Anda di halaman 1dari 11

SEBOTOL BIR DAN COVID-19

AM Putut Prabantoro

Alkisah, sebuah bar dibangun di dekat sebuah gereja. Meskipun pembukaan bar itu mengundang
protes dari umat gereja, namun si pemilik tetap membuka barnya. Karena berulang kali protes tidak
diindahkan oleh si pemilik bar, umat gereja itupun memutuskan berdoa setiap hari dalam rangka
menentang keberadaan bisnis bar itu.

Beberapa hari kemudian, petir dahsyat menyambar bar tersebut dan membakarnya sampai menjadi
abu. Bar itu musnah !

Pemilik barpun menuntut gereja atas apa yang telah dilakukannya. Menurut pemilik bar, doa umat
gereja itulah yang telah menyebabkan bar-nya tersambar petir sampai terbakar habis. Oleh karena
itu, gereja harus membayar ganti rugi. Namun, umat gereja menolak keras seluruh tuduhan itu.

Karena tidak ada titik temu, si pemilik bar membawa masalah tersebut ke pengadilan. Di hadapan
hakim, pengurus gereja membantah semua tuduhan dan menolak untuk membayar ganti rugi. Lalu,
hakim pengadilan pun berkomentar. “Perkara yang membingungkan dan sangat sulit untuk
diputuskan. Di satu pihak, ada seorang yang percaya penuh akan kuasa doa yakni si pemilik bar,
sedang di pihak lain ada sekelompok masyarakat yang tidak percaya akan kuasa doa sekalipun
mendaraskannya setiap hari, yakni umat satu gereja !

Keyakinan itu adalah sebuah kebenaran bagi yang mempercayai. Namun, kebenaran itu sendiri tidak
ada kaitannya dengan sebuah keyakinan. Bahkan kebenaran tidak ada hubungannya dengan agama,
kepercayaan ataupun budaya. Kebenaran juga melintasi segala latar belakang dan perjalanan
panjang sejarah manusia. Suatu kebenaran tidak membutuhkan pembelaan ataupun berbagai teori
untuk menguatkannya.

Soal kebenaran, St. Agustinus dari Hippo mengatakan, “The truth is like a lion. You don’t need to
defend it. Let it loose. It will defend itself.” Ketika membaca ungkapan inspiratif ini, orang mulai
bertanya, kapan St . Agustinus dari Hippo menulis tentang ungkapan yang terkenal ini ? Benarkah, St
Agustinus dari Hippo menulis ungkapan ini ? Dan akhirnya, kebenaran siapa penulis kalimat
inspiratif ini menjadi perdebatan yang panjang dan diskusi tidak habisnya.

Pandemi Covid-19 merupakan bencana global sebagaimana yang ditetapkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia, WHO pada 11 Maret 2020 ketika seluruh dunia terpapar oleh virus yang
membahayakan ini. Tidak luput, Indonesia dari pandemi ini.

Sejak secara resmi pemerintah Indonesia mengumumkan warga Depok, Jawa Barat terkonfirmasi
sebagai pasien pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020, pandemi mulai menyerang Indonesia tanpa
pandang bulu, tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras ataupun golongan. Sebagai tindak
lanjut 13 April 2020, pemerintah Indonesia menyatakan pandemi-Covid sebagai bencana nasional
nonalam dengan dikeluarkannya Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Dalam pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok dengan berbagai
latar belakang argumennya. Yang pertama adalah kelompok masyarakat yang mempercayai bahwa
covid-19 itu ada. Yang kedua adalah kelompok masyarakat yang mempercayai bahwa covid-19 itu
tidak ada. Dan, yang ketiga adalah kelompok masyarakat yang menegaskan ada atau tidak Covid-19,
mati dan hidup adalah urusan Tuhan. Ketiga kelompok masyarakat kemudian berdebat di media
sosial dan sekaligus mempengaruhi perilaku sehari-hari.

Dalam hasil Survei Penerimaan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia yang diadakan Kementerian
Kesehatan, ITAGI, UNICEF, dan WHO, November 20201 dikatakan banyak responden yang tidak
percaya bahwa COVID-19 (SARS-CoV-2) nyata ataupun kemungkinannya untuk menular dan
mengancam kesehatan masyarakat. Beberapa responden menyatakan bahwa pandemi adalah
produk propaganda, konspirasi, hoaks, dan/atau upaya sengaja untuk menebar ketakutan melalui
media untuk dapat keuntungan.

Pada awal September 2020, pemerintah menjelaskan2, tingginya penduduk Jakarta yang tidak
percaya dapat tertular virus Covid-19 dan disusul oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan dalam kaitannya dengan ini. Pernyataan ini merujuk pada tingginya jumlah kasus
yang terdapat di provinsi-provinsi itu. Mereka percaya bahwa pandemi Covid-19 merupakan
konspirasi dan pendapat ini tidak bisa dilepaskan dari korelasi pemberitaan antara yang pro dan
kontra terhadap keberadaan Covid-19 yang sama kuat.

Dalam penjelasannya pada Juli 2021, pemerintah mengungkapkan, sebanyak 2.654 Kelurahan di
Indonesia dalam kepatuhan memakai masker kurang dari 60 persen.3 Jumlah kelurahan tersebut
paling banyak terdapat di Provinsi Aceh (548), dan disusul Jawa Barat (503), Jawa Timur (493), Jawa
Tengah (186), Sumatera Utara (174), Kalimantan Selatan (131), Sulawesi Selatan (103), Sumatera
Barat (85), Sulawesi Tenggara (62) dan Banten (61).

Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (2019), jumlah desa/kelurahan di seluruh
Indonesia sebanyak 83.820 buah. Artinya, tingkat ketidakkepatuhan masyarakat Indonesia terhadap
penggunaan masker mencapai 3,166 persen. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), disiplin adalah kata kunci untuk menurunkan tingginya tingkat penularan. Untuk mengurangi
tingginya tingkat penularan, 85% penduduk harus patuh pada penggunaan masker.4

Dampak dari tingginya tingkat penularan Covid di Indonesia dilaporkan sebanyak 7 (tujuh) negara
melarang masuknya penerbangan dari Indonesia. Negara tersebut adalah Filipina, Singapura, Uni

1
https://covid19.go.id/storage/app/media/Hasil%20Kajian/2020/November/vaccine-acceptance-survey-id-
12-11-2020final.pdf
2
https://www.merdeka.com/peristiwa/kenapa-masih-banyak-masyarakat-tidak-percaya-penyebaran-covid-
19.html
3
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/09/06434291/satgas-2654-kelurahan-catatkan-angka-
kepatuhan-pakai-masker-kurang-dari-60
4
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5169428/alasan-masih-banyak-orang-tak-mau-pakai-masker
Emirat Arab, Oman, Hongkong, Arab Saudi, Taiwan, dan Jepang.5 Dan bahkan, Arab Saudi melarang
warganya pergi ke Indonesia dan meminta warga Indonesia yang ada di Arab Saudi untuk kembali ke
Indonesia.

Sebenarnya, pada pertengahan Maret 2021, gara-gara Covid-19, Indonesia telah menjadi korban.
Timnas All England Indonesia dipaksa mundur dari turnamen bergengsi yang sudah diikuti sejak
tahun 1979. Indonesia dilarang mengikuti turnamen badminton yang selama ini telah mengangkat
kehormatan bangsa dan negara di dunia olah raga. Bagi masyarakat Indonesia, Badminton
dikatakan oleh Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari, bagai
“ideologi”karena mampu menyerap perhatian seluruh masyarakat Indonesia.

Latar belakang dikeluarkannya keputusan itu terhubung dengan pesawat yang membawa Timnas All
England Indonesia dari Istambul ke Brimingham terdapat penumpang yang dinyatakan positif Covid-
19. Meski sebelum berangkat dari Istambul dan setibanya di Birmingham, sudah melnjalani tes Covid
dengan hasil negatif, Timnas All England Indonesia tetap tidak boleh bertanding. Keputusan itu
diskriminatif dan tidak fair mengingat keputusan tersebut tidak berlaku bagi kontingen dari
Denmark, Thailand, dan India.

Sekalipun bersifat diskriminatif dan tidak fair, keputusan UK National Health Service (NHS) bersifat
final dan tidak dapat dinegosiasikan. Dubes Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins mengatakan
“Sadly this is the world we are living in now. It is right that countries apply strict health protocols, as
UK and Indonesia do, that those rules are applied fairly and transparently. The NHS decision is final
and non-negotiable.” 6

Pandemi Covid-19 juga telah merenggut tenaga kerja kesehatan Indonesia. Menurut Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) per 8 Juli 2021, pandemi Covid-19 ini telah mengakibatkan 458 dokter meninggal.7
Untuk bulan Juli 2021 tercatat sebanyak 35 dokter meninggal dunia. Jumlah tersebut meningkat
tajam dibanding dengan Januari 2021 dan jumlah ini belum termasuk para dokter yang terpapar
Covid-19. Misalnya di Kudus saja, terdapat 813 tenaga kesehatan (nakes) termasuk 70 orang dokter
yang terpapar Covid-19 dan di Yogyakarta, terdapat 167 dokter terpapar Covid-19.

Meskipun mungkin tidak akan kembali ke dunia sebelum terjadinya pandemi Covid-19, hingga kini
tidak ada satupun pemerintah atau negara yang mampu memprediksi kapan pandemi Covid-19 akan
selesai. Meskipun demikian, dunia tersentak ketika Eropa menyelenggarakan Piala Eropa dengan
penonton tanpa masker pada Juni – Juli lalu. Eropa mengejutkan dunia dengan tingkat kepulihan dari
pandemi Covid-19 begitu cepat. Namun pada kenyataannya, Eropa menghadapi gelombang baru
pandemi Covid-19 gara-gara Piala Eropa dan benua itu dibayangi oleh Covid-19 Varian Delta yang
tingkat penularannya sangat cepat dibanding dengan varian pertama.

5
https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/18/141000965/filipina-dan-8-negara-ini-larang-kedatangan-
dari-indonesia?page=all
6
https://jakartaglobe.id/news/uk-envoy-says-sorry-after-indonesian-badminton-players-end-up-in-quarantine
7
https://nasional.tempo.co/read/1481532/data-idi-per-8-juli-2021-mencapai-458-dokter-meninggal-karena-
covid-19
Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Kluge, mengatakan bahwa kompetisi Piala Eropa UEFA
yang diikuti 24 negara dan berlokasi di 11 negara berpotensi menjadi super spreader event.
Dilaporkan bahwa, dalam sepekan terakhir sejak dibukanya Piala Eropa, mayoritas negara yang
menjadi tuan rumah telah mengalami kenaikan kasus.8 Denmark mengalami tingkat tertinggi (84%),
Azerbaijan (69%), Inggris (68%), Spanyol (65%), Belanda (36%), dan Rusia (19%).

PELAJARAN
Diakui atau tidak, pandemi Covid-19 memberi pelajaran kepada dunia temasuk bangsa Indonesia.
Bagi Indonesia, pandemi Covid-19 ini harus dijadikan momentum yang bagus untuk melakukan
pembenahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara perlahan, pandemi
Covid-19 ini membantu membuka karakter atau jadi diri bangsa.

Yang harus dipahami adalah, dalam masa pandemi ini terjadilah apa yang dinamakan desentralisasi
global yakni kondisi dimana setiap negara menarik diri dari interkoneksi dengan negara dan
memfokuskan diri untuk menyelesaikan persoalan domestik akibat kasus yang sama. Setelah
pandemi covid-19 ditetapkan sebagai bencana global oleh WHO pada 11 Maret 2021, masing-masing
negara melakukan lock-down negaranya dan melarang bagi warga asing masuk ke wilayahnya.
Setidaknya 68 negara telah menyatakan larangan kepada warga asing termasuk warga Indonesia
masuk ke negaranya9 pada Maret 2020.

Sebagai akibat dari desentralisasi global, setiap negara harus mampu hidup di atas kakinya sendiri.
Kepentingan nasional yang seharusnya terpenuhi melalui diplomasi luar negeri menjadi pertanyaan
besar dalam pandemi global ini. Akses yang masih terbuka bagi diplomasi luar negeri adalah obat-
obatan karena negara membantu atas nama kemanusiaan, disamping juga merupakan bisnis.
Namun tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 ini membuka takbir bahwa ketahanan nasional
Indonesia dari kesehatan sama sekali tidak tangguh. Jika hal ini dibiarkan, kesehatan akan menjadi
ancaman yang luar biasa seriusnya bagi ketahanan nasional. Jawaban dari persoalan ini adalah,
kemandirian di bidang kesehatan adalah mutlak dan tidak dapat ditawar lagi. Berbagai persoalan
yang menyebabkan ketidakmandirian bidang kesehatan termasuk industrinya harus segera
diselesaikan.

Pandemi Covid-19 ini juga memberi pelajaran, bahwa ekonomi berjalan atau tidak, ada pekerjaan
atau tidak, perut tetap harus diisi dan dalam masa pandemi ini, ketahanan pangan menjadi faktor
penentu terwujudnya ketahanan nasional. Ketersediaan pangan menjadi hal yang strategis dan
kemudahan akses mendapatkan pangan menjadi tuntutan masyarakat. Sejarah sudah memberi
pesan bahwa persoalan pangan terkait erat dengan dinamika politik dalam negeri.

Presiden Joko Widodo berulang kali mengingatkan akan terjadinya kerawanan pangan dan kesiapan
Indonesia menghadapi kerawanan pangan ini menjadi prioritas. Desentralisasi global secara halus

8
https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/60e40f8986e33/bahaya-ledakan-covid-19-dari-pesta-
sepak-bola-di-eropa
9
https://travel.kompas.com/read/2020/03/20/081500127/daftar-68-negara-yang-melarang-masuk-wni-dan-
wna-karena-virus-corona
mengajarkan Indonesia untuk belajar mandiri. Artinya, pangan menduduki posisi strategis untuk
mewujudkan ketahanan nasional yang sifatnya final dan tidak dapat dinegosiasikan. Atau dengan
kata lain, Ketahanan Nasional dimulai dari Ketahanan Pangan.

Dampak global pandemi Covid-19 terhadap keamanan pangan (food security) sudah terasa sejak
awal virus itu merebak. Beberapa negara pengekspor sudah menyatakan menunda, menghentikan,
ataupun meninjau ulang kebijakan ekspor hasil pertaniannya. Negara pengekspor itu antara lain,
India, Eurasia, Ukraina, Kazakhtan, Belarusia, Russia, Vietnam, Kamboja dan Mesir.10 Ukraina
misalnya mereka harus melakukan pembatasan ekspor untuk mengendalikan harga gandum di
negaranya akibat pandemi global ini. Vietnam, pengekspor beras ketiga terbesar di dunia, terpaksa
menunda ekspor hasil buminya dan Kamboja yang juga penghasil beras meniadakan ekspor untuk
menjaga keamanan pangan dalam negeri.

FAO dalam laporannya tahun 2021 menulis,11 pandemi Covid-19 memicu pertanyaan terkait dengan
ketahanan sistem pangan global untuk menjamin negara-negara yang tergantung pada impor.
Pembatasan kegiatan bepergian dan di perbatasan berdampak pada tingkat aktivitas perdagangan
yang memengaruhi pengurangan tenaga kerja pertanian dan membatasi ketersediaan bibit, pupuk
dan juga pestisida.

Namun yang perlu mendapat catatan adalah, ketahanan pangan bertumpu pada 3 faktor utama
yakni pangan itu sendiri, air serta energi dan air menjadi sumber kekayaan alam (SKA) strategis yang
akan menentukan masa depan sebuah negara. Diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan air
akan menjadi sumber kekayaan alam sangat strategis yang akan diperebutkan negara-negara dunia
sebagai sumber energi, sumber air untuk tanaman pangan dan sumber air untuk minum.

Menurut laporan BBC12, meskipun 70 persen dari luas bumi adalah air, hanya 3 (tiga) persen air
yang bisa diminum. Lebih dari satu miliar orang tidak memiliki akses terhadap air dan 2,7 miliar
lainnya mengalami kelangkaan air setidaknya satu bulan dalam setahun. Merujuk pada survei tahun
2014 terhadap 500 kota terbesar di dunia, satu dari empat kota dunia sedang mengalami masalah
air. Diprediksi, pada 2030 kebutuhan dunia akan lebih tinggi 40% daripada ketersediaan. Hal ini
dipicu perubahan iklim, ulah manusia dan sekaligus pertumbuhan penduduk. Jakarta akan berada di
posisi kelima di antara 11 kota dunia yang paling tercancam kelangkaan air minum. Kota-kota yang
dimaksud adalah, San Paulo, Banglore, Beijing, Kairo, Jakarta, Moscow, Istambul, Mexico, London,
Tokyo dan Miami.

Hasil survei tahun 2012, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang memiliki cadangan
air terebesar setelah Brazil, Russia, Kanada dan AS.13 Namun hal itu tidak menjamin masa depan
Indonesia jika air ini tidak diperhatikan dengan serius. Pada tahun 2015, 21,7 juta San Paulo, Brasil

10
https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-trade-food-factbox-idUSKBN21L332
11
---------- (2021), Agricultural Trade & Policy Responses During The First Wave Of The Covid-19 Pandemic in
2020, Food And Agriculture Organization of The United Natios, Rome
12
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43027843
13
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/10/15/indonesia-peringkat-5-negara-dengan-cadangan-air-
tawar-terbesar-dunia
hanya memiliki cadangan air untuk 20 hari dan polisi harus melakukan pengawalan tanki air.
Banglore, India yang dipromosikan sebagai kota teknologi, mengalami kesulitan dalam mengelola air
dan limbah kota akibat dari infrastruktur yang usianya sudah tua. Akibatnya, air di Banglore
mengalami polusi dan separoh air terbuang secara percuma. Sementara China yang dihuni hampir
20% penduduk dunia hanya memiliki 7% air tawar dunia dan menghadapi masalah polusi air di mana
85% cadangan air danau hanya bisa digunakan untuk irigasi dan industri. Sungai Nil yang memenuhi
97% kebutuhan air di Mesir ternyata juga merupakan hilir dari sampah pertanian hingga rumah
tangga.

Oleh BBC dilaporkan juga bahwa tahun 2040, Pulau Jawa akan kehabisan air dan mengancam
kehidupan 150 juta orang yang tinggial di Pulau Jawa.14 Jika ini memang terjadi demikian, amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (amandemen) menyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”, tidak akan terpenuhi.

Pada tahun 1970, Menlu AS, Henry Kissinger yang juga arsitek perang dingin mengatakan, control oil
you control nations, control food you control the people. Pernyataan Henry Kissinger ini untuk
menegaskan bagaimana AS melihat pangan dan minyak sebagai senjata untuk menguasai sebuah
negara dan rakyatnya.15 Pada tahun 1970, minyak sedang mengalami booming dan Indonesia
menjadi salah satu negara pengekspor minyak. Namun dengan berjalannya waktu, berkurangnya
cadangan minyak dan kemajuan teknologi, air akan menggantikan minyak sebagai energi. Indonesia
kaya akan segalanya termasuk air. Namun jika amanat Pasal 33 ayat (3) tidak dilaksanakan,
kemakmuran bukan milik rakyat Indonesia.

Terkait “dikuasai negara” dalam putusan PERKARA NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003 (hal 334), MK
berpendapat;16 pengertian "dikuasai oleh negara" haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya", termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan
(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad)
dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai
instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya

14
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49190635
15
https://shareverything.com/2016/05/23/kissinger-control-food-and-you-control-the-people/
16
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/Putusan001PUUI2003.pdf
kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad)
dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ... Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika:
(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau
(ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting
bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh Negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Pertanyaannya adalah siapa yang menguasai dan mengelola air bumi Indonesia ? Bagaimana
praktiknya yang terjadi?

Jawaban atas pertanyaan di atas merupakan salah satu pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah
di tengah kegalauan masyarakat antara selesainya masa pandemi dan perut yang tidak boleh lapar.
Idealnya, mau tidak mau, pandemi Covid-19 ini harus dijadikan momentum untuk mengubah
tantanan yang ada untuk mewujudkan ketahanan nasional yang diawali dari ketahanan pangan.

Sebagai contoh, tentang pulsa. Ketika UUD 1945 disusun para pendiri negara tidak pernah
terpikirkan mengenai pulsa. Jika dicari secara harafiah, kata “pulsa” tidak ada dalam UUD 1945.
Namun, ketika dikaitkan dengan “menguasai hajat hidup orang banyak”, pada saat ini “pulsa” dan
perusahaan telekomunikasi seharusnya dikuasai oleh negara. Sehingga adalah penting
meredefinisikan kembali, menguasai hajat hidup orang banyak, agar amanat UUD 1945 terkait
dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat terpenuhi dan sesuai dengan perkembangan jaman.

Pasal 33 UUD 1945 adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan oleh pemerintah dan rakyat
Indonesia. Artinya, jika Indonesia tidak menguasai sumber-sumber airnya, suatu saat kita harus
merelakan diri jika pangan kita dikuasai asing juga.

MISSION IMPOSSIBLE
Indonesia mengenal cerita tentang Bandung Bondowoso yang mampu membangun seribu Candi
termasuk Prambanan dalam satu malam. Jika mau dibandingkan, mampukah pemerintah
melaksanakan amanat UUD 1945 dalam satu hari ? Atau jika mau disesuaikan dengan kondisi
sekarang, dalam masa pandemi ini, mungkinkah pemerintah Indonesia melakukan tugas Mission
Impossible dalam serialnya Ghost Protocol.

Dalam serial ini, tim Mission Impossible harus melakukan tugas yang mustahil karena situasi yang
menelatarbelakanginya. Ada tiga kata kunci yang menjadi pijakan tim Mission Impossible yang
menjadikan impossible menjadi possible. Ada tiga kata kunci yang mengubah segala sesuatu yang
mustahil menjadi terjadi yakni “No plan, No Back-up & No Choice.

Merebaknya pandemi Covid-19 adalah peristiwa yang tidak direncanakan oleh siapapun (No Plan)
dan semua bersifat darurat. Karena situasinya darurat tidak ada satu rencana yang dapat dibuat,
jikapun harus melakukan sesuatu dilakukan dalam kondisi “semampunya” seperti halnya pemadam
kebakaran.
Desentralisasi global yang melanda seluruh negara karena kasus Covid-19 memaksa orang untuk
menyelesaikan masalah dengan cara sendiri tanpa dapat berharap dukungan dari negara lain (No
Back-up). Atas nama “kesehatan” dan ketahanan nasional, sebuah negara dapat mengambil
tindakan “semaunya” dan keputusannya sifatnya final dan tanpa dapat dinegosiasikan. Kasus
Timnas All England Indonesia ataupun larangan beberapa negara terhadap penerbangan yang
berasal dari Indonesia, menegaskan bahwa Indonesia harus berubah dan kemudian mengurus
dirinya sendiri. Jika pandemi Covid-19 mencerminkan persoalan hidup atau mati bangsa Indonesia
(di masa depan), tidak ada pilihan lain bagi Indonesia (No Choice) terkecuali memang hidup dan
berdiri di atas kaki sendiri.

QUO VADIS
Pada 15 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan diawalinya New Normal. Tidak ada definisi
baku soal New Normal. Namun dalam penjelasan Joko Widodo, dapat diartikan new normal adalah
hidup berdampingan dan berdamai dengan Covid-19. Alasannya adalah meski ada curva menurun,
virus corona tidak akan hilang.17 Artinya untuk bisa hidup berdampingan dengan Covid-19 dan tidak
membahayakan orang sekitar dan dirinya, masyarakat tetap haru melaksanakan 3M yakni
Menggunakan Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan.

Setelah new normal berjalan satu tahun lebih, 3M ternyata tidaklah cukup. Pademi Covid-19 pada
tahun 2021 melonjak tinggi bahkan setelah ditemukannya varian baru dari Covid-19 yakni Varian
Delta (D) yang berasal dari India. Mengingat varian Delta ini daya sebarnya lebih cepat daripada
varian sebelumnya, protokol kesehatan dengan 3M tidaklah cukup dan oleh karena itu pemerintah
meminta masyarakat menjadikannya 5M. Tidak hanya menggunakan masker, menjaga jarak dan
mencuci tangan tetapi pemerintah juga menghendaki masyarakat menghindari kerumunan dan
mengurangi mobilitas.

Selain itu, pemerintah juga menerapkan PPKM – Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang
levelnya sampai empat dan dikatakan baru akan berakhir pada 2 Agustus 2021 yang berlaku bagi
daerah Jawa dan Bali. Sementara bagi luar Jawa dan Bali, dikatakan PPKM akan berlansung hingga 8
Agustus.18

Sungguh ini merupakan pukulan berat bagi pemerintah dan masyarakat. Pandemi Covid-19 tidak
kunjung selesai sementara kegiatan mencari rejeki tertunda terus dengan berbagai pengecualiannya.
Hingga sekarangpun tidak ada satu pemerintah atau negara yang bisa memastikan kapan pandemi
ini akan usai sekalipun masyarakat sudah menjalani vaksinasi. Bahkan, meskipun sudah mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan, 2.654 kelurahan dar 83.820 kelurahan seluruh Indonesia tidak
memiliki kepatuhan menggunakan masker. Tingkat kepatuhannya di bawah 60 persen, sementara
para ahli mengatakan penurunan angka penularan virus Covid-19 dapat dilakukan jika kepatuhan
penggunaan masker mencapai 85 persen.

17
https://nasional.tempo.co/read/1342885/pernyataan-lengkap-jokowi-soal-new-normal-damai-dengan-
covid-19/full&view=ok
18
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210725091615-20-671850/ppkm-level-4-luar-jawa-bali-
dikabarkan-hingga-8-agustus
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah kelurahan yang tidak mematuhi
penggunaan masker kecil prosentasenya. Namun, prosentase yang kecil ini dapat menjadi ancaman
serius bagi penurunan tingkat penyebaran pandemi Covid-19 seluruh Indonesia. Alasan yang
pertama adalah, 2.654 kelurahan tersebut berasal dari 10 provinsi dengan menguasai mayoritas
penduduk seluruh Indonesia yang berjumlah 271.349.889 orang per 2021.19

Provinsi yang dimaksud adalah Aceh (548 kelurahan) - 5 274 871 jiwa, Jawa Barat (503 kelurahan) -
48.274.162 jiwa, Jawa Timur (493 kelurahan) - 40.665.696 jiwa, Jawa Tengah (186 kelurahan) -
36.516.035 jiwa, Sumatera Utara (174 kelurahan) - 14.799.361 jiwa, Kalimantan Selatan (131
kelurahan) - 4 073 584 jiwa, Sulawesi Selatan (103 kelurahan) - 9.073.509 jiwa, Sumatera Barat (85
kelurahan) - 5 534 472 jiwa dan Sulawesi Tenggara (62 kelurahan) - 2 624 875 jiwa, Banten (61
kelurahan) - 11.904.562 jiwa.

Pertanyaannya berikutnya adalah Quo Vadis Indonesia ? Dalam konteks ini, apakah keberadaan
Covid-19itu benar atau tidak, dipercaya atau tidak, konspirasi atau bukan, pandemi Covid tetap akan
yang seperti kita lihat.

New Normal yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai tatanan kehidupan baru di tengah
pandemi Covid-19, hendaknya dilihat sebagai habitus baru yang memengaruhi dan sekaligus
memunculkan cara berpikir, berkomunikasi, bertindak, berperilaku dan sekaligus berujung pada
cara hidup yang baru (baca: berbeda). Memahami habitus baru ini tidaklah mudah karena akan
membongkar apa yang tadinya dianggap sebagai suatu kebenaran dan sekaligus meluruskan apa
yang selama ini mungkin dianggap sebagai kekeliruan.

Jika demikian, manusia Indonesia harus berubah? Pertanyaan yang sebenarnya bukanlah berubah
atau tidak, tetapi pertanyaannya adalah seberapa cepat bangsa Indonesia berubah terutama terkait
dengan pandemi Covid-19 ?

Seberapa cepat ini menjelaskan adanya persoalan keadaan darurat yakni soal berpacu dengan waktu
yang jika tidak dilaksanakan dengan kesadaran akan berakibat pada keselamatan bangsa dan
ketahanan nasional di masa depan. Tentu saja dalam konteks ini kemudian, dalil-dalil, atau teori
kehidupan yang selama ini menjadi bagian erat dari kehidupan masyarakat Indonesia, suka atau
tidak suka, akan tergerus dengan sendirinya. Pandemi Covid-19 dan New Normal adalah sesuatu
keniscayaan dan habitus baru adalah suatu konsekuensi.

Pada 1974, Guru Besar Ilmu Antropologi yakni Koetjaraningrat menerbitkan buku tentang
Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Guru
besar di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Perguruan Tinggi Hukum Militer dan
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini menjelaskan ada lima kelemahan mentalitas orang Indonesia
antara lain (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tidak percaya pada diri sendiri, (4) tidak
berdisiplin, dan (5) terakhir adalah tidak bertanggung jawab.

19
2021, Hasil Sensus Penduduk 2020, Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No. 7/01/Th. XXIV, 21
Januari 2021
Dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 6 April 1977 dengan judul
“Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Masa Kini”, budayawan Mochtar Lubis mengemukakan enam
ciri dari manusia. Ciri-ciri manusia Indonesia menurutnya (1) Munafik atau hipokrit, (2) enggan dan
segan bertangggungjawab atas perbuatannya, (3) bersikap dan berperilaku feodal, (4) percaya
takhyul, (5) artistik, dan (6) lemah watak atau karakternya (Oetama, dalam pengantar Lubis, 2008).
Ceramah budaya Mochtar Lubis ini kemudian dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia” dan
terus mengalami cetak ulang hingga sekarang.

Dalam konteks ini, selain harus terus dilakukan upaya penanaman pemahaman new normal dengan
habitus barunya seperti 3M, perlu dilakukan upaya lain dalam penanaman mental perubahan
menuju Indonesia yang lebih baik. Jika kelemahan mentalitas versi Koentjaraningrat dan karakter
manusia Indonesia versi Mochtar Lubis dijadikan acuan, new normal harus menumbuhkan habitus
baru yang merupakan perbaikan dari kelemahan atau karakter yang tidak mendukung Indonesia
menjadi bangsa seperti yang dicita-citakan pendiri negara. Habitus baru harus diterima dan
dilakukan agar Tujuan dan Cita-cita Nasional sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD
1945 dapat diwujudkan.

GOTONG ROYONG
Satu hal yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri dalam masa pandemi ini adalah banyak
masyarakat berbicara nilai luhur bangsa Indonesia yang selama ini terkubur oleh nilai individualisme
yakni gotong royong.

Mensos Tri Rismaharini menegaskan bahwa dalam pandemi pemerintah tidak bisa bekerja sendirian
dan membutuhkan sinergitas dengan masyarakat. Caranya melalui semangat gotong royong
membantu sesama tanpa harus menunggu bantuan pemerintah. Konsep gotong royong diyakini
Risma, dapat meringankan penanganan pandemi karena dalam gotong royong ada tanggung jawab,
rasa persaudaraan sebnasib sepenanggungan. Masa pandemi ini bangsa Indonesia harus
mengembangkan lagi semangat tersebut.20

Menurut Koentjaraningrat (hal. 63), awalnya, gotong royong merupakan sistem pengerahan tenaga
tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk
dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Biasanya tuan rumah hanya
menyediakan makan siang bagi mereka yang berpartisipasi dan kompensasi lain tidak ada. Dalam
bahasa jawa Gotong Royong disebut dengan istilah sambatan - dari kata sambat atau mengeluh atau
nguda rasa atau istilah sekarang curhat. Dari kata sambat ini, ujung dari curhat adalah meminta
bantuan.

Yang dimaksud Soekarno dengan gotong royong, yang menjadi nilai inti dari Pancasila, merupakan
bekerja bersama-sama, saling bantu, bahu-membahu, kerjasama, musyawarah untuk mufakat, dan
saling menghargai sebagai bangsa. Dalam konteks ini Soekarno tidak menemukan istilah gotong
royong tetapai menemukan nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong yang telah dihayati sekian lama
di bumi Indonesia. Gotong-royong sebagai sebuah nilai bersifat tetap dan objektif dan menjadi dasar

20
https://www.republika.co.id/berita/qww4v9396/mensos-gotong-royong-ringankan-beban-selama-pandemi
nasionalisme Indonesia yang dibangun atas dasar kebersamaan. Gotong-royong memiliki dimensi
kemanusiaan yang justru dapat menjadi pengikat kebersamaan antarbangsa.21
Pandemi Covid-19 bisa dikatakan sebagai titik pijak dilaksanakanya Revolusi Mental yang dicetuskan
oleh Joko Widodo ketika mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia untuk periode pertama tahun
2014. Istilah Revoulusi Mental pertama kali diucapkan Presiden Soekarno dalam Pidato Kenegaraan
pada 17 Agustus 1957 yang berjudul “Satu Tahun Ketentuan”. Dalam pidatonya, Soekarno mengajak
rakyat Indonesia hidup sederhana, bergotong royong, hemat, dan religius. Konteksnya adalah
‘nation and character buildings’ Indonesia.22

“Revolusi Mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi
manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang
menyala-nyala,” ujar Presiden Soekarno.

Pandemi Covid-19 adalah momentum untuk melaksanakan Revolusi Mental dengan berawal dari
gotong royong, belarasa, bekerja bersama untuk menyelamatkan bangsa, generasi mendatang dan
demi masa depan Indonesia. Percayalah pada diri sendiri dan bertanggung jawab atas hidup yang
diberikan. Jika menghilangkan pandemi Covid-19 dari Indonesia dan menyelenggarakan New Normal
adalah Mission Impossible, hanya bangsa Indonesia (dan bukan bangsa lain) yang dapat
menyelesaikan pekerjaan mustahil ini. Jangan Tunda lagi !

PENUTUP
Dalam suatu program pelatihan jurnalistik, seorang wartawan ditanyai oleh tutornya. Jika suatu hari
hujan, seorang suster mengatakan hujan dan bapak Uskup mengatakan tidak hujan, siapakah yang
Anda percayai ? Wartawan itu menjawab, Bapak Uskup. Alasannya, Bapak Uskup adalah pemimpin
umat dan jabatannya jauh lebih tinggi dari seorang suster.

Tutor itu merespon, sebagai seorang wartawan, kewajiban Anda adalah membuktikan pada hari itu
hujan atau tidak. Faktanya bagaimana ?

----------------------------------------------------

AM PUTUT PRABANTORO
Alumnus Lemhannas PPSA XXI
Taprof Lemhannas RI, Bidang Ideologi & Sosbud.

21
2016, Dewantara WD, Lasiyo, Soeprato S, GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF
AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA, Universitas Gadjah Mada -
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/97623
22
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/potret-pembangunan-manusia

Anda mungkin juga menyukai