Anda di halaman 1dari 2

Pendiri Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai yang terkenal sebagai kerajaan hindu tertua di Indonesia merupakan kerajaan
yang memiliki sejarah panjang sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan lainnya di
Indonesia. Nama Kutai sendiri diketahui oleh para ahli mitologi saat setelah ditemukannya
sebuah prasasti, yaitu Yupa. Prasasti Yupa diidentifikasi sebagai peninggalan asli dari
pengaruh agama hindu dan budha yang menggunakan bahasa sansekerta dengan huruf
pallawa.

Dari prasasti inilah kemudian ditemukan nama Raja Kudungga sebagai pendiri Kerajaan
Kutai. Nama Maharaja Kudungga ini ditafsirkan oleh para ahli sejarah sebagai nama asli
Indonesia yang belum terpengaruh dengan bahasa India. Sedangkan keturunannya seperti
Raja Mulawarman dan Aswawarman diduga memiliki pengaruh besar budaya hindu dari
India.

Hal tersebut dikarenakan kata “Warman” pada setiap akhiran namanya berasal dari bahasa
sansekerta yang biasa digunakan oleh masyarakat India bagian selatan. Inilah yang
mengakibatkan banyak orang menyebut bahwa Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang
bercorak hindu dengan pengaruh budaya India begitu kental. Tak heran jika pola kehidupan
pada masa itu juga menyerupai kehidupan kerajaan-kerajaan hindu di India.

Selanjutnya dari Prasasti Yupa diketahui juga nama-nama raja yang memerintah Kerajaan
Kutai setelah wafatnya pendiri tersebut, yaitu sebanyak 20 generasi sebagai berikut:

1. Maharaja Kudungga, bergelar Anumerta Dewawarman (sebagai pendiri)


2. Maharaja Aswawarman (anak dari Raja Kudungga)
3. Maharaja Mulawarman (sebagai raja yang terkenal)
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
9. Maharaja Gadingga Warman Dewa
10. Maharaja Indra Warman Dewa
11. Maharaja Sangga Warman Dewa
12. Maharaja Candrawarman
13. Maharaja Sri Langka Dewa
14. Maharaja Guna Parana Dewa
15. Maharaja Wijaya Warman
16. Maharaja Sri Aji Dewa
17. Maharaja Mulia Putera
18. Maharaja Nala Pandita
19. Maharaja Indra Paruta Dewa
20. Maharaja Dharma Setia
Dari 20 generasi tersebut, raja yang terkenal adalah Raja Mulawarman. Namun, setelah
peninggalan Raja Kudungga, Kutai dipimpin oleh Aswawarman. Pemerintahan Aswawarman
tidak berlangsung lama yang kemudian digantikan oleh anaknya, Mulawarman. Rizem Aizid,
Pasang Surut Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Bangkitnya Kerajaan Islam di
Nusantara, (Yogyakarta:Anak Hebat Indonesia, 2022) h. 28

1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak.
Golongan terdidik ini menguasai bahasa sansekerta serta huruf pallawa. Adapun golongan
tersebut adalah golongan brahmana dan ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja
Mulawarman pada masa itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama
hindu. Dimana para brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada
prosesi adat tertentu, namun sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa
pada masa itu, para brahmana memilik intelektual yang tinggi.

2. Aspek Politik
Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik
menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut
juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja Mulawarman dikatakan menjadi raja yang
berkuasa, kuat serta bijaksana.

Secara jelas isi Prasasti Yupa tersebut adalah “Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia
mempunyai putra yang manshur, bernama Sang Aswawarman, ia seperti Sang Ansuman
(Dewa Matahari) dengan menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman
memiliki putra tiga, seperti api yang suci berjumlah tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra
itu ialah Sang Mulawarman, raja yang baik, kuat, dan bijaksana. Sang Mulawarman telah
melakukan kenduri dengan emas yang amat banyak. Karena kenduri itulah tugu batu ini
didirikan oleh para Brahmana.” Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari
Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga rakyat dan para golongan brahmana pun
mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa itu. Nana Supriatna,
Sejarah, (Bandung:Grafindo Media Pratama,2006), h.07

Anda mungkin juga menyukai