Anda di halaman 1dari 26

ISLAM DAN KESENIAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Budaya dan Seni Islam
yang diampu oleh Bpk Abdul Halim, S. Pd.I.,MA

Kelas A4
Kelompok 9:
1.
2.
3. Yeti Nur Kholifah (T20181191)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-
Nya kepada kita semua, sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan. Tugas makalah yang
diberi judul Rancangan Kompetensi ini merupakan syarat dari aspek penilaian mata kuliah
Pengembangan Budaya dan Seni Islam. Dalam penulisan makalah, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE, MM. selaku Rektor IAIN Jember,
2. Ibu Dr. Hj. Mukniah, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Jember,
3. Bapak Drs. Diambang Fajar Ahwa, M.Pd.I. selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Agama Islam IAIN Jember dan,

4. Bpk Abdul Halim, S. Pd.I.,MA.selaku dosen pengampu mata Pengembanagn Budaya dan
seni Islam.

Kami menyadari bahwa tugas makalah ini banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik sangat penulis harapkan. Harapan penulis semoga makalah ini dapat
diambil manfaatnya oleh pembaca.

Jember, 23 November 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari seni?
2. Bagaimana pandangan islam terhadap seni?
3. Bagaimana pandangan ulama terhadap kesenian?
4. Bagaimana ruang lingkup kesenian islam?
5. Apa saja ciri-ciri utama kesenian islam?
6. Apa hubungan dari kesenian dengan dakwah?
7. Apa saja karya seni dan norma penggunaannya dalam islam?
C. TUJUAN
Sesuai rumusan masalah diatas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menjelaskan:
1. Pengertian seni
2. Pandangan islam terhadap seni
3. Pandangan ulam terhadap seni
4. Ruang lingkup kesenian islam
5. Ciri-ciri utama kesenian islam
6. Hubungan kesenian dengan dakwah
7. Karya seni dan norma penggunannya dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
 
 
A. Pengertian Seni
Secara umum, seni adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia yang
mengandung unsur keindahan dan mampu membangkitkan perasaan orang
lain. Istilah seni berasal dari bahasa Sansekerta yaitu  sani yang berarti pemujaan,
persembahan, dan pelayanan yang erat dengan upacara keagaaman yang disebut
dengan kesenian. Menurut para ahli :1
a. Aristoteles : Pengertian seni menurut pendapat aristoteles
adalah bentuk yang pengungkapannya dan
penampilannya
tidak pernah menyimpag dari kenyataan dan se
ni ituadalah meniru alam
b. Ki Hajar Dewantara : Seni adalah hasil keindahan sehingga dapat
menggerakkan perasaan indah orang yang meli
hatnnya, oleh karena itu perbuatan manusia yan
g dapat mempengaruhi dapatmenimbulkan
perasaan indah itu seni.
c. Sudarmiji : Seni adalah segala manifestasi batin dan
pengalaman estetis dengan menggunakan media
bidang, garis, warna,tekstur, volume dan gelap
terang.
d. Hillary Bel : Seni merupakan istilah yang digunakan untuk
semua karyayang dapat menggugah hati untuk
mencari tahu siapa penciptanya
Seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia,
dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap
oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari, drama).2 Seni merupakan wujud yang terindra, dimana
seni adalah sebuah benda atau artefak yang dapat dirasa, dilihat dan didengar, seperti
seni tari, seni musik dan seni yang lain. Seni yang didengar adalah bidang seni yang
menggunakan suara (vokal maupun instrumental) sebagai medium pengutaraan, baik

1
Raina Wildan, Seni dalam Perspektif Islam, Vol. VI, No.2, 2007, 80
2
Van Hoeve, Ensiklopedi Indonesia, ( Jakarta: PT. Ikhtiar Baru), hal. 3080 - 3081
dengan alat-alat tunggal (biola, piano dan lain-lain) maupun dengan alat majemuk
seperti orkes simponi, band, juga lirik puisi berirama atau prosa yang tidak berirama.
Seni yang dilihat seperti seni lukis adalah bidang seni yang yang menggunakan alat
seperti kanvas, beragam warna-warni dan memiliki objek tertentu untuk di lukis.
Di dalam Islam, seni adalah penggerak nalar yang bisa menjangkau lebih jauh
apa yang berada di balik materi3. Setiap manusia berhak menggeluarkan kreativitas
mereka seperti seni dalam membaca Al-Qur‟an, seni kaligrafi dan lain-lain. Seni
Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang
alam, hidup dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara
kebenaran dan keindahan.
B. Pandangan Islam Terhadap Seni
Keindahan itu sebahagian dari seni. Ini bermakna Islam tidak menolak
kesenian. Al-Quran sendiri menerima kesenian manusia kepada keindahan dan
kesenian sebagai salah satu fitrah manusia semulajadi anugerah Allah kepada manusia.
Seni membawa makna yang halus, indah dan permai. Dari segi istilah, seni adalah
sesuatu yang halus dan indah dan menyenangkan hati serta perasaan manusia. Konsep
kesenian mengikut perspektif Islam ialah membimbing manusia ke arah konsep tauhid
dan pengabdian diri kepada Allah. Seni dibentuk untuk melahirkan manusia yang
benar-benar baik dan beradab. Motif seni bertuju kepada kebaikan dan berakhlak.
Selain itu, seni juga seharusnya lahir dari satu proses pendidikan bersifat positif dan
tidak lari dari batas-batas syariat. Seni Islam ialah seni yang bertitik tolak dari akidah
Islam dan berpegang kepada doktrin tauhid yaitu pengesaan Allah dan seterusnya
direalisasikan dalam karya-karya seni. Ia tidak bertolak dari akidah, syarak dan akhlak.
Perbedaan di antara seni Islam dengan seni yang lain ialah niat atau tujuan dan nilai
akhlak yang terkandung di dalam sesuatu hasil seni itu. Ini berbeda dengan keseniaan
barat yang sering mengenepikan persoalan akhlak dan kebenaran. Tujuan seni Islam
ialah untuk Allah karena ia memberi kesejahteraan kepada manusia. Dengan ini, seni
Islam bukanlah seni untuk seni dan bukan seni untuk sesuatu tetapi sekiranya
pembentukan seni itu untuk tujuan kemasyarakatan yang mulia, itu adalah bersesuaian
dengan seni Islam. Kesenian Islam dicetuskan dengan niat untuk mendapat keredaan
Allah sedangkan kesenian yang tidak berbentuk Islam diciptakan untuk tujuan takbur,
riak, menaikkan nafsu syahwat, merusakkan nilai syarak dan akhlak. Karya seni
dikehendaki mengandungi nilai-nilai murni yang melambangkan akhlak, atau paling
3
Raina Wildan, Op.Cit., 81
tidak bersifat natural yaitu bebas daripada sifat negatif. Jika sekiranya terdapat nilai-
nilai negatif walaupun yang menciptakannya itu beragama Islam, maka ia terkeluar
daripada kategori seni Islam.
Berbagai gambaran Al-Qur‟an yang menceritakan begitu banyak keindahan,
seperti surga, istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainnya telah memberi
inspirasi bagi para kreator untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana
Nabi Sulaiman as, mengilhami lahirnya berbagai tempat para khalifah atau
pemerintahan muslim membentuk pusat kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud
fasilitas ruang” di atas kebiasaan rakyat biasa. Asmaasma Allah SWT, seperti al-Jamiil
secara theologis sangat membenarkan para kreator seni untuk memanifestasikannya
dalam banyak hal.4
Seni adalah sebahagian daripada kebudayaan. Din al-Islam meliputi agama
kebudayaan, maka dengan sendirinya kesenian merupakan sebahagian din al-Islam.
Namun pada sisi yang lain, berbagai larangan Nabi SAW dan para ulama mereka untuk
melukis dan menggambar mahluk hidup yang bernyawa/bersyahwat dalam
mewujudkan corak keindangan ruangan meskipun hal ini tidak ditemukan teks-nya
secara langsung dalam AlQur‟an, kegiatan mereka dalam mewujudkan gagasan
keindahan, tak pernah kehilangan arah. Kreasi dan potensi seni mereka, kemudian
dialihkannya pada berbagai bentuk kaligrafi Islam, dengan pola dan karaktersitik yang
indah dan rumit. Mereka membentuk corak ragam hias ruangan, benda-benda antik
seperti gelas atau guci, karpet, dan sebagainya dengan berbagai ornamen bunga-
bungaan atau tumbuhtimbuhan yang dianggap bukan sejenis hewan atau manusia.
Allah Swt menciptakan manusia dengan memberikan akal yang dapat
menciptakan sesuatu yang bisa disebut dengan seni atau budaya. Manusia juga
diberikan rasa atau perasaan untuk menghayati dan merasakan sesuatu. Akal manusia
memiliki daya berpikir dan perasaan, dengan akal manusia membentuk pengetahuan
dengan konsep. Manusia juga diciptakan dengan anggota tubuh yang lengkap, dimana
akal dan anggota tubuh bisa menghasilkan bentuk-bentuk yang menyenangkan yang
bersifat estetika yaitu seni.5
Dalam seni, keindahan merupakan unsur penting, sehingga dalam Islam nilai
keindahan merupakan nilai yang sangat penting yang sejajar dengan nilai kebenaran

4
Raina Wildan, Op.Cit., 81 - 82
5
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam Seni Vocal, Music &Tari, (Jakarta : Gema Insani
Press), hal. 13-14.
dan kebaikan. Alam yang diciptakan Allah adalah suatu keindahan seperti langit yang
dihiasi bintang-bintang adalah suatu penciptaan Tuhan yang dapat dinikmati oleh
manusia sebagai suatu keindahan. Allah Swt meyakinkan manusia tentang ajarannya
dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui
seni yang ditampilkan di dalam AlQur‟an yaitu melaui kisah-kisah nyata dan simbolik
yang dipadu oleh imajinasi melalui gambar-gambar konkrit. Di dalam Islam, prinsip
dari seni adalah ketauhidan, kepatuhan dan keindahan.
Syeikh Yusuf Qardhawi telah menjelaskan sikap Islam terhadap seni. Jika ruh
seni adalah perasaan terhadap keindahan maka Al Qur‟an sendiri telah menyebutkan
dalam surat As-Sajadah ayat 7 yang artinya “Yang membuat segala sesuatu, yang Dia
ciptakan sebaikbaiknya dan yang memulai menciptakan manusia dari tanah”. 6
Rasulullah saw. juga telah menjelaskan kepada beberapa sahabat yang mengira bahwa
kecintaan terhadap keindahan bisa menafikan iman, dan menjadikan pelakunya
terperosok dalam kesombongan, sebagiamana diceritakan sebuah hadist. Rasulullah
bersabda,”Tidak akan masuk sorga siapa yang di hatinya ada rasa sombog, walau
sebesar biji sawi.” Maka berkatalah seorang lelaki, “Sesungguhnya ada seorang lelaki
menyukai agar baju dan sandalnya menjadi bagus.” Maka bersabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim). Seni yang
sahih adalah seni yang bisa mempertemukan secara sempurna antara keindahan dan al
haq, karena keindahan adalah hakikat dari ciptaan ini, dan al haq adalah puncak dari
segala keindahan ini. Oleh karena itu Islam membolehkan penganutnya menikmati
keindahan, karena hal itu adalah wasilah untuk melunakkan hati dan perasaan.7
Lingkungan Islam yang lebih terbuka terhadap seni ini adalah para sufi dan
filosof. Banyak para filosof Islam yang benar-benar menguasai musik dan teorinya,
beberapa diantaranya seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dimana mereka ahli-ahli teori
musik terkemuka.8 Beberapa tabib muslim menggunakan musik sebagai sarana
penyembuhan penyakit baik jasmani maupun rohani. Bagi para sufi, seni adalah jalan
untuk dapat menangkap dimensi interior Islam, dimana seni terkait langsung dengan
spriritual. Al-Ghazali sebagai tokoh sufi mengatakan bahwa mendengar nada-nada

6
M. Quraisy Shihab Dkk, Islam dan Kesenian, (Jakarta: Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad
Dahlah Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, 1995), 185
7
M. Quraisy Shihab, Op.Cit. hal. 202
8
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB, 2000), hal. 10
vokal dan instrumen yang indah dapat membangkitkan hal-hal dalm kalbu yang disebut
Al-Wujud atau kegembiraan hati.9
Prinsip-prinsip seni di dalam Islam adalah sebagai berkut10 :
1. seni yang dapat mengangkat martabat insane dan tidak meninggalkan nilai-
nilai kemanusiaan
2. seni yang dapat mementingkan persoalan akhlak dan kebenaran yang
menyentuh aspek estetika, kemanusiaan dan moral
3. seni yang dapat menghubungkan keindahan sebagai nilai yang tergantung
kepada seuruh kesahihan Islam itu sendiri, dimana menurut Islam seni yang
mempunyai nilai tertinggi adalah seni yang dapat mendorong kearah
ketaqwaan, kema‟rufan dan moralitas
4. seni yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam sekitarnya.
Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan
pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun demikian wajar
dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat dengan kreasi seninya yang tidak
sejalan dengsan budaya masyarakatnya. Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa
Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan kebajikan,memerintahkan
perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar. Makruf merupakan budaya
masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang
tidak sejalan dengan budaya masyarakat. Dari sini, setiap Muslim hendaknya
memelihara nilai-nilaibudaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan
iniakan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budayasetiap masyarakat.
Seandainya pengaruh apalagi yang negatif dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni
dari satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil mempertahankan
makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta membendung setiap usaha dari mana pun
datangnya yang dapat merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran
memerintahkan untuk menegakkan makruf.11

C. Pandangan Ulama’ Terhadap Kesenian


Adapun berbagai macam pandangan para ulama’ pada seni, antara lain12 ;
9
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997), hal. 125
10
Raina Wildan, Op.Cit., 84
11
M. Quraish Shihab, Wawasa Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 2000), hal. 10.
12
Abdurrahman Al-Bagdadi, Op.Cit. 14 -16
1. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai
berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-
103):
a. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik.
Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah,
Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b.  Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan:
“‘ABDULLĀH BIN JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu
tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk
dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī) dengan alat musik seperti
rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib r.a.
c. Imām Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli
sejarah bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita
budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar
datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu
Ibnu ‘Umar bertanya: “Apa ini wahai shahābat Rasūlullāh? ” Setelah diamati
sejenak, lalu ia berkata: “Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām,”
ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: “Digunakan untuk menimbang
akal manusia.”
d. Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan
menyanyi dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara
ahli Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh
saja.”
f.  Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para
shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya
antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin
‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain
Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah bin Zaid, dan
lain-lain.
2. Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Ishāk Asy-
Syirāzī, AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237)berpendapat:
a. Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa
nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum
dan seruling.
b. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua
acara tersebut tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan. 
d. Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya
RŪH-UL-MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
e. Al-Muhāsibi di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi
itu harām seperti harāmnya bangkai.
f. Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī
berpendapat menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai
pekerjaan bāthil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya
adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
g. Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa
menurut mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik
ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi
perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat
dalam fitnah.
h. Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu
harām dikerjakan dan didengar.
i. Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang 
mengatakan bahwa harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat
dimengerti karena hāl demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul
dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada
maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang
berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka,
nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut
Imām Awzā‘ī adalah sunat.
j. Jamā‘ah Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-
alat musik.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi
hanya pada perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada
pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
k. Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada
laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak
pantas, kecuali bagi wanita.Adapun nyanyian yang baik dan dapat
mengingatkan orang kepada ākhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
l.  Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang
banyak tidak harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan
gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan
Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
m. Imām Al-Mawardī berkata: “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-
bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan
dosa besar.”
3. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-
MADZĀHIB-IL ARBA‘A(Lihat ‘Abd-ur-Rahmān Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-
MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44)mengatakan:
a. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam
kitab IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: “Nash nash syara’ telah
menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain
dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh)
sebab hari seperti itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari
bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari
kegembiraan yang memang dibolehkan syara’.
b. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
sepanjang pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang
benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya
mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa
macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan
hal-hal yang telah dilarang oleh syara’.
c. Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah
nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti
menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-
sifat wanita yang masih hidup(“menjurus” point, lead in certain direction,
etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan
pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada
orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka
mendengarkannya. Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian
dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa
nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur
dengan hal-hal yang dilarang syara’.
d. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan
untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus
untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta,
seruling dan terompet.
e. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat
musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya.
Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat
melagukannya ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai
mengubah aturan-aturan bacaannya.

D. Ruang Lingkup Kesenian Islam

Secara umum, apabila disebut istilah seni dan kesenian, masyarakat segera teringatkan
kegiatan seperti musi, lagu, lakonan, teater, tarian dan sebagainya. Namun, tinjauan terhadap
karya-karya para sarjana dalam bidang kesenian Islam menunjukkan bahwa bayak sekali
tumpuan diberikan kepada bidang seni bina, ukiran, lukisan, dan tulisan kaligrafi. Hampir
keseluruhan ensiklopedia menjuruskan perbicaraan tentang kesenian Islam kepada topik seni
bina, ukiran, lukisan, kaligrafi, dan sebagainya.malah terdapat ensiklopedia khusus yang
berjilid-jilid tebalnya dikarang semata-mata untuk mengumpulkan segala bentuk kesenian
Islam dan Arab, di samping banyak buku-buku yang membincangkan perkaraa yang sama.
Sebagai contoh, karangan tentang seni bina Islam dan bangsa asal Mesir di kota Kaherah
sahaja dikumpulkan oleh Dr. “Asim Muhammad Rizq dalam satu ensiklopedia yang
mempunyai 8 jilid bersaiz besar dan tebal mencecah lebih1000 halaman setiap jilid secara
merata. Tidak terkecuali ensiklopedia yang ditulis oleh cendikiawan Melayu, turut
membincangkan perkara yang sama ketika membincangkan persoalan kesenian Islam.
Menurut ensiklopedia Islam keluaran Malaysia, dalam kata entri kesenian Islam Bidang seni
yang diterokai oleh orang islam ialah kraftangan, tulisan khat, seni ukir, seni bina, dan seni
musik.13
13
Hj. Mohd Nakhaie, Hj. Ahmad, Ensiklopedia Islam, (Malaysian Encydopedia Research Center Berhad, 1998),
hlm.17.
Kenyataannya begini seolah-olah membataskan kesenian Islam kepada perkara-
perkara berkenaan semata-mata, sedangkan ruang lingkup kesenian islam jauh lebih luas
daripada itu. begitupun, ini tidak bermakna bidang-bidang lain diabaikan seperti bidang
kesustraan yang merangkumi sajak, syair, teater, lakonan, penulisan sastra seperti novel,
cerpen, musik, lagu, tarian, seni suara dan lain-lain, sedangkan perbincangannya dalam
kategori kesenian islam masih terbatas. Justru kajian kesenian islam yang mengaitkan
kegiatan ini harus diperkasakan. Dari aspek hukum, ramai ulama yang memfokuskan kajian
hukum terhadap kegiatan seni musik, lagu dan sebagainya. Secara umumnya, ulama modern
kini lebih cenderung untuk melihat hukum musik dan lagusecara lebih sederhana dan
menjadikan pandangan Ibn Hazm sebagai asas kepada pendapat lain. Akhir-akhir ini sudah
mula dikaji perbandingan tentang musik dan nasyid sebagai kesenian islam dan sumbangan
terhadap dakwah.14

Juga dianggap perlu untuk ditinjau oleh para sarjana dalam kajian-kajian akan datang
tentang al-adab al-sufiy sebagai bagian daripada jenis-jenis kesenian islam karena ia adalah
kesenian yang mengaitkan kemahiran mengungkapkan kata-kata yang indah.seperti
dinyatakan terdahulu, ramai penyusun kamus Arab yang muktabar memberikan perkataan al-
fahn makna yang berkaitan dengan kemahiran dalam mengungkapkan kata yang indah.
Contoh al-adab al-sufy yang sangat agung yang boleh dikaji ialah karya al-Hikam
‘Ataha’illah hasil karya al-Syaykh Ibn ‘Ata’ Allah al-Sakandariy (w709H) yang mendapat
perhatiaan ramai para ulama yang ada dalam bentuk tahqiq. Walaupun pernah ada uslub al-
Hikam yang digunakan oleh beberapa sufi terdahulu, namun tidak dapat dinafikan bahwa
uslub al-Hikam al-‘Ata’iyyah telah mendapat tempat yang paling tinggi dikalangan pecinta
tasawuf tanpa mempunyai saingan, dimana ia mempunyai lebih dari 40 buah syarh. Kajian
terhadap al-adab al-sufi akam membantu masyarakat islam untuk menikmati bagaimana
hakikat keseniaan kejiwaan yang halus nilainya yang dianjurkan dalam islam.

E. Ciri-ciri Utama Kesenian Islam

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kesenian islam mempunyai beberapa ciri
yaitu antara lain:15

14
Salman AlFarisi Syahrul, Nasyid Menurut PerspektifImam al-Ghazali dan kumpulan Raihan, 2004.
15
Al-Rifa’iy, Anwar, Tarikh al-Farm ‘ind al-‘Arab, hlm.21-25.
1. Kesenian Islam mempunyai kesatuan personaliti, walaupun ia meliputi lokasi-lokasi
geografi yang berbeza dan berjauhan antara satu sama lain serta mempunyai pengaruh
tempatan. Para sarjana coba menjustifikasikan kesatuan ini dengan alasan bahwa
pertamanya dipengaruhi oleh faktor geografi, iklim dan corak kehidupan manusia
yang mendiami kawasan tersebut. Kedua, pengaruh faktor sejarah dimana
keseluruhan kelompok manusia yang mendiami syam, Mesir dan Iraq adalah saki baki
Arab kuno yang pernah mempunyai hubungan dengan penduduk disebelah Asia dan
Afrika.
2. Kesenian islam adalah kesenian yang berteraskan kepada roh ajaran islam. Sebagian
besar kategori dan jenis kesenian telah diterjemahkan dalam bentuk keagamaan
seperti pembinaan masjid, sekolah dan tsanawiyah yang banyak dihiasi dengan ayat-
ayat al-Qur’an.
3. Kesenian islam adalah kesenian yang mempunyai banyak hiasan ukiran. Ukiran yang
memenuhi sektor kesenian merupakan unsur utama dalam kesenian islam. Yaitu
memenuhi ruang dinding, mimbar, kubah dan juga memenuhi kain-kain tenunan,
lampu kaca, kotak, kulit buku, dan lain-lain.
4. Kesenian islam meminggirkan ukiran dan lukisan yang berbentuk manusia dan
binatang khususnya ditempat beribadah.

F. Hubungan kesenian dan Dakwah

Kegiatan dakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus
diemban oleh manusia dibelantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam
rangka menyelamatkan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri.
Namun, kegiatan dakwah sering kali difahami, baik oleh masyarakat awam
ataupun masyarakat terdidik, sebagai suatu kegiatan yang sangat praktis, sama
dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis
taklim, masjid dan mimbar keagamaan lainnya.

Dakwah pada hakikatnya merupakan risalah bagi setiap mukmin, perintah


Rasulullah yang menuntut tanggung jawab pelaksanaannya sepanjang masa
dalam berbagai keadaan. Pada tingkat realisasi, dakwah tetap erat kaitannya
dengan lima unsur, yakni juru dakwah (da’i), sasaran (masyarakat atau mad’u),
materi, metode dan media dakwah. Dalam hal ini, seni merupakan salah satu
media dakwah yang cukup efektif dalam menyentuh kesadaran bagi sasaran
dakwah.

Dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 110 Allah menegaskan predikat
manusia sebagai khaira ummatin (umat terbaik), jika mereka mampu tampil di
tengah-tengah masyarakat, beramar ma’ruf nahi mungkar serta beriman kepada
Allah. Keg iatan ini menuntut ketrampilan dan penampilan sesuai dengan
pluralitas masyarakat. Pilihan metode Hikmah, Mau’idzah Hasanah ataupun
Mujadalah menjadi penting, melalui media-media yang mudah dijangkau untuk
mendukung strategi dakwah.

Kegiatan dakwah sering difahami sebagai upaya untuk memberikan solusi


Islam terhadap berbagai masalah kehidupan dari seluruh aspek seperti aspek
ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik dan lain-lain. Oleh karena itu, dakwah
haruslah dikemas dengan cara dan metode yang tepat dan pas, dakwah harus
tampil secara aktual dalam arti memecahkan masalah yang kekinian dan hangat di
tengah masyarakat. Faktual dalam arti kongkrit dan nyata, serta konstektual
dalam arti relevan dan menyangkut problema yang sedang dihadapi oleh
masyarakat.16

Penggunaan metode atau cara yang benar merupakan bagian dari


keberhasilan dakwah itu. Sebaliknya bila metode dan cara yang dipergunakan
dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dan tidak pas akan mengakibatkan
sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak memenuhi target yang diharapkan.
Dalam berbagai macam literatur dakwah, pembahasan tentang metode secara
dasar merujuk sepenuhnya kepada firman Allah SWT dalam Al Quran Surah Al
Nahl 125 yang artinya Seruhlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat di jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.

Sampai saat ini metode-metode yang dijelaskan dalam Al Quran ini


dipakai dalam berbagai aktivitas dakwah yang dilakukan tidak hanya di masjid,
pesantren, dan majlis ta’lim, tetapi juga di rumah sakit, perusahaan, hotel, radio,

16
Munzier Suparta; Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.xiii
televisi bahkan internet.17 Namun demikian, aktivitas dakwah tampaknya belum
berhasil secara penuh merubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik. Ada
banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah karena dakwah
yang selama ini dilakukan bisa jadi cenderung kering, impersonal dan hanya
bersifat informatif belaka, belum menggunakan teknik-teknik komunikasi yang
efektif. Situasi ini mengindikasikan dakwah yang belum berpijak pada realitas
sosial yang ada. Padahal dakwah dan realitas sosial memiliki hubungan
interdependensi yang sangat kuat.18

Beberapa hal yang penting diketahui dalam dakwah adalah, bahwa ada
dua segi dakwah yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan yaitu
menyangkut isi dan bentuk, substansi dan forma, pesan dan cara
penyampaiannya, esensi dan metode. Proses dakwah menyangkut kedua- duanya
sekaligus dan tidak dapat dipisahkan. Hanya saja perlu perlu disadari bahwa isi,
substansi, pesan dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak
terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini substansi dakwah adalah pesan
keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi kedua, meskipun
tidak kurang pentingnya dalam dakwah yakni sisi bentuk, forma, cara
penyampaian dan metode.19

Selain hal diatas, sebuah media dakwah juga penting untuk dimengerti di
dalam proses komunikasi dakwah. Media dakwah yang dipilih tentunya tidak
lepas dari metode yang diterapkan dalam dakwah. Pengembangan metode
dakwah sangat berkait dengan media yang harus menyertainya. Seorang da’i
misalnya harus mampu memilih media dakwah yang relevan dengan kondisi
mad’u yang telah dipelajari secara konprehensif dan berkesinambungan. Kegiatan
dakwah yang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi audiens tersebut
akan lebih memberikan hasil yang jelas.20

Tentu saja seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari

17
Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia,
2002), hlm 12-16

18
Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 16-17
19
Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer (Semarang, Wali Songo Press IAIN Walisongo, 2006), hlm. 14-
16
20
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000), hlm.13-14
masa ke masa terus berkembang seperti mimbar, panggung, media cetak atau
elektronik (radio, internet, televisi, komputer). Kemudian dengan
mengembangkan media atau metode kultural dan struktural yakni pranata sosial,
seni dan karya budaya. Juga dengan mengembangkan dan menyesuaikan metode
dan media seni budaya masyarakat setempat yang relevan seperti wayang, drama,
musik, lukisan dan lain sebagainya.

Seni adalah ekspresi yang bernuansa Indah. Apakah itu ucapan atau
ungkapan, lukisan atau tulisan, pendek kata dalam segala aspek kehidupan.
Dengan ilmu segalanya menjadi mudah, dengan seni segalanya menjadi indah.
Sedangkan menurut K. Prenc.M seni adalah penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantara alat-alat
komunikasi dalam bentuk yang ditangkap oleh panca indera pendengaran (seni
suara), penglihatan (seni lukis) atau yang dilahirkan dengan gerak (seni drama
dan tari).21 Maka seni dapat digunakan sebagai salah satu media dakwah.
Secara teoritis Islam memang tidak mengajarkan seni dan estetika
(keindahan), namun tidaklah berarti Islam anti seni. Ungkapan bahwa Allah
adalah jamil (indah) dan mencintai jamal (keindahan) serta penyebutan Allah
pada diriNya sebagai badi'us samawat wal ardl (maha pencipta langit dan bumi),
merupakan penegasan bahwa Islam pun menghendaki kehidupan ini indah dan
tidak lepas dari seni. Arti Badi' adalah pencipta pertama dan berkonotasi indah.
Berarti, Allah mencipta langit dan bumi dengan keindahan.
Ditinjau dari sisi sosiokultural, sudah menjadi fakta bahwa salah satu pilar
kesuksesan dakwah nabi Muhammad SAW dikalangan masyarakat Arab adalah
strategi beliau dalam mendekati kaum Arab lewat pendekatan seni dan budaya.
Adanya kitab suci Al-Qur’an yang bernilai sastra tinggi di lingkungan yang
sangat menghargai sastra budaya pada saat itu merupakan bukti bahwa melalui
budaya masyarakat mudah menerima ajaran-ajaran Islam. Begitu juga dalam
menetapkan hukum atas sesuatu, beliau tidak menghilangkan budaya yang ada,
melainkan hanya meluruskan hingga sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalam pengertian yang luas, dakwah punya kaitan simbiosis dengan seni,
dimana makna dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan. Narnun dalam hal ini perlu
adanya konsep dakwah yang lebih strategis lagi, dengan pengelolaan secara

21
K. Prenc.M, Kamus Latin Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 425
profesional yang mampu mengakomodasi segala permasalahan sosial. Di sini,
seni dapat menjadi metode atau media dakwah, namun juga menjadi sasaran
antara bagi dakwah Islamiyah itu sendiri.
Sebagai media atau metode, seni mempunyai proyeksi yang mengarah
pada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada gilirannya
mampu mernbentuk sikap dan perilaku Islami yang tidak menimbulkan gejolak
sosial, tetapi justru makin memantapkan perkembangan sosial. Sedangkan
sebagai sasaran, dakwah diarahkan pada pengisian makna dan nilai-nilai Islarni
yang integratif ke dalam segala jenis seni dan budaya yang akan dikembangkan.

Pada awal era kejayaan Islam, telah lahir tokoh-tokoh besar dibidang seni
musik. Para ilmuwan muslim telah menjadikan musik sebagai media pengobatan
atau terapi. Kegemilangan peradaban Islam ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ini
bersentuhan erat dengan moral Islam, budaya arab dan kebudayaan besar lainnya.
Tidak heran jika pada awal kejayaan Islam telah lahir tokoh-tokoh besar
dibidang seni musik. Ada musisi terkenal yang sangat disegani yaitu Ishaq ibn
Ibrahim Al-Mausili (767-850M). Ada pula pengkaji pengkaji musik yang
disegani seperti Yusuf bin Sulaiman Al-Khatib (wafat tahun 785M).22 Munculnya
seniman dan pangkaji musik di dunia Islam menunjukkan bahwa umat Islam
tidak hanya melihat musik sebagai hiburan. Lebih dari itu, musik menjadi bagian
dari ilmu pengetahuan yang dikaji melalui teori-teori ilmiyah.
Dalam konteks Indonesia, upaya penyampaian ajaran Islam melalui media
seni sudah memiliki umur yang relatif tua. Para Walisongo dengan beberapa
keahlian keseniannya telah mampu menyebarkan agama islam hingga
keberbagai daerah di Nusantara. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang adalah dua
dari sebagian tokoh penyebar Islam yang menjadikan seni musik sebagai media
dakwah.23
Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di
Indonesia. Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya penolong ini
merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang
22
Philip K. Hitti, History of Arabs Rujukan Induk dan Paling otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 537
23
Asep Muhyidin, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm.212
pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, berniaga hingga kepemerintahan.
Yang menarik dari kiprah walisongo adalah aktivitas mereka yang
menyebarkan Islam di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,
tidak juga menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh
masyarakat Hindu-Budha yang saat itu mulai memudar pengaruhnya. Namun,
mereka melakukannya dengan cara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung
kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sara
berdakwah mereka. Salah satu media yang mereka gunakan sebagai media
dakwah adalah wayang.

G. Karya Seni dan Norma Penggunaannya Dalam Islam


Nilai-nilai seni di dalam Al-Qur’an bisa ditangkap dan di- pahami dari
isyarat-isyarat yang ada dalam ayat-ayat-Nya. Misalnya ayat tentang: 1) anugerah
keindahan , Allah berfirman: “Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau
dan sutra tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak…,”
(Q.S. Al-Insan/76: 21); “ Sesungguhnya, Allah me- masukkan orang-orang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai -sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang
-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutra” (Al-Hajj/22: 23);
2) Dekorasi, Allah berfirman: “ Katakanlah, siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan -Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharam- kan) rezeki yang baik? Katakanlah, Semuanya itu
di sediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja di hari kiamat)...” (Q.S. Al-A‘raf/7: 32). Dan masih banyak ayat-ayat
mengenai seni yaitu,Q.S. Az-Zukhruf/43: 33-35; Q.S. Al-Fajr/89: 7-8;Q.S.
Al-Ghasyiyah/88: 13-16; Q.S. Al-Waqi‘ah/56: 15-16; Q.S. Al-Insan/76: 13; Q.S.
Yasin/36: 55-56; Q.S. Rad/38: 50-51; Q.S. An-nur /52: 20; Q.S. Al-Waqi‘ah/56:
34; Q.S. Ar-Rahman/55: 54- 55 dan 76-77); Q.S. Az-Zukhruf/43: 71-72; Q.S. Al-
Insan/76: 15- 16;.

Dari pemahaman-pemahaman ayat Al-Qur’an semacam inilah kemudian al-


Faruqi mengurai lebih jauh dialektika seni Islam dengan kebudayaan yang
menghasilkan beberapa beberapa bentuk dan tipe sebagai berikut:
a. Seni sastra
Seni sastra (adab) adalah segala sesuatu yang tertulis dan terce- tak. Seni
sastra dalam Islam sangat dipengaruhi oleh Al-Qur’an yang tidak bisa ditandingi
oleh siapa pun.24Seni sastra Al-Qur’an memiliki susunan kata dan kalimat serta
gaya bahasa (nilai estetika) yang luar biasa indahnya, di samping kandungannya
yang demikian kuat, dan membuat pendengarnya terpesona.
Khuli25 menyebut Al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar. Sedangkan Picktall 26
mengatakan, Al-Qur’an mempunyai simfoni yang tiada taranya dan setiap nada-
nadanya menggetarkan manusia. Adapun Qutb27 berpendapat bahwa Al-Qur’an
mengandung keku- atan dan pengaruh, kesan yang dalam serta daya tarik yang
tidak dapat dilawan. Bagi al-Faruqi seni sastra Al-Qur’an bukan hanya indah dan
estetis saja tapi juga indah dari sublimitas bentuk (prosa bebas mutlak/al-na¯r al-
mutlaq), sublimitas isi (Al-Qur’an sa- ngat sesuai dengan rasio manusia), dan
sublimitas efek (antara isi dan bentuk dinamis).
b. Seni kaligrafi
Kaligrafi merupakan puncak seni Islam yang memiliki nilai seni secara
ganda.28 Pertama, ia merupakan arabesque yang tampak, yang terdiri dari garis-
garis yang lentur yang bisa dibentuk menjadi berombak, direntangkan,
dibengkokkan, dimiringkan, dibentuk menjadi desain yang kaku, patah-patah,
bersiku-siku atau kursif, dan dihiasi dan diberi hiasan bunga menjadi pola
geometris. Kedua, isi diskursif dari kata-kata yang disalintulis menyajikan
sesuatu secara langsung pada pikiran, di samping apa yang disu- guhkan pada
indera. Di sini biasanya berlaku pada ayat dan hadis Nabi.
c. Seni Ornamentasi
Bentuk ornamen adalah arabesque, yang merupakan pola infinit dari

24
Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, h. 336.
25
Amin Khuli, Manahij al -Tajdid fi al -Nahwi wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al-Adab, Kairo,
Dar al-Ma’rifah, 1961, h. 308.
26
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 1998, h. 120.
27
Sayyid Qutb, Fi Zilal Al -Qur’an, Dar al-Suruq, Beirut, 1992, h. 5 dan 2571.

28
Budhi Munawar Rachman, “Dimensi Esoterik dan Estetika Budaya Isam” dalam Zakiyuddin
Baidhawy dan Mutohharun Jinan, (ed.), Agama dan Pluralisme Budaya Lokal, Pusat Stusi
Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002, h. 97.
sejumlah kategori struktural yang memiliki berbagai variasi. Hal ini dipakai dalam
naskah Al-Qur’an, desain permadani, improvisasi pada lut (sejenis gitar bunting),
dan ornamentasi keramik pada bangunan. Arabesk memiliki empat pola yang
disusun secara disjungtif (terputus, munfa¡ilah) dan kon- jungtif (mutta¡ilah ).
Keempat pola tersebut adalah: 1) struktur multiunit, terdiri dari beragam bagian
dan modul yang berbeda dan digabungkan dengan cara penambahan dan
pengulangan. Model semacam ini terdapat pada dekorasi wadah keramik atau
logam, senjata atau baju besi prajurit, halaman dekoratif Al-Qur’an, permadani,
kain dan lapisan hias penutup bangunan arsitek- tural. 2) Struktur saling
mengunci (interlocking/mutad±khilah). Di sini ditemukan unsur-unsur desain
yang saling menganyam. 3) Struktur berbelok, di mana struktur disjungtif yang
paling mudah dan tidak rumit. 4) Struktur mengembang yang memberi kesan
suatu desain bagai sinar yang merekah.29
d. Seni Ruang
Seni ruang (arsitektur) adalah awal dan akhir dari suatu bangunan. Setiap
bangunan selalu diawali dengan memotong—dan berakhir dengan memiliki—
sebagian dari ruangan itu. Setiap bangunan harus menempatkan penonton ataupun
penghuninya dalam suatu hubungan tertentu terhadap ruang. Ruang adalah sebuah
‘dunia’ dan ‘kreasi’. Ruang merupakan petunjuk paling tepat mengenai
keberadaan Tuhan. Itulah ciptaan dan juga kerajaan fisik Tuhan.
e. Seni Suara
Seni suara (handasah al-¡awt) dipandang sebagai pernyataan estetik yang
bersumber dari tradisi Islam, yang kaidah dan pelaksanaannya berakar dalam
estetika Al-Qur’an atau seruan Al- Qur’an. Secara sosiologis, seni yang diterima
dalam Islam ialah seni yang mengakibatkan pelakunya, memandang dan memper-
gunakannya dengan cara-cara unik dan khusus Islami.

Seni Islam merupakan hasil dari pengejewantahan keesaan dalam bidang


keanekaragaman. Ia harus merefleksikan kandungan prinsip keesaan ilahi. Seni
Islam harus mewujudkan, dalam taraf fisik yang secara langsung dapat dipahami
oleh pikiran yang sehat, realitas- realitas dasar dan perbuatan-perbuatan sebagai
tangga bagi pendakian jiwa dari tingkat yang dapat dilihat dan didengar menuju

Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, Macmillan Publishing Company,
29

New York, 1996, 404-407


yang ghaib. (Nasr, 1993: 18).
Ada beberapa norma yang harus dipegang dalam berkesenian menurut
Islam, yaitu:
1. Dilarang melukis lukisan yang bersifat pornografi, serta melukis hal-hal
yang bernyawa.
2. Dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan dewa-dewa, kebiasaan
pengarang yang mengkritik Tuhan.
3. Dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang tidak
sopan atau cabul.
4. Dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan- gerakan
sensual.
5. Dilarang berpeluk-pelukan antara laki-laki dan perempuan atas nama
tarian.
6. Dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan kekerasan,
kebencian dan kekejaman.
7. Dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat (Gazalba, 1978:
307).30
Dengan demikian, segala bentuk kesenian di atas, dilarang oleh Islam. Islam
memiliki konsep kesenian yang sesuai dengan naluri manusia yang mengarah kepada
keselamatan dan kesenangan. Islam diturunkan untuk menuntun dan memberi
petunjuk kepada manusia bagaimana mewujudkan salam di dunia dan akhirat.
Kesenian adalah jawaban terhadap fitrah manusia yang memerlukan ketenangan itu.
Oleh karena itu, kesenian halal hukumnya, bahkan dalam perkara- perkara tertentu
perlu digalakkan. Seni itu wajib mengandung moral, sehingga kesenangan yang
diusahakan tidak menyengsarakan.

30
Gazalba, Sidi,. 1987. Ilmu, Filsafat dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seni adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur
keindahan dan mampu membangkitkan perasaan orang lain. Islam dapat menerima
semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
wujud alam raya ini. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR
menyatakan sebagai berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid
VIII, hlm. 100-103): Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan
alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-
Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
Kesenian islam adalah kesenian yang berteraskan kepada roh ajaran islam.
Sebagian besar kategori dan jenis kesenian telah diterjemahkan dalam bentuk
keagamaan seperti pembinaan masjid, sekolah dan tsanawiyah yang banyak dihiasi
dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Dakwah pada hakikatnya merupakan risalah bagi setiap mukmin, perintah


Rasulullah yang menuntut tanggung jawab pelaksanaannya sepanjang masa dalam
berbagai keadaan. Pada tingkat realisasi, dakwah tetap erat kaitannya dengan lima
unsur, yakni juru dakwah (da’i), sasaran (masyarakat atau mad’u), materi, metode
dan media dakwah. Dalam hal ini, seni merupakan salah satu media dakwah yang
cukup efektif dalam menyentuh kesadaran bagi sasaran dakwah.

Adapun karya seni dalam islam antara lain : seni sastra, seni kaligrafi, seni
ornamnetasi, seni ruang, dan seni suara. Dan ada beberapa norma yang harus
dipegang dalam kesenian menurut islam yaitu: Dilarang melukis lukisan yang
bersifat pornografi, serta melukis hal-hal yang bernyawa, dilarang menciptakan
hikayat yang menceritakan dewa-dewa, kebiasaan pengarang yang mengkritik
Tuhan, dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang tidak sopan
atau cabul, dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan- gerakan
sensual, dilarang berpeluk-pelukan antara laki-laki dan perempuan atas nama tarian,
dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan kekerasan, kebencian dan
kekejaman, dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat

DAFTAR PUSTAKA

Raina Wildan, 2007, Seni dalam Perspektif Islam, Vol. VI, No. 2
Van Hoeve, Ensiklopedi Indonesia, ( Jakarta: PT. Ikhtiar Baru),
Abdurrahman al-Baghdadi, 1991 , Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Music &Tari,
Jakarta : Gema Insani Press
M. Quraisy Shihab Dkk, 1995, Islam dan Kesenian, Jakarta: Majelis Kebudayaan
Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlah Lembaga Litbang PP Muhammadiyah,.
Jakob Sumardjo, 2000, Filsafat Seni, Bandung: ITB,
Mustofa, 1997, Filsafat Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia.
M. Quraish Shihab, 2000, Wawasa Al-Qur’an, Bandung, Mizan.
Hj. Mohd Nakhaie, Hj. Ahmad, Ensiklopedia Islam, (Malaysian Encydopedia Research
Center Berhad, 1998), hlm.17

Salman AlFarisi Syahrul, Nasyid Menurut PerspektifImam al-Ghazali dan kumpulan Raihan,
2004

Al-Rifa’iy, Anwar, Tarikh al-Farm ‘ind al-‘Arab, hlm.21-25

Munzier Suparta; Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.xiii

Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), hlm 12-16

Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian (Jakarta: Prenada Media,
2003), hlm 16-17

Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer (Semarang, Wali Songo Press IAIN
Walisongo, 2006), hlm. 14-16

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000),


hlm.13-14

K. Prenc.M, Kamus Latin Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 425


Philip K. Hitti, History of Arabs Rujukan Induk dan Paling otoritatif tentang Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 537

Asep Muhyidin, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm.212

Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, h.
336.

Amin Khuli, Manahij al -Tajdid fi al -Nahwi wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al-


Adab, Kairo, Dar al-Ma’rifah, 1961, h. 308.

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 1998, h. 120.

Sayyid Qutb, Fi Zilal Al -Qur’an, Dar al-Suruq, Beirut, 1992, h. 5 dan 2571.

Budhi Munawar Rachman, “Dimensi Esoterik dan Estetika Budaya Isam” dalam
Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, (ed.), Agama dan Pluralisme
Budaya Lokal, Pusat Stusi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2002, h. 97.

Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam,
Macmillan Publishing Company, New York, 1996, 404-407

Gazalba, Sidi,. 1987. Ilmu, Filsafat dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai