Anda di halaman 1dari 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

2.1.1 Klasifikasi

Menurut Pratiwi (2016), klasifikasi penyu Lekang adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Sauropsida

Ordo : Testudinata

Famili : Cheloniidae

Genus : Lepidochelys

Spesies : Lepidochelys olivacea

Gambar 2.1 Penyu Lekang (Keene, 2012).

2.1.2 Status Perlindungan

Penyu Lekang merupakan salah satu spesies penyu yang masuk dalam daftar

IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources)

Red List dengan kategori vulnerable species (Abreu et al., 2008). Vulnerable atau

rentan adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang

menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang. Kategori

6
7

status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN

dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies makhluk hidup yang

terancam punah. Berdasarkan status konservasi ini kemudian IUCN

mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species, yaitu daftar status kelangkaan

suatu spesies.

Berdasarkan surat edaran nomor : 526/MEN-KP/VIII/2015 tentang

pelaksanaan perlindungan penyu, telur, bagian tubuh, dan/atau produk turunannya,

menyatakan bahwa penyu merupakan salah satu jenis ikan yang dilindungi baik

berdasarkan ketentuan hukum nasional maupun ketentuan internasional, karena

keberadaannya telah terancam punah, yang diakibatkan oleh faktor alam maupun

aktivitas manusia. Terdapat enam jenis penyu yang dilindungi di Indonesia yaitu: 1.

Penyu Hijau (Chelonia mydas); 2. Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata); 3. Penyu

Tempayan (Caretta caretta); 4. Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea); 5. Penyu

Ridel/Abu-abu (Lepidochelys olivacea); dan 6. Penyu Pipih (Natator depressa)

(Menteri Perikanan dan Kelautan Indonesia, 2015).

2.1.3 Morfologi

Bersama dengan Lepidochelys kempii, Penyu Lekang merupakan spesies

penyu terkecil diantara spesies penyu yang lain, panjang penyu Lekang dewasa

berkisar 55-65 cm dengan berat 30-50 kg (Venkataraman and John, 2003).

Penyu tersebut bertelur rata-rata 100-110 telur per sarang, dan kebanyakan

individu akan bersarang satu sampai tiga kali per musim (Richardson, 1997).

Penyu Lekang mendapatkan namanya berdasarkan warna dari karapas nya yang

berwarna zaitun (National Marine Fisheries Service, 2008).


8

Menurut Pancaka (2000), penyu Lekang mudah dikenali dari tubuhnya

yang berbentuk datar, memiliki kepala besar dengan dua pasang sisik prefrontal.

Bagian atas penyu muda berwarna abu-abu, sedangkan penyu dewasa berwarna

hijau. Bagian bawah berwarna putih pada penyu muda, dan penyu dewasa

mendekati kuning. Sisik lateral dikatakan berjumlah 5-9 pasang, namun biasanya

berjumlah 6-8 pasang. Reptil ini mempunyai 2 bagian tempurung yang terdiri atas

bagian atas atau biasa disebut dengan karapas dan bagian bawah atau perut disebut

plastron. Karapas tersusun atas 2 lapisan, yaitu lapisan dalam dan lapisan luar.

Lapisan luar merupakan lapisan epidermal yang berbentuk sisik-sisik yang keras.

Lapisan dalam merupakan tempat menempelnya tulang belakang, kecuali tulang

leher dan tulang ekor sehingga kedua tulang tersebut bergerak bebas. Penyu dewasa

memiliki bentuk karapas hampir bulat. Sisi lateral naik membengkok ke atas dan

mendatar pada permukaannya.

a b c

Gambar 2.2 Morfologi penyu Lekang : a. Tampak samping ; b. Tampak atas ; c.


Bagian kepala (Marquez, 1990).
9

2.1.4 Persebaran

Penyu melakukan migrasi jauh antara tempat sumber makanan dengan

lokasi peneluran. Penyu umumnya mencari makan di perairan yang ditumbuhi

tanaman atau alga laut. Penyu dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran pada

periode musim kawin (Nuitja, 1984). Penyu Lekang penyebarannya terpusat di

perairan tropis (Gambar 2.3). Persebaran penyu wilayah Lautan IndoPasifik

ditemukan di Micronesia, Jepang, India dan Arabia Selatan sampai ke Australia

Bagian Utara. Persebaran penyu wilayah Lautan Atlantik ditemukan di Pantai Barat

Afrika, Pantai Brazil Selatan, Suriname, Guyana, dan Venezuela. Penyebaran penyu

Lekang terpusat di Laut Karibia sejauh ke utara Puerto Rico. Penyebaran penyu

wilayah Lautan Pasifik Bagian Selatan, ditemukan di Utara Galapagos sampai

California (Ernst and Barbour, 1989). Distribusi penyu Lekang di Indonesia

terpusat di Pantai Merubetiri dan sekitar pantai selatan Jawa (Gambar 2.4).

Pantai Penyu Lekang Bertelur

Rute Penebaran dan


Migrasi Penyu Lekang

Negara yang memungkinkan


Penyu Lekang Bertelur

Area Penyebaran dan Migrasi

Gambar 2.3 Peta persebaran utama penyu Lekang di dunia (Mast et al., 2009).
10

Gambar 2.4 Distribusi Penyu Lekang di Indonesia (Shabrina, 2015).

2.1.5 Siklus Hidup

Penyu pada umumnya memiliki siklus yang sama antar spesies. Siklus hidup

penyu terbagi atas pantai peneluran, ruaya pakan dan ruaya kawin. Penyu memiliki

masa dewasa kelamin hingga berpuluh-puluh tahun untuk mencapai masa

produktifnya. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum

bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh, yaitu bisa mencapai

hingga 3000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Penyu jantan dan betina

bermigrasi menuju daerah peneluran pada umur 20-50 tahun. Perkawinan penyu

dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di

musim tersebut (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).

Bolten (2003) menjelaskan bahwa, oviposisi berlangsung mulai dari sekali

hingga beberapa kali dalam setahun. Proses ini bergantung pada beberapa faktor

seperti letak lintang (latitude), umur, dan sumber serta kualitas pakan. Pada

umumnya penyu betelur lebih dari satu kali dalam satu musim bertelur (3-4 kali),
11

dengan interval kira-kira 2 minggu. Setelah selesai bertelur, penyu dewasa akan

meninggalkan sarang dan telurnya untuk melanjutkan siklus hidup di laut.

Tukik yang baru menetas dan keluar dari sarangnya akan langsung menuju

laut. Proses ini terjadi secara alamiah karena pengaruh cahaya. Tukik menuju laut

lepas hingga mencapai arus samudra dengan cadangan makanan kuning telur yang

ada di tubuhnya. Fase awal berkelana ini sering disebut sebagai “tahun yang

hilang”. Lama fase ini bervariasi sesuai dengan jenis dan populasinya (Direktorat

Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).

Gambar 2.5 Siklus Hidup Penyu (Miller, 1997).


12

2.1.6 Reproduksi

Menurut Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (2009),

reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa melalui

beberapa tahapan yakni perkawinan, peneluran, sampai menghasilkan generasi baru

(tukik). Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, hanya 1-3% yang

berhasil mencapai dewasa. Penyu melakukan kopulasi di dalam air laut, apabila

telah tiba musim kawin, beberapa penyu melakukan perkawinan meski dalam

pertengkaran. Waktu yang dibutuhkan untuk mulai kopulasi kurang lebih 4-6 jam

(Pancaka, 2000). Penyu jantan bertengger di atas punggung penyu betina saat

melakukan kopulasi (gambar 2.6).

Gambar 2.6 Proses kopulasi pada penyu Lekang (Behera, 2010)

Penyu jantan mencengkeram bahu betina dengan kuku yang terdapat pada

sirip depan oleh karena itu, betina yang bertelur mempunyai tanda bekas cakaran di

bahunya. Alat kelamin penyu jantan berbentuk ekor akan memanjang ke belakang

mengikuti kemana penyu betina berenang pada waktu kopulasi. Setelah kopulasi

penyu jantan akan kembali bermigrasi untuk mencari makan, sedangkan penyu

betina beberapa minggu kemudian akan bergerak menuju pantai untuk bertelur.
13

Induk penyu meletakkan telur-telurnya di dalam timbunan pasir dan meninggalkan

telur-telur tersebut sampai menetas menuju ke laut melanjutkan siklus hidupnya

(Pancaka, 2000).

2.1.7 Kegagalan Penetasan

Bakteri telah banyak diidentifikasi terkait menurunnya keberhasilan

penetasan dari telur penyu (Foti et al., 2009; Santoro et al., 2006; Wyneken et al.,

1988; Solomon and Baird, 1980; Phillot, 2002). Penelitian Wyneken et al. (1988)

menyebutkan tingginya jumlah spesies bakteri berkorelasi dengan rendahnya

tingkat keberhasilan penetasan. Bakteri akan menyumbat pori-pori yang terdapat

pada permukaan cangkang telur, penutupan ini mengganggu proses respirasi telur

dan mengakibatkan pertumbuhan embrio terhambat bahkan menyebabkan kematian

(Al-Bahry et al., 2011). Kematian embrio bermula dari lapisan cangkang

selanjutnya bakteri akan menyebar dan berkolonisasi di dalam komponen telur (yolk

dan albumin) (Al-Bahry et al., 2004).

2.2 Bakteri

Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak memiliki

selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki informasi genetik

berupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat khusus ( nukleus ) dan tidak ada

membran inti. Bentuk DNA bakteri adalah sirkuler, panjang dan biasa disebut

nukleoid. DNA bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas akson saja.

Bakteri juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid

yang berbentuk kecil dan sirkuler (Jawetz, 2013). Menurut (Koes, 2006) terdapat
14

beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya adalah

sumber energi, yang diperlukan untuk reaksi – reaksi sintesis yang membutuhkan

energi dalam pertumbuhan dan restorasi, pemeliharaan keseimbangan cairan, gerak

dan sebagainya ; sumber karbon ; sumber nitrogen, sebagian besar untuk sintesis

protein dan asam-asam nukleat. ; sumber garam-garam anorganik, khususnya folat

dan sulfat sebagai anion ; dan potasium, sodium magnesium, kalsium, besi, mangan

sebagai kation ; bakteri-bakteri tertentu membutuhkan faktor-faktor tumbuh

tambahan, disebut juga vitamin bakteri, dalam jumlah sedikit untuk sintesis

metabolik esensial. Terdapat beberapa bakteri yang diduga menjadi penyebab

kegagalan menetas pada telur penyu diantaranya adalah Pseudomonas, Bacillus, E.

coli, Salmonella, Citrobacter, Enterobacter, Shigella dan Klebsiella.

Bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus spp. dilaporkan telah di

teridentifikasi di lingkungan sarang penetasan alami penyu Lekang, tetapi tidak

menyebabkan kematian embrio di dalam telur (Mo et al., 1995; Craven 2007).

Beberapa bakteri telah teridentifikasi dari telur penyu Lekang yang gagal menetas,

Citrobacter freundii, Citrobacter youngae, Enterobacter cloacae, Enterobacter

sakazakii, dan Pseudomonas aeruginosa (Keene, 2012). Menurut pendapat

Lauckner (1980) dalam Hidayat dkk (2014) bakteri yang sering mengkontaminasi

telur penyu adalah dari golongan Enterobacteriaceae seperti E. coli, Shigella,

Enterobacter, dan Proteus. Pengisolasian bakteri yang dilakukan dari cangkang

telur penyu Lekang yang gagal menetas berhasil mengidentifikasi berberapa

bakteri yaitu Bacillus cereus, Shigella spp., Salmonella spp, dan Klebsiella spp.
15

2.2.1 Escherichia coli

Escherichia coli pertama kali diidentifikasi oleh dokter hewan Jerman,

Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan.

Tahun 1885, organisme ini digambarkan sebagai komunitas bakteri coli. Nama

“Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991 kemudian nama ini

berganti ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia dan

menyusun tipe spesies E. coli (Jawetz, 2013). Menurut Jawetz (2013), Klasifikasi

E. coli adalah sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proterobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli

Gambar 2.7 Pewarnaan Gram E. coli (Melliawati, 2009)


16

Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek

(kokobasil), mempunyai flagel, berukuran 0,4-0,7 µm x 1,4µm. E.coli dapat tumbuh

baik hampir di semua media perbenihan, dapat meragi laktosa dan bersifat

mikroaerofilik (Radji, 2011). Bakteri E.coli bergerak menggunakan flagella peritrik,

tidak mempunyai spora serta bisa hidup dalam keadaan aerob dan aerob fakultatif

(Melliawati, 2009). E. coli adalah mikroba yang paling umum digunakan sebagai

indikator adanya pencemaran feses dalam air. Habitat E. coli yaitu pada saluran

pencernaan dan saluran non pencernaan seperti tanah dan air. Mikroba jenis ini

selalu ada pada feses hewan maupun manusia. E.coli merupakan mikroba dari

kelompok Coliform. Kelompok Coliform biasa dijadikan indikator adanya

pencemaran air, tanah, makanan maupun minuman (Radji, 2011).

2.2.2 Bacillus spp.

Bacillus spp. digolongkan ke dalam kelas bakteri heterotrofik, yaitu protista

bersifat uniseluler, termasuk dalam golongan mikroorganisme redusen atau yang

lazim disebut sebagai dekomposer. Sebagian besar bakteri laut termasuk dalam

kelompok bakteri bersifat heterotrofik dan saprofitik. Bacillus merupakan bakteri

yang berbentuk batang dapat dijumpai di tanah dan air termasuk pada air laut.

Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein

dan polisakarida kompleks. Bacillus spp. membentuk endospora, merupakan Gram

positif, bergerak dengan adanya flagel peritrikus, dapat bersifat aerobik atau

fakultatif anaerobik serta bersifat katalase positif . Bakteri ini adalah salah satu dari

enam bakteri penghasil endospora. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval, elips

atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut


17

membedakan Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Spora tersebut

mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya. Berikut adalah

klasifikasi bakteri Bacillus spp. (Hatmanti, 2000) :

Kingdom : Procaryotae

Filum : Bacteria

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Famili : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus spp.

Gambar 2.8 Pewarnaan spora Bacillus spp. (Islam, 2014)

Menurut Hidayat (2014), ditemukannya Bacillus spp. pada hasil isolasi

pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang yang gagal menetas membuktikan

adanya pengaruh bakteri ini terhadap gagal menetasnya telur. Phillot (2002)

menambahkan, telur yang telah dikontaminasi oleh bakteri dapat mengalami

kegagalan dalam menetas.


18

2.2.3 Salmonella spp.

Wulandari (2010) menyatakan bahwa, Salmonella spp. adalah bakteri Gram

negatif yang berukuran 0,7 – 1,5 x 2,0 – 5,0 µm. Salmonella tumbuh pada kisaran

suhu 8 °C sampai 45 °C pada rentang pH 4-9 dan membutuhkan aw (activity water)

di atas 0,94. Salmonella spp. tumbuh dengan optimum pada suhu 35 °C sampai 37

°C mampu memproduksi H2S, dan mengkatabolisme berbagai macam karbohidrat

menjadi asam dan gas (dari fermentasi gula) (Blackburn and McClure, 2003).

Wulandari (2010) menambahkan bahwa Salmonella spp. mampu mengubah nitrat

menjadi nitrit dan tidak dapat memfermentasikan salicin, sukrosa dan laktosa.

Bakteri ini memiliki taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Species : Salmonella spp.

Gambar 2.9 Pewarnaan Gram Salmonella spp. (Wulandari, 2010)


19

2.3 Antimicrobial Peptida

Antimicrobial peptides (AMP) adalah suatu grup molekul yang diproduksi

oleh sel-sel dan jaringan dalam tubuh mahluk hidup. AMP berperan penting untuk

sistem pertahanan tubuh, sebagai antibakteri, maupun antifungi. Beberapa

diantaranya bahkan mempunyai efek sebagai antivirus dan antiparasit (Giuliani et.

al, 2007). AMP merupakan suatu protein bioaktif yang mempunyai aktivitas

biologis antara lain sebagai antimikroba berukuran relatif lebih kecil (6-100

molekul asam amino), bersifat amfipatik (memiliki kedua sifat hidrofilik dan

hidrofobik dalam strukturnya) dengan urutan asam amino yang berbeda-beda. AMP

digolongkan berdasarkan struktur dan motif asam aminonya. Sebagian AMP

bersifat polar karena terpisahnya area yang bersifat hidrofobik dan bermuatan

(Tossi, 2000).

Cloacal mucus kura-kura air tawar tersusun atas glikoprotein. Kura-kura dan

penyu adalah reptil yang kekerabatannya dekat, kedua hewan ini masuk dalam ordo

yang sama yaitu Testudinata sehingga diasumsikan bahwa cloacal mucus penyu

juga mengandung glikoprotein (Keene, 2012). Cloacal mucus penyu dapat bersifat

antifungi pada penelitian Philot (2012) untuk melindungi telur-telurnya. Substansi

ini dianggap sebagai protein bioaktif yang juga biasa ditemukan pada tanaman dan

beberapa hewan untuk melindungi dirinya dari mikroba. Beberapa tumbuhan

memiliki ribosom inactivating protein (RIPs) yang merupakan toksin tanaman

dengan aktivitas N-glikosidase sehingga dapat memotong N-Glikosida pada sub

unit besar ribosom mikroba (repository.ipb.ac.id, diakses 5 September 2018 pukul

2:06). Menurut penelitian Zahari (2012), katak borneo memiliki mukus yang
20

berfungsi sebagai antimicrobial peptida untuk melindungi kulit dari berbagai jenis

patogen. Melalui uji High Perfomance Liquid Cromatography (HPLC) diketahui

mukus katak borneo memiliki peptida seperti bradikinin, ranatuerin dan brevinin

yang berfungsi sebagai antimikroba. Cantisani (2013) juga menemukan substansi

peptida myxinidin pada epidermal mukus hagfish sebagai perlindungan awal

terhadap mikroba patogenik.

2.4 Uji Aktivitas Antibakteri

Penentuan adanya aktivitas bakteri terhadap antimikroba dapat dilakukan

dengan salah satu dari dua metode pokok yakni dilusi atau difusi. Metode yang

paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Paper disc berisi bahan

terntentu ditempatkan pada medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi

bakteri uji pada permukaannya. Setelah diinkubasi diameter zona hambat sekitar

cakram diukur untuk mengetahui daya hambat substansi terhadap bakteri uji.

Metode ini dipengaruhi beberapa faktor fisik dan kimia misalnya, sifat media agar

dan kemampuan difusi, ukuran molekuler, dan stabilitas substansi uji. Meskipun

demikian, standarisasi faktor tersebut memungkinkan dilakukan uji aktivitas

antibakteri dengan baik. Salah satu uji aktivitas bakteri dengan metode difusi agar

menggunakan disc diffusion adalah metode Kirby Bauer dengan media selektif

yaitu muller Histon Agar (Oktovia, 2017).


21

2.5 Tempat Penetasan Semi Alami BSTF

Pantai Boom adalah pantai berpasir hitam keabu-abuan yang terletak di

sebelah timur Kabupaten Banyuwangi. Pantai ini berhadapan langsung dengan

Selat Bali. Kawasan pantai Boom termasuk dalam kawasan budidaya laut dan

terletak di dekat fishing ground. Pantai Boom terletak di Kampung Mandar,

Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Pantai Boom merupakan salah

satu destinasi wisata di Banyuwangi yang ramai di kunjungi wisatawan, selain itu

Pantai Boom merupakan tempat bagi penyu Lekang (Lephidocelys olivace)

bertelur, disana terdapat sebuah tempat penetasan telur penyu semi alami sebagai

upaya konservasi penyu (Haprabu, 2018).

Sarang semi alami adalah tempat penanaman telur yang digunakan untuk

mengubur telur oleh pihak konservasi dengan tujuan penetasan yang dilengkapi

dengan dinding dan atap untuk mencegah paparan sinar matahari dan hujan secara

langsung serta dilengkapi dengan kolam air laut yang bertujuan untuk melatih

tukik merangkak ke air dan berenang. Tempat penetasan semi

alami atau sarang semi alami di pantai Boom dikelola oleh Banyuwangi Sea

Turtle Foundation (BSTF). Tempat penetasan telur semi alami BSTF berupa

bangunan terbuat dari bata dilapisi semen berbentuk persegi panjang yang

memiliki panjang 20 m dan lebar 4 m, dengan atap miring transparan memiliki

tinggi 1,5-3 m. Sarang semi alami BSTF terdapat bak bak penampung pasir

sebagai media inkubasi telur penyu dan di tengah tempat penetasan semi alami

terdapat kolam air. Pasir sebagai media inkubasi telur penyu dan air pada kolam
22

sarang semi alami diambil dari pantai Boom. Bangunan ini memiliki atap yang

terbuat dari serat karbon dan disangga oleh tiang besi (Haprabu, 2018).

Gambar 2.10 Sarang semi alami BSTF (Haprabu, 2018).

Anda mungkin juga menyukai