebih lemah,
atau “kewarganegaraan yang gagal”. Namun di sini, bahkan siswa dari kelompok minoritas pun
menunjukkan keterikatan nasional yang kuat. Pada saat yang sama, kita mungkin harus
mempertanyakan keberadaan identifikasi nasional yang reflektif (Banks, 2008).

Tabel 1
Jawaban Responden Mengenai Keterikatan Kebangsaan/Etnis/Lokal
Faktor N M SD
Nasional 99 4.91 0,289
Lampiran
Keterikatan Etnis 82 4.39 0,75
Lampiran Lokal 91 4.71 0,543

Tabel 2 melaporkan identitas etnis siswa. Dalam penelitian ini, siswa merasa sangat terikat
dengan etnis mereka (4,39 pada item 6), dibandingkan dengan menghabiskan waktu untuk mencoba
mempelajari lebih lanjut tentang kelompok etnis mereka (4,14 pada item 1) dan berpartisipasi dalam
kegiatan untuk memahami latar belakang etnis mereka (4,12 pada item 4 ). Berbicara tentang etnis
mereka mendapat skor rendah (3,94 pada item 5), sedangkan memahami keanggotaan kelompok etnis
memiliki skor terendah (3,53 pada item 3). Dengan demikian, mereka merasakan rasa memiliki terhadap
kelompok etnisnya, namun belum sepenuhnya memahami peran dan makna menjadi bagian dari suatu
kelompok etnis.

Meja 2
Jawaban Responden Mengenai Identitas Etnis
Butir Pertanyaan N M SD
1. Luangkan waktu untuk mencari tahu lebih banyak tentang
85 4,14 0,693
kelompok etnis saya

2. Merasakan rasa memiliki yang kuat 80 4,11 0,763


3. Pemahaman tentang keanggotaan kelompok etnis saya 79 3,53 1,376
4. Sering melakukan sesuatu untuk memahami latar belakang 4,12 0,628
etnis saya

5. Bicaralah dengan orang lain untuk mengetahui lebih banyak tentang kelompok etnis 79 3.94 1.244
saya

6. Lampiran 82 4,39 0,750

130
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Mengenai persepsi globalisasi (lihat Tabel 3), persepsi mereka mengenai “Baik bagi
perekonomian” adalah yang tertinggi (4,37 pada item 1), sedangkan “Baik untuk pasar
tenaga kerja” (4,04 pada item 2) dan “Baik bagi bangsa” ( 4,29 pada butir 3) relatif tinggi.
Persepsi negatif mengenai “Mencari kepentingan nasional” tergolong rendah (2,56 pada
item 4). Siswa berpikir mereka harus mencari solusi yang saling menguntungkan dalam
perekonomian global. Hasilnya menunjukkan persepsi siswa yang positif dan sehat terhadap
globalisasi; mereka menyambutnya dan tidak berpusat pada negara.

Tabel 3
Jawaban Responden Mengenai Persepsi Globalisasi
Butir Pertanyaan N M SD
1. Baik untuk perekonomian 86 4,37 0,575
2. Baik untuk pasar tenaga kerja 84 4.04 1.207
3. Baik bagi bangsa 90 4.29 1.22
4. Mengutamakan kepentingan nasional 81 2,56 0,628
5. Perlunya pengendalian impor 91 3,95 0,993
6. Pengaruh buruk terhadap kebudayaan 81 3.07 1.16

Sedangkan mengenai kesediaan untuk berkontribusi kepada masyarakat sebagai alasan


pemilihan pekerjaan di masa depan, responden yang menjawab “sangat setuju” dengan jawaban
“demi bangsa” adalah yang tertinggi (44,9%), disusul “demi dunia” (38,3%) (lihat Gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa banyak siswa yang memiliki rasa kewarganegaraan global yang kuat.

90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0,0
Lokal
Bangsa Dunia
masyarakat
Agak setuju 36.4 44.9 31.8
Sangat setuju 44.9 29.9 38.3

Gambar 2. Jawaban Responden Mengenai Kesediaan Berkontribusi.

Hasil penelitian mengenai ciri-ciri identitas sosial siswa dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dapat memberikan wawasan untuk meningkatkan pendidikan
multikultural sehingga dapat menjadi pendidikan kewarganegaraan yang transformatif. Itu

131
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Survei menunjukkan bahwa orang tua, agama, dan guru sangat mempengaruhi pandangan siswa. Oleh
karena itu, guru memainkan peran penting dalam membantu siswa mengatasi konflik masa lalu dan
mencegah konflik di masa depan. Dibandingkan dengan keterikatan nasional, lokal, dan etnis,
keterikatan nasional merupakan yang paling kuat, meskipun keterikatan etnis juga kuat. Siswa mungkin
bangga dengan identitas etnis mereka dan menjadi anggota aktif dalam kelompok mereka. Namun,
mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami peran mereka sebagai anggota suatu kelompok etnis.
Begitu mereka mempunyai keluarga, mereka biasanya akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas
tentang peran mereka dalam kelompok.

Terkait konflik-konflik sebelumnya, Dayak dan Madura mengutarakan peran mereka


dalam kelompok etnisnya dalam hal membalas dendam atau melindungi kelompoknyacarokroh
adat(Mencegah Konflik, 2002). Pendidikan multikultural diharapkan dapat menumbuhkan nilai-
nilai dan pengetahuan yang berbeda untuk menyelesaikan konflik atau mencegah konflik di
kemudian hari melalui cara-cara yang sah dan damai. Kemudian, hal ini dapat menjadi pendidikan
kewarganegaraan transformatif yang berfungsi untuk membangun masyarakat demokratis
multikultural (Banks, 2008). Karena siswa menunjukkan rasa keterikatan dan kontribusi yang tinggi
terhadap bangsa dibandingkan terhadap komunitas dan suku setempat, maka tidak menutup
kemungkinan bagi mereka untuk mencegah konflik dan menjaga persatuan sebagai bangsa yang
baik. Dalam pendidikan kewarganegaraan kurikulum nasional, siswa diajarkan multikulturalisme
sebagai pilar penyangga persatuan negara. Sebagaimana dibahas Zembylas (2012), pendidikan
kewarganegaraan dapat membantu anak-anak untuk melakukan refleksi kritis terhadap kondisi
konflik etnis dan bertindak berdasarkan nasib dan rasa kasih sayang yang sama. Namun
pendidikan kewarganegaraan nasional di Indonesia saat ini masih lemah, karena belum
sepenuhnya memberikan analisis kritis terhadap konflik etnis dalam negeri. Hal ini karena akar dari
kekerasan tersebut—yakni faktor sosial, sejarah, dan politik yang kompleks—berkaitan dengan
kebijakan pemerintah. Aspek-aspek ini merupakan isu sensitif baik di tingkat lokal maupun
nasional.

Temuan bahwa siswa berpikiran terbuka tentang globalisasi dan memiliki rasa
kontribusi yang kuat terhadap masyarakat global menunjukkan bahwa konflik etnis lokal
masa lalu mereka digambarkan dari perspektif global dan dimanfaatkan dalam kerangka
pendidikan kewarganegaraan transformatif (Banks, 2008, 2017 ), siswa mungkin dapat
menganalisis secara kritis konflik-konflik tersebut dan mengambil tindakan yang tepat untuk
masa depan.

Kesimpulan

Karena guru sangat mempengaruhi opini siswa, pendidikan multikultural


mungkin mempunyai potensi tinggi untuk mengatasi konflik masa lalu dan membina
masyarakat multikultural baru tanpa kekerasan. Mengenai dimensi pertama pendidikan
multikultural (Banks, 2004), buku teks ini mencoba memperkenalkan tidak hanya budaya
mayoritas tetapi juga budaya minoritas dan pendatang di Kalimantan Barat. Dalam
praktiknya ditemukan beberapa model yang baik, seperti mempelajari pandangan hidup
orang Dayak dengan mempelajari makna motif tato dan membuat kamus bahasa etnik.
Ini dapat membantu siswa merefleksikan hal-hal negatif yang mereka alami

132
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

alat pembuat gambar dan pengalaman untuk meningkatkan rasa hormat dan pemahaman
terhadap kelompok etnis lain.

Namun, masih terdapat beberapa permasalahan. Pertama, sebagai akibat dari trauma
yang dialami para pejabat pendidikan dan orang tua serta kecemasan yang samar-samar mengenai
pendidikan multikultural dan buku pelajarannya, penggunaan buku teks tersebut tidak seluas yang
diharapkan. Kedua, buku teks ini terbatas dalam hal mematahkan stereotip. Berisi banyak foto dan
deskripsi budaya etnis yang dapat mempengaruhi persepsi siswa mengenai aspek “primitif” dan
“biadab” budaya Dayak dan Madura dibandingkan dengan budaya Jawa yang “mulia” dan
“canggih” (mayoritas nasional) dan Melayu (mayoritas lokal). ) budaya. Terakhir, pendidikan
multikultural masih terbatas kemampuannya dalam menumbuhkan kewarganegaraan
transformatif untuk membangun masyarakat multikultural yang demokratis (Banks, 2008, 2017),
terutama karena kurangnya pengajaran “konstruksi pengetahuan” (Banks, 2004) dan
kemampuan berpikir kritis tentang "kekerasan struktural" (Galtung, 1969) dan cara-cara untuk
menciptakan masyarakat tanpa kekerasan.

Solusi yang layak adalah menata ulang buku teks dari perspektif global
menuju pendidikan kewarganegaraan yang transformatif. Mengenai masalah trauma
yang pertama, ada banyak penelitian sebelumnya: Zembylas (2009, 2013)
merekomendasikan penggunaan praksis emosional kritis sebagai bentuk
keterlibatan yang produktif dengan narasi trauma. Lauritzen dan Nodeland (2017)
menemukan bahwa kurikulum top-down menciptakan kesenjangan antara
pengetahuan dan perspektif siswa serta tingkat keterlibatan kurikulum dan guru.
Namun, buku teks yang diteliti dalam penelitian ini berhati-hati untuk menghindari
narasi politik dan hanya berfokus pada peningkatan “kompetensi pemahaman
empati” (Zembylas, 2013, hal. 105), melalui contoh umum korban anak; terlebih
lagi, pengembangan dan penerapan buku teks bukanlah proses top down (Lauritzen
& Nodeland, 2017). Oleh karena itu, untuk mengubah citra negatif masyarakat, buku
teks tersebut perlu meningkatkan kepekaan terhadap trauma dan menambahkan
“konstruksi pengetahuan” (Banks, 2004), serta menghadirkan paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan transformatif dari perspektif global. Hal ini akan
membantu masyarakat memahami bahwa pendidikan multikultural bukan hanya
tentang melestarikan budaya dan sejarah tradisional, namun juga mendidik siswa
yang akan mengubah dan menciptakan masyarakat demokratis multikultural baru
yang berwawasan global.
Data menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki rasa keterikatan dan kontribusi
yang kuat terhadap negaranya, serta persepsi positif terhadap globalisasi dan rasa
kontribusi yang tinggi terhadap masyarakat global. Sementara itu, pelajar terus
mengikuti kegiatan etnis dan budaya tanpa sepenuhnya menyadari perannya dalam
masyarakat etnisnya. Berdasarkan situasi identitas sosial siswa ini, menganalisis
berbagai faktor konflik di negara lain dan membangun masyarakat damai dari perspektif
global direkomendasikan sebagai pendekatan kewarganegaraan transformatif (Banks,
2017) yang dapat diterapkan pada masyarakat mereka sendiri.

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak menanyakan secara langsung kepada siswa
tentang pemikiran mereka tentang konflik etnis, stereotip kelompok etnis lain, dan

133
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

tingkat kewarganegaraan. Namun identitas sosial siswa dan persepsi mereka terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat menjelaskan makna pendidikan bagi
mereka. Untuk memfasilitasi pemilihan isi buku teks dan praktik pengajaran, penelitian
di masa depan dapat menguji persepsi siswa terhadap konflik lokal, dengan kepekaan
terhadap isu-isu terkait trauma dan ketegangan. Selain itu, pendidikan multikultural
perlu dikembangkan secara fleksibel dalam pendidikan kewarganegaraan transformatif
dari perspektif global. Karena sulitnya menerapkan pendidikan multikultural sebagai
mata pelajaran mandiri, paket pembelajaran yang fleksibel dan indikator peningkatan
pendidikan dari pendidikan kewarganegaraan transformatif akan lebih cocok untuk
diterapkan (Banks, 2015). Hasil dan rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi pada perbaikan kurikulum dan praktik pendidikan dengan tujuan
menciptakan masyarakat global multikultural yang damai.

Catatan

1. Pekerjaan ini didukung oleh Hibah JSPS KAKENHI Nomor 26381132.


2. Saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada Bpk. Utama Eka Jaya Putri,
Associate Professor Universitas Sebelas Maret, atas dukungannya dalam menjalin
hubungan dengan LSM, sekolah, dan guru di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya
juga ingin menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para guru
dan siswa yang bersedia mengikuti penelitian saya.

Referensi

Achwan, R., Nugroho, H., Prayogo, D., & Hadi, S. (2005).Mengatasi kekerasan
konflik: Jilid 1, analisis perdamaian dan pembangunan di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, dan Madura. Jakarta, Indonesia: CPRU-UNDP, Lab Sosio,
dan BAPPENAS.
Aliansi untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI). (2008).Multikultural
pendidikan Kalimantan Barat untuk kelas VII SMP. Pontianak,
Indonesia: Institut Dayakologi dan ANPRI.
Bank, JA (2004). Pendidikan multikultural: Perkembangan sejarah,
dimensi, dan praktik. Di Bank JA & Bank CAM (Eds.), Buku Pegangan
Penelitian Pendidikan Multikultural(Edisi ke-2, hal. 3-29). San
Francisco, CA: Jossey-Bass.
Bank, JA (2008). Keberagaman, identitas kelompok, dan pendidikan kewarganegaraan di a
usia global.Peneliti Pendidikan, 37(3), 129‒139.
Bank, JA (2009). Pendidikan keberagaman dan kewarganegaraan di negara multikultural.
Tinjauan Pendidikan Multikultural, 1(1), 1‒28.
Bank, JA (2015).Keanekaragaman budaya dan pendidikan: Yayasan, kurikulum,
dan mengajar (edisi ke-6). New York, NY: Routledge.

134
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Banks, JA, Orozco, MS, & Peretz, MB (2016).Migrasi global, keragaman,


dan pendidikan kewarganegaraan: Meningkatkan kebijakan dan praktik. New York, NY:
Pers Perguruan Tinggi Guru.

Bank, JA (2017). Kewarganegaraan yang gagal dan pendidikan kewarganegaraan yang transformatif.
Peneliti Pendidikan, 46(7), 366‒377.
Bertrand, J. (2004).Nasionalisme dan konflik etnis di Indonesia. Cambridge,
Inggris: Cambridge University Press.
Creswell, JW (2013),Penyelidikan kualitatif & desain penelitian(edisi ke-3).
Thousand Oaks, CA: SAGE.
Fontana. G.(2016). Pendidikan agama pasca konflik: Mempromosikan sosial
kohesi atau memperkuat perpecahan yang sudah ada?Bandingkan: Jurnal
Pendidikan Komparatif dan Internasional, 46(5), 811‒831.
Fanselow, F. (2015). Teori adat dan antropologis tentang konflik etnis
di Kalimantan.ZINBUN, 45, 131‒147.
Galtung, J. (1969). Kekerasan, perdamaian dan penelitian.Jurnal Perdamaian dan
Riset,6,167-184.
Gutmann, A. (2004). Persatuan dan keberagaman dalam pendidikan multikultural yang demokratis:
Ketegangan yang kreatif dan destruktif. Dalam JA Bankts (Ed.),Pendidikan
keberagaman dan kewarganegaraan: Perspektif global(hal. 71‒96). San Francisco,
CA: Jossey-Bass.
Hamada, K. (2013). Sikap terhadap globalisasi di Asia Timur: Analisis empat
Wilayah Asia Timur menggunakan data EASS 2008.Layanan Penelitian JGGS, 10,
105‒115.
Kelompok Krisis Internasional. (2001). Kekerasan Komunal di Indonesia: Pelajaran
dari kalimantan.Laporan Asia 19, Jakarta/Brussel. Diterima dari https://
d2071andvip0wj.cloudfront.net/19-communal-violence-inindonesia-
lessons-from-kalimantan.pdf

Katou, T. (1993).「多様性性中国統⼀」Indonesia[Jalan Menuju Persatuan,


Indonesia]. Dalam M. Tsuneji, Y. Shinji, & I. Masa (Eds.) (hlm. 25‒34). Tokyo,
Jepang: Kawade Shobou Shinsha.
Lauritzen, SM, & Nodeland, TS (2017). Apa yang terjadi dan mengapa?
Mempertimbangkan peran kebenaran dan ingatan dalam kurikulum pendidikan
perdamaian. Jurnal Kajian Kurikulum,49(4), 437‒455.

Lewicka, M. (2008). Lampiran tempat, identitas tempat, dan memori tempat:


Memulihkan masa lalu kota yang terlupakan.Jurnal Psikologi Lingkungan, 28,
209‒231.
Mansuri. F., (2009). Pedagogi transformatif untuk perbedaan kritis dan
sekolah inklusif. Dalam N. Kassabgy & A. Elshimi (Eds.),Mempertahankan
keunggulan dalam "komunikasi lintas kurikulum": Pengalaman lintas
institusi dan praktik terbaik(hal. 164-189). Newcastle upon Tyne, Inggris:
Penerbitan Beasiswa Cambridge.

135
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Nakaya, A. (1995). 「地地科」に di Indonesia関する研:


国⺠⽂化と⺠族⽂化の设计地址 [Sebuah studi tentang "muatan lokal" di
Pendidikan Indonesia: Regulasi antara budaya nasional dan budaya etnis].studi
pendidikan perbandingan[Pendidikan Komparatif],21, 73‒82.

Nakaya, A. (1997).di Indonesiawilayahオリキキュラムにに関す


る mengkritik研究 [Kajian kritis terhadap fungsi “kurikulum lokal”
(“muatan lokal”) di Indonesia].studi pendidikan perbandingan[Pendidikan Komparatif],
23, 113‒127.

Nakaya, A. (2004). Muatan lokal untuk masyarakat lokal: Sebuah studi tentang kehidupan dan
mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup di Jakarta—PLKJ.Pendidikan
Asia Pasifik, 16(2), 38‒48.

Nakaya, A. (2011).Indonesia·Untuk menciptakan budaya damai di Jepang


の学sekolah教[Budaya sekolah untuk menciptakan budaya damai di Ambon
Indonesia].ilmu pengetahuan yang komprehensif[Jurnal Masyarakat Ilmu
Interdisipliner Jepang],10, 55‒62.

Nakaya, A. (2015).Indonesia·世界別アイバンティティー
ティの特徴と教itu関する这个Perbedaan identitas menurut generasi dan
pengaruh pendidikan di Ambon, Indonesia].広島⼤学国集创年紀要 [
Buletin Pusat Internasional Universitas Hiroshima],5, 35‒49.

Obori, K. (2010).ローカル·Kompleksitas Identitas--kira-kira念 untuk digunakan関す

る検討 [Kompleksitas identitas lokal: Kajian terhadap arah


untuk penggunaan konsep].Lembaga Penelitian, Universitas Tokyo [
Jurnal Ilmu Sosial, Universitas Tokyo],61(5‒6), 143‒158.
Phinney, J., & Ong, A. (2007). Konseptualisasi dan pengukuran etnis
identitas: Status saat ini dan arah masa depan.Jurnal Psikologi
Konseling, 54(3), 271‒281.
Mencegah Konflik. (2002). Konflik bersenjata melaporkan Indonesia, Kalimantan,
Mata Bajak Proyek. Diterima darihttp://www.justice.gov/sites/default/
files/eoir/legacy/2014/02/25/Indonesia_Kalimantan.pdf
Salomon, G., & Cairns, E. (2010).Buku pegangan tentang pendidikan perdamaian. New York,
NY: Pers Psikologi.
Scannell, L., & Gifford, R. (2010). Mendefinisikan keterikatan tempat: Tripartit
kerangka pengorganisasian.Jurnal Psikologi Lingkungan, 30, 1‒10.
Sleeter, CE (2016). Riwayat keluarga yang penting: Menempatkan keluarga dalam konteks
hubungan kekuasaan.Jurnal Penelitian Multidisiplin, 8(1), 11‒24.
Tanabe, S. (2010).Perbandingan internasional[Internasional
perbandingan bangsa dan identitas], Tokyo, Jepang: Keiou Gijuku Daigaku
Shuppankai.

136
Jil. 20, tidak. 1 Jurnal Internasional Pendidikan Multikultural 2018

Yuki, K. (2016). Modernisasi, identitas sosial, dan konflik etnis. Kertas MRPA
TIDAK. 75748. Diperoleh darihttps://mpra.ub.uni-muenchen.de/75748/ 1/
MPRA_paper_75748.pdf
Zembylas, M. (2009). Menemukan ruang untuk praksis emosional kritis: The
tantangan pedagogi rekonsiliasi dan perdamaian. Dalam C. McGlynn, M. Zembylas,
Z. Bekerman, & T. Gallagher,Pendidikan perdamaian dalam masyarakat konflik
dan pasca-konflik(hal. 183-197). New York, NY: Palgrave Macmillan.
Zembylas, M. (2012). Pendidikan kewarganegaraan dan hak asasi manusia di situs etnis
konflik: Menuju pedagogi kritis tentang kasih sayang dan nasib
bersama. Studi Filsafat dan Pendidikan, 31, 553-567.
Zembylas, M. (2013). Praksis emosional kritis: Memikirkan kembali semangat mengajar
belajar tentang trauma dan rekonsiliasi di sekolah. Dalam PP Trifonas & BL
Wright (Eds.),Pendidikan perdamaian yang kritis(hal. 101-114). New York, NY:
Peloncat.

Kontak Penulis

Ayami Nakaya:anakaya@hiroshima-u.ac.jp
Universitas Hiroshima, 739-8529 Prefektur Hiroshima, Higashi-hiroshima,
Kagamiyama 1chome-5-2, Jepang

137

Anda mungkin juga menyukai