Anda di halaman 1dari 10

SENI BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Farida Nugrahani
PBSI FKIP & Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Pos-El: faridanugrahani01@gmail.com

Abstrak
Selama ini sering ada pandangan yang kurang tepat bahwa seni Budaya Islam diidentikkan
dengan kreasi seni yang mengandung ajaran islam formal saja. Kajian teoretis ini akan
menyajikan pemikiran bahwa seni budaya dalam perspektif Islam tidak sesederhana itu. Tujuan
penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan (1) kreasi seni menurut ajaran Islam; (2) hukum
berseni dalam Islam; (3) kriteria kesenian Islami; (4) implikasi seni Islami. Kajian ini lebih
merupakan hasil kajian terhadap fenomena seni budaya di tengah masyarakat. Analisis dilakukan
dengan menggunakan metode analisis hermeneutik. Hasil kajian ini adalah: (1) Islam mendorong
umatnya untuk berkreasi seni sebagai ekspresi keindahan; (2) hukum asal berkreasi seni dalam
Islam adalah mubah namun dapat berubah jika dalam penampilan dan penyajiannya dicampur
dengan unsur haram; (3) kriteria seni Islam yakni seni yang mampu mendorong penikmatnya
memiliki spirit dalam dimensi insaniah dan Ilahiyah; (4) Implikasi seni Islam dalam kehidupan
adalah kreasi seni tidak identik dengan bahasa Arab dan ajaran Islam formal melainkan lebih
pada esensi seni dan penyajiannya yang mampu mendorong penikmatnya mendekatkan diri
kepada Tuhan.

Kata Kunci: Seni budaya Islam, dimensi insaniah, dimensi Ilahiyah, mendekatkan diri kepada
Allah.

1. Pendahuluan
―Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan (Dia) menyukai keindahan.‖ (H.R. Muslim).
Agama Islam memotivasi umat manusia untuk berkarya seni, untuk memiliki perasaan keindahan
(estetik). Allah menjelaskan hal itu di berbagai firman-Nya yang tertulis dalam ayat-ayat
al-Qur‘an yang suci.
Banyak ayat al-Qur‘an yang mengisyaratkan kepada kita untuk menyaksikan estetika dan
eksotika bumi dan langit terbentang di bumi, hamparan awan nan menawan di langit, karya Sang
Khaliq. Daratan, pegunungan, lautan dan langit yang cerah. Begitu indah alam ciptaan Allah
yang Mahakuasa. Sedemikian agung dan hebat, tak terlukiskan oleh pelukis professional sekali
pun seperti Amry Yahya (Alm.), Basuki Abdullah, atau Sadzali. Allah berfirman dalam
al-Qur‘an (S. as-Sajdah:7), ―(Dia) rekayasa dunia seisinya yang Dia buat menjadi yang terbaik‖.
Al-Qur‘an juga memotivasi umat manusia agar mau memperhatikan dan menghayati
ciptaan Allah yang ada di bumi dan langit serta lautan sebagai tanda-tanda kekuasaan dan
kebesaran Allah yang Mahatinggi. Dengan firman-firman-Nya Allah mendorong umat manusia

1
untuk mengamati dan menghayati dengan jeli segala ciptaan-Nya agar manusia semakin
mensyukuri nikmat-Nya. Pada gilirannya manusia akan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ia
juga ingin memenuhi hasrat mata dan hati kita dengan cahaya kebahagiaan dan kebajikan yang
menyemburat dari seluruh alam.
Sayangnya, banyak di antara umat manusia yang dapat mengagumi eksotika alam
semesta tetapi tidak mampu merenungkan rahasia keindahan ciptaan Ilahi yang terkandung di
balik itu semua. Di bidang sastra, pernyataan Mangunwijaya (1982) berikut patut diresapi dan
dihayati. "Pada awal mula, segala sastra adalah religius", bukan sekedar ungkapan klise.
Pernyataan itu memuat pengertian yang mendalam dan luas. Dikatakan lebih lanjut oleh
Mangunwijaya (1982) bahwa, "Semua sastra yang bernilai literer selalu religius".
Religiusitas tidak bisa diartikan sekedar kapatuhan terhadap ajaran agama (Islam) formal
termasuk ibadah formal. Religiusitas menyaran pada gerak dan riak getaran kalbu yang
mendalam pada diri manusia yang bersifat personal. Pernyataan Mangunwijaya yang berkaitan
dengan sastra tersebut dapat diperluas aplikasinya pada kebudayaan pada umumnya baik itu seni
lukis, seni musik, seni ornamen, seni ukir, seni busana, seni teater, dan sebagainya. Artinya,
karya seni apa pun bentuk dan medianya sebetulnya pada awal mulanya adalah religius. Hanya
dalam perkembangannya lazimnya dipengaruhi oleh kompetensi dan kecenderungan
masing-masing senimannya, kreatornya. Karena itu, terkadang terdapat sebuah karya seni terasa
sangat religius tetapi juga terdapat sebuah karya seni justru mengundang perbuatan maksiat.
Permasalahan yang dihadapi adalah (1) bagaimana kreasi seni dalam ajaran Islam?; (2)
bagaimana hukum berseni dalam Islam?; (3) bagaimana kriteria kesenian Islami?; (4) bagaimana
implikasi seni Islami? Adapun tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan (1) kreasi seni
menurut ajaran islam; (2) hukum berseni dalam Islam; (3) kriteria kesenian Islami; (4) implikasi
seni Islami.

2. Kreasi Seni dalam Islam


Islam mendorong Kreasi Seni (Estetika) Islam menghidupkan rasa keindahan (estetika)
dan mendorong kreasi seni. Namun, tentu saja dengan syarat-syarat tertentu antara lain karya
seniitu harus mendatangkan kemaslahatan dan manfaat bukan merugikan sisi humanist dan
moralitas umat manusia. Dengan kata lain, Islam menga njurkan kepada umatnya untuk berkreasi
seni tetapi yang bersifat konstruktirf, yang membangkitkan sisi positif mental manusia, bukan
2
sebaliknya merusak (destruktif) yang membuat manusia cenderung kepada sisi negatif mental
manusia.
Sejak lama Islam telah melahirkan berbagai jenis kreasi seni dan menjadi salah satu
keunggulan peradabannya sejak masa kekhalifahan sampai dengan abad pertengahan (abad XV)
yang memiliki ciri khas yang unik, yang berbeda dengan peradaban lain. Misalnya: seni
kaligrafi, ukir, ornamen, dan arsitektur Islam yang banyak menghiasi masjid dan gedung-gedung
mega dan pintu gedung/rumah, gagang pedang, bejana-bejana yang bertatahkan hiasan baik yang
terbuat dari kuningan, perak, maupun emas di dunia Arab seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania,
Emirat Arab, Iran, maupun Spanyol dan Turki di samping sastra (sastra kitab dan syair).
Di bidang sastra khususnya syair dan puisi, budaya Islam sangat masyhur di belahan
dunia. Karena itu, sastra telah lama masyhur di dunia sejak dulu sebelum Islam dating. Setelah
Islam datang dengan membawa kitab suci Quran yang di dalamnya terdapat surat dan ayat-ayat
yang bahasanya --diakui oleh para ahli sastra—sangat indah, semakin masyhurlah sastra Islam.
Membaca dan mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur‘an yang indah dapat membuat
pendengarnya yang mau berpikir dan merenung merasa tenang hati dan pikirannya. Al-Quran
memang merupakan obat penawar jiwa yang luar biasa. Ibarat batu panas tersiram oleh air dingin
maka batu itu langsung dingin. Al-Qur‘an tak tertandingi oleh obat penawar lainnya. Keindahan
Al-Qur‘an bukan hanya pada kandungan isinya yang luar biasa dalam dan luasnya meliputi
masalah keduniaan dfan keakhiratan melainkan juga pada segi stilistikanya yakni diksi, nada,
dan iramanya.
Bacaan yang tartil (tertib) dengan suara yang merdu dan lagu yang indah sehingga
terdengat syahdu dan hikmat akan mampu menggelorakan kalbu. Dalam tarih Islam sudah
terbukti betapa sahabat Umar bin Khaththab r.a. yang keras hatinya dapat luluh dan menjadi
lembut hatinya bsetelah mendengar dan menghayati bacaan al-Qur‘an yang indah dengan lagu
dan suara yang merdu? Demikian kuat dan hebat pengaruh keindahan Al-Qur‘an terhadap sisi
kemanusiaan dan ketuhanan (religiusitas) manusia. Al-Qur‘an mampu menaklukkan dan
melembutkan hati Umar r.a. yang terkenal keras (bahkan dulu sangat kejam, sebelum masuk
Islam).
Al-Qur‘an sebagai kitab suci merupakan mukjizat dari Allah Swt.. Sebagai kitab suci,
Al-Qur‘an merupakan mukjizat yang terbesar –sebagai mukjizat keindahan, di samping mukjizat
pemikiran—yang tidak saja mengandung risalah Islam yang demikian luas, melainkan juga
3
memiliki nilai estetika yang tinggi. Al-Qur‘an adalah kitab suci bagi umat Islam yang diturunkan
kepada Rasulullah Muhammad Saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul (khatamul anbiya’
walmursalin).

3. Hukum Seni dalam Islam


Apa pun karya seni yang indah baik berbentuk karya sastra, lagu, tarian, ornamen, dan
bentuk lainnya, tergolong kesenian. Sejalan dengan itu hasrat dan dorongan untuk menikmati
keindahan merupakan fithrah manusia, anugrah dari Tuhan. Karena Islam sesuai dengan fithrah
manusia, sedangkan seni itu fithrah manusia, anugrah Tuhan, maka seni dalam Islam dapat
dibenarkan. Seni (Art) adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan merupakan hal ihwal
kehdupan sedangkan kehidupan itu adalah karunia Tuhan.
Karena itu, kesenian yang menjadi bagian dari kehidupan sedangkan kehidupan adalah
karunia dan anugrah Tuhan maka logikanya seni dan berkesenian itu dihalalkan Tuhan
(Idris,1983:91; lihat Anshari, 1986:154). Suatu ketika Rasulullah Saw. berkata kepada Abu
Musa, ―Sesungguhnya kamu telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud.‖ (H.R.
Bukhari dan Tirmidzi). Rasulullah Saw. pada kesempatan lain sama sekalai tidak menunjukkan
perasaan dan sikap tidak senang ketika bersama rombongan para sahabat beliau melihat dan
melalui sekelompok orang sedang mementaskan tarian atau sedang menari. Bahkan beliau
bersabda: ―Menarilah sebaik-baiknya, tunjukkan kepada mereka, orang Yahudi dan Nasrani, agar
mereka menyaksikan bahwa agama Islam itu sesungguhnya luas dan memberi keleluasaan
(dalam bidang seni).‖
Bagaimana dengan pandangan tentang larangan membuat patung ataupun lukisan?
Sebenarnya, beberapa ayat Al-Qur‘an tentang arca/berhala dan penyembahannya menyiratkan
bahwa larangan itu ditujukan langsung terhadap (penyembahan) berhala yang dipertuhankannya
(syirik). Hal itu dapat dikaji dari sebab turunnya wahyu (asbabun nuzul). Dalam Al-Qur‘an Allah
berfirman, ―Dan ingatlah ketika Ibrahim berbicara dengan Azar, ayahnya, ‘Pantaskah engkau
menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-tuhan?‘ (Q.S. al-An‘am:74) dan, juga ucapannya
kepada ayahnya, ―Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar,
tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?‖ (Q.S. Maryam:42).
Berdasarkan nukilan-nukilan pemikiran dan ayat al-Qur‘an di atas maka tidak syak lagi,
bahwa seni merupakan tema yang mendasar, karena seni berkaitan dengan kebutuhan mendasar
4
manusia yang mampu membangunkan perasaan dan emosi manusia. Seni juga membangkitkan
cita rasa, dan kecenderungan, serta orientasi kejiwaan manusia dengan berbagai perangkat seni
yang dapat dinikmati melalui pendengaran (syair lagu, nyanyian, musik), dibaca (sastra), dilihat
(tarian, lukisan, ukiran, pahatan, patung, arsitektur), dihayati dan direnungkan.
Seperti halnya ilmu dan teknologi, seni juga sangat bergantung pada penggunaan atau
pemanfaatannya, apakah untyuk maksud yang baik atau sebaliknya. Seni yang baik mampu
untuk membangun (konstruktif), sedangkan seni yang jelek akan membawa kepada kerusakan
dan kejahatan (destruktif). Dari segi itu;ah sebuah karya seni dili9hat kadar kebermanfaatannya
atau sebaliknya. Di situ pula letak kadar dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, apakah
sebuah karya seni itu bermanfaat atau merugikan.
Berdasarkan pemikiran dan dalil-dalil di atasd, dapatlah disampaikan bahwa hukum seni
itu mubah sepanjang pelaksanaan dan pementasan/penyajiannya tidak melanggar syari‘at Islam
(Idris, 1983). Oleh karena itu, jika kreasi seni dari wujud dan pelaksanaannya, substantive dan
pragmatic, kreasi seni digunakan untuk hal-hal yang halal maka kreasi seni tersebut hukumnya
halal juga. Sebaliknya, jika kreasi seni dimanfaatkan untuk tujuan dan hal-hal yang haram maka
hukumnya menjai haram pula. Karya seni (estetik) menurut Islam bahkan akan dapat menjadi
sebuah ibadah apsabila memenuhi tiga prasyarat: (1) Ikhlas niatnya sebagai dasar berkreasi; (2)
Mardhatillah sebagai tujuan berkreasi; dan (3) Amal shalih sebagai garis amal dalam
pelaksanaannya.
Seorang seniman Muslim yang mampu menciptakan karya seni sesungguhnya dia telah
(1) melakukan tugas ibadah dan (2) melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Khalifatullah fil
ardhi (lihat Anshari, 1986). Pelukis dapat beribadah dengan karya lukisnya; sastrawan dengan
puisi, cerpen, novel, atau dramanya; sutradara, aktor/ aktris dengan acting teatrikalnya atau di
film/ sinetronnya; penyanyi/ musikus dengan lagu-lagu dan aransemen musiknya; arsitek dengan
karya arsitekturnya, dan sebagainya.

4. Kriteria Seni Islami


Ekspresi perasaan ketuhanan seniman itu menggapai dimensi spiritual dan ketuhanan.
Rasulullah Saw. bersabda, "Tuhan itu Mahaindah, dan Dia menyukai keindahan.‖ Penghayatan
dan pengalaman estetik mempunyai pertalian dengan sesuatu yang indah yang bersifat spiritual
5
dan ketuhanan yang pada puncaknya membawa manusia kepada Tuhan (Al-Ma‘ruf, 1990).
Karya seni yang mengembangkan potensi insani guna meraih kebajikan yang
membangun karakter manusia yang terlena dan memberi kita gairah atau spirit untuk
menghadapi ujian kehidupan dengan sikap positif, itulah krasi seni yang bernilai tinggi. Harus
tidak ada candu yang memakan seni. Dogma "seni untuk seni" adalah gagasan yang cerdas dari
kemunduran untuk menipu umat beragama keluar dari kehidupan hakiki dan kekuatan batin
(Iqbal, 1996).
Iqbal menyatakan bahwa seni hakiki merupakan ekspresi keindahan dengan kriteria ingin
menyampaikan hasrat dalam hati manusia akan rasa cinta. Mahkota seniman ialah keindahan
(estetika) yang akan menghayati dan menimbulkan rasa cinta kepada Sang pencipta, Allah Swt.
dan makhluknya, manusia, cinta kepada Ilahi dan insani. Sejalan dengan Iqbal (1982), Islam
memberikan kebebasan kepada kaum muslimin utnuk berkreasi seni dan menikmati karya seni:
lagu/nyanyian, musik, lukisan, patung, ornamen, tarian, teater, dan sastra (puisdi, fiksi, dan
drama) sebagai refleksi atas realitas sosial budaya yang dihadapinya.
Kreasi seni dapat menjadi media untuk mengeksikan pikiran dan perasaan bahkan
terkadang perasaan syukur manusia atas karunia Allah. Namun demikian, Islam mempunyai
prasyarat. Ada lima kriteria yang dapat dipakai sebagai acuan dalam menilai sebuah kreasi seni
itu dikategorikan halal hukumnya. Pertama, wujud/isinya, karya seni harus sejalan dengan
syari‘ah dan akhlak Islam. Ajaran Islam sangat luas namun intinya ada dua yakni dimensi
kemanusiaan dan ketuhanan, memadukan insaniyah dan Ilahiyah.
Apa pun kreasi seni itu harus mencerminkan ajaran Islam. Misalnya: lagu sebagus apa
pun lagu yang mendorong penikmatnya menuju kemasiatan seperti minum minuman keras,
perzinaan, mengekspos seksualitas, dan organ sensitif perempuan/ laki-laki dan menimbulkan
perasaan permusuhan, maka kreasi seni itu tidak Islami. ―Dan katakanlah kepada
perempuan-perempuan yang beriman, ‗Hendaklah menahan pandangannya dan menjaga
kemaluannya. Agar mereka jangan memamerkan perhiasannya, kecuali yang (memang biasa)
tampak padanya. Agar mereka menutupkan kerudungnya ke atas dadanya, dan jangan
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya.‖ (Q.S. an-Nur:30-31).
Kedua, cara menyajikan kreasi seni itu harus memenuhi akhlak Islami. Bermain musik
atau nyanyian, pembacaan puisi, bermain tetaer, tidak dibenarkan sambil menikmati minuman
keras, narkoba, ekstasi, kebebasan seks, dan perbuatan yang haram. Kreasi seni itu tidak
6
mengajak penikmat seni (manusia) ke arah perbuatan amoral, mabuk-mabukan, menari bersama
terlebih berpelukan dengan lawan jenis padahal bukan muhrimnya (lihat Baghgdadi, 1995: 66).
Artinya, mungkin isi nyanyiannya wajar bahkan bagus tetapi jika cara membawakannya dengan
disertai dengusan erotis, rintihan sensual, dan desah nafas birahi, dengan meliak-liuk
memamerkan keelokan tubuhnya sehingga mendorong nafsu hewani yang rendah maka
lagu/nyanyian ityu berbubah dari halal menjadi haram hukumnya, minimal syubhat, atau
makruh.
Sebagai ilustrasi, nyanyian-nyanyian yang banyak ditayangkan di televisi terutama
televise swastra dan mancanegara dan juga sering diperdengarkan di radio-radio, mayoritas
menyuguhkan selera rendah yang mendorong hasrat seksual dan nafsu syahwat. Cara
menyuguhkan kreasi seninya yang sering melanggar etika. Jelas kreasi seni itu tidak dibenarkan
dalam Islam. Hal ini sejalan dengan firman Allah: ―Jangalah kamu tunduk (dibuat-buat,
dilembut-lembutkan) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang (untuk berbuat maksiat)
yang ada penyakit dalam hatinya.‖ (Q.S.al-Ahzab:32)
Ketiga, dalam menyuguhkan kreasi seni tidak disertai benda-benda haram, seperti minum
minuman eras (bir, wiski, dan sejenisnya), ekstasi dan narkoba, dan sebagainya. Inilah ilustrasi
yang segera muncul ketika ita membahas lagu/nyanyian nyanyian, jika kebnetulan penyanyinya
perempuan. Rasulullah Saw. dalam sabdanya: ―Sungguh, akan ada beberapa orang dari umatku
yang meminum khamr, mereka menamainya dengan nama lain, beserta dia dimainkanlah
instrumen musik dan ditampilkan biduanita-biduanita. Allah akan menenggelamkan mereka ke
dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi‖ (H.R. Ibnu Majah).
Keempat, dalam menyajikan atau membawakan kreasi seni agar wajar saja, tidak
dibenarkan berlebih-lebihan (ishraf). Segala sesuatu yang mubah hukumnya –termasuk karya
seni--, jika disajikan secara berlebih-lebihan, hukumnya akan dapat berubah menjadi haram.
Misalnya: lagu-lagu pop yang sering mengekspos tentang cinta dan asmara yang
mengungkapkan perasaan cinta dan kerinduan kepada kekasih atau lawan jenis secara
berlebih-lebihan, maka tidak dibenarkan dalam Islam. Misal: lirik lagu pop ―hidupku tiada
gunanya tanpa kau berada di sisiku‖, ―aku hidup hanya untukmu‖, ‖tidak ada lagi gairah hidupku
jika kau pergi dariku‖, ‖hidup ini menjadi tak berarti jika kau tidak di sampingku‖, dan
semacamnya. Atau, nyanyian yang mengekspos nafsu birahi terhadap kekasih yang sering
berlebih-lebihan. Perlu diingat, bahwa cinta memang penting, tetapi manusia hidup di dnia ini
7
tidak hanya untuk bercinta belaka. Padahal cinta itu sendiri tidak semata-mata berkurusan
dengan lawan jenis (lelaki dan perempuan). Selain itu, kaum perempuan itu tidak semata-mata
dilihat dari sekedar wujud lahiriah dan nafsu syahwat saja.
Jika kreasi seni dapat mendorong syahwat, melambungkan pikiran dalam khayalan, dan
membangkitkan naluri hewani lebih dominan atas sisi rohaninya, saatnyalah kreasi seni sejenis
itu ditinggalkan. Bersikap lebih hati-hati itu lebih baik, kita tutup pintu fitnah rapat-rapat
sebelum kita terjebak di dalamnya.

Kelima, kreasi seni harus memuat pesan-pesan moral dan hikmah/kebijakan dan berisi
ajakan kea rah kebaikan di samping tetap ada sentuhan estetikanya agar terhindar perilaku
absurdisme, hampa, sia-sia (laghwun). Kreasi seni Islami harus menjunjung tinggi nulai luhur
dan menghormati nilai-nilai etika Islam (akhlak) dalam semua segi sajiannya. Menghindari
keseronokan termasuk pornografi dan pornoaksi serta menjaga aurat serta kemuliaan manusia
menjadi salah satu kriteria kreasi seni Islam.
Kreasi seni Islami juga menghindari perilaku kebancian (takhonnus) dan sebaliknya
seperti gay dan waria. Menghindari praktik perbuatan maksiat dalam penampilan seni. Kreasi
seni harus disajikan sekedar sebatas keperluan dan menghindari berlebihan (israf dan tabdzir)
yang dapat membawa penimat seni melalaikan kewajiban kepada Allah. (Abdurrahman Aljaziri
dalam Al-Fiqh ‗alal Madzahibil Arba‘a, II/ 42-44, Yusuf Al-Qordhowi dalam Al Halal Wal
Haram fil Islam, hlm. 273-276).

5. Implikasi Seni Islami


Seni Islami dengan demikian tidak mesti berwujuud syair atau materi yang bermuatan
tentang rukun Islam atau iman yang merupakan ajaran Islam formal. Kreasi seni tidak harus
menggunakan media berbahasa Arab atau Al-Qur‘an, melainkan kreasi seni yang mampu
membangkitkan pikiran atau menyentuh batin manusia menuju pada taqarrub (kedekatan) insan
dengan Tuhan Allah, makhluk dan Khalik. Terkadang lagu-lagu Qasidah atau Nasyid (Nasyida
Ria, Snada), musik Rebana/Hadrah yang berisi ajaran Islam formal, terkadang justru tidak lebih
Islami daripada lagu-lagu Bimbo, Ebiet G. Ade, Emha Ainun Nadjib dengan Kyai Kanjengnya,
puisi Taufik Ismail, Abdulhadi W.M., dan Zawawi Imron, cerpen/novel A.A. Navis, Ramadhan
K.H., Danarto, dan Kuntowijoyo yang religius atau sufistik. Lukisan Sadali, Jeihan, , dan Amry
8
Yahya sangat religius meskipun tidak eksplisit nafas Islamnya. Demikian pula film/sinema karya
Chairul Umam, Syu‘bah Asa, adalah kreasi seni yang mengajak kita berkontemplasi, menghayati
aneka ragam kehidupan –yang merupakan ayat-ayat kauniyah—yang pada gilirannya berpuncak
pada kedekatan dengan Ilahi.
Seni budaya Islam terkesan statis atau tradisional dan identik dengan seni kaum santri
atau sarungan yang cenderung menampilkan Islam sebagai sebuah agama formal, sudah saatnya
segera direkonstruksi dalam seni modern yang mengglobal. Taufik Ismail, Bimbo, Rhoma Irama
(decade 1960-an), Cak Nun dan Ebiet G. Ade (generasi dekade 1970-an), kemudian Group Band
Ungu, De Masive, ST12, Wali, Gigi (generasi dekade 2000) adalah sederet pelaku kesenian yang
berkarya seni budaya Islam yang mencoba mengangkat nilai Islam dalam kreasi seni yang enak
dinikmati, meski tidak mengeksplisitkan ajaran Islamnya. Justru itulah kekuatannya: menyentuh
lembut nurani manusia, membelai perasaan, mengelus pikiran, dan menyelam dalam kalbu.

5. Simpulan
Akhirnya, perlu disimpulkan bahwa seni Islami memberikan alternatif nilai-nilai kreasi
seni yang dapat menambah dan memperdalam khazanah batin manusia dengan nafas
kemanusiaan dan ketuhanan, yang mempertemukan insaniah dan Ilahiyah, dengan tidak
mencekoki penikmatnya dengan ajaran Islam formal.
Seni Islami mendorong apresiatornya untyuk melakukan perenungan dan pemikiran yang
mendalam sehingga mampu membawanya kepada taqarrub dengan Ilahi. Seni Islami adalah seni
hakiki berfungsi ―mencerahkan‖ kehidupan batin manusia.

Daftar Pustaka

Aljaziri, Abdurrahman. 1989. Al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’a, II/ 42-44

Al-Ma‘ruf, Ali Imron. 1990. "Dialog Religius dalam sajak 'Nyala Cintamu' Karya Anshari
(Persia) dan Sajak Anak Laut, Anak Angin' karya Abdulhadi W.M." dalam Jurnal
Rethoric, Nomor 1 Tahun 1990.

Al-Qordhowim, Yusuf. 1985. Al Halal Wal Haram fil Islam.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. (Penerjemah: Ali
Audh dkk). Jakarta: Tintamas.

9
Jassin, H.B. 1882. Al-Qur’anil Karim Bacaan Mulia. Jakarta: PT Jambatan.

Kuntowijoyo. 1982. ―Essai Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Profetik‖.
Makalah dalam Temu Sastra tahun 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Mangunwijayam Y.B. 1988. Sastra dan Religiousitas. Jakarta: Sinar Harapan

ooOoo

10

Anda mungkin juga menyukai