Resume Ilmu Kalam
Resume Ilmu Kalam
NIM : 213112014
1.Aliran Mu’tazilah
A. PENGERTIAN MU’TAZILAH
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “I’tizal” yang artinya memisahkan diri.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam islam yang banyak
terpengaruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai
dasar argumentasi.
B. SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN MU’TAZILAH
mengenai arti dan asal-usul kata Mu'tazilah terdapat
beberapa versi yang dikemukakan oleh para ahli ilmu
kalam. Di antaranya sebagai berikut:
1. Menurut Al-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa
yang terjadi antara Wasil bin Atha’ bersama temannya Amr
Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri
di Masjid Basrah. Pada suatu hari salah seorang yang
mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan Basri tentang
kedudukan orang yang berbuat dosa besar. Mengenai orang
yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang mereka
itu kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka tetap
mukmin. Sementara Hasan Basri sedang berfikir, Wasil
mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang melakukan
dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu
ia berdiri menjauhkan diri dari Hasan Basri lantaran mereka
tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain di masjid
itu juga. Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan
mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan Basri
berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna).
Kemudian mereka disebut Mu'tazilah, artinya orang yang
menjauhkan diri”.
2. Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang
lebih 100 tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat
Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan
yang disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang
tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian sepeninggal
khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai
yaitu Thalhah dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin
Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan Mua’wiyah.
Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah
Utsman bin Affan, dan karena pro dan kontra terhadap
pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam
Islam persoalan hidup sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya
bercorak agama.
C. TOKOH-TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
1. Wasil bin Atha (80-131 H / 699 M)
Ia adalah pendiri aliran Muktazilah dan yang meletakkan ajaran-
ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan
Mu’tazilah.Kebanyakan pendapat-pendapatnyabelum matang.
2. Abu Huzail al-Allaf (135-226 H/753-840 M)
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang pengikut aliran Wasil bin
Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat
sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan.
3. Ibrahim bin Sayyar An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
Ia adalah murid Abdu Huzailal al-Allaf, orang terkemuka, lancar
bicara,banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya.
4. Bisyr bin al-Mu’tamar (wafat 226 H/840 M)
Pendapatnya antara lain,siapa yang tobat dari sesuatu dosa besar
kemudian mengerjakan dosa besar lagi,ia akan menerima siksa yang
pertama juga,sebab tobatnya dapat diterima dengan syarat tidak
mengulangi lagi. Dengan perkataan lain,siksanya berlipat ganda
D. PEMIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah
berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalm masalah-masalah
yang tidak dapat dijngkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan
kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat
diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.
Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan
logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka.
Penyebabnya ada dua yaitu :
2.Aliran Asy’Ariyah
Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah yang
artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau pengikut sunnah. Dan wal Jama’ah
yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi.
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya.
Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari
satu kelompok aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai
sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh
sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan terpecahnya
umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-
Turmudzi, yang artinya :
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya : Siapakah
yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu orang-orang yang berpegang
teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-
sahabatku”
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad, 324
H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya. Menurut catatan
sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh Abu Ali Muhammad
bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah), kemudian Abu Hasan al-Asy’ari
keluar dari paham gurunya itu karena menurutnya banyak keyakinan yang tidak benar.
Kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.
Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari,
dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun seperti : Al-Ibanah fi
Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.
3. Aliran Maturidiyah
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “Ahlus sunnah wal jama‟ah”. Ahlus sunnah
berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan
Wal Jama‟ah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi
definisi Ahlus sunnah wal jama‟ah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam
syariat (hukum Islam) maupunakidah dan tasawuf. Ditinjau dari ilmu bahasa
(lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jamaah berasal dari kata-kata: a. Ahl (Ahlun),
berarti “golongan” atau “pengikut”. b. Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup,
perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”. c. Wa,
huruf „athf yang berarti “dan” atau “serta” d. Al jama‟ah berarti jama‟ah, yakni jama‟ah
para sahabat Rasul Saw.
B. Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) Pada hakikatnya,
Ahlus sunnah wal Jama‟ah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah saw.
menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan,
beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyak golongan itu
hanyalah Ahlus sunnah wa Jama‟ah. Ahlus sunnah wal Jama‟ah adalah golongan
pengikut setia pada al-Sunnah wa al- Jamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan
diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zamanya itu.
Kemunculan pemikiran Aswaja tidak lepas dari dinamika pendapat umat Islam itu
sendiri. Dimulai ketika zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah Muawiyah bin
Abi Sufyan, Gubernur Syiria waktu itu melakukan manuver untuk menggoyang
pemerintahan Ali. Alhasil, perang pun terjadi. Beberapa kali perang kubu Muawiyah
mengalami kekalahan. Hingga pada akhirnya diputuskan mengakhiri perselisihan dengan
melakukan suatu kesepakatan. Kubu Muawiyah mendelegasikan Amru bin Ash dan kubu
Ali diwakiliAbu Musa al Asy'ari. Amru bin Ash adalah seorang politisi, pada saat forum
ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan pemerintahan yang kosong. Maksud
dari Amru bin Ash ia menginginkan kubu Ali secara simbolik meletakkan jabatannya
terlebih dahulu. Abu musa yang notabene adalah ulama langsung mengiyakan tawaran
dari Amru bin Ash. Dengan cerdik Amru bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk
mendeklarasikan peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua dan alim. Setelah Abu Musa
memproklamirkan peletakan jabatan Ali, Amru bin Ash bukannya malah bergantian
mengatakan sama, tetapi malah menyatakan jabatan yang dilepas dari kubu Ali kini
menjadi milik Muawiyah. "Saudarasaudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa
al Asyari mewakili khalifah Ali telah meletakan jabatan. Maka dengan ini jabatan
khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawiyah bin Abu Sofyan". Maka pada detik
itu Muawiyah yang kalah perang fisik dengan kubu Ali, giliran menang ketika taktik
politik. Kekhalifahan Ali pun berpindah ke tangan Muawiyah
Setelah itu selama masa pemerintahan Bani Umayah muncul aliran bernama Qodariyah
yang diusung oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali
bin Abi Thalib). Aliran ini mengajarkan sebaliknya dari aliran Jabariyah. Bahwa ketika
manusia berkehendak, Allah tidak ikut campur, maka manusia harus bertanggungjawab
atas perbuatannya. Ketika masa Bani Umayah paham ini hanya sebagai kritik atas paham
Jabariyah. Namun ketika memasuki pemerintahan Bani Abasiyah, paham Qadariyah
dijadikan spirit pembangunan. Kemudian turunan dari paham ini dengan sedikit
modifikasi mengatasnamakan paham Mu'tazilah. Pada akhirnya lahirlah ulama bernama
Abu Hasan al Asyari. Ia sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Abu Hasan
menyatakan tidak mengikuti kedua kubu ekstrem dan berdiri di tengah-tengah. Ia
memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat berada di dalamnya, dan
menyebut paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal Jama‟ah. Titik tekan pada paham ini
yakni manusia berkehendak tetapi kehendak itu diketahui Allah. Manusia mempunyai
kehendak tapi kehendak itu dibatasi dengan takdir Allah.
C.Peran Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) Terhadap Pendidikan
Aswaja dalam bidang pendidikan islam sangat krusial/ penting sekali dikembangkan
sebagai nilai pendidikan islam di Indonesia, disamping itu pendidikan aswaja muncul
karena kebutuhan masyarakat Indonesia, yaitupendidikan agama dan moral
3. Pendidikan Iman.
Yang dimaksud pendidikan iman ialah upaya untuk menambah iman kepada Allah SWT
dan hari akhir, memperdalam makna iman, dan meningkatkan kualitas hati sampai pada
level dia dapat merasakan manisnya iman, mencintai keta‟atan kepada Allah SWT dan
menjauhi kenakalan dan kemaksiatan.
a. Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Masykawaih, akhlaq adalah kondisi kejiwaan yang
mendorong manusia melakukan sesuatu tanpa pemikiran dan pertimbangan. Kondisi ini
terbagi menjadi 2 macam:
i. Kondisi alami yang berasal dari watak dasar seseorang.
ii. Kondisi yang diperoleh melalui kebiasaan dan latihan. Kondisi ini terkadang diawali
dengan pertimbangan dan pemikiran, tetapi kemudian berlanjut sedikit demi sedikit
hingga menjadi tabi‟at dan perangai. Kondisi yang kedua inilah yang dimaksud dengan
pendidikan akhlak. Maksudnya mendidik generasi muda Islam dengan akhlak-akhlak
yang mulia, seperti jujur, amanah, istiqomah, itsar dan lain-lain.
• Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
takdir Tuhan. Nabi saw. melarang mereka memperdebatkan persoaalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penefsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
• Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu Khalifah Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman
kepada pencuri itu. Pertama, huku an potong tangan karena mencuri. Kedua,
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
Sedangkan Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya
kemampuan dan kekutaan .Adapun menurut pengertian termologi, qadariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwasegala tindakan manusia tidak diinvertasi oleh Tuhan.Aliran
ini berpendapat bahwa tiap tiap orang adalah pencipta bagi setiap perbuatannya. Ia dapat
berbuat sesuatu atau meninngalkannya atas kehendaknnya sendiri.Berdasarkan paham
tersebut dapat dipahami bahwa paham qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang
memberi penekanan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalan hidupnya untuk mewujudkan perbuatan-perbutannnya .Dalam hal
ini, Harun Nasution menegaskan bahwa nama qadariyah berasal dari pengertian bahawa
manusia mempunyai qudrah atau kekutan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia tunduk terhadap qadar atau kadar Tuhan.
Adapun paham Qodariyah secara matematis sulit dipastikan kapan ia mulai
muncul, apalagi paham tersebut ketika dikenalkan kepada masyarakat Arab oleh orang
Arab non padang pasir, kegoncangan dan sikap menentang sikap Qodariyah adalah
hadits:
''Kaum Qodariyah merupakan majusi umat islam,'' dalam arti golongan yang tersesat.
Untuk menelusuri sejarah paham Qodariyah ini tentu tidak lepas dari pembahasan
paham Jabariyah ,sebagai realitas yang masih terus mewarnai kehidupan kehidupan
manusia dalam bidang teologi,yang secara pasti sulit kapan paham-paham tersebut
lahir/ada. Tetapi pada Dinasti Umayyah ,setelah islam di anut oleh berbagai
bangsa ,maka faham Jabariyah dan Qodariyah telah menjadi bahan pemikiran di antra
mereka, dan di situlah mulai muncul aliran-aliran tersebut.
Ahli teologi islam menerangkan bahwa paham Qodariyah pertama kali di
kenalkan oleh Ma'bad Al-Juhani: seorang Tabi'in yang baik dan temannya Ghailan Al-
Dimasqi, yang keduannya memperoleh pahamnya dari orang Kristen yang masuk islam
di Irak. Ma'bad Al-Juhani adalah seorang lelaki penduduk Bashro keturunan orang
Majusi. Dia adalah seorang ahli hadits dan tafsir al-qur'an, tetapi kemudian beliau di
anggap sesat
dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Setelah diketahui
pemerintahan waktu itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. Dia
adalah tabai' yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan al- Basrih. Sedangkan
menurut al-Zahabi, Ma'bad adalah orang Tabi'i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan
politik dan memihak 'Abd al-Rahman Ibn al-Asy'as ,Gurbernur Sajistan, dalam
menentang Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ma'bad terbunuh dalam
tahun 80H.
Pada waktu itu Ghailan sendiri terus menyiarkan faham qodariyah-nya di
Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn 'Abd al-Aziz. Setelah Umar
wafat meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya dihukum mati oleh Hisyam
'Abd al-Malik (724- 743M).Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antra
Ghailan dan al-Awza'i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
Berkaitan dengan kemunculan Qodariyah, para peneliti di bidang teologi berbeda
pendapat. Penganut Qodariyah sangat lah banyak Di antaranya di Irak dengan bukti
gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan al-Bashri.
Ada perbedaan pendapat mengenai latar belakang kemunculan aliran Qodariyah.
Menurut Harun Nasution, kemunculan Qodariyah erat kaitannya dengan masalah
perbuatan manusia bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Berbeda dengan Jabariyah, aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbutannya, ia dapat berbuat sesuatu
dan meningalkannya atas kehendaknnya sendiri. Manusia mempunyai qudrah (kekutaan)
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbulnya paham ini, Qadariyah muncul
sebelum paham Jabariyah. Paham Qodariah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu
ketika timbul perdebatan tentang qadar atau ketetapan Tuhan. Terkait penolakan terhadap
qadar ini, para ulama salaf dan para imam telah membantah tentang pendirian kaum
Qodariyah, Jabariyah, dan bid'ah-bid'ah kedua golongan ini.
Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis kitab ``Syahral 'uyun'' mengakatan
bahwa orang
yang mula-mula mengembangkan paham Qodariyah adalah seorang penduduk
Irak. Pada mulanya,ia seorang Nasrani kemudian masuk islam dan akhirnya menjadi
Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma'bad al-Juhani dan Gailan al-Dimasyqiy mengambil
paham Qodariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan Mahesian munculnya
aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin bersentuhan langsung dengan penganut
agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya muncul pengaruh Israiliyah terhadap
ayat-ayat al-qur'an.
• Pemikiran Jabariyah
Dari segi makna Jabariah berarti memaksa. Dihubungkan dengan perbuatan
manusia, maka manusia terpaks dalam melakukan perbuatannya, tidak mempunyai
kehendak dan kebebasan, terikat paa kekuasaan mutlak Tuhan.
Apapun yang dilakukan mnusia, semua telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah
menetapkan bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan menetapkan pahala baginya,
begitu pula sebaliknya Tuhan telah menetapkan manusia berbuat kejelekan dan
menetapkan siksaan bagi pelakunya. Dengan kata lain, pahala, siksa dan kewajiban
merupakan keterpaksaan, sehingga manusia bagaikan bulu yang bergerak karena ditiup
angin, diam karena anginnya tidak bertiup.
Paham ini pada mulanya dianut oleh kaum Yahudi kemudin diajarkan kepada
sekelompok kaum muslimin, sehingga cepat tersebar. Orang yang pertama menyebrkan
paham ini dari kalangan umat Islam adalah Ja’ad ibn Dirham dari Syam. Basrah adalah
tempat menyebarkan paham tersebut dan diantara pengikutnya adalahJahm bin Sharwan
(w. 131 H) yang mengembangkan ajaran ini di Khurasan. Selain itu, ia juga
mengembangkan beberapa paham, seperti:
• Surga dan neraka akan fana, tidak ada sesuatupun yang kekal selamanya. Kekekalan
yang disebut dalam al-Qur’an adalah masa yang panjang, tetapi setelah itu akan
binasa, bukan kekal mutlak.
• Iman adalah pengenalan (ma’rifah) dan kekufuran adalah ketidaktahuan (al-jahl).
• Al-Qur’an adalah makhluk (baru), tidak Qadim.
• Allah bukan sesuatu, tidak pula mempunyai sifat.
• Tuhan tidak dapat dilihat di hari kemudian.
• Pemikiran Qadariyah
Dilihat dari segi bahasa qadar berarti ketetapan, hukum ketentuan, ukuran dan
kekuatan. Dalam pengertian lain adalah ketergantungan perbuatan hamba pada
kekuatannya sendiri. Manusia mempunyai kekuatan dan kebebasan mutlak untuk
menentukan dan melakukan perbuatannya atas kehendak dan pilihan sendiri.
Dalam paham ini, perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihan manusia
sendiri, bukan ciptaan atau plihan Tuhan. Hal ini didasarkan atas kemampuan manusia
membedakan antara orang yang berbuat baik dan berbuat buruk.
Dalam tinjauan sejarah, paham ini pertama kali dikemukakan oleh seorang
penduduk Irak yang beragama Kristen. Dari dialah Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan
Ghailan al-Dimasyqi (105 H) menerima paham Qadariah. Ma’bad menyebarkan paham
ini di Irak sementara Ghailan menyebarkannya di Syam dan mendapat tantangn dari
khalifah Umar bin Abdul Azis.
Selain itu, Ghailan juga menganut paham bahwa iman tidak bertambah dan
berkurang, sehingga manusia tidak perlu berusaha untuk meraihnya. Ia termasuk salah
seorang tokoh aliran Murji’ah aliran sekte al-Salihiah.Meskipun demikian, Qadariah
hanya diidentikkan dengan manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam
memilih dan melakukan perbuatan, sehingga dikenal juga dengan sebutan free will dan
free act. Adapun ayat yang menjadi pegangan paham ini adalah surah al-Kahfi (18): 29
yang terjemahnya:
“Katakanlah; kebenaran itu datangnnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”
Melihat salah satu ayat yang dijadikan pegangan dalam pemikiran kaum Jabarih,
memberikan pemahaman adanya kemampuan dan kemandirian yang dimiliki oleh
manusia, sehingga mendorong manusia unuk senantiasa kreatif dan dinamis yang dapat
membawa perkembangan dan kemajuan dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Akan
tetapi, pemikiran ini dapat menimblkan sifat kesombongan karena memandang semua
yang diperoleh adalah hasil usaha sendiri tanpa ada kaitannya dengan Allah swt
5.Aliran kalam modern Syekh Muh Abduh dan Syekh Ahmad Khan
b. Keduukan Wahyu
Wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga
baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh
melalui akal. Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan
wahyu, sementara wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya
wahyu itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal
untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan
1
M. Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), h. 69
2
Ibid, 71
dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin harmonis. wahyu
menurut Abduh, mempunyai fungsi sebagai berikut: Wahyu memberi keyakinan kepada manusia
bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati, Wahyu menolong akal untuk mengetahui
akhirat dan keadaan hidup manusia di sana, Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat
atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam
masyarakat, Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih
pada Allah, dan Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal
melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang
manfaat.3
3. Kebebasan Manusia
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan
memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Manusia dengan
akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya. Mengambil keputusan
dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya menwujudkan perbuatannya itu dengan daya yang
ada dalam dirinya. Bagi Abduh, faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak
sejalan dengan pandangan hidup. Manusia mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan
dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan
manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh. Manusia selain mempunyai
daya berfikir, ia juga mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami yang mesti ada
dalam diri manusia. Dan bila sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan manusia
lagi melainkan makhluk lain entah malaikat atau hewan. Manusia dengan akalnya dapat
mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil keputusan
dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada
dalam dirinya.4
4. Sifat-Sifat Tuhan
Abduh berpandangan bahwa manusia tidak akan mampu menentukan mengenai sifat-sifat
Tuhan apakah termasuk kepada esensi Tuhan atau bukan. Menurutnya, hal itu diluar batas
kemampuan kemampuan manusia.5
3
Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 34
4
M. Ali, Op. Cit, h. 74
5
Ibid
5. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan
tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan
dan kesanggupan kepada manusia dalam mengwujudkan perbuatan -perbuatannya. Kehendak
mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah yang telah ditetapkannya. Didalamnya terkandung
arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan
Sunnatullah Sunnatullah yang diciptakanNya untuk mengatur alam ini. Keadilan Tuhan Karena
memberi daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan
untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak tuhan, tetapi
juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi
manusia. Adapum masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi kemaha
sempurnaan-Nya, tapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat
diberikan kepada Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam
semesta6
6. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohan itu
dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan kelak? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari
mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan
ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada
orang-orang tertentu diakhirat.7
7. Perbuatan Tuhan
Karena pendapat ada perbuatan tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah
dalam mengatakan bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuat apa yang terbaik buat manusia. 8
11
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), h. 212
12
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), h. 259
13
Ibid, h. 263
Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia
pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.14
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan
dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus
menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini
membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya
Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu
menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan
dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang
dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam
struktur Islam. Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang
kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif.
Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada
lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan
spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada
kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai pemikiran Muhammad Iqbal yaitu sebagai
berikut;15
a. Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa
yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.
Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali
(penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik
b. Pembuktian Tuhan
14
Ibid
15
Ibid, h. 268
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun
ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan
eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian,
beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini,
beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan
Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak
berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu
murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu
murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian)
c. Jati Diri Manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran
terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego,
ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian.
Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya,
seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan
Allah.
d. Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an
menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam
hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan
buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari
kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian
bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan
kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki
kemampuan untuk memiliki”.
e. Syurga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran
tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin
secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah
yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena
mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada
perpecahan
6.Sekte Wahhabi salafi
A. Sejarah munculnya Wahhabi salafi
Sejarah kemunculan Wahabi berkaitan erat dengan politik dan pembentukan Kerajaan Saudi
Arabia. Dalam penyebaran pemikirannya, Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1792 M)
memiliki strategi untuk berkerjasama dengan penguasa. Maka dimulailah gerakan Wahabiyah
pada abad ke-19 dengan munculnya persekutuan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan
Muhammad bin Saud, kepala pemerintahan Dar’iyah, Najed Selatan. Persekutuan ini berhasil
menyebarkan paham Muhammad bin Abdul Wahhab dan meluaskan kekuasaan Ibnu Saud ke
seluruh Jazirah Arab.
Gagasan utama yang dibawa Wahabi adalah bahwa umat Islam telah banyak melakukan
kesalahan dan menyimpang dari kemurnian Islam yang lurus. Ajaran Wahabi mengajak umat
Islam untuk kembali kepada Alquran dan Sunah Nabi dan menghapuskan segala bentuk
penyimpangan yang telah merusak dan menyeleweng dari ajaran Islam menurut Wahabi, seperti
tasawuf, tawasul, rasionalisme, ajaran Syiah serta banyak praktik lain yang dinilai sebagai
inovasi bid’ah dalam beragama.
Selain berbeda dari segi historis, paham Wahabi dan Salafi juga berbeda dalam persoalan
mazhab fikih. Umumnya, Wahabi mengadopsi pemahaman fikih Imam Ahmad bin Hanbal atau
mazhab Hanbali. Sementara itu, Salafi menolak untuk bertaklid dan mengadopsi mazhab
manapun.
Selain itu, gerakan Salafi cenderung tidak politis. Berbeda dengan gerakan Wahabi yang tidak
ragu untuk mengkritik pemerintah dan berpolitik. Sikap ini berbeda dengan Salafi yang justru
mengajarkan ketaatan pada pemerintah dan menjauhkan diri dari sikap mengkritik pemerintah.
Namun secara prinsip Wahabi dan Salafi memiliki kemiripan, keduanya memiliki cita-cita untuk
memurnikan ajaran Islam dari syirik dan bid’ah.
Berdasarkan catatan el-Fadl dalam Sejarah Wahabi dan Salafi, Wahabi tidak tersebar di dunia
muslim modern di bawah bendera mereka sendiri. Mereka menyebar ke dunia muslim di bawah
bendera Salafi. Karena menurut pengikutnya gerakan Wahabi bukanlah suatu mazhab pemikiran
dalam Islam, melainkan Islam itu sendiri.
Fakta bahwa Wahabi menolak digunakan sebagai istilah mazhab memberikan kemudahan bagi
ajaran mereka untuk ditransfer ke setiap golongan. Berbeda dengan istilah Wahabi, Salafi adalah
paradigma yang lebih kredibel dalam Islam dan dalam banyak hal menjadi sarana yang ideal bagi
penyebaran paham Wahabi.
B. Pemikiran Wahhabi Salafi
Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuat ajaran baru yang diajarkan kepada pengikutnya.
Dasar ajarannya ini adalah menyerupakan Allah dengan makhlukNya dan meyakini bahwa Allah
adalah benda yang duduk diatas ‘Arsy. Para ulama’ salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang
menyifati Allah dengan salah satu sifat diantara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir.
Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al-Muhaddits ath-Thahawi (227-321 H) dalam kitab
aqidahnya yang terkenal dengan nama () العقيدة الطحاوية, teks pernyataannya adalah :
“Barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah
kafir”.
Secara umum tujuan gerakan wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah,
khurafat dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang
dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ada beberapa yang didoktrinkan atau
diajarkan dalam praktik gerakan ini, yaitu sebagai berikut :
Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang melakukannya
harus menerima hukuman mati atau dibunuh.
Orang yang berusaha memperoleh kasih tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan
orang-orang suci bukanlah orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
Bertawassul kepada Nabi dan orang saleh dalam berdoa kepada Allah termasuk
perbuatan syirik.
KESIMPULAN
Aliran Wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman
an-Najdi (1115 – 1206 H/1703 – 1792 M). Ia wafat diusia yang sangat tua, dengan umur
91 tahun.
Secara umum tujuan gerakan wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul,
bid’ah, khurafat dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan
umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Diantara tokoh-tokoh Salafi International dan Indonesia adalah Saudi : Ibnu Fauzan, Ibnu
Utsaimin dkk (Komite Fatwa Tinggi Saudi), Yaman : Muqbil bin hadi al-Wad’i, Mesir :
Syarif Fuad Muhammad Hazza dll.
7.Pemikiran Kalam Masa Kini : Harun Nasution,Ismail Alfaruqi, dan Hasan Hanafi
Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembeharuan Islam Indonesia yang memiliki andil
besar terhadap pemikiran intelektual Indonesia. Bangsa Indonesia pada masa Harun Nasution
banyak dipengaruhi oleh paham jabariyah yang terdapat pada teologi Asy‟ariyah, yaitu manusia
tak ubahnya seperti wayang kulit yang tak dapat bergerak kalau tidak digerakkan dalang. Akal
bagi manusia sangatlah penting, karena ia merupakan sarana yang dapat mengantarkan manusia
kepada kemaslahatan atau kemudharatan. Pemahaman dalam memakai akal yang tidak sesuai
dengan tuntunan Al-Qur‟an dan Hadist akan membuat manusia hanyut dalam kesenangannya.
Berangkat dari fakta inilah, penulis ingin memaparkan tentang sejarah panjang perjalanan hidup
dan pemikiran Harun Nasution yang memang layak untuk dikaji. Tulisan dirumuskan kedalam 2
pokok permasalahan, yaitu : Bagaimana Pengertian Akal dalam pandangan Harun Nasution?
Bagaimana kedudukan akal dan Fungsi Wahyu menurut Harun Nasution ? Penelitian ini
merupakan penelitian (library research) dari segi motode, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif yaitu data yang bersifat menggambarkan, menjelaskan atau memaparkan tentang
masalah yang berkaitan dengan penelitian. teknik analisa data dengan menggunakan metode
diskriftif kualitatif yaitu menganalisis, mengeksplorasi dan mengali lebih dalam lagi terhadap
pokok pembahasan penelitian. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk
menggumpulkan data adalah dengan membaca dan menela‟ah literature- literatur dan buku-buku
yang berhubungan dengan penelitian. Kemudian analisa data dilakukan setelah mengamati teks-
teks yang relevan dengan masalah penelitian. Setelah mengamati teks-teks dari sumber data yang
diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian baru kemudian
melalui metode diskriftif kualitatif dapat ditarik kesimpulan secara deduktif, data yang umum
menjadi bersifat khusus, data inilah yang merupakan sebagai hasil penelitian. Simpulan yang
didapat dari hasil penelitian ini, bahwa konsep Akal Dalam Perspektif Harun Nasution ingin
memberikan pengertian yang sebenarnya tentang akal. dan kedudukan akal itu sendiri, dan
bagaimana fungsi wahyu sebenarnya. Dengan menegakkan Agama Islam yang benar, Harun
Nasution berupaya bagaimana masyarakat dapat memakai akal nya sesuai tuntunan Islam yang
sebenarnya. Sehingga dapat menafsirkan Alquran secara rasional, tidak memandang Islam
sesempit apa yang masyarakat pikirkan. Kemudian dalam penerapannya dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang
data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan
semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan
bermanfaat bagi cause (cita-cita)”. Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah
pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan yang harus
dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah,
untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan “prinsip
tauhid” sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal
dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan
religius. Karena diperlukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak
dari Tauhid.
3. Pemikiran tentang Perbandingan Agama
Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A
Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku standar
dalam bidang tersebut. Disamping itu dia juga mengarang buku Islam and Other Faiths dan
Trialogue of Abrahamic Faiths. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran
ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman intelektual
terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan
semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama
manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang
ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan
mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit,
majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa
suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya,
orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara
bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.
4.Manusia dan Tindakan Moral
Pandangan al-faruqi tantang manusia dan tindakan moral, yaitu suatu pandangan yang
berasarkan pada pemahaman konsep dan prinsip tauhid. Ia tidak hanya mengakui unsure
kebebasan dn kemerdekaan yang merupakan persyaratan yang diabsahkannya pembadaan
kewajiban (taklif) atau tanggung jawab moral. Ia justru menegaskan bahwa kebebasan dan
kemerdekaan diri merupakan syarat mutklak bagi aktualisasi kehendak tuhan di panggung
sejarah dunia. Di sampiing itu ia juga mengembangkan konsep tanggung jawab sosial yang
didasarkan pada pandangan ummatisme, yaitu bahwa orang –orang lain yang menjadi objek
tindakan moral didekati dengan tujuan menyakinkan mereka akan sifat baik dari tindakan moral
tersebut
. Problem Ukuran Moral
Hal-hal yang dijadikan ukuran sumber,standar,atau patokan bagi ukuran moral antara lain
adalah hati nirani, adat istiadat,dan agama.
Sumber dan ukuran moral menurut ismail al-faruqi semata-mata di dasarkan pada kehendak
tuhan baik yang teraktualisasi melalui wahyu, hukum, moral, maupun pola-pola hukum alam.
Namun ketika kehendak tuhan tersebut hendak di aplikasikn dalam pemenuhan tugas etis
manusia meka pemahaman terhadap kehendak dan keinginan tuhan tuhan tersebut sangat
tergantung pada ketajaman dan kepekaan analisis atau pemahaman manusia. Adapun
pemahaman terhadap kehendak ilahi itu bersifat dinamis. Ia juga bersifat terbuka bagi
keberagaman kemungkinan bukti-bukti baru. Oleh karena itu gagasan tentang ukuran moral
seperti ini akan terhindar dari jerat-jerat relativisme atau irasionalisme radikal.
Sebagai seorang intelektual Islam yang mendunia, Hassan Hanafi telah memberikan sumbangsih
besar dalam keilmuan Islam. Perjalanan hidup yang dilaluinya begitu berharga. Hingga kini
pemikirannya bersinar menghiasi dunia Islam. Sedikitnya, ada lima perjalanan penting Hassan
Hanafi yang penulis kira perlu di tengahkan dalam tulisan ini, yakni
Kesadaran Nasionalisme
Kesadaran nasionalisme Hassan Hanafi bertambah besar saat, Ia ikut bergabung dengan para
sukarelawan, baik dari untuk berlatih menggunakan senjata diakademi Teknik Kemeliteran di
Abbasea. Dengan bangga dan penuh keberanian, Hassan Hanafi mengenakan baju militer siap
bertempur. Usianya waktu itu baru 16 tahun, namun semangat juangnya tak perlu diragukan.
Pengalaman-pengalaman ini memberi makna tersendiri bagi Hassan Hanafi. Apalagi saat itu ia
menyaksikan secara langsung peti-peti mati pahlawan Mesir di hadapannya. Kesaksian ini
semakin menggelorakan semangat Hassan Hanafi dalam melakukan upaya perjuangan.
Kesadaran Keberagamaan
Agama sebagai jalan hidup, juga menjadi bagian dari pergulatan hidup yang dialami oleh Hassan
Hanafi. Karena bagaimanapun keyakinan tentang agama merupakan hal esensial yang hampir
dimiliki oleh setiap orang. Agama menjadi oase jiwa untuk menemukan ketenangan dan
ketenteraman hidup.
Kesadaran Filosofis
Kesadaran filosofis Hassan Hanafi bermula saat ia mengenal filsafat Idealisme Jerman, secara
khusus filsuf Fichte, filsafat perlawanan, gagasan ego yang meletakkan subyektivitasnya
melawan ego.
Kesadaran Politik
Kesadaran politik Hassan Hanafi timbul ketika ia menyaksikan realitas ketimpangan yang terjadi
di Mesir. Negara yang dibangun atas dasar semangat untuk kesejahteraan bersama tak dapat
terealisasi. Dalam ranah politik, Hassan Hanafi tidak terjun ke politik praktis, ia hanya menyusun
strategi revolusi melalui pemikirannya.
Fundamentasi Keilmuan
Hassan Hanafi memulai fundamentasi keilmuannya, dengan secara serius menggarap proyek
besarnya pelatihan untuk membentuk peneliti-peneliti muda yang kompeten. Hanafi juga
berharap, bahwa garapan proyeknya tersebut lebih merupakan proyek kelompok. Prioritas lain
yang hendak digarap waktu itu adalah mendirikan Lembaga Filsafat Mesir dan membangun
Pusat Studi Filsafat.