Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tutut


Keong air tawar yang sering disebut tutut sangat umum dikenal oleh
masyarakat dan menyebar luas di kawasan perairan tawar di Asia Tenggara. Di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera keong ini sering di konsumsi
oleh penduduk setempat. Keong ini menyebar luas pada beberapa tipe habitat, baik
sungai, sawah, danau, kolam, rawa yang berair tenang maupun berair deras. Di
Indonesia tercatat 15 jenis yang dijumpai di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua (Sulianti 2008).
Berikut ini adalah klasifikasi dari tutut (Jutting 1956) :
Kingdom : Animalia
Fillum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Viviparii
Famili : Viviparidae
Genus : Filopaludina
Spesies : Filopaludina javanica, Filopaludina costata, Filopaludina
persculpta, Filopaludina crassibucca, Filopaludina
lutulenta dan Filopaludina rudipelis
Nama lokal : Tutut, keong sawah, keong air tawar

Gambar 2. Tutut (Filopaludina javanica)


(Sumber: dokumentasi pribadi)

Jenis Filopaludina javanica menyebar luas hampir di semua pulau di


Indonesia, sedangkan jenis Filopaludina costata, Filopaludina persculpta,
Filopaludina crassibucca, Filopaludina lutulenta dan Filopaludina rudipelis

6
7

merupakan jenis-jenis endemik Sulawesi. Tercatat 8 jenis dari Papua yang terbatas
sebarannya, kelompok ini termasuk suku (Family) Viviparidae dan selama ini
semua jenisnya digolongkan pada marga (Genus) Filopaludina (Marwoto 2009).
Keong air tawar adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan
tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang
ini dikenal juga sebagai keong gondang, siput sawah, atau siput air. Bentuk tutut
agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi memiliki warna cangkang
hijau pekat sampai hitam (Miftakhurohmah 2011).
Tutut adalah jenis gastropoda yang memberikan manfaat kepada manusia,
yaitu sebagai bahan makanan, sebagai pakan ternak unggas, dan cangkangnya dapat
dibuat berbagai macam lukisan dan cenderamata (Dharma 1988). Bentuk dari
cangkang tutut menyerupai piramida yang arah putarannya ke kanan (dekstra).
Jumlah putaran seluk 6–7 buah dan mulut cangkang berbentuk oval, pusar kecil
berupa celah. Warna cangkang hijau atau kuning kecoklatan dan pada puncak
cangkang berbentuk lancip serta terdapat garis spiral yang tipis. Penutup cangkang
berwarna coklat yang terbuat dari zat kitin (Jutting 1956). Anatomi tutut
diantaranya terdapat operkulum pada bagian luar, mantel, hati, ginjal, kelenjar
albumen, ovarium, bantalan paru-paru, oviduk, dan anus (Safrida 2014).
Kandungan vitamin pada tutut cukup tinggi, diantaranya vitamin A, E, dan
folat. Tutut dapat dijadikan sebagai alternatif protein pengganti daging ataupun
ayam dengan harga yang relatif terjangkau. Tutut dapat mengobati penyakit hati
atau hepatitis A karena mengandung protein yang tinggi, selain itu dapat
meningkatkan ketahanan tubuh (Positive Deviance Resource Centre 2008).
Kandungan protein di dalam tutut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani. Dalam 100 gram tutut mengandung protein 12%, air 81 gram,
kalsium yang sangat tinggi yaitu sebanyak 217 mg hampir setara dengan segelas
susu, rendah kolesterol, dan sisanya mengandung energi, karbohidrat, dan fosfor.
8

Keong air tawar ini sangat mudah dikenali karena bentuk cangkangnya
seperti kerucut, meruncing ke belakang dan berwana hijau kehitaman. Ukurannya
dapat mencapai sebesar biji pala (Miftakhurohmah 2011). Adapun morfologi tutut
terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bagian Tubuh Tutut (Filopaludina javanica) (WWF 2015)


9

Tutut memiliki tinggi cangkang sekitar 40 mm dan garis tengah 15-25 mm.
Kerucutnya membulat, agak tipis, kuning kehijauan, hijau kecoklatan, atau coklat
kemerahan, bergaris-garis tumbuh halus, kadang-kadang dihiasi 3-5 garis lingkar
coklat kehitaman. Puncaknya agak runcing tetapi rompang. Tepi cangkangnya
menyiku tumpul pada hewan yang muda. Jumlah seluknya 6-7, agak cembung,
dengan seluk akhir yang berukuran besar. Umbilikus (pusar) sempit. Mulut
cangkang miring, membundar, dengan tepi bersambung dan kadang dibatasi dengan
warna hitam. Dasar cangkang membulat. Operkulum (tutup cangkang) agak bundar
telur, tipis, agak cekung, cokelat kehitaman, bergaris-garis konsentrik dengan inti
yang terletak agak ke tepi (Safrida 2014).

2.2 Bioekologi Tutut (Filopaludina javanica)


2.2.1 Habitat
Tutut sering ditemukan menempel pada batu-batuan atau bersembunyi di
dasar berlumpur perairan tawar seperti danau, rawa, kolam, sungai, persawahan,
dan saluran-saluran irigasi. Keong ini hidup sampai ketinggian 1.400 m dpl
(Marwoto 2009). Penyebarannya luas meliputi daerah tropis dan subtropis, di
Indonesia banyak terdapat di pulau-pulau besar seperti Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tutut lebih menyukai perairan yang airnya jernih
dan bersih (Marwoto 2009). Di Waduk Cirata tutut banyak di temukan di batu-
batuan, menempel di kapal dan menempel di eceng gondok.

2.2.2 Siklus Hidup


Siklus hidup tutut tergantung dari ketersediaan makanan dan suhu
lingkungan perairan (Jutting 1956). Suhu air yang cocok untuk kehidupan tutut
adalah 26-30oC selain itu ketersediaan makanan yaitu fitoplankton sangat
berpengaruh untuk kehidupan tutut. Pada Gambar 4. siklus hidup tutut
(Filopaludina javanica).
10

4
2

Gambar 4. Siklus Hidup Tutut (Filopaludina javanica)


Keterangan :
1. Telur tutut (Filopaludina javanica) yang menempel pada
tanaman.
2. Telur tutut (Filopaludina javanica) yang sudah menetas.
3. Anakan tutut (Filopaludina javanica).
4. Tutut (Filopaludina javanica) yang sudah menjadi tutut
dewasa .

Telur tutut yang telah melewati masa inkubasi selama 7 sampai 14 hari akan
menetas lalu tumbuh menjadi anakan tutut selama 15 sampai 25 hari setelah itu
tumbuh menjadi tutut dewasa selama 49-59 hari lalu tutut dapat melakukan
reproduksi dan mengeluarkan telur (Jutting 1956).

2.3 Pencemaran Logam Berat di Perairan


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001,
pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
menurun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Pencemaran air diakibatkan oleh masuknya bahan
pencemar (polutan) yang dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut. Pencemar
memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah,
11

limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri, dan lain-lain (Effendi
2003).
Secara garis besar terdapat dua cara masuknya pencemaran kedalam
perairan yaitu secara alami dan melalui kegiatan manusia. Sebagian besar
pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia terjadi di dalam atau dekat
daerah pemukiman dan area industri (Mukhtasor 2007).

2.3.1 Sumber Pencemaran Logam Berat


Menurut Djunaidi (2000) sumber atau penyebab permasalahan waduk yaitu:
pembuangan limbah organik biodegradable, pembuangan nutrien dari air limbah,
pencemaran nutrien tersebar (non-point sources pollution) terutama dari pertanian,
hujan asam yang disebabkan oleh polutan udara, pembuangan zat-zat toksik dari
industri atau pertanian, dan pembuangan panas. Pencemaran akibat aktivitas
manusia yaitu pertambangan, peleburan logam, lahan pertanian yang menggunakan
pupuk atau anti hama yang mengandung logam dan jenis industri lainnya (Darmono
2001). Penyebab permasalahan Waduk Cirata yaitu pembuangan nutrien dari air
limbah, pertanian dan pembuangan zat-zat toksik dari industri.

2.3.2 Timbal (Pb)


Timbal mempunyai nomor atom 83, berat atom 207,9, titik cair 327,5oC dan
titik didih 1725oC. Timbal dalam air berada dalam bentuk Pb2+, PbCO3, Pb(CO3)22-
, PbOH+ dan Pb (OH)2. Secara alamiah Timbal tersebar luas pada batuan-batuan
dan lapisan kerak bumi. Sumber utama timbal di atmosfir dan daratan dapat berasal
dari bahan bakar bertimbal sedangkan batuan kapur dan gelena (PbS) merupakan
sumber timbal pada perairan alami (Amien 2007).
Timbal masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang
mengandung timbal yang berasal dari pembakaran bensin dan mengandung timbal
tetraetil, erosi, dan limbah industri. Penggunaan timbal dalam kehidupan sehari-
hari berasal dari: industri percetakan tinta, pelapis pipa sebagai anti korosif dan
digunakan dalam campuran pembuat cat sebagai bahan pewarna (Hutagaol 2012).
Secara alamiah, timbal masuk ke perairan melalui pengkristalan timbal di
udara dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batu-batuan mineral. Timbal
12

masuk ke perairan sebagai dampak aktivitas manusia seperti buangan industri,


buangan pertambangan biji timah, dan buangan industri kaleng. Logam timbal
dalam konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat racun karena
bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi hingga
organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat tersebut
dalam tubuhnya (Connel dan Miller 2006).
Logam timbal bersifat bioakumulatif, maka dapat terjadi konsentrasi logam
terlarut dalam air dalam tingkatan rendah, tetapi dalam sedimen meningkat akibat
proses fisik, kimia, biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat sampai
beberapa kali lipat (biomagnifikasi), apabila konsentrasi logam berat tinggi dalam
air, ada kecenderungan konsentrasi logam berat tersebut tinggi dalam sedimen dan
akumulasi logam berat dalam tubuh hewan (Manahan 2002).
Menurut Manahan (2002) bahwa akumulasi logam berat dalam tubuh hewan
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:
1. Konsentrasi logam berat dalam air
2. Konsentrasi logam berat dalam sedimen
3. Nilai pH air perairan
Nilai pH air dapat mempengaruhi akumulasi logam berat dalam tubuh
hewan air, karena semakin rendah pH air maka logam berat semakin
larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah masuk kedalam
tubuh hewan tersebut, baik melalui insang, dan bahan makanan ataupun
difusi.
4. Tingkat pencemaran air dalam bentuk COD (Chemical Oxygen
Demand)
Apabila COD (Chemical Oxygen Demand) dalam perairan relatif tinggi,
maka ada kecendrungan kandungan logam berat dalam air dan sedimen
juga akan tinggi. COD menunjukkan kadar bahan organik yang bersifat
non biodegradable yang umumnya bersumber dari industri.
5. Kandungan sulfur dalam air dan sedimen
Kadar sulfur (S) dalam sedimen juga mempengaruhi kandungan logam
berat dalam sedimen, karena unsur sulfur sangat mudah berikatan
13

dengan logam berat membentuk logam-sulfida yang mengendap di


dasar perairan.
6. Jenis hewan air.
7. Umur dan bobot tubuh.
8. Fase hidup (telur dan larva).

Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut


akan diserap oleh sedimen, plankton, makrozoobenthos, tanaman akuatik dan lain-
lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama bagi timbal di
lingkungan (Amien 2007). Timbal (Pb) merupakan logam berat yang mempunyai
tingkat toksisitas yang tinggi. Akumulasi timbal terbanyak biasanya terdapat pada
aorta, liver, ginjal, pankreas, paru-paru, tulang, limpa, testis, jantung dan otak
(Linder 2010). Keracunan Pb dapat menyebabkan ensefalopati, kerusakan arteriol
dan kapiler, edeme otak dan kerusakan organ yang cukup parah (Linder 2010).
Logam berat timbal dapat mempengaruhi hewan air yaitu menganggu
sistem organ insang dalam proses respirasi dan ginjal dalam proses osmoregulasi,
kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi dalam ikan, sehingga
mempengaruhi mortalitas, pertumbuhan, reproduksi serta aktivitas (Oktavianus dan
Salami 2005). Sedangkan apabila logam berat timbal masuk kedalam tubuh
manusia, maka logam tersebut akan diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak
bisa diekskresikan lagi keluar tubuh (Usman 2015).
2.3.3 Bioakumulasi dan Toksisitas Timbal pada Organisme
Logam berat diserap oleh tubuh hewan perairan dalam bentuk ion, melalui
insang dan saluran pencernaan. Logam dapat tertimbun dalam jaringan terutama di
hati dan ginjal. Ion logam yang masuk ke dalam jaringan makhluk hidup
bersenyawa dengan bahan kimia jaringan makhluk hidup membentuk senyawa
kompleks organik protein disebut metalotionin (Suaniti 2007).
Untuk mengetahui tingkat pencemaran di suatu ekosistem dapat digunakan
bioindikator berupa organisme tertentu yang memiliki sifat khas, diantaranya dapat
mengakumulasi bahan-bahan pencemar yang ada, sehingga dapat mewakili
keadaan di dalam lingkungan hidupnya. Beberapa organisme telah diusulkan
14

sebagai bioindikator pencemaran, salah satunya adalah makrozoobentos (Tidjani


2016)
Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh mahluk hidup melalui
beberapa jalan, yaitu:

1. Saluran pernapasan, absorbsi logam melalui saluran pernapasan biasanya


sangat besar, baik pada hewan air yang masuk melalui insang, maupun
hewan darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernapasan
2. Pencernaan, absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen,
tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya
cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil
3. Penetrasi melalui kulit, logam yang masuk melalui kulit jumlah dan
absorbsinya relatif kecil (Darmono 2001).

Tutut merupakan pangan karena tutut menjadi bahan makanan yang di


konsumsi manusia. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang sudah diolah ataupun yang tidak diolah, yang peruntukkanya
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia (SNI No.7387 Tahun
2009). Menurut SNI No.7387 Tahun 2009 mengenai batas maksimum logam berat
dalam pangan, menyebutkan bahwa kadar logam berat timbal (Pb) yang
diperbolehkan dalam tubuh moluska yaitu sebesar 0,3 mg/kg.

2.4 Karakteristik Fisik Kimiawi Perairan


2.4.1 Suhu
Suhu pada ekosistem perairan berfluktuasi baik harian maupun tahunan,
terutama mengikuti pola temperatur udara lingkungan sekitarnya, intensitas cahaya
matahari, letak geografis dan kondisi internal perairan itu sendiri seperti kekeruhan,
kedalaman, kecepatan arus dan timbunan bahan organik di dasar perairan. Suhu
memiliki peran yang sangat penting terhadap kehidupan di dalam air (Junaidi
2012).
Berhubungan dengan suhu perairan, harus diketahui bahwa organisme air
memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu media tempat
15

hidupnya. Terdapat organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap
perubahan suhu lingkungan (euriterm) dan ada jenis yang kisaran toleransinya
sempit (stenoterm). Kondisi tersebut menyebabkan sesuatu yang wajar apabila
terdapat perbedaan signifikan jenis organisme yang hidup pada daerah yang
memilki letak geografis yang berbeda, karena organisme memiliki temperatur lethal
baik lethal atas maupun lethal bawah terhadap suhu (Pangkey 2008). Suhu air akan
menurun dengan meningkatnya kedalaman, sampai batas zona fotik dan setelah itu
suhu relatif stabil. Pada zona mesofotik terjadi penurunan suhu yang sangat drastis,
wilayah ini dikenal sebagai termoklin (Pangkey 2008).
Kenaikan suhu akan menimbulkan beberapa akibat seperti jumlah oksigen
terlarut dalam air menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan
hewan air lainnya akan terganggu (Fardiaz 1992). Winiati (2010) menyatakan suhu
air yang cocok untuk kehidupan tutut adalah 26-300C sedangkan menurut Sumanto
(2019) suhu air yang optimum untuk kehidupan makrozoobenthos adalah 20-300C.
Suhu mempengaruhi konsentrasi timbal (Pb) pada suatu lingkungan, suhu yang
tinggi akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsentrasi timbal (Pb),
naiknya suhu pada perairan akan mempercepat reaksi dalam pembentukan ion-ion
timbal (Pb) (Pratiwi 2018).

2.4.2 Oksigen Terlarut (DO)


DO atau oksigen terlarut merupakan jumlah gas O2 yang diikat oleh molekul
air. Kelarutan O2 di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh suhu dan mineral
terlarut dalam air. Gastropoda memiliki kisaran toleransi lebar terhadap oksigen
sehingga penyebaran dari gastropoda ini sangat luas. Konsentrasi oksigen terlarut
di bawah 5 mg/L akan mengganggu fungsi dan kelangsungan hidup biota akuatik
(Chapman & Kimstach 1992). Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses
fotosintesis tumbuhan dan penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari
udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara. Sedangkan berkurangnya
DO dalam perairan adalah kegiatan respirasi organisme perairan atau melalui
pelepasan secara langsung dari permukaan perairan ke atmosfer. Pengaruh DO
terhadap biota perairan hanya sebatas pada kebutuhan untuk respirasi, berbeda
16

dengan pengaruh suhu yang cenderung lebih komplek. Beberapa organisme


perairan bahkan memiliki mekanisme yang memungkinkan dapat hidup pada
kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah (Salmin 2000).
Beberapa organisme perairan juga memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang miskin oksigen. Secara umum
organisme perairan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap DO rendah pada
suhu yang relatif rendah. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen untuk proses
fisiologis dan reaksi biokimiawi dalam tubuh organisme (Salmin 2000).
Oksigen terlarut dapat mempengaruhi keberadaan timbal (Pb) di perairan.
Penurunan oksigen terlarut di perairan akan menyebabkan peningkatan daya toksik
timbal (Pb) dan tingkat bioakumulasi timbal (Pb) semakin besar (Pratiwi 2018).

2.4.3 Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai baku mutu air menurut PP. RI
No 82 Tahun 2001 menetapkan derajat keasaman (pH) antara 6 – 9, tutut dapat
hidup pada kisaran pH 4,8 – 9,2 (Asdak 2007). Nilai pH perairan memiliki
hubungan dengan sifat kelarutan timbal (Pb). Keberadaan pH di perairan penting
untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa yang mengandung racun. Kenaikan pH pada
badan perairan akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-
senyawa timbal (Pb) (Pratiwi 2018). Kenaikan pH di perairan akan diikuti dengan
penurunan kelarutan timbal (Pb) sehingga Pb cenderung mengendap, serta material
yang bersifat racun akan meningkat toksisitasnya pada kondisi pH yang rendah
(Pratiwi 2018).

Anda mungkin juga menyukai