Anda di halaman 1dari 9

TERMS OF REFERENCE

Mentoring “Realita Pendidikan dan Pendidikan yang Berkebudayaan”


Oleh: Bidang Materi dan Metode KAT 2021

I. Pendahuluan
Berikut adalah diagram alir yang menggambarkan bagaimana alur materi yang ingin
disampaikan dalam KAT secara keseluruhan. Diagram alir ini juga merupakan deskripsi
keterkaitan antarmateri. Realita pendidikan dan pendidikan yang berkebudayaan merupakan
materi pertama dalam alur ini. Alur materi secara keseluruhan disarankan untuk disampaikan
oleh mentor supaya peserta dapat lebih memahami proses belajarnya selama KAT.

Keterangan
1. Diagram alir
Kuning = kesadaran diri
Hijau = kesadaran diri sebagai bagian dari lingkungan (part of)
Biru = kesadaran diri sebagai bagian di dalam lingkungan (within)

2. Deskripsi alur materi


Mula-mula, diberikan pemahaman tentang realita pendidikan di Indonesia yang dekat
dengan diri mereka sebagai trigger agar mereka dapat lebih berempati dan paham.
Kemudian, diberikan juga pemahaman tentang esensi pendidikan yang sesungguhnya, arti
budaya, serta esensi pendidikan yang berkebudayaan. Akan ditekankan bahwa pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari budaya—termasuk dari lingkungan sekitarnya, dan pendidikan
sendiri merupakan proses pembudayaan.

II. Tujuan Materi


1. Peserta Diklat Terpusat memahami realita pendidikan yang ada di Indonesia.
2. Peserta Diklat Terpusat memahami signifikansi latar belakang terhadap masa depan.
3. Peserta Diklat Terpusat memahami esensi pendidikan.
4. Peserta Diklat Terpusat memahami budaya dan miskonsepsinya.
5. Peserta Diklat Terpusat memahami pendidikan yang berkebudayaan atau kontekstual.

III. Alokasi Waktu


Platform : Google Meet
Hari/tanggal :
Pukul :
Durasi : 60 Menit
Detail durasi :
1. Diskusi awal dan review tentang materi prasyarat (tentatif) : 15 menit
2. Mentoring (banyak dalam bentuk diskusi) : 45 menit
3. Mentoring (penarikan konklusi dan penutupan) : 10 menit.
Pemateri : Mentor Diklat Terpusat KAT ITB 2021
Peserta : Peserta Diklat Terpusat KAT ITB 2021

IV. Alur Materi


Keterangan alur:
- Materi prasyarat diberikan sebelum hari mentoring kepada mentee. Materi yang
diberikan akan dijelaskan pada bagian rincian materi
- Diadakan talk show tentang pendidikan yang berkebudayaan yang dibawakan oleh tim
dari Sokola. Sokola adalah organisasi nirlaba yang dibuat untuk memberdayakan
masyarakat adat dan orang rimba dengan pendidikan yang kontekstual1. Bagi mentor
yang belum tahu mengenai Sokola, dapat melihat profil Sokola di link berikut
https://www.sokola.org/. Mentor disarankan memperkenalkan Sokola dan kepada
menteenya sehari sebelum mentoring.
- Mentoring dimulai dengan mengulas kembali apa yang telah dipahami setelah membaca
dan menonton materi prasyarat, mentor diharapkan dapat membangun diskusi dengan
baik dengan menanyakan pendapat mentee mengenai materi prasyarat.
- Diskusi berlanjut ke pembahasan mengenai realita pendidikan di Indonesia. Mentor
diharapkan dapat menanyakan bagaimana pendapat atau perasaan mentee setelah
menonton talk show sebelumnya, diharapkan dapat muncul ruang diskusi yang saling
menginspirasi.
- Diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang pendidikan yang berkebudayaan dan
budaya serta miskonsepsinya.
- Mentor dapat mengajak mentee untuk menarik kesimpulan atas materi yang
disampaikan selama hari ini.

V. Rincian Materi
1. Materi prasyarat
Video
a. Kenapa pendidikan Indonesia belum maju?
https://www.youtube.com/watch?v=CmcjO4SWrgQ&ab_channel=KokBisa%3F
Sistem Pendidikan massal yang menyeragamkan murid dan masalah kualitas pendidikan
yang buruk dari segi pengajar dan kurikulum. Penyadaran pentingnya peran peserta didik
terhadap kemajuan kualitas Pendidikan Indonesia.
b. Inequality
https://youtu.be/a0wHffQi4xo
1
kontekstual = berhubungan dengan konteks. yang dimaksud konteks adalah bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mengandung atau menambah kejelasan makna. kontekstual dapat diartikan sebagai
sesuai pada tempat yang seharusnya.
Menyadarkan bagaimana latar belakang dan privilege akan sangat mempengaruhi masa
depan anak. Kesuksesan bukan masalah seberapa besar usaha yang diberikan saja. Video
ini diharapkan dapat meluruskan miskonsepsi mengenai masalah struktural seperti
pendidikan dan kemiskinan. Karena kemiskinan merupakan sebuah trap yang berbentuk
siklus.
c. Aspiring middle class
https://youtu.be/_kID5hv68zw
Menyadarkan bagaimana problem kelas yang dipengaruhi sistem ekonomi yang buruk
dapat menghambat perkembangan individunya. Masih ada agenda anak muda untuk
memberi ruang bagi aspiring middle class (kelas menengah ke bawah) supaya dapat
hidup lebih baik.
d. Underprivileged millennials
https://youtu.be/s7kOgZfWWKA
Membuka mata bahwa realitanya mayoritas millennials adalah orang yang
underprivileged. Orang-orang yang underprivileged bukannya tidak ingin berkembang
dan belajar lebih, namun pengaruh latar belakang akan sangat besar terhadap harapan,
mimpi, tujuan hidup, dan bagaimana cara mereka berpikir.

Artikel
e. Masyarakat adat
https://projectmultatuli.org/project-multatuli-dan-masyarakat-adat-suara-dari-penjaga-t
erakhir-bumi/
Penyadaran tentang masyarakat adat yang sesungguhnya. Prasyarat ini diharapkan dapat
meluruskan miskonsepsi mengenai cara pandang manusia modern terhadap masyarakat
adat serta bagaimana peran mereka dalam menjaga keselarasan alam dan kebudayaan
Indonesia sebagai identitas. Sekaligus narasi awal pentingnya nilai inklusif dalam
kebhinnekaan.
f. Komik strip
https://digitalsynopsis.com/inspiration/privileged-kids-on-a-plate-pencilsword-toby-mor
ris/
2. Pembahasan Materi Prasyarat
Melihat gambar-gambar yang ada di slide, apa yang terlintas di pikiran teman-teman?
Setelah membaca dan menonton materi prasyarat kemarin adakah yang ingin berpendapat?
Melihat realita sesungguhnya mengenai keadaan pendidikan dan ekonomi, serta bagaimana
keduanya saling mempengaruhi seharusnya membuat kita lebih sadar bahwa masalah
kemiskinan dan gap kelas bukanlah masalah yang solusinya sesederhana “usaha keras”
permasalahan ini merupakan masalah struktural (masalah berskala besar yang terjadi sejak
lama dalam sistem). Keadaan ekonomi seperti sekarang menciptakan ketidakadilan atau
inequality dalam meraih pendidikan dan segala fasilitas, yang tidak berkesempatan
mendapat pendidikan yang baik akan sulit memperbaiki kualitas hidupnya. Seperti aspiring
middle class dan realita millenials yang harus bekerja keras dan tidak melanjutkan studinya.
Kita perlu sadar mengenai masalah-masalah ini, supaya ketika kita sudah terdidik nanti, kita
tahu apa yang harus kita lakukan, untuk diri, orang lain, atau Indonesia sebagai bangsa.
Kemudian untuk masalah masyarakat adat, apakah artikel yang kalian baca kemarin
merupakan hal baru? Sadar ga, sih banyak dari kita yang terlalu terfokus kepada kehidupan
modern sehingga lupa bahwa masyarakat adat juga merupakan bagian dari Indonesia. Banyak
dari kita yang menganggap mereka terbelakang, tidak ingin maju, dan primitif. Padahal,
masyarakat adat lah orang-orang yang mempertahankan nilai budaya dan menjaga alam
Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia seharusnya kita punya nilai inklusif2, nilai
ini adalah bekal untuk mewujudkan kebhinnekaan yang sesungguhnya.

3. Pembahasan Talk show


Mentor bisa menanyakan bagaimana perasaan peserta setelah mendengar dan menonton
talk show, setelah sudah terjawab, mentor bisa tanya kenapa peserta merasa begitu.
Kemudian, dilanjut dengan pertanyaan “apa saja yang berubah dari pemikiran kalian setelah
dengar materi itu?”. Misalnya, dulu dia gatau kalo masyarakat adat ternyata sekolah juga, dan
seharusnya masyarakat adat tidak dipaksa menyesuaikan modernisasi, dll. Jika ada peserta
yang merasa tersadarkan, sedang lainnya merasa bingung, minta peserta yang merasa
tersadarkan untuk menjelaskan pemahaman yang ia dapat supaya dapat menginspirasi
temannya. Mentor dapat meluruskan beberapa miskonsepsi jika ada.

2
inklusif/in·klu·sif/ a termasuk; terhitung: maksud dari nilai inklusif dalam konteks ini adalah
mengikutsertakan masyarakat adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Nilai inklusif sering tidak
disadari dan dipahami sebagai sesuatu yang penting sehingga perlu disadarkan sebagai nilai yang penting
dalam mewujudkan kebhinnekaan.
4. Realita Pendidikan
a. Keadaan Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia masih sangat erat dengan sistem banking education. Menyuapi,
menyeragamkan, dan membatasi. Pelajaran yang diberikan diseragamkan, tidak sesuai
dengan minat dan bakat siswa. Jika diibaratkan, siswa diproses melalui pendidikan formal
supaya dapat fit-in untuk kebutuhan industri dan ekonomi. Seluruh kegiatan penyeragaman
ini bahkan membangun pemahaman mengenai pintar dan bodoh. Sudah menjadi common
sense bahwa kata pintar akan selalu merujuk kepada mereka yang mahir dalam sains,
sedangkan mereka yang minat dalam seni seringkali dianggap kurang pintar. Yang kurang
pandai dalam matematika dan sains dianggap bodoh dan kurang berguna, tidak dapat
dipungkiri bahwa beberapa orang tua melarang anaknya mengambil jurusan seni karena
dianggap sebagai pekerjaan yg tidak menjanjikan di masa depan. Padahal, kepintaran tidak
seharusnya berhubungan dengan bagaimana ia dapat menyesuaikan industri (pasar), karena
Pendidikan bukan pabrik yang memproduksi barang siap pakai bagi kebutuhan ekonomi.
b. Ekonomi
Ekonomi selalu menjadi penentu utama bagaimana baiknya hal-hal selain dia, termasuk
pendidikan. Pendidikan menyesuaikan keadaan ekonomi yang telah ada, dan itulah yang
selama ini dianggap baik dan sesuai. Murid didesain oleh sekolah supaya dapat memenuhi
kebutuhan pasar. Dapat dilihat dari bagaimana jargon revolusi industri sangat sering
disuarakan di sekolah-sekolah. Segala hal selain ekonomi harus menyesuaikan dan
mendukungnya. Bahkan, dalam kasus genting seperti pandemi, ekonomi masih menjadi
prioritas utama bagi manusia. Sudah saatnya kita merenung dan berpikir “Jika ekonomi
adalah sistem yang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia, mengapa orang-orang rela
mati demi ekonomi? Sebenarnya untuk siapa kita belajar? Untuk diri sendiri? Membahagiakan
orang tua? Atau memenuhi kebutuhan si yang berkuasa?” Sistem seperti ini mereduksi nilai
manusia menjadi objek, manusia diibaratkan menjadi sebuah sekrup dari mesin sistem
ekonomi yang bergerak untuk pemiliknya. Objektifikasi dalam pendidikan di Indonesia tidak
hanya dari sistem banking, namun bahkan keseluruhan dari proses dan output-nya adalah
kegiatan objektifikasi yang tidak memanusiakan manusia sebagaimana seharusnya.

5. Esensi dan Hakikat Pendidikan


Apakah hakikat pendidikan sesungguhnya? Dan apakah pendidikan kita sekarang telah
sesuai dengan sebagaimana seharusnya? Dalam arti paling mendasar, pendidikan
didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia, dalam artian manusia didudukkan
sebagai makhluk hidup yang dengan segala keunikan yang dimilikinya serta tidak
mereduksinya menjadi objek yang tidak memiliki diri. Memanusiakan manusia artinya
manusia ini menjadi dirinya sendiri dengan segala keunikan yang dimilikinya, bukan
tereduksi menjadi objek yang tidak memiliki diri atau nilai dirinya ditentukan oleh hal-hal
dari luar dirinya sendiri. Manusia seutuhnya adalah manusia yang merdeka batinnya,
merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Manusia dikatakan menjadi subjek jika secara
conscious turut dapat mengolah realitanya dan menyadari eksistensinya. Sehingga pada
akhirnya pendidikan memang adalah proses menjadikan manusia dari objek menjadi subjek.
Karena pendidikan bersifat memerdekakan sehingga membuat manusia dapat menjadi subjek
dan mengubah lingkungan di sekitarnya, pendidikan tidak boleh mencerabut manusia dari
lingkungan sekitarnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak mencerabut
seseorang dari akarnya dan menumbuhkannya di tempat lain yang sama sekali baru, tetapi
pendidikan yang menumbuhkan seseorang di lingkungannya, bersama
lingkungannya—pendidikan yang berkebudayaan, yang kontekstual. Seharusnya, dengan
pendidikan, kita dapat menyadari tentang apa-apa yang ada di sekitar kita, bukannya
mengarahkan kita menuju satu tujuan yang seragam.

6. Budaya dan Miskonsepsinya


Budaya adalah hasil pemikiran manusia yang menjadi cara hidupnya. Perlu diperhatikan
bahwa kebudayaan yang ada di sekitar bukanlah sesuatu yang saklek, yang given, tetapi
dapat kita ubah. Budaya bersifat dinamis. Hal ini jangan ditukarkan dengan pandangan yang
mengajarkan bahwa terdapat golongan tertentu yang dapat menentukan standar benar atau
salahnya suatu kebudayaan. Praktik ini mereduksi masyarakat yang memiliki kebudayaan
tersebut dan bertentangan dengan hakikat pendidikan yang seharusnya memanusiakan
manusia. Pendidikan yang berkebudayaan diharapkan dapat menyadarkan kita akan
bagaimana seharusnya kita memandang budaya, budaya bukan sebatas kesenian. Budaya
jauh lebih luas. Budaya dapat diposisikan sebagai 3T, yaitu tatanan, tontonan, dan tuntunan.
Jika selama ini pemahaman kita selalu melekatkan budaya terhadap tontonan, maka kita
belum melihat budaya sebagaimana seharusnya. Budaya merupakan cara hidup yang lekat
dengan manusia dan kompleksitasnya. Manusia yang melahirkan budaya, dan budaya juga
yang melahirkan manusia selanjutnya. Maka pendidikan seharusnya memberi penyadaran
bahwa apabila ada budaya yang tidak ideal, maka budaya tersebut seharusnya didobrak
supaya tidak melahirkan manusia-manusia selanjutnya dari budaya yang tidak ideal
tersebut. Misalnya, budaya patriarki. Budaya patriarki telah ada di Indonesia sejak lama,
orang-orang bahkan menganggap ini adalah praktik yang wajar, sampai ada dobrakan
bernama feminisme. Kemudian, masyarakat jadi sadar bahwa patriarki adalah budaya yang
salah dan tidak seharusnya dilanggengkan.

7. Kesimpulan:
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kebudayaan adalah hal yang begitu meluas dan
penting dalam hidup setiap manusianya. Manusia yang melahirkan budaya dan budaya akan
melahirkan manusia selanjutnya. Maka proses pendidikan adalah pembudayaan, pengajaran,
penyadaran, dan penurunan nilai budaya—ideal tidaknya budaya juga disadarkan melalui
pendidikan itu sendiri.
“Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan
adalah proses pembudayaan.” - Moh. Hatta
Pendidikan yang berkebudayaan juga merupakan pendidikan yang memanusiakan
manusia, menjadi jalan yang dapat membuat manusia yang terdidik sehingga mampu
merdeka secara batin, pikiran, dan tenaganya. Pendidikan yang berkebudayaan bersifat
kontekstual3—secara luar dan dalam. Dalam yaitu berlandaskan ke-diri-an atau
menyesuaikan bagaimana potensi dan nilai diri yang dimiliki. Luar diartikan sebagai
memperhatikan lingkungan dan berlandaskan kebudayaan. Lingkungan yang dimaksud juga
tidak sesempit lingkungan hidup, namun makna lingkungan secara meluas, segala selain diri,
termasuk realita kehidupan kita sekarang. Kebudayaan yang menjadi landasan tentunya juga
merupakan makna kebudayaan secara meluas, yaitu cara hidup manusia secara keseluruhan.

Maka, pendidikan yang berkebudayaan tidak akan mereduksi nilai manusia sebagai
objek karena berangkat dari masalah dan membawa nilai budaya yang melekat pada
manusia dan kompleksitas yang dimiliki. Konsep pendidikan yang berkebudayaan disini
disadarkan agar kita sama-sama conscious mengenai realita yang kita hidupi sekarang,
karena sadar adalah langkah awal menuju merdeka yang sesungguhnya.

VI. Catatan Tambahan untuk mentor


3
kontekstual = berhubungan dengan konteks. yang dimaksud konteks adalah bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mengandung atau menambah kejelasan makna. kontekstual dapat diartikan sebagai
sesuai pada tempat yang seharusnya.
1. Perlu ditekankan bahwa proses dan pilihan dalam berkontribusi nantinya itu juga tidak
ada yang benar dan salah. Misalnya, termotivasi dan memilih untuk belajar sehingga
dapat nilai terbaik dalam proses pendidikan formal. Jika hal itu dimaknai dengan bagian
dari proses untuk mencapai hal yang kontekstual, maka tidak ada salahnya. Malah
memiliki value lebih untuk kedepannya. Karena sekali lagi, pendidikan juga jalan yang
dapat menyadarkan bahwa manusia dapat memilih secara bebas dan merdeka atas
dirinya sendiri.
2. Kesadaran yang berusaha dibangun dimulai dari materi ini adalah kesadaran atas realita
(keadaan sekitar) kemudian baru dilanjutkan dengan kesadaran atas diri pada
materi-materi selanjutnya. Diharapkan dengan memahami realita dan diri, dapat
dipahami apa kontribusi yang kontekstual—dari dalam maupun luar. Kontekstual untuk
masalah yang ada dan kontekstual sesuai potensi dari dalam diri yang dimiliki.
3. Mentor membangun diskusi, mentor adalah fasilitator. Usahakan tidak mendikte atau
mengatur pendapat mentee, kumpulkan pendapat sebanyak-banyaknya dan jadilah
fasilitator diskusi yang baik. Bantu buat kesimpulan, tidak menyeragamkan kesimpulan.
Tujuan dari diskusi adalah memberi inspirasi satu sama lain, supaya mentee dan mentor
dapat melihat beberapa perspektif dalam memandang suatu masalah.
4. Perlu ditekankan bahwa kesimpulan yang diilhami masing-masing mentee tidak ada
yang salah, sehingga mentor tidak menjadi guru, namun hanya fasilitator yang
sama-sama belajar.

VII. Keterangan
Bold : poin penting (dalam rincian materi, tidak termasuk judul)
Merah italic : sesuatu yang dilakukan oleh pendiklat mentor untuk menunjang
keberjalanan sesi penyampaian materi.
Stabilo kuning : reasoning materi

Penilaian: Pemberian studi kasus pada ujian akhir

Anda mungkin juga menyukai