Anda di halaman 1dari 47

1

HUBUNGAN FILSAFAT, PENDIDIKAN, DAN KURIKULUM


2013

By

YULIUS RUSTAN EFFENDI


2

KERANGKA PIKIR HUBUNGAN FILSAFAT, PENDIDIKAN, DAN KURIKULUM

Metafisika/Ontologi Pendidikan

Epistemologi Pendidikan

Aksiologi Pendidikan

Perenialisme

Esensialisme Idealisme

Realisme
Progresivisme

Pragmatisme
Rekonstruktivis
me
Eksistensialisme

Sikap

K’13 K’13

Pengeta
huan Ketra
mpila
n

Penilaian Autentik
3

A. PENDAHULUAN
Filsafat adalah keajaiban hidup yang nyaris tidak terbayangkan, bahkan oleh
imajinasi dan nalar terliar filsuf mana pun. Filsafat hadir dan meruang dalam hidup
manusia. Dari waktu ke waktu, filsafat terus-menerus berkembang sesuai dengan
perkembangan dan perubahan yang terjadi pada dunia manusia. Oleh karena itu, filsafat
selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan tidak lain adalah spekulai filsafat akan hidup
manusia. Dalam kepentingan itulah, pendidikan kemudian lahir sebagai proses pengajaran
atau transformasi nilai-nilai keteladanan hidup di satu sisi dan peningkatan nilai-nilai
keteladanan hidup di sisi lain melalui desain kurikulum pendidikan. Makna pendidikan
dalam filsafat tidak pernah menjadi sesuatu yang lain selain sebuah upaya untuk
membangun tata hidup dan berkehidupan manusia yang ada. Makna fungsi ini memiliki
kemiripan yang hampir sama dengan manfaat fungsi ilmu dan pengetahuan bagi hidup
manusia, yaitu membangun hidup manusia agar hidup manusia semakin baik dan ideal di
satu sisi, dan mampu menjaga kualitas-kualitas hidup yang telah dicapainya di sisi yang
lain.
Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat
pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak rumusan tujuan pendidikan,
berimplikasi pada penyusunan kurikulum. Kurikulum merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Dalam
kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan
sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan umat manusia. Tanpa Kurikulum
suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna.
Kurikulum merupakan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan,
dan juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya
pendidikan yang baik. Kurikulum kemudian menjadi tolok ukur bagi kualitas dan
penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan baik
buruknya kualitas output dan outcome keluaran pendidikan.
4

Baik filsafat dan pendidikan maupun filsafat dan kurikulum tentu memiliki
hubungan yang sangat erat. Sejauhmana filsafat dan pendidikan serta kurikulum memiliki
hubungan, akan dijelaskan pada bagian pembahasan.

B. PEMBAHASAN
B.1 FILSAFAT
B.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Dalam buku, Philosophy of Education, Pring (2005) memaparkan arti etimologis kata
filsafat. Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philosophia. Kata philosophia berasal dari dari
gabungan dua kata “phileo/philos” yang berarti “cinta” dan “sophi” yang berarti
“kebijaksanaan”, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Mencintai sesuatu sama halnya
menginginkannya. Kebijaksanaan bukan hanya berkaitan dengan pengetahuan, karena
seseorang mungkin memiliki pengetahuan, tetapi tidak selamanya bijak. Kebijaksanaan
merupakan pengetahuan yang terimplikasi dalam segala situasi. Dengan demikian, filsafat
memberi manusia hikmat terhadap apa yang dipahami menyangkut alam semesta dan
implikasinya dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Filsuf itu bijaksana, tetap dalam suasana hati yang bijaksana, sedang mencari ide
baru, pengetahuan baru dengan bantuan kebijaksanaannya yang terus berkembang. Filsuf
tertarik pada prinsip pertama dan kesimpulan akhir dari semua cabang pengetahuan. Filsuf
berada di bawah aliran pemikiran filsafat yang berbeda seperti idealis, naturalis, pragmatis,
eksistensialis, perennialis, realis, esensialis, progresif, dll. Filsafat bervariasi dari budaya ke
budaya tempat ke tempat dan waktu ke waktu. Dengan demikian, orang yang berbeda
secara ideologi, cara hidup mereka pun tentu berbeda, sehingga cenderung memiliki jenis
filosofi yang berbeda dalam pencarian untuk memahami Manusia, Alam dan Semesta.
Filsafat adalah sistem kepercayaan tentang realitas yang mengarah pada
pemahaman tentang sifat eksistensi, manusia, dan perannya di dunia. Filsafat adalah dasar
pengetahuan, yang mengarahkan manusia agar menemukan kebenaran, dan menggunakan
pikirannya yang benar untuk mendukung hidupnya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa filsafat adalah ujian kritis terhadap realitas yang ditandai oleh penyelidikan rasional
yang bertujuan untuk menemukan kebenaran demi mencapai kebijaksanaan.
5

B.1.2 Pengertian filsafat Menurut Para Ahli


Brennen (1999) dalam bukunya Philosophy of Education menjelaskan beberapa arti
filsafat.
a. Filsafat adalah seperangkat pandangan atau keyakinan tentang kehidupan dan alam
semesta, yang sering dipegang secara tidak kritis.
b. Filsafat adalah proses untuk merefleksikan dan mengkritik konsep dan keyakinan kita
yang paling mendalam.
c. Filsafat adalah usaha yang rasional untuk memandang dunia secara keseluruhan.
d. Filsafat adalah analisis logis bahasa dan klarifikasi makna kata dan konsep.
e. Filsafat adalah kelompok masalah abadi yang menarik minat orang dan karena itulah
para filsuf selalu mencari jawaban.
Dalam pengertian lain, Titus (dalam Jalaluddin & Idi, 2013) mengemukakan
pengertian filsafat sebagai berikut.
a. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dana lam yang
biasanya diterima secara kritis
b. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi
c. Filsafat merupakan usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
d. Filsafat adalah analisis logis dari bahasan dan penjelasan tentang arti konsep
e. Filsafat merupakan kumpulan masalah-masalah yang langsung mendapat perhatian
manusia dan dicarikan jawabannya.
Barnadib (dalam Jalaluddin & Idi, 2013) menjelaskan filsafat sebagai pandangan
yang menyeluruh dan sistematis. Menyeluruh, karena kajian filsafat tidak hanya pada
pencarian pengetahuan, tetapi suatu pandangan yang menembus di balik pengetahuan itu
sendiri. Sistematis, karena dalam berfilsafat menggunakan pikiran kritis, logis, dan teratur.
Berpikir secara filosofis dalam hal ini mengarahkan seseorang pada cara berpikir radikal,
sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk membedah sebuah permasalahan yang
mendalam.
Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dalam ruang kehidupan manusia. Jawaban pertanyaan atas kehidupan manusia
merupakam hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban
6

tersebut digunakan untuk menjawabi permasalahan dalam pelbagai kehidupan manusia,


termasuk bidang pendidikan.
Namun dalam perkembangan peradaban manusia, masalah-masalah kehidupan
semakin kompleks dan problematis dan membutuhkan jawaban yang praktis dan realistis.
Filsafat yang bersifat teoritis kemudian mengalami kehilangan kemampuan untuk memberi
jawaban yang layak tentang kebenaran. Atas dasar perkembangan peradaban manusia
dengan pelbagai problematikanya yang kompleks, mengarahkan manusia untuk melakukan
loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran, dan pendidikan. Loncatan besar
dalam pemikiran di pelbagai bidang ini, memastikan manusia memilikirkan kembali
pengertiannya tentang kebenaran atau nilai-nilai kebenaran.

B.1.3 Cabang Filsafat


B.1.3.1 Metafisika

Ornstein dan Levine ( 2008) mengemukakan tentang metafisika sebagai cabang filsafat
yang mempelajari sifat utama dari realitas atau adanya. Metafisika mencari fondasi realitas
atau 'prinsip pertama yang tak dapat dirumuskan' dari mana pengetahuan atau kebenaran
absolut dapat diinduksi dan disimpulkan. Istilah Metafisika berasal dari kata Yunani “meta”
berarti ( “di luar”, “pada” atau “setelah”) dan physika, berarti ( “fisika”). Secara harfiah itu
mengacu 'hal-hal setelah fisika.' Kendati demikian, nama metafisika bisa disimpulkan
pertama kali dipakai oleh Simplicius, seorang filsuf Neo-Platonis. Pada konteks ini,
metafisika disimpulkan sebagai ilmu tentang apa yang melampaui yang fisik, yang secara
sistematis telah dimulai semenjak periode abad keempat sebelum masehi dengan prakarsa
Aristoteles.
Awalnya, pertanyaan seperti, 'Apa yang nyata?' Pertanyaan metafisik ini adalah
yang paling dasar untuk ditanyakan karena memberikan fondasi yang menjadi dasar
penyelidikan selanjutnya.. Knight (dalam Oernstein dan Levine, 2008) metafisika memiliki
empat dimensi kajian, Pertama, aspek kosmologis. Kosmologi terdiri dari studi teori tentang
asal usul, alam, dan perkembangan alam semesta sebagai sistem yang tertib. Pertanyaan
seperti ini mengisi ranah kosmologi: "Bagaimana alam semesta terbentuk dan berkembang?
Apakah itu terjadi secara kebetulan atau didesain? Apakah keberadaannya punya tujuan? "
7

Aspek metafisik kedua adalah teologis. Teologi adalah bagian dari teori religius yang
berhubungan dengan konsepsi tentang Tuhan. "Apakah ada Tuhan? Jika ya, apakah ada
satu atau lebih dari satu? Apa atribut Tuhan? Jika Tuhan itu semua baik dan berkuasa,
mengapa kejahatan itu ada? Jika Tuhan ada, apakah hubunganNya dengan manusia dan
dunia 'nyata' dalam kehidupan sehari-hari? "
Aspek ketiga metafisika adalah antropologi-filosofis. Antropolog-filosofis berhubungan
dengan studi tentang manusia dan mengajukan pertanyaan seperti berikut: Apa hubungan
antara pikiran dan tubuh? Apakah pikiran lebih mendasar dari pada tubuh, Apakah tubuh
tergantung pada pikiran, atau sebaliknya? Apa status moral umat manusia? Apakah orang
terlahir dengan baik, jahat, atau netral secara moral? Sampai sejauh mana individu bebas?
Apakah mereka memiliki kehendak bebas, atau pikiran dan tindakan mereka ditentukan
oleh lingkungan, warisan, atau keberadaan ilahi mereka? Apakah setiap orang memiliki
jiwa? Jika ya, ada apa? Orang-orang jelas telah mengadopsi posisi yang berbeda mengenai
pertanyaan-pertanyaan ini, dan posisi tersebut memengaruhi cita-cita dan praktik politik,
sosial, agama, dan pendidikan mereka.
Aspek keempat dari metafisika adalah ontologis. Ontologi adalah studi tentang sifat
eksistensi, atau apa artinya sesuatu yang ada. Beberapa pertanyaan sangat penting bagi
ontologi: "Apakah realitas dasar ditemukan dalam materi atau energi fisik (dunia yang
dapat kita rasakan), atau apakah itu ditemukan dalam semangat atau energi spiritual?
Apakah itu terdiri dari satu unsur (misalnya materi atau roh), atau dua hal (misalnya materi
dan roh), atau banyak? "" Apakah realitas itu teratur dan baik, ataukah hanya tertib oleh
akal manusia? Apakah itu tetap dan stabil, atau mengubah fitur utamanya? Apakah ini
kenyataan ramah, tidak bersahabat, atau netral terhadap kemanusiaan? "

B.1.3.2 Epistemologi
Ornstein dan Levine (2008), dalam buku Foundations of Education mengemukakan
arti etimologis kata epistemologi dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan,
pemahaman”, dan logos berarti “kata, pikiran, pembicaraan, atau ilmu. Secara umum
epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber, watak/sifat dan ruang lingkup
kebenaran pengetahuan dan biasa disebut sebagai “teori pengetahuan”. Dengan kata lain
epistemologi adalah studi tentang sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Studi ini
8

berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar seperti, apa yang benar? bagaimana
mengetahui yang benar? Jadi epistemologi mencakup dua bidang: isi pikiran dan berpikir itu
sendiri. Atau dalam istilah pendidikan, kurikulum dan instruksi atau konten dan metode. Studi
tentang epistemologi berhubungan dengan isu-isu yang berkaitan dengan ketergantungan
pengetahuan dan validitas sumber melalui mana kita mendapatkan informasi.
Skeptisisme secara khusus mengklaim bahwa orang tidak dapat memperoleh
pengetahuan yang handal dan bahwa setiap pencarian kebenaran adalah sia-sia. Pikiran itu
diungkapkan oleh Gorgias (483-376 SM) dalam (Ornstein dan Levine, 2008), yang
menegaskan bahwa tidak ada yang eksis, dan jika itu terjadi, kita tidak bisa tahu itu.
Kebanyakan orang mengklaim bahwa realitas dapat diketahui. Namun perlu pembuktian
melalui apa sumber-sumber realitas dapat diketahui, dan harus memiliki argumentasi atas
konsep tentang bagaimana untuk menilai validitas pengetahuan. Masalah mendasar kedua
epistemologi adalah apakah semua kebenaran adalah relatif, atau apakah ada kebenaran
yang mutlak. Apakah semua kebenaran dapat berubah? Apakah mungkin bahwa apa yang
benar hari ini mungkin palsu besok? Jika jawabannya adalah “Ya” untuk pertanyaan
sebelumnya, berarti kebenaran tersebut relatif. Namun, jika ada kebenaran mutlak,
kebenaran tersebut abadi dan universal terlepas dari waktu atau tempat. Jika kebenaran
mutlak ada di alam semesta, maka pendidik ingin menemukan dan membuatnya menjadi
inti dari kurikulum sekolah.
(Knight,2007) mengemukakan bahwa dalam teori pengetahuan, ada beberapa
aspek yang dianggap sebagai sumber pengetahuan yakni: panca indera, wahyu, otoritas,
akal budi, dan intuisi. Bagi Knight, tidak ada satu sumber pengetahuan pun yang mampu
memberikan manusia semua pengetahuan. Beragam sumber pengetahuan tadi harus lebih
dilihat dalam sebuah hubungan yang saling melengkapi daripada sebagai sebuah
pertentangan. Memang benar bahwa sebagian banyak pemikir memilih satu sumber sebagai
dasar utama di atas sumber-sumber lainnya. Sumber yang paling utama ini kemudian
digunakan sebagai pijakan dalam menilai sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan
lainnya. Namun, karena kebenaran tersebut diperoleh manusia melalui akal dan
pancaindra, maka berbagai metode digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut, seperti;
metode induktif, deduktif, positivisme, metode kontemplatis, dan metode dialektis.
9

Sedangkan terkait dengan validitas pengetahuan manusia, ada beberapa teori yakni
antara lain korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Teori korespondensi ialah pandangan
yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih jika suatu proposisi bersesuaian
dengan
realitas yang menjadi obyek pengetahuan. Teori koherensi ialah pandangan bahwa suatu
proposisi (pernyataan atau pengetahuan) diakui benar jika proposisi itu memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan
secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika. Teori pragmatis merupakan
pandangan yang menegaskan bahwa pengetahuan itu dianggap sahih jika memiliki
konsekwensi kegunaan atau bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan.
Demikian halnya Reley dan Player (2010) dalam buku Philosophy of Education inthe
Era of Globalization menegaskan bahwa akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi akal
dan pengalaman, serta intuisi merupakan juga sebagai sarana mencari pengetahuan,
sehingga dikenal model-model epistemologi seperti; empirisme, rasionalisme, positivisme,
intuisionisme.
1. Empirisme
Berasal dari kata yunani empeirikos yang berasal dari kata empiera, berarti
pengalaman. Menurut aliran ini pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, garam asin karena ia men-cicipinya. John
locke (1632-1704) (dalam Reley dan Player, 2010) mengatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang masih kosong, pengalamanya
mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga memiliki pengetahuan. Pengalaman indra
merupakan sumber pengetahuan yang benar. Teori ini disebut sebagai teori tabula rusa
(meja lilin). Menurut Pring (2005) kelemahan aliran ini, seperti; indera terbatas, indera
menipu, objek yang menipu, dan indra dan objek sekaligus. Aliran lain yang mirip dengan
empirisme adalah sensasionalisme yaitu rangsangan indera secara kasar
2. Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia,
namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada
di atas pengalaman inderawi. Jelasnya aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran terletak pada
10

ide kita, dan bukanya pada diri barang sesuatu. Rene Descartes (1596-1650) dalam (Pring,
2005) menyatakan bahwa akal budi dipahami sebagai jenis perantara khusus yang dengan
perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan juga teknik deduktif yang dengan memakai
teknik tersebut dapat ditemukan berbagai kebenaran.
3. Positivisme
Positivisme merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil
titik tolak empirisme, dan dipertajam dengan eksperimen, sehingga secara objektif
menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan. August Compte (1798-1857)
berpendapat bahwa indra itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan, namun harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan
dapat dikoreksi lewat eksperimen.

4. Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman
yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami
kebenaran yang utuh, tetap dan unik. Henri Bergson (1859-1941) beranggapan bahwa tidak
hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Dengan memahami keterbatasan indera dan
akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu
intuisi. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha, sehingga dapat
memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unique. Intuisi dalam hal ini menangkap
objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.

B.1.3.3 Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari dua kata “axios” berarti “value, nilai” dan “logos” berarti
“alasan / teori / simbol / ilmu / studi”. Aksiologi adalah studi filosofis tentang nilai dari
sesuatu. Aksiologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa itu nilai? Darimana nilai-nilai
berasal? Bagaimana kebenaran nilai itu? Bagaimana kita tahu apa yang berharga? Apa
hubungan antara nilai-nilai dan pengetahuan? Apakah ada jenis nilai? Apakah dapat
dinyatakan bahwa satu nilai lebih baik dari yang lain? Siapa yang diuntungkan dari nilai-
nilai?. Pertanyaan tentang nilai-nilai berkaitan dengan pengertian tentang tanggapan
seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu baik atau lebih baik. Aksiologi, seperti
11

metafisika dan epistemologi, berdiri di bagian paling dasar dari proses pendidikan (Ornstein
dan Levine, 2008).
Aspek utama pendidikan adalah pengembangan nilai-nilai. Dalam ruang kelas
penampilan aksiologis seorang guru dalam penghayatan moral tidak dapat disembunyikan.
Aksiologi memiliki dua kajian utama yaitu etika dan estetika. Etika adalah studi tentang
nilai-nilai moral dan tindakan moral. Teori etika memberikan nilai-nilai yang tepat sebagai
dasar untuk tindakan yang tepat. Apa yang baik dan jahat, benar dan salah? Apakah
dibenarkan mengambil sesuatu yang bukan milik Anda? Dengan demikian, sekolah harus
mengajarkan konsep-konsep etis untuk siswa.
Cabang utama kedua dari aksiologi adalah estetika. Estetika adalah ranah nilai
keindahan dan seni. Pengalaman estetis terikat pada dunia kognitif intelektual, tetapi juga
melampaui kognitif ke ranah afektif karena fokusnya pada perasaan dan emosi..

B.2 PENDIDIKAN
B.2.1 Konsep Umum
Jika dipertanyakan soal pendidikan seperti, mengapa mengkaji pendidikan?, tentu
jawabannya bahwa hal itu terkait dengan dunia, dimana hingga dewasa ini memang masih
memercayai pendidikan sebagai sesuatu hal yang penting. Jika dipertanyakan mengapa
sampai hari ini kita memercayai pendidikan, pertanyaan ini sangat mendasar dan sulit
untuk dijawab, karena sepanjang ini pendidikan telah menjadi sesuatu hal yang diterima
sebagai kebenaran aksiomatis dari waktu ke waktu. Di Eropa, misalnya kepercayaan dan
keyakinan terhadap pendidikan memunculkan sesuatu hal, seperti school, atau pedagogie,
education, androgogie. Di Timur Tengah misalnya, menemukan hal yang sama dengan
adanya istilah madrasah, majlis ta’lim, halaqah, pesantren, grahavidya, yang kesemuanya
merujuk pada tempat atau wahana pendidikan.
Di tempat tersebut manusia dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama, anak didik;
kedua, guru atau pendidik. Anak didik adalah diri yang dipandang harus dibimbing,
diarahkan, dan dibentuk agar terarah, sedangkan mereka yang membimbing, mengarahkan,
serta membentuk disebut pendidik, guru. Dari hari ke hari, hingga tahun-tahun berganti
setiap anak dari usianya yang begitu dini, setiap hari mesti setia duduk di bangku-bangku
agar konon bisa menjadi diri yang terdidik. Terdidik berarti hidup dalam normalisasi-
12

normalisasi nilai yang teratur dan rutin. Konotasi kata terdidik juga diidentikkan dengan
diri yang berpengetahuan, tertib, dan tidak memberontak. Oleh karena itu, siapa yang
urakan dan tidak teratur akan disadari sebagai diri yang tidak atau belum terdidik.
Dalam pengertian ini sekolah menjadi ruang, tempat setiap diri diarahkan, dibentuk,
atau dihabituasikan dalam keteraturan-keteraturan nilai yang telah dibakukan agar ia patuh
dan tidak menjadi pemberontak. Sekolah pada akhirnya mesti dimasuki oleh siapa pun,
sebab tidak sekolah sama artinya akan menerima perlakuan-perlakuan sinisme dari
lingkungan karena dipandang tidak atau belum terdidik. Selain itu tanpa sekolah siapa pun
akan sulit bertahan hidup, karena setiap tempat bekerja, selalu menjadikan sertifikat
keterdidikan atau ijazah sebagai syarat formal dalam menjaring para pekerja. Dengan
demikian pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup dan memiliki status sosial
untuk diterima sebagai manusia.
Ditemukan pula berbagai literatur yang mempertegas bahwa pendidikan
dimaksudkan untuk memperoleh kemajuan serta melahirkan peradaban. Keyakinan
pendidikan dalam memercayai pengetahuan sebagai instrument utama untuk kemajuaan
dan peradaban, agaknya makin menegaskan betapa pendidikan sejak awal, hadir sebagai
spekulasi filsafat yang begitu simpang siur. Pengetahuan justru menjadi penyebab semakin
canggihnya kejahatan-kejahatan yang dilakukaan manusia. Bukankah pendidikan pada
akhirnya menjadi semacam mesin raksasa yang sepanjang waktu secara sistematis menjadi
Rahim dari lahirnya dehumanisasi.
Berkaitan dengan gugatan makna, arah dan tujuan pendidikan di atas, pendidikan
seharusnya dimaknai dan disadari secarah utuh/holistik. Secara holistik tugas filsafat
pendidikan yaitu membantu para pendidik untuk berpikir secara bermakna tentang totalitas
pendidikan dan proses hidup sehingga mereka selalu berada dalam posisi yang tepat dan
dapat mengembangkan program yang konsisten serta menyeluruh sehingg anak didik
mampu menjadi diri manusia yang berkualitas. Dengan demikian, filsafat pendidikan secara
etis perlu membekali diri untuk melakukan pelacakan-pelacakan tentang tujuan-tujuan
hidup dan pendidikan.
13

B.2.2 Pengertian Pendidikan


B.2.2.1 Secara Etimologis
Dalam buku, yang berjudul Philosophy of Education, Pring (2005) memaparkan atri
pendidikan secara entimologis. Istilah “pendidikan” berasal dari bahasa Latin yaitu
“Educare”, “Educere” dan “Educatum”. “Educare” berarti “untuk bangkit atau membawa atau
memelihara”. Hal ini menunjukkan bahwa anak dibawa atau dipelihara untuk menjaga
tujuan dan cita-cita tertentu. Istilah “Educere” menunjukkan “untuk memimpin atau untuk
menarik keluar”. Dalam hal ini, pendidikan dijalankan melalui proses yang menarik dari
yang terbaik apa yang di dalam anak itu. ‘Educatum’ menunjukkan tindakan mengajar atau
pelatihan. Melalui tindakan ini memberikan cahaya pada prinsip-prinsip dan praktek
mengajar. Ini berarti mendidik anak atau menyediakan pelatihan fasilitas untuk demi
sebuah pengembangan diri yang utuh/holistik pada anak. Istilah Educare atau Educere
terutama menunjukkan perkembangan kemampuan laten anak. Tetapi anak tidak tahu
kemungkinan ini. Ini adalah pendidik atau guru yang bisa tahu dan mengambil metode
yang tepat untuk mengembangkan kekuatan-kekuatan.
Pendidikan sinonim dengan ‘education’ dalam bahasa Inggris, merupakan kata
turunan bahasa Latin dari ‘ educatio’ yang memiliki beberapa arti yakni: (1) the process of
training and developing the knowledge, skill, mind, character, etc. Esp. By formal schooling, teaching,
training ; (2) knowledge, ability, etc. thus developed; (3) a. formal schooling at an institution of
learning, b. a stage of this (a high-school education); (4) systematic study of the methods and theories of
teaching and learning2. Padanan kata pendidikan yang lainnya adalah ‘pedagogy’ dalam
bahasa disebut ‘paedagogia’ dan dikenal dengan ‘paidagōgia’ yang memiliki arti yaitu: (1) the
profession or function of a teacher; teaching; (2) the art or science of teaching ; esp., instruction in
teaching methods (Salmon, dkk., 1992).
Dalam bahasa India pendidikan berarti “Siksha” yang berasal dari bahasa Sansekerta
lisan root “Shash”. “Shash” berarti untuk mendisiplinkan, mengontrol, untuk memesan,
langsung, untuk memerintah. Pendidikan dalam pengertian ini berarti mengendalikan atau
mendisiplinkan perilaku individu. Dalam bahasa Sanskerta “Shiksha” adalah cabang khusus
dari sastra Sutra, yang memiliki enam cabang yaitu Shiksh, Chhanda, Byakarana, Nirukta,
Jyotisha dan Kalpa. Literatur Sutra dirancang untuk mempelajari Veda. Siksha
menunjukkan aturan pengucapan. Ada istilah lain dalam bahasa Sansekerta, yang
14

memberikan cahaya pada sifat pendidikan. Ini adalah “Vidya” yang berarti pengetahuan.
Istilah “Vidya” berasal dari
“Bid” yang berarti memiliki pengetahuan / tahu / memperoleh pengetahuan. Oleh karena
itu pendidikan dalam arti luas adalah setiap tindakan atau pengalaman yang memiliki efek
formatif pada pikiran, karakter atau kemampuan fisik individu. Dalam arti teknis,
pendidikan adalah proses dimana masyarakat/orang dewasa sengaja mentransmisikan
akumulasi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Webster mendefinisikan pendidikan sebagai proses mendidik atau mengajar.
Mendidik didefinisikan sebagai “usaha untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
atau karakter ...” Jadi, dari definisi ini, kita mungkin menganggap bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, atau karakter siswa.
Di zaman modern telah mengakuisisi dua warna yang berbeda makna yaitu: (1)
sebuah instruksi kelembagaan, diberikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi sekolah
formal; dan (2) sebuah ilmu pedagogis, dipelajari oleh siswa dalam pendidikan. Oleh karen
itu, pendidikan memiliki jangkauan konotasi yang luas. Sulit untuk mendefinisikan
pendidikan dengan definisi tunggal. filsuf dan pemikir mulai dari Socrates hingga Dewey di
barat dan sejumlah filsuf India telah berusaha untuk mendefinisikan pendidikan. Namun
pendidikan dapat dipahami sebagai pengaruh yang disengaja dan sistematis diberikan
secara matang melalui instruksi dan disiplin. Dengan demikian melalui pendidikan terjadi
perkembangan harmonis dari semua kekuatan manusia; fisik sosial, intelektual, estetika dan
spiritual. Secara sosial kita dapat mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial
yang bermaksud untuk mengubah perilaku siswa sebagai yang diinginkan dalam proses
pendidikan.
B.2.2.2 Pengertian Pendidikan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ensiklopedi
Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pendidikan secara letterlijk berasal
dari kata didik dan diberi awalan men-, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan
memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses mengubah sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan (proses, perbuatan dan cara mendidik).
15

Menurut Ensiklopedi Pendidikan, pendidikan berarti semua perbuatan dan usaha


dari generasi tua untuk memberikan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan
ketrampilannya kepada generasi di bawahnya sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.
B.2.2.3 Pengertian Pendidikan UU No. 20 Tahun 2003
Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I menegaskan, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.2.2.4 Pengertian Pendidikan Secara Sempit dan Luas
B.2.2.4.1 Makna Sempit
Dalam arti sempit, instruksi sekolah disebut pendidikan. Pendidikan dalam hal ini
terdiri dari “pengaruh tertentu” secara sadar dirancang di sekolah atau di perguruan tinggi
atau dalam suatu lembaga untuk membawa perkembangan dan pertumbuhan anak. Kata
sekolah meliputi seluruh mesin pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan
anak dimulai dengan pengakuannya di sekolah dan berakhir dengan
kepergiannya/berakhirnya dari Perguruan Tinggi. Jumlah pendidikan yang diterima oleh
anak diukur dari tingkatan gelar yang diberikan kepadanya. Berkaitan dengan pengertian
sempit pendidikan Raley and Preyer (2010) dijelaskan oleh beberapaa ahli pendidikan
berikut ini.
B.2.2.4.1.1 Drever
Pendidikan adalah sebuah proses di mana dan bagaimana pengetahuan, karakter
dan perilaku muda dibentuk dan dihasilkan.
B.2.2.4.1.2 GH Thompson
Pendidikan merupakan bentuk pengaruh terhadap lingkungan individu dengan
maksud untuk menghasilkan perubahan permanen dalam kebiasaan perilaku, atau pikiran
dan sikap.
B.2.2.4.1.3 John Stuart Mill
Pendidikan merupakan suatu budaya yang diteruskan kepada setiap generasi dan
diberikan dengan cara sengaja agar dapat menjadi penerus yang menjaga dan jika
16

memungkinkan untuk meningkatkan tingkat perbaikan sesuai dengaan perkembangan


tuntutan perkembangan zaman.
B.2.2.4.1.4 SS Mackenzie
Dalam arti sempit, pendidikan dapat diartikan upaya sadar diarahkan untuk
mengembangkan dan menumbuhkan kekuatan bawaan siswa.
B.2.2.4.1.5 John Dewey
Sekolah ada untuk menyediakan lingkungan khusus untuk periode formatif
kehidupan manusia. Sekolah adalah lembaga yang dirancang secara sadar, lingkungan
khusus dan penting dalam mendidik anak, karena itu lingkungan khusus ini perlu dijelaskan
kepada masyarakat yang kompleks dalam setiap peradaban.
Pendidikan secara khusus dalam hal ini sebagaimana dijelaskan Legeveld
merupakan pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa
untuk mencapai kedewasaan. Beberapa batasan di atas meskipun berbeda secara
redaksional, namun secara esensial terdapat beberapa unsur atau faktor sama, diantaranya:
1) pendidikan merupakan suatu proses
2) pendidikan merupakan kegiatan manusiawi
3) pendidikan merupakan hubungan antarpribadi
4) pendidikan untuk mencapai tujuan
Sekolah merupakan pendidikan formal karena menanamkan pendidikan secara
langsung dan sistematis. Ada upaya sengaja dari pendidik untuk menanamkan kebiasaan
tertentu, keterampilan, sikap atau pengaruh dalam diri pelajar, yang dianggap penting dan
berguna baginya. Pengaruh atau mode pengaruh di sekolah sengaja direncanakan, dipilih
dan digunakan oleh sekolah untuk proses pendidikan yang lebih baik. Tujuan dari pengaruh
ini adalah untuk mengubah perilaku anak sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi
berbeda/berubah jika dibandingkan tanpa memeroleh pendidikan.
B.2.2.4.2 Makna Luas
Dalam arti luas, pendidikan adalah pengembangan kepribadian secara total. Dengan
demikian pendidikan terdiri dari semua pengalaman pendidikan, yang memengaruhi
individu sejak lahir sampai mati. Dengan demikian, pendidikan adalah proses dimana
seorang individu bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan sifat dalam lingkungan yang
bebas dan tidak terkendali. Dengan cara ini, pendidikan adalah proses seumur hidup dari
17

lingkungan pertumbuhan. Berkaitan dengan pengertian luas pendidikan Raley and Preyer
(2010) dijelaskan oleh beberapaa ahli pendidikan berikut ini.
B.2.2.4.2.1 Dumvile
Pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mencakup semua pengaruh, yang
dialami seorang individu selama perjalanannya mulai dari kelahirannya sampai kematian.
B.2.2.4.2.2 John Dewey
Pendidikan, dalam arti luas adalah sarana kelangsungan sosial. Dengan pendidikan,
menarik keluar semua potensi; pikiran manusia dan jiwa yang terbaik pada anak.
B.2.2.4.2.3 MK Gandhi
Dalam arti yang lebih luas pendidikan merupakan proses yang berlangsung
sepanjang hidup, dan dipromosikan oleh hampir setiap pengalaman dalam hidup.
B.2.2.4.2.3 SS Mackenzie
Arti luas pendidikan dijelaskan dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut. 1).
Pendidikan merupakn proses seumur hidup. Proses ini dimulai dengan kelahiran anak dan
berakhir dengan kematian dan berkesinambungan/kontinuitas sebagai hukum kehidupan.
Sepanjang hidup terus belajar untuk menyesuaikan diri pada perubahan pola hidup. Hidup
adalah proses yang berkesinambungan, demikian halnya dengan pertumbuhan dan
perkembangan serta pendidikan juga merupakan proses yang berkesinambungan. Seorang
individu belajar melalui pengalaman, yang diperolehnya sepanjang hidup. 2). Pendidikan
tidak terbatas pada ruang kelas saja; dan juga tidak terbatas pada periode tertentu dalam
kehidupan. Pendidikan menjadi keseluruhan pengalaman yang diterima anak baik di
sekolah maupun di luar sekolah. Dalam arti yang lebih luas, hidup adalah pendidikan dan
pendidikan adalah kehidupan 3). Pendidikan bukan hanya kumpulan dari beberapa
informasi, tetapi merupakan akuisisi pengalaman melalui kehidupan dalam lingkungan
sosial dan alam. Pendidikan mencakup semua pengetahuan dan pengalaman, yang
diperoleh selama masa bayi, kanak-kanak, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa
atau usia tua melalui lembaga pendidikan, perjalanan hidup, kelompok, alam-formal dan
informal. 4). Pendidikan memperluas cakrawala, memperdalam wawasan, memurnikan
reaksi dan merangsang pikiran dan perasaan.
Dengan kata lain, pendidikan adalah proses dimana seorang manusia secara
bertahap mengadopsi dirinya dalam berbagai cara untuk lingkungan fisik, sosial, dan
18

spiritual. Ini adalah pengembangan dari semua kapasitas dalam individu, yang akan
memungkinkan individu tersebut mengontrol lingkungannya dan memenuhi
kemungkinannya. 5). Pendidikan dalam arti yang lebih luas adalah transmisi hidup
dengan hidup, untuk hidup, melalui hidup dan kehidupan. Pendidikan merupakan sarana
untuk pengembangan semua bentuk pembangunan diri yang harmonis dan menghasilkan
keseimbangan kepribadian. Kepribadian meliputi tidak hanya tubuh dan pikiran, tetapi juga
semangat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan dalam arti luas merupakan
proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan
sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Selain itu,
pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan kepada
anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung
jawab sendiri.
B.2.2.5 Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli
Pengertian pendidikan didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli
pendidikan, yaitu sebagai berikut (Gandhi, 2011).
B.4.2.5.1 Rochaety (2005) Crow and Crow, menulis modern educational theory and practice
not only are aimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of
present, day by day attitude and behavior. (Teori dan praktik pendidikan modern tidak hanya
diarahkan kepada persiapan untuk kehidupan yang akan datang namun juga untuk
kehidupan saat ini yang dialami dalam perkembangannya menuju ke tingkat
kedewasaannya.
B.4.2.5.2 Owen (1995) mengartikan pendidikan sebagai proses perkembangan kecakapan
seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses
sosial seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah)
sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial.
B.4.2.5.3 Godfrey (1977) mengatakan, pendidikan merupakan pengaruh lingkungan
terhadap individu untuk menghasilkan perubahan yang tetap di dalam kebiasaan tingkah
lakunya, pikirannya dan perasaannya.
B.4.2.5.4 Marimba mengartikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian utama.
19

B.4.2.5.5 Syaibani mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses mengubah


tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu
aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi dalam. masyarakat.
B.4.2.5.6 Hasanmengartikan pendidikan sebagai suatu proses yang komprehensif dari
pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual,
spiritual, emosi, dan fisik.
B.4.2.5.7 J. McDonald mengartikan pendidikan sebagai sebuah proses atau aktivitas yang
menunjukkan proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.
B.4.2.5.8 Brojonegoro memberi makna pendidikan sebagai bentuk pemberian tuntunan
kepada manusia yang belu dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai
tercapainya manusia yang dewasa.
B.4.2.5.9 Ki Hajar Dewantara (dalam Pidarta, 1997) mengartikan pendidikan sebagai
upaya menuntun semua kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai masyarakat. mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya.
B.4.2.5.10 Peursen (1993), mengartikan pendidikan sebagai: 1) kegiatan penerimaan dan
pemberian pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. 2) Pendidikan merupakan suatu proses. Melalui proses ini individu
diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini manusia dilatih
untuk berkembang. 3) Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini
individu dibantu dalam mengembangkan kekuatan, bakat, kesanggupan dan minatnya. d)
Pendidikan merupakan rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman yang menambah arti
serta menambah kesanggupan untuk memberikan arah bagi pengalaman selanjutnya. 4)
Pendidikan merupakan suatu proses. Melalui proses ini seseorang menyesuaikan diri
dengan unsur-unsur pengalamannya yang menjadi kepribadian kehidupan modern sehingga
dapat mempersiapkan masa depan yang berhasil.
B.4.2.5.11Brojonegoro memberi makna pendidikan sebagai bentuk pemberian tuntunan
kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai
tercapainya manusia yang dewasa.
20

B.4.2.5.12 Ki Hajar Dewantara (dalam Gandhi, 2011) mengartikan pendidikan sebagai


upaya menuntun semua kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya.
B.4.2.5.13 John Dewey mengartikan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan
mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran
dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala
aspeknya menuju terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan
metode pembelajaran yang tepat guna dalam melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
B.4.2.5.14 Menurut Martimer J Adler, pendidikan merupakan proses semua kemampuan
manusia (bakat dan kemampuan yg diperoleh) dipengaruhi oleh pembiasaan,
disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik
dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atas dirinya mencapai tujuan
yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
B.2.3 Ciri-ciri Pendidikan
Berdasarkan pengertian di atas, pendidikan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Kegiatan pendidikan dilakukan untuk mengembangkan kemampuan sehingga
bermanfaat bagi kepentingan hidup
b. Kegiatan pendidikan dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik melalui
proses pembelajaran
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, institusi sekolah dan
masyarakat (formal dan non formal).
B.2.4 Fungsi pendidikan
(Gandhi, 2011) menjelaskan fungsi pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang bermartabat dalam hidup dan
kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi memanusiakan manusia agar
menjadi yang benar sesuai dengan norma yang dijadikan landasan. Dengan demikian
pendidikan berfungsi sebagai:
21

a. proses transformasi budaya dari satu generasi ke gerasi yang lain. Mentransfer nilai-
nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
b. proses pembentukan pribadi yang berjalan secara sistematis (bertahap dan
berkesinambungan), dan sistemik (terkondisi dalam lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat). Ada dua sasaran pembentukan pribadi yaitu pembentukan pribadi
bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa, dan bagi mereka
yang
sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir ini disebut pendidikan diri sendiri
(self vorming). pembentukan pribadi mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa
(kognitif, afektif, dan psikomotorik, kooperatif) yang sejalan dengan pengembangan
fisik
c. proses penyiapan warga melalui kegiatan terencana untuk membekali peserta didik
agar menjadi warga negara yang baik,
d. penyiapan tenaga kerja melalui kegiatan membimbing peserta didik sehingga
memiliki bekal dasar untuk bekerja
e. upaya menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam
masyarakat di masa mendatang
f. mentransfer pengetahuan, sesuai peranan yang diharapkan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yg
bermartabat dlm hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi
memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan norma yang
dijadikan landasannya.
B.2.5 Nilai dan Tujuan Pendidikan
Menurut Gandhi (2011), kegiatan pendidikan dilaksanakan sebagai suatu usaha
untuk mentransformasikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi,
budaya, sains, dan teknologi, seni, dan nilai ketrampilan. Jalaluddin dan Idi (2011) juga
menegaskan bahwa pendidikan secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai,
yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan agama yang
semuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Jalan
22

pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya tidak akan mungkin dapat ditetapkan
tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Oleh karena itu, untuk
mencapai proses transformasi yang efektif terhadap nilai-nilai diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut.
a. Ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dan terdidik
b. Ada metode pendidikan yang sesuai, yaitu kesesuaian metode dengan kemampuan
pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi
lingkungan tempat pendidikan tersebut berlangsung.
c. Ada sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan.
d. Terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif
e. Penanaman nilai dan norma-norma seperti:
1) otonomitas pendidikan, artinya memberikan kesadaran, pengetahuan, dan
kemampuan secara maksimal kepada individu maupun kelompok untuk dapat
hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2) keadilan pendidikan (equity), artinya setiap orang berhak untuk mendapat
pendidikan yang sama.
3) survival, artinya dengan pendidikan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Gandhi (2011) menjelaskan beberapa tujuan pendidikan sebagai berikut.
a. Tujuan umum, tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani peserta didik
b. Tujuan khusus, tujuan tertentu yg hendak dicapai berdasarkan usia, jenis kelamin,
sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan,
tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya
c. Tujuan tidak lengkap, menyangkut sebagian aspek manusia, misalnya tujuan khusus
pembentukan kecerdasan saja tanpa memerhatikan yg lain
d. Tujuan sementara, melalui proses yang berjenjang untuk mencapai tujuan umum
(SD, SMP, SMA, PT)
e. Tujuan intermedier, yaitu tujuan perantara bagi tujuan lain, misal anak dibiasakan
utk menyapu halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggungjawab
f. Tujuan Insidental merupakan tujuan yang dicapai pd saat-saat tertentu, yg sifatnya
spontan dan seketika. Misalnya, guru menegur anaknya agar berbicara sopan.
23

Menurut Bloom (dalam Pring, 2005) tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga
(3), yaitu sebagai berikut.
a. Domain kognitif; berupa pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi
b. Domain afektif berupa kemampuan utk menerima, menjawab, menilai, membentuk,
dan mengkarakterisasi
c. Domain psikomotorik, berupa kemampuan persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin
d. Domaian kooperatif, berupa kerja sama, penyesuaian diri (adaptasi), komunikasi
Menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal
26;
a. Ayat 1 disebutkan pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan untuk hidup mandiri,
mengikuti pendidikan lebih lanjut
b. Ayat 2, pendidikan menengah umum bertujuan utk meningkatkan; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan utk hidup mandiri, mengikuti
pendidikan lebih lanjut
c. Ayat 3. pendidikan menengah kejuruan bertujuan meningkatkan; kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, ketrampilan utk hidup mandiri, mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai kejuruannya
d. Ayat 4, tujuan pend tinggi utk memersiapkan peserta didik menjadi anggota masy
yang; berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, terampil, mandiri, mampu
menemukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu, teknologi serta seni yg
bermanafaat bagi kemanusiaan
Dengan demikian tujuan pendidikan nasional menurut UU Nomor 23 Tahun 2003,
yaitu terciptanya manusia yang; beriman dan bertaqwa Kepada TYME, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yg demokratis dan
bertanggngjawab.
Pring (2005) menyebutkan, bahwa ”education is now engaged is preparinment for a tipe
society which does not yet exist” atau bahwa pendidikan sekarang bertujuan untuk
mempersiapkan manusia bagi suatu bentuk masyarakat yang masih belum ada. Konsep
sistem pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
24

pengalihan nilai-nilai kebudayaan (transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak
dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan
masa lalu, sekarang, dan masa datang.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu membentuk kemampuan peserta
didik mengembangkan dirinya, sehingga bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai
seorang individu, maupun sebagai warga negara dan warga masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha secara sengaja dan terencana dalam
memilih materi, strategi, kegiatan, dan teknik pendidikan yang sesuai.
B.2.6 Filsafat Pendidikan
Menurut Gandhi (2011), filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat
erat. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat
yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan kehidupan yang lebih baik
atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Secara filosofis, pendidikan merupakan hasil
peradaban suatu bangsa yang terus-menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan
filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di
masyarakat. Dengan demikian munculah filsafat pendidikan yang menjadi dasar suatu
bangsa berpikir, berperasaan, dan berkelakuan, yang menentukan bentuk sikap hidupnya.
Sedangkan proses pendidikan dilakukan secara terus-menerus dilakukan dari generasi ke
generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Filsafat pendidikan merupakan ilmu yang memelajari dan berusaha menyelesaikan
masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi, ketika ditemui masalah-masalah
yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan
menyelesaikannya. Dalam konteks problem seperti inilah dikenal istilah filsafat pendidikan,
yaitu filsafat yang secara saksama bermaksud melihat tentang apa, mengapa, dan bagimana
pendidikan dalam pengertian-pengertian lebih mendasar dan genuine sehingga proses
penyelenggaraan pendidikan yang ada di lapangan dapat kembali menemukan makna
urgensitasnya dalam hidup yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat
pendidikan merupakan penerapan upaya metodis filsafat untuk mempersoalkan konsepsi-
konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup dan
kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
25

B.3 KURIKULUM
B.3.1 Konsep Umum
Perkataan kurikulum mulai dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus
Webster tahun 1812, dan baru muncul untuk pertama kalinya dalam kamus tahun 1856. Arti
kurikulum pada waktu itu ialah “1. A race course; a place for running; a chariot. 2. A cource, in
general; applied particularly to the course of study in a university”. Kurikulum dimaksud sebagai
suatu jarak untuk perlombaan, yang harus ditempuh pelari. Kurikulum juga sebagai suatu
“chariot” semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang membawa
seseorang dari “start” sampai “finish”. Dalam kamus Webster tahun 1955 kurikulum diberi
arti “a. A course, esp. a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a
degree. b. The whole bodya of course offered in an educational institution, or by a department thereof, -
the usual sense” (Nasution, 1988).
Di Indonesia istilah kurikulum baru dikenal populer sejak tahun lima puluhan, yang
dibawa oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Sebelumnya
digunakan istilah “rencana pelajaran”, karena pada hakikatnya kurikulum sama artinya
dengan rencana pelajaran. Taba (1962) dalam bukunya “Curriculum Development, Theory and
Practice” mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”, yakni sesuatu yang dipelajari
oleh anak-anak.
Dalam perkembangan, pengertian kurikulum mengalami perubahan. Perubahan itu
terjadi karena ketidakpuasan hasil pendidikan sekolah dan selalu ingin memperbaikinya.
Memang tidak mungkin disusun suatu kurikulum yang baik dan mantap untuk sepanjang
zaman. Suatu kurikulum mungkin hanya dapat baik untuk suatu masyarakat tertentu pada
masa tertentu. Oleh sebab zaman senantiasa berubah, maka dengan sendirinya kurikulum
pun tidak dapat tidak harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Di samping itu, perubahan
kurikulum juga terjadi sejalan dengan perkembangan temuan research ilmu pengetahuan.
26

B.3.2 Pengertian Kurikulum


B.3.2.1 Menurut UU No. 20 Tahun 2003
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
B.3.2.2 Menurut Para Ahli
Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan zaman memerlukan kurikulum baru
dan juga pengertian baru mengenai kurikulum itu sendiri. Berikut ini dipaparkan sejumlah
definisi yang diberikan beberapa ahli kurikulum
B.3.2.2.1 J. Galen Saylor dan William M. Alexander
Saylor dan Alexander (1956) dalam (Nasution, 1988) menjelaskan kurikulum
sebagai berikut. “The curriculum is the sum total of schol’s efforts to influence learning, wether in the
classroom, on the playground, or out of school.” Jadi segala usaha sekolah untuk memengaruhi
anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah
termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi segala pengalaman yang disajikan oleh sekolah
agar anak mencapai tujuan yang ditetapkan. Suatu tujuan tidak tercapai dengan suatu
pengalaman saja, akan tetapi melalui berbagai pengalaman dalam bermacam-macam situasi
di dalam maupun di luar sekolah. Pengalaman di sekolah dapat memengaruhi pengalaman
di luar sekolah dan sebaliknya. “What results from planning (or the lack thereof), whether or not it
comes out as intended, is the curriculum.” Yang dianggap kurikulum adalah hasil yang nyata
(actual learning experiences) pada anak. Di sini tampak perbedaan antara rencana pelajaran
dan kurikulum.
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan, “a plan for learning”. Apa yang
direncanakan biasanya bersifat ideal, dan ini dianggap sebagai ideal curriculum. Tidak segala
sesuatu yang direncanakan akan menjadi kenyataan. Berbagai kendala yang menyebabkan
terjadi perbedaan atau “gap” antara kurikulum yang ideal dengan kurikulum yang nyata
atau real curriculum. Menurut Saylor dan Alexander kurikulum bukan semata-mata terdiri
atas sejumlah mata pelajaran (program of studies) atau program pelajaran. Kumpulan
berbagai mata pelajaran dengan uraian materi menggunakan perangkat pembelajaran
27

disebut kurikulum. Demikian halnya dengan kegiatan extra curricular atau co-curricular
sesungguhnya sebagian dari kurikulum.
B.3.2.2.2 Harold B. Alberty
Dalam bukunya “Reorganizing the High-School Curriculum”, Alberty (1965) (dalam
Nasution, 1988) memandang kurikulum sebagai “all of the activities that are provided for the
students by the school”. Kurilum dimaksudkan sebagai segalaa kegiatan yang disajikan oleh
sekolah bagi para pelajar. Tidak diadakan pembatasan antara kegiatan di dalam kelas dan di
luar kelas. Definisi Alberty ini banyak kesamaan dengan yang diberikan oleh Saylor dan
Alexander. Dengan kegiatan-kegiatan itu, sekolah mengharapkan terjadi perubahan-
perubahan dalam kelakuan peserta didik yang sesuai dengan filsafat dan tujuan pendidikan.
B.3.2.2.3 B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores
Smith dkk., (dalam Nasution, 1988) memandang kurikulum sebagai “a sequence of
potential experiences set up in the school for the purpose of disciplining children and youth in group
ways of thingking and acting”. Smith dkk., mengartikan kurikulum sebagai sejumlah
pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak, yang diperlukan agar
mereka dapat berpikir dan berkelakuan sesuai dengan masyarakatnya. Dengan demikian
kurikulum dapat dipandang sebagai “actual learning experiences” yaitu pengalaman belajar
yang nyata, akan tetapi ada pula yang menganggap kurikulum sebagai “potential learning
experiences”, yaitu pengalaman belajar yang secara potensial mungkin dapat diperoleh anak.
B.3.2.2.4 William B. Ragan
Ragan (1966) dalam (Nasution, 2988) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut.
“The tendency in recent decades has been to use the term in a broader sense to refer to the whole
life and program of the school. The term is used… tio include all the experiences of children for
which the school accepts responsibility. It denotes the results of efforts on the part of the adults of
the community, state, and the nation to bring to the children the finest, most wholesome
influences that exist in the culture.”

Berdasarkan pengertiaan kurikulum yang ada, Ragan memahami penggunaan


kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam
sekolah. Kurilum dalam hal ini mengandung beberapa pemahaman sebagai berikut. 1).
Segala pengalamaan anak di bawah tanggungjawab sekolah. 2). Kurikum merupakan alat
atau instrumen untuk mempertemukan keunikan karakter, latar belakang kehidupan,
sehingga anak dapat merealisasikan bakatnya secara optimal dan di samping itu juga belajar
28

menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan taraf hidup dalam masyarakatnya. 3).


Dengan kurikulum dimaksud “the result of efforts…”, yaitu hasil usaha orang dewasa yang
nyata dalam bentuk kelakuaana anak. 4). Kurikulum itu tidak hanya meliputi bahan
pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik. Bahan itu baru merupakan kurikulum
sampai bahan pelajaran itu menjadi bagian dari pengalaman anak. 5). Hubungan antar-
manusia dalam kelas, metode mengajar, dan prosedur evaluasi merupakan bagian dari
kurikulum seperti halnya dengan bahan pelajaran itu sendiri. 6). Kurikulum membantu
anak memperkaya hidupnya dengan memperoleh pengetahuaan, ketrampilan, dan sikap
yang berguna.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan kurikulum bukanlah sekedar
menentukan mata pelajaran yang harus diberikan untuk menambah pengetahuannya atau
mengembangkan bakatnya, melainkan merupakan masalah memperbaiki dan
meningkatkan mutu kehidupan individu dan masyarakat.
B.3.3 Kurikulum 2013
Nasution (1988) menjelaskan dua macam kurikulum, yaitu kurikulum formal dan
kurikulum informal (hidden curriculum). Kurikulum 2013 adalah termasuk kurikulum formal
atau resmi karena direncanakan, terjadwal secara resmi, dan merupakan keputusan politik
pemerintah Repubik Indonesia. Kurikulum 2013 merupakan kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Kebijakan ini
didasarkan pada landasan yuridis yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23
tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (Kemendikbud, 2012:1).
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar
dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah
pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang
berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar
Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal
lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005). Standar Kompetensi
29

Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu


SKL SD, SMP, SMA, SMK. Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3
(tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen
proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan
memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan
yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup
adalah keluasan lingkungan minimal di mana kompetensi tersebut digunakan, dan
menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya
serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB) (Kemendikbud,
2012). Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan
pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat,
dan lingkungan tempat yang bersangkutan berinteraksi.
Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi
peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar tersebut
adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang
dinyatakan dalam SKL (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP
nomor 19 tahun 2005). Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang,
baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian
tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan
pada Standar Kompetensi Lulusan (Kemendikbud, 2012). Konten pendidikan dalam SKL
dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai
suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (imple- mentasi). Pada
dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten
kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan
kehidupan bangsa di masa mendatang. Pada dimensi rencana tertulis, konten kurikulum
tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil.
Pada setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi
30

dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung, mata pelajaran
menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi
proses suatu kurikulum (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum
menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang
mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman
guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta
didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran
dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan
menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang
dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh
karenanya pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur
dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian
kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik
(Kemendikbud, 2012). Ada delapan karakteristik kurikulum berbasis kompetensi. Pertama,
isi atau konten kurikulum adalah kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk Kompetensi
Inti (KI) mata pelajaran dan dirinci lebih lanjut ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kedua,
Kompetensi Inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi yang
harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, bidang mata pelajaran.
Ketiga, kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari peserta didik untuk
suatu mata pelajaran di kelas tertentu. Keempat, penekanan kompetensi ranah sikap,
keterampilan kognitif, keterampilan psikomotorik, dan pengetahuan untuk suatu satuan
pendidikan dan mata pelajaran ditandai oleh banyaknya KD suatu mata pelajaran. Untuk
SD, pengembangan sikap menjadi kepedulian utama kurikulum. Kelima, Kompetensi Inti
menjadi unsur organisatoris kompetensi bukan konsep, generalisasi, topik atau sesuatu yang
berasal dari pendekatan disciplinary–based curriculum atau content-based curriculum. Keenam,
31

Kompetensi Dasar yang dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling


memperkuat dan memperkaya antar mata pelajaran. Ketujuh, proses pembelajaran
didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada tingkat yang memuaskan dengan
memperhatikan karakteristik konten kompetensi di mana pengetahuan adalah konten yang
bersifat tuntas (mastery). Keterampilan kognitif dan psikomotorik adalah kemampuan
penguasaan konten yang dapat dilatihkan. Adapun sikap adalah kemampuan penguasaan
konten yang lebih sulit dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan yang tidak
langsung. Kedelapan, penilaian hasil belajar mencakup seluruh aspek kompetensi, bersifat
formatif dan hasilnya segera diikuti dengan pembelajaran remedial untuk memastikan
penguasaan kompetensi pada tingkat memuaskan (Kriteria Ketuntasan Minimal/KKM
dapat dijadikan tingkat memuaskan) (Kemendikbud, 2012).

B.4 HUBUNGAN FILSAFAT, PENDIDIKAN, DAN KURIKULUM


B.4.1 Hubungan Filsafat dan Pendidikan
B.4.1.1 Konsep Umum
Dalam konteks pendidikan, pendidikan lahir dari spekulasi atau tesis filsafat atas
hidup manusia yang telah mengalami berbagai perenungan dan analisis atau mengalami
antitesis dan sintesis berulang-ulang sehingga kemudian diterima sebagai kebenaran dan
melahirkan suatu premis bahwa pendidikan diyakini dapat membawa manusia menjadi
baik. Filsafat dan pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibawa. Sekolah
merupakan lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah
yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-
ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Dengan adanya pendidikan anak
mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai, individu yang
bagaimanakah yang harus dihasilkan dengan usaha pendidikan. Filsafat dan pendidikan
menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan tersebut. Filsafat dan pendidikan
memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan. Segala usaha tidak terpisah-
pisah, melainkan saling berhubungan, sehingga terdapat suatu kontinuitas dalam
perkembangan dan kemajuan anak. Pendidikan memungkinkan sipendidik menilai
32

usahanya. Hingga manakah tujuan itu telah tercapai? Filsafat memberikan motivasi atau
dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan.
B.4.1.2 Konsep Khusus
Berkaitan dengan konsep khusus hubungan filsafat dan pendidikan, Brauner dan
Burns (Problem in Education Philosophy) menegaskan bahwa filsafat dan pendidikan tidak
dapat dipisahkan, karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan
sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan. Sejauhmana kebijaksanaan ditemukan dalam
proses pendidikan, dijelaskan berikut ini
1. Metafisik Pendidikan
Sepintas jika diamati tentang masyarakat historis atau kontemporer akan terungkap
dampak aspek kosmologis, teologis, antropologis, dan ontologis metafisika terhadap
keyakinan dan praktik sosial, politik, ekonomi dan keyakinan masyarakat. Pendidikan,
seperti aktivitas manusia lainnya, tidak bisa beroperasi di luar ranah metafisika. Selain itu
kajian metafisika tentang realitas tertinggi, sangat penting bagi konsep pendidikan apapun,
karena ini penting bagi program pendidikan sekolah (atau keluarga atau agama) didasarkan
pada fakta dan kenyataan daripada mimpi, ilusi, kesalahan, atau imajinasi.
Metafisika/ontologi dalam hal ini merupakan analisis tentang objek materi dari
pendidikan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa
yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti dalam pendidikan. Metafisika
merupakan kajian tentang realitas ultim, di mana konsep apa pun dari pendidikan yang
dipraktikkan manusia harus disandarkan pada fakta dan realitas, agar terlepas dari beragam
ilusi dan angan-angan kosong. Sebuah keyakinan metafisis yang berbeda membawa pada
pendekatan dan sistem yang berbeda terkait dengan pendidikan. Bahkan keyakinan-
keyakinan metafisis sangat mempengaruhi secara langsung terhadap isu-isu pendidikan,
misalnya: isi terpenting dari kurikulum, sistem pendidikan apa yang harus diupayakan bagi
individu dan masyarakat, peran guru, relasi pendidik dan anak didik, dan lain sebagainya.
Dasar metafisik/ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan yaitu bagian yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan metafisik/ontologi dengan
pendidikan menempati posisi landasan yang mendasar dari fondasi pendidikan.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa filsafat dan pendidikan merupakan
kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga dalam
33

hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan pendidikan merupakan hasil pikiran manusia
secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat dan pendidikan menunjukkan
suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan
manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan menggunakan metode-
metode atau prosedur-prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
2. Epistemologi Pendidikan
Epistemologi adalah mendalami pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran
fakta atau kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang
dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan pendidikan yaitu mengembangkan ilmu secara
produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum
mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu, karena di dalam pengertian filsafat mengandung
empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah.
Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh
indera. Jawaban atas pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran).
Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atas
pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana
menanyakan tentang apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Jawaban yang diperoleh menghadirkan tiga jenis pengetahuan, yaitu: pertama,
pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang
selanjutnya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan
yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum)
sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan.
Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan
normatif. Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu
34

hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya
dapat dimengerti oleh akal.
3. Aksiologi Pendidikan
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari pendidikan,
menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Dasar aksiologis
pendidikan mengacu pada kemanfaatan teori pendidikan sebagai ilmu yang otonom dan
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang baik bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Dikatakan demikian, karena era kontemporer kini
merupakan era yang dililiti kebingungan besar yang terus bergejolak. Perang dan konflik
terus berlangsung tanpa henti, terorisme, kehancuran, pembakaran, penculikan,
pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, alkohol, percabulan, keretakan keluarga,
ketidakadilan, korupsi, penindasan, konspirasi, dan fitnah, yang terjadi di seluruh dunia.
Pada pusaran kekacauan ini, aset manusia yang paling berharga sekarang hampir
dilenyapkan. Hal ini mengakibatkan hilangnya martabat manusia pribadi, hilangnya tradisi
yang dihormati, hilangnya martabat kehidupan, hilangnya saling percaya antara orang-
orang, hilangnya otoritas orang tua dan guru.
Dalam pendidikan, konteks ini memainkan peran penting untuk penanaman nilai,
seperti; kebenaran, keindahan dan kebaikan. Inilah sebabnya mengapa aksiologi
membutuhkan dimensi pendidikan yang merupakan komponen dari dimensi ini?
Pertama, aksiologi, yang memproyeksikan sistem nilai, mengusulkan tujuan
pendidikan di bawah bentuk tujuan aksiologis dan cita-cita.
Kedua, aksiologi terdiri dari nilai-nilai kemanusiaan atau universal dan spesifik untuk
masyarakat umum untuk membentuk kepribadiannya. Karena itu porsi pendidikan adalah
mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai yang menjamin identitas budaya
masyarakat manusia.
Ketiga, keberadaan nilai membutuhkan pengetahuan dan pengalaman, karena itu
dalam proses pendidikan dibutuhkan penekanan yang kuat pada aspek kognitif dan
emosional. Dengan demikian, aksiologi merupakan cakrawala dari manifestasi
kreativitas manusia, sedangkan pendidikan mempunyai fungsi-fungsi fundamental yang
menumbuhkan daya kreatif individu dan komunitas manusia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber daya fundamental bagi pembangunan
35

sosial di masa depan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tanpa pendidikan, aksiologi
akan kehilangan kekuatan hidup, dan tanpa cahaya aksiologi, pendidikan akan meraba-raba
dalam kegelapan untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kehidupan.
Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, (dalam Ping, 1999)
menjelaskan pbahwa berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat
adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik,
sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam
kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang
dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing
rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita
tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-
ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan
pendidikan. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar agar ide-ide tersebut menjadi
kenyataan dalam bentuk tindakan membentuk tingkah laku/kepribadian.
B.4.2 Hubungan Filsafat dan Kurikulum
Kurikulum adalah bagian dari ilmu pendidikan, sedangkan filsafat adalah induk dari
ilmu pengetahuan (mother of science). Agar kurikulum 2013 yang merupakan bagian dari
disiplin ilmu pendidikan bisa dipahami secara lebih mendalam dan dapat menghasilkan
kebijakan (wisdom) maka perlu dikaji dalam kajian filsafat.
B.4.2.1 Kurikulum dalam Perspektif Filsafat
Diskursus kurikulum dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat umum antara lain
idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Beberapa aliran-aliran filsafat
tersebut menjadi akar dari beberapa aliran filsafat pendidikan seperti perenialisme,
esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme. Berbagai ragam filsafat tersebut
memiliki perbedaan pandangan pada aspek realitas (ontologi), pengetahuan (epistemologi),
nilai (aksiologi), peran guru, tekanan pembelajaran, dan tekanan kurikulum (Ornstein dan
Hunkins, 2004: 37).
a. Pandangan Filsafat idealisme
1). Secara ontologi: mendalami adanya realitas spiritual, moral, dan mental yang tidak
berubah.
36

2). Secara epistemologis, aliran ini memikirkan ulang ide yang terpendam.
3). Peran guru adalah membawa pengetahuan dan ide yang terpendam; pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna.
4). Penekanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan
klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata pelajaran; filsafat, teologi dan
matematika adalah yang paling penting dibandingkan dengan mata pelajaran atau
bidang studi lain
b. Pandangan Filsafat realisme
1). Secara ontologis: menegaskan bahwa realitas tunduk pada hukum alam, bersifat
objektif dan tersusun dari bendabenda.
2). Secara epistemologis, pengetahuan diperoleh melalui sensasi dan abstraksi.
3). Secara aksiologis, nilai bersifat absolut dan abadi berdasarkan hukum alam.
4). Peran guru sebagai penanam pemikiran rasional, pemimpin moral dan spiritual, dan
menjadi sumber otoritas. Pengajaran ditekankan pada melatih berpikir. Pemikiran
logis dan abstrak adalah bentuk yang paling tinggi.
5). Penekaanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran; seni dan
sains; hirarkhi mata pelajaran; mata pelajaran humanistik dan ilmiah.
c. Pandangan Filsafat Pragmatisme
1). memiliki pandangan ontologis bahwa realitas itu berupa interaksi individu dengan
lingkungan. Realitas itu selalu mengalami perubahan.
2). Secara epistemologis, aliran ini berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah.
3). Secara aksiologis, pragmatisme berpandangan bahwa nilai bersifat situasional dan
relatif.
Nilai menjadi subjek yang berubah dan mengalami verifikasi.
4). Peran guru menurut pragmatisme adalah menanamkan pemikiran kritis dan
mengajari proses ilmiah. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode
yang berkaitan dengan mengubah lingkungan. Dalam pembelajaran juga perlu ada
penjelasan ilmiah. Menurut aliran filsafat pragmatisme, di dalam kurikulum tidak
ada pengetahuan dan mata pelajaran yang permanen.
37

5). Penekanan kurikulum adalah memfasilitasi terjadinya pengalaman sebagai wahana


trasmisi kebudayaan dan menyiapkan perubahan individu. Pada kurikulum ada
topik pemecahan masalah (Ornstein dan Hunkins, 2004: 37).
d. Pandangan Filsafat eksistensialisme
1). Memiliki pandangan ontologis bahwa realitas bersifat subjektif.
2). Secara epistemologis, filsafat eksistensialisme berpendapat bahwa pengetahuan itu
bersifat pilihan individu.
3). Secara aksiologis, aliran filsafat ini berpendapat bahwa nilai itu dapat dipilih secara
bebas karena nilai itu berdasarkan persepsi individu.
4). Peran guru adalah untuk menanamkan pilihan-pilihan pribadi, dan pendefinisian
individu secara pribadi. Aliran filsafat ini merekomendasikan pembelajaran
pengetahuan dan prinsip-prinsip kondisi manusia. Siswa diajari sebagai pembuat
pilihan.
5). Penekanan kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang bersifat pilihan,
mengandung aspek emosi, seni, dan filsafat sebagai subjek (Ornstein dan Hunkins,
2004).
B.4.2.2 Kurikulum dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan yang mendasari bentuk kurikulum antara lain filsafat
pendidikan perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme. Keempat
aliran filsafat ini memiliki perbedaan pada aspek basis filsafat, tujuan pendidikan,
pengetahuan, peran pendidikan, fokus kurikulum, dan tren kurikulum yang terkait.
a. Filsafat pendidikan perenialisme berdasarkan filsafat realisme.
1) Tujuan pendidikan aliran ini adalah untuk mendidik orang yang rasional dan untuk
menanamkan intelektualitas.
2) Pengetahuan difokuskan pada warisan pengetahuan lampau, studi permanen, dan
pengetahuan abadi.
3) Guru membantu siswa untuk berpikir secara rasional dengan menggunakan metode
sokrates, penyampaian secara lisan, pengajaran nilai-nilai tradisional secara eksplisit.
4) Penekanan kurikulum adalah mata pelajaran klasik, analisis literal, dan kurikulum
nkonstan. Tren yang berhubungan dengan kurikulum adalah karyakarya besar,
proposal Paideia, matakuliah dasar umum.
38

b. Filsafat pendidikan esensialisme didasarkan pada filsafat idealism dan realisme.


1) Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong perkembangan intelektual individu,
dan untuk mendidik orang yang cakap.
2) Pengetahuan menurut aliran ini adalah keterampilan esensial dan subjek akademik,
penguasaan konsep dan prinsip-prinsip mata pelajaran.
3) Guru memiliki otoritas pada bidang studi yang ditekuninya, dan pengajaran eksplisit
nilai-nilai tradisional.
4) Penekanan kurikulum pada keterampilan mendasar, mata pelajaran esensial antara
lain Bahasa Inggris, sains, sejarah, matematika, dan bahasa asing. Tren kurikulum
yang terkait antara lain kembali kepada dasar, literasi budaya, dan keunggulan
dalam pendidikan.
c. Filsafat pendidikan progresivisme didasarkan pada filsafat pragmatisme.
1) Tujuan pendidikan adalah untuk mempromosikan kehidupan sosial yang
demokratis.
2) Pengetahuan mendorong pertumbuhan dan perkembangan, proses pembelajaran
secara langsung, fokus pada pembelajaran aktif yang relevan.
3) Guru bertugas membimbing pemecahan masalah dan penelitian ilmiah.
4) Fokus kurikulum, berdasarkan ketertarikan siswa, melibatkan penerapan hubungan
dan masalah manusia, mata pelajaran interdisipliner, aktivitas, dan proyek. Tren
kurikulum yang terkait adalah kurikulum yang relevan, pendidikan humanistik, dan
reformasi sekolah secara radikal
d. Filsafat pendidikan rekonstruksionisme berdasarkan filsafat pragmatisme.
1) Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan dan merekonstruksi masyarakat.
Pendidikan adalah untuk perubahan dan reformasi sosial.
2) Pada aspek pengetahuan, keterampilan dan mata pelajaran dibutuhkan untuk
mengidentifikasi dan untuk memecahkan masalah masyarakat. Belajar itu
dilaksanakan secara aktif dan peduli terhadap masyarakat pada masa kini dan pada
masa depan. Peran pendidikan, guru berfungsi sebagai agen perubahan dan
reformasi sosial.
3) Guru berperan sebagai direktur proyek, pemimpin penelitian, dan membantu siswa
memahami dan menyadari masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
39

4) Fokus kurikulum pada ilmu social dan metode riset sosial; ujian terhadap problem
sosial, ekonomi, dan politik; fokus pada tren dan isu sekarang dan yang akan datang,
pada sekala nasional dan internasional. Tren kurikulum yang terkait adalah
pendidikan internasional, rekonseptualisasi, dan kesetaraan kesempatan pendidikan
B.4.2.3 Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Secara eksplisit dikatakan bahwa Kurikulum 2013 tidak mengikuti satu aliran
filsafat pendidikan, baik aliran filsafat perenialisme, esensialisme, progresivisme, maupun
rekonstruksionisme, namun mengikuti aliran-aliran filsafat tersebut secara eklektik
(Kemendikbud, 2013). Dengan kata lain, landasan filosofis yang digunakan oleh Kurikulum
2013 diambil dari berbagai aliran filsafat pendidikan. Hemat penulis kurikulum 2013
bercorak filsafat aliran perenialisme, idealisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
a. Kurikulum 2013 dan filsafat idealisme
1). Pandangan ontologis bahwa realitas spiritual, moral, dan mental itu bersifat stabil
dan tidak berubah, tinggal mengukuti ajaran yang otoritatif (Ornstein dan Hunkins,
2004). Realitas spiritual, moral dan mental bersifat ideal didasarkan pada berbagai
sumber sebagai berikut. Pertama, karya-karya besar berupa kitab suci agama seperti
al-Qur’an, Hadits dalam tradisi agama Islam; Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda,
dan Atharwa Weda dalam tradisi agama Hindu; Tripitaka dalam tradisi agama
Buddha; Taurat dalam tradisi agama Yahudi; Injil (Bible) Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dalam tradisi agama Kristen Katolik dan Protestan. Kedua, ajaran
para nabi, rasul, dan pembawa ajaran agama ketika agama pada tahap formasi dan
konsolidasi pada awal berdirinya suatu agama seperti: Nabi Muhammad SAW
dalam agama Islam, Jesus dalam agama Katolik dan Protestan, Buddha Gaotama
dalam agama Buddha, dan Musa dalam agama Yahudi. Ketiga, karya-karya dan
kontribusi para pemuka agama yang otoritatif yang pernah hidup atau dekat dengan
para nabi.
b). Secara epistemologis aliran ini memikirkan ulang ide yang terpendam.
c). Peran guru adalah membawa pengetahuan dan ide yang terpendam; pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna.
d). Penekanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan
klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata pelajaran; filsafat, teologi dan
40

matematika adalah yang paling penting dibandingkan dengan mata pelajaran atau
bidang studi lain (Ornstein dan Hunkins, 2004).
e). Secara epistemologis, Kurikulum 2013 memikirkan ulang ide yang terpendam yang
telah menjadi khazanah intelektual. Ide terpendam itu adalah karya-karya besar
dalam berbagai disiplin ilmu (science) pengetahuan (knowledge) dalam berbagai bidang
antara lain; Pertama, bidang ilmu pengetahuan alam (natural science) seperti: fisika,
biologi, kimia, geologi, astronomi, dan kedokteran. Kedua, bidang ilmu
pengetahuan sosial (social science) seperti: ilmu pendidikan (paedagogy), sosiologi,
antropologi, hukum, psikologi, ilmu politik, ekonomi. Ketiga, dalam bidang
humaniora yang terdiri dari: filsafat, matematika, teologi, dan seni. Secara
epistemologi, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial merupakan
bangunan ilmu yang tersusun dari data, fakta, konsep, preposisi, aksioma, hipotesis,
dan teori.
Secara epistemologis, ilmu humaniora seperti: filsafat, matematika, teologi, dan
seni tidak disusun dengan menggunakan cara penelitian ilmiah seperti yang dilakukan
dalam tradisi ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Filsafat, matematika,
dan teologi disusun dengan pendekatan rasional, melalui pemikiran mendalam sehingga
menghasilkan kebenaran yang dapat diterima secara logis.
Berdasarakan alasan inilah, dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 kedaulatan guru,
dalam satuan pendidikan seperti sekolah dikurangi kewenangan dan partisipasinya dalam
mengkreasi dan mengembangkan kurikulum. Kurikulum 2013 ditentukan oleh pemerintah
pusat, sekolah tinggal melaksanakannya. Materi mata pelajaran sudah menjadi produk jadi
yang dirumuskan oleh para ahli. Tugas guru tinggal menyampaikan mata pelajaran yang
sudah jadi tersebut tanpa mengubahnya sedikitpun. Menurut Kurikulum 2013, pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna. Penekanan kurikulum didasarkan pada
pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata
pelajaran; filsafat, teologi, dan matematika adalah yang paling penting dibandingkan
dengan mata pelajaran atau bidang studi lain.
b. Kurikulum 2013 dan filsafat perenialisme
1). Filsafat perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada
abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
41

progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan


perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini
penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan teruji.
2). tujuan pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran adalah untuk memproses peserta
didik menjadi orang yang rasional dan memiliki kapasitas intelektual yang memadai.
3). Pengetahuan yang menjadi muatan proses pendidikan dan pembelajaran adalah
pengetahuan warisan dari generasi terdahulu, studi yang permanen dan pengetahuan
yang selalu relevan pada segala zaman.
4). Secara metodologis, ragam metode yang dapat digunakan dalam penyampaian
materi pelajaran antara lain: menggunakan metode Sokrates, guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran; melalui ceramah lisan, guru sebagai tutor atau narasumber
dalam pembelajaran; pengajaran nilai tradisional secara eksplisit, guru menjadi
model atau suri teladan dalam pembelajaran.
5). Kurikulum 2013 bertujuan mendidik para siswa untuk dapat berpikir secara
rasional, dan memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Ukuran intelektualitas
diukur dari kemampuan para siswa untuk menghafal berbagai materi keilmuan dari
berbagai cabang, baik bidang ilmu pengetahuan alam (natural science), ilmu
pengetahuan sosial (social science), dan ilmu humaniora.
6). Dalam Kurikulum 2013, guru bertugas membantu para siswa agar mereka dapat
berpikir secara rasional dengan menggunakan metode Sokrates. Guru bertindak
sebagai fasilitator yang mengasah kecerdasan murid. Ketika menggunakan metode
Sokrates, guru dituntut untuk memiliki keterampilan sebagai fasilitator yang baik;
dia harus memiliki kemampuan mendengar, menggarisbawahi, menyajikan
alternatif, dan membiarkan para siswa membuat pilihan sikap ilmiah atas kebenaran
yang diyakininya. Guru memberi kesempatan para siswa aktif mengkonstruk
pengalaman belajarnya sendiri, baik pada aspek pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap. Guru sebagai orang yang dianggap memiliki kualifikasi akademik, ilmiah
42

menyampaikan materi tentang pengetahuan yang permanen dan abadi meliputi:


ilmu-ilmu sosial (social sciences) seperti sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, ilmu
sejarah; ilmu-ilmu alam (natural science) seperti ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu kimia;
ilmu-ilmu humaniora seperti teologi dan matematika.
7). Menurut filsafat pendidikan perenialisme, dalam Kurikulum 2013 juga digunakan
metode pembelajaran secara expositori. Materi pelajaran disampaikan dengan
menggunakan metode ceramah. Guru berceramah menyampaikan materi pelajaran,
sedangkan siswa dengan seksama mendengarkan ceramah dari guru.
Fokus Kurikulum 2013 menurut filsafat pendidikan perenialisme adalah mata
pelajaran klasik, analisis literal, dan kurikulum konstan. Mata pelajaran klasik seperti
sejarah, tradisi agama, tradisi budaya, sastra, filsafat, seni, karya ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu humaniora yang telah tercantum dalam great book, seperti ensiklopedia.

c. Kurikulum 2013 dan filsafat esensialisme


Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya
dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka
berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan
moral di antara kaum muda. Menurut filsafat pendidikan esensialisme, dalam Kurikulum
2013, guru dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas keimuan pada bidang studi yang
diajarkan. Guru dianggap sebagai orang yang telah menjalani proses pendidikan yang
panjang sebelum dia menduduki jabatan guru. Guru memiliki berbagai kemampuan atau
kompetensi dalam pembawaan diri, komunikasi sosial, keterampilan mengajar, dan
43

penguasaan materi bidang studi. Guru adalah ilmuan sekaligus guru pengajar. Guru
menjadi aparatus kebenaran ilmiah pada suatu bidang studi yang mengajarkannya sebagian
besar secara ekspositori atau penyampaian secara langsung. Sebagai aparatus kebenaran
ilmiah, guru diperkenankan menegakkan disiplin keilmuan dengan cara memberikan
hadiah (reward) bagi siswa yang mendukung atau sejalan dengan kebenaran Ilmiah, dan
disiplin dalam belajar. Guru juga diberi hak untuk menghukum (punishment) terhadap
siswa yang menyalahi kebenaran ilmiah dan tidak disiplin dalam belajar. Berdasarkan
filsafat pendidikan esensialisme, dalam Kurikulum 2013, guru juga mengajarkan cara
hidup, dan tradisional yang hidup di dalam masyarakat yang mencakup aspek nilai,
perilaku, dan sikap. Hal ini mencakup ajaran agama dan ajaran budaya yang hidup di
masyarakat.

c. Kurikulum 2013 dan filsafat Progresivisme


Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak
benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan
pada guru atau bidang muatan. Progresivisme sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-
kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran
yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
44

pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
berfikir secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis,
pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme juga merupakan
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
1. Fleksibel ( Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin
tertentu )
2. Curious ( Ingin mengetahui, ingin menyelidiki )
3. Toleran dan open-minded ( Mempunyai hati terbuka )

d. Kurikulum 2013 dan filsafat rekonstruksionisme


Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia
merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali
daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang dan generasi
yang akan dating, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Aliran ini memersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia
yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh
golongan tertentu. Sila-sila demokrasi mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan
suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
45

Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita


untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman
atau subordinat dari kedaulatan dan otoritas internasional

B.5 PENUTUP
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk
masalah-masalah pendidikan yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas,
filsafat pendidikan hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan
pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisika yang membahas segala dalam alam
ini, epistemologi yang membahas kebenaran, akseologi yang membahas nilai. Aliran-aliran
filsafat yang kita kenal bertolak belakang dari pandangan yang berbeda kedalam tiga hal ini.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri.
Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat
cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun
demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai
terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta
didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran,
posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan
46

lingkungan alam di sekitarnya. Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme


merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-
Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model
Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan
dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar
bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas
yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.

DAFTAR RUJUKAN
A. Kamus dan Ensiklopedi
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Depdiknas 2006. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gramedia

B. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah


Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
C. Buku-Buku
Brennen M., Annick.1999. Philosophy of Education. Jamaica: Northern Caribbean University
Gandhi, W., Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media
Jalaluddin & Idi Abdullah. 2013. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Nasution, S. 1988. Asas-Asas Kurikulum. Bandung. Jemmars Bandung
Ornstein, C., Allan dan Levine U. Daniel. 2008. Foundations of Education. New York
Houghton Mifflin Company
Pring, Richard. 2005. Philosophy of Education. New York: Continuum
47

Raley, Yvonne and Preyer, Gerhard. 2010. Philosophy of Education in the Era of Globalization.
New York: Routledge 270 Madison Ave
Rosenberg, Alex.2005. Philosophy of Science. New York: Routledge 270 Madison Ave
Salmon H., Merrilee, dkk., 1992. Introduction To The Philosophy Of Science. Cambridge:
Prentice-Hall, Inc.

Anda mungkin juga menyukai