Anda di halaman 1dari 13

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Rumput Laut


Rumput laut atau algae merupakan tumbuhan laut yang secara morfologis
tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun secara jelas. Seluruh tubuh
rumput laut disebut thallus yang terdiri atas holdfast, stipe, dan blade. Holdfast
mirip dengan akar pada tumbuhan tingkat tinggi, tetapi struktur dan fungsinya
berbeda. Fungsi utama holdfast yaitu melekat pada substrat. Stipe mirip dengan
batang pada tumbuhan tingkat tinggi yang berfungsi sebagai tempat proses
fotosintesis dan penyerapan unsur hara dari air. Blade mirip dengan daun,
bentuknya bervariasi dan berfungsi untuk fotosintesis, menyerap nutrien dari air
dan untuk reproduksi (Armita, 2011).
Rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia adalah rumput laut yang
bernilai ekonomis serta memiliki bentuk dan karakteristik yang berbeda-beda
(Sediadi dan Budihardjo, 2000). Perbedaan rumput laut jenis satu dengan jenis
yang lainnya terletak pada bentuk thallusnya. Bentuk thallus rumput laut ada
yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain
sebagainya (Santoso dkk., 2003). Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu
sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler) yang percabangannya bisa dua-dua
terus menerus (dichotomus), dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama
(pinate), berderet searah pada satu sisi thallus utama (pectinate) dan ada juga
yang sederhana tidak bercabang (Santi, 2012). Sifat substansi thallus juga
beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras karena
mengandung zat kapur (calcareous), lunak bagaikan tulang rawan
(cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Aslan, 1991).
2.1.1. Klasifikasi Rumput Laut
Secara taksonomi, rumput laut dikelompokan kedalam divisio Thallophyta
(Anggadiredja, 2006). Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut
dikelompokan menjadi empat kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau

4
biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaeophyceae) dan alga merah
(Rhodophyceae) (Winarno, 1996). Rhodophyceae memiliki pigmen fikobilin yang
terdiri fikoeritrin (berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru). Selain itu,
Rhodophyceae bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara
proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan
berbagai warna pada thallus seperti merah tua, merah muda, pirang, coklat,
kuning dan hijau. Spesies dari divisi ini yang mempunyai nilai ekonomis adalah
dari marga Gracilaria, Gelidium, Hypnea, Gigartina, Rhodymenia dan Eucheuma
sebagai penghasil ekstrak caragenan, food stuff dan penghasil agar-agar. Menurut
Santi (2012), marga Eucheuma terdiri dari dua spesies yaitu E. spinosum dan E.
cottoni. Menurut Jana (2006), rumput laut jenis E. cottoni memiliki klasifikasi
taksonomi sebagai berikut:
Division : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Solierisceae
Marga : Eucheuma
Jenis : Eucheuma cottoni
E. cottoni merupakan alga dari divisi Rhodophyta (alga merah) yang
memiliki morfologi khusus yaitu thallus berbentuk bulat silindris atau pipih
dengan percabangan tidak teratur dan kasar (ditrikotomus). Thallus tersebut ada
yang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah, coklat ungu atau hijau
kekuningan dengan permukaan yang licin (Ditjenkanbud, 2004). Morfologi E.
cottoni dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Morfologi Eucheuma cottoni


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

5
Menurut Armita (2011), rumput laut jenis E. spinosum memiliki
klasifikasi taksonomi sebagai berikut:
Division : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Solierisceae
Marga : Eucheuma
Jenis : Eucheuma spinosum
E. spinosum secara morfologi memiliki ciri khusus thallus berbentuk
silindris dengan permukaan licin, lunak, warna coklat tua, hijau kuning atau
merah ungu, terdapat duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan
interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara lingkaran
duri. Percabangan berlawanan atau berselang-seling dan teratur pada deretan duri
antar ruas dan merupakan kepanjangan dari duri tersebut. Cabang dan duri ada
juga yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung percabangan
meruncing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat (Aslan, 1991).
Morfologi E. spinosum dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2. Morfologi Eucheuma spinosum


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Rumput laut H. durvillaei menurut Abbott (1999), memiliki klasifikasi
taksonomi sebagai berikut:
Division : Rhodophyta
Kelas : Florideophyceae
Bangsa : Halymeniales
Suku : Halymeniales
Marga : Halymeniaceae
Jenis : Halymenia durvillaei

6
H. durvillaei memiliki ciri morfologi khusus yaitu thallus berbentuk pipih,
kompak dengan permukaan licin dan lunak fleksibel, warna merah tua atau merah
muda, memiliki percabangan yang banyak berselang-seling tidak beraturan pada
kedua sisinya. Thallus bagian bawah biasanya melebar dan mengecil ke bagian
puncak dengan pinggiran bergerigi (Clerck, 2001). Morfologi H. durvillaei dapat
dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3. Morfologi Halymenia durvillaei


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
2.1.2. Sistem Reproduksi Rumput Laut
Reproduksi rumput laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi yang
biasanya hidup di pantai (Aslan, 1991). Rumput laut bereproduksi melalui dua
cara yaitu secara generatif (seksual) dengan gamet (thallus dipploid yang
menghasilkan spora), dan secara vegetatif (aseksual) dengan thallus (Afrianto
dan Liviawati, 1993; Anggadiredja, 2006).
1. Reproduksi Secara generatif
Secara generatif terjadi dengan adanya peleburan antara gamet-gamet yang
berbeda yaitu antara spermatozoid yang dihasilkan dalam antheridia dengan sel
telur atau ovum yang dihasilkan dalam oogenium. Proses fertilisasi terjadi setelah
spermatium mencapai trikogin dan karpogonium, meleburkan intinya dan bersatu
dengan inti telur yang kemudian akan menghasilkan zigot. Zigot yang dihasilkan
mengalami pembelahan menjadi sel-sel yang bersifat diploid. Kelompok sel yang
diploid tersebut dinamakan karposporofit. Karposporofit dapat dianggap sebagai
gametotif betina karena mengambil makanan darinya. Inti-inti diploid tersebut
dapat terbawa ke sel-sel lain dalam gametofit betina melalui filamen coblast.
Akibatnya dalam satu kali fertilisasi dapat terbentuk karposporofit diploid yang
akan tumbuh menjadi tetrasporofit (Dawes, 1981 dalam Iksan, 2005).

7
2. Reproduksi secara vegetatif
Reproduksi secara vegetatif yaitu fragmentasi terjadi pada alga uniseluler
yaitu dengan cara pembelahan sel sedangkan pada alga multiseluler, thallus akan
patah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian tiap bagian tersebut akan
tumbuh menjadi individu baru yang awalnya tetrasporofit yang hidup bebas
(diploid) sel-selnya menjalani proses meiosis. Tetraspora kemudian dilepaskan
dan berkembang menjadi gametofit jantan dan betina yang haploid. Gametofit
jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya
menjadi sel spermatangia, sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus
yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial.
Menurut Kadi dan Atmadja (1988), faktor-faktor lingkungan sangat
berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya,
gerakan air (arus) dan unsur hara (nitrat dan fosfat).
2.1.3. Kandungan Rumput Laut
Rumput laut mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida,
hormon, vitamin, mineral, dan juga senyawa bioaktif (Wong dan Cheung, 2000;
Putra, 2006; Suparmi, 2009). Vitamin yang terkandung dalam rumput laut antara
lain vitamin D, K, Karotenoid (Prekursor vitamin A), vitamin B kompleks, dan
tokoferol. Kandungan kimia ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor
musim, lokasi geografi tempat tumbuh, jenis spesies, umur panen, kondisi
lingkungan (Ortiz et al., 2006; Dennis dkk., 2010). Polisakarida yang terkandung
di dalam rumput laut memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai struktur penyusun
dinding sel untuk memberi kekuatan mekanik yang bersifat tidak larut air, sebagai
sumber cadangan makanan dan sebagai pengikat yang berfungsi untuk pelindung
antar sel (Watt et al., 2002; Santi, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aslan (1991) dan Suparmi (2009),
rumput laut juga mengandung berbagai macam zat dan bahan yang berguna dalam
berbagai industri. Zat-zat dan bahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Algin
Algin adalah bahan yang dikandung oleh Phaepophyceae yang sangat
dikenal dalam dunia industri dan perdagangan, karena banyak manfaatnya. Dalam
dunia industri, algin berbentuk asam alginik (Alginic acid) atau alginate.

8
2. Agar-agar
Agar-agar merupakan senyawa ester asam sulfat dari senyawa galaktan,
tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas dengan membentuk gel
(Istini dkk., 1985).
3. Karaginan
Karaginan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut
merah jenis Chondrus, Eucheuma, Gigartina, Hypnea, Iradea, dan Phyllophora.
Karaginan dibedakan dengan agar-agar berdasarkan kandungan sulfatnya.
Karaginan mengandung minimal 18% sulfat, sedangkan agar-agar hanya
mengandung 3,4% sulfat (Istini dkk., 1985). Rumput laut merah memiliki
keunggulan dibandingkan dengan rumput laut yang lainnya yaitu banyak
mengandung senyawa bioaktif turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut
Ocylipin (Putra, 2006). Senyawa turunan ini berasal dari turunan Sesquiterpene,
terutama dari golongan Laurencia chondrioides (Bansemir et al., 2006).
2.1.4. Pemanfaatan Rumput Laut
Rumput laut memiliki banyak manfaat, baik secara langsung maupun tidak
langsung (Soenardjo, 2011). Secara langsung bermanfaat sebagai tempat hidup
sekaligus perlindungan bagi biota lainnya. Sedangkan secara tidak langsung
bermanfaat sebagai bahan baku dalam industri dan kesehatan (Suparmi dkk.,
2009). Pemanfaatan rumput laut di beberapa negara seperti Cina dan Jepang sudah
dilakukan mulai tahun 1670, yang dijadikan sebagai bahan obat-obatan, makanan
tambahan, kosmetik, pakan ternak, dan pupuk organik (Yunizal, 1999).
Pemanfaatan di Indonesia yang paling dominan sampai saat ini yaitu sebagai
bahan makanan dan obat-obatan. Sebagai bahan makanan rumput laut dikonsumsi
dalam bentuk lalapan (dimakan mentah), dibuat acar dengan bumbu cuka,
dimasak sebagai sayur, dibuat urap, manisan, salad dan dibuat sop (Anggadiredja,
2006).
Pada industri makan, olahan rumput laut digunakan untuk pembuatan roti,
sup, es krim, serbat, keju, puding, selai, susu, dan lain-lain. Pada industri farmasi,
olahan rumput laut digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat
biotik, vitamin, dan lain-lain. Pada industri kosmetik, olahan rumput laut
digunakan dalam produksi salep, krim, lotion, lipstik, dan sabun. Disamping itu

9
lahan rumput laut juga digunakan oleh industri tekstil, industri kulit dan industri
lainnya untuk pembuatan plat film, semir sepatu, kertas, serta bantalan
pengalengan ikan dan daging (Ghufran, 2010).
Secara umum pemanfaatan rumput laut jenis Eucheuma sp. yaitu sebagai
bahan obat-obatan, industri kosmetik dan pangan (Nursanto, 2004). Pemanfaatan
untuk bahan obat-obatan biasanya digunakan sebagai obat penyakit bronkhitis,
dan di bidang industri kosmetik sebagai bahan kecantikan serta Pemanfaatan
untuk bahan pangan seperti dodol, manisan dan minuman (Wibowo, 2012).
Sedangkan pemanfaatan rumput laut jenis Halymenia sp. yaitu sebagai bahan
pemanis agar-agar, salad, dan pickle (Nursanto, 2004; Anggadiredja, 2006;
Suparmi dkk., 2009).

2.2. Ekologi Rumput Laut


Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-
faktor oseanografi (fisika, kimia dan pergerakan atau dinamika air laut) serta jenis
substrat dasarnya. Rumput laut dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
mengambil nutrisi dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya
(Anggadiredja, 2006). Pertumbuhan rumput laut tersebar hampir di seluruh
perairan Indonesia (Jana, 2006; Abdan, 2013).
2.2.1. Habitat Rumput Laut
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, tekanan, dan
nutrisi. Secara umum rumput laut dijumpai tumbuh di daerah yang dangkal
(intertidal dan sublitoral) dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur,
atau campuran keduanya. Rumput laut memiliki sifat benthic (melekat) dan
disebut juga sebagai fitobentos dengan cara melekatkan thallus pada substrat
(Anggadiredja, 2006; Mamang, 2008).
Habitat rumput laut E. cottoni adalah daerah yang memperoleh aliran air
laut yang tetap dan mendapatkan cahaya matahari yang cukup. E. cottoni
umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu
terendam air (subtidal). Melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa
karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska. E.

10
cottoni umumnya tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di
tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi,
diantaranya faktor suhu perairan, substrat dan gerakan air. Pertumbuhan E. cottoni
optimal pada suhu harian antara 25-300C, cukup arus dengan salinitas berkisar 28-
34 per mil. Oleh karena itu rumput laut jenis ini akan hidup baik bila jauh dari
muara sungai. Alga ini juga tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput
laut lainnya yang memiliki keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan,
1991). Rumput laut jenis E. spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu
karang, batu karang, batuan, benda keras, dan cangkang (Anggadiredja, 2006).
Alga ini memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis sehingga hanya
dapat hidup pada lapisan fotik dengan kandungan kadar garam antara 28-36 per
mil (Nazam, 2004). Rumput laut H. durvillaei tumbuh pada daerah berkarang,
berbatu, berpasir dan di daerah rataan terumbu karang (Abbott, 1999).
2.2.2. Wilayah Sebaran Rumput Laut
Daerah sebaran rumput laut di Indonesia sangat luas, baik yang tumbuh
secara alami maupun yang dibudidayakan (Armita, 2011). Wilayah sebaran
rumput laut yang tumbuh alami (wild stock) terdapat hampir di seluruh perairan
dangkal Indonesia yang mempunyai rataan terumbu karang seperti Kepulauan
Riau, Bangka-Belitung, Seribu, Karimunjawa, Selat Sunda, pantai Jawa bagian
selatan, Bali, NusaTenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, pulau-pulau di
Sulawesi dan Maluku (Kardi, 2004). Rumput laut yang banyak dibudidayakan
yaitu jenis Eucheuma sp. dan Gracilaria. Lokasi budidaya Eucheuma sp. tersebar
diperairan Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampung Selatan, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku. Sedangkan untuk
persebaran rumput laut jenis H. durvillaei yaitu mencakup Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Kepulauan Ambon, Seram, Irian, NTT, Lombok, Sumbawa
dan Halmahera (Anggadiredja, 2006).
Daerah persebaran rumput laut di Bali meliputi daerah di 5 Kabupaten
yaitu Kabupaten Buleleng, Jembrana, Klungkung, Karangasem, dan Badung
((Arthana dkk., 2012). Daerah perairan tersebut diantaranya Perairan Pantai Desa
Banyuasri, Perairan Pantai Desa Penarukan, Perairan Desa Banyuwedang,

11
Perairan Pantai Desa Tukad Mungga, Perairan Desa Pengambengan, Perairan
Desa Banyubiru dan Perairan Desa Air Kuning, Perairan Nusa Penida dan
Lembongan, Perairan Desa Laba Sari, Perairan Desa Sukadana, dan Perairan Desa
Baturinggit, Perairan Desa Kutuh, Perairan Desa Peminge dan Perairan Desa
Sawangan.

2.3. Budidaya Rumput Laut


Budidaya rumput laut di Indonesia kini semakin dikembangkan dengan
menggunakan lahan-lahan yang ada (Aslan, 1991). Namun dari 782 jenis rumput
laut di perairan Indonesia, hanya 18 jenis dari 5 genus yang sudah
diperdagangkan. Dari ke lima marga tersebut, hanya genus-genus Eucheuma dan
Gracilaria yang sudah dibudidayakan (Jana, 2006).
Keberhasilan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh lokasi dan
kualitas bibit yang dibudidayakan (Armita, 2011 dan Susilowati, 2012). Hal ini
dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor
ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, kualitas air, iklim dan geografis
dasar perairan (Susilowati, 2012). Faktor lain yang tidak kalah penting sebagai
lokasi budidaya rumput laut yaitu faktor kemudahan, resiko (keamanan), serta
konflik kepentingan (Armita, 2011). Bibit rumput laut yang baik untuk
dibudidayakan adalah monospesies, muda, bersih, dan segar (Syahputra, 2005).
Ciri-ciri bibit rumput laut yang sehat yaitu bila dipegang terasa elastis, bercabang
banyak dengan ujung berwarna kuning kemerah-merahan dan mempunyai batang
yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002), rumput laut yang baik adalah
bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus
tanpa ada cacat terkelupas.
Persiapan penanaman bibit dilakukan dengan cara membuat potongan
rumpun thallus rumput laut dengan ukuran tertentu (30-150 g), kemudian
mengikatkannya pada tali nilon maupun rakit di atas perairan pada metode rakit
dengan jarak tanam 20 cm (Afrianto dan Liviawati, 1993; Kolang et al., 1996;
Sumiarsih, 1999 dan Mamang, 2008). Sedangkan untuk metode lepas dasar bibit
diikat pada jarak 30 cm.

12
Metode budidaya yang akan diterapkan harus mempertimbangkan kondisi
perairan yang dipakai sebagai lokasi budidaya (Syahputra, 2005). Secara umum
menurut Ditjenkanbud (2005), budidaya rumput laut di Indonesia dilakukan dalam
tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan.
Metode penanaman tersebut antara lain:
1. Metode Dasar (bottom method)
Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman
yang telah dipotong pada karang atau balok semen atau patok kayu kemudian
disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan
rumput laut dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu. Metode ini
memiliki keunggulan dapat diterapkan pada perairan yang memiliki arus kencang
dan bersubstrat batu atau karang.
2. Metode Lepas Dasar (off-bottom method)
Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir,
sehingga mudah untuk menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan
pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian
diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak
antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm.
Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 g, dengan jarak tanam 20-25 cm.
Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran
2,5 x 5 m2 dengan lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian
bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya.
3. Metode Apung (floating method)/Longline
Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar perairan yang berkarang
dan pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakit-
rakit dari bambu sedang dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari
ketersediaan material, tetapi umumnya berukuran 2,5 x 5 m2 untuk memudahkan
pemeliharaan. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode lepas dasar hanya
posisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti gerakan pasang surut. Untuk
mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan pemberat dari batu atau
jangkar. Bibit diikatkan pada tali plastik dan atau pada masing-masing simpul

13
jaring yang telah direntangkan pada rakit tersebut dengan ukuran berkisar antara
100-150 g.
2.3.1. Parameter Oseanografi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ditinjau dari
segi oseanografi menurut Soenardjo (2003), yaitu:
1. Dasar perairan
Kondisi perairan yang paling baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp. adalah
di perairan dangkal bersubstrat karang, pecahan karang, dan pasir, atau campuran
ketiganya.
2. Kedalaman air
Kedalaman perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukkan
kemampuan organisme (rumput laut) untuk berinteraksi dengan cahaya.
Eucheuma sp secara alami dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada kedalaman
air 10-30 cm pada surut terendah.
3. Salinitas
Salinitas sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas
yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut
menjadi terganggu. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma sp. berkisar
28–33 ppt.
4. Suhu
Suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan
pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi
fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan
dan reproduksi (Dawes, 1981). Anggadiredja (2006), menyatakan bahwa suhu air
yang optimal untuk membudidayakan rumput laut yaitu berkisar antara 26-30°C.
Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut yang
menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat.
5. Kejernihan air
Budidaya rumput laut dengan tingkat kejernihan air yang tinggi sangat
dibutuhkan, sehingga cahaya dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang
diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses

14
fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter
cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut.
6. pH
Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat Soesono
(1988), bahwa pengaruh bagi organisme sangat besar dan penting, kisaran pH
yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat
keasamannya dapat mematikan. pH optimal bagi pertumbuhan Eucheuma sp.
antara 7,5-8,0.
7. Angin dan Arus
Kesuburan lokasi tanaman sangat ditentukan oleh adanya gerakan air yang
berombak maupun arus. Gerakan air ini merupakan pengangkut yang paling baik
untuk zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut. Ombak dan
arus merupakan alat pengaduk yang baik sehingga air menjadi homogen. Menurut
Sunaryat (2004), arus sangat mempengaruhi kesuburan rumput laut karena
melalui pergerakan air, nutrient-nutrien yang sangat dibutuhkan dapat tersuplai
dan terdistribusi dan kemudian diserap melalui thallus. Kecepatan arus yang lebih
dari 40 cm/detik dapat merusak konstruksi budidaya dan mematahkan
percabangan rumput laut. Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya
rumput laut kira-kira 20-40 cm per detik.
2.3.2. Pertumbuhan Rumput Laut
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran suatu organisme
yang dapat berupa berat ataupun panjang dalam waktu tertentu (Mamang, 2008).
Dalam usaha budidaya rumput laut, pertumbuhan merupakan salah satu aspek
biologi yang harus diperhatikan karena dapat menentukan produksi yang
dihasilkan pada setiap panen (Purba, 1991). Soegiarto dkk. (1987), menyatakan
bahwa dengan melihat angka pertumbuhan dapat diketahui perbedaan hasil yang
akan diperoleh dengan cara penanaman, perlakuan tempat atau musim yang
berbeda. Tingkat pertumbuhan rumput laut tertinggi dapat terjadi pada umur 25-
35 hari sedangkan berat bibit yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang baik
berkisar antara 50-100 g (Sudiharjo, 2001). Penambahan lama pemeliharaan akan
menyebabkan persaingan antar thallus dalam hal kebutuhan cahaya matahari, zat

15
hara dan ruang gerak sehingga tidak menguntungkan dalam budidaya (Soegiarto
dkk., 1987). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan antara lain jenis rumput laut, galur, bagian thallus dan umur rumput
laut yang akan dibudidayakan. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan antara lain keadaan lingkungan fisika dan kimiawi yang dapat
berubah menurut ruang dan waktu, penanganan bibit, perawatan tanaman dan
metode budidaya yang digunakan (Syaputra, 2005). Proses pertumbuhan alga
dapat pula berlangsung karena adanya peran aktif dari zat fitoplankton, yaitu zat
organisme yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit, namun jumlah tersebut
menentukan berlangsungnya suatu proses fisiologis (Yusuf 2004). Laju
pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat
perhari (Effendi, 1997 dalam Bambang, 2006).
Pertumbuhan rumput laut dapat digambarkan dalam 2 bentuk yaitu
pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak. Sedangkan laju pertumbuhannya
terdiri dari laju pertumbuhan standar dan rata-rata pertumbuhan harian.
1. Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak menunjukan selisih antara berat akhir dan berat awal
selama masa pemeliharaan (Zonneveld, 1991).
2. Pertumbuhan Harian
Pertumbuhan harian adalah pertambahan ukuran baik berat dan panjang
yang sebenarnya dalam waktu sehari (Bambang, 2006).
3. Laju Pertumbuhan Standar
Laju pertumbuhan standar/Specific Growth Rate (SGR) merupakan
pertambahan bobot individu dalam persen per hari (Effendie, 1997).
4. Rata-rata Pertumbuhan Harian
Rata-rata pertumbuhan harian/Average Daily Gain (ADG) merupakan
persentase pertumbuhan rata-rata harian dalam satu periode (Duraippah dkk.,
2000).

16

Anda mungkin juga menyukai