Filsafat Seni
Oleh:
Ahmad Musyaddad
18/433009/PFI/00438
FAKULTAS FILSAFAT
YOGYAKARTA
2019
A. Latar Belakang
Kaligrafi merupakan salah satu seni dalam Islam yang memiliki popularitas
tinggi. Kaligrafi Arab dalam perkembangannya diklaim sebagai bagian seni Islam
karena sebelum agama Islam hadir tidak ada perkembangan yang signifikan dalam
seni menulis huruf Arab. Penulisan teks AlQuran dan Hadits membuat seni
kaligrafi huruf Arab berkembang sebagaimana yang kita ketahui saat ini.
Seni kaligrafi merupakan seni yang rupa diberi ruang dalam Islam. Adanya
batasan norma agama membuat seniman muslim membatasi dirinya untuk
mengekspresikan perasaan hanya dalam bentuk huruf. Kaligrafi Islam di masa
klasik terikat pada aturan-aturan baku. Sedangkan di modern kontemporer
kaligrafi diekspresikan secara bebas, corak dan komposisinya dieksplorasi secara
luas.
Penulis perlu menggali lebih dalam tentang seni kaligrafi Islam ini dalam
tinjauan filsafat seni. The Liang Gie (1979: 126) dalam buku Suatu Konsepsi ke
Arah Penertiban Bidang Filsafat menyebutkan pengertian seni sebagai cabang
filsafat yang membicarakan semua persoalan mengenai penciptaan seni,
pengalaman seni, kritik seni, nilai seni, dalam kehidupan manusia, dan hubungan
seni dengan kegiatan dan kepentingan manusia lainnya. Penulis lebih
memfokuskan pada pembahasan seni sebagai ekspresi simbolis manusia untuk
menguraikan sejauh mana seni kaligrafi Islam digunakan sebagai ekspresi
simbolis seniman muslim.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan seni kaligrafi Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan seni sebagai ekspresi manusia?
3. Apa tinjauan filsafat seni terhadap seni kaligrafi Islam?
Kata kaligrafi berasal dari bahasa Inggris calligraphy yang diambil dari
bahasa Yunani kalios, yang berarti indah, dan kata graph yang berarti tulisan.
Sedangkan dalam bahasa Arab kaligrafi dikenal dengan istilah khat yang berarti
garis atau tulisan yang indah (Rahmah, 2014: 12)
Seni kaligrafi Islam merupakan seni menulis indah huruf arab. Achmad
Faizur Rosyad (2009: 16-19) menyatakan bahwa tulisan Arab dalam
perkembangannya muncul melalui gradasi perkembangan dari bentuk paling
sederhana hingga akhirnya menjadi model huruf sekarang ini. Perkembangan
tulisan arab pra Islam terdiri dari beberapa periode berikut:
Khat Arab yang pertama kali muncul pada masyarakat Arab adalah khat
kufi dengan bentuk kotak-kotak horizontal. Khat kufi klasik tidak memiliki
penanda vokal (syakal) dan pembeda konsonan (jumlah dan posisi titik pada huruf
yang sama). Selain itu, masih belum dikenal penanda kalimat yang berupa titik,
koma, ataupun hiasan tulisan (Rosyad, 2009: 31).
Gambar 1 Khat Kufi
Khat naskhi kemudian dikembangkan oleh para kaligrafer Mesir, Iraq, dan
pada masa pemerintahan Turki Usmani (Rosyad, 2009: 64). Ibnu Muqlah juga
menciptakan jenis khat lain bernama khat tsuluts dengan ciri kursif dan fleksibel
bentuknya sesuai dengan keinginan penulisnya. Khat Tsuluts memiliki hiasan
tulisan (zukhruf) yang beranekaragam. Khat ini seringkali digunakan untuk
hiasan, misalnya di dinding dan mihrab masjid, sampul Al Quran dan sebagainya
(Rosyad, 2019: 65). Dari khat naskhi dan khat tsuluts ini kemudian para kaligrafer
menciptakan jenis khat lain yang beraneka ragam, beberapa di antaranya yang
populer adalah khat farisi, khat diwani, khat riqah (nasta’liq), dan khat raihani
(ijazah).
Gambar 3 Khat Tsuluts
Kata Allah dalam tulisan Arab berbentuk rangkaian garis horizontal di awali
dengan huruf alif yang tagak lurus kemudian garis tegak huruf lam dan garis
melingkar huruf ha. Tiga unsur dari huruf ini menyatakan tiga dimensi, yakni
ketenangan yang horizontal seperti gurun atau lapisan salju, kekuasaan yang
vertikal bagai kekokohan gunung, dan misteri yang memanjang ke dalam
(melingkar) berhubungan dengan dzat Tuhan (Rahmah, 2014: 25).
Kaligrafi arab di masa lalu terikat oleh aturan-aturan baku. Satu jenis huruf
ditulis dengan kaidah yang ketat, begitu pula merangkainya dengan huruf lain.
Namun di masa modern kontemporer seniman muslim lebih bebas dalam
mengekspresikan perasaannya. Media seni yang digunakan pun beraneka ragam.
Dari perkembangan ini kaligrafer Islam terbagi menjadi dua, yakni kaligrafer
klasik yang masih memegang aturan-aturan baku dan kaligrafer modern
kontemporer yang lebih bebas dalam berekspresi.
Kualitas perasaan yang diekspresikan dalam karya seni bukan lagi perasaan
individual, melainkan perasaan yang universal. Perasaan dalam karya seni harus
dapat dihayati oleh orang lain, sekalipun jenis perasaan itu belum pernah dialami
oleh orang lain tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman perasaan sang
seniman telah dijadikan objek yang berjarak dengan dirinya (Sumardjo, 2000: 74).
Konsep seni menurut Susane K. Langer (2006: 19) berubah dari masa ke
masa dan berbeda pula konsep seni menurut bangsa satu dengan lainnya.
Demikian juga dari bangsa yang sama pada waktu yang berbeda konsep seni dapat
berubah. Langer (2006: 17) dalam bukunya Problems of Art mendefinisikan seni
sebagai sebuah bentuk ekspresi perasaan insani yang diciptakan bagi persepsi kita
lewat indera atau pencitraan. Langer (1953: 40) dalam bukunya yang lain, Feeling
and Form, mendefinisikan seni sebagai kreasi bentuk-bentuk simbolis dari
perasaan manusia.
Langer (2006: 25) berpendapat bahwa aspek subjektif kehidupan batin yang
berupa perasaan tidak semuanya dapat dibahasakan. Hanya perasaan yang cukup
menonjol saja, seperti marah, benci, cinta, yang semuanya disebut emosi. Seni
mulai berperan ketika bahasa tidak lagi mampu menjangkaunya atau tidak
berfungsi. Bagi Langer (Hagberg, 1995: 17) seni adalah bahasa yang tidak
terucapkan.
Tradisi menulis pada masyarakat Arab pra Islam sangat minim. Bangsa
Arab kuno dikenal sebagai bangsa yang pandai bersyair. Ekspresi seni mereka
dituangkan dalam bentuk sastra. Menurut Didin Sirojuddin (2004: 19) sebuah
kabilah atau suku Arab merasa lebih bangga apabila di antara anggotanya
memiliki penyair hebat dibandingkan dengan penglima perang yang
hebat.Penyair-penyair tersebut ingin dikenang oleh anak cucu mereka sehingga
memerintahkan generasi berikutnya untuk menghafal syair-syairnya.
Tulisan Arab pada masa Islam memiliki peranan yang penting, yakni
digunakan sebagai menulis ayat Al Quran dan hadits dari nabi. Pada masa
berikutnya para seniman muslim merasa perlu untuk memperindah tulisan yang
digunakan untuk menulis firman-firman Tuhan atau kata bijak dari nabi sebagai
ekspresi simbolis.
Seni rupa dalam Islam tidak mempunyai tempat yang luas karena adanya
batasan norma agama yang tidak memperbolehkan melukis makhluk bernyawa.
Walaupun norma tersebut berpangkal pada teks hadits yang ditafsirkan berbeda-
beda oleh kalangan beberapa kalangan ulama, norma tersebut cukup dipegang
teguh oleh para seniman muslim.
Seni rupa dalam Islam berbeda dengan agama lain. Pada agama Katolik atau
Kristen langit-langit gereja dilukis dengan ilustrasi yang indah. Begitu pula pada
agama Hindu, di area pura ada banyak patung dengan beragam atribut. Namun
dalam Islam batasan mengekspresikan keindahan cukup ketat. Para seniman
muslim memilih kaligrafi sebagai ekspresi cinta kepada Tuhan. Tuhan dalam
agama Islam yang tidak bisa digambarkan wujudnya oleh akal manusia hanya
mampu ditulis namaNya dengan indah.
Karya yang tidak bisa dibaca membuat siapapun bisa menikmatinya, baik
orang arab atau non arab, baik muslim maupun non muslim. Seni kaligrafi ini
menjadi bahasa tersendiri yang mengatasi bahasa kata-kata. Pada karyanya yang
lain, Wissam membuat kaligrafi dengan bentuk serupa yang digunakan sebagai
ucapan Hari Natal.
Wissam melalui karya tersebut semakin menegaskan bahwa kaligrafi di era
kontemporer berlaku universal. Karya ini sama seperti karya sebelumnya yang
hanya bisa dinikmati keindahannya, tanpa bisa dibaca apa tulisannya. Kaligrafi
yang secara historis berasal dari kebudayaan Isalm, saat ini mengalami
pergeseran. Saat ini kaligrafi kontemporer bisa dipakai dan dinikmati oleh
pemeluk agama lain. Dengan demikian, kaligrafi tidak hanya sebagai bentuk
ekspresi seniman muslim saja, tetapi lebih murni dari hal itu, kaligrafi adalah
bentuk ekspresi manusia yang berlaku universal.
F. Kesimpulan
G. Daftar Pustaka