DI
S
U
S
U
N
OLEH:
1. NEISYA AULIA ASHAR
2. HIJRAYANTI
3. DEA ANANDA PRATIWI
4. NURUL ISTIAZAH
5. ARDIANSYAH
PROGRAM STUDI SENI TARI
FAKULTAS SENI DAN DESAIN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian seni secara umum.
2. Menjelaskan pandangan islam terhadap seni secara umum
3. Mengetahui makna kata patung dalam Islam.
4. Menjelaskan sejarah patung dalam islam.
5. Pandangan islam terhadap seni patung
6. Menjelaskan patung dari sudut pandang nilai
BAB II
ISI
A. Pengertian seni
Setiap manusia memiliki sisi kreatifitasnya masing-masing dengan hasil
keterampilan dan rasa keindahan yang sering disebut sebagai sebuah karya seni.
Pengertian seni diartikan sebagai sebuah karya pengungkapan rasa keindahan yang
menyajikan beberapa bentuk kreatifitas. Pengungkapan seni tersebut bisa terbagi ke
dalam berbagai jenis dan macamnya.
Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair,
nyanyian, tarian, dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni,
selama terpenuhi unsur keindahan.Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati
nalar meletakkan syarat dan ukuran, tetapi bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran
dan syarat itu bersumber dari dalam diri manusia atau masyarakat. Allah swt.
menganugerahkan manusia rasa bagaikan reciever yang peka sehingga dengan mudah
seseorang menangkap, merasakan, dan menyambutnya. Itulah salah satu fitrah yang
dianugerahkan Allah kepada manusia.
Seni adalah keindahan. Ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apa pun
bentuk dan caranya, selama arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur,
maka ia adalah seni Islami. Karena itu, Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan
selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf, yakni nilai-nilai
universal yang diajarkan Islam serta nilai lokal dan temporal yang sejalan dengan
budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan al-Khair tersebut. “Allah Maha-
indah menyukai keindahan,” sabda Rasul saw. Dia menganugerahi manusia fitrah
menyenangi keindahan. Karena itu, mustahil seni dilarang-Nya, kecuali jika ada unsur
luar yang menyertai seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim bunga dengan
kembang-kembangnya atau oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka fitrahnya
telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati. Demikian kata al-Ghazaly.Dari sini
setiap karya, karsa, dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja diizinkan-
Nya, tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera
rendah dibenci dan dikutuk-Nya.Siapa pun yang mempertemukan secara indah wujud ini
dengan Tuhan, maka upayanya itu adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya
bukanlah seni Islami. “Art for Art” tidak dikenal oleh kamus ajaran Islam karena bagi
seorang Muslim, seluruh gerak dan diamnya harus diarahkan kepada-Nya, “Shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah swt.” (QS. al-An’âm [6]: 162).
Setiap seniman, bahkan siapa pun yang jujur dengan profesinya, pasti memiliki
pandangan hidup menyangkut manusia, alam, dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas
dan langgeng, bisa juga terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman
untuk memandang alam ini tidak terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan
sekarang, tetapi jauh ke sana, bersama “ruh kehidupan” yang menyertainya—kendati
sesuatu itu tidak bernyawa—lalu pada akhirnya bergerak mengarah dan bertemu dengan
Sang Pencipta. Langit dan bumi serta segala isinya dalam pandangan kitab suci al-
Qur’an amat indah, seimbang, dan serasi serta hidup, bahkan bertasbih memuji dan
mengarah kepada-Nya (QS. al-Isrâ’ [17]: 44). Bukit Uhud dilukiskan oleh Nabi saw.
sebagai mencintai kita dan kita pun mencintainya.
Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak
mempersempit ruang lingkup yang dibenarkan agama ini, padahal ruang lingkupnya
amat luas. Bermula dalam bentuk mengekspresikan keindahan lahiriah manusia—
pakaian, penampilan, cara dan susunan tuturnya—hingga keindahan batin melalui
kepekaan rasa yang melahirkan budi pekerti dan interaksi harmonis. Setiap agama
memunyai keindahan dan keindahan Islam adalah pada budi pekertinya. Keindahan yang
diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan adalah yang lahir dari rasa yang suci,
jiwa yang bersih serta akal yang cerdas guna menonjolkan keindahan ciptaan Allah atau
kebesaran Kuasa-Nya.Puluhan ayat-ayat al-Qur’an yang menggugah manusia
memandang keindahan yang terhampar di bumi seperti keindahan terbitnya matahari
hingga terbenamnya atau kebun-kebun yang melahirkan pandangan indah, demikian
juga keindahan yang terbentang di langit dari curahan airnya yang menumbuhkan aneka
bunga dan kembang sampai dengan taburan bintang-bintangnya yang memesona. Kitab
suci al-Qur’an menggunakan keindahan bahasa dan ketelitian makna untuk
mengekspresikan keindahan-keindahan itu.
Keindahan bahasanya, saat dibaca, melahirkan apa yang dinamai oleh sementara pakar
dengan “Musik al-Qur’an”, yakni nada dan langgam yang menyentuh pendengarnya,
baik dipahami makna ayatnya maupun tidak. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad saw.
pun membenarkan nyanyian-nyanyian yang menggugah hati atau yang menimbulkan
semangat. Jangan duga bahwa nyanyian Islami harus berbahasa al-Qur’an. Lagu-lagu
Barat pun dapat merupakan eskpresi keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam,
dan sebaliknya tidak jarang lagu-lagu berirama Timur Tengah yang tidak sejalan
dengan nilai-nilai Islam dalam syair atau penampilan penyanyinya.Memang sebagian di
antara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum terjamah pada masa Nabi
Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang akibat kondisi-
kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu “seni” ini secara tegas
terlarang karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Jika pahatan itu tidak
mengarah kepada penyembahan selain Allah, tetapi merupakan ekspresi keindahan,
maka ia boleh-boleh saja. Bukankah—kata ulama—Nabi Sulaiman pun memerintahkan
untuk membuat antara lain patung-patung (QS. Saba’ [34]: 13) yang tentunya bukan
untuk disembah, tetapi antara lain untuk dinikmati keindahannya.Ketika sahabat-sahabat
Nabi Muhammad saw. menduduki Mesir, di sana mereka menemukan aneka patung
peninggalan dinasti-dinasti Fir’aun. Mereka tidak menghancurkannya karena ketika itu,
ia tidak disembah tidak juga dikultuskan, bahkan kini peninggalan-peninggalan tersebut
dipelihara dengan amat baik, antara lain untuk menjadi pelajaran dan renungan bagi
yang memandangnya.
Benar bahwa ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk
ke satu rumah bila di dalamnya terdapat patung,” tetapi itu bila patung tersebut
disembah, atau melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati
keindahan adalah fitrah manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal
yang bertujuan membangun peradaban. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah
tiga unsur mutlak bagi satu peradaban. Mencari yang benar menghasilkan ilmu,
menampilkan kebaikan mencerminkan moral, dan mengekspresikan keindahan
melahirkan seni. Namun, ketiganya tidak berarti jika tidak ada yang menggali,
menampilkan, dan mengeksperesikannya.Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban
tidak dapat dibangun dengan mengabaikan hasil positif yang telah dicapai oleh siapa pun
pada masa lalu. Karena itu, dari mana pun sumber kebenaran, maka Islam menerimanya.
“Hikmah adalah milik orang mukmin; di mana pun ia temukan, maka ia lebih berhak
mengambilnya. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada pencetusnya,” demikian
beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip di atas berlaku
juga menyangkut keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapa pun yang mencetuskan
atau mengeksperesikannya, selama sejalan/tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama,
bangsa, atau ras pencetusnya.
Seni Islami tidak harus berbicara tentang Islam atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-
ayat al-Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekadar nasihat langsung atau anjuran
mengikuti kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia
yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan
keindahan dengan hak/kebenaran. Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan
Nabi Muhammad saw., tetapi dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau terlepas dari
bantuan Allah, karya itu bila dilukiskan demikian tidak dapat dinilai sebagai seni Islami.
Sebaliknya, mengekspresikan keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke
kandang dan ketika melepaskannya ke tempat penggembalaan, sebagaimana
diungkapkan oleh QS. an-Nahl [16]: 6, dapat merupakan seni Islami selama
mengundang keagungan Allah. Boleh jadi ada yang menduga bahwa Islam tidak
merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui seni yang terlepas
dari nilai-nilai Islami atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan
mengundang tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian, wa Allâh
A’lam.
Ada 3 kata yang digunakan al-Quran dalam menyebut patung, yaitu: 1) “Ashnâm”, jamak
dari kata “shanam”. 2) “Al-Autsân”, bentuk plural dari “watsan”. 3) “At-Tamâtsîl”, jamak
dari “timtsâl”. Meski ketiganya dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “patung”,
dalam bahasa Arab memiliki makna yang berbeda.
Bagaimana hukum membuat patung? Ada patung yang tidak diagungkan, hanya sekedar
dipajang. Ada juga patung besar yang dijadikan sebagai monumen. Ada pula yang
diagungkan secara berlebihan sehingga akhirnya disembah atau diibadahi seperti di
zaman nabi Nuh ‘alaihis salam.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
، ت بِقِ َر ٍام لِى َعلَى َس ْه َو ٍة لِى فِيهَا تَ َماثِي ُل ُ ْقَ ِد َم َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ِم ْن َسفَ ٍر َوقَ ْد َستَر
َاس َع َذابًا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة الَّ ِذين ِ َّفَلَ َّما َرآهُ َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – هَتَ َكهُ َوقَا َل « أَ َش ُّد الن
ت فَ َج َع ْلنَاهُ ِو َسا َدةً أَوْ ِو َسا َدتَي ِْن ِ ضاهُونَ بِخ َْل
ْ َ قَال. » ِ ق هَّللا َ ُي
“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu safar dan aku
ketika itu menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok
lalu di kain tersebut terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihat hal itu, beliau merobeknya dan bersabda, “Sesungguhnya orang
yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu
yang menandingi ciptaan Allah.” ‘Aisyah mengatakan, “Akhirnya kami menjadikan
kain tersebut menjadi satu atau dua bantal.” (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no.
2107).
فَيُقَا ُل لَهُ ْم أَحْ يُوا َما َخلَ ْقتُ ْم، َاب هَ ِذ ِه الصُّ َو ِر يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يُ َع َّذبُون
َ إِ َّن أَصْ َح
“Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada
mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).” (HR. Bukhari no.
2105 dan Muslim no. 2107)
“Sesungguhnya orang yang peling berat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah al mushowwirun (pembuat gambar).” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no.
2109).
Shuwar (gambar) dibagi menjadi dua macam yaitu bentuk 2 dimensi dan bentuk 3
dimensi (patung). Yang kita bahas adalah jenis yang terakhir.
Mengenai hukum membuat bentuk tiga dimensi (patung), mayoritas ulama -selain
Malikiyah- mengharamkannya karena berdalil dengan dalil-dalil di atas.
Dikecualikan untuk mainan anak-anak, sesuatu yang dianggap remeh (dihinakan),
begitu pula sesuatu yang sifatnya temporer (tidak permanen) seperti jika dibuat dari
manis-manisan dan adonan roti.
Namun menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika bagian tubuh lain tidak
ada, lalu masih tersisa kepala, maka pendapat yang rojih (kuat), gambar atau patung
tersebut masih tetap haram.
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut
gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7: 270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
Membuat gambar atau patung imajinasi tetap masuk dalam hukum haram menurut
ulama Syafi’iyah. Seperti misalnya manusia yang memiliki sayap dan sapi yang
memiliki paruh yang ini semua tidak pernah nyata ada di makhluk. Namun beda
halnya jika gambar atau patung untuk mainan anak-anak karena ‘Aisyah dahulu
pernah memiliki mainan berupa kuda yang memiliki sayap. Sampai-sampai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa karena melihat ‘Aisyah seperti itu
sampai kelihatan gigi geraham beliau.[1]
Kalau demikian terlarang membuat patung, maka jelaslah bagaimana hukum jual beli
patung dan berprofesi sebagai pembuat patung, semuanya dihukumi haram. Namun
penjelasannya akan dihadirkan sendiri.
F. patung dari sudut pandang nilai
Hal ini bermakna bahwa tujuan dan niat membuat patung sama sekali tidak mendapat
sokongan agama Islam dan agama-agama Ilahi lainnya.
Pada kebanyakan hal, orang-orang membuat patung bukan untuk tujuan monotheistik
namun terdapat sebagian perkara juga dapat digambarkan bahwa seni ini, juga
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan religius.
Terkadang setiap seni, tanpa memperhatikan tujuan-tujuan bernilai, nilai positif atau
nilai negatif, mengembangkan dan menyebarluaskan seni yang diminatinya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari materi kami yaitu menurut pandangan islam terhadap
seni patung itu sebenarnya diharamkan. seperti yang tercantum dalam ayat yang telah kami
paparkan diatas. Namun dewasa kini, Patung dapat dikatakan halal tergantung dengan
tujuan dan manfaat penggunaannya.
B. Daftar Pustaka
https://rumaysho.com/3566-hukum-membuat-patung.html