Anda di halaman 1dari 4

Sejarah dan Perkembangan Kaligrafi Arab

Rabu, 10 Juli 2013, 14:34 WIB


Komentar : 0
Antara/Syaiful Arif

Seni kaligrafi adalah salah satu kegiatan yang biasa diajarkan kepada para santri pondok pesantren (ilustrasi).

A+ | Reset | A-

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa


Kaligrafi mendapat tempat tersendiri dalam kesenian Islam karena bertujuan
memperindah lafal Allah.
Jika menyebut seni kaligrafi, belum tentu bertuliskan Arab atau menuliskan ayat suci
Alquran. Banyak tulisan lain, seperti Jepang, Cina, dan Yunani, yang juga memiliki seni
visual tersebut. Secara bahasa, kaligrafi memang bermakna seni tulisan indah, yakni
dari bahasa Yunani allos yang bermakna indah dan graphein, yakni menulis.
Kaligrafi Arab (khat arab) atau yang sering dikenal dengan kaligrafi Islam, hanyalah
salah satunya. Hanya, Muslimin Indonesia terbiasa menyebut kaligrafi pada huruf indah
Arab yang menuliskan Alquran.
Bagi bangsa Arab, tulisan pun sebetulnya bukanlah hal yang utama. Bangsa Arab pada
masa lalu lebih bangga dengan lisan yang pandai bersyair ketimbang menulis indah.
Kebudayaan menulis sangat minim dilakukan. Jikalau ada syair yang amat cantik, itu

pun hanya ditulis jika akan digantungkan pada Kabah. Pun ketika Islam datang.
Alquran hanyalah disimpan dalam memori para sahabat. Kitabullah baru ditulis setelah
banyak hafiz yang wafat di medan pertempuran. Maka, barulah dimulai penulisan
Alquran pada masa khalifah Abu Bakr Ash Shidiq dan baru mulai disusun rapi pada
masa khalifah Utsman bin Affan.
Tak heran jika pada generasi awal Islam, kaligrafi bukan sesuatu yang diperhatikan.
Meski aksara Arab diperkirakan telah muncul seabad sebelum Islam datang, kaligrafi
baru muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Meski perkembangannya lamban,
kaligrafi pun mulai mendapat tempat di hati masyarakat Muslim.
Philip K Hitti dalam History of the Arab mengatakan, seni kaligrafi mendapat popularitas
dan tempat tersendiri dalam kesenian Islam karena tujuan awalnya untuk memperindah
lafal Allah dan didukung oleh ayat Alquran surah 68 ayat 1 dan 96 ayat 4. Kedua ayat
tersebut, yakni Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, surah al-Qalam ayat 1
dan Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, surah al-Alaq ayat 4. Maka,
saat muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, kaligrafi langsung menjadi
primadona kesenian Islam.

*****

Pada tahap berikutnya, lanjut Hitti, kaligrafi sepenuhnya menjadi karya seni Islami dan
membawa pengaruh pada seni lukis yang dikui banyak kalangan. Melalui karya
kaligrafi, seorang Muslim menyalurkan bakat seninya yang tidak bisa diekspresikan
melalui representasi objek-objek yang hidup. Seorang penulis kaligrafi atau kaligrafer
menempati kedudukan yang terhormat dan mulia melebihi kedudukan para pelukis.
Terdapat beberapa pelopor pengembangan kaligrafi Arab, di antaranya, al-Raihani
(meninggal 834) yang mengembangkan kaligrafi pada masa kekhalifahan al-Mamun
dari Dinasti Abasiyah. Ia menyempurnakan gaya kaligrafi Rihan, sesuai dengan
namanya. Kemudian, Ibn Muqlah (meninggal 940), seorang menteri Abasiyah yang
tangan kanannya dipotong oleh Khalifah al-Radhi. Dengan tangan kiri, ia mampu

menulis dengan indah.


Terdapat pula nama Ibn al-Bawwb (meninggal 1022 atau 1032), anak seorang pegawai
di Majelis Umum Baghdad. Ia menemukan gaya kaligrafi muhaqqaq. Lalu, pelopor
terakhir yang amat masyhur, yakni Yaqut al-Mutashimi. Muncul pada pengujung periode
Abasiyah, ia sangat kondang sebagai ahli kaligrafi terkemuka yang namanya
diabadikan sebagai nama gaya tulisan, yakni Yaquti.
Dinilai dari karya kaligrafi Yaquti yang masih bertahan hingga kini dan sejumlah karya
kaligrafi lain, capaian artistik dalam bidang kaligrafi pada periode ini tidak bisa dianggap
tinggi. Bisa dikatakan kaligrafi merupakan satu-satunya kesenian Arab yang produknya
saat ini, baik kalangan Muslim maupun Kristen, bisa kita lihat di Konstantinopel, Kairo,
Beirut, dan Damaskus. Karya-karya mereka menampilkan nilai keindahan dan
keagungan yang lebih tinggi dibandingkan terdahulu yang pernah diproduksi sepanjang
masa, kata Hitti.

*****

Lebih perinci, Habibullah Fadzoili dalam Athlasul Khat wa al-Kutub membagi enam
periode perkembangan kaligrafi. Pertama, yakni era pertumbuhan di mana saat itu
huruf Arab belum memiliki tanda baca atau masih gundul. Gaya kufi muncul saat
periode ini. Kedua, yakni era pertumbuhan. Periode kedua baru dimulai saat
kekhalifahan Bani Umayah. Saat itu, gaya kufi mulai perkembangan lebih indah. Gaya
tsulus, naskhi, muhaqqaq, raihani, riqI, dan tauqi muncul pada periode yang
berlangsung hingga pertengahan kepemimpinan Dinasti Abasiyah tersebut.
Ketiga, periode penyempurnaan di mana mulai muncul metode kaligrafi lengkap dengan
standardisasinya. Gaya-gaya sebelumnya mulai dimodifikasi dan diberi kaidah. Periode
keempat, yakni pengembangan kaidah dan metode pada era sebelumnya. Saat itu
mulai muncul harmonisasi dua gaya dalam satu kanvas. Kemudian, periode
selanjutnya, yakni masuk ke pengolahan.
Pengembangan teknik lebih mendapat penekanan dalam era ini. Saat itu, ratusan gaya
telah berhasil diciptakan para kaligrafer. Periode terakhir, yakni saat Dinasti Mamluk

berkuasa di Mesir dan Dinasti Safawi berkuasa di Persia. Pengembangan gaya terus
terjadi saat periode tersebut hingga mencapai puncak saat periode Turki Utsmani.

******

Berkembang di Timur
Saat Dinasti Abasiyah runtuh akibat serangan Mongol, perkembangan kaligrafi justru
makin memuncak. Apalagi, saat itu terdapat pelopor kaligrafer ternama, Yaqut. Islamnya
putra Hulagu Khan, Abaga, menjadikan Dinasti Mongol menganut Islam. Saat itulah
kaligrafi mengalami perkembangan di negeri Islam timur, terutama saat Mongol di
bawah kepemimpinan Ghazan dan Uljaytu.
Ghazan seorang Muslim yang terpelajar memberikan dukungan besar terhadap seni
Islam, termasuk kaligrafi dan penyalinan buku. Tradisi tersebut kemudian dilanjutkan
penggantinya, Uljaytu, yang kemudian menjadi era kemajuan seni dan sastra. Uljaytu
memiliki dua orang kepercayaan, yakni Rashid al-Din dan Sad al-Din. Keduanyalah
yang selalu melindungi para pelajar, seniman, dan kaligrafer. Pada masa Uljaytu inilah,
perkembangan kaligrafi mencapai puncaknya, demikian yang tertulis di web
calligraphicworld.
Pascaberakhirnya generasi Mongol pada abad ke-14, kaligrafi masih menjadi
primadona di bawah kekuasaan Dinasti Timurid yang pimpin Timur Leng. Dia
menciptakan gaya baru kaligrafi untuk penulisan Alquran. Menggantikan gaya Mongol,
gaya ini lebih memiliki pola megah dan geometris.

Anda mungkin juga menyukai