Hubungan Filsafat, Pendidikan, Dan Kurikulum 2013
Hubungan Filsafat, Pendidikan, Dan Kurikulum 2013
By
Metafisika/Ontologi Pendidikan
Epistemologi Pendidikan
Aksiologi Pendidikan
Perenialisme
Esensialisme Idealisme
Realisme
Progresivisme
Pragmatisme
Rekonstruktivis
me
Eksistensialisme
Sikap
K’13 K’13
Pengeta
huan Ketra
mpila
n
Penilaian Autentik
3
A. PENDAHULUAN
Filsafat adalah keajaiban hidup yang nyaris tidak terbayangkan, bahkan oleh
imajinasi dan nalar terliar filsuf mana pun. Filsafat hadir dan meruang dalam hidup
manusia. Dari waktu ke waktu, filsafat terus-menerus berkembang sesuai dengan
perkembangan dan perubahan yang terjadi pada dunia manusia. Oleh karena itu, filsafat
selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan tidak lain adalah spekulai filsafat akan hidup
manusia. Dalam kepentingan itulah, pendidikan kemudian lahir sebagai proses pengajaran
atau transformasi nilai-nilai keteladanan hidup di satu sisi dan peningkatan nilai-nilai
keteladanan hidup di sisi lain melalui desain kurikulum pendidikan. Makna pendidikan
dalam filsafat tidak pernah menjadi sesuatu yang lain selain sebuah upaya untuk
membangun tata hidup dan berkehidupan manusia yang ada. Makna fungsi ini memiliki
kemiripan yang hampir sama dengan manfaat fungsi ilmu dan pengetahuan bagi hidup
manusia, yaitu membangun hidup manusia agar hidup manusia semakin baik dan ideal di
satu sisi, dan mampu menjaga kualitas-kualitas hidup yang telah dicapainya di sisi yang
lain.
Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat
pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak rumusan tujuan pendidikan,
berimplikasi pada penyusunan kurikulum. Kurikulum merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Dalam
kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan
sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan umat manusia. Tanpa Kurikulum
suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna.
Kurikulum merupakan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan,
dan juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya
pendidikan yang baik. Kurikulum kemudian menjadi tolok ukur bagi kualitas dan
penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan baik
buruknya kualitas output dan outcome keluaran pendidikan.
4
Baik filsafat dan pendidikan maupun filsafat dan kurikulum tentu memiliki
hubungan yang sangat erat. Sejauhmana filsafat dan pendidikan serta kurikulum memiliki
hubungan, akan dijelaskan pada bagian pembahasan.
B. PEMBAHASAN
B.1 FILSAFAT
B.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Dalam buku, Philosophy of Education, Pring (2005) memaparkan arti etimologis kata
filsafat. Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philosophia. Kata philosophia berasal dari dari
gabungan dua kata “phileo/philos” yang berarti “cinta” dan “sophi” yang berarti
“kebijaksanaan”, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Mencintai sesuatu sama halnya
menginginkannya. Kebijaksanaan bukan hanya berkaitan dengan pengetahuan, karena
seseorang mungkin memiliki pengetahuan, tetapi tidak selamanya bijak. Kebijaksanaan
merupakan pengetahuan yang terimplikasi dalam segala situasi. Dengan demikian, filsafat
memberi manusia hikmat terhadap apa yang dipahami menyangkut alam semesta dan
implikasinya dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Filsuf itu bijaksana, tetap dalam suasana hati yang bijaksana, sedang mencari ide
baru, pengetahuan baru dengan bantuan kebijaksanaannya yang terus berkembang. Filsuf
tertarik pada prinsip pertama dan kesimpulan akhir dari semua cabang pengetahuan. Filsuf
berada di bawah aliran pemikiran filsafat yang berbeda seperti idealis, naturalis, pragmatis,
eksistensialis, perennialis, realis, esensialis, progresif, dll. Filsafat bervariasi dari budaya ke
budaya tempat ke tempat dan waktu ke waktu. Dengan demikian, orang yang berbeda
secara ideologi, cara hidup mereka pun tentu berbeda, sehingga cenderung memiliki jenis
filosofi yang berbeda dalam pencarian untuk memahami Manusia, Alam dan Semesta.
Filsafat adalah sistem kepercayaan tentang realitas yang mengarah pada
pemahaman tentang sifat eksistensi, manusia, dan perannya di dunia. Filsafat adalah dasar
pengetahuan, yang mengarahkan manusia agar menemukan kebenaran, dan menggunakan
pikirannya yang benar untuk mendukung hidupnya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa filsafat adalah ujian kritis terhadap realitas yang ditandai oleh penyelidikan rasional
yang bertujuan untuk menemukan kebenaran demi mencapai kebijaksanaan.
5
Ornstein dan Levine ( 2008) mengemukakan tentang metafisika sebagai cabang filsafat
yang mempelajari sifat utama dari realitas atau adanya. Metafisika mencari fondasi realitas
atau 'prinsip pertama yang tak dapat dirumuskan' dari mana pengetahuan atau kebenaran
absolut dapat diinduksi dan disimpulkan. Istilah Metafisika berasal dari kata Yunani “meta”
berarti ( “di luar”, “pada” atau “setelah”) dan physika, berarti ( “fisika”). Secara harfiah itu
mengacu 'hal-hal setelah fisika.' Kendati demikian, nama metafisika bisa disimpulkan
pertama kali dipakai oleh Simplicius, seorang filsuf Neo-Platonis. Pada konteks ini,
metafisika disimpulkan sebagai ilmu tentang apa yang melampaui yang fisik, yang secara
sistematis telah dimulai semenjak periode abad keempat sebelum masehi dengan prakarsa
Aristoteles.
Awalnya, pertanyaan seperti, 'Apa yang nyata?' Pertanyaan metafisik ini adalah
yang paling dasar untuk ditanyakan karena memberikan fondasi yang menjadi dasar
penyelidikan selanjutnya.. Knight (dalam Oernstein dan Levine, 2008) metafisika memiliki
empat dimensi kajian, Pertama, aspek kosmologis. Kosmologi terdiri dari studi teori tentang
asal usul, alam, dan perkembangan alam semesta sebagai sistem yang tertib. Pertanyaan
seperti ini mengisi ranah kosmologi: "Bagaimana alam semesta terbentuk dan berkembang?
Apakah itu terjadi secara kebetulan atau didesain? Apakah keberadaannya punya tujuan? "
7
Aspek metafisik kedua adalah teologis. Teologi adalah bagian dari teori religius yang
berhubungan dengan konsepsi tentang Tuhan. "Apakah ada Tuhan? Jika ya, apakah ada
satu atau lebih dari satu? Apa atribut Tuhan? Jika Tuhan itu semua baik dan berkuasa,
mengapa kejahatan itu ada? Jika Tuhan ada, apakah hubunganNya dengan manusia dan
dunia 'nyata' dalam kehidupan sehari-hari? "
Aspek ketiga metafisika adalah antropologi-filosofis. Antropolog-filosofis berhubungan
dengan studi tentang manusia dan mengajukan pertanyaan seperti berikut: Apa hubungan
antara pikiran dan tubuh? Apakah pikiran lebih mendasar dari pada tubuh, Apakah tubuh
tergantung pada pikiran, atau sebaliknya? Apa status moral umat manusia? Apakah orang
terlahir dengan baik, jahat, atau netral secara moral? Sampai sejauh mana individu bebas?
Apakah mereka memiliki kehendak bebas, atau pikiran dan tindakan mereka ditentukan
oleh lingkungan, warisan, atau keberadaan ilahi mereka? Apakah setiap orang memiliki
jiwa? Jika ya, ada apa? Orang-orang jelas telah mengadopsi posisi yang berbeda mengenai
pertanyaan-pertanyaan ini, dan posisi tersebut memengaruhi cita-cita dan praktik politik,
sosial, agama, dan pendidikan mereka.
Aspek keempat dari metafisika adalah ontologis. Ontologi adalah studi tentang sifat
eksistensi, atau apa artinya sesuatu yang ada. Beberapa pertanyaan sangat penting bagi
ontologi: "Apakah realitas dasar ditemukan dalam materi atau energi fisik (dunia yang
dapat kita rasakan), atau apakah itu ditemukan dalam semangat atau energi spiritual?
Apakah itu terdiri dari satu unsur (misalnya materi atau roh), atau dua hal (misalnya materi
dan roh), atau banyak? "" Apakah realitas itu teratur dan baik, ataukah hanya tertib oleh
akal manusia? Apakah itu tetap dan stabil, atau mengubah fitur utamanya? Apakah ini
kenyataan ramah, tidak bersahabat, atau netral terhadap kemanusiaan? "
B.1.3.2 Epistemologi
Ornstein dan Levine (2008), dalam buku Foundations of Education mengemukakan
arti etimologis kata epistemologi dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan,
pemahaman”, dan logos berarti “kata, pikiran, pembicaraan, atau ilmu. Secara umum
epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber, watak/sifat dan ruang lingkup
kebenaran pengetahuan dan biasa disebut sebagai “teori pengetahuan”. Dengan kata lain
epistemologi adalah studi tentang sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Studi ini
8
berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar seperti, apa yang benar? bagaimana
mengetahui yang benar? Jadi epistemologi mencakup dua bidang: isi pikiran dan berpikir itu
sendiri. Atau dalam istilah pendidikan, kurikulum dan instruksi atau konten dan metode. Studi
tentang epistemologi berhubungan dengan isu-isu yang berkaitan dengan ketergantungan
pengetahuan dan validitas sumber melalui mana kita mendapatkan informasi.
Skeptisisme secara khusus mengklaim bahwa orang tidak dapat memperoleh
pengetahuan yang handal dan bahwa setiap pencarian kebenaran adalah sia-sia. Pikiran itu
diungkapkan oleh Gorgias (483-376 SM) dalam (Ornstein dan Levine, 2008), yang
menegaskan bahwa tidak ada yang eksis, dan jika itu terjadi, kita tidak bisa tahu itu.
Kebanyakan orang mengklaim bahwa realitas dapat diketahui. Namun perlu pembuktian
melalui apa sumber-sumber realitas dapat diketahui, dan harus memiliki argumentasi atas
konsep tentang bagaimana untuk menilai validitas pengetahuan. Masalah mendasar kedua
epistemologi adalah apakah semua kebenaran adalah relatif, atau apakah ada kebenaran
yang mutlak. Apakah semua kebenaran dapat berubah? Apakah mungkin bahwa apa yang
benar hari ini mungkin palsu besok? Jika jawabannya adalah “Ya” untuk pertanyaan
sebelumnya, berarti kebenaran tersebut relatif. Namun, jika ada kebenaran mutlak,
kebenaran tersebut abadi dan universal terlepas dari waktu atau tempat. Jika kebenaran
mutlak ada di alam semesta, maka pendidik ingin menemukan dan membuatnya menjadi
inti dari kurikulum sekolah.
(Knight,2007) mengemukakan bahwa dalam teori pengetahuan, ada beberapa
aspek yang dianggap sebagai sumber pengetahuan yakni: panca indera, wahyu, otoritas,
akal budi, dan intuisi. Bagi Knight, tidak ada satu sumber pengetahuan pun yang mampu
memberikan manusia semua pengetahuan. Beragam sumber pengetahuan tadi harus lebih
dilihat dalam sebuah hubungan yang saling melengkapi daripada sebagai sebuah
pertentangan. Memang benar bahwa sebagian banyak pemikir memilih satu sumber sebagai
dasar utama di atas sumber-sumber lainnya. Sumber yang paling utama ini kemudian
digunakan sebagai pijakan dalam menilai sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan
lainnya. Namun, karena kebenaran tersebut diperoleh manusia melalui akal dan
pancaindra, maka berbagai metode digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut, seperti;
metode induktif, deduktif, positivisme, metode kontemplatis, dan metode dialektis.
9
Sedangkan terkait dengan validitas pengetahuan manusia, ada beberapa teori yakni
antara lain korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Teori korespondensi ialah pandangan
yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih jika suatu proposisi bersesuaian
dengan
realitas yang menjadi obyek pengetahuan. Teori koherensi ialah pandangan bahwa suatu
proposisi (pernyataan atau pengetahuan) diakui benar jika proposisi itu memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan
secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika. Teori pragmatis merupakan
pandangan yang menegaskan bahwa pengetahuan itu dianggap sahih jika memiliki
konsekwensi kegunaan atau bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan.
Demikian halnya Reley dan Player (2010) dalam buku Philosophy of Education inthe
Era of Globalization menegaskan bahwa akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi akal
dan pengalaman, serta intuisi merupakan juga sebagai sarana mencari pengetahuan,
sehingga dikenal model-model epistemologi seperti; empirisme, rasionalisme, positivisme,
intuisionisme.
1. Empirisme
Berasal dari kata yunani empeirikos yang berasal dari kata empiera, berarti
pengalaman. Menurut aliran ini pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, garam asin karena ia men-cicipinya. John
locke (1632-1704) (dalam Reley dan Player, 2010) mengatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang masih kosong, pengalamanya
mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga memiliki pengetahuan. Pengalaman indra
merupakan sumber pengetahuan yang benar. Teori ini disebut sebagai teori tabula rusa
(meja lilin). Menurut Pring (2005) kelemahan aliran ini, seperti; indera terbatas, indera
menipu, objek yang menipu, dan indra dan objek sekaligus. Aliran lain yang mirip dengan
empirisme adalah sensasionalisme yaitu rangsangan indera secara kasar
2. Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia,
namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada
di atas pengalaman inderawi. Jelasnya aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran terletak pada
10
ide kita, dan bukanya pada diri barang sesuatu. Rene Descartes (1596-1650) dalam (Pring,
2005) menyatakan bahwa akal budi dipahami sebagai jenis perantara khusus yang dengan
perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan juga teknik deduktif yang dengan memakai
teknik tersebut dapat ditemukan berbagai kebenaran.
3. Positivisme
Positivisme merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil
titik tolak empirisme, dan dipertajam dengan eksperimen, sehingga secara objektif
menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan. August Compte (1798-1857)
berpendapat bahwa indra itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan, namun harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan
dapat dikoreksi lewat eksperimen.
4. Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman
yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami
kebenaran yang utuh, tetap dan unik. Henri Bergson (1859-1941) beranggapan bahwa tidak
hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Dengan memahami keterbatasan indera dan
akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu
intuisi. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha, sehingga dapat
memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unique. Intuisi dalam hal ini menangkap
objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
B.1.3.3 Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari dua kata “axios” berarti “value, nilai” dan “logos” berarti
“alasan / teori / simbol / ilmu / studi”. Aksiologi adalah studi filosofis tentang nilai dari
sesuatu. Aksiologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa itu nilai? Darimana nilai-nilai
berasal? Bagaimana kebenaran nilai itu? Bagaimana kita tahu apa yang berharga? Apa
hubungan antara nilai-nilai dan pengetahuan? Apakah ada jenis nilai? Apakah dapat
dinyatakan bahwa satu nilai lebih baik dari yang lain? Siapa yang diuntungkan dari nilai-
nilai?. Pertanyaan tentang nilai-nilai berkaitan dengan pengertian tentang tanggapan
seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu baik atau lebih baik. Aksiologi, seperti
11
metafisika dan epistemologi, berdiri di bagian paling dasar dari proses pendidikan (Ornstein
dan Levine, 2008).
Aspek utama pendidikan adalah pengembangan nilai-nilai. Dalam ruang kelas
penampilan aksiologis seorang guru dalam penghayatan moral tidak dapat disembunyikan.
Aksiologi memiliki dua kajian utama yaitu etika dan estetika. Etika adalah studi tentang
nilai-nilai moral dan tindakan moral. Teori etika memberikan nilai-nilai yang tepat sebagai
dasar untuk tindakan yang tepat. Apa yang baik dan jahat, benar dan salah? Apakah
dibenarkan mengambil sesuatu yang bukan milik Anda? Dengan demikian, sekolah harus
mengajarkan konsep-konsep etis untuk siswa.
Cabang utama kedua dari aksiologi adalah estetika. Estetika adalah ranah nilai
keindahan dan seni. Pengalaman estetis terikat pada dunia kognitif intelektual, tetapi juga
melampaui kognitif ke ranah afektif karena fokusnya pada perasaan dan emosi..
B.2 PENDIDIKAN
B.2.1 Konsep Umum
Jika dipertanyakan soal pendidikan seperti, mengapa mengkaji pendidikan?, tentu
jawabannya bahwa hal itu terkait dengan dunia, dimana hingga dewasa ini memang masih
memercayai pendidikan sebagai sesuatu hal yang penting. Jika dipertanyakan mengapa
sampai hari ini kita memercayai pendidikan, pertanyaan ini sangat mendasar dan sulit
untuk dijawab, karena sepanjang ini pendidikan telah menjadi sesuatu hal yang diterima
sebagai kebenaran aksiomatis dari waktu ke waktu. Di Eropa, misalnya kepercayaan dan
keyakinan terhadap pendidikan memunculkan sesuatu hal, seperti school, atau pedagogie,
education, androgogie. Di Timur Tengah misalnya, menemukan hal yang sama dengan
adanya istilah madrasah, majlis ta’lim, halaqah, pesantren, grahavidya, yang kesemuanya
merujuk pada tempat atau wahana pendidikan.
Di tempat tersebut manusia dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama, anak didik;
kedua, guru atau pendidik. Anak didik adalah diri yang dipandang harus dibimbing,
diarahkan, dan dibentuk agar terarah, sedangkan mereka yang membimbing, mengarahkan,
serta membentuk disebut pendidik, guru. Dari hari ke hari, hingga tahun-tahun berganti
setiap anak dari usianya yang begitu dini, setiap hari mesti setia duduk di bangku-bangku
agar konon bisa menjadi diri yang terdidik. Terdidik berarti hidup dalam normalisasi-
12
normalisasi nilai yang teratur dan rutin. Konotasi kata terdidik juga diidentikkan dengan
diri yang berpengetahuan, tertib, dan tidak memberontak. Oleh karena itu, siapa yang
urakan dan tidak teratur akan disadari sebagai diri yang tidak atau belum terdidik.
Dalam pengertian ini sekolah menjadi ruang, tempat setiap diri diarahkan, dibentuk,
atau dihabituasikan dalam keteraturan-keteraturan nilai yang telah dibakukan agar ia patuh
dan tidak menjadi pemberontak. Sekolah pada akhirnya mesti dimasuki oleh siapa pun,
sebab tidak sekolah sama artinya akan menerima perlakuan-perlakuan sinisme dari
lingkungan karena dipandang tidak atau belum terdidik. Selain itu tanpa sekolah siapa pun
akan sulit bertahan hidup, karena setiap tempat bekerja, selalu menjadikan sertifikat
keterdidikan atau ijazah sebagai syarat formal dalam menjaring para pekerja. Dengan
demikian pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup dan memiliki status sosial
untuk diterima sebagai manusia.
Ditemukan pula berbagai literatur yang mempertegas bahwa pendidikan
dimaksudkan untuk memperoleh kemajuan serta melahirkan peradaban. Keyakinan
pendidikan dalam memercayai pengetahuan sebagai instrument utama untuk kemajuaan
dan peradaban, agaknya makin menegaskan betapa pendidikan sejak awal, hadir sebagai
spekulasi filsafat yang begitu simpang siur. Pengetahuan justru menjadi penyebab semakin
canggihnya kejahatan-kejahatan yang dilakukaan manusia. Bukankah pendidikan pada
akhirnya menjadi semacam mesin raksasa yang sepanjang waktu secara sistematis menjadi
Rahim dari lahirnya dehumanisasi.
Berkaitan dengan gugatan makna, arah dan tujuan pendidikan di atas, pendidikan
seharusnya dimaknai dan disadari secarah utuh/holistik. Secara holistik tugas filsafat
pendidikan yaitu membantu para pendidik untuk berpikir secara bermakna tentang totalitas
pendidikan dan proses hidup sehingga mereka selalu berada dalam posisi yang tepat dan
dapat mengembangkan program yang konsisten serta menyeluruh sehingg anak didik
mampu menjadi diri manusia yang berkualitas. Dengan demikian, filsafat pendidikan secara
etis perlu membekali diri untuk melakukan pelacakan-pelacakan tentang tujuan-tujuan
hidup dan pendidikan.
13
memberikan cahaya pada sifat pendidikan. Ini adalah “Vidya” yang berarti pengetahuan.
Istilah “Vidya” berasal dari
“Bid” yang berarti memiliki pengetahuan / tahu / memperoleh pengetahuan. Oleh karena
itu pendidikan dalam arti luas adalah setiap tindakan atau pengalaman yang memiliki efek
formatif pada pikiran, karakter atau kemampuan fisik individu. Dalam arti teknis,
pendidikan adalah proses dimana masyarakat/orang dewasa sengaja mentransmisikan
akumulasi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Webster mendefinisikan pendidikan sebagai proses mendidik atau mengajar.
Mendidik didefinisikan sebagai “usaha untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
atau karakter ...” Jadi, dari definisi ini, kita mungkin menganggap bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, atau karakter siswa.
Di zaman modern telah mengakuisisi dua warna yang berbeda makna yaitu: (1)
sebuah instruksi kelembagaan, diberikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi sekolah
formal; dan (2) sebuah ilmu pedagogis, dipelajari oleh siswa dalam pendidikan. Oleh karen
itu, pendidikan memiliki jangkauan konotasi yang luas. Sulit untuk mendefinisikan
pendidikan dengan definisi tunggal. filsuf dan pemikir mulai dari Socrates hingga Dewey di
barat dan sejumlah filsuf India telah berusaha untuk mendefinisikan pendidikan. Namun
pendidikan dapat dipahami sebagai pengaruh yang disengaja dan sistematis diberikan
secara matang melalui instruksi dan disiplin. Dengan demikian melalui pendidikan terjadi
perkembangan harmonis dari semua kekuatan manusia; fisik sosial, intelektual, estetika dan
spiritual. Secara sosial kita dapat mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial
yang bermaksud untuk mengubah perilaku siswa sebagai yang diinginkan dalam proses
pendidikan.
B.2.2.2 Pengertian Pendidikan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ensiklopedi
Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pendidikan secara letterlijk berasal
dari kata didik dan diberi awalan men-, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan
memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses mengubah sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan (proses, perbuatan dan cara mendidik).
15
lingkungan pertumbuhan. Berkaitan dengan pengertian luas pendidikan Raley and Preyer
(2010) dijelaskan oleh beberapaa ahli pendidikan berikut ini.
B.2.2.4.2.1 Dumvile
Pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mencakup semua pengaruh, yang
dialami seorang individu selama perjalanannya mulai dari kelahirannya sampai kematian.
B.2.2.4.2.2 John Dewey
Pendidikan, dalam arti luas adalah sarana kelangsungan sosial. Dengan pendidikan,
menarik keluar semua potensi; pikiran manusia dan jiwa yang terbaik pada anak.
B.2.2.4.2.3 MK Gandhi
Dalam arti yang lebih luas pendidikan merupakan proses yang berlangsung
sepanjang hidup, dan dipromosikan oleh hampir setiap pengalaman dalam hidup.
B.2.2.4.2.3 SS Mackenzie
Arti luas pendidikan dijelaskan dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut. 1).
Pendidikan merupakn proses seumur hidup. Proses ini dimulai dengan kelahiran anak dan
berakhir dengan kematian dan berkesinambungan/kontinuitas sebagai hukum kehidupan.
Sepanjang hidup terus belajar untuk menyesuaikan diri pada perubahan pola hidup. Hidup
adalah proses yang berkesinambungan, demikian halnya dengan pertumbuhan dan
perkembangan serta pendidikan juga merupakan proses yang berkesinambungan. Seorang
individu belajar melalui pengalaman, yang diperolehnya sepanjang hidup. 2). Pendidikan
tidak terbatas pada ruang kelas saja; dan juga tidak terbatas pada periode tertentu dalam
kehidupan. Pendidikan menjadi keseluruhan pengalaman yang diterima anak baik di
sekolah maupun di luar sekolah. Dalam arti yang lebih luas, hidup adalah pendidikan dan
pendidikan adalah kehidupan 3). Pendidikan bukan hanya kumpulan dari beberapa
informasi, tetapi merupakan akuisisi pengalaman melalui kehidupan dalam lingkungan
sosial dan alam. Pendidikan mencakup semua pengetahuan dan pengalaman, yang
diperoleh selama masa bayi, kanak-kanak, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa
atau usia tua melalui lembaga pendidikan, perjalanan hidup, kelompok, alam-formal dan
informal. 4). Pendidikan memperluas cakrawala, memperdalam wawasan, memurnikan
reaksi dan merangsang pikiran dan perasaan.
Dengan kata lain, pendidikan adalah proses dimana seorang manusia secara
bertahap mengadopsi dirinya dalam berbagai cara untuk lingkungan fisik, sosial, dan
18
spiritual. Ini adalah pengembangan dari semua kapasitas dalam individu, yang akan
memungkinkan individu tersebut mengontrol lingkungannya dan memenuhi
kemungkinannya. 5). Pendidikan dalam arti yang lebih luas adalah transmisi hidup
dengan hidup, untuk hidup, melalui hidup dan kehidupan. Pendidikan merupakan sarana
untuk pengembangan semua bentuk pembangunan diri yang harmonis dan menghasilkan
keseimbangan kepribadian. Kepribadian meliputi tidak hanya tubuh dan pikiran, tetapi juga
semangat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan dalam arti luas merupakan
proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan
sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Selain itu,
pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan kepada
anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung
jawab sendiri.
B.2.2.5 Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli
Pengertian pendidikan didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli
pendidikan, yaitu sebagai berikut (Gandhi, 2011).
B.4.2.5.1 Rochaety (2005) Crow and Crow, menulis modern educational theory and practice
not only are aimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of
present, day by day attitude and behavior. (Teori dan praktik pendidikan modern tidak hanya
diarahkan kepada persiapan untuk kehidupan yang akan datang namun juga untuk
kehidupan saat ini yang dialami dalam perkembangannya menuju ke tingkat
kedewasaannya.
B.4.2.5.2 Owen (1995) mengartikan pendidikan sebagai proses perkembangan kecakapan
seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses
sosial seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah)
sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial.
B.4.2.5.3 Godfrey (1977) mengatakan, pendidikan merupakan pengaruh lingkungan
terhadap individu untuk menghasilkan perubahan yang tetap di dalam kebiasaan tingkah
lakunya, pikirannya dan perasaannya.
B.4.2.5.4 Marimba mengartikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian utama.
19
a. proses transformasi budaya dari satu generasi ke gerasi yang lain. Mentransfer nilai-
nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
b. proses pembentukan pribadi yang berjalan secara sistematis (bertahap dan
berkesinambungan), dan sistemik (terkondisi dalam lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat). Ada dua sasaran pembentukan pribadi yaitu pembentukan pribadi
bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa, dan bagi mereka
yang
sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir ini disebut pendidikan diri sendiri
(self vorming). pembentukan pribadi mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa
(kognitif, afektif, dan psikomotorik, kooperatif) yang sejalan dengan pengembangan
fisik
c. proses penyiapan warga melalui kegiatan terencana untuk membekali peserta didik
agar menjadi warga negara yang baik,
d. penyiapan tenaga kerja melalui kegiatan membimbing peserta didik sehingga
memiliki bekal dasar untuk bekerja
e. upaya menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam
masyarakat di masa mendatang
f. mentransfer pengetahuan, sesuai peranan yang diharapkan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yg
bermartabat dlm hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi
memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan norma yang
dijadikan landasannya.
B.2.5 Nilai dan Tujuan Pendidikan
Menurut Gandhi (2011), kegiatan pendidikan dilaksanakan sebagai suatu usaha
untuk mentransformasikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi,
budaya, sains, dan teknologi, seni, dan nilai ketrampilan. Jalaluddin dan Idi (2011) juga
menegaskan bahwa pendidikan secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai,
yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan agama yang
semuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Jalan
22
pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya tidak akan mungkin dapat ditetapkan
tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Oleh karena itu, untuk
mencapai proses transformasi yang efektif terhadap nilai-nilai diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut.
a. Ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dan terdidik
b. Ada metode pendidikan yang sesuai, yaitu kesesuaian metode dengan kemampuan
pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi
lingkungan tempat pendidikan tersebut berlangsung.
c. Ada sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan.
d. Terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif
e. Penanaman nilai dan norma-norma seperti:
1) otonomitas pendidikan, artinya memberikan kesadaran, pengetahuan, dan
kemampuan secara maksimal kepada individu maupun kelompok untuk dapat
hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2) keadilan pendidikan (equity), artinya setiap orang berhak untuk mendapat
pendidikan yang sama.
3) survival, artinya dengan pendidikan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Gandhi (2011) menjelaskan beberapa tujuan pendidikan sebagai berikut.
a. Tujuan umum, tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani peserta didik
b. Tujuan khusus, tujuan tertentu yg hendak dicapai berdasarkan usia, jenis kelamin,
sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan,
tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya
c. Tujuan tidak lengkap, menyangkut sebagian aspek manusia, misalnya tujuan khusus
pembentukan kecerdasan saja tanpa memerhatikan yg lain
d. Tujuan sementara, melalui proses yang berjenjang untuk mencapai tujuan umum
(SD, SMP, SMA, PT)
e. Tujuan intermedier, yaitu tujuan perantara bagi tujuan lain, misal anak dibiasakan
utk menyapu halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggungjawab
f. Tujuan Insidental merupakan tujuan yang dicapai pd saat-saat tertentu, yg sifatnya
spontan dan seketika. Misalnya, guru menegur anaknya agar berbicara sopan.
23
Menurut Bloom (dalam Pring, 2005) tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga
(3), yaitu sebagai berikut.
a. Domain kognitif; berupa pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi
b. Domain afektif berupa kemampuan utk menerima, menjawab, menilai, membentuk,
dan mengkarakterisasi
c. Domain psikomotorik, berupa kemampuan persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin
d. Domaian kooperatif, berupa kerja sama, penyesuaian diri (adaptasi), komunikasi
Menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal
26;
a. Ayat 1 disebutkan pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan untuk hidup mandiri,
mengikuti pendidikan lebih lanjut
b. Ayat 2, pendidikan menengah umum bertujuan utk meningkatkan; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan utk hidup mandiri, mengikuti
pendidikan lebih lanjut
c. Ayat 3. pendidikan menengah kejuruan bertujuan meningkatkan; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan utk hidup mandiri, mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai kejuruannya
d. Ayat 4, tujuan pend tinggi utk memersiapkan peserta didik menjadi anggota masy
yang; berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, terampil, mandiri, mampu
menemukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu, teknologi serta seni yg
bermanafaat bagi kemanusiaan
Dengan demikian tujuan pendidikan nasional menurut UU Nomor 23 Tahun 2003,
yaitu terciptanya manusia yang; beriman dan bertaqwa Kepada TYME, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yg demokratis dan
bertanggngjawab.
Pring (2005) menyebutkan, bahwa ”education is now engaged is preparinment for a tipe
society which does not yet exist” atau bahwa pendidikan sekarang bertujuan untuk
mempersiapkan manusia bagi suatu bentuk masyarakat yang masih belum ada. Konsep
sistem pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
24
pengalihan nilai-nilai kebudayaan (transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak
dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan
masa lalu, sekarang, dan masa datang.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu membentuk kemampuan peserta
didik mengembangkan dirinya, sehingga bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai
seorang individu, maupun sebagai warga negara dan warga masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha secara sengaja dan terencana dalam
memilih materi, strategi, kegiatan, dan teknik pendidikan yang sesuai.
B.2.6 Filsafat Pendidikan
Menurut Gandhi (2011), filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat
erat. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat
yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan kehidupan yang lebih baik
atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Secara filosofis, pendidikan merupakan hasil
peradaban suatu bangsa yang terus-menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan
filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di
masyarakat. Dengan demikian munculah filsafat pendidikan yang menjadi dasar suatu
bangsa berpikir, berperasaan, dan berkelakuan, yang menentukan bentuk sikap hidupnya.
Sedangkan proses pendidikan dilakukan secara terus-menerus dilakukan dari generasi ke
generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Filsafat pendidikan merupakan ilmu yang memelajari dan berusaha menyelesaikan
masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi, ketika ditemui masalah-masalah
yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan
menyelesaikannya. Dalam konteks problem seperti inilah dikenal istilah filsafat pendidikan,
yaitu filsafat yang secara saksama bermaksud melihat tentang apa, mengapa, dan bagimana
pendidikan dalam pengertian-pengertian lebih mendasar dan genuine sehingga proses
penyelenggaraan pendidikan yang ada di lapangan dapat kembali menemukan makna
urgensitasnya dalam hidup yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat
pendidikan merupakan penerapan upaya metodis filsafat untuk mempersoalkan konsepsi-
konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup dan
kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
25
B.3 KURIKULUM
B.3.1 Konsep Umum
Perkataan kurikulum mulai dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus
Webster tahun 1812, dan baru muncul untuk pertama kalinya dalam kamus tahun 1856. Arti
kurikulum pada waktu itu ialah “1. A race course; a place for running; a chariot. 2. A cource, in
general; applied particularly to the course of study in a university”. Kurikulum dimaksud sebagai
suatu jarak untuk perlombaan, yang harus ditempuh pelari. Kurikulum juga sebagai suatu
“chariot” semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang membawa
seseorang dari “start” sampai “finish”. Dalam kamus Webster tahun 1955 kurikulum diberi
arti “a. A course, esp. a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a
degree. b. The whole bodya of course offered in an educational institution, or by a department thereof, -
the usual sense” (Nasution, 1988).
Di Indonesia istilah kurikulum baru dikenal populer sejak tahun lima puluhan, yang
dibawa oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Sebelumnya
digunakan istilah “rencana pelajaran”, karena pada hakikatnya kurikulum sama artinya
dengan rencana pelajaran. Taba (1962) dalam bukunya “Curriculum Development, Theory and
Practice” mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”, yakni sesuatu yang dipelajari
oleh anak-anak.
Dalam perkembangan, pengertian kurikulum mengalami perubahan. Perubahan itu
terjadi karena ketidakpuasan hasil pendidikan sekolah dan selalu ingin memperbaikinya.
Memang tidak mungkin disusun suatu kurikulum yang baik dan mantap untuk sepanjang
zaman. Suatu kurikulum mungkin hanya dapat baik untuk suatu masyarakat tertentu pada
masa tertentu. Oleh sebab zaman senantiasa berubah, maka dengan sendirinya kurikulum
pun tidak dapat tidak harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Di samping itu, perubahan
kurikulum juga terjadi sejalan dengan perkembangan temuan research ilmu pengetahuan.
26
disebut kurikulum. Demikian halnya dengan kegiatan extra curricular atau co-curricular
sesungguhnya sebagian dari kurikulum.
B.3.2.2.2 Harold B. Alberty
Dalam bukunya “Reorganizing the High-School Curriculum”, Alberty (1965) (dalam
Nasution, 1988) memandang kurikulum sebagai “all of the activities that are provided for the
students by the school”. Kurilum dimaksudkan sebagai segalaa kegiatan yang disajikan oleh
sekolah bagi para pelajar. Tidak diadakan pembatasan antara kegiatan di dalam kelas dan di
luar kelas. Definisi Alberty ini banyak kesamaan dengan yang diberikan oleh Saylor dan
Alexander. Dengan kegiatan-kegiatan itu, sekolah mengharapkan terjadi perubahan-
perubahan dalam kelakuan peserta didik yang sesuai dengan filsafat dan tujuan pendidikan.
B.3.2.2.3 B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores
Smith dkk., (dalam Nasution, 1988) memandang kurikulum sebagai “a sequence of
potential experiences set up in the school for the purpose of disciplining children and youth in group
ways of thingking and acting”. Smith dkk., mengartikan kurikulum sebagai sejumlah
pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak, yang diperlukan agar
mereka dapat berpikir dan berkelakuan sesuai dengan masyarakatnya. Dengan demikian
kurikulum dapat dipandang sebagai “actual learning experiences” yaitu pengalaman belajar
yang nyata, akan tetapi ada pula yang menganggap kurikulum sebagai “potential learning
experiences”, yaitu pengalaman belajar yang secara potensial mungkin dapat diperoleh anak.
B.3.2.2.4 William B. Ragan
Ragan (1966) dalam (Nasution, 2988) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut.
“The tendency in recent decades has been to use the term in a broader sense to refer to the whole
life and program of the school. The term is used… tio include all the experiences of children for
which the school accepts responsibility. It denotes the results of efforts on the part of the adults of
the community, state, and the nation to bring to the children the finest, most wholesome
influences that exist in the culture.”
dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung, mata pelajaran
menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi
proses suatu kurikulum (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum
menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang
mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman
guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta
didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran
dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan
menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang
dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh
karenanya pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur
dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian
kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik
(Kemendikbud, 2012). Ada delapan karakteristik kurikulum berbasis kompetensi. Pertama,
isi atau konten kurikulum adalah kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk Kompetensi
Inti (KI) mata pelajaran dan dirinci lebih lanjut ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kedua,
Kompetensi Inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi yang
harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, bidang mata pelajaran.
Ketiga, kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari peserta didik untuk
suatu mata pelajaran di kelas tertentu. Keempat, penekanan kompetensi ranah sikap,
keterampilan kognitif, keterampilan psikomotorik, dan pengetahuan untuk suatu satuan
pendidikan dan mata pelajaran ditandai oleh banyaknya KD suatu mata pelajaran. Untuk
SD, pengembangan sikap menjadi kepedulian utama kurikulum. Kelima, Kompetensi Inti
menjadi unsur organisatoris kompetensi bukan konsep, generalisasi, topik atau sesuatu yang
berasal dari pendekatan disciplinary–based curriculum atau content-based curriculum. Keenam,
31
usahanya. Hingga manakah tujuan itu telah tercapai? Filsafat memberikan motivasi atau
dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan.
B.4.1.2 Konsep Khusus
Berkaitan dengan konsep khusus hubungan filsafat dan pendidikan, Brauner dan
Burns (Problem in Education Philosophy) menegaskan bahwa filsafat dan pendidikan tidak
dapat dipisahkan, karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan
sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan. Sejauhmana kebijaksanaan ditemukan dalam
proses pendidikan, dijelaskan berikut ini
1. Metafisik Pendidikan
Sepintas jika diamati tentang masyarakat historis atau kontemporer akan terungkap
dampak aspek kosmologis, teologis, antropologis, dan ontologis metafisika terhadap
keyakinan dan praktik sosial, politik, ekonomi dan keyakinan masyarakat. Pendidikan,
seperti aktivitas manusia lainnya, tidak bisa beroperasi di luar ranah metafisika. Selain itu
kajian metafisika tentang realitas tertinggi, sangat penting bagi konsep pendidikan apapun,
karena ini penting bagi program pendidikan sekolah (atau keluarga atau agama) didasarkan
pada fakta dan kenyataan daripada mimpi, ilusi, kesalahan, atau imajinasi.
Metafisika/ontologi dalam hal ini merupakan analisis tentang objek materi dari
pendidikan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa
yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti dalam pendidikan. Metafisika
merupakan kajian tentang realitas ultim, di mana konsep apa pun dari pendidikan yang
dipraktikkan manusia harus disandarkan pada fakta dan realitas, agar terlepas dari beragam
ilusi dan angan-angan kosong. Sebuah keyakinan metafisis yang berbeda membawa pada
pendekatan dan sistem yang berbeda terkait dengan pendidikan. Bahkan keyakinan-
keyakinan metafisis sangat mempengaruhi secara langsung terhadap isu-isu pendidikan,
misalnya: isi terpenting dari kurikulum, sistem pendidikan apa yang harus diupayakan bagi
individu dan masyarakat, peran guru, relasi pendidik dan anak didik, dan lain sebagainya.
Dasar metafisik/ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan yaitu bagian yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan metafisik/ontologi dengan
pendidikan menempati posisi landasan yang mendasar dari fondasi pendidikan.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa filsafat dan pendidikan merupakan
kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga dalam
33
hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan pendidikan merupakan hasil pikiran manusia
secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat dan pendidikan menunjukkan
suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan
manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan menggunakan metode-
metode atau prosedur-prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
2. Epistemologi Pendidikan
Epistemologi adalah mendalami pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran
fakta atau kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang
dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan pendidikan yaitu mengembangkan ilmu secara
produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum
mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu, karena di dalam pengertian filsafat mengandung
empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah.
Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh
indera. Jawaban atas pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran).
Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atas
pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana
menanyakan tentang apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Jawaban yang diperoleh menghadirkan tiga jenis pengetahuan, yaitu: pertama,
pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang
selanjutnya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan
yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum)
sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan.
Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan
normatif. Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu
34
hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya
dapat dimengerti oleh akal.
3. Aksiologi Pendidikan
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari pendidikan,
menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Dasar aksiologis
pendidikan mengacu pada kemanfaatan teori pendidikan sebagai ilmu yang otonom dan
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang baik bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Dikatakan demikian, karena era kontemporer kini
merupakan era yang dililiti kebingungan besar yang terus bergejolak. Perang dan konflik
terus berlangsung tanpa henti, terorisme, kehancuran, pembakaran, penculikan,
pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, alkohol, percabulan, keretakan keluarga,
ketidakadilan, korupsi, penindasan, konspirasi, dan fitnah, yang terjadi di seluruh dunia.
Pada pusaran kekacauan ini, aset manusia yang paling berharga sekarang hampir
dilenyapkan. Hal ini mengakibatkan hilangnya martabat manusia pribadi, hilangnya tradisi
yang dihormati, hilangnya martabat kehidupan, hilangnya saling percaya antara orang-
orang, hilangnya otoritas orang tua dan guru.
Dalam pendidikan, konteks ini memainkan peran penting untuk penanaman nilai,
seperti; kebenaran, keindahan dan kebaikan. Inilah sebabnya mengapa aksiologi
membutuhkan dimensi pendidikan yang merupakan komponen dari dimensi ini?
Pertama, aksiologi, yang memproyeksikan sistem nilai, mengusulkan tujuan
pendidikan di bawah bentuk tujuan aksiologis dan cita-cita.
Kedua, aksiologi terdiri dari nilai-nilai kemanusiaan atau universal dan spesifik untuk
masyarakat umum untuk membentuk kepribadiannya. Karena itu porsi pendidikan adalah
mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai yang menjamin identitas budaya
masyarakat manusia.
Ketiga, keberadaan nilai membutuhkan pengetahuan dan pengalaman, karena itu
dalam proses pendidikan dibutuhkan penekanan yang kuat pada aspek kognitif dan
emosional. Dengan demikian, aksiologi merupakan cakrawala dari manifestasi
kreativitas manusia, sedangkan pendidikan mempunyai fungsi-fungsi fundamental yang
menumbuhkan daya kreatif individu dan komunitas manusia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber daya fundamental bagi pembangunan
35
sosial di masa depan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tanpa pendidikan, aksiologi
akan kehilangan kekuatan hidup, dan tanpa cahaya aksiologi, pendidikan akan meraba-raba
dalam kegelapan untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kehidupan.
Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, (dalam Ping, 1999)
menjelaskan pbahwa berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat
adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik,
sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam
kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang
dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing
rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita
tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-
ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan
pendidikan. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar agar ide-ide tersebut menjadi
kenyataan dalam bentuk tindakan membentuk tingkah laku/kepribadian.
B.4.2 Hubungan Filsafat dan Kurikulum
Kurikulum adalah bagian dari ilmu pendidikan, sedangkan filsafat adalah induk dari
ilmu pengetahuan (mother of science). Agar kurikulum 2013 yang merupakan bagian dari
disiplin ilmu pendidikan bisa dipahami secara lebih mendalam dan dapat menghasilkan
kebijakan (wisdom) maka perlu dikaji dalam kajian filsafat.
B.4.2.1 Kurikulum dalam Perspektif Filsafat
Diskursus kurikulum dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat umum antara lain
idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Beberapa aliran-aliran filsafat
tersebut menjadi akar dari beberapa aliran filsafat pendidikan seperti perenialisme,
esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme. Berbagai ragam filsafat tersebut
memiliki perbedaan pandangan pada aspek realitas (ontologi), pengetahuan (epistemologi),
nilai (aksiologi), peran guru, tekanan pembelajaran, dan tekanan kurikulum (Ornstein dan
Hunkins, 2004: 37).
a. Pandangan Filsafat idealisme
1). Secara ontologi: mendalami adanya realitas spiritual, moral, dan mental yang tidak
berubah.
36
2). Secara epistemologis, aliran ini memikirkan ulang ide yang terpendam.
3). Peran guru adalah membawa pengetahuan dan ide yang terpendam; pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna.
4). Penekanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan
klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata pelajaran; filsafat, teologi dan
matematika adalah yang paling penting dibandingkan dengan mata pelajaran atau
bidang studi lain
b. Pandangan Filsafat realisme
1). Secara ontologis: menegaskan bahwa realitas tunduk pada hukum alam, bersifat
objektif dan tersusun dari bendabenda.
2). Secara epistemologis, pengetahuan diperoleh melalui sensasi dan abstraksi.
3). Secara aksiologis, nilai bersifat absolut dan abadi berdasarkan hukum alam.
4). Peran guru sebagai penanam pemikiran rasional, pemimpin moral dan spiritual, dan
menjadi sumber otoritas. Pengajaran ditekankan pada melatih berpikir. Pemikiran
logis dan abstrak adalah bentuk yang paling tinggi.
5). Penekaanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran; seni dan
sains; hirarkhi mata pelajaran; mata pelajaran humanistik dan ilmiah.
c. Pandangan Filsafat Pragmatisme
1). memiliki pandangan ontologis bahwa realitas itu berupa interaksi individu dengan
lingkungan. Realitas itu selalu mengalami perubahan.
2). Secara epistemologis, aliran ini berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah.
3). Secara aksiologis, pragmatisme berpandangan bahwa nilai bersifat situasional dan
relatif.
Nilai menjadi subjek yang berubah dan mengalami verifikasi.
4). Peran guru menurut pragmatisme adalah menanamkan pemikiran kritis dan
mengajari proses ilmiah. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode
yang berkaitan dengan mengubah lingkungan. Dalam pembelajaran juga perlu ada
penjelasan ilmiah. Menurut aliran filsafat pragmatisme, di dalam kurikulum tidak
ada pengetahuan dan mata pelajaran yang permanen.
37
4) Fokus kurikulum pada ilmu social dan metode riset sosial; ujian terhadap problem
sosial, ekonomi, dan politik; fokus pada tren dan isu sekarang dan yang akan datang,
pada sekala nasional dan internasional. Tren kurikulum yang terkait adalah
pendidikan internasional, rekonseptualisasi, dan kesetaraan kesempatan pendidikan
B.4.2.3 Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Secara eksplisit dikatakan bahwa Kurikulum 2013 tidak mengikuti satu aliran
filsafat pendidikan, baik aliran filsafat perenialisme, esensialisme, progresivisme, maupun
rekonstruksionisme, namun mengikuti aliran-aliran filsafat tersebut secara eklektik
(Kemendikbud, 2013). Dengan kata lain, landasan filosofis yang digunakan oleh Kurikulum
2013 diambil dari berbagai aliran filsafat pendidikan. Hemat penulis kurikulum 2013
bercorak filsafat aliran perenialisme, idealisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
a. Kurikulum 2013 dan filsafat idealisme
1). Pandangan ontologis bahwa realitas spiritual, moral, dan mental itu bersifat stabil
dan tidak berubah, tinggal mengukuti ajaran yang otoritatif (Ornstein dan Hunkins,
2004). Realitas spiritual, moral dan mental bersifat ideal didasarkan pada berbagai
sumber sebagai berikut. Pertama, karya-karya besar berupa kitab suci agama seperti
al-Qur’an, Hadits dalam tradisi agama Islam; Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda,
dan Atharwa Weda dalam tradisi agama Hindu; Tripitaka dalam tradisi agama
Buddha; Taurat dalam tradisi agama Yahudi; Injil (Bible) Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dalam tradisi agama Kristen Katolik dan Protestan. Kedua, ajaran
para nabi, rasul, dan pembawa ajaran agama ketika agama pada tahap formasi dan
konsolidasi pada awal berdirinya suatu agama seperti: Nabi Muhammad SAW
dalam agama Islam, Jesus dalam agama Katolik dan Protestan, Buddha Gaotama
dalam agama Buddha, dan Musa dalam agama Yahudi. Ketiga, karya-karya dan
kontribusi para pemuka agama yang otoritatif yang pernah hidup atau dekat dengan
para nabi.
b). Secara epistemologis aliran ini memikirkan ulang ide yang terpendam.
c). Peran guru adalah membawa pengetahuan dan ide yang terpendam; pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna.
d). Penekanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan
klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata pelajaran; filsafat, teologi dan
40
matematika adalah yang paling penting dibandingkan dengan mata pelajaran atau
bidang studi lain (Ornstein dan Hunkins, 2004).
e). Secara epistemologis, Kurikulum 2013 memikirkan ulang ide yang terpendam yang
telah menjadi khazanah intelektual. Ide terpendam itu adalah karya-karya besar
dalam berbagai disiplin ilmu (science) pengetahuan (knowledge) dalam berbagai bidang
antara lain; Pertama, bidang ilmu pengetahuan alam (natural science) seperti: fisika,
biologi, kimia, geologi, astronomi, dan kedokteran. Kedua, bidang ilmu
pengetahuan sosial (social science) seperti: ilmu pendidikan (paedagogy), sosiologi,
antropologi, hukum, psikologi, ilmu politik, ekonomi. Ketiga, dalam bidang
humaniora yang terdiri dari: filsafat, matematika, teologi, dan seni. Secara
epistemologi, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial merupakan
bangunan ilmu yang tersusun dari data, fakta, konsep, preposisi, aksioma, hipotesis,
dan teori.
Secara epistemologis, ilmu humaniora seperti: filsafat, matematika, teologi, dan
seni tidak disusun dengan menggunakan cara penelitian ilmiah seperti yang dilakukan
dalam tradisi ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Filsafat, matematika,
dan teologi disusun dengan pendekatan rasional, melalui pemikiran mendalam sehingga
menghasilkan kebenaran yang dapat diterima secara logis.
Berdasarakan alasan inilah, dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 kedaulatan guru,
dalam satuan pendidikan seperti sekolah dikurangi kewenangan dan partisipasinya dalam
mengkreasi dan mengembangkan kurikulum. Kurikulum 2013 ditentukan oleh pemerintah
pusat, sekolah tinggal melaksanakannya. Materi mata pelajaran sudah menjadi produk jadi
yang dirumuskan oleh para ahli. Tugas guru tinggal menyampaikan mata pelajaran yang
sudah jadi tersebut tanpa mengubahnya sedikitpun. Menurut Kurikulum 2013, pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna. Penekanan kurikulum didasarkan pada
pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata
pelajaran; filsafat, teologi, dan matematika adalah yang paling penting dibandingkan
dengan mata pelajaran atau bidang studi lain.
b. Kurikulum 2013 dan filsafat perenialisme
1). Filsafat perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada
abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
41
penguasaan materi bidang studi. Guru adalah ilmuan sekaligus guru pengajar. Guru
menjadi aparatus kebenaran ilmiah pada suatu bidang studi yang mengajarkannya sebagian
besar secara ekspositori atau penyampaian secara langsung. Sebagai aparatus kebenaran
ilmiah, guru diperkenankan menegakkan disiplin keilmuan dengan cara memberikan
hadiah (reward) bagi siswa yang mendukung atau sejalan dengan kebenaran Ilmiah, dan
disiplin dalam belajar. Guru juga diberi hak untuk menghukum (punishment) terhadap
siswa yang menyalahi kebenaran ilmiah dan tidak disiplin dalam belajar. Berdasarkan
filsafat pendidikan esensialisme, dalam Kurikulum 2013, guru juga mengajarkan cara
hidup, dan tradisional yang hidup di dalam masyarakat yang mencakup aspek nilai,
perilaku, dan sikap. Hal ini mencakup ajaran agama dan ajaran budaya yang hidup di
masyarakat.
pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
berfikir secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis,
pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme juga merupakan
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
1. Fleksibel ( Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin
tertentu )
2. Curious ( Ingin mengetahui, ingin menyelidiki )
3. Toleran dan open-minded ( Mempunyai hati terbuka )
B.5 PENUTUP
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk
masalah-masalah pendidikan yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas,
filsafat pendidikan hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan
pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisika yang membahas segala dalam alam
ini, epistemologi yang membahas kebenaran, akseologi yang membahas nilai. Aliran-aliran
filsafat yang kita kenal bertolak belakang dari pandangan yang berbeda kedalam tiga hal ini.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri.
Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat
cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun
demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai
terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta
didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran,
posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan
46
DAFTAR RUJUKAN
A. Kamus dan Ensiklopedi
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Depdiknas 2006. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gramedia
Raley, Yvonne and Preyer, Gerhard. 2010. Philosophy of Education in the Era of Globalization.
New York: Routledge 270 Madison Ave
Rosenberg, Alex.2005. Philosophy of Science. New York: Routledge 270 Madison Ave
Salmon H., Merrilee, dkk., 1992. Introduction To The Philosophy Of Science. Cambridge:
Prentice-Hall, Inc.