Anda di halaman 1dari 16

“PENDALUNGAN” SEBAGAI BENTUK KEHARMONISAN

BUDAYA DI KABUPATEN JEMBER

Bhisma Satya Dharma, dan Tirta Amerta Isworo


Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarkat
Universitas Jember

First National Conference on Communication


Universitas Islam Sultan Agung Semarang
2020
“PENDALUNGAN” SEBAGAI BENTUK KEHARMONISAN BUDAYA
DI KABUPATEN JEMBER
Bhisma Satya Dharma dan Tirta Amerta Isworo
Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarkat
Universitas Jember

Globalisasi memiliki esensi terhadap proses sosial suatu bangsa. Indonesia sebagai negara dengan
beraneka ragam budaya maupun etnis, juga memiliki berbagai pendekatan sosial yang tidak kalah banyak
jumlahnya. Salah satu etnis yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia adalah etnis Madura. Beberapa
daerah tempat tujuan etnis Madura diantaranya adalah Jawa Timur sebanyak 6.520.403 orang,
Kalimantan Barat sebanyak 274.869 orang, DKI Jakarta sebanyak 79.925 orang. Pada Provinsi Jawa
Timur, daerah persebaran etnis Madura disebut daerah “Tapal Kuda” atau “Pendalungan”. Dimana salah
satu daerahnya adalah Kabupaten Jember yang memiliki dua etnis mayoritas, yaitu etnis jawa dan etnis
madura. Etnis Madura menetap pada wilayah Jember utara dan hidup berkelompok untuk
mengembangkan seni tradisional maupun budaya asalnya di daerah tersebut. Sedangkan etnis Jawa
bermukim pada wilayah Jember selatan dan umumnya tidak memahami bahasa madura. Akulturasi kedua
budaya dari kedua mayoritas etnis menghasilkan “budaya pendalungan”. Pendalungan merupakan
integrasi disebabkna individu tetap mempertahankan budaya aslinya, tetapi individu juga ingin
berpartisipasi terhadap budaya luar yang masuk ke dalam budayanya. Bahasa merupakan bentuk stimulus
dalam komunikasi, ketidakpahaman akan stimulus yang diberikan dari komunikator kepada komunikan
akan berdampak pada pembentukan persepsi yang salah. Terbentuknya kesalahan persepsi akan
mengganggu proses komunikasi yang berujung pada terjadinya konflik antar etnis yang masih sering
terjadi. Dalam pelaksanaannya, kedua budaya tidak berusaha mempertahankan identitasnya melainkan
saling membuka diri terhadap budaya yang dibawa masyarakat lain meskipun memiliki bahasa yang
berbeda. Etnis jawa dapat menerima budaya etnis madura, begitupula sebaliknya. Dalam kehidupan
sehari-hari, terkadang etnis madura menggunakan bahasa jawa dalam berkomunikasi. Begitu pula dengan
etnis jawa, terkadang menggunakan bahasa madura dalam berkomunikasi. Penerapan konsep saling
memahami menjadi penting dalam proses menyamakan persepsi antar etnis menjadi dasar konsep
pendekatan budaya pendalungan. Dengan demikikian, akulturasi budaya kedua etnis akan terbentuk
dengan seiring waktu. Akulturasi budaya merupakan bentuk harmonisasi dalam berbudaya, budaya yang
baru nantinya tidak terpaku pada budaya etnik tertentu dengan komunikasi sebagai landasannya. Kawasan
pendalungan juga terkenal dengan rendahnya terjadi konflik berskala besar yang melibatkan etnis madura
yang terjadi pada daerah lain di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi keharmonisan budaya
melalui perantara komunikasi “pendalungan” yang ada di Kabupaten Jember. Proses komunikasi melalui
budaya memiliki peran penting untuk mengatasi perbedaan yang dimiliki setiap etnis, dengan komunikasi
pula etnis satu dapat lebih mengenal etnis lainnya. Sehingga, terbentuklah akulturasi budaya sebagai
lambang keharmonisan berbudaya dari berbagai etnis yang berbeda.

Keyword: Pendalungan, Keharmonisan Budaya, Akulturasi Budaya


1. Pendahuluan
Budaya umumnya bersifat dinamis, dapat tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan
zaman disebabkan budaya merupakan hasil konstruksi manusia. Salah satu hal yang dapat
mempengaruhi budaya adalah globalisasi, peran globalisasi dapat terlihat dari kemudahaan akses
informasi penyebaran yang dapat dilakukan melalui media masa atau media sosial (Larasati,
2018). Penyaluran informasi mengenai budaya melalui media informasi dapat mempermudah
masyarakat Indonesia untuk mempelajari budaya daerah lainnya yang beraneka ragam,
keberagaman budaya mengindikasikan keberagam etnis di Indonesia. Namun, hingga saat ini,
masih terdapat sedikit data mengenai etnisitas akibat tidak adanya data sensus penduduk oleh
pemerintah yang membahas etnisitas dari masa kemerdekaan hingga orde baru (BPS, 2011).
Etnis atau etnik atau suku bangsa di Indonesia setidaknya berjumlah 1.340 suku bangsa, dengan
suku bangsa mayoritas adalah suku jawa yang mencapai 40,22% atau sejumlah 95.217.022 Jiwa
(Pemerintah RI, 2017). Selain suku Jawa, salah satu suku terbesar di Indonesia dengan mobilitas
penduduk yang tinggi adalah suku Madura.
Beberapa daerah tempat tujuan migrasi etnis Madura diantaranya adalah Jawa Timur
sebanyak 6.520.403 orang, Kalimantan Barat sebanyak 274.869 orang, DKI Jakarta sebanyak
79.925 orang. Tujuan migrasi etnis madura adalah terkait motif ekonomi seperti berdagang,
bekerja di sektof informal maupun formal dan bersifat musiman (Satrio, 2019). Sebagai wilayah
“tapal kuda”, etnis Madura juga melakukan migrasi menuju Kabupaten Jember. Di Kabupaten
Jember sendiri, etnis madura menjadi etnis mayoritas bersama etnis jawa. Hal ini bedampak pada
penggunaan bahasa dan budaya etnis jawa dan madura yang banyak diterapkan di Kabupaten
Jember. Etnis madura diketahui mengembangkan budaya maupun bahasanya pada daerah jember
timur dan utara, sedangkan etnis jawa pada daerah jember selatan dan barat (Rahman, 2016).
Untuk daerah jember tengah, menghasilkan perpaduan kedua etnis yaitu budaya pendalungan
(Arifin, 2006).
Pendalungan memiliki banyak arti dari berbagai ahli, namun menurut (Raharjo, 2006)
menyatakan bahwa pendalungan perpaduan antara dua etnis besar yaitu jawa dan madura.
Terbentuknya budaya “Pendalungan” disebabkan berimbangnya jumlah etnis madura dan jawa
pada jember bagian tengah, sehingga masyarakatnya dapat menggunakan bahasa jawa dan
bahasa madura (Arifin, 2006). Pendalungan juga sering dikaitkan dengan proses akulturasi
budaya yang merupakan proses perpaduan dua kebudayaan dari hasil interaksi untuk
membangun budaya baru tanpa menghilangkan bagian asli kedua budaya dasarnya (Suryana,
2017). Berinterkasi memiliki makna bahwa setidaknya dua manusia melakukan komunikasi
dengan budaya yang sama atau dua budaya yang berbeda, sehingga dapat disebut sebagai konsep
komunikasi antarbudaya. Konsep komunikasi antarbudaya menurut (Judith dan Thomas, 2007)
adalah konsep saling mempengaruhi. Budaya dapat mempengaruhi komunikasi, begitu pula
komunikasi yang dapat menciptakan maupun memelihara budaya dari komunitas atau kelompok
budaya. Tidak berjalannya proses komunikasi antar budaya dapat memicu terjadinya konflik
sosial, dan pada dasarnya disebabkan kesalahan persepsi.
Proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dapat juga dipengaruhi
oleh persepsi. Peran persepsi sendiri dalam komunikasi antarbudaya dapat dipengaruhi
perbedaan bahasa, dan berpotensi mengalami kesalahan atribusi. Atribusi merupakan proses
dalam diri untuk penyebab seseorang melakukan suatu perilaku atau pemikiran (Ridwan, 2016).
Kesalahan atribusi akan mengarah pada kesalahan persepi yang nantinya akan membentuk
perilaku terhadap suatu stimulus. Umumnya masyarakat tidak mengetahui bahwa tindakan
seseorang dipengaruhi budaya yang dibawanya, sehingga masih banyak terjadi kesalahan
persepsi atau penilaian pada seseorang dengan etnis atau budaya yang berbeda. Sebagai
masyarakat multikultural, masyarakat Kabupaten Jember berpotensi mengalami konflik sosial
akibat adanya kesalahan atribusi dari adanya perpaduan dua budaya. Salah satunya terkait
masalah kesehatan, berupa pertolongan persalinan ibu hamil ke pelayanan kesehatan atau tenaga
kesehatan (Hardisman, 2011).
Dalam kasus pemilihan pertolongan persalinan, masih terdapat keluarga di Kabupaten
Jember yang harus meminta persetujuan suami untuk menentukan pertolongan persalinan yang
akan dipilih saat menjelang proses persalinan. Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki hak
untuk memberikan keputusan terutama terkait pertolongan persalinan. Ketetapan atau perintah
suami kepada istri untuk melahirkan ke dukun akan tetap dilaksanakan, meskipun memiliki
risiko kesehatan yang cukup besar yang dipengaruhi oleh kepecayaan terhadap kemampuan
dukun bayi maupun budaya turun temurun (Abori et al, 2017). Hal seperti ini masih terjadi di
Kabupaten Jember, dan tidak jarang juga menimbulkan terjadinya pertentangan. Pertentangan
yang terjadi lebih mengarah kepada warga yang tidak dapat menerima atau menyesuaikan
dengan suatu kondisi budaya yang disebut gegar budaya (Maulana dan Rakhmat, 2003).
Solusi pemecahan masalah apabila terjadinya hambatan pada proses komunikasi adalah
pendekatan berbasis modal sosial berupa penyelesaian masalah melalui pendekatan sesuai
dengan potensi pada daerah yang mengalami konflik. Pada kasus permasalahan pertolongan
persalinan di Kabupaten Jember, solusinya adalah menyusun kesepakatan menjaga ketertiban
dan megoptimalkan peran tokoh masyarakat dalam mengatasi permasalahan konflik (Putra,
2013). Dengan modal sosial, dapat membantu tersusunnya kembali komunikasi yang sempat
terputus. Komunikasi yang baik dan berkelanjutan ini akan mengarah pada terciptanya akulturasi
budaya, seiring dengan terjadinya penerimaan budaya baru tanpa menghilangkan budaya asli
(Koentjaraningrat, 2005).
Akulturasi budaya yang nantinya terbentuk merupakan hasil dari proses komunikasi yang
terjadi dari berbagai budaya yang ada di Kabupaten Jember. Keharmonisan budaya dapat
disimbolkan melalui berjalannya proses komunikasi antarbudaya. Melihat potensi ini, pada tahun
2016 Pemerintah Kabupaten Jember menetapkan Kabupaten Jember sebagai kota pendalungan
dan mengadakan berabagai festival budaya terkait pendalungan. Hal ini menandakan berjalannya
budaya pendalungan tidak hanya terjadi pada masyarakat saja, melainkan sudah mendapat
dukungan dari pemerintah setempat (Zoebazary, 2017).
Berdasarkan pemaparan ini, penulis merasa perlu mengkaji lebih mendalam mengenai
budaya pendalungan sebagai bentuk keharmonisan budaya di Kabupaten Jember. Di dakan
bahasan tersebut, penulis juga akan membahas proses terjadinya akulturasi budaya dan peran
komunikasi pada budaya pendalungan. Peran komunikasi sendiri tercermin dalam proses
mengatasi konflik.

2. Kajian Pustaka
a. Pendalungan
Pendalungan adalah suatu istilah untuk menyebut kebudayaan hasil asimilasi antara
budaya Jawa dan Madura. Asimilasi tersebut membentuk suatu komunitas yang tersebar di
pesisir pantai utara Jawa Timur (Pasuruan, hingga Situbondo) dan sebagian pesisir selatan Jawa
Timur bagian timur (Lumajang, Jember, dan sebagian Banyuwangi). Komunitas Pendalungan
terbesar tinggal di wilayah Tapal Kuda yakni, Jawa Timur, meliputi Kabupaten dan Kota
Pasuruan, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember,
Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo serta sebagian utara dan selatan Kabupaten
Banyuwangi. Mata pencaharian masyarakat yang di diami oleh komunitas Pendalungan ini
sebagian besar bertani, buruh tani, berkebun, dan nelayan. Pengaruh terbesar komunitas
Pendalungan ialah budaya Madura dan Islam, dengan bahasa sehari-hari menggunakan campuran
antara Bahasa Jawa berdialek Suroboyoan dengan Bahasa Madura, bahkan di sebelah timur Kota
Probolinggo hingga kecamatan Wongsorejo, paling utara Banyuwangi, hampir semua penduduk
lokalnya hanya bisa menggunakan bahasa Madura dan sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa.
Kesenian yang tumbuh dan berkembang di wilayah ini bercorak Pendalungan dengan karakter
dasar nilai Islam yang sangat kuat dalam berbagai corak kesenian rakyatnya (Setiawan, 2016).
Istilah "Pendalungan" ini selalu dikaitkan dengan sosial-budaya penduduk kawasan Tapal
Kuda, Jawa Timur, yang dimana sebagian besar penduduknya merupakan campuran etnis Jawa
dan Madura. Bahkan pengaruh budaya Madura juga sangat kuat di wilayah ini, khususnya di
wilayah pesisir Pasuruan hingga Probolinggo bagian timur, Situbondo, Bondowoso, sebagian
besar Lumajang, sebagian besar Jember, dan sebagian kecil wilayah Banyuwangi. Kecuali
Banyuwangi, yang memiliki kebudayaan sendiri, yaitu etnis Osing. Juga pegunungan Tengger
yang memiliki suku Tengger (Satrio, 2019).

b. Gambaran Suku Madura dan Jawa


Dilihat dari perilakunya sehari-hari, orang madura pendalungan sangat akomodatif dan
menghargai perbedaan. Di kawasan ini hampir tidak pernah terjadi konflik antar kelompok etnik.
Jika terjadi konflik, akar masalahnya terletak pada masalah harga diri. Dimana harga diri tersebut
dapat tercermin dalam rumah adat, budaya, pusaka maupun perempuan. Orang Madura membuat
mekanisme sosial yang melindungi kesalamatan perempuan (Rochana, 2012).
Etika sosial, seperti halnya tata krama, sopan-santun, ataupun budi pekerti orang madura
pendalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua kebudayaan yang mewarnainya,
yakni kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Madura. Dalam perkembangan selanjutnya, budaya
orang madura pendalungan sangat erat sekali dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena di
wilayah madura pendalungan ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan, melainkan
juga tokoh yang memiliki akar kuat pada beberapa kekuatan politik. Secara garis besar, ciri-ciri
orang masyarakat pendalungan sebagai berikut (Prasisko, 2015):
1. Sebagian besar warganya berbasis agraris tradisional, berada di pertengahan jalan antara
masyarakat tradisonal dan masyarakat industri, tradisi dan mitos mengambil tempat yang
dominan dalam kesehariannya.
2. Terbuka terhadap perubahan di daerahnya dan mudah beradaptasi.
3. Ekspresif, transparan, dan tidak suka memendam perasaan atau berbasa basi.
4. Paternalistik, keputusan bertindaknya sesuatu mengikuti keputusan yang diambil oleh para
tokoh yang dijadikan panutan, biasanya tokoh agama.
5. Ikatan kekeluargaan atau tali persaudaraan sangat erat sehingga penyelesaian masalah
seringkali dilakukan dengan cara keroyokan.
6. Memiliki sifat, watak keras dan temperamental.
Selanjutnya merupakan gambaran pandangan hidup masyarakat jawa. Sebagaimana
diungkapkan oleh (Mulder, 1973) bahwa pandangan hidup masyarakat Jawa (orang Jawa)
diungkapkan sebagaimana yang tercermin dalam praktek dan keyakinan agama, yaitu
“Javanisme”. Javanisme adalah pandangan hidup orang Jawa dan juga agamanya, yang
menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala
peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di
bawah semesta alam.
Pandangan hidup orang Jawa ini mengajarkan agar masyarakat Jawa menempatkan adanya
hubungan yang selaras antara individu dengan dirinya sendiri, individu dengan individu lainnya,
antara individu dengan alam semesta dan antara individu dengan Tuhannya. Adanya keselarasan
tersebut masyarakat Jawa diharapkan dapat menjalankan hidupnya dengan benar. Agar
perwujudan keselarasan dapat terjamin maka masing-masing individu harus menerapkan kaidah-
kaidah moral yang menekankan pada sikap “narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap
asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja) “; Hal-hal itulah yang mengatur dorongan-dorongan dan
emosi-emosi pribadi. Sedangkan yang berhubungan untuk mengatur keselarasan kehidupan
dalam masyarakat di dunia ini sudah dipetakan dan tertulis dalam bermacam-macam peraturan,
seperti: kaidah-kaidah etiket Jawa (tatakrama) yang mengatur kelakuan antar-manusia, kaidah-
kaidah adat yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur
hubungan formal dengan Tuhan (Siswanto, 2010).
c. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi adalah upaya menyebarkan informasi kepada pihak lain guna mendapatkan
pengertian yang sama (Wursanto, 2005). Hubungan antar budaya dan komunikasi penting
dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah
orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku
tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang
dunia mereka maelalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya
mereka (Mulyana, 2000). Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna
yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara berkomunikasi, keadaan-
keadaan komunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, dan perilaku-perilaku nonverbal,
semua itu terutama merupakan respons terhadap dan fungsi budaya. Komunikasi itu terikat oleh
budaya. Sebagaimana budaya diantara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan perilaku
komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula
(Mulyana, 2000).
Ketika seseorang berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses
abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya
orang-orang berbagai sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-
orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya mengarah pada proses
abstraksi juga menjadi sulit terjadi. Hambatan Komunikasi Antar Budaya berdasarkan Hukum
Murpy (jika sesuatu bisa salah, dia akan salah) terutama berlaku untuk komunikasi antarbudaya
(Devito, 2011). Mengenali beberapa penghambat yang lazim dapat membantu anda
menghindarinya atau setidak-tidaknya menanggulangi akibat. Komunikasi antarbudaya, tentu
saja, menghadapi hambatan dan masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh bentuk-bentuk
komunikasi yang lain. Hambatan-hambatan yang unik untuk komunikasi antarbudaya adalah
mengabaikan perbedaan antar kelompok yang secara kultural berbeda, mengabaikan perbedaan
antara kelompok budaya yang berbeda, mengabaikan perbedaan dalam makna (arti), melanggar
adat kebiasaan budaya, dan menilai perbedaan secara negatif.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain, yang terlihat dalam definisi budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-
nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri. Citra "pekerja keras" di Sumatera Barat, "Kepatuhan" di Jawa dan sebagainya. Hal ini
membekali anggota rnasyarakatnya untuk memperoleh martabat yang bertalian dengan hidup
mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain
(Isniati, 2012). Sementara itu, komunikasi sendiri dikatakan berhasil apabila penerima pesan
memahami pesan sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim pesan (Solihin, 2009).

d. Antropologi Kesehatan
Antropologi kesehatan adalah ilmu tentang kesehatan manusia berupa pencegahan,
pengobatan dan penyembuhan penyakit baik itu di masa lalu maupun sekarang di masa kini yang
berkaitan dengan kultural dan biologis serta melibatkan berbagai macam disiplin ilmu
(interdisipliner). Antropologi kesehatan mempelajari sosio-kultural dari semua kalangan
masyarakat yang berhubungan dengan sakit dan sehat sebagai pusat dari budaya baik sakit yang
berhubungan dengan kepercayaan (misfortunes), kekuatan supranatural atau penyihir,
penyembuhan penyakit. Sedangkan tugas utama ahli antropologi kesehatan adalah bagaimana
tiap individu di masyarakat memiliki persepsi dan beraksi terhadap ill dan bagaimana tipe
pelayanan kesehatan yang akan dipilih, untuk mengetahui mengenai budaya dan keadaaan sosial
di komunitas tempat tinggal (Anderson, 2009).

e. Akulturasi Budaya
Akulturasi merupakan bentuk proses belajar dan penginternalisasian budaya dan nilai
yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Definsisi lain dari akulturasi adalah proses yang
dilakukan oleh imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya masyarakat
local, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi (Mulyana, 2000). Akulturasi dapat terjadi
apabila terdapat dua kebudayaan yang saling berbaur tanpa menghilangkan budaya asli (Kodiran,
1998). Proses menuju akulturasi sering diiringi dengan konflik disebabkan beragamnya budaya
di Indonesia, keberagaman ini bepotensi menimbulkan segmentasi kelompok dan menyebabkan
terjadinya konflik. Penyebab konflik ini adalah perbedaan pandangan tentang nilai, norma dan
tindakan antar kelompok (Ridwan, 2015). Penyelesaian konflik nantinya akan mengarah kepada
keharmonisan budaya, yang merujuk pada satu kesatuan pandangan mengenai persepsi dan nilai
yang berlaku di masyarakat.
3. Metode Penulisan
Metode penyusunan paper yang digunakan oleh penulis adalah metode studi literatur.
Dimana penulis menelaah jurnal terkait budaya pendalungan, perkembangan budaya
pendalungan, konflik sosial budaya kesehatan, akulturasi budaya, dan keharmonisan budaya dari
berbagai sumber. Proses telaah literatur ini digunakan untuk mengidentifikasi peran Pendalungan
sebagai bentuk keharmonisan budaya di Kabupaten Jember.

4. Pembahasan
Berdasarkan pemaparan pada sebelumnya dapat diketahui bahwa pendalungan
merupakan gabungan dua etnis mayoritas di Kabupaten Jember, yaitu etnis Jawa dan etnis
Madura. Dimana kedua etnis tersebut dalam kehidupan sehari-hari terus bersinggungan, hal
inilah yang memicu timbulnya interaksi melalui komunikasi. Proses komunikasi antar kedua
budaya tersebut, disebut komunikasi antar budaya. Hal terpenting yang membedakan komunikasi
antarbudaya dari bidang lainnya adalah perbedaan yang relatif tinggi terkait latar belakang
pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi disebabkan perbedaan budaya (Ridwan, 2016).
Ketika seseorang berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses
abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya
orang-orang berbagai sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-
orang berbeda budaya, terdapat pengalaman berbeda, dan konsekuensinya mengarah pada proses
abstraksi juga menjadi sulit terjadi. Hambatan Komunikasi Antar Budaya berdasarkan Hukum
Murpy (jika sesuatu bisa salah, dia akan salah) terutama berlaku untuk komunikasi antarbudaya
(Devito, 2011). Mengenali beberapa penghambat yang lazim dapat membantu anda
menghindarinya atau setidak-tidaknya menanggulangi akibat.
Perbedaan budaya itu sendiri dapat terlihat dari sifat maupun pandangan hidup. Pada
orang pendalungan di Kabupaten Jember, mayoritas etnis adalah suku Jawa dan suku Madura
memiliki pandangan atau sifat yang berbeda. Dilihat dari perilakunya sehari-hari, orang madura
pendalungan sangat akomodatif dan menghargai perbedaan. Di kawasan ini hampir tidak pernah
terjadi konflik antar kelompok etnik. Jika terjadi konflik, akar masalahnya terletak pada masalah
harga diri. Dimana harga diri tersebut dapat tercermin dalam rumah adat, budaya, pusaka
maupun perempuan. Orang Madura membuat mekanisme sosial yang melindungi kesalamatan
perempuan (Rochana, 2012). Sementara merupakan gambaran pandangan hidup masyarakat
jawa. Sebagaimana diungkapkan oleh (Mulder, 1973) bahwa pandangan hidup masyarakat Jawa
(orang Jawa) diungkapkan sebagaimana yang tercermin dalam praktek dan keyakinan agama,
yaitu “Javanisme”. Javanisme adalah pandangan hidup orang Jawa dan juga agamanya, yang
menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala
peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di
bawah semesta alam.
Perbedaan pandangan antara suku Jawa dan suku Madura ini, dapat memberikan respon
atau penilaian negatif terhadap pelaksanaan satu budaya. Budaya terkait pengambilan keputusan
merupakan ketetapan bahwa pengambilan keputusan harus dilakukan oleh laki-laki terutama
terkait pertolongan persalinan. Ketetapan atau perintah suami kepada istri untuk melahirkan ke
dukun akan tetap dilaksanakan, meskipun memiliki risiko kesehatan yang cukup besar
disebabkan adanya tentang kepecayaan terhadap kemampuan dukun bayi (Abori et al, 2017).
Sebagai contoh, suku jawa yang hidup berdampingan dengan suku madura akan menyarankan
pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya disebabkan terdapat pemikiran
bahwa melahirkan dengan bantuan dukun adalah tindakan yang berbahaya bagi kesehatan.
Respon negatif dari proses komunikasi ini dapat mengarah pada terjadinya kesalahan persepsi,
yang menganggap saran tersebut tidak diperlukan disebabkan sudah masuk ranah pribadi
(Shrimarti et al, 2011). Masyarakat Madura yang menjunjung tinggi harga diri, terutama terkait
budaya yang diturunkan dari generasi sebelumnya akan menjaga hal ini. Meskipun terdapat
hubungan pemilihan pertolongan persalinan dengan kematian ibu atau bayi, semakin tinggi risiko
kematian ibu atau bayi apabila tidak ditolong oleh tenaga kesehatan (Hermawan, 2017).
Sedangkan masyarakat jawa yang menganggap pertolongan persalinan melalui tenaga kesehatan
lebih baik, akan mencoba mengarahkan upaya pertolongan persalinan menuju tenaga kesehatan.
Hal inilah yang dapat memicu terjadinya konflik pada warga pendalungan di Kabupaten Jember,
disebabkan dua budaya yang memiliki sudut pandang yang berbeda.
Proses menuju akulturasi sering diiringi dengan konflik disebabkan beragamnya budaya
di Indonesia, keberagaman ini bepotensi menimbulkan segmentasi kelompok dan menyebabkan
terjadinya konflik. Penyebab konflik ini adalah perbedaan pandangan tentang nilai, norma dan
tindakan antar kelompok (Ridwan, 2015). Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan
pendekatan yang sesuai dengan kedua budaya, yaitu dengan pendekatan modal sosial melalui
penyusunan kesepakatan menjaga ketertiban dan optimalisasi peran tokoh masyarakat dalam
mengatasi permasalahan konflik (Putra, 2013).
Penysunan kesepakatan diusun berdasarkan hasil pertemuan kedua belah pihak secara
musyawarah, saling berbagi informasi dan menyatukan pandangan mengenai budaya masing-
masing. Kemudian mencari jalan tengah untuk memediasi perbedaan budaya yang ada. Seperti
yang diketahui bersama bahwa suku Jawa menjunjung tinggi kedamaian ditandai dengan sikap
narima, sedangkan suku Madura sangat menghormati tokoh panutan. Sikap narima sendiri
merupakan penerimaan terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di
bawah masyarakat. Dengan hal ini, dapat mencegah terjadinya kesalahan persepsi dan atribusi.
Sehingga proses komunikasi dapat berjalan lancar.
Sedangkan peran tokoh masyarakat adalah sebagai tokoh panutan khsuusnya bagi etnis
Madura, tidak terlepas dari budaya Madura yang bersifat paternalistik atau budaya terkait
pengambilan keputusan tindakan seseorang akan mengikuti keputusan dari para tokoh yang
dijadikan panutan. Dengan peran tookh masyarakat yang positif dapat membantu etnis Madura
untuk terbuka akan perbedaan budaya. Dengan pendekatan ini, masyarakat pendalungan di
Kabupaten Jember dapat meredakan konflik yang mulai muncul melalui pengelolaan modal
sosial.
Komunikasi yang kembali terjalin membuat proses menuju akulturasi budaya dapat
terwujud. Akulturasi dapat terjadi apabila terdapat dua kebudayaan yang saling berbaur tanpa
menghilangkan budaya asli (Kodiran, 1998). Pembentukan budaya baru dari kedua budaya yang
saling berinteraksi merupakan konsep dasar akulturasi budaya, akulturasi budaya sendiri
merupakan tolak ukur untuk keharmonisan keberagaman budaya yang ada di Kabupaten Jember.
Melihat potensi ini, pada tahun 2016 Pemerintah Kabupaten Jember menetapkan Kabupaten
Jember sebagai kota pendalungan dan mengadakan berabagai festival budaya terkait
pendalungan. Hal ini menandakan berjalannya budaya pendalungan tidak hanya terjadi pada
masyarakat saja, melainkan sudah mendapat dukungan dari pemerintah setempat (Zoebazary,
2017).
5. Kesimpulan
Pendalungan merupakan gabungan dua mayoritas etnis di Kabupaten Jember, yaitu suku
Jawa dan Madura. Keduanya saling berinteraksi, untuk menuju proses akulturasi budaya. Seiring
berjalannya proses menuju tujuan tersebut, kedua etnis sempat mengalami konflik terkait
perbedaan persepsi, nilai, dan norma mengenai masalah kesehatan berupa pertolongan persalinan
ibu hamil. Meskipun begitu, masalah tersebut dapat terselesaikan dengan menggunakan
pendekatan modal sosial di Kabupaten Jember. Hal ini menumbuhkan kembali proses
komunikasi antarbudaya yang semula renggang menjadi berjalan kembali. Berjalannya kembali
komunikasi antarbudaya di Kabupaten Jember, akhirnya menciptakan keharmonisan budaya
dibuktikan dengan penetapan Kabupaten Jember sebagai Kabupaten pendalungan di tahun 2016.
Daftar Pustaka
Abori, Mardjan, dan Riana, R. 2017. Dukungan, Kepercayaan Keluarga dan Peran Suami
Terhadap Keputusan Pemilihan Pertolongan Persalinan Pada Masyarakat Suku Madura.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 16(2):86-92.

Anderson, F. 2009. Antropologi Kesehatan. Depok: Universitas Indonesia Press.

Arifin, B. 2006. Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pendalungan. Konferensi
Nasional Sejarah VIII.

Badan Pusat Statistika. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari
Penduduk Indonesia: Hasil Analisis Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Devito, J. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Tangerang: Karisma Publishing Group.

Hardisman. 2011. Peranan Pemberdayaan Perempuan dan Analisis Gender pada Penentuan
Kebijakan Pengentasan Malnutrisi di Indonesia.

Hermawan, A. 2017. Gambaran Pilihan Persalinan oleh Tenaga Non Kesehatan tanpa
Pertolongan di Indonesia. Jurnal Kesehatan Reproduksi 8(1):89-102.

Isniati. 2012. Kesehatan Modern dengan Nuansa Budaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat 7(1):39-
44.

Judith, M., dan Thomas, K. 2007. Intercultural Communication in Contexts. New York: Mc
Graw Hill.

Kodiran. 1998. Akulturasi Sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan. Jurnal Humaniora


8(7):87-91.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Kesehatan II: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta:


Rineka Cipta.

Larasati, D. 2018. Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh dan Eksistensi Hallyu (Korean
Wave) Versus Westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional 11(1):109-120.

Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Mulyana, D. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Paramita, A., dan Kristiana, L. 2013. Teknik Focus Group Discussion Dalam Penelitian
Kualitatif. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 16(2):117-127.

Pemerintah Republik Indonesia. 2017. Suku Bangsa. www.indonesia.go.id./profil/suku-bangsa.


Diakses tanggal 03 Januari 2019.

Prasisko, Y. 2015. Blandongan: Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura.
Yogyakarta: LPRIS.

Putra, M. 2013. Peran Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik Keyakinan Beragama di Jawa
Timur. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 26(1):1-14.

Raharjo, C. 2006. Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural.


Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Rahman, A. 2016. Pengaruh Bahasa Madura dan Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Masyarakat
Kabupaten Jember. Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III.

Ridwan. 2015. Problematika Keberagaman Kebudayaan dan Alternatif Pemecahan. Jurnal


Madaniyah 2(9):254-270.

Ridwan, A. 2016. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: CV Pustaka Setia.

Roochana, T. 2012. Orang Madura: Suatu Tinjauan Antropologis. Jurnal Humanus 9(1):46-51.

Satrio, P. 2019. Transmisi Budaya dan Identitas Sosial pada Masyarakat Pendalungan. Prosiding
Seminar Nasional & Call for Paper Psikologi Sosial: Fakultas Pendidikan Psikologi.

Setiawan, I. 2016. “Mengapa harus Pendalungan?: Konstruksi dan kepentingan dalam penetapan
identitas Jember”. Makalah dalam Seminar Budaya “Membincang Kembali Terminologi
Pandalungan” yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Jember Komisariat Sastra didukung
Matatimoer Institute, Graha Bina Insani, 10 Desember 2016.

Shrimarti, R., Haryanto, S., Hakimi, M.,Prabandari, Y., dan Mardikanto, T. 2011. Perawatan
Kehamilan dalam Perspektif Budaya Madura di Desa Tambak dan Desa Rapalaok
Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Jurnal Promosi Kesehatan 1(1):50-62.

Siswanto, D. 2010. Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Jawa Terhadap Model


Kepemimpinan (Tinjauan Filsafat Sosial). Jurnal Filsafat 20(3):197-216.
Solihin, I. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: Erlangga.

Suryana, S. 2017. Akulturasi Kebudayaan (Hindu-Budha-Islam) Dalam Buku Teks Pelajaran


Sejarah Nasional Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial 26(1):101-109.

Wursanto. 2005. Dasar dasar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: CV Andi.

Zoebazary, M. 2017. Orang Pendalungan: Penganyam Kebudayaan di Tapal Kuda. Jember:


Paguyuban Pendalungan Jember.

Anda mungkin juga menyukai