Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Kota Masohi

Kota Masohi adalah ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Maluku,

Indonesia. Kota Masohi terletak di tepian Teluk Elpaputih di selatan Pulau Seram.

Sebagian besar wilayahnya memiliki topografi berupa dataran rendah dengan

ketinggian 0-110 Mdpl. Luas wilayah Kota Masohi adalah 37,30 km² atau 0.32%

dari total wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Kota Masohi terdiri dari 5 kelurahan

dengan total Jumlah penduduknya 32.054 Jiwa (Laki-laki 15,924 jiwa dan

Perempuan 16,130 Jiwa). (wikipedia, 2019).

Wilayah Maluku Tengah mengalami iklim laut tropis dan iklim musim.

Keadaan ini disebabkan oleh karena Maluku Tengah dikelilingi laut yang luas,

sehingga iklim laut tropis di daerah ini berlangsung seirama dengan iklim musim

yang ada. Berikut keadaan klimatologi yang dapat menggambarkan keadaan iklim

di Kabupaten Maluku Tengah secara umum: Tercatat Rata-rata temperatur pada

tahun 2009 di Kecamatan Amahai 26,30C, di mana temperatur maksimum rata-rata

30,40C dan minimum rata-rata 23,3 0C. Jumlah curah hujan pada tahun 2009 rata-

rata sebesar 185,1 mm dengan jumlah hari hujan rata-ratasebanyak 18,1 hari.

Penyinaran matahari pada tahun 2009 rata-rata sebesar 65,9 % dengan tekanan

udara rata-rata 1011,2 Milibar dan kelembaban nisbi yang terjadi rata-rata sebesar

84,9 %. (wikipedia, 2019).


Kepulauan Maluku merupakan kepulauan di Indonesia, dan bagian dari

wilayah yang lebih besar Maritim Asia Tenggara. Secara tektonik kabupaten

maluku berada di Lempeng Halmahera dalam Zona Collision Laut Maluku. Secara

geografis berada timur dari Sulawesi, sebelah barat New Guinea, dan utara Timor.

Secara historis, kabupaten maluku dikenal sebagai Kepulauan Rempah-

rempah oleh Cina dan Eropa, tetapi istilah ini juga telah diterapkan ke pulau-pulau

lainnya. (Wikipedia, 2019).

2.2. Cacing Laor (polychaeta sp)

Polychaeta (dalam bahasa yunani, poly = banyak, chaetae = rambut kaku)

merupakan Anelida berambut banyak. Berdasarkan taksonominya, kelas

polychaeta dibagi menjadi 17 ordo, 81 famili, dan 1540 genus (fauchald, 1997).

Pembagian tubuh cacing laor terdiri atas tiga bagian yaitu, prasegmental, segmental,

dan postegmental. Pada bagian prasegmental, terdapat prostomium yang biasanya

dilengkapi dengan sepasang palpi dan sepasang antena yang berfungsi sebagai alat

peraba. Pada prostomium cacing laor umumnya terdapat banyak bintik mata.

Kemudian bagian kedua yaitu segemen. Pada bagian ini, deretan segemen tubuuh

bagian depan disebut dada (thorax) dan deretan segmen tubuh bagian belakang

disebut perut (abdomen). Dan bagian terakhir dari cacing laor biasanya disebut

postsegmental (segmenanal) yang terdiri dari anus dan sepasang anal cirri

(Fauchald,1977).

Cacing laor memiliki panjang tubuh antara 5-10 cm dengan diameter 2-10

mm. Pada bagian anterior tubuh terdapat kepala yang dilengkapi dengan mata,

6
tentakel serta mulut yang berahang. Tubuhnya berwarna menarik seperti merah atau

campuran warna lain dan hidup di liang yang digali ke trotoar terumbu karang di

luar flat. Mereka terdiri dari dua bagian yang berbeda. Bagian depan adalah

tersegmentasi dasar dengan mata, mulut, dll, diikuti oleh serangkaian segmen yang

disebut "epitoke" yang berisi gamet reproduksi berwarna bluegreen (betina) atau

tan (jantan). Setiap segmen epitoke beruang kecil yang dapat merasakan eyespot

cahaya (Yusron, 1985). Setiap segmen dari “epitoke” terdapat sebuah becak kecil

yang dapat menerima rangsangan cahaya. Hal itulah yang digunakan oleh para

penduduk pulau bahwa cahaya lampu dapat digunakan untuk menarik cacing laor

kedalam jaring mereka (Anonymous, 2007).

Gambar cacing laor yang dipanen di perairan Masohi dapat dilihat pada

Gamabr 1.

Alat ekskresi annelida berupa sepasang nefridia yang terdapat pada tiap-tiap

segmen, disebut Metarefridia. Hewan ini mempunyai sistem peradaran darah

tertutup. Pembuluhnya membujur dengan cabang-cabang kapiler kecil yang

terdapat pada setiap segmen.

Cacing laor termasuk dalam filum Annelida, kelas Polychaeta, keluarga Eunicidae.

Klasifikasi lengkap cacing laor (polychaeta sp) adalah seperti berikut ini :

7
Gambar 1. Cacing Laor (polychaeta sp). (gambar pribadi).

Kingdom : Animalia

Phylum : Annelida

Class : Polychaeta

Ordo : Eunicida

Family : Eunicidae

Genus : Eunice

Spesies : Nereis virens, Arenicola cristata

Filum annelida atau caicing beruas terdiri dari tiga kelas yaitu :

1. Kelas Oligochaeta atau kelompok cacing tanah


2. Kelas Hirudinea atau kelompok lintah, dan
3. Kelas Polychaeta

Kelas Oligochaeta dan Hirudiinea ini hidup didarat dan air tawar, sedangkan
kelas Polychaeta terutama hidup dilaut. (Bernebes, 1982 dalam Sangadji, 2006).

2.2. Siklus Hidup dan Pengambilan makanan Cacing Laor

8
Cacing Laor menghabiskan sebagian besar hidup mereka menggali ke dalam

puing-puing karang atau substrat lainnya pada kedalaman yang dangkal menjadi 23

meter. Swartana (1983) mengemukakan bahwa habitat hidup cacing laor adalah

pada daerah terumbu karang yang terdapat di pantai kepulauan Maluku. Dalam

persiapan pemijahan, mereka mulai menghasilkan ekor dari jenis terdiri dari

segmen-segmen yang mengandung telur dan sperma. Bagian ini cacing disebut

epitoke. Fitur yang epitoke sebuah eyespot, yang mampu mendeteksi cahaya.

Ketika bulan waktunya tepat, semua epitokes dilepaskan secara bersamaan dan

membuat jalan mereka ke permukaan. Mereka yang tidak cepat diambil untuk

konsumsi meledak dan membuat sup berlendir terdiri dari telur dan sperma.

Waktu yang disinkronisasi dari cacing laor untuk menelurkan, meletakkan

telur dan sperma menjadi dekat satu sama lain, sehingga mereka dapat memupuk

dan berkembang menjadi larva. Larva terbentuk dalam sehari, dan mereka tertidur

untuk menetap di dasar laut dan berkembang menjadi cacing laor dewasa baru

(yusron1985). Sementara itu, atoke, kepala dan tubuh bagian cacing laor dewasa,

tetap melekat pada substrat laut. Setiap tahun menghasilkan epitoke baru untuk

bertelur tahunan. Di bagian atoke cacing laor adalah sekitar 30 cm (12 in) lama.

(yusron,1985). Di mana dalam proses pengambilan makanan mereka

mengkonsumsi materi organik Di Kepulauan Maluku cacing laor dapat di makan.

Aspek biologi reproduksi cacing laor di perairan Maluku juga belum

banyak dikaji. Padahal, pengetahuan tentang aspek biologi reproduksi cacing

laor dapat menjadi langkah awal untuk mengetahui potensi usaha budidaya biota

laut tersebut. Ini mengingat, pada bisnis akuakultur, cacing laut Polychaeta dari

9
jenis Nereis virens yang secara alami hanya memijah sekali dalam setahun

(periode perkawinannya mirip dengan cacing laor), dapat dimanipulasi agar

mampu memijah seminggu sekali pada skala laboratorium (Russell-Hunter,

1979).

2.3. Kandungan Gizi Cacing Laor

Bahan makanan dari hasil produksi laut memiliki nilai gizi yang cukup

tinggi dibandingkan dengan hasil produksi lainnya. Makanan bergizi adalah

makanan yang cukup kualitas dan kuantitasnya serta mengandung unsur yang

dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Sebelum memilih

menu makanan sebaiknya diketahui kandungan makanan tersebut bukan hanya

sekadar membuat perut kenyang, tetapi makanan itu juga harus mengandung

protein, karbohidrat, mineral, lemak, dan vitamin. Makanan yang mengandung

protein dapat berasal dari hewan yang disebut protein hewani dan yang berasal dari

tumbuhan yang disebut protein nabati .

Ditinjau dari kandungan asam amino, maka protein hewani dapat

diklasifikasikan sebagai sumber protein bermutu tinggi. Protein hewani disebut

juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena tersusun oleh asam amino

esensial yang lengkap dan susunanya mendekati apa yang diperlukan tubuh dan

daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap oleh tubuh juga tinggi

(Zaitesev et al 1969 dalam analisa Garwan ,2009) Salah satu sumber protein hewani

yang bergizi adalah cacing laor. Menurut Radjawane (1987), cacing laor

mempunyai nilai gizi yang tinggi, sebagai sumber kalori dengan kandungan protein

10
yang cukup tinggi sehingga dapat diandalkan sebagai salah satu unsur pangan untuk

peningkatan gizi masyarakat. Kandungan protein cacing laor kurang lebih 3 kali

dibanding protein ikan dan mengandung vitamin tertentu, misalnya B12.

2.3.1. Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar

abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuan. Kadar abu

berhubungan dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji1989). Selain itu kadar abu

menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat

menguap. Menurut Winarno (2008), abu merupakan residu anorganik dari proses

pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu

bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan

tersebut.

Abu mengandung bahan organik seperti sulfur dan fosfor dari protein, dan

beberapa bahan yang mudah terbang seperti natrium, klorida, kalium, fosfor dan

sulfur akan hilang selama pembakaran. Kandungan abu dengan demikian tidaklah

sepenuhnya mewakili bahan anorganik pada makanan baik secara kualitatif maupun

secara kuantitatif (Anggorodi, 1994). Abu merupakan residu anorganik dari proses

pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu

bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut,

kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Tranggono, 1990).

Menurut Andarwulan dkk, (2011) abu dalam bahan dibedakan menjadi abu

total, abu terlarut dan abu tak terlarut. Kadar abu total adalah bagian dari analisis

11
proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan pangan.

Prinsip pada proses pengabuan adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan

organik yang diuraikan menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2), tetapi zat

anorganik tidak terbakar. Zat anorganik inilah yang disebut abu. Abu dalam bahan

ditetapkan dengan menimbang residu/endapan hasil pembakaran komponen bahan

organik pada suhu sekitar 550 o C.

Abu total didefinisikan sebagai residu yang dihasilkan pada proses

pembakaran bahan organik, berupa senyawa anorganik dalam bentuk oksida, garam

dan juga mineral. Abu total yang terkandung di dalam suatu produk dibatasi

jumlahnya. . Kadar abu pada pakan mewakili kadar mineral pakan, kadar yang

sesuai adalah 3-7 % (Winarno, 2008).

Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan komponen

yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam mineral) yang tetap

tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Nurilmala dkk, 2006).

Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya. Tinggi

rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan oleh kandungan mineral

yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat dipengaruhi oleh proses

demineralisasi pada saat pembuatan (Sudarmaji dkk, 1989).

Menurut Irawati (2008) penentuan kadar abu dapat digunakan untuk

berbagai tujuan yaitu sebagai berikut:

1. Menentukan baik tidaknya suatu penggolahan

12
2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan

3. Menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.

4. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu

yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya

pasir atau kotoran lain.

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Nurhikma et al, 2017) kadar abu yang

diperoleh yaitu 3,30 ± 0,19% kemudian penelitian yang dilakukan oleh

(Latumahina dkk, 2007) memperoleh kadar abu 2,41%. DA-PhilRice (2001)

menyatakan bahwa kadar abu dari suatu organisme dipengaruhi adanya perbedaan

habitat, kebiasaan makan, dan lingkungann tempat hidupnya.

2.3.2. Lemak

Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh selain karbohidrat dan protein.

Menurut Budiyanto (2009) lemak dan minyak merupakan zat makanan yang

penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga

merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan

protein. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan

karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak dalam makanan

merupakan campuran lemak heterogen yang sebagian besar terdiri dari trigliserida.

Trigliserida disebut lemak jika pada suhu ruang berbentuk padatan dan disebut

minyak jika pada suhu ruang berbentuk cairan. Trigliserida merupakan campuran

asam-asam lemak, biasanya dengan panjang rantai karbon sebanyak 12 sampai 22

13
dengan jumlah ikatan rangkap dari 0 sampai 4. Dalam lemak makanan juga terdapat

sejumlah kecil foffolid, sfingofolid, kolesterol dan fitosterol.

Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana

berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Lemak dan minyak

merupakan ester yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan asam lemak dan

gliserol. Lemak merupakan jenis trigliserol yang dalam kondisi suhu ruang

berwujud padat, sedangkan minyak berwujud cair pada suhu ruang (Winarno,

2008). Menurut (sediaoetama, 1985) lemak dan minyak merupakan suatu kelompok

dari golongan lipid. Lipid sendiri merupakan golongan senyawa organik yang tidak

larut dalam iar, tetapi larut dalam pelarutnonpolar, seperti dietil eter, benzena,

klorofrom, dan heksana. Karena tergolong dalam lipid, maka lemak dan minyak

dapat larut juga pada pelarut-pelarut nonpolar seperti disebut diatas. Kelarutan

lemak dan minyak terhadap pelarut nonpolar terebut dikarenakan lemak dan

minyak mempunyai kepolaran yang sama dengan pelaruttersebut, yaitu nonpolar.

Namun, kepolaran suatu senyawa dapat berubah akibat proses kimiawi.

Asam lemak dapat dibentuk dari senyawa-senyawa yang mengandung karbon

seperti asam asetat, asetatdehida, dan etanol yang merupakan hasil respirasi

tanaman. Sintesis asam lemak dilakukan dalam kondisi anaerob dengan bantuan

sejenis bakteri. Pada tahap pembentukan molekul lemak ini terjadi reaksi

esterifikasi gliserol dengan asam lemak yang dikatalisis oleh enzim lipase

(wekipedia,2019). Minyak pangan dalam bahan pangan biasanya diekstraksi dalam

keadaan tidak murni dan bercampur dengan komonen-komponen lain yang disebut

14
fraksi lipida. Fraksi lipida terdiri minyak / lemak (edible fat / oil), makan (wax),

fosfolipida sterol, hidrokarbon dan pigmen. Dengan cara ekstraksi yang

menggunakan pelarut lemak seperti petroleum, eter, etil eter, benzena dan

klorofrom komponen-komponen fraksi lipida dapat dipisahkan (wikipedia,2017).

Lemak kasar (crude fat) tersebut disebut fraksi larut eter. Untuk membedakan

komponen-komponen fraksi lipida dipergunakan NaOH. Minayak / lemak makan,

malam dan fosfolipida dapat disabunkan dengan NaOH, sedangkan sterol,

hidrokarbon dan pigmen adalah fraksi yang tidak tersabunkan.

Adanya pigmen menyebabkan lemak berwarna. Warna lemak tergantung dari

macam pigmennya. Adanya karoteroid menyebabkan warna kuning kemerahan.

Keroteroid sangat larut dalam minyak dan merupakan hidrokarbon, dengan banyak

ikatan tak jenuh. Bila minyak di hidrogensi maka akan terjadi hidrogenasi

karoteroid dan warna merah akan berkurang. Selain itu, perlakuan pemanasan juga

akan mengurangi warna pigmen, karena karoteroid tidak stabil pada suhu tinggi.

Pigmen ini mudah terosidasi sehingga minyak akan mudah tengik. Cara

menghilangkan pigmen biasanya dilakukan dengan adsorben seperti arang aktif dan

beching earth. Asam- asam lemak yang ditemukan dialam, biasanya merupakan

asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai

jumlah atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi

menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam-

asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya, dan

berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Asam

lemak tak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis. Karena itu molekul akan

15
bengkok pada ikatan rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh dalam

bentuk trans (wikipedia,2017).

Asam lemak terdiri dari gugus asam karboksilat yang terikat pada rantai

hidrokarbon panjang. Bila rantai ini tidak mengandung ikatan rangkap, ikatan

tersebut dinyatakan jenuh, sedangkan bila rantai tersebut mempunyai ikatan

rangkap, struktur tersebut dikatakan tidak jenuh. Triasilgliserol, yang merupakan

ester asam lemak dan gliserol, adalah suatu bentuk tempat energi diubah untuk

penyimpanan waktu lama dalam sel lemak. dengan demikian, lemak tidak jenuh

(minyak tumbuhan) adalah triasilgliserol yang mempunyai rantai hidrokarbon asam

lemak tidak jenuh. Semua ikatan rangkap duanya berbentuk cis dan umumnya tidak

berikanjugasi (wikipedia,2017). Lemak jenuh atau lemak binatang dihubungkan

dengan timbulnya penyakit jantung. Lemak digunakan sebagai tempat

penyimpanan karena tiap gramnya membebaskan energi lebih dari dua kali lipat

dibandingkan karbonhidrat (wikipedia, 2019). Perbedaan ini terjadi karena

besarnya jumlah ikatan C – H dalam lemak setiap molekulnya (dan karena hidrasi

yang lebih sedikit per gramnya). Pada suhu ruang, lemak jenuh biasanya berbentuk

padat (misalnya mentega), sedangkan lemak tak jenuh biasanya cair (misalnya

minyak jagung)

Asam lemak jenuh memilki titik lebur lebih tinggi dibandingkan asam lemak

tidak jenuh. Lemak dan minyak dapat mengalami ketengikan (racidity), karena

dapat terhidrolisis dan teroksidasi bila dibiarkan terlalu lama kontak dengan udara.

Pada proses hidrolisis, lemak atau minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas

dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat mengakibatkan kerusakan pada lemak atau

16
minyak karena terdapat sejumlah air didalamnya, sehingga menimbulkan bau

tengik. Reaksi demikian dikatalis oleh asam, basa atau enzim tertentu seperti enzim

lipas (wekipedia,2017).

Lemak dan minyak yang teroksidasi akan membentuk peroksida dan

hidroperoksida yang dapat terurai menjadi aldehida, keton dan asam-asam lemak

bebas. Hasil oksidasi tidak hanya mengakibatkan rasa dan bau yang tak enak, tetapi

dapat pula menurunkan nilai gizi karena kerusakan vitamin dan asam-asam lemak

esensial dalam bentuk lemak. Rrreaksi oksidasi dipercepat dengan adanya cahaya,

pemansan, atau katalis logam seperti Cu, Fe, Co dan Mn. Lemak dan minyak yang

sangat tengik mempunyai keasaman yang rendah. Proses ketengikan dapat

dihambat salah satunya dengan penambahan zat antioksidan seperti vitamin E,

vitamin C, politenol, dan hidroquinon. (Yasid, 2006)

Berikut ini beberapa peneliti melakukan penelitian kandungan lemak pada

laor yang dilakukan oleh (Nurhikma et al, 2017) kadar lemak yang diperoleh yaitu

0,54 ± 0,29% kemudian penelitian yang dilakukan oleh (Latumahina dkk, 2007)

memperoleh kadar lemak 1,01%. Perbedaan kandungan lemak daging cacing laut

dipengaruhi oleh kadar air, habitat ukuran, dan nutrisi. Darmono (2001)

menyatakan bahwa kandungan nutrisi dalam suatu organisme laut bervariasi

tergantung pada nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies.

17

Anda mungkin juga menyukai