Anda di halaman 1dari 15

5

1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makro Alga Air Tawar Spirogyra sp.

2.1.1 Karakteristik dan Klasifikasi Spirogyra sp.

Spirogyra sp. adalah sebuah genus besar yang terdiri dari mayoritas alga

yang tumbuh di lingkungan air tawar. Di seluruh dunia, terdapat sekitar empat

ratus spesies dari genus ini, dimana hanya ada satu di antaranya yang hidup di

lingkungan air asin. Tumbuhan dari genus ini biasanya tumbuh terapung di

danau dan kolam-kolam dangkal buatan. Keberadaan Spirogyra menandakan

bahwa perairan tersebut cukup bersih dan mengandung banyak nutrisi. Saat

terdapat cukup sinar matahari dan temperatur tidak terlalu rendah, Spirogyra

menghasilkan banyak oksigen yang sering tampak sebagai gelembung-

gelembung kecil di antara filamen-filamennya (Parmentier, 1999). Klasifikasi

Spirogyra menurut Prasetyo (1987), mempunyai klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Protista
Divisi : Charophyta
Phylum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Zygnematales
Famili : Zygnemataceae
Genus : Spirogyra
Spesies : Spirogyra sp.
Adapun Spirogyra dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Spirogyra (Sembiring, 2018)


6

Meski telah banyak dikenal sejak berabad-abad yang lalu, Spirogyra tidak

memiliki nilai ekonomi sebesar golongan ganggang kerabat dekatnya yang

sering dikenal sebagai rumput laut. Spirogyra baru diketahui dijadikan sebagai

makanan manusia di sedikit belahan bumi, seperti Burma, Vietnam, dan India di

mana tanaman ini dijual kering atau segar kemudian dikonsumsi sebagai sayuran

(Johnston, 2007). Menurut Eshaq et al. (2010), Spirogyra memiliki biomassa

yang berpotensi sebagai sumber energi terbarukan melalui produksi bioethanol.

Biomassa Spirogyra dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak untuk

memenuhi kebutuhan produksi bioethanol tersebut.

2.1.2 Habitat dan Struktur Sel Spirogyra sp.

Spirogyra adalah sebuah genus besar yang terdiri dari mayoritas alga

yang tumbuh di lingkungan air tawar. Filamen Spirogyra mulai tumbuh di dasar

perairan yang dangkal atau menempel pada batuan ataupun tumbuhan air, lalu

mengapung ke permukaan membentuk hamparan yang luas seperti karpet (pond

scums). Keberadaan Sprirogyra meskipun terlihat kotor, menandakan bahwa

perairan tersebut cukup bersih dan mengandung banyak nutrisi (Lassiter, 2001)

Gambar 2. Kolam Buatan Tempat Budidaya Spirogyra (Sembiring, 2018)


Spirogyra umumnya ditemukan di kolam air tawar yang jernih dalam

jumlah yang sangat besar, biasanya hidup melayang di permukaan air

(planktofit). Talus pada Spirogyra berupa filamen yang tidak bercabang, dengan
7

koloni Spirogyra berbentuk benang. Setiap sel Spirogyra mengandung sebutir

kloroplas yang umumnya berukuran besar dan terikat dalam sitoplasma tepat

didalam dinding sel (Prasetyo, 1987).

Spirogyra dapat berkembang biak secara aseksual dan seksual. Pada

reproduksi aseksual, filamen mengalami fragmentasi sehingga terbentuk banyak

filamen. Filamen ini kemudian mengalami mitosis yang tumbuh dan berkembang

menjadi filamen dewasa. Selain secara aseksual, Spirogyra juga mampu

bereproduksi secara seksual yang disebut sebagai konjugasi. Terdapat dua

macam konjugasi Spirogyra yaitu scalariform dan lateral. Pada konjugasi

scalariform, dua filamen berposisi secara berdampingan. Berikutnya akan muncul

tonjolan yang kemudian saling bersentuhan. Dinding sel tengah akan terbuka

sehingga mengarah pada pembentukan tabung konjugasi. Akibatnya, sebuah

kanal konjugasi terbentuk dimana protoplas dari satu sel (mengandung gamet

jantan) akan berpindah ke sel lain (mengandung gamet betina) sehingga

terbentuk zigot diploid. Berbeda dengan konjugasi scalariform, konjugasi lateral

terjadi pada filamen yang sama. Pada konjugasi lateral, dua sel dalam filamen

yang sama mengalami fertilisasi untuk kemudian membentuk zigot. Zigot

kemudian berubah menjadi zigospora yang memiliki dinding sel pelindung

(Amanif, 2015)

Sel dewasa Spirogyra disebut sebagai haploid. Jadi, kumpulan sel-sel

silindris berbentuk filamen sebenarnya adalah haploid. Setelah pembuahan,

zigospora dilepaskan ke lingkungan sekitarnya yang berada dalam kondisi tidak

aktif (dorman) terutama pada lingkungan yang tidak sesuai. Saat berada di

lingkungan yang menguntungkan, zigospora mengalami meiosis, menghasilkan

empat sel haploid. Satu sel kemudian tumbuh menjadi filamen Spirogyra baru

(Amanif, 2015).
8

Secara morfologi, spesies-spesies dari Spirogyra memiliki sel dengan

ukuran antara sepuluh hingga seratus mikrometer, yang saling terhubung satu

sama lain dari ujung ke ujung tanpa percabangan sehingga tampak sebagai

filamen. Dinding selnya terdiri dari dua lapisan dengan lapisan luar dibentuk dari

selulosa sementara dinding bagian dalamnya dibentuk dari pektin. Ukuran

filamen ini bisa mencapai beberapa sentimeter panjangnya. Kebanyakan interior

sel ditempati oleh sebuah vakuola besar dimana nukleusnya tersuspensi dalam

untaian sitoplasma. Kloroplast berbentuk melingkar di dalam sitoplasma (Guiry,

2008).

Gambar 3. Struktur Sel Spirogyra (Hamid,2008)

2.1.3 Kandungan Spirogyra sp.

Spirogyra merupakan kelompok tumbuhan berklorofil dari filum alga yang

ketersediaannya di air tawar Indonesia cukup melimpah. Spirogyra memiliki

kadar klorofil a sebesar 2,1 mg/g, klorofil b 1,4 mg/g, dan multi karbon (termasuk

xantofil) 1,9 mg/g. Klorofil mengandung antioksidan, antiperadangan, dan zat

yang bersifat menyembuhkan luka. Kandungan ini bermanfaat bagi kesehatan

(Goud et al. 2007).

Klorofil merupakan suatu pigmen hijau yang ditemukan di kebanyakan

tanaman, alga, dan Cyanobakteria. Nama klorofil berasal dari bahasa Yunani

yakni chloros (hijau kekuningan) dan phyllon (daun). Klorofil menyerap sinar
9

pada panjang gelombang biru-ungu dan merah dan meneruskan/memantulkan

sinar pada panjang gelombang hijau sehingga tanaman yang mengandung

pigmen ini cenderung berwarna hijau (Andersen et al. 2005).

Hingga saat ini, klorofil telah banyak dikenal manfaatnya selain sebagai

komponen utama fotosintesis. Kegunaan lain klorofil menurut Lassiter (2001)

dalam kehidupan manusia antara lain adalah :

1. Di dalam tubuh manusia, klorofil membentuk neuropeptida di otak yang

membantu meningkatkan daya kreativitas dan berfungsi sebagai senyawa

antidepresan alami

2. Klorofil dikenal sebagai deodorizer (penghilang bau) alami dalam tubuh

sehingga banyak dimanfaatkan pada produk pencuci mulut, penyegar

nafas, dan deodoran. Selain itu, klorofil juga dapat mengurangi bau pada

urine dan feses manusia

3. Dalam dunia medis, klorofil dikenal memiliki aktivitas antimutagenik dan

antikarsinogenik
10

Tabel 1. Komposisi Kimia Spirogyra sp.

Komposisi Jumlah
Kadar Protein 20,90 %
Kadar Lemak 4,95 %
Kadar Air 76,18 %
Serat Pangan 7,66 %
Karbohidrat 59,07 %
Kalsium 445,9 ± 0,1 mg/100 g
Magnesium 366,7 ± 0,7 mg/100 g
Besi 141,3 ± 0,2 mg/100 g

Sumber : Thumvijit (2013)

2.2 Rumput Laut Jenis Eucheuma Cottonii

Menurut Anggadiredja et al. (2006), E. cottonii merupakan salah satu jenis

rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus

alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan.

Nama daerah “cottonii” umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia

perdagangan nasional maupun internasional

2.2.1 Morfologi dan Klasifikasi Eucheuma Cottonii

Dari segi morfologi, E. cottonii tidak memperlihatkan adanya perbedaan

antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai

morfologi yang mirip walaupun sebenarnya berbeda. Morfologi E. cottonii yaitu

permukaan licin, terdapat cartilageneus (menyerupai tulang rawan), bentuknya

bulat silindris atau gepeng, warnanya merah, abu-abu, hijau kuning, dan hijau

serta bercabang tidak teratur. Teksturnya disebut sebagai gelatinus dan

kartilagenus (lunak seperti tulang rawan) (Aslan, 1998).

Struktur anatomi thalli (rangka tubuh tumbuhan) untuk setiap jenis rumput

laut berbeda-beda. Pada Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum bentuk

thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini

membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam


11

mengidentifikasi jenis, genus ataupun famili (Kamlasi, 2008). Perbedaan E.

cottonii dan E.spinosum dapat lihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbedaan E. cottonii dan


E. spinosum (Winarno, 1990)

Klasifikasi E. cottonii menurut Anggadiredja, et al. (2006) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
12

Adapun E. cottonii dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. E. Cottonii

2.2.2 Kandungan Kimia E. cottonii

Komponen utama rumput laut pada umumnya adalah karbohidrat yang

terdiri dari gula atau vegetable gum, protein, lemak dan abu yang merupakan

mineral. Kandungan pigmen utama rumput laut merah terdiri dari klorofil a,

karoten b, phycoerithrin dan phycosianin. Kandungan kimia rumput laut dapat

bervariasi tergantung pada jenis, tingkat pertumbuhan (umur) dan kondisi tempat

tumbuhnya (Peranginangin et al. 2013).

Salah satu bahan baku pangan yang mengandung serat yang tinggi

adalah rumput laut. Rumput laut jenis E. cottonii memiliki kandungan serat

pangan larut sebesar 10,7 g/100g dan serat pangan tidak larut sebesar 58,6

g/100g (Santoso et al. 2013). Komposisi kandungan kimia rumput laut jenis E.

cottonii dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia E. cottonii

Komposisi Jumlah (%)


Air 12,9
Protein 5,12
Lemak 0,13
Karbohidrat 67,58
Serat Kasar 1,39
Abu 14,21
Mineral Ca (ppm) 22,39
Mineral Fe (ppm) 0,11
Iodium (µg/g) 282,93
Ribovlavin (mg/100g) 2,26
Asam Askorbat mg/100g 43
Karagenan (%) 65,75
Sumber : Istini (1985)
13

2.2.3 Kerakteristik Gel E. cottonii

Karakteristik fisik dan kimia polimer alami, terutama hidrofilik atau

hidrofobik atau keduanya, sangat mempengaruhi edible film dan coating yang

dihasilkan. Alga laut sebagian besar mengandung karbohidrat 10-30%, protein 9-

14% dan lipid 3-5% dengan polisakarida berupa galaktan (karagenan dan agar)

atau uronates (alginat) (Handito, 2011). Hidrokoloid alga laut memiliki muatan

negatif yang sangat luar biasa pada gugus hidroksil dari hidrofiliknya, sehingga

ikatan hidrogen memainkan peran penting dalam pembentukan dan karakteristik

reologi dari edible film yang dihasilkan (Riyanto et al. 2014).

E. cottonii merupakan penghasil karagenan. Karagenan adalah getah

rumput laut dari spesies tertentu dari kelas alga merah (rhodophyceae) yang

diekstraksi dengan air atau larutan alkali yang dilanjutkan dengan pemisahan

karagenan dengan pelarutnya (Chapman, 1980). Karagenan dibagi menjadi tiga

jenis yaitu kappa, iota, dan lamda, dimana ketiga jenis ini dibedakan berdasarkan

perbedaan ikatan sel, sifat gel dan protein reactivity. Kappa karagenan

menghasilkan sifat gel terkuat, sedangkan lambda karagenan tidak membentuk

gel dalam air, tetapi lambda karagenan berinteraksi baik dengan protein

sehingga jenis ini cocok untuk produk makanan. E. cottonii termasuk penghasil

jenis kappa karagenan yang larut dalam air panas, serta membentuk gel dalam

air (Distantina, 2007).

2.3 Nori

2.3.1 Definisi Nori

Nori merupakan lembaran rumput laut yang dikeringkan atau dipanggang

(Korringa, 1976). Sedangkan menurut Guiry (2006), nori adalah salah satu

produk olahan rumput laut alami yang dikeringkan dan merupakan produk olahan
14

dari rumput laut merah (Rhodophyta). Produk ini adalah sediaan berupa rumput

laut yang dikeringkan berbahan baku rumput laut merah jenis Porphyra yang

dapat ditambahkan bumbu di dalamnya yang disebut ajitsuke nori. Masyarakat

Jepang telah mengkonsumsi nori sejak abad ke-8. Konsumen nori tertinggi

adalah negara Jepang yaitu sebesar 75 % dari total produksi nori.

Nori adalah makanan yang dikonsumsi setelah dikeringkan dan

dipanggang. Sebutan nori di China adalah hattai, di Korea nori dikenal dengan

sebutan kim atau gim, selain itu nori juga memiliki istilah lain yaitu edible

seaweed (Kuda et al. 2004).

2.3.2 Karakteristik dan Jenis-Jenis Nori

Ukuran standar satu lembar nori di Jepang berbeda-beda tergantung

pada kegunaannya, yaitu sekitar 12x10 cm2, 20x18 cm2 dan 21x19 cm2

(Korringa, 1976). Warna pada nori tidak dapat dijadikan pegangan kualitas,

namun lembaran nori yang berkualitas tinggi umumnya berwarna hitam

kehijauan, sedangkan nori berkualitas lebih rendah memiliki warna hijau hingga

hijau muda. Satu lembar nori kering memiliki berat 2,5 sampai 3 gram atau 3,5

sampai 4 gram (Hasanah, 2007).

Jepang, China dan Korea adalah negara penghasil nori terbesar saat ini,

dengan hasil produksi nori mencapai 2 milyar lembar/tahun (Teddy, 2009).

Rumput laut Porphyra yang biasanya digunakan adalah Porphyra yezoensis

yang disebut susabnori atau amanori, Porphyra tenera yang disebut asakusanori.

Selain rumput laut merah, ada juga nori yang berasal dari rumput laut coklat

misalnya kayamo-nori dari Scytosiphon lomentaria dan habanori dari Petalonia

binghamiae yang digunakan sebagai edible (Kuda et al. 2004).


15

Gambar 6. Nori Rumput Laut (Ravensthorpe, 2014)

Nori digunakan sebagai pembungkus sushi (makisuzhi) dan bola-bola

nasi

(onigiri) serta makanan khas Jepang lainnya. Selain itu, nori dapat dikonsumsi

langsung sebagai makanan ringan (snack), nori juga digunakan sebagai hiasan

dan penyedap berbagai macam masakan Jepang, misalnya pemberi rasa pada

mie dan sup serta lauk sewaktu makan nasi dan biasanya ditambahkan ke dalam

makanan ringan dan renyah seperti senbei. Senbei adalah makanan ringan yang

renyah atau disebut juga crackers yang berbentuk bulat dan pipih (Yamamoto,

1997). Berikut ini adalah beberapa jenis nori dan pemanfaatannya dalam pangan

A. Yakinori ukuran standar

Nori tawar untuk menggulung temakisushi dan makisushi.

B. Yakinori tipe setengah

Satu lembar nori ukuran standar dibagi dua, digunakan untuk membungkus

seluruh bagian onigiri

C. Yakinori tipe sepertiga

Satu lembar nori dibagi tiga, diletakkan di bagian dasar onigiri sehingga

mudah dipegang dengan tangan

D. Ajitsuke nori atau okazunori

Satu lembar nori standar yang sudah diberi bumbu garam dapur, kecap asin,

gula atau mirin dipotong menjadi 8 atau 12 potongan kecil. Pada umumnya
16

dimakan sebagai teman makan nasi sewaktu sarapan pagi atau dimakan

begitu saja sebagai makanan ringan

E. Mominori

Ajitsuke nori yang sudah diberi bumbu garam, kecap asin, gula atau mirin dan

dicabik-cabik sampai menjadi potongan berukuran kecil yang tidak seragam.

Digunakan sebagai hiasan pada makanan Jepang seperti donburi atau

chirashisushi

F. Kizaminori

Yakinori yang dipotong halus-halus dengan ukuran seragam, berfungsi

sebagai hiasan seperti mominori

G. Aonori

Nori berwarna hijau berbentuk serbuk kasar berukuran 2-3 mm yang

ditaburkan di atas okonomiyaki, takoyaki dan yakisoba. Berbeda dengan

bahan baku nori standar, aonori menggunakan alga hijau jenis Monostroma

dan Enteromorpha yang banyak dibudidayakan di Teluk Ise

(A) (B) (C) (D)

(E) (F) (G)

Gambar 7. Macam-macam Produk Nori. (A) Yakinori ukuran standar. (B)


Yakinori tipe setengah. (C) Yakinori tipe sepertiga. (D) Ajitsuke nori. (E)
Mominori. (F) Kizaminori. (G) Aonori (Eimas, 2013)
17

2.3.3 Cara Untuk Mengolah Nori

Cara untuk mengolah nori di Jepang sudah berkembang. Dahulu

pengolahan nori masih sangat sederhana dan tradisional, namun sekarang

sudah menggunakan teknologi modern. Porphyra sebanyak 35-100 kg yang

telah dipanen, dibersihkan menggunakan air bersih, selanjutnya Porphyra

tersebut dipotong-potong dengan menggunakan mesin pemotong. Setelah itu,

Porphyra dimasukkan ke dalam cetakan, cetakan ini menyerupai cetakan kertas,

terbuat dari bamboo berukuran 20x18 cm2, kemudian dikeringkan selama 1 jam

pada suhu tidak lebih dari 500C. Akan tetapi beberapa petani nori biasanya

mengeringkan nori menggunakan sinar matahari (Korringa, 1976).

Adapun cara lain pada proses pembuatan nori adalah, rumput laut

direndam dalam cuka beras (rice vinegar) dengan tujuan agar rumput laut

menjadi lunak. Rumput laut kemudian dipotong-potong dengan panjang kurang

lebih 2 cm dan dicuci dengan air panas, direbus pada suhu 90oC dalam larutan

yang berisi bumbu-bumbu seperti kecap, gula, minyak wijen, mirin (cuka beras),

MSG dan ikan teri selama 3 jam, lalu dikeringkan menjadi lembaran tipis. Produk

akhir menyerupai kertas tipis, berwarna gelap, berupa lembaran kering dengan

berat 3 gram dalam berbagai ukuran (Terramoto, 1990).

Cara untuk membuat nori menurut Tanikawa (1971), setelah rumput laut

Porphyra dipanen kemudian dicuci dengan menggunakan air laut dan dicuci

kembali dengan air bersih. Sebanyak kurang lebih 36 kg rumput laut dimasak

dalam 54 liter air sampai menjadi bubur, setelah itu dicetak dan kemudian

dikeringkan dengan sinar matahari. Adapun metode pembuatan nori secara

tradisional di Jepang adalah rumput laut hasil panen ditumbuk sampai menjadi

bubur, kemudian bubur rumput laut tersebut diratakan seperti kertas di atas

papan dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Setelah itu Nori

dikemas dalam kemasan kantong plastik, botol plastik atau kaleng kedap udara
18

karena sifat nori yang mudah kehilangan rasa renyah dan mudah menjadi

lembab. Ajitsuke nori (okazu nori) lebih mudah menjadi lembab dibandingkan nori

biasa, oleh sebab itu ajitsuke nori biasanya dikemas dalam bungkusan-

bungkusan kecil yang hanya berisi beberapa lembar nori ukuran mini. Walaupun

kemasan nori banyak menggunakan silika gel dan bahan-bahan lain sebagai

penyerap kelembaban, nori yang sudah dibuka kemasannya sebaiknya segera

dihabiskan secepat mungkin sebelum menjadi lembab dan tidak enak.

Gambar 8. Proses Penjemuran Nori Secara Tradisonal


di Jepang (Aren, 2014)

2.3.4 Kandungan Nutrisi Nori

Nori merupakan salah satu makanan yang memiliki kandungan nutrisi

tinggi. Kandungan protein nori mencapai 25-50 % b/b, lemak 2-3 % b/b dan

berbagai macam vitamin (Kayama et al. 1985). Kandungan protein dalam rumput

laut berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim dan

kondisi lingkungan atau habitatnya. Porphyra tenera mengandung protein

sebesar 21-47 g protein b/b (Ruperez dan Saura, 2001)

Kandungan vitamin B12 dalam nori adalah sebesar 29 μg %. Kandungan

nutrisi yang cukup tinggi itulah yang menjadikan nori salah satu makanan diet di

masyarakat Jepang (Hiroyuki 1993). Nori juga mengandung beberapa asam

amino selain kandungan nutrisi yang menguntungkan, diantaranya asam

glutamat, glicine dan alanin yang berperan dalam menciptakan rasa pada nori

(Winarno, 1996). Serat makanan adalah salah satu kandungan terpenting dalam
19

rumput laut. Kandungan serat makanan atau dietary fiber dalam nori dan

wakame mencapai 34 % berat kering (Urbano dan Goni, 2002).

Anda mungkin juga menyukai