Anda di halaman 1dari 152

CARA ISLAM ATASI KEMISKINAN

STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN


PADA ERA PEMERINTAHAN KHALIFAH
UMAR BIN ABDUL AZIZ

Agussalim Rahman

PENERBIT CV. PENA PERSADA

i
CARA ISLAM ATASI KEMISKINAN
STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN
PADA ERA PEMERINTAHAN KHALIFAH
UMAR BIN ABDUL AZIZ

Penulis:
Agussalim Rahman

Editor :
Afriyani

ISBN : 978-623-315-801-5

Design Cover :
Retnani nur Briliant

Layout :
Hasnah Aulia

Penerbit CV. Pena Persada


Redaksi :
Jl. Gerilya No. 292 Purwokerto Selatan, Kab. Banyumas
Jawa Tengah
Email : penerbit.penapersada@gmail.com
Website : penapersada.com Phone : (0281) 7771388
Anggota IKAPI

All right reserved


Cetakan pertama : 2021

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun
tanpa izin penerbit

ii
Kudedikasikan
Untuk Yang Tercinta

Orang tuaku :
Ibunda Hj. Kudesiah binti Umar (Alm)
Ayahanda Drs. H. Abd. Rahman Hasan

Anak anakku :
A. Arif Rahman Hakim „Arham‟
A. Miftahul Rizka Mutmainnah „Mitha‟

Saudara – saudaraku :
Hj. Najiha Rahman
Hj. Zakiah Rahman
Hj. Saidah Rahman
Hj. Raqiah Rahman
Radiah Rahman
Rasdiyanah Rahman
Syamsul Alam (Upik)

iii
PROLOG
HANYA ISLAM YANG MAMPU
ATASI KEMISKINAN

Masalah kemiskinan adalah satu fenomena yang tak pernah


lekang dari dinamika kehidupan manusia. Mulai sejak jaman
Rasulullah SAW, Sahabat khulafaurrasyidin, Khilafah Umayya
hingga Khilafah Utsmani (sekitar 14 abad), hanya syariat Islam
melalui penerapan Al-Qur‟an dan Hadis secara kaffah yang
mampu membuktikan sebuah wilayah pemerintahan tanpa
adanya orang miskin (kemiskinan 0 %).
Setelah dunia dikuasai dengan sistem ekonomi kapitalisme
pada penghujung abad 18 ditandai terbitnya The Wealth of Nations
dari Adam Smith di Eropa ternyata sistem ini memandang bahwa
kemiskinan merupakan problem dan kesengsaraan hidup. Harta
yang berhasil mereka kumpulkan adalah semata mata atas
kecerdasan dan kecerdikan mereka. Pemilik harta (capitalis) adalah
orang yang paling berhak untuk memperlakukan harta tersebut
sesuai dengan kehendak hatinya. Akan ada mekanisme pasar yang
dianggapnya sebagai tangan yang tak kentara (invisible hand) yang
akan mengatur menuju keseimbangan. Ada mekanisme
perembesan ke bawah (trickle down effect) yang membuat kalangan
miskin ikut kecipratan kekayaan. Kapitalisme tidak berhasil
mengatasi kemiskinan. Jutru yang terjadi adalah yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Gap antara kaya
dan miskin semakin lebar.
Begitupula sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx
melalui bukunya Das Capital (1867). Sosialisme Marxisme memiliki
pandangan bahwa upaya untuk menghapus kemiskinan tidak
akan jadi kenyataan kecuali dengan menghancurkan kelas-kelas
borjuis, merampas harta mereka dan membatasi kepemilikan harta
dari manapun sumber penghasilannya. Kelompok ini bertujuan
menghapus prinsip prinsip hak individu yang dianggap sebagai
sumber segala bentuk kejahatan dan kedzoliman dalam kehidupan
masyarakat.

iv
Orang-orang kapitalis dan sosialis mencoba mencari solusi
atas problem kemiskinan dengan membelenggu kebebasan rakyat
serta membangkitkan pola kediktatoran yang kejam dan tiran,
menggunakan harta dan kekuasaan seenaknya dan tidak
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk bekerja dan
memiliki ataupun menggunakan harta yang dimiliki secara
bertanggungjawab. Intinya kedua sistem ekonomi yang saat ini
menguasai sistem perekonomian dunia telah gagal mengatasi
kemiskinan. Setelah lebih dari 13 abad berbagai program
pengentasan kemiskinan sudah dilakukan, ribuan trilyun
anggaran telah dikeluarkan tetapi tak ada satupun negara yang
berhasil memberikan hasil yang signifikan dalam mengentaskan
kemiskinan. Dalam laporan Poverty and shared prosperity yang
dirilis Bank Dunia pada 2019 terungkap bahwa terhadap 10,7
persen atau 767 juta orang orang dari populasi global yang berada
dalam jurang kemiskinan dengan ukuran pengeluaran US$ 1,9
atau sekitar Rp 27,170 per hari. (Koran Tempo, 29 April 2019).
Apalagi dengan hadirnya Pandemi Covid-19 di akhir tahun 2019
sampai saat ini yang membatasi ruang gerak untuk melakukan
aktivitas ekonomi maka dipastikan jumlah masyarakat yang
miskin akan semakin meningkat.
Hal ini menjadi dasar pemikiran penulis untuk menggali
bagaimana cara khilafah Islamiyah sekitar 11 - 13 abad
sebelumnya berhasil menghadirkan suasana masyarakat yang adil
dan makmur tanpa adanya masyarakat yang miskin.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan yang tertuang
dalam Disertasi yang berjudul Konsep Ekonomi Islam Dalam
Mengentaskan Kemiskinan (Studi Empirik pada Era Pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz) mengungkapkan ternyata dalam
Al-Qur‟an dan Hadis yang menjadi pedoman hidup ummat Islam
memiliki tuntunan yang lengkap mengenai fenomena kemiskinan,
hakekat kemiskinan, batasan kemiskinan dan cara cara yang harus
dilakukan oleh ummat manusia agar terbebas dari kemiskinan.
Kebijakan yang dilandasi oleh syariat Islam ini lah yang
dijalankan secara kaffah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz
seorang Khalifah ke 8 dari Bani Umayyah pada periode

v
kekhalifaanya 91 -101 H atau 718 -720 M dalam waktu yang sangat
singkat sekitar 29 bulan mampu mengatasi kemiskinan sehingga
tidak ada lagi penduduk yang mau menerima zakat dalam
wilayah kekhalifaannya yang meliputi wilayah seluas 15 juta km 2,
yang terbentang dari sisi timur Kufah, Basrah dan Khurazan
sampai sisi barat di Andalusi Spanyol dan Afrika Utara dengan
jumlah penduduk mencapai 62 juta orang.
Tuntunan syariat Islam inilah sebagaimana yang sudah
dipraktikkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang penulis
rumuskan dalam sebuah model pengentasan kemiskinan menurut
konsep Ekonomi Islam yang terdiri atas tujuh cara yaitu,
Cara Pertama : Perintah Untuk Bekerja
Cara Kedua : Melakukan Hijrah/merantau/transmigrasi.
Cara Ketiga : Mendapat Jaminan Nafkah dari Keluarga
Cara Keempat : Optimalisasi Zakat
Cara Kelima : Jaminan Negara
Cara Keenam : Kewajiban kewajiban Selain Zakat
Cara Ketujuh : Tolong Menolong (Ta‟wun)
Buku ini memuat tujuh cara Islam dalam mengentaskan
mengatasi kemiskinan yang dilengkapi dengan dalil dari Al-
Qur‟an dan Hadis.
Kebahagiaan penulis semakin lengkap dengan adanya
kata pengantar yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Muslimin H.
Kara, M.Ag selaku Promotor penulis saat menyelesaikan studi
pada konsentrasi Ekonomi Islam Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar serta Sambutan dari Prof. Dr. H. Muhammad Asdar, SE,
M.Si Guru Besar Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin sebagai Penguji Eksternal dalam Promosi
Doktor penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang
sebesar-besarnya kepada kepada Tim Penguji Disertasi dan Tim
Promotor yang terdiri atas : Prof. Dr. H.M. Ghalib M. M.A ; Prof.
Dr. H. Abustani Ilyas, M.A ; Prof. Dr. H. Mukhtar Lutfi, M.Pd ; Dr.
Amiruddin K, M.E.I ; Dr. H. Abdul Wahab, SE, M.Si ; Dr. M.
Wahyuddin Abdullah, SE, M.Si, Ak ; Dr. Siradjuddin, SE, M.Si

vi
yang telah memberikan koreksi penyempurnaan sehingga
Disertasi penulis dapat tuangkan dalam bentuk buku.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada Dr. Ir. H. Andi Entong C, M.Si Ketua STIE Tri
Dharma Nusantara beserta jajaran Staf dan Dosen yang senantiasa
mendukung penulis sehingga terbitnya buku ini.
Jika kesempurnaan yang penulis kejar, tentulah buku ini
tidak akan terbit. Setelah melakukan ikhtiar yang maksimal dan
koreksi dari editor Dr. Afriyani, SE.I, MM akhirnya penulis bisa
menyelesaikan buku ini. Untuk itu penulis menyadari masih
terdapat kesalahan dan kekurangan dalam buku ini. Hendaklah
para pembaca berkenan untuk memberikan koreksi menuju
penyempurnaan pada terbitan berikutnya.
Harapan penulis, buku ini memberikan manfaat yang besar
terutama kepada pemerintah, BAZNAS & LAZ untuk dijadikan
rujukan dalam melaksanakan program program pengentasan
kemiskinan.
Ilmu Untuk Kemaslahatan Ummat Manusia

Makassar, Oktober 2021

Agussalim Rahman

vii
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Muhammad Asdar, SE, M.Si

Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh


Alhamdulillah. Atas Rahmat Allah SWT. Saya sangat
bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada bapak
Agusalim Rahman karena diberi kehormatan untuk memberikan
kata sambutan dari buku hasil karya beliau yang berjudul : Cara
Islam Mengatasi Kemiskinan : Strategi Pengentasan Kemiskinan
pada Era Pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
mengungkapkan hanya Islam yang mampu atasi kemiskinan.
Buku ini sangat dibutuhkan saat ini karena hampir semua
negara masih berupaya untuk keluar dari permasalahan ekonomi
terutama akibat pandemi Covid-19. Buku yang membahas tentang
kemiskinan masih sangat kurang, sehingga dengan hadirnya buku
ini akan mengisi dan memberi kontribusi ilmiah di bidang
Ekonomi Islam khususnya bagaimana mengurangi kemiskinan. Di
buku ini kita diajak untuk memahami bagaimana cara Islam
mengatasi kemiskinan dengan acuan dari sejarah kejayaan
Khilafah Islamiyah yang terbukti tidak ada masyarakat yang
miskin pada waktu itu melalui penerapanan konsep-konsep
tentang Perintah Untuk Bekerja, Melakukan Hijrah / merantau /
transmigrasi,, Mendapat Jaminan Nafkah dari Keluarga,
Optimalisasi Zakat, Jaminan Negara, Kewajiban kewajiban Selain
Zakat dan tolong menolong (Ta‟wun).
Dalam buku ini kita akan menemukan penyajian subtansi
Ilmu Ekonomi Islam dan pengalaman praktis penulisnya yang
menunjukkan betapa luas wawasan dan dalamnya ilmu dari
penulisnya. Uraian konsep yang begitu komprehensif membuat
kita semakin yakin bahwa hanya dengan Islam permasalahan
kemiskinan dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Saya merekomendasikan kepada pemerintah, mahasiswa,
dosen dan kalangan ummat Islam untuk membaca buku ini dalam
upaya menambah ilmu yang sekaligus meningkatkan ketaqwaan
kita kepada Allah SWT. Melalui buku ini kita berharap dapat
menjadi sarana ibadah guna lebih mendekatkan diri kepadaNya

viii
dan sebagai upaya mengekalkan ketaatan kita kepada sang Khalik
Allah SWT. Insya Allah
Wassalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatu

Makassar, Oktober 2021


Hormat kami

Prof. Dr. H. Muhammad Asdar, SE, M.Si


Guru Besar FEB Universitas Hasanuddin

ix
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag

Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh


Puji syukur ke hadirat Allah Azza wa Jalla yang telah
memberikan nikmat Iman dan Islam kepada kita. Sholawat dan
Salam tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
sahabat dan kita sebagai penerusnya hingga akhir zaman,
“Ilmu itu ibarat binatang buruan, maka ikatlah buruanmu
dengan tali yang kuat.” Salah satu cara mengikat ilmu
pengetahuan adalah menulis. Bangunlah tradisi menulis dalam
aktivitas akademik. Bangunlah prinsip untuk menulis apa yang
kamu ketahui dari hasil bacaan dan ketahuilah apa yang kamu
tulis. Demikian arti dari sebuah pepatah Arab.
Selaku Promotor, saya sangat bersyukur kepada Allah SWT
dan memberikan apresiasi kepada sdr. Agusalim Rahman karena
telah berhasil menuliskan karyanya yang berjudul : Cara Islam
Mengatasi Kemiskinan : Strategi Pengentasan Kemiskinan pada
Era Pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang merupakan
hasil ramuan dari Disertasinya saat menyelesaikan pendidikan
pada Program Doktor Konsentrasi Ekonomi Islam pada
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.
Problem besar dalam kehidupan manusia yang belum
terpecahkan sampai saat ini adalah Kemiskinan dan ketimpangan
ekonomi. Buku ini telah mengkaji rumusan yang terdapat dalam
Al-Qur‟an dan Hadits terkait kemiskinan. Tersaji secara lengkap
dan sistematis. Sehingga hadirnya buku ini diharapkan akan
memberi kontribusi ilmiah di bidang Ekonomi Islam khususnya
bagaimana mengurangi kemiskinan. Melalui buku ini, penulis
memaparkan Konsep Ekonomi Islam yang terdiri dari tujuh cara
dalam mengatasi kemiskinan.
Kajian dalam buku ini bukan hanya dalam tataran
konseptual tetapi dilengkapi dengan studi empirik sebagaimana
yang telah dilakukan dalam era pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dalam waktu hanya 2 tahun 5 bulan setelah dibai‟at
sebagai Amirul Mukminin, beliau mampu membuktikan sebuah

x
wilayah kekhalifaan tanpa ada penduduknya yang miskin yang
ditandai dengan tidak adanya yang bersedia menerima zakat.
Yang menarik dalam buku ini adalah tuntunan dalam
syariat Islam dan implementasinya pada era Khilafah Islamiyah
dapat disesuaikan dengan konteks kekinian sehingga buku ini bisa
dijadikan referensi bagi semua pihak yang berkepentingan
(stakeholder) dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bukan hanya kepada ummat Islam tetapi kepada semua
ummat manusia sehingga tujuan Islam sebagai Rahmatan lil
Alamiin dapat terwujud.
Wassalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatu

Makassar, Oktober 2021


Hormat kami

Prof. Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag


Guru Besar FEBI UIN Alauddin Makassar

xi
DAFTAR ISI

PERSEMBAHAN………………………………………………………iii
PROLOG
HANYA ISLAM YANG MAMPU ATASI KEMISKINAN ..............iv
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Muhammad Asdar, SE, M.Si............................................ viii
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag ..................................................... x
DAFTAR ISI ...........................................................................................xii

BAGIAN I
HAKEKAT KEMISKINAN .................................................................... 1
A. Kemiskinan Sebagai Fenomena Kehidupan Manusia ...... 1
B. Perspektif Islam tentang Kemiskinan ................................. 2
C. Pandangan Pandangan Tentang Kemiskinan Dalam
Islam ........................................................................................ 8
D. Hakekat Miskin dan Kaya .................................................. 16
E. Pengukuran Kemiskinan .................................................... 20
F. Kewajiban bagi Orang yang Berkecukupan / Kaya ....... 22
G. Hak-Hak Orang Miskin ...................................................... 30
BAGIAN II
CARA ISLAM MENGATASI KEMISKINAN ................................... 32
Cara Pertama : Bekerja Mencari Rezeki
Dan Larangan Meminta-minta………32
Cara Kedua : Melakukan Hijrah (Merantau)….……39
Cara Ketiga : Jaminan Nafkah dari Keluarga………42
Cara Keempat : Optimalisasi Zakat dan Larangan
Meninggalkan Kewajiban Zakat…..... 47
Cara Kelima : Jaminan Negara………………………..58
Cara Keenam : Kewajiban Kewajiban Selain Zakat… 62
Cara Ketujuh : Tolong Menolong (Ta‟wun)………….66
BAGIAN III
PENGENTASAN KEMISKINAN PADA ERA KHALIFAH UMAR
BIN ABDUL AZIZ .............................................................................. 699
A. Mengenal Khalifah Umar bin Abdul Aziz ....................... 69

xii
B. Kebijakan Moneter dan Reformasi Kebijakan Fiskal ......92
C. Strategi Pengentasan Kemiskinan ....................................100
1. Mengembalikan Harta Kepada Yang Berhak……….100
2. Membuka Kesempatan Berusaha…………………….102
3. Pembebasan Upeti……………………………………..104
4. Stimulus Sektor Perdagangan………………………...105
5. Regulasi Sektor Pertanian……………………………..106
6. Optimalisasi Penerimaan dan Distribusi Zakat
Jizyah, kharaj, Usyur, Ghanimah & Fa'i dan Pajak…109
BAGIAN IV
PERAN NEGARA DALAM MENGATASI KEMISKINAN ..........118
A. Pendataan dan Pemetaan .................................................. 118
B. Menjamin Hak-Hak Rakyat ..............................................119
C. Membuka kesempatan untuk bekerja ............................. 120
D. Mengelola Zakat (Amil) .................................................... 120
E. Menyediakan Jaminan Sosial. ...........................................121
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................122
BIODATA PENULIS ...........................................................................138

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Silsilah Nasab Khalifah Umar Bin Abdul Aziz……...72


Gambar 2. Silsilah Kehalifaan Daulah Bani Umayya……………91
Gambar 3. Wilayah Kekhalifaan Umar Bin Abdul Aziz
(Daulah Umayya)……………………………………..117

xiv
BAGIAN I
HAKEKAT KEMISKINAN

A. Kemiskinan Sebagai Fenomena Kehidupan Manusia


Secara umum, miskin difahami sebagai sebuah keadaan
ketika manusia mengalami kesulitan karena tidak memiliki
sumber daya dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya
seperti untuk kebutuhan makan, sandang dan papan. Keadaan
seperti ini telah terjadi sejak awal kehidupan manusia. Bukan
karena tidak tersedianya sumber daya tetapi karena
keterbatasan manusia dalam menghadirkan sumber daya itu
untuk siap dipergunakan memenuhi kebutuhannya.
Dinamisnya perkembangan peradaban manusia dan
semakin bertambahnya jumlah manusia menjadikan kebutuhan
manusia pun menjadi kompleks. Perbedaan keadaan setiap
manusia secara alamiah melahirkan perbedaan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehingga ada
manusia yang mampu menghasilkan dan memiliki sumber
daya yang melebihi kebutuhannya, ada pula manusia yang
kurang bahkan tidak memiliki sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya. Manusia yang kekurangan
sumber daya inilah yang disebut miskin.
Miskin mengarah kepada keadaan perorangan (personal)
sedangkan kemiskinan mengarah kepada keadaan sekelompok
orang (umum). Dengan demikian kemiskinan adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan keadaan keterbatasan
kepemilikan sumber daya oleh sekelompok orang yang
mengakibatkan ketidakmampuannya dalam memenuhi
kebutuhannya pokok hidupnya.
Kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang
mewarnai kehidupan manusia. Pada setiap zaman, kemiskinan
tak pernah hilang dari kehidupan manusia. Meskipun pada
beberapa kawasan yang menjadi wilayah pemerintahan
khilafah islamiyah pernah mencapai keadaan tanpa kemiskinan
1
namun di belahan bumi lainnya, kemiskinan tetap ada dan
akan selalu menjadi salah satu fenomena dalam kehidupan
manusia.

B. Perspektif Islam tentang Kemiskinan


Kata miskin dalam bahasa Arab berasal dari kata (‫) س ك ن‬
“sin – kaf – nun” atau sa-ka-na yang berarti diam, tenang,
tinggal, tidak bergerak. Berdasarkan akar kata “miskin” tersebut
diperoleh pemahaman bahwa miskin adalah sikap berdiam
diri, enggan atau tidak dapat bergerak untuk berusaha. Jika
orang tersebut enggan berusaha karena faktor kemalasan
berarti dia menganiaya diri sendiri. Sedangkan jika orang itu
tidak mampu berusaha karena ulah orang lain maka dia
dianiaya.
Ar-Raghib al-Asfahani di dalam bukunya Al-Mufradat
mengungkapkan kata miskin dalam peristilahan bahasa arab
berarti tenang.1 Kata “miskiyn” di dalam Alquran disebut
sebanyak 23 kali dimana kata “miskin” sebanyak 11 kali yang
berarti “orang miskin” dan kata “masakiyn” berarti kemiskinan
sebanyak 12 kali yang berarti “orang-orang miskin”. Kata
miskin dalam Alquran tersebar di 18 surah.
Selanjutnya untuk kata kata yang berakar dari “sa-ka-na”
sesuai kitab Al Mu‟jam al Mufahras2 berjumlah 69 ayat yang
terdistribusi ke dalam 39 surah. Terjemahan lain dari kata sa-ka-
na berarti : diam, tinggal, tenang, istirahat, tenteram dan tempat
Berdasarkan beberapa arti kata “miskin” maka para
mufassir memberikan pengertian sebagai berikut: 3
1. Al-Maraghi, miskin adalah orang yang tidak mempunyai
sesuatu, sehingga kekurangan makanan dan pakaian.

1Ar-Raghib al-Asphani, Al-Mufradat di Gharib Alquran dalam Mufdil

Tuhri, Makalah Solusi Alquran dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan.


2Al-Baqi, Muhammad Fuad, Mu.‟jam Al-Mufahraz li Alfazh Alquran al
Karim, (Mesir : Maktabah Dar al-Kutub, 1364 H)
3Budihardjo, Kemiskinan dalam Perspektif Alquran: Jurnal Kajian Islam

Hermeneia Vol. 6 No. 2, Juli – Desember 2010


2
2. Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-
Din Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, miskin adalah
orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya.
3. Mahmud bin Umar al-Zamarksyari al-Khawarizmi, miskin
adalah sesorang yang selalu tidak bisa apa-apa terhadap
orang lain karena tidak mempunyai sesuatu.
4. Muhammad Rasyid Ridha, miskin adalah orang yang tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhannya.

Penjelasan dari para mufassir tersebut pada intinya


sama yaitu orang miskin adalah orang yang mempunyai
kekurangan dalam memenuhi kebutuhannya untuk keperluan
pokok sehari-hari. Orang miskin adalah orang yang
mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai harta namun tidak
mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pendapat para mufassir
tersebut berdasar kepada Firman Allah dalam QS. Al-Kahfi /
18 : 79 yang mengisahkan percakapan Khidir dengan Musa.

          

      


Terjemahnya:
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin
yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera
itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera”.

Ayat ini berbicara tentang klarifikasi Khidir atas setiap


tindakannya yang tidak dapat diterima oleh akal Musa. Sesuai
tafsir Ibnu Katsir, mengenai ayat ini yaitu tindakan Khidir yang
membolongi perahu, Khidir tidak mengingkari tindakannya
yang secara zahir tidak dibenarkan. Ternyata Khidir melakukan
itu bukan atas kemauannya tetapi atas ilham dari Allah SWT,
karena ada rahasia dibalik tindakannya itu.
Khidir menjelaskan bahwa bahtera yang ditumpanginya
sengaja dilobangi untuk membuatnya rusak dan tidak
sempurna karena mereka akan melewati daerah kekuasaan raja
3
yang zalim dimana ia akan merebut setiap perahu yang
keadaannya masih bagus. Jika perahu tidak bolong maka raja
tidak akan mengambil paksa perahu tersebut. Hal ini agar
orang miskin pemilik perahu tersebut masih dapat
menggunakannya karena mereka tidak memiliki mata
pencaharian lain kecuali dengan memakai perahu tersebut.
Berdasarkan ayat ini orang miskin dikisahkan sebagai
orang yang memiliki harta yakni sebagai pemilik bahtera dan
mempunyai pekerjaan sebagai nelayan di laut namun
penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan pokok hidupnya
sehari-hari. Pengertian orang miskin juga dijelaskan dalam
Hadis Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Muslim sebagai berikut:
ِّ ‫ريةُ يَ ْع ِِن ا ْْلَِز ِام َّي َع ْن أَِِب‬
‫الزََن ِد َع ْن ْاْلَ ْع َر ِج َع ْن أَِِب ُى َريْ َرة‬ ِ ٍِ
َ ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْي بَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا ال ُْمغ‬
ُ ُ‫اف الَّ ِذي يَط‬ ِ ‫ال لَيس ال ِْمس ِكني ِِب َذا الطََّّو‬ ِ َّ ‫اَّلل صلَّى‬ ِ َ ‫َن رس‬
‫وف َعلَى‬ َ ُ ْ َ ْ َ َ‫اَّللُ َعلَ ْيو َو َسلَّ َم ق‬ َ َّ ‫ول‬ ُ َ َّ ‫أ‬
َِّ ‫ول‬ ِ
ُ ‫ان َوالت َّْم َرةُ َوالت َّْم َرََت ِن قَالُوا فَ َما ال ِْم ْسك‬
ِ َ‫َّاس فَ تَ ردُّهُ اللُّ ْقمةُ واللُّ ْقمت‬
‫ال‬
َ َ‫اَّلل ق‬ َ ‫ني ََي َر ُس‬ َ َ َ ُ ِ ‫الن‬
ُ ‫ص َّد َق َعلَيْ ِو َوََل يَ ْسأ‬ ِِ ِ ِ
‫َّاس َش ْي ئىا‬
َ ‫َل الن‬ َ َ‫الَّذي ََل ََِي ُد غ ىًن يُغْنيو َوََل يُ ْفطَ ُن لَوُ فَ يُ ت‬
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu
Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin
bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada
orang banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau
sebutir dua butir kurma." Para sahabat bertanya, "Kalau
begitu, seperti apakah orang yang miskin itu?" Beliau
menjawab: "Orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang
tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun
keadaannya itu tidak diketahui orang supaya orang bersedekah
padanya, dan tidak pula meminta-minta ke sana ke mari
(HR. Muslim No. 1722).4

Selanjutnya Hadits Rasulullah SAW berikut juga


menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan miskin:

4 Lidwa Pustaka i-software. Kitab Hadis 9 Imam. 2009 (Software) &

HaditsSoft, 2020
4
ِ ‫ت أََب ُىريْرةَ ر‬ ِ َ َ‫ال حدَّثَنَا ُش ْعبةُ أَ ْخب رِِن ُُمَ َّم ُد بْن ِزَي ٍد ق‬ ِ
َّ ‫ض َي‬
ُ‫اَّلل‬ َ َ َ َ ُ ‫ال ََس ْع‬ َ ُ ََ َ َ ٍ ‫اج بْ ُن منْ َه‬ُ ‫َحدَّثَنَا َح َّج‬
ِ َ‫ني الَّ ِذي تَردُّهُ ْاْلُ ْكلَةَ و ْاْلُ ْكلَت‬ ِ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
‫ان‬ َ ُ ُ ‫س ال ِْم ْسك‬ َ ‫ال ل َْي‬ َّ ‫صلَّى‬ ِّ ِ‫ َع ْن الن‬.ُ‫َع ْنو‬
َ ‫َّب‬
‫َّاس إِ ْْلَافىا‬
َ ‫َل الن‬ُ ‫س لَوُ ِغ ىًن َويَ ْستَ ْحيِي أ َْو ََل يَ ْسأ‬ ِ َّ ‫َكن ال ِْمس ِك‬
َ ‫ني الذي ل َْي‬
ُ ْ ْ ‫َول‬
ِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah
menceritakan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepada
saya Muhammad bin Ziad berkata: Aku mendengar Abu
Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam beliau bersabda: "Bukanlah yang disebut miskin orang
yang bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan. Akan
tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak memiliki
kecukupan namun dia menahan diri (malu) atau orang yang
tidak meminta-minta secara mendesak"
(HR Bukhari No. 1382).5

Dengan demikian berdasarkan Alquran dan Hadis serta


pendapat beberapa mufassir maka pengertian miskin adalah
orang yang memiliki harta, memiliki pekerjaan tetapi tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari
seperti untuk pangan, sandang dan papan.
Miskin adalah orang yang memiliki sumber daya namun
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
sehingga dia menahan diri (diam) atas beberapa kebutuhannya
itu. Selanjutnya, kata yang paling sering digandengkan dengan
miskin adalah “faqir” yang disebutkan sebanyak 10 kali dalam
Alquran. Kata faqir berasal dari bahasa Arab yakni kata fa-qa-ra
yang berarti orang yang patah tulang belakangnya. Orang faqir
adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan
kebutuhan sehari-hari sudah pasti tidak mencukupi.
Ar-Raghib al-Asfahani mengungkapkan kata faqir yang
pada asalnya berarti sendi tulang, tulang belakang atau badan
yang patah. Faqir adalah orang yang kekurangan karena tidak
memiliki sumber daya bagaikan orang yang patah tulang
punggungnya sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
harus melalui bantuan orang lain.

5HaditsSoft (Software), 2020


5
Ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan definisi
miskin dan faqir. Wahbah as Zuhaili dalam Mufdil Tuhri, 6
membedakan antara miskin dan faqir. Menurutnya al-fuqara‟
(mufrad dari faqir) menunjukkan kepada seseorang yang tidak
memiliki harta dan tidak mempunyai usaha tetap untuk
mencukupi kebutuhannya. Seolah-olah ia adalah orang yang
sangat menderita (patah tulang punggungnya) karena
kefaqiran hidupnya. Sementara al-masakin (mufrad kata miskin)
menunjukkan kepada seseorang yang memiliki harta dan usaha
tetapi tidak dapat mencukupi keperluan hidupnya.
Quraish Syihab,7mengatakan kedua golongan ini sebagai
orang yang memerlukan bantuan untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Kata lain yang memiliki arti sepadan adalah: al-ba‟sa,
al-sa‟il, al-ailah, al-qani, al-mahrum dan al-imlaq.
Kata al-ba‟sa‟ adalah ism jamak yang mufradnya adalah
al-bu‟s. Kata al-bu‟s adalah bentuk isim masdhar berasal dari
huruf ba‟ – hamzah dan sin yang berarti kesulitan, sedang al-bu‟s
berarti kesulitan dalam kehidupan. Al-Raghib al-Ashfahani
menjelaskan bahwa kata al-bu‟s, al-ba‟is dan al-ba‟sa‟ semua
berarti kesulitan namun kata al-bu‟s lebih banyak digunakan
dalam keadaan peperangan. Jadi al-ba‟sa berarti kemiskinan
akibat peperangan atau kekalahan dan kesulitan.
Kata al-sa‟il adalah bentuk ism fa‟il berasal dari huruf
“sin-hamzah-lam” berarti mencari, meminta, menghendaki dan
mengemis. Menurut al-Raghib al-Ashfahani sa‟ala berarti
menginginkan / meminta harta atau butuh sesuatu yang
menghasilkan harta sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-
Maarij/ 70 : 25.
Dengan demikian al-sa‟il adalah orang yang
menghendaki atau menginginkan suatu pengetahuan dan
meminta yang berupa materi, bisa berwujud uang atau harta
benda lainnya. Dengan kata lain orang yang meminta sesuatu

6Mufdil Tuhri, Makalah Solusi Al-Qur‟an dalam Upaya Pengentasan


Kemiskinan, 22 Oktober 2012.
7M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. (Cet. 4, Bandung : Mizan, 2006) h.

125

6
karena kebutuhannya tidak terpenuhi baik dalam wujud
immateri maupun materi.
Kata al-ailah adalah bentuk isim masdhar yang berasal
dari huruf „ain – ya dan lam berarti mengalami kemiskinan dan
membutuhkan bantuan diluar dirinya. Al-Raghib al-ashfahani
mengartikan ailah dengan mengalami kefakiran atau
kemiskinan. Terdapat dalam QS. At-Tawbah/9 : 28.
Kata al-qani adalah isim fa‟il berasal dari huruf qaf-nun
dan ain. Sedang kata qana‟a dapat berarti meminta berarti al-
qani berarti orang yang meminta. Menurut al-Raghib al-
Ashfahani al-qani adalah peminta yang tidak mendesak dan
merasa ridha dengan apa yang diperolehnya. Menurut penulis,
al-qani adalah orang yang tidak mampu, namun ia merasa
cukup dengan apa yang diperolehnya tanpa suka meminta-
minta.
Kata al-Mahrum adalah bentuk isim maf‟ul berasal dari
kata ha-ra-mim berarti mencegah atau sesuatu yang dicegah.
Jadi al-mahrum adalah orang yang memperoleh harta dengan
cara yang tidah halal (dicegah) namun tetap tidak meminta.
Terdapat dalam QS. Adz-Dzariyat/51 : 19.
Kata al-imlaq adalah isim masdhar dari amlaqa. Kata itu
berasal dari malaqa berarti ketiadaan sesuatu dan lemas. Kata
amlaqa berarti menjadi miskin karena harta yang dibelanjakan
melebihi kemampuan sehingga ia menjadi tidak berdaya.
Terdapat dalam QS. Al-An‟am/6 : 151 dan QS. Al-Isra‟/17 : 31.
Selanjutnya, dalam kumpulan Kita-kitab Hadis sahih
yang terdapat dalam Kitab Sembilan Imam (Kutubut Tis‟ah)
terdapat 652 Hadis yang menyebut kata “miskin”.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, miskin
diartikan tidak berharta benda; serba kekurangan atau
berpenghasilan rendah. Sementara fakir berarti orang yang
sangat berkekurangan, orang yang sangat miskin. Dengan
demikian, miskin adalah orang yang memiliki keterbatasan
dalam kepemilikan harta benda sehingga kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan pokoknya dan membutuhkan bantuan
pihak lain.

7
Sedangkan kemiskinan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan keadaan keterbatasan kepemilikan sumber
daya oleh sekelompok masyarakat yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhannya.

C. Pandangan Pandangan Tentang Kemiskinan Dalam Islam

Terdapat tiga pandangan tentang kemiskinan yang


merujuk kepada Alquran dan Sunnah. Pertama, pemahaman
bahwa kemiskinan sebagai sebuah kemuliaan. Pandangan ini
diwakili oleh para sufi. Kitab-kitab tasawuf memuat bab
khusus tentang kemuliaan orang “miskin”. Dasar pandangan
terhadap kemuliaan orang miskin ini adalah QS. Al-
Baqaraah/2 : 155.

        

   


Terjemahnya:
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar”.

Orang yang memiliki sifat qanaah merasa cukup dengan


apa yang dia dapatkan meskipun sedikit. Dengan demikian,
hati kita bisa menjadi tenang dan jauh dari sifat ketamakan.
Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW, dari Abdullah bin
Amr bin Ash bahwa Rasulullah SAW, bersabda.
ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫اَّلل بن ي ِزي َد الْم ْق ِر‬ ِ
ُ ‫وب َح َّدثَِِن ُش َر ْحب‬
‫يل بْ ُن‬ َ ُّ‫ئ م ْن كتَابِو َحدَّثَنَا َسعي ُد بْ ُن أَِِب أَي‬ ُ َ ُ ْ َّ ‫َحدَّثَنَا َع ْب ُد‬
َِّ ‫الر ْْح ِن ا ْْلبلِ ِي عن عب ِد‬
ِ ‫اَّلل بْ ِن َعم ِرو بْ ِن الْع‬ ِ ٍ ‫اَّلل صلَّى َش ِر‬ ِ َ ‫َن رس‬
‫اصي‬ َ ْ ْ َ ْ َ ّ ُُ َ َّ ‫يك َع ْن أَِِب َع ْبد‬ َ َّ ‫ول‬ ُ َ َّ ‫أ‬
َ ‫اَّللُ ِِبَا‬
ُ‫آَته‬ َ ‫َسلَ َم َوُرِز َق َك َفافىا َوقَ ن‬
َّ ُ‫َّعو‬ َ َ‫اَّللُ َعلَ ْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
ْ ‫ال قَ ْد أَفْ لَ َح َم ْن أ‬ َّ
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Al
Muqri` dari kitabnya, telah menceritakan kepada kami Sa'id
bin Abi Ayub telah men-ceritakan kepadaku Syurahbil bin
Syarik dari Abi Abdurrahman Al-Hubuliy dari Abdullah bin
8
Amr bin Ash, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan
ia diberikan kecukupan, serta Allah memberinya rasa qona'ah
terhadap apa yang telah diberikan kepadanya".
(HR. Ahmad No. 6284).8
Islam dengan tegas menolak pemikiran kelompok
pemahaman yang mengkultuskan kemiskinan. Kelompok yang
melihat kemiskinan dengan cara yang istimewa. Dalam Al-
Qur‟an tidak ada satupun ayat yang melegitimasi atau merestui
kemiskinan. Demikian juga dalam hadis yang shahih. Hadis
yang memuji kehidupan Zuhud di dunia bukan lantas berarti
memuji kemiskinan. Zuhud dan qana‟ah bukan berarti
menutup diri untuk memiliki sesuatu dalam kehidupan. Justru
orang zuhud sejati adalah orang yang memiliki kekayaan dunia
namun dia memposisikan kekayaannya tersebut ditangannya
bukan bersemayam dihatinya.9
Menurut penulis, kecintaan Allah terhadap hambanya
dalam Hadis diatas bukan terletak pada keadaan miskinnya
tetapi lebih pada sikap qana‟a atau kerelaan hamba-Nya yang
merasa cukup dan sabar menerima rezeki yang sudah
ditentukan oleh Allah kepadanya. Paham ini mengacu kepada
pengertian orang miskin sebagai al-qani.
Kedua, kemiskinan dipandang sebagai kehendak atau
takdir dari Allah SWT. Inilah paham kaum Jabariah. Karena
kemiskinan itu sudah merupakan ketentuan Allah maka tidak
perlu kita berjuang untuk mengurangi kemiskinan. Kemiskinan
hanya masalah giliran saja sebagaimana Firman Allah dalam
QS. Al-Imran/3 : 140.

         

       

8HaditsSoft,
2020
9Yusuf Qardhawi. Terj. Maimun Syamsuddin & Wahid Hasan, Teologi
Kemiskinan : Doktrin Dasan dan Solusi Islam atas Kemiskinan, Yogyakarta : Mitra
Pustaka, 2002

9
Terjemahnya:
“… dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan
diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan
supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya
(gugur sebagai) syuhada'. dan Allah tidak menyukai orang-
orang yang zalim”.

Ayat diatas diturunkan dalam konteks peperangan


dimana Allah menjelaskan bahwa dalam perang Uhud banyak
syuhada yang terluka sedangkan pada perang Badar giliran
orang kafir yang dikalahkan. Selanjutnya dalam QS. Ar-
Ra‟d/13 : 26 menjelaskan bahwa Allah-lah yang meluaskan
rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.

          

      


Terjemahnya:
Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang
dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,
padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan
akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).

Banyak Hadis yang menunjukkan bahwa nasib kita


sudah ditentukan sebelum kita lahir termasuk urusan kaya dan
miskin. Pandangan ini adalah pandangan fatalistik, 10 yang
berpatokan pada fenomena alam yang diciptakan sang Khalik
secara berpasang-pasangan seperti adanya orang miskin dan
orang kaya pada saat yang bersamaan dan saling melengkapi.
Orang kaya memiliki kemampuan materil tetapi tidak memiliki
kesempatan dan tenaga untuk mengerjakan semua pekerjaan
sehingga membutuhkan orang miskin untuk mengerjakannya.
Orang miskin kemudian mendapat imbalan dari orang kaya
untuk memenuhi kebutuhannya. Pandangan ini cenderung
membiarkan kemiskinan itu berjalan secara alami.

10 Hasan Aedy, h. 243-244


10
Islam menolak pandangan Jabariyah 11 bahwa
kemiskinan itu adalah takdir Allah. Pandangan ini merupakan
batu sandungan bagi upaya perbaikan terhadap harta yang
rusak, kecurangan timbangan, penegakan keadilan dan
solidaritas sosial. Islam harus memerangi dan mengikis habis
fikiran seperti ini karena mereka dianggap sebagai orang yang
betul-betul berada dalam kesesatan. Allah SWT dalam Qs
Yasiin /36 : 47 berfirman :

           

           
Terjemahnya :
“Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah
sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu",
Maka orang-orang yang kafir itu Berkata kepada orang-
orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan
kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah
dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan
dalam kesesatan yang nyata".

Pemahaman bahwa kemiskinan adalah takdir adalah


cara pandang yang terlalu menyederhanakan pemahaman
“Kehendak Allah”. Allah memang memiliki Maha Berhendak
tetapi ada ruang bagi manusia untuk melakukan ikhtiar
(usaha). Allah memerintahkan untuk mencari rezeki dan
memperoleh kelebihan. Sebagaimana dalam QS. Al-Jum‟ah /62
: 10 Allah SWT berfirman :

          

    


Terjemahnya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

11 Ibid, h. 30
11
Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai sebuah
kemusykilan (kesulitan) hidup yang harus diatasi. Orang
menjadi miskin karena banyak penyebabnya, untuk itu kita
harus berusaha untuk mengatasinya. Bahkan Allah
menekankan bahwa bekerja dan berusaha untuk mendapatkan
harta adalah naluri manusia sebagaimana firman-Nya dalam
QS. Al-Imran/3 : 14 sebagai berikut.

        

        

        


Terjemahnya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan SAWah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”

Kemiskinan merupakan bahaya terhadap aqidah, akhlak


dan pemikiran serta dipersepsikan sebagai sesuatu yang negatif
baik dari sisi orang yang mengalami kemiskinan, bagi
lingkungannya maupun bagi masyarakat lainnya. Kemiskinan
adalah salah satu bentuk godaan syaitan untuk merusak aqidah
manusia. Dalam Qs Al-Baqarah / 2 : 268 Allah SWT berfirman,

       

       


Terjemahnya :
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir);
sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya
dan karunia. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”

12
Dalam perspektif Hadis, kemiskinan merupakan
penyakit ganas yang berdampak negatif bukan hanya pada
kehidupan individu tetapi juga kehidupan sosial, termasuk
juga pada dimensi aqidah (keimanan), perilaku (moral),
pemikiran, peradaban, kebahagiaan rumah tangga bahkan
kehidupan manusia secara umum.12
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW, berdoa agar
dilindungi dari keburukan kekayaan dan keburukan kefakiran.
Hal ini menunjukkan bahwa fakir adalah sebuah keadaan yang
harus dihindari. Rasulullah SAW, bersabda:
َّ ‫ض َي‬ ِ ‫شةَ ر‬ ِ ِِ َ ‫يسى َحدَّثَنَا ِى‬ ِ ُّ ‫الرا ِز‬ ِ ِ
ُ‫اَّلل‬ َ َ ‫ام َع ْن أَبيو َع ْن َعائ‬ ٌ‫ش‬ َ ‫ي أَ ْخبَ َرََن ع‬ َّ ‫وسى‬ َ ‫يم بْ ُن ُم‬
ُ ‫َحدَّثَنَا إبْ َراى‬
‫ك ِم ْن‬
َ ِ‫َعوذُ ب‬ ِ ‫اَّلل َعلَ ْي ِو وسلَّم َكا َن ي ْد ُعو ِِب ُؤََل ِء الْ َكلِم‬
ُ ‫ات اللَّ ُه َّم إِِِّن أ‬ َ َ َ َ ََ َُّ ‫صلَّى‬ َّ ‫َع ْن َها أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬
‫اب النَّا ِر َوِم ْن َش ِّر ال ِْغ ًَن َوالْ َف ْق ِر‬
ِ ‫فِتْ نَ ِة النَّا ِر َوعَ َذ‬
Artinya:
“Telah menceritakan kepada Kami Ibrahim bin Musa Ar Razi,
telah memberitakan kepadaku Isa telah menceritakan kepada
Kami Hisyam dari ayahnya dari Aisyah radliallahu 'anha
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa
dengan kalimat-kalimat ini, yaitu: Ya Allah, aku berlindung
kepadaMu dari fitnah Neraka dan adzab Neraka, dari
keburukan kekayaan dan kefakiran"
(HR. Abu Daud No. 1319).13

Jika merujuk kepada Alquran dan Hadist diatas maka


kemiskinan adalah kesulitan hidup yang dialami oleh manusia
dengan berbagai penyebab dan kemiskinan tersebut harus
diatasi.
Jika kemiskinan dipahami sebagai sebuah keadaan
keterbatasan, kesulitan, kekurangan yang dialami oleh manusia
dalam memenuhi kebutuhan pokoknya maka “miskin”
disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu manusia menganiaya
dirinya sendiri, manusia dianiaya oleh manusia lainnya dan
faktor alamiah.

12Yusuf Qardhawi, Op.Cit, 18


13HaditSoft, 2002
13
Memperhatikan akar kata miskin yang diterangkan di
awal mempunyai arti diam, tenang atau tidak bergerak, maka
penyebab utama kemiskinan adalah sikap berdiam diri dan
malas bergerak dan berusaha. Kesan ini lebih jelas lagi bila
diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Allah,
ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah,
yang arti harfiahnya adalah yang bergerak sebagaimana
dalam QS. Huud/11 : 6.

          

      


Terjemahnya :
“Dan tidak ada sesuatu yang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat
berdiam yang melata itu dan tempat penyimpanannya.
semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). “

Ayat ini "menjamin" siapapun manusia yang aktif


bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti datangnya
rezeki. Lebih tegas lagi Allah SWT, berfirman dalam QS.
Ibrahim/14 : 34.

            

    


Terjemahnya:
“Allah telah menganugerahkan kepada kamu segala apa yang
kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu mengitung-
hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya
lagi sangat kufur”.

Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat


manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Seandainya
sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan
Allah selama manusia berusaha. Karena itu, tidak ada alasan
untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap
14
manusia terhadap pihak lain, sikapnya terhadap
dirinya itu yang menjadikan sebagian manusia tidak
memperoleh sumber daya alam tersebut.
Kemiskinan terjadi akibat ketidakseimbangan dalam
perolehan atau penggunaan sumber daya baik karena
dianaiaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber
daya alam itu untuk mengangkatnya ke permukaan. Dan
kedua hal terakhir inilah yang dikenal sebagai sikap kufur.
Penyebab berikutnya adalah akibat adanya perbuatan
manusia lainnya dimana manusia tersebut mengambil harta
saudaranya dengan cara yang bathil serta tidak memberi hak
bagi yang membutuhkan. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah
/ 2 : 188 melarang kita memakan harta orang lain dengan cara
yang bathil.

        

        


Terjemahnya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
Mengetahui.”
Ayat ini mengisyaratkan adanya manusia yang
mengambil harta manusia yang lain dengan cara yang tidak
dibenarkan yang menyebabkan manusia lainnya mengalami
kesulitan dan kemiskinan.
Berangkat dari adanya penyebab utama kemiskinan
tersebut maka jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi dalam tiga
bentuk yaitu: kemiskinan kultural, kemiskinan natural dan
kemiskinan struktural.
Kemiskinan kultural adalah miskin yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang tertentu yang melekat dalam diri seseorang
dan kebiasaan suatu masyarakat. Misalnya malas untuk
bekerja, etos kerja yang rendah, kecenderungan untuk hidup

15
boros, kurang menghargai waktu dan rendahnya minat untuk
berprestasi. Fenomena adanya orang yang menganggap miskin
itu sebagai profesi seperti yang dilakukan pengemis.
Kemiskinan kultural umumnya disebabkan oleh diri sendiri.
Kemiskinan Natural adalah keadaan miskin yang
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, baik yang berkaitan
dengan sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang
mengintarinya, misalnya orang yang cacat secara fisik maupun
mental, rendahnya kepemilikan dan akses terhadap factor
faktor produksi, faktor iklim, kesuburan tanah, dan bencana
alam.
Kemiskinan Struktural adalah, keadaan miskin yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan perbuatan
manusia lainnya, misalnya pen-jajahan, pemerintahan yang
otoriter dan militeristik, merajalelanya praktek korupsi dan
kolusi, kebijakan ekonomi yang tidak adil, serta perekonomian
dunia yang lebih menguntungkan kelompok tertentu.
Penyebab utama kemiskinan struktural adalah karena adanya
eksploitasi antara sesama manusia.
Menurut keadaanya, kemiskinan dapat dibagi menjadi
tiga keadaan yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan
kemiskinan subyektif. Kemiskinan absolut, mengacu kepada
standar kemiskinan yang konsisten. Tidak terpengaruh oleh
ruang dan waktu. Memang secara mutlak berada dalam
keadaan miskin. Kemiskinan relatif, adalah standar kemiskinan
yang bisa berubah tergantung pada asumsi standar kemiskinan
yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan subyektif, adalah
standar kemiskinan yang ditentukan secara subyektif karena
adanya kebutuhan hidup yang belum tercapai.

D. Hakekat Miskin dan Kaya

Sebagai agama fitrah, Islam memahami bahwa manusia


dilahirkan dengan karunia yang berbeda-beda. Sebagaimana
manusia itu saling berbeda dalam fisik dan penampilan,
merekapun berbeda dalam kemampuan mental dan
keterampilan, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan,
16
perbedaan garis keturunan (nasab). Segala perbedaan itu tentu
tidak memungkinkan adanya persamaan dalam bidang
ekonomi. Terjadinya ketidaksamaan ekonomi diantara manusia
itu adalah hal yang alamiah. Ketidaksamaan ekonomi ini juga
terjadi karena manusia dibebaskan untuk berinsiatif dalam
memperoleh harta. Lebih dari itu, perbedaan itu adalah bagian
dari rencana Allah agar manusia diuji siapa yang baik dan
siapa yang tidak baik dalam keadaan berlebih maupun dalam
keadaan kekurangan, sebagaimana Firman Allah dalam QS. al-
An‟am / 6 : 165, yaitu:

        

           

 
Terjemahnya:
“Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.

Di ayat yang lain QS. Az-Zukhruf/43 : 32, Allah


berfirman:

         

     


Terjemahnya:
“ ....dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

17
Firman Allah SWT, dalam QS. An-Nahl/16 : 71 bahwa:

      


Terjemahnya:
“ Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang
lain dalam hal rezki....”

Dalam Qs. Ar-Ra‟d / 13 : 26 menjelaskan bahwa Allah


meluaskan rezeki (kaya/berkecukupan) dan Allah-lah yang
menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sehingga
kaya dan miskin adalah hal lumrah dalam kehidupan manusia.
Kaya maupun miskin, keduanya adalah ujian / cobaan bagi
manusia.

     


Terjemahnya:
“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang
dia kehendaki...”
Demikianlah Allah menjadikan perbedaan di antara
manusia lainnya dalam persoalan rezeki penghidupan,
sehingga kaya maupun miskin adalah fenomena yang alamiah
bagi manusia. Perlu difahami bahwa dalam ekonomi Islam,
antara banyak harta (kaya) dan kekurangan harta (miskin)
bukanlah merupakan ukuran kecintaan hamba tetapi semua
merupakan ujian bagi manusia. Jika seorang hamba diberikan
rezki berupa harta yang banyak, kelebihan yang ia miliki tidak
serta merta menunjukkan Allah SWT, lebih sayang kepada
dirinya dibanding orang lain. Begitupa jika seorang hamba
mengalami kekurangan harta, juga bukan berarti dirinya
dibenci oleh Allah SWT, tetapi keduanya (kaya dan miskin)
merupakan bentuk ujian Allah kepada manusia maupun
ancaman dari syaitan.
Menurut perspektif ekonomi Islam, kemiskinan dapat
dilihat dalam dua dimensi yaitu merupakan suatu ujian bagi
manusia untuk bersabar sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah /2
: 155 Allah SWT berfirman,

18
        

    


Terjemahnya:
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar”.

Begitupula kemiskinan juga merupakan suatu ancaman


yang berasal dari setan sebagaimana dalam Qs Al-Baqarah / 2
: 268 Allah SWT berfirman :

        

      


Terjemahnya :
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir);
sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya
dan karunia. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”

Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW berdoa agar


dilindungi dari keburukan kekayaan dan keburukan kefakiran.
Hal ini menunjukkan bahwa fakir dan kemiskinan adalah
sebuah keadaan yang harus diatasi.
ِ ‫اَّلل َعلَيْ ِو وسلَّم َكا َن ي ْدعُو ِِب ُؤََل ِء الْ َكلِما‬ ِ ‫شةَ ر‬ ِ
‫ت‬ َ َ َ َ ََ َُّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫أ‬.‫اَّللُ َعنْ َها‬ َّ ‫ض َي‬ َ َ ‫َع ْن َعائ‬
‫اب النَّا ِر َوِم ْن َش ِّر ال ِْغ ًَن َوالْ َف ْق ِر‬
ِ ‫ك ِم ْن فِ ْت نَ ِة النَّا ِر َو َع َذ‬
َ ِ‫َعوذُ ب‬
ُ ‫اللَّ ُه َّم إِِِّن أ‬
Artinya :
“Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah berdoa dengan kalimat-kalimat ini, yaitu: Ya
Allah, aku berlindung kepadaMu dari fitnah Neraka dan adzab
Neraka, dari keburukan kekayaan dan kefakiran."
(HR. Abu Daud No. 1319 )

19
Oleh karena itu Islam menganggap fenomena kaya dan
miskin adalah sunnatullah. Keduanya adalah menjadi ujian
bagi manusia. Meskipun demikian kemiskinan adalah sebuah
masalah kehidupan manusia yang perlu mendapat solusi.
Bahkan kemiskinan merupakan sebuah penyakit yang perlu
mendapat perhatian yang serius yang harus segera diatasi.
Islam sebagai agama yang sempurna tentu memiliki tuntunan
hidup supaya manusia terhindar dari kemiskinan.

E. Pengukuran Kemiskinan

Salah satu unsur penting dalam mengatasi kemiskinan


adalah kejelasan standar pengukuran sebuah keadaan
dikategorikan sebagai “miskin”. Dalam Qs At-Taubah / 9 : 60
Allah SWT membedakan antara fakir dengan miskin sebagai
dua kelompok (asnaf) yang berhak menerima zakat. Perbedaan
ini tentu memberikan makna bahwa antara fakir lebih
diprioritaskan untuk memperoleh zakat dibandingkan dengan
yang miskin.
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa Ulama
berbeda pendapat dalam mengemukakan standar miskin dan
faqir. Wahbah as Zuhaili dalam Mufdil Tuhri, 14 membedakan
antara miskin dan faqir. Menurutnya al-fuqara‟ (mufrad dari
faqir) menunjukkan kepada seseorang yang tidak memiliki
harta dan tidak mempunyai usaha tetap untuk mencukupi
kebutuhannya. Seolah-olah ia adalah orang yang sangat
menderita (patah tulang punggungnya) karena kefaqiran
hidupnya. Sementara al-masakin (mufrad kata miskin)
menunjukkan kepada seseorang yang memiliki harta dan usaha
tetapi tidak dapat mencukupi keperluan hidupnya. Quraish
Syihab,15 mengatakan kedua golongan ini sebagai orang yang
memerlukan bantuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Orang yang miskin masih lebih baik standarnya daripada
orang yang faqir sehingga dalam standar orang miskin di

14Mufdil Tuhri, Op. Cit


15M. Quraish Shihab, Op. Cit, h. 125

20
dalamnya termasuk orang yang faqir. Dalam Qs Al-Baqarah / 2
: 233 Allah SWT berfirman :

           

           
Terjemahnya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya...”

Dalam Qs Ath-Thalaq / 65 : 6 Allah SWT berfirman :

        

...  
Terjemahnya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka....”

Dalam Qs Thaha / 20 : 118 – 119 Allah SWT menyebut


kebutuhan dasar manusia dengan firmanNya sebagai berikut :

             
Terjemahnya :
“ Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan
tidak akan telanjang. Dan Sesungguhnya kamu tidak akan
merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di
dalamnya".

Dalam satu riwayat dari Usman bin Affan bahwa


Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“ Anak adam tidak memiliki hak yang lebih baik daripada tempat
ia tinggal, selembar pakaian untuk menutupi auratnya serta
sepotong roti dan air.” (HR. Tirmidzi No. 2263)

21
Dengan berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis tersebut maka
makanan (pangan), pakaian (sandang) dan rumah (papan)
adalah kebutuhan pokok manusia yang merupakan kebutuhan
minimal untuk melangsungkan hidupnya secara layak di
dunia. Orang yang memiliki keterbatasan sehingga tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya
dikategorikan sebagai orang miskin. Sedangkan orang yang
memiliki harta (sumber daya) yang sudah melebihi kebutuhan
pokoknya maka dikategorikan sebagai orang yang
berkecukupan. Orang memiliki harta yang lebih kebutuhan
hidupnya termasuk kebutuhan sekunder atau kebutuhan
tambahan maka dikategorikan sebagai orang yang kaya.
Meskipun kebutuhan manusia mengalami dinamika
pergeseran dari waktu ke waktu tetapi dalam Islam, miskin dan
kaya harus memiliki pengukuran yang jelas karena memiliki
konsekwensi hak dan kewajiban. Atas dasar itulah, Allah SWT
dalam Al-Qur‟an memberi beberapa hak kepada orang miskin
dan membebankan beberapa kewajiban kepada orang yang
berlebih.
Orang yang sebenarnya sudah dikategorikan
berkecukupan tetapi tidak melaksanakan kewajiban
kewajibannya akan dipandang sebagai manusia yang
menentang perintah Allah bahkan jika orang berkecukupan
menerima zakat maka dia termasuk mengambil hak orang lain.

F. Kewajiban bagi Orang yang Berkecukupan / Kaya

Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa garis yang


kaya dan miskin dalam Islam haruslah jelas karena kepada
orang yang sudah melebihi kebutuhannya bahkan orang yang
kaya memiliki konsekwensi keharusan melaksanakan beberapa
kewajiban. Orang yang dianggap berkewajiban mengeluarakan
infaq (belanja) atau zakat adalah orang yang kadar nisabnya
sudah lebih dari keperluan pokok bagi dirinya, anak dan
pasangannya dari kebutuhan makan minum, pakaian, tempat
tinggal dan keperluan hidup lain yang sifatnya sangat

22
diperlukan. Dalam Qs Al-Baqarah / 2 : 219 Allah SWT
berfirman

          

  


Terjemahnya :
“...dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

Sehingga bagi orang yang berkecukupan / telah mampu


memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, maka dalam Al-Qur‟an
dan Hadis terdapat tuntunan untuk melaksanakan beberapa
kewajiban yaitu :
1. Menanamkan harta pada kegiatan usaha.
Islam mendorong pemeluknya untuk berproduksi
dan menekuni aktivitas ekonomi dengan segala bentuknya
seperti pertanian, perdagangan, peternakan, industri, jasa
dan berbagai bidang keahlian. Islam mendorong setiap
aktivitas yang menghasilkan benda atau pelayanan yang
bermanfaat bagi manusia atau yang memperindah
kehidupan manusia dan menjadikan mereka lebih makmur
dan sejahtera. Dengan bekerja setiap individu dapat
memenuhi hajat hidupnya, hajat hidup keluarganya,
berbuat baik kepada kaum kerabatnya, memberikan
pertolongan kepada kaumnya yang membutuhkan dan ikut
berpartisipasi bagi kemaslahatan ummat. Dalam Qs Al-
Qashash / 28 : 77 Allah SWT berfirman :

          

 
Terjemahnya :
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ....”
23
Jika seseorang telah mencapai penghidupan yang
lebih dari berkecukupan (kaya), maka hendaklah dia
membuka lapangan kerja bagi masyarakat lainnya dimana
dia hidup. Sesungguhnya masyarakat telah memberinya
sesuatu, maka mestinya masyarakat mengambil sesuatu
darinya, sesuai dengan apa yang dimilikinya. Jika
mempekerjakan orang lain, maka jerih payah orang tersebut
harus diberi upah sebagaimana mestinya. Kalau tidak, maka
dia telah berbuat dzalim kepada mereka.
2. Menafkahi dan bersedekah kepada kerabat yang miskin
Bagi yang mendapatkan kelapangan rezeki, Allah
SWT mewajibkan membagikan sebahagian rezekinya
tersebut kepada orang yang kekurangan atau dalam
kesulitan karena pada harta orang yang berkecukupan
terhadap hak orang yang miskin, sebagaimana firman Allah
dalam QS. Adz-Dzariyat/51 : 19,

     


Terjemahnya :
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian (tidak meminta-minta).”

Pada setiap perintah untuk menafkahi atau


bersedekah, Allah senantiasa memerintahkan untuk
mendahulukan kerabat yang menjadi tanggungan. Dalam
Qs Al-Baqarah / 2 : 177 dan Qs Al-Isra‟ / 17 : 26 Allah SWT
berfirman :

          
Terjemahnya :
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.”

24
        

... 
Terjemahnya :
“...dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta... .”

Rasulullah SAW bersabda :


“Berikanlah hak-hak kerabat, orang miskin, ibnu sabil dan
janganlah kamu berlaku boros.”
(HR. Ahmad No. 11945)

Ibnu Qayyim dalam Zad al Ma‟ad menjelaskan bahwa


yang dimaksud memberikan hak kepada kerabat adalah
memberi nafkah kepada kerabat. Ibnu Qayyim memberi
alasan, adakah cara memutuskan hubungan kerabat yang
lebih kejam dari melihat mereka hidup dalam kelaparan dan
kehausan, tersengat panas dan dicengkeram kedinginan,
tidak ada sesuap nasi pun yang bisa dimakan, tidak ada
minuman untuk mengusir rasa haus, tidak ada pakaian
yang bisa menutupi tubuh, tidak ada atap menjadi tempat
berteduh ? Padahal mereka masih bersaudara, keponakan,
paman atau bibi. Jika mereka membiarkan kerabatnya hidup
dalam keadaan serba kekurangan maka maknanya sama
dengan memutus tali silaturahim dan perbuatan itu
diharamkan oleh Allah SWT. Dimanakah letak melebihkan
hak kerabat daripada hak orang lain ?
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ketika berdiri di
atas mimbar sedang berkhutbah dengan bersabda :
“Tangan orang yang memberi yang di atas, Dan mulailah
dari orang yang harus kamu tanggung, ibumu, ayahmu,
saudarimu dan saudaramu, baru kemudian yang terdekat
berikutnya, lalu yang terdekat berikutnya..”
(HR. Musnad Ahmad No. 16018)

25
Dalam riwayat yang lain, Abu Hurairah berkata
bahwa dari Nabi Muhammad SAW bersabda :
“ Sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah
cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka mulailah untuk
orang yang menjadi tanggunganmu.”
(HR. Bukhari No. 1337).

Pada beberapa ayat dan hadis diatas, Allah dan


Rasul-Nya menjadikan hak kerabat beriringan dengan hak
orang tua dan saudara. Allah sudah menjelaskan bahwa
kerabat memiliki hak dari kerabatnya yang lain, dan Dia
memerintahkan agar hak itu dipenuhi. Sungguh merupakan
kezholiman yang luar biasa jika ada kerabat yang
membiarkan kerabatnya yang lain dalam kesulitan, dalam
keadaan lapar dan telanjang tidak punya tempat berteduh
padahal dia termasuk orang yang mampu untuk menutupi
kebutuhannya ataupun menutupi auratnya, tetapi dia tidak
memberi sesuap nasi-pun dan pakaian penutup aurat.
Semua ini menjadi hutang yang berada di bawah tanggung
jawab keluarga yang mampu tersebut
Ada dua syarat mendasar yang ditentukan oleh ahli
fikih terkait kewajiban nafkah untuk kerabat. Pertama, orang
yang hendak diberi nafkah adalah orang yang miskin. Jika
kaya atau memiliki perkerjaan tetap maka kewajiban itu
hilang. Kedua, orang yang ingin memberi nafkah adalah
yang memiliki kelebihan harta untuk dinafkahkan. Lebih
dari kebutuhannya sendiri dan keluarga terdekat yang
menjadi tanggungannya.
3. Membayar Zakat
Zakat adalah perintah Allah yang merupakan pilar
Islam yang ketiga. Zakat hukumnya fardhu ain bagi siapa
saja yang telah memenuhi syarat wajibnya yang merupakan
tonggak utama struktur financial dalam Islam. Sesudah
shalat, zakat merupakan kewajiban keagamaan yang
terpenting.
Sangat banyak ayat-ayat dalam Alquran dan Hadis
dimana Allah SWT sebagai pemilik alam semesta ini yang
26
memerintahkan untuk mengeluarkan zakat. Arti penting
zakat dalam Islam dapat dilihat bahwa dalam Alquran
terdapat kata “zakat” lebih dari delapan puluh kali, dua
puluh tujuh kali diantaranya digandengkan dengan shalat.
Allah SWT, berfirman dalam QS. al-Baqarah/2 : 43.
ِ ِ َّٰ ‫ٱلزَك ٰوَة و ۡٱرَكعواْ مع‬ ِ
‫ي‬
َ ‫ٱلركع‬ َ َ ُ َ َّ ْ‫ٱلصلَ ٰوَة َوءَاتُوا‬
َّ ْ‫يموا‬
ُ ‫َوأَق‬
Terjemahnya: "
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku'.”
Pada ayat lain Allah memerintahkan untuk
mengambil zakat dari sebagian harta orang-orang yang
kelebihan rezki untuk membersihkan dan mensucikan
mereka dari sifat kekikiran dan cinta berlebihan terhadap
harta sebagaimana dalam QS. at-Taubah / 9 : 103.

          

       


Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Zakat merupakan instrumen dalam ekonomi Islam


untuk pengentasan kemiskinan sebagaimana dalam Qs At-
Taubah / 9 : 60 Allah SWT berfirman :

       

          

     

27
Terjemahnya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hati-nya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

4. Berinfaq di Jalan Allah (fiisabilillah) dan Mewaqafkan


sebagian harta
Infaq adalah membelanjakan/mengeluarkan harta
dijalan Allah untuk keperluan tertentu dengan maksud
sambil mendapatkan manfaat langsung juga akan
mendapatkan ganjaran pahala dari Allah SWT. Firman
Allah SWT, dalam QS. al-Baqarah/2 : 261, sebagai berikut:

          

            

  


Terjemahnya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
meng-infaqkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.

Dalam pandangan syariat Islam sebagaimana ayat


tersebut diatas, orang yang berinfaq akan memperoleh
keberuntungan yang berlipat ganda baik di dunia maupun
di akhirat. Orang yang berinfaq dijamin tidak akan jatuh
miskin melainkan rezekinya akan bertambah.
Selanjutnya Infaq yang dikeluarkan oleh seorang laki-
laki untuk kepentingan keluarga (istri dan anak-anaknya),

28
difahami sebagai nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam
QS. An Nisaa / 4 : 34.

         

   


Terjemahnya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka...”

Dalam QS. Al-Baqarah/2 : 215, Allah SWT berfirman:

         

         

    


Terjemahnya:
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”

Berdasarkan beberapa ayat terkait infaq


(pengeluaran/belanja) diatas maka disimpulkan bahwa
Infaq adalah harta yang dikeluarkan dalam bentuk
pembelanjaan / pengeluaran di jalan Allah, nafkah kepada
keluarga terdekat dan pemberian kepada ibu-bapak,
kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang
kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil).
Pengeluaran infaq tersebut tidak melalui lembaga
Amil (BAZ/LAZ) tetapi langsung diberikan oleh orang yang
berinfaq kepada orang yang berhak menerima infaqnya.

29
5. Memberikan sumbangan pada sesama / tolong menolong
(ta‟wun)
Islam mengajarkan bahwa harta bukan tujuan
melainkan sebatas sarana untuk bersedekah dan berbuat
baik untuk orang lain. Orang yang memberikan sumbangan,
hatinya menjadi lapang dan tangannya terbuka semata
karena mengharap ridha Allah SWT. Dalam Qs Al-Maidah
/ 5 : 2 Allah SWT berfirman,

          

       


Terjemahnya :
“...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.”

Banyak ayat dan hadis yang memberikan kabar


gembira atau ancaman yang mengajak manusia
mendermakan hartanya. Ini sekaligus sebagai pencegah sifat
boros dan kikir. Dengan demikian maka manusia akan
mencintai kebajikan serta terdorong untuk memberikan
bantuan / tolong menolong kepada manusia lainnya
(ta‟wun).

G. Hak-Hak Orang Miskin

Jika merujuk pada ayat-ayat Alquran dan Hadis terkait


dengan miskin, maka Allah dan Rasul-Nya untuk memberikan
hak kepada orang miskin (Qs Ruum/30 : 38) adalah sebagai
berikut:
1. Diberi makan
Qs Al Insan/76 : 8 ; Qs/74 : 44 ; Qs/58 : 3-4 ; Qs /89 :
18 ; Qs / 107 : 3 ; Qs / 69 : 34 ; HR. Muslim No. 1707

30
Dari Abu Hurairah ia berkata :
Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah bertanya: "Siapakah di antara kalian yang pagi ini
sedang berpuasa?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Beliau
bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah
menghantarkan jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku."
Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini
telah memberi makan orang miskin?" Abu Bakar
menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara
kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?" Abu
Bakar menjawab, "Aku." Selanjutnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah semua itu
ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga."
(HR. Muslim No. 1707)

2. Mendapat upah jika bekerja,


Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad
Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb
bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata, telah menceritakan
kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah
kepada pekerja sebelum kering keringatnya."
(HR Ibnu Majah No. 2434)

3. Mendapat nafkah dari kerabat


Qs Adz-Dzariyat / 51 : 19 dan Qs Al-Isra‟ / 17 : 26
4. Diperlakukan secara baik
Qs An-Nisaa / 4 : 36
5. Diberi makan dari Denda, Fidyah, Kaffarat
Qs / 5 : 95 ; Qs / 5 : 89 ; Qs / 58 : 4 ; Qs 2 : 184 ;
6. Diberi harta rampasan perang (ghanima, fai‟i)
Qs / 8 : 41 ; Qs / 59 : 7
7. Diberi pembagian warisan jika hadir saat pembagian
Qs An-Nisaa/4 : 8
8. Menerima Zakat
Qs At-Taubah / 9 : 60

31
BAGIAN II
CARA ISLAM MENGATASI KEMISKINAN

Pengakuan Islam terhadap perbedaan alamiah dalam rezeki


tidak berarti membiarkan orang kaya menjadi tambah kaya dan
orang miskin semakin miskin, tetapi Islam ikut campur dengan
syari‟atnya untuk mengatur cara perolehan yang baik, cara
pengelolaan yang baik, cara pemakaian yang baik dan cara
membagikan yang baik sehingga menjamin adanya keseimbangan
antara pemenuhan hak individu dengan terciptanya keadilan
sosial.
Syari‟at Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadist
secara lengkap telah mengatur agar manusia terhindar dari
kemiskinan adalah dengan cara :
1. Bekerja mencari rezeki dan larangan meminta-minta
2. Hijrah (merantau)
3. Jaminan nafkah dari keluarga yang mampu
4. Optimalisasi Zakat,
5. Jaminan negara,
6. Kewajiban material tambahan selain zakat dan
7. Tolong menolong (ta‟wun) / sumbangan sukarela.

Cara Pertama :
Bekerja mencari rezeki dan larangan meminta-minta.

Dalam menjalankan tugas tugasnya untuk mengabdi


kepada Allah SWT, maka manusia tetap harus mencari rezeki
sumber penghidupannya yang telah ditebar oleh Allah selaku
pencipta alam dengan segala isinya.
Allah SWT, dalam QS. Lukman / 31 : 20 telah berfirman
bahwa apa yang ada di langit dan dibumi sudah ditundukkan
untuk kepentingan manusia.

32
           

...      


Terjemahnya:
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya
lahir dan batin....”

Semua manusia yang hidup masyarakat dituntut untuk


bekerja (berusaha), mengembara di muka bumi dan makan rezki
yang Allah sudah anugerahkan kepada makhluknya. Bekerja
adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik
untuk kebutuhan fisik, psikologis maupun sosial. Dengan bekerja
memanfaatkan apa yang telah Allah tebarkan dengan cara-cara
yang benar, manusia dapat memperoleh rezeki untuk menjamin
penghidupannya. Yang dimaksud dengan bekerja (al-„amal)
adalah usaha serius yang dilakukan manusia baik bersifat individu
maupun kolektif untuk menghasilkan barang (produksi),
memindahkan barang (distribusi/niaga) maupun memberikan
pelayanan (jasa).
Semua sumber daya alam telah ditundukkan agar manusia
dapat mengambil manfaatnya sebagai sumber penghidupannya,
tentu dengan mengikuti syari‟at yang telah ditentukan olehNya.
Bekerja adalah ibadah, mendapatkan rezeki dan mendapatkan
pahala. Alasannya karena dalam Islam, bekerja itu wajib untuk
memakmurkan bumi dan mencari sumber penghidupan. Firman
Allah dalam QS. al-A‟raf/7 : 10 bahwa:

           
Terjemahnya :
“Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)
penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur”.

33
Allah sudah menyiapkan siang untuk bekerja dan malam
untuk istirahat dan menjadikan bumi yang luas untuk mencari
nafkah. Allah SWT, berfirman dalam QS.an-Naba/78 : 11.

   


Terjemahnya:
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.”

Perjuangan manusia untuk memanfaatkan sumber daya


yang ada di bumi sesuai apa yang diusahakannya juga sudah
diajarkan di dalam Alquran sebagaimana QS. An-Najm/53 : 39.

      


Terjemahnya:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya.”

Bahkan di hari Jum‟at, kaum muslimin diperintahkan untuk


tetap bekerja. Mereka dianjurkan untuk memulai lagi
pekerjaannya sesudah melaksanakan shalat Jum‟at sebagaimana
firman Allah SWT, dalam QS. Al-Jumu‟ah/62 : 10.

          

    


Terjemahnya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Ayat ini mengajarkan bahwa antara melaksanakan ibadah


shalat tidak menghalangi manusia untuk bekerja mencari rezki
untuk penghidupannya. Di dalam QS. Al-Mulk/67 : 15, Allah SWT
berfirman bahwa bumi ini telah di-mudahkan bagi manusia untuk
mencari penghidupan dan Allah memerintahkan untuk makan
sebagian dari rezeki itu.

34
            

  


Terjemahnya:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.”

Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat pemuda kuat


yang rajin bekerja. Merekapun mengomentari pemuda itu dan
berkata, andai saja ia rajin dan giat itu dilakukan untuk jihad di
jalan Allah. Maka Rasulullah SAW, menyela mereka dengan
bersabda :
“Janganlah kalian berkata seperti itu, jika ia bekerja untuk
menafkahi anak-anaknya maka ia berada di jalan Allah. Jika ia
bekerja untuk menafkahi kedua orang tuanya yang sudah tua
maka dia pun berada di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk
memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah.
Namun jika ia bekerja dengan maksud riya atau berbangga diri,
maka ia di jalan setan”
(HR. Thabrani).
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan Sunan Tirmidzi,
dari Abu Huraera berkata, saya mendengar Rasulullah SAW,
bersabda :
“Sungguh jika seseorang diantara kalian berangkat pagi hari
untuk mencari kayu bakar dan dipikul diatas punggungnya,
yang dengannya dia bisa bersedekah dan men-cukupi
kebutuhannya dari manusia, maka hal itu lebih baik daripada
meminta minta kepada orang lain. Sama saja apakah orang lain
memberinya atau tidak. Karena sesungguhnya tangan diatas
lebih baik daripada tangan dibawah dan mulailah memberi dari
orang yang menjadi tanggunganmu”
(HR Tirmidzi No. 616).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadis diatas sudah cukuplah


untuk menjadi petunjuk bagi manusia untuk bekerja di dalam
mencari rezeki/nafkah baik untuk memenuhi kebutuhannya

35
sendiri, keluarganya maupun untuk orang lain. Bekerja
merupakan senjata pertama manusia dalam memerangi
kemiskinan.16 Bekerja adalah penyebab pertama untuk
menghasilkan harta benda (kekayaan). Bekerja adalah tugas
manusia sebagai khalifah untuk rangka memakmurkan bumi
sebagaimana seruan Nabi Shaleh kepada kaumnya sebagaimana
dalam Qs Hud / 11 : 61,

             

...        


Terjemahnya :
“Dan kepada kaum Tsamud Shaleh berkata : Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.
dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu pemakmurnya...."
Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk
bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungan hatinya. Islam tidak mewajibkan seseorang
memasuki lapangan kerja tertentu kecuali bila hal tersebut sudah
terkait langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Islam
juga tidak menutup pintu usaha atau lapangan pekerjaan tertentu
kecuali jika hal tersebut nyata-nyata akan berdampak negatif baik
untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Semua jenis pekerjaan
yang diharamkan (terkait dengan benda/aktivitas haram) tidak
boleh dikerjakan.
Dalam sistem Ekonomi Islam, tak ada satupun pekerja yang
tidak mendapatkan imbalan (upah/gaji) dari jerih payah dan
keringatnya. Bahkan Islam mengharuskan memberikan upah
kepada para pekerja sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah
No. 2434). Memberi imbalan yang layak dengan pekerjaan yang
telah dilakukannya tanpa dikurangi dan tidak menyimpang dari
kesepakatan semula. Sebab jika memberikan upah dibawah atau
kurang dari yang menjadi hak-nya berarti pemberi kerja telah
melakukan kedzoliman terhadap pekerja.

16 Yusuf Qardhawi , Op.Cit, h. 71


36
Sebagian manusia ada yang tidak mau bekerja dengan
alasan tawakkal kepada Allah. Pandangan tersebut sangat keliru
sebab tawakkal kepada Allah bukan berarti tidak bekerja atau
mencari sebab-sebab yang bisa mendatangkan rezeki. Jangankan
manusia yang berkerja, seekor burung yang meninggalkan
sarangnya dipagi hari dalam keadaan lapar kemudian pulang di
sore hari dalam keadaan kenyang sebagaimana Rasulullah SAW
dalam hadis, bersabda :
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya tawakkal, niscaya Allah akan memberi rezki kepada
kalian sebagaimana Dia memberi rezeki terhadap seekor burung,
berangkat pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam
keadaan kenyang.”
(HR. Ibnu Majah No. 4154)17

Rasulullah SAW memberikan contoh konkrit untuk


bekerja mencari sumber penghidupan. Rasulullah SAW bersabda :

“Allah tidak mengutus seorang Nabi-pun kecuali dia


menggembala kambing. Para sahabat bertanya, apakah engkau
begitu juga Rasulullah SAW ?, beliau menjawab : Ya, aku
menggembala kambing untuk mendapatkan beberapa qirat 18 dari
penduduk Makkah.”
(HR. Bukhari No. 2102)

Imam Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA


bahwa Nabi Daud AS adalah tukang jahit baju zirah, Nabi Adam
AS adalah seorang petani, Nabi Nuh AS adalah tukang kayu, Nabi
Idris AS adalah tukang jahit dan Nabi Musa AS adalah
penggembala kambing.19
Banyak pula tokoh intelektual muslim yang namanya
diabadikan karena pekerjaannya, seperti : Al-Bazzar (penjual
rempah-rempah), Al-Qaffal (tukang kunci), Al-Zujjaj (Tukang
kaca), Al-Kharraz (Tukang gali), Al-Jassas (tukang cat), Al-Khawwash

17Maktabah Al-Ma‟arif Riyadl : 4164, Haditsoft 2020


18Kepingan Dinar senilai 2/3 Dinar
19Yusuf Qardhawi, Op.Cit, h. 86

37
(penjual daun kurma), Al-Khayyat (tukang jahit), Al-Shabban
(Penjual sabun), Al-Qattan (tukang kapas).
Di samping itu, Islam sangat keras mengecam ummatnya
untuk meminta-minta/mengemis (Al-Kaddiyah) yaitu orang yang
tidak bekerja mengolah sumber daya yang ada tetapi
menggantungkan hidupnya dari meminta minta kepada orang lain
padahal fisik mereka kuat dan anggota tubuhnya masih baik yang
sebenarnya dia mampu untuk bekerja.
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidaklah seseorang membuka pintu meminta minta
dalam dirinya kecuali Allah akan membukakan baginya pintu
kefakiran. ...”
(HR. Ahmad No. 9053).

Rasulullah SAW bersabda :


“Siapa yang meminta minta kepada orang banyak untuk
menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api.
Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau
banyak.”
(HR Muslim No. 1726).

Rasulullah SAW bersabda :


“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia sementara dia
memiliki persediaan yang cukup, maka ia akan datang pada hari
kiamat sedang dimukanya terdapat tanda tercela bahwa dia
meminta minta.”
(HR Tirmidzi No. 588).

Beberapa hadis diatas menunjukkan bahwa orang yang


memiliki kemampuan untuk bekerja tetapi dia masih menjadi
beban masyarakat dengan menjadikan meminta-minta (pengemis)
sebagai profesi atau hanya selalu bersandar kepada zakat dengan
menganggap zakat itu sebagai hak-nya. Dalam salah satu hadis
Rasulullah mengharamkan untuk menerima zakat bagi orang
orang yang masih kuat dan memiliki anggota tubuh yang masih
baik (HR. Ahmad No. 8700).

38
Ibnu Qayyim dalam bukunya Madarij al-Salikin
mengatakan bahwa meminta-minta adalah sebuah kedzholiman. 20
Zholim terhadap hak Allah, zholim terhadap orang yang dimintai
dan zholim terhadap dirinya sendiri. Orang yang meminta-minta
adalah zholim terhadap hak Allah karena dia menampakkan
kemiskinan, kebutuhan dan kehinaanya kepada selain Allah.
Dengan begitu berarti dia sudah meletakkan suatu masalah tidak
pada tempatnya dan memasrahkan masalahnya kepada yang
bukan ahlinya. Ini juga berarti menzholimi kemurnian tauhid dan
keikhlasannya. Zholim terhadap yang diminta sebab dia sudah
menawarkan suatu permasalahan kepada orang lain. Jika dia
memberi dengan terpaksa maka dia tercela dan jika dia menolak
untuk memberi maka dia menanggung malu. Zholim kepada diri
sendiri berarti dia sengaja menghancurkan kehormatannya,
menempatkan dirinya pada posisi yang paling rendah dan hina,
dia rela menjual kesabaran, tawakkal dan telah tergantung kepada
manusia lainnya.
Dari pembahasan diatas, nampak jelas bahwa setiap
muslim harus berusaha untuk bekerja mencari rezeki di muka
bumi. Apapun pekerjaan yang dilakukannya seperti : pertanian,
perindustrian, perdagangan, pendidikan, perkantoran, jasa-jasa
dan pekerjaan lain yang bermanfaat untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Islam mengecam orang yang bermalas-malasan dan
meminta-minta kepada orang lain. Jika semua manusia bekerja
dengan memanfaatkan karunia Allah yang sudah ditundukkan
untuk kepentingan manusia diatas bumi maka kemiskinan dapat
diatasi.

Cara Kedua :
Melakukan Hijrah (Merantau)

Jika sudah mencoba untuk bekerja di daerahnya namun


belum mendapatkan sumber penghidupan yang memadai maka
Islam mengajarkan untuk melakukan perjalanan di muka bumi
(hijrah) yang luas ini untuk mencari rezeki yang banyak. Ajaran

20 Ibid, h. 94
39
Islam menjelaskan bahwa bumi Allah luas. Rezeki Allah tidak
hanya berada dalam satu tempat tetapi sudah ditebarkan oleh
Allah di seluruh penjuru bumi. Untuk itu Allah SWT
memerintahkan untuk berjalan di atas bumi (berhijrah) di jalan-
Nya. Dalam Qs An Nisa / 4 : 100 dan Qs Al-Muzammil / 73 : 20
Allah berfirman,

             

           

         


Terjemahnya :
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki
yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka
sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

...         ...
Terjemahnya :
“..dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah..”

Dalam Qs Al-Mulk / 67 : 15 Allah SWT memerintahkan


manusia untuk berjalan di segala penjuru bumi untuk mencari
rezeki, sebagaimana firman-Nya :

.           
Terjemahnya:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya...”

40
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan, “menyebarlah
kemanapun yang kamu kehendaki di berbagai penjuru bumi dan
lakukanlah perjalanan di berbagai daerah dan kawasan untuk
keperluan mata pencaharian dan perniagaan.”
Dalam Qs Al-Jumu‟ah / 62 : 10 Allah berfirman :

          

    


Terjemahnya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu‟ah / 62 : 10)

Tentang ayat ini, dalam Tafsir Ar-Razi dinyatakan bahwa


makna bertebaran di muka bumi mengandung dua makna.
Pertama, perintah untuk menyelesaikan tugas-tugas hidup setelah
selesai melaksanakan shalat Jum‟at dan kedua adalah perintah
untuk menyebar di atas bumi melakukan kegiatan yang produkstif
untuk mencari rezeki penghidupan.
Kebiasaan mencari nafkah dengan berdagang atau berjalan
ke kawasan lain ternyata sudah dilakukan oleh orang orang suku
Quraisy sejak jaman Rasulullah SAW. Perjalanan dagang mereka
di luar wilayah Mekkah yaitu pada musim dingin mereka
melakukan perjalanan ke Yaman untuk berbelanja parfum dan
rempah-rempah dan selama musim panas mereka pergi ke Syam
untuk berdagang hasil pertanian. Hal ini terdapat dalam Qs
Quraisy / 106 : 2 dimana Allah SWT berfirman,

    

Terjemahnya
“ Kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim
panas.”

Berbekal dan berpijak kepada ayat ayat di atas, maka ajaran Islam
menganjurkan untuk melakukan perjalanan (hijrah) keluar dari
daerahnya untuk mencari rezeki di tempat lain dan kita akan
41
mendapati tempat mencari rezeki yang maha luas. Banyak orang
Islam yang melakukan perjalanan di muka bumi untuk mencari
rezeki. Dengan diperolehnya sumber penghasilan di tempat yang
baru maka pendapatanpun akan meningkat yang pada akhirnya
mengentaskan kemiskinan.
Dalam konteks kekinian, orang melakukan perjalanan
(hijrah) untuk mencari rezeki dalam bentuk berdagang keluar
wilayahnya atau merantau (Passompe : Bugis) untuk mencari
pekerjaan yang lebih baik. Begitupula program Transmigrasi yang
pernah digalakkan pada era Orde Baru sebenarnya dapat diartikan
sebagai hijrah yang dilakukan secara bersama-sama atas fasilitasi
pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup rakyat, penyebaran
kepadatan penduduk dan memakmurkan lahan-lahan yang tidak
produktif.

Cara Ketiga :
Jaminan Hidup dari Keluarga
Terhadap manusia yang lemah, orang cacat yang tidak
mampu bekerja, anak-anak, orang tua jompo, orang yang
mengidap penyakit kronis, janda yang ditinggal mati suaminya
tanpa sumber penghidupan yang cukup maka dalam Syari‟at
Islam, kebutuhan hidupnya berasal dari keluarganya yang
mampu. Islam menempatkan keluarga dekat / kerabat sebagai
orang yang harus peduli dan saling membantu kesulitan kerabat
yang lain. Yang kuat harus menanggung yang lemah. Yang kaya
harus menanggung yang miskin. Dalam Qs Al-Anfal / 8 : 75 Allah
SWT berfirman,

            

 
Terjemahnya :
“...orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang

42
bukan kerabat)21 di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”

Islam sudah menegaskan hak kerabat. Banyak ayat dan


hadist yang memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada
keluarga/kerabat, menjaga silaturahim dan membantu mereka
yang lemah. Sebaliknya Islam dengan tegas mengecam orang yang
sengaja memutus tali silaturahim atau berbuat jahat kepada
keluarga. Allah SWT dalam Qs An-Nahl/16:90 dan Qs Al-Isra / 17
: 26 berfirman,

          

       


Terjemahnya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.”

         
Terjemahnya :
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.”

Rasulullah SAW bersabda :


“Berikanlah hak-hak kerabat, orang miskin, ibnu sabil dan
janganlah kamu berlaku boros.”
(HR. Ahmad No. 11945)

21 Dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan

hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin


dan anshar pada permulaan Islam.
43
Ibnu Qayyim dalam Zad al Ma‟ad 22 menjelaskan bahwa
yang dimaksud memberikan hak kepada kerabat adalah memberi
nafkah kepada kerabat. Ibnu Qayyim memberi alasan, adakah cara
memutuskan hubungan kerabat yang lebih kejam dari melihat
mereka hidup dalam kelaparan dan kehausan, tersengat panas dan
dicengkeram kedinginan, tidak ada sesuap nasi-pun yang bisa
dimakan , tidak ada minuman untuk mengusir rasa haus, tidak
ada pakaian yang bisa menutupi tubuh, tidak ada atap menjadi
tempat berteduh ? Padahal mereka masih bersaudara, keponakan,
paman atau bibi. Jika mereka membiarkan kerabatnya hidup
dalam keadaan serba kekurangan maka maknanya sama dengan
memutus tali silaturahim dan perbuatan itu diharamkan oleh
Allah SWT. Dimanakah letak melebihkan hak kerabat daripada
hak orang lain ?
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ketika berdiri di atas
mimbar sedang berkhutbah dengan bersabda :

“Tangan orang yang memberi yang di atas, Dan mulailah dari


orang yang harus kamu tanggung, ibumu, ayahmu, saudarimu
dan saudaramu, baru kemudian yang terdekat berikutnya, lalu
yang terdekat berikutnya..”
(HR. Musnad Ahmad No. 16018)

Pada beberapa ayat dan hadis diatas, Allah dan Rasul-Nya


menjadikan hak kerabat beriringan dengan hak orang tua dan
saudara. Allah sudah menjelaskan bahwa kerabat memiliki hak
dari kerabatnya yang lain, dan Dia memerintahkan agar hak itu
dipenuhi. Sungguh merupakan kezholiman yang luar biasa jika
ada kerabat yang membiarkan kerabatnya yang lain dalam
kesulitan, dalam keadaan lapar dan telanjang tidak punya tempat
berteduh padahal dia termasuk orang yang mampu untuk
menutupi kebutuhannya ataupun menutupi auratnya, tetapi dia
tidak memberi sesuap nasi pun dan pakaian penutup aurat. Semua
ini menjadi hutang yang berada di bawah tanggung jawab
keluarga yang mampu tersebut.

22Yusuf Qardhawi, Op. Cit. 113


44
Ada dua syarat mendasar yang ditentukan oleh ahli fikih
terkait kewajiban nafkah untuk kerabat.23 Pertama, orang yang
hendak diberi nafkah adalah orang yang miskin. Jika kaya atau
memiliki perkerjaan tetap maka kewajiban itu hilang. Kedua,
orang yang ingin memberi nafkah adalah yang memiliki kelebihan
harta untuk dinafkahkan. Lebih dari kebutuhannya sendiri dan
keluarga terdekat yang menjadi tanggungannya.
Instrumen ini disebut sedekah, dinamakan demikian karena
pengeluaran yang dilakukan adalah benar dan sebagai bukti
kebenaran iman seorang muslim.Sedekah yang berasal dari kata
Shadaqah adalah suatu pemberian baik berbentuk harta maupun
kebaikan dari seorang muslim kepada orang lain yang sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah ter-tentu sebagai suatu
kebajikan dengan mengharap ridha Allah semata dan Allah
memberinya ganjaran berupa pahala yang besar.
Berdasarkan kitab al-Majmu‟ Syarah Al-Muhazab Juz 6 Hal
238, Imam Nawawi mengungkapkan bahwa para ulama telah
sepakat bahwa kerabat adalah orang yang paling utama
mendapatkan sedekah. Hal ini didasari pada riwayat berikut:
Suatu hari Zainab istri Abdullah bin Mas‟ud mendatangi
Rasulullah dan mengutarakan niatnya untuk bersedekah.

“Ya Rasulullah, saya punya perhiasan, saya ingin


mensedekahkan barang milikku ini. Namun Ibnu Mas‟ud
mengira bahwa dia dan anaknya lebih berhak menerima sedekah
dibanding dengan orang lain”. Rasulpun me-negaskan,
“Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas‟ud. Suami dan
anakmu lebih berhak diberikan sedekah daripada orang lain”
(HR Bukhari No. 1462).

Dalam sebuah riwayat Abu Musa Al- Asy‟ari berkata,


Rasulullah SAW bersabda :

“Setiap muslim wajib bersedekah. Jika belum mampu


melakukannya maka hendaklah ia bekerja dengan tangannya..”
(HR Ad Darimi No. 2629).

23 Ibid, h. 123
45
Atas dasar Hadis tersebut, ulama berpendapat jika
bersedekah kepada kerabat lebih diutamakan dibandingkan
kepada orang lain. Yang paling utama adalah keluarga yang
menjadi tangungjawab seperti istri, anak, dan kerabat lainnya
yang membutuhkan dengan mempertimbangkan kemampuan
penerima.
Islam tidak memberikan ketentuan khusus (mengikat) sebab
kebutuhan manusia beragam dan orang yang memberi juga
memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Oleh karena itu berikan
sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan pemberi. Allah
SWT berfirman dalam Qs At-Thalaq / 65 : 7 yaitu,

              

            
Terjemahnya :
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Dalam Qs Al-Baqarah / 2 : 233 Allah SWT berfirman


bahwa kewajiban ayah adalah memberi nafkah dan pakaian
dengan cara yang patut.

           

             
Terjemahnya :
“..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian...”

46
Berdasarkan ayat dan hadir diatas, para pakar ahli fikih
menetapkan bentuk atau jenis nafkah 24sebagai berikut :
1. Makanan atau harta.
2. Pakaian yang wajar dan baik untuk menutupi aurat & tubuh.
3. Tempat tinggal yang layak.
4. Pembantu, bagi orang yang tidak mampu merawat dan
melayani diri sendiri.
5. Mengawinkan anak yang berada dalam tanggungannya.
6. Memberi nafkah kepada istri (mut‟ah) dan keluarganya.

Dengan adanya kewajiban memberi nafkah kepada kerabat


yang miskin oleh kerabat yang mampu, berarti Islam telah
meletakkan dasar bangunan solidaritas sosial untuk mengentaskan
kemiskinan.

Cara Keempat :
Optimalisasi Zakat
Dan Larangan Meninggalkan Kewajiban Zakat

Islam mewajibkan semua orang yang mampu untuk bekerja


dan berusaha mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya, keluarganya dan memberikan kontribusi material di
jalan Allah (fii sabilillah). Bagi yang tidak mampu bekerja dan
tidak memiliki harta untuk memenuhi kebutuhannya maka
menjadi tanggungan kerabatnya yang mampu. Allah SWT telah
menetapkan hak yang pasti dari kewajiban orang yang
berkecukupan berupa kewajiban zakat.
Zakat secara bahasa merupakan masdhar dari kata “zaka
asy-syai‟u“ yang artinya berkembang dan bertambahnya sesuatu.
Maka az-zakah artinya adalah keberkahan, pertumbuhan,
kebersihan dan kebaikan dari harta.25
Zakat adalah perintah Allah yang merupakan Pilar Islam
yang ketiga. Zakat hukumnya fardhu ain bagi siapa saja yang telah
memenuhi syarat wajibnya yang merupakan tonggak utama

24Yusuf
Qardhawi, Op. Cit, h. 126
25AbuMalik Kamal bin as-Sayyid Salim, Ensiklopedi Shaum & Zakat, (terj.
Abu Ammar, Cet. 1, Solo : Cordova Mediatama, 2010), h. 136
47
struktur financial dalam Islam. Sesudah shalat, zakat merupakan
kewajiban keagamaan yang terpenting.
Sangat banyak ayat-ayat dalam Alquran dan Hadis dimana
Allah SWT sebagai pemilik alam semesta ini yang memerintahkan
untuk mengeluarkan zakat. Arti penting zakat dalam Islam dapat
dilihat bahwa dalam Alquran terdapat kata “zakat” lebih dari
delapan puluh kali, dua puluh tujuh kali diantaranya
digandengkan dengan shalat. Allah SWT, telah berfirman dalam
QS. al-Baqarah/2 : 43.

‫ي‬ ِ ِ َّ ‫الزٰكوَة وارَكعوا مع‬


َ ْ ‫الراكع‬ َّ ‫َواَقِْي ُموا‬
َ َ ْ ُ ْ َ َّ ‫الص ٰلوَة َواٰتُوا‬
Terjemahnya:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'.”

Pada ayat lain Allah memerintahkan untuk mengambil


zakat dari sebagian harta orang-orang yang kelebihan rezki
sebagaimana QS. at-Taubah/9 : 103.

           

      


Terjemahnya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.

Maksud dari pengambilan zakat tersebut adalah untuk


membersihkan dan mensucikan mereka dari sifat kikir dan cinta
berlebihan terhadap harta. Sebab dari turunnya (asbabunnuzul)
ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ali bin Abi
Thalhah dari Ibnu Abbas, terkait dengan Abu Lubaha dan dua
orang temannya yang tidak ikut berperang kemudian
mengikatkan diri pada tiang sebagai tanda penyesalannya. Setelah
dilepaskan oleh Rasulullah SAW mereka berkata. “wahai

48
Rasulullah, ini harta kami. Sedekahkan harta tersebut atas nama
kami dan mohonkan ampunan untuk kami.” Rasulullah berkata,
“aku tidak diperintahkan untuk mengambil harta kalian
sedikitpun.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Nabi Muhammad SAW, tidak hanya menunjukkan sebuah
model bagi pengumpulan dan penyaluran zakat tetapi juga
membuat aturan dan regulasinya. Zakat bukanlah urusan pribadi
tetapi melibatkan institusi Negara (Baitul Mal/ Bendahara negara).
Praktek Nabi juga menetapkan bahwa system zakat diatur dalam
Negara Islam sebagai lembaga pemerintah.
1. Hukum Meninggalkan Kewajiban Zakat
Zakat adalah perintah wajib, bagi muslim yang enggan
untuk membayar zakat atas harta yang dimilikinya akan
mendapatkan siksa yang pedih sebagai-mana firman Allah
dalam QS At Taubah/9 : 34.

        

   


Terjemahnya:
“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih”.

Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya:


“ Siapa saja yang memiliki emas atau perak tetapi tidak
mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti
akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu
dipanaskan di dalam neraka jahannam, lalu disetrika dahi,
rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap
kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali
kepadanya pada hari dan ukurannya sama dengan lima puluh
ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke
surga atau neraka”26
(HR Ahmad No. 7247).

26HadistSoft, 2020
49
Sepeninggal Rasulullah SAW ancaman terhadap yang
lalai mengeluarkan zakat pernah terjadi pada zaman khalifah
Abu Bakar Ash Siddiq. Saat itu terjadi pembangkangan ketika
sebagian kaum mendatangi beliau dan menyatakan tidak akan
membayar zakat lagi sebagaimana mereka hanya membayar
zakat ketika Rasulullah masih hidup. Setelah mendengar itu,
Khalifah kemudian bersumpah akan memerangi siapa saja
yang berani memisahkan antara shalat dengan zakat dan
menolak mengeluarkan zakatnya.
Sumpah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq terhadap
pembangkang zakat, : “Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja
yang memisahkan antara shalat dengan zakat”.
Seluruh ulama sepakat, bahwa siapa saja yang
mengingkari dan menolak wajibnya zakat maka ia kafir
berdasarkan ijma‟ sebab dia telah mendustakan Alquran dan
As Sunah serta mengingkari perkara yang sudah sangat jelas
perintahnya dalam Islam. 27 Adapun sanksi di dunia bagi orang
yang tidak mau membayar zakatnya yaitu, sanksi yang bersifat
Qadariy dan yang bersifat Syar‟iy.
Sanksi qadariy28 dalam Fiqh Az-Zakah (I/92) adalah:
Allah Taalah akan menimpakan cobaan berupa paceklik
kepada orang-orang bakhil menunaikan hak Allah dan hak
fakir miskin yang ada pada hartanya. Rasulullah SAW,
bersabda:

“Tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat kecuali Allah


akan timpakan kepada mereka musibah paceklik (kelaparan dan
kekeringan).”
(HR Tabrani No. 4577).

Sanksi Syar‟iy, jika orang yang menolak membayar pajak


itu berada dibawah gengaman penguasa maka separuh
hartanya akan diambil secara paksa darinya.

27 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Op. Cit, 143


28Ibid, h. 144
50
Rasulullah SAW bersabda tentang zakat :
“ ...Dan barangsiapa yang menolak zakat, maka kami akan
mengambil separuh hartanya secara paksa..”
(Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Ahmad, An-
Nasa‟i, Abu Dawuda dan Baihaqi).
2. Bentuk Zakat
a. Zakat Mal (Zakat Harta), adalah zakat harta benda yang
diwajibkan Allah sesuai dengan nisab dan haulnya. Harta
yang wajib dikeluarkan adalah emas dan perak, hasil
pertanian, binatang dan penghasilan (gaji dari profesi).
b. Zakat Fitrah, adalah salah satu perintah agama untuk
mengeluarkan zakat yang diwajibkan setelah selesai
mengerjakan puasa Ramadhan. Zakat fitrah mulai
disyariatkan pada bulan Sya‟ban 2 Hijriyah sebagai
pengsuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan dan
perkataan yang sia-sia selama puasa Ramadhan serta untuk
menjadi penolong bagi hidup orang fakir miskin. 29
3. Wajib Zakat (Muzakki)
Wajib zakat pada pemilik harta adalah: 1) Islam; 2)
Orang yang merdeka; dan 3) Telah terpenuhi kebutuhan
pokoknya. Sedangkan kadar kekayaan yang di-anggap sebagai
yang berkewajiban mengeluarkan zakat (Muzakki) adalah orang
yang disebut kaya atau berkecukupan yaitu orang yang kadar
nisabnya sudah lebih dari keperluan pokok bagi dirinya, anak,
pasangan, dari makan minum, pakaian, tempat tinggal,
kendaraan, alat bekerja dan lain lain yang sungguh sungguh
diperlukan. Jadi orang yang tidak memiliki harta tersebut,
berhak menerima zakat. Nabi SAW berkata kepada Mu‟adz:
“Diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir
mereka”. Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2 : 219.

          

  

29 Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit, h. 221


51
Terjemahnya:
“ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.

Sedangkan syarat wajib zakat pada sisi harta adalah :


1) Mencapai Nisab, yaitu jumlah yang oleh syariat dijadikan
sebab wajibnya zakat. Maka siapa yang tidak memiliki
jumlah ini atau ia mempunyai harta yang kurang dari nisab
maka tidak ada kewajiban zakat baginya. Nisab harta
berbeda beda tergantung jenis hartanya sebagaimana terinci
dijelaskan pada Fiqhi Zakat.
2) Harta dimiliki secara penuh. Mengacu pada Sabda
Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada mereka harta mereka”.
3) Harta yang berkembang atau berpotensi berkembang seperti
saham yang sedang diinvestasikan.
4) Haul, telah memenuhi waktu kepemilikan terhadap harta
tertentu misalnya emas dan perak, binatang ternak, barang
perniagaan yang sudah dimiliki selama 1 tahun.
4. Penerima Zakat (Mustahik)
Adapun orang yang berhak menerima zakat (masharifuz
zakati) merujuk kepada 8 asnaf sebagaimana yang terkandung
dalam QS. at-Taubah/9 : 60.

       

          

     


Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hati-nya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
52
Pada awalnya (sekitar 1–2 H), zakat difardhukan tanpa
ditentukan kadar-nya, tanpa pula diterangkan dengan jelas
harta yang dikenakan zakat, Syari‟at saat itu hanya menyuruh
mengeluarkan zakat. Jumlahnya terserah kepada kemauan dan
kebaikan pemberi zakat. Yang menerima zakat saat itu hanya
dua golongan saja yaitu fakir dan miskin.
Pada tahun kedua Hijriyah, bersamaan tahun 623 M,
barulah syara menentukan harta yang dizakatkan, kadarnya
dan penerimanya. Abu Said Al-Khudri menceritakan bahwa,
“pada suatu hari disaat membagi sedekah di Madinah,
datanglah seorang laki-laki bernama Dzulwaisirah Harqush at-
Tamimi dan ber-kata: Yaa Rasulullah, saya minta Tuan berlaku
adil (menuntut pembagian sedekah). Mendengar perkataannya,
Rasulullah pun berkata. “Jika saya tidak berlaku adil, siapakah
lagi yang akan berlaku adil? Aku memperoleh kegagalan dan
kerugian jika tidak berlaku adil”. Saat itu Umar berkata, “Yaa
Rasulullah, izinkanlah saya memotong leher orang ini, saya
lepaskan dari badannya. Permintaan Umar dijawab oleh Nabi,
“Jangan, biarkan saja orang ini. Maka saat itu turunlah ayat 59
dan 60 dari surat at-Taubah”.30
Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata
“shadaqah”. Pengertian shadaqah ini merupakan pengertian
yang luas karena menyangkut baik yang material maupun non
material. Shadaqah yang material adalah shadaqah yang wajib
yaitu zakat, infaq dan shadaqah yang sunnah yaitu sedekah.
Sedangkan shadaqah immaterial misalnya bertasbih,
bertahmid, senyum, berbuat kebajikan, beramal makruf dan
nahi mungkar dll masih banyak jenisnya.
Pemakaian kata shadaqah dimaksudkan untuk
pengertian yang luas mencakup zakat, infaq dan sedekah,
sedangkan sedekah dimaksudkan untuk shadaqah yang
sunnah yang diberikan setiap hari.Penulis berpendapat bahwa
kata shadaqah berubah makna menjadi Zakat karena ada kata
“faridhatan minallahi” yang berarti perintah wajib dari Allah.
Shadaqah yang hukumnya wajib dikeluar-kan karena perintah

30Asbabun Nuzul, Al-Qur‟anul Kariim, h. 193 dan Hadis Riwayat Bukhari


53
dari Allah adalah Zakat. Sesuai dengan QS. Attaubah/9 : 60
maka pihak yang berhak menerima zakat (Mustahiq) adalah :
a. Fakir. Orang fakir adalah orang yang amat sengsara
hidupnya, tidak mem-punyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.Imam Syafi‟i dan Imam Abu
Hanifa berpendapat bahwa fakir lebih buruk kondisinya
daripada miskin.31 Faqir adalah orang yang kekurangan
karena tidak memiliki sumber daya bagaikan orang yang
patah tulang punggungnya sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya harus melalui bantuan orang lain.
b. Miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.Miskin
adalah orang yang memiliki sumber daya namun tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
sehingga menahan diri atas beberapa kebutuhannya itu.
c. Amil. Pengurus zakat/Amil adalah orang yang diberi tugas
untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Sedangkan
untuk mengumpulkan dan membagian infaq dan sedekah
tidak mengharuskan dikelolah oleh Amil. Amil hanya
bertugas mengelola zakat sebagaimana QS. At-Taubah/9 :
60.
d. Muallaf. Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang
imannya masih lemah.
e. Riqob. Memerdekakan budak mencakup juga untuk
melepaskan muslim yang ditawan oleh orang kafir atau
melepaskan hamba dari majikannya jika mendapat janji dari
untuk dilepaskan jika membayar tebusan tertentu. 32
f. Ghorim. Ghorim adalah orang yang berhutang karena
untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya. Adapun orang yang ber-hutang untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

31Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,

2009) h.147
32 Ibid. h. 161

54
g. Fisabilillah, yaitu orang yang berada pada jalan Allah
(fisabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat
bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan dakwah
namun tidak memiliki kecukupan dana.
h. Ibnu Sabil. Ibnu Sabil adalah rang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat namun mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
5. Pengelola Zakat (Amilyin)
Ayat tersebut diatas juga terdapat kata “Amilyiin“ yang
berarti pengelola zakat. Zakat adalah satu-satunya ibadah
dalam Islam yang disebut dalam Alquran ada “petugas‟nya
sebagaimana yang tercantum dalam QS. At-Tawbah/9 : 60.

     


Al-Qurtubi,33 menafsirkan kata amilin sebagai orang
yang ditugaskan (oleh imam/pemerintah) untuk mengambil,
menuliskan, menghitung dana zakat yang dikumpul dari
muzakki untuk kemudian diberikan kepada golongan yang
berhak menerimanya. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya
perintah Allah yang diberikan kepada penguasa untuk
mengambil zakat dari harta orang-orang yang wajib zakat
sebagaimana QS. At-Taubah/9 : 103. Fakta historis, Rasulullah
SAW, pernah mengutus Mu‟adz bin Jabal untuk memungut
zakat dari penduduk Yaman.
Keberadaan amil sebagai salah satu penerima zakat
memberikan isyarat wajibnya dikelola zakat oleh sebuah
institusi. Untuk membayarkan zakat langsung kepada
mustahiq sangat berat karena semuanya harus dikembalikan
kepada Alquran dan As Sunnah dan banyaknya golongan yang
harus menerima dan tujuan dari zakat ini mengharuskan harus
di kelolah oleh Amil.
Allah SWT, telah mengatur bahwa harus pengelolaan
zakat tersebut harus melalui Amil. Kebijakan ini telah

33Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, (Jakarta : Gema

Insani Press, 2007), h. 169


55
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan membentuk Amil
zakat dan zakat tersebut selanjutnya disimpan dan dikelola
pada Baitul Maal. Sedangkan untuk instrumen yang lain seperti
sedekah, infaq dan wakaf tidak mengharuskan ada Amil.
Penegasan amil dalam konteks zakat di dalam Alquran
diungkapkan dalam bentuk jamak („amiliin) yang berarti
sekumpulan orang dan kolektifitas yang memiliki legalitas,
terikat dalam institusi dan sistem serta wajib menyampaikan
pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada
pemerintah atau masyarakat.
6. Tempat Mengambil dan Menyalurkan Zakat.
Para fuqaha sepakat menetapkan bahwa boleh
memindahkan zakat untuk dibawah kepada orang yang berhak
apabila penduduk negeri/daerah dari pemberi zakat tidak
memerlukan zakat lagi.Ulama ulama Hanafiyah, 34
memakruhkan memindahkan zakat kecuali jika dipindahkan
kepada kerabat yang berhajat, karena hal itu mengandung arti
menyambung tali silaturahim atau kepada orang yang lebih
membutuhkannya dibandingkan penduduk negeri itu sendiri.
Adapun jika penduduk negeri yang memberi zakat itu
masih membutuh-kan maka banyak hadis yang menegaskan
bahwa zakat tiap-tiap daerah itu tidak boleh dipindahkan ke
negeri lain karena maksud memberikan zakat ialah mem-
berikan kecukupan kepada orang fakir miskin di tiap negeri /
daerah. Kalau dibolehkan memindahkan zakat dari suatu
daerah padahal ada orang fakir miskin di negeri itu, maka
menyebabkan fakir miskin disitu tetap miskin sehingga tujuan
mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut tidak terpenuhi.
Zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan
instrumen utama dalam ajaran Islam yang berfungsi sebagai
distributor aliran kekayaan dari tangan orang yang kaya
kepada orang yang miskin. Zakat merupakan kewajiban yang
diarahkan oleh Allah untuk menciptakan pemerataan dan

34Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, (Jakarta : Gema

Insani Press, 2007), h. 186


56
keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan
masyarakat dapat ditingkatkan.
Perintah kewajiban berzakat untuk fakir miskin sangat
jelas dalam QS. At-Taubah/9 : 60 dimana Allah SWT,
menempatkan fakir dan miskin pada bagian awal sebagai
penerima zakat. Ini memberikan petunjuk betapa Allah SWT,
memprioritaskan,35 fakir dan miskin sebagai penerima zakat.
Terjemah QS. At-Taubah/9 : 60 sebagai berikut:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang


fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hati-nya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”

Fungsi zakat sebagai alat redistribusi pedapatan dan


kekayaan merujuk kepada Firman Allah dalam QS. Adz-
Dzaariyat/51:19.

     


Terjemahnya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian.36

Dalam QS. Al-Ma‟arij/70 : 24-25 Allah berfirman.

       


Terjemahnya :
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu,Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang
tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.

35Hakim, Rahmad, Kontekstualisasi Fikih Golongan Penerima Zakat (Asnaf

Tsamaniyah) Zakat dan Relevansinya Dengan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia,


Proceedings Annual Conference for Muslim Scholars 2 nd Surabaya : KOPERTAIS
Wil. IV, April 2018. h. 394
36Maksudnya adalah orang miskin yang tidak meminta minta.

57
Ayat ayat diatas menunjukkan bahwa harta yang
dimiliki seorang muslim tidaklah bersifat mutlak. Artinya ada
bagian atau persentase tertentu yang diatur sebagai syari‟at
sebagai milik orang lain, yaitu milik kelompok fakir dan
miskin. Perintah Allah yang menegaskan bahwa ada bagian
tertentu dalam harta seseorang yang bukan merupakan
miliknya menunjukkan bahwa harta tersebut harus dibagikan
kepada orang lain yaitu yang membutuhkan sesuai syari‟at
terutama bagi kaum fakir miskin.
Banyak dari kalangan ahli fikih bersikap hati-hati
terhadap hasil zakat. Mereka tidak memperbolehkan
penggunaan – seluruh atau sebagian dari harta itu untuk
kepentingan umum selain yang diuraikan dalam Qs At-Taubah
/ 9 : 60, seperti untuk pengembangan militer, ataupun
kebutuhan pembangunan lainnya meskipun alokasi dananya
tidak mencukupi dan pada saat itu harta zakat surplus.
Pengalihan alokasi seperti itu hanya dibenarkan jika
pemerintah berhutang kepada harta zakat (Baitul Mal) yang
akan segera dilunasi setelah mencukupi.
Zakat yang berperan sebagai instrumen yang mengatur
aliran distribusi pendapatan dan kekayaan. Macetnya distribusi
akan menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Untuk itu, pelaksanaan kewajiban zakat merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendesak. Tidak ada keraguan lagi
bahwa zakat adalah instrumen utama yang merupakan solusi
atas berbagai problematika ekonomi ummat, terutama di dalam
menghadapi kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Cara Kelima :
Jaminan Negara
Setiap negara Islam maupun negara lainnya memiliki
kekayaan sebagai hak milik umum yang dikelola dan
dipergunakan untuk kepentingan negara. Misalnya, wakaf
untuk kepentingan umum, pertambangan, sumber perikanan
dan kelautan, pengelolaan hutan dan kekayaan alam lainnya.

58
Sumber ekonomi tersebut tidak boleh dipegang individu,
apalagi untuk kepentingannya sendiri melainkan harus berada
di tangan negara agar semua masyarakat dapat merasakan
manfaatnya. Seluruh pemasukan kepada kas negara
merupakan sumber utama dari negara untuk fakir miskin.
Sumber penerimaan negara lainnya meliputi al-usyr, al-khums,
al-jizyah, ghanimah, al-fa‟i dan al-kharaj. 20 % atau seperlima dari
harta rampasan perang (ghanimah& Fa‟i), pajak bumi ataupun
pungutan lainnya merupakan hak bagi orang yang
kekurangan. Dalam Qs Al-Anfal / 8 : 41

          

         

           

 
Terjemahnya :
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apayang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di
hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam Qs Al-Hasyr / 59 : 7 Allah SWT berfirman :

           

         

             

    

59
Terjemahnya :
“Apa saja harta rampasan (fa‟i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-
kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-
orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

Jika ada sebagian anggota masyarakat yang


membutuhkan bantuan, sedangkan Baitul Mal sama sekali
tidak memiliki harta zakat, maka pemerintah harus tetap
memberi jaminan sesuai dengan kebutuhannya dengan
mengambil dana Baitul Mal yang bersumber dari pajak bumi
(Kharaj). Jaminan tersebut bukan hanya kepada fakir miskin
tapi mencakup ahl dzimmah yang merupakan orang non muslim
yang hidup dan tunduk atas pemerintahan Islam. Mereka juga
memiliki hak untuk mendapat jaminan dari negara seperti
orang Islam.
Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj meriwayatkan
naskah perjanjian antara Khalid bin Walid dengan penduduk
Hirah di Iraq. Mereka adalah penganut agama Kristen.
Perjanjian politik itu mengandung point yang jelas, yang
menetapkan jaminan bagi mereka untuk mengentaskan
kemiskinan, mengobati yang sakit dan jaminan hari tua.
Semuanya ditanggung oleh kas negara (Baitul Mal). Inilah yang
merupakan Jaminan Sosial pertama dalam sejarah37, dimana
pihak yang menang bersedia memberikan perlindungan dan
perdamaian dengan pihak yang kalah, sementara mereka tetap
beda agama.
Naskah dengan redaksi yang jelas diucapkan oleh Khalid
bin Walid berbunyi :
“Aku tetapkan bagi mereka, orang orang yang tidak
mampu bekerja, tertimpa kemalangan, asalnya

37 Yusuf Qardhawi, Op. Cit, h. 229


60
berkecukupan namun tiba-tiba menjadi miskin sehingga
menjadi beban bagi saudaranya yang seagama ; aku
bebaskan jizyah, dan kehidupannya akan ditanggung
oleh kas Ummat Islam, selama ia tetap tinggal di wilayah
Islam. Jika mereka keluar, maka kehidupannya bukan
lagi menjadi tanggungan ummat Islam.”38
Apa yang dilakukan Khalid bin Walid saat pemerintahan
Abu Bakar Ash-Siddiq tersebut sejalan dengan ketetapan dari
dari pada Sahabat bahkan sesuai apa yang pernah disabdakan
Rasulullah SAW :
“Aku adalah orang yang lebih dekat dalam mengurusi setiap
muslim dari dirinya sendiri, Jika ada orang yang mati
meninggalkan harta, maka menjadi hak ahli warisnya.
Barangsiapa yang meninggalkan hutang atau anak terlantar
karena tidak memiliki kekayaan bawalah kesini dan aku akan
mengurusnya.”
(HR. Bukhari No, 2223 dan Muslim No. 3043)

Jika sumber kas Islam tidak mampu memenuhi


kebutuhan fakir miskin serta tidak ada anggota masyarakat
secara pribadi peduli terhadap nasib mereka maka pemerintah
sebuah negara harus menarik sumbangan dari yang kaya untuk
sekedar menutupi kebutuhan dasar fakir miskin tersebut.
Dalam Islam, negara harus menciptakan program dan
sarana yang dapat mengatasi masalah kemiskinan,
memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi masyarakat
miskin dan menyediakan sarana perekonomian yang
dibutuhkan.
Wakaf merupakan salah satu instrument yang dapat
dipergunakan dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini
mengacu kepada salah satu Hadis Rasulullah SAW yang
artinya sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Umar bin Khattab
mendapatkan bagian tanah di Khaibar, lalu dia menemui Nabi
SAW untuk meminta pen-dapat tentang tanah itu. Dia berkata,
„Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan bagian
tanah di Khaibar dan aku tidak mendapatkan harta yang lebih

38Ibid, h. 230
61
berharga dari tanah ini. Maka apa yang Engkau perintahkan
kepadaku tentang tanah itu ? Beliau menjawab, jika engkau
menghendaki maka engkau dapat menahan tanahnya dan
mensedekahkan hasilnya...‟.
(HR. Sunan Tirmidzi No. 1296 )39

Berdasarkan Hadis tersebut maka wakaf 40 adalah


pemberian baik berupa materi maupun manfaat untuk
keperluan kebaikan yang merupakan hasil dari tanah/harta
yang ditahan kepemilikannya (tidak dijual atau
dipindahtangankan).
Contoh waqaf yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin
al-Khattab yang membuat sebuah lahan yang disebut Rabdzah
sebagai tanah milik umum dimana semua angggota
masyarakat boleh menggembalakan ternaknya di atas lahan itu.
Umar bukan semata-mata membuka lahan tersebut untuk
umum, lebih dari itu, diproyeksikan untuk kemaslahatan
kelompok fakir miskin dan orang yang berpenghasilan
dibawah standar agar bisa menggembalakan ternaknya dengan
lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan
pendapatannya. Dengan demikian, mereka tidak lagi
tergantung kepada subsidi negara. Demikianlah Islam
mewajibkan negara untuk memberikan jaminan kepada
masyarakat yang miskin dengan membuat program pemberian
jaminan sosial dan fasilitas umum yang produktif.

Cara Keenam :
Kewajiban Kewajiban selain Zakat
Selain zakat, ada pula kewajiban lain yang harus dipenuhi
oleh seorang muslim karena sebab yang beragam. Semuanya
merupakan sumber daya untuk memberikan bantuan kepada fakir
miskin sekaligus sebagai sarana menghilangkan kemiskinan.
Kewajiban tersebut diantara : pertama, kewajiban bertetangga.

39Lidwa Pustaka i-software. Kitab Hadis 9 Imam. 2009 (Software)


40Secara etimologis wakaf berarti berhenti, menahan, mencegah, mengabdi
dan tetap berdiri. Secara terminologis wakaf adalah menahan harta yang diambil
manfaatnya tanpa meng-habiskan atau merusak bendanya dan digunakan untuk
kebaikan.
62
Allah memerintahkan untuk memperhatikan hak tetangga dan
didukung oleh anjuran Rasulullah SAW. Nabi menjadikan
penghormatan terhadap tetangga sebagai salah satu tanda
kesempurnaan iman. Beliau juga menetapkan bahwa menyakiti
dan tidak peduli terhadapnya adalah tanda keterlepasan dari
Islam. Dalam Qs An Nisa / 4 : 36 Allah SWT berfirman :

          

       

            

 
Terjemahnya :
“... dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Rasulullah SAW bersabda :


“Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak kuah sayur, maka
perbanyaklah airnya dan berikanlah sebahagian kepada
tetanggamu.”
(HR Muslim No. 4758)

Dari ayat dan hadis tersebut, Islam hendak menjadikan


semua manusia menjadi satu kesatuan yang saling membantu
dalam suka dan duka dengan menanggung yang lemah, memberi
makan yang lapar, memberi pakaian yang tidak berpakaian layak.
Salah satu ajaran luhur muslim adalah memberikan hak sama
terhadap tetangga yang non-muslim.
Kedua, Kurban pada hari Raya Idul Adha adalah kewajiban
bagi yang mampu (memiliki kelapangan harta).

Hadis Rasulullah SAW beliau bersabda :

63
“Barangsiapa mendapat kelapangan harta (mampu) namun tidak
berkurban, maka janganlah mendekat ke tempat shalat kami.”
(HR. Ad-Daruquthni No. 4698).

Ketiga, denda pelanggaran sumpah (kaffarah). Sebagaimana


firman Allah dalam Qs Al-Maidah / 5 : 89) yang menyatakan
bahwa denda bagi orang yang melanggar sumpah adalah memberi
makan kepada sepuluh orang miskin.

         

         

             

           

    


Terjemahnya :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya
agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Keempat, Denda zihar yaitu orang yang berkata kepada


istrinya, kamu bagiku seperti punggung ibu, saudari atau lainnya.
Maka istrinya menjadi haram baginya sampai ia membayar denda
dhihar yaitu memerdekakan budak, jika tidak mendapatkan maka
berpuasa selama dua bulan penuh. Jika tidak mampu, maka ia

64
harus memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagaimana
dalam Qs Al-Mujaadalah / 58 : 3 – 4.
Kelima, Kafarat Jima‟ adalah denda bagi pasangan yang
berhubungan seks di siang hari pada bulan Ramadhan. Sanksi
yang harus dilaksanakan adalah sama seperti kaffarah zihar.
Keenam, fidyah seorang jompo, perempuan lemah atau sakit
yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya sehingga tidak
mampu lagi melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Fidyah
yang harus dibayar adalah sejumlah kebutuhan makan satu orang
miskin setiap hari selama bulan puasa. Denda ini berdasarkan
firman Allah dalam Qs Al-Baqarah / 2 :184.
Ketujuh, Had yaitu pemberian seseorang yang melakukan
ibadah haji atau umroh ke Baitullah berupa unta, sapi atau
kambing. Pemberian itu merupakan denda (tebusan) karena ia
telah melakukan sesuatu yang dilarang waktu ihram atau juga
karena melakukan Haji tamattu‟ atau haji qiron dan pelanggaran
lainnya. Sebagaimana firman Allah dalam Qs Al-Maidah/5:95 dan
Qs Al-Baqarah/2:196. Dalam ayat ini terkandung kewajiban oleh
syari‟at untuk memberikan makanan berupa daging kepada fakir
miskin (Qs Al-Hajj/22 :28)
Kedelapan, Hak tanaman saat panen yang tidak termasuk
dalam zakat sebagaimana Qs Al-An‟am/6 : 141 dimana Allah
berfirman dengan terjemahnya :
“ Makanlah dari buahnya bila tanaman itu berbuah dan
tunaikanlah hak dihari memetik hasilnya dengan disedekahkan
sebagian kepada fakir miskin.”

Penjelasan dari beberapa ayat dan hadis diatas mempertegas


bahwa salah satu kewajiban syari‟at adalah adanya kewajiban
tambahan selain dari zakat sebagai wujud solidaritas (takaful) bagi
orang kaya di setiap wilayah. Kewajiban itu harus dilaksanakan
sehingga kaum fakir miskin bisa sejahtera dan dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya.

65
Cara Ketujuh :
Tolong Menolong (ta’wun)

Ajaran Islam membentuk pribadi yang luhur dalam bentuk


dermawan dan berani berkorban yaitu memberikan lebih banyak
dari yang diminta, menginfakkan lebih dari yang diwajibkan,
bahkan bisa memberi tanpa diminta sekalipun dalam situasi dan
kondisi yang sulit. Perilaku ini mengajarkan bahwa harta bukan
tujuan melainkan sebatas sarana untuk bersedekah dan berbuat
baik untuk orang lain. Hatinya menjadi lapang dan tangannya
terbuka semata karena mengharap ridha Allah SWT. Dalam Qs
Al-Maidah /5:2 Allah SWT berfirman,

           

      


Terjemahnya :
“dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.”

Banyak ayat dan hadis yang memberikan kabar gembira


atau ancaman yang mengajak manusia mendermakan hartanya.
Ini sekaligus sebagai pencegah sifat boros dan kikir. Dengan
demikian maka manusia akan mencintai kebajikan serta terdorong
untuk memberikan bantuan / tolong menolong kepada manusia
lainnya (ta‟wun). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qs Al-
Baqarah /2 : 261 – 262.

          

             

            

66
            


Terjemahnya :
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah41 adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di
sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Salah satu bentuk sumbangan sukarela adalah infaq. Infaq


adalah membelanjakan/mengeluarkan harta dijalan Allah untuk
keperluan tertentu dengan maksud sambil mendapatkan manfaat
langsung juga akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah SWT
sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah/2 : 261
tersebut diatas.
Dalam pandangan syariat Islam sebagaimana ayat tersebut
diatas, orang yang berinfaq akan memperoleh keberuntungan
yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang
berinfaq dijamin tidak akan jatuh miskin melainkan rezekinya
akan bertambah.
Berdasarkan ayat-ayat terkait infaq, maka penulis
menyimpulkan bahwa Infaq adalah harta yang dikeluarkan dalam
bentuk pembelanjaan/pengeluaran di jalan Allah, nafkah kepada
keluarga dan pemberian kepada ibu-bapak, kerabat, anak yatim,
orang miskin dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan
(ibnu sabil). Pengeluaran infaq tidak melalui lembaga Amil.

41 pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk

kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan


ilmiah dan lain-lain.
67
Demikianlah tujuh cara cara Islam dalam mengentaskan
kemiskinan yang berisi tuntunan syari‟at yang lengkap tentang
langkah-langkah yang harus dilakukan sehingga berdampak pada
meningkatnya pendapatan dan sekaligus melaksanakan syariat.
Ketujuh cara ini telah dipraktekkan sejak zaman Khulafaur
Rasyidin khususnya masa Khalifah Umar bin Khattab sampai
Khilafah Islamiyah pada era kepemimpinan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.

68
BAGIAN III
PENGENTASAN KEMISKINAN
PADA ERA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ

A. Mengenal Khalifah Umar bin Abdul Aziz


1. Kelahiran dan Garis Keturunan (Nasab)
Umar bin al-Khattab dalam sebuah riwayat dijelaskan
bahwa pada suatu malam bermimpi dan menyampaikannya
kepada Abdullah bin Umar anaknya. Beliau berkata,
“Aduhai, seandainya mimpiku adalah termasuk tanda salah
satu keturunanku akan memenuhinya dengan keadilan
(setelah sebelumya) dipenuhi dengan kezhaliman”. 42
Abdullah bin Umar berkata, “Sesungguhnya keluarga al-
Khattab bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda
diwajahnya.” Mereka mengira dialah orang yang dimaksud,
hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul
Aziz”.43Khalifah Umar bin al-Khattab juga pernah berkata,
“Diantara anak keturunanku terdapat seorang laki-laki
dengan tanda diwajahnya, dia akan memenuhi bumi
dengan keadilan”.44
Al-Faruq telah bermimpi yang menunjukkan hal itu,
mimpi itu terulang beberapa kali dari orang orang selain Al-
Faruq sehingga perkara tersebut menjadi masyhur
dikalangan masyarakat. Buktinya adalah ucapan Abdul
Aziz (Bapaknya) manakala dia mengusap darah diwajahnya
dan apa yang dikatakan oleh saudaranya manakala dia
melihat bekas luka di wajahnya, keduanya adalah harapan
baik, semoga dialah orang dengan bekas luka diwajahnya
yang akan mememuhi bumi dengan keadilan. 45

42Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Zahabi, Siyar A„lam

an-Nubula, (Beirut : Mu‟assasah ar-Risalah, 1402 H) h. 5, dalam Ash Shallabi, h.17


43Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Zahabi, h.17
44Ibnu Qutaibah, Tahqiq Tsarwat Ukkasyah, (Mesir : Darul Ma‟arif, t.th) dalam

Ash Shallabi, h. 18
45Muhammad Syaqir, Fiqhi Umar bin Abdul Aziz, (Riyadh : Dar al Rusyd ,

1424/2003) dalam Ash Shallabi, h. 18


69
Kisahnya, pada masa Umar kecil, beliau masuk ke
kandang kuda bapaknya untuk melihat lihat kuda, saat itu
bapaknya menjadi Gubernur di Mesir. Tiba-tiba seekor kuda
menyepak wajahnya sehingga melukainya. Maka bapaknya
(Abdul Aziz) menghampirinya seraya berkata, “Jika kamu
adalah Asyaj,46 Bani Umayyah, maka kamu adalah orang
yang berbahagia”.47
Kisah diatas menjelaskan bahwa sebelum kelahiran
Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Umar bin Khattab telah
memberi kabar tentang adanya keturunannya yang
memiliki tanda diwajahnya yang akan memenuhi bumi
dengan keadilan. Mimpi ini dinisbatkan ke Umar bin Abdul
Aziz yang ada tanda luka diwajahnya dan menjadi Khalifah
yang menebar keadilan di muka bumi.
Kisah dari Abdullah bin az-Zubair bin Aslam yang
mendengar dari bapak-nya yang mendengar dari kakeknya
Aslam.Beliau berkata, “Suatu malam aku sedang menemani
Umar bin al-Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau
merasa lelah, beliau bersandar ke sebuh dinding di tengah
malam. Beliau men-dengar seorang wanita berkata kepada
putrinya, „Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.‟
Maka putrinya menjawab,‟Wahai Ibunda, apakah engkau
tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini ?‟
Ibu bertanya, „Wahai putriku, apa maklumatnya?, Putrinya
berkata,Dia memerintahkan petugas untuk meng-
umumkan, hendaknya susu jangan dicampur dengan
air.‟Ibunya berkata,‟Putriku lakukan saja, campur susu itu
dengan air. Kita ditempat yang tidak dilihat oleh Amirul
Mukminin dan petugasnya. Maka Putrinya menjawab, Ibu,
tidak patut saya menaatinya didepan khalayak tetapi
menyelisihi di belakangnya‟. Sementara itu, Umar bin al-
Khattab mendengar semua perbincangan tersebut. Maka
Umar berkata, „Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan

46Yang terluka diwajahnya


47Muhammad Syaqir, Op. Cit. h. 20
70
kenalilah tempat ini.‟ Lalu Umar dan Aslam bergegas
melanjutkan patrolinya.
Setelah pagi hari Umar bin al-Khattab berkata,‟Aslam,
pergilah ke tempat itu cari tahu siapa wanita yang berkata
demikian, dan kepada siapa dia berkata?‟ Apakah keduanya
mempunyai suami?‟ Maka aku berangkat ke tempat itu, ter-
nyata dia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan
lawan bicaranya adalah ibunya yang juga sudah tidak
bersuami.
Aku pulang kepada Umar bin al-Khattab dan
mengabarkan hal tersebut kepada beliau. Kemudian Umar
mengumpulkan putra-putranya dan berkata, „Adakah
diantara kalian yang ingin menikah?‟ Ashim menjawab,
“Ayah, aku belum beristri. Nikahkanlah aku”.Maka Umar
meminang gadis itu dan menikah-kannya dengan Ashim.
Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang kemudian
menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz”.48
Demikian kisah tentang sebelum kelahiran Umar bin
Abdul Aziz yang di-awali dengan dinikahkannya Ashim bin
Umar dengan Jamilah binti Tsabit bin Abu al-Aqlah al-
Anshariyah (wanita yang perbincangannya didengar oleh
Umar bin al-Khattab). Dari pernikahan Ashim bin Umar dan
Jamilah binti Tsabit lahir-lah Laila binti Ashim.
Sedangkan Bapaknya adalah Abdul Aziz bin Marwan
bin al-Hakam. Abdul Aziz bin Marwan adalah Gubernur
Mesir yang juga merupakan anak dari Marwan bin Al-
Hakam Khalifah ke 4 dari Bani Umayyah yang berkuasa
pada 64-65 H/684-685 M).Dari pernikahan Abdul Aziz bin
Marwan dan Laila binti Ashim lahir 4 orang anak yaitu:
Ashim, Umar, Abu Bakar, Muhammad. Karena Ashim
adalah anak tertua dari hasil pernikahannya dengan Abdul
Aziz bin Marwan sehingga Laila bin Ashim mendapat
kunyah Ummu Ashim.

48Ibnu Abdul Hakam Abu Muhammad Abdullah, Sirah Umar bin Abdul

Aziz, (Beirut : Darul Ilmi li al-Malayin, 1387 H/1967 M), dalam Ash Shallabi, h. 17.
71
Umar bin Abdul Aziz lahir di Madinah pada 26 Safar
61 H / 27 November 680 M. Sebagian sumber menyebutkan
Umar bin Abdul Aziz lahir di Mesir, tetapi pendapat ini
lemah karena ayahnya Abdul Aziz bin Marwan menjadi
Gubernur di Mesir nanti pada tahun 65 H/684 M.
Umar bin Abdul Aziz lahir dan tumbuh di Madinah.
Beliau tumbuh men-jadi anak yang matang dan berakal
lebih cepat dari usianya. Sejak kecil beliau sering ikut
ibunya mengunjungi pamannya Abdullah bin Umar bin Al-
Khattab.Ketika pulang, beliau berkata kepada Ummu
Ashim, “Ibu, aku ingin menjadi laki-laki seperti paman dari
ibu”. Maksudnya adalah Umar sangat mengidolakan
Abdullah bin Umar.
Adapun silsilah keturunan Umar bin Abdul Aziz
sebagaiman gambar berikut:

UMAYYAH

UMAR bin KHATTAB AL HAKAM bin ABU AL-


AS

ASHIM bin JAMILA MARWAN bin AL


UMAR H HAKAM

LAILA bin ABDUL AZIZ ABDUL


ASHIM MALIK

UMAR bin ABDUL FATIMA binti ABDUL MALIK


AZIZ
Gambar 1. Silsilah Nasab Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Saat Umar berusia 4 tahun, ayahnya Abdul Aziz


diangkat menjadi Gubernur Mesir pada tahun 65 H/685M
oleh kakeknya Marwan bin al-Hakam yang saat itu menjadi
Khalifah keempat dari Daulah Umayyah yang berpusat di
Damaskus (Damsyik) Syiria. Pada saat yang sama
pamannya Abdul Malik di-lantik sebagai Gubernur

72
Palestina. Abdul Malik adalah Putra Mahkota Khalifah
Marwan bin al-Hakam sedangkan Abdul Aziz merupakan
Wakil Putera Mahkota.
Umar bin Abdul Aziz mulai tumbuh di Madinah.
Ayahnya Abdul Aziz berangkat menuju Mesir untuk
melaksanakan tugas sebagai Gubernur di sana. Sedangkan
Umar dan Ibunya tidak ikut ke Mesir.Dari Mesir, Abdul
Aziz mengirim surat kepada istrinya, Ummu Ashim agar
menyusul ke Mesir bersama Umar. Maka Ummu Ashim
mendatangi pamannya Abdullah bin Umar untuk
memperlihatkan surat suaminya Abdul Aziz.
Ibnu Umar berkata kepada Ummu Ashim,
“Keponakanku, dia adalah suamimu maka pergilah
kepadanya,tetapi tinggalkan anakmu ini bersama kami –
maksudnya adalah Umar bin Abdul Aziz, karena dia satu-
satunya anakmu yang mirip dengan keluarga besar al-
Khattab.” Ummu Ashim pun menerima perminta-an
pamannya dan berangkat ke Mesir tanpa mengikutkan
Umar.
Ketika Ummu Ashim tiba di Mesir, Abdul Aziz tidak
melihat Umar ber-samanya. Beliau bertanya kepada istrinya,
“Mana Umar”, maka Ummu Ashim menyampaikan
permintaan pamannya, Ibnu Umar agar meninggalkan
Umar bersamanya karena dia paling mirip dengan keluarga
besar al-Khattab.Mendengar jawaban Ummu Ashim, Abdul
Aziz berbahagia kemudian menulis surat kepada Abdul
Malik saudaranya untuk menetapkan seribu Dinar setiap
bulannya sebagai biaya hidup Umar bin Abdul Aziz. Setelah
itu Umar menyusul ibunya untuk bertemu ayahnya di
Mesir.49
Demikianlah Umar bin Abdul Aziz tumbuh diantara
keluarga dari Ibunya dari keluarga Umar bin al-Khattab
maupun dari Ayahnya keluarga Marwan bin al-Hakam
yang saat itu menjadi Khalifah di Damaskus Syiria.Umar bin
Abdul Aziz menghabiskan sebagian masa kecilnya di

49 Ash Shallabi, Op.Cit. h. 22


73
Wilayah kekuasaan ayahnya Abdul Aziz di Mesir utamanya
di Kota Helwan. Setelah itu kembali ke Madinah untuk
belajar ilmu agama dan dibina oleh paman ibunya Abdullah
bin Umar (Perawi Hadis terbanyak).
Umar bin Abdul Aziz dilimpahi kecintaan terhadap
ilmu sejak masih muda. Dia gemar mengkaji dan menelaah
bersama para ulama, dia juga bersungguh-sungguh untuk
selalu menghadiri Majelis ilmu di Madinah yang pada saat
itu merupakan mercusuar ilmu dan kebaikan. Tempat yang
sarat dengan Ulama dan Fuqaha yang shaleh.
Jiwa Umar bin Abdul Aziz telah terpatri untuk
mencintai ilmu sejak kecil. Tanda awal dari kelurusan
hidupnya adalah kesungguhannya dalam menuntut ilmu
dan kecintaannya terhadap budi pekerti. Umar bin Abdul
Aziz telah meng-hafal alquran sejak usia anak-anak, hal ini
terbantu oleh jiwanya yang jernih, kemampuannya yang
besar untuk menghafal dan konsentrasinya yang utuh
dalam mencari ilmu dan menghafal.
Abdul Aziz, ayahanda Umar memilih Shalih bin
Kaizan sebagai pendidik (murobbi) bagi Umar bin Abdul
Aziz, maka Shalih mendidiknya dengan baik. Shalih
mengharuskan Umar shalat lima waktu secara berjamaah di
Mesjid.Suatu hari Umar bin Abdul Azis tertinggal dari
shalat berjamaah, maka Shalih bin Kaisan bertanya
kepadanya, “Apa yang menyibukkanmu”. Umar menjawab,
‟Pelayanku menyisir rambutku, “Shalih berkata”.
Sedemikian besar perhatianmu terhadap menyisir rambut
sampai-sampai kamu tertinggal shalat”.
Maka Shalih menyampaikan hal tersebut kepada
Abdul Aziz bin Malik, maka ayahnya mengutus seseorang
dan langsung mencukur rambut Umar tanpa bertanya apa-
apa.Suatu waktu Abdul Aziz hendak menunaikan ibadah
Haji dan singgah di Madinah untuk mengetahui keadaan
Umar. Beliau bertanya kepada Shalih bin Kaisan tentang
anaknya, maka Shalih menjawab, “Aku tidak mengetahui

74
seseorang yang paling mengagungkan Allah di dadanya
daripada anak muda ini”.50
Cukup banyak Ulama adan Fuqaha yang mengasuh
dan memberi pengaruh terhadap pembentukan kepribadian
Umar bin Abdul Aziz seperti Ubaidillah bin Abdullah bin
Utbah bin Mas‟ud seorang Mufti di Madinah, Sa‟id bin al-
Musayyib, Salim bin Abdullah bin Umar bib al-Khattab
sepupu dari ibunya Ummu Ashim.
Umar bin Abdul Aziz banyak terpengaruh oleh
Alquran dalam pandang-annya terhadap Allah SWT,
kehidupan, alam semesta, surga, neraka, qadha, qadar dan
hakekat kematian. Beliau menangis ketika mengingat
kematian sekalipun dalam usia masih muda. Hal ini
didengar oleh Ibunya, maka ibunya bertanya kepada Umar,
“Apa yang membuatmu menangis” Umar menjawab, “Aku
teringat kematian”. Maka ibunya pun ikut menangis
mendengar jawaban Umar. Begitulah kepribadian Umar bin
Abdul Aziz terbentuk oleh lingkungan keluarga, kecinta-
annya dengan ilmu dan Alquran.
Setelah Marwan bin al-Hakam meninggal maka
jabatan Khalifah diberikan kepada Putera Mahkota Abdul
Malik bin Marwan dan kekuasaannya berpusat di
Damaskus Syiria.Meskipun Marwan bin al-Hakam sudah
menetapkan Abdul Malik sebagai Putera Mahkota dan
Abdul Aziz sebagai Wakil (Pengganti) Putera Mahkota
tetapi Khalifah Abdul Malik menginginkan agar takhtanya
kelak diwariskan kepada puteranya Al-Walid bin Abdul
Malik bukan kepada saudara-nya Abdul Aziz sebagaimana
amanah dari ayahnya Marwan bin al-Hakam. Abdul Aziz
menolak menyerahkan kedudukannya sebagai putera
mahkota kepada Al-Walid.
Perselisihan dapat dihindari karena Abdul Aziz bin
Marwan yang menolak menyerahkan kedudukan putera
mahkota ke al-Walid meninggal pada tahun 86 H/705 M
setelah sekitar 20 tahun berkuasa di Mesir.Akhirnya Abdul

50Ash Shallabi, Op.Cit. h. 28


75
Malik bin Marwan kemudian menobatkan Al-Walid bin
Abdul Malik sebagai Khalifah Daulah Islamiyah pada tahun
86 H/705 M. Karena Abdul Aziz meninggal maka Abdul
Malik memanggil Umar bin Abdul Aziz ke Damaskus dan
menikahkannya dengan puteriya Fatimah binti Abdul
Malik.
Antara al-Walid bin Abdul Malik dengan Umarbin
Abdul Aziz adalah sepupu dan ipar. Karena Umar menikah
dengan Fatimah, saudara dari al-Walid dan al-Walid juga
menikah dengan Ummu Banin saudara Umar bin Abdul
Aziz. Dari pernikahan Umar bin Abdul Aziz dengan
Fatimah bin Abdul Malik lahirlah dua belas, 51 anak laki-laki
yakni Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq,
Ya‟qub, Bakar, al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, dan Zaban
serta tiga anak perempuan yakni Hafs (Ummu Ammar),
Aminah, dan Ummu Abdullah.
2. Menjadi Gubernur Madinah
Periode sebelumnya, penduduk Madinah menolak
kepemimpinan Bani Umayyah saat kepemimpinan
dipegang Hisyam bin Abdul Malik yang terkenal sangat
keras dalam memerintah dan melakukan banyak nepotisme
dari keluarga ibunya. Hisyam bin Abdul Malik adalah
saudara tiri (berlainan ibu) dengan Yazid bin Abdul Malik
yang wafat saat menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Meredam ketegangan antara penduduk Madinah
dengan Bani Umayya maka Khalifah al-Walid kemudian
mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai Gubernur
Madinah menggantikan Hisyam bin Abdul Malik.Umar bin
Abdul Azis dilantik menjadi Gubernur Madinah di bulan
Rabi‟ul Awal 87 H/Maret 706 H saat berusia 24 tahun.
Sebelum memegang jabatan ini, Umar bin Abdul Aziz
meletakkan tiga syarat: Pertama, akan bekerja dengan dasar
kebenaran dan keadilan, tidak mendzolimi siapapun, tidak
berbuat aniaya kepada siapapun dalam mengambil hak-hak
rakyat di Baitul Maal yang mengakibatkan berkurangnya

51Ash Shallabi, Op.Cit. h. 19


76
pemsaukan Khalifah dari Kota Madinah.Kedua, hendaknya
Khalifah memperkenankannya untuk menunaikan ibadah
Haji di tahun pertama dia menjabat sebagai Gubernur. Dan
Ketiga, Khalifah mengizinkannya untuk membagikan harta
Negara yang ada di Madinah.
Khalifah al-Walid menyetujui syarat-syarat yang
diajukan Gubernur Umar bin Abdul Aziz tersebut sehingga
Umar memulai pekerjaannya sebagai Gubernur Madinah
dan penduduk pun senyambutnya dengan senuh suka
cita.52Di antara kiprah terpenting Umar bin Abdul Aziz saat
memulai tugas sebagai Gubernur Madinah adalah
membentuk Majelis Syuro di Madinah.
Umar memanggil sepuluh orang Ulama Fiqih
Madinah untuk menjadi anggota Majelis Syuro. Mereka
adalah Urwah bin az-Zubair, Ubaidillah bin Abdullah bin
Utbha, Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin
Hisyam, Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah,
Sulaiman bin Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin
Abdullah bin Umar dan saudaranya Abdullah bin Abdullah
bi Umar, Abdullah bin Amir bin Rabi‟ah dan Kharizah bin
Zaid bin Tsabit.
Adapun dua wewenang dari Majelis Syuro yang
dibentuk Umar bin Abdul Aziz adalah: a) Berhak
mengajukan pendapat dan keputusan tidak akan diambil
oleh Gubernur kecuali berpijak kepada pendapat Majelis Al-
Asyarah (Syuro); dan b) Menjadi Pengawas bagi pegawai
Gubernur, memeriksa dan mengambil tindak-an untuk
mereka. Jika Majelis ada yang mengetahui bahwa terdapat
pegawai yang berbuat dzalim, maka harus melaporkannya
kepada Gubernur. Jika tidak maka Gubernur akan
memperkerakan penyimpangan kebenaran di hadapan
Allah.
Pemberian wewenang kepada para Ulama dan
Fuqaha sebagai Majelis Syuro tersebut dapat dicermati
beberapa hal seperti: Umar bin Abdul Aziz me-lepaskan

52Ash Shallabi, Op.Cit. h. 35


77
keistimewaan prerogatifnya dalam mengambil keputusan
dan menyerah-kannya kepada Majelis Syuro.
Umar bin Abdul Aziz tidak memberikan gaji khusus
sebagai tambahan kepada Ulama tersebut karena memang
kesejahteraannya sudah dijamin oleh Negara dan memang
sudah menjadi tugas dan tanggung jawab para Ulama dan
Fuqaha untuk memberikan masukan kepada Gubernur.
Dalam mengambil keputusan, Majelis Syuro tidak harus
hadir lengkap karena Umar bin Abdul Aziz sudah
memprediksi sebagian dari mereka bisa saja tidak hadir
karena suatu alasan.
Pelajaran yang bisa diambil dari kebijakan ini adalah
pentingnya meng-hargai para ulama dan tingginya
kedudukan mereka sehingga pemegang kekuasa-an sebagai
pengambil keputusan harus mendekat kepada Ulama,
berdiskusi, ber-musyawarah dengan mereka. Tujuannya
adalah hadirnya keputusan yang mem-berikan
kemaslahatan sebesar mungkin dan meminimalkan
kemudharatan sekecil mungkin. Selama memerintah di
Madinah, Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa
dirinya menghormati dan mengagungkan para ulama.
Suatu kali beliau mengirim seorang utusan kepada
Sa‟id bin al-Musayyib hanya untuk bertanya kepada beliau
tentang suatu masalah. Ternyata utusan tersebut salah ucap.
Dia berkata, Gubernur mengundangmu Tuan. Maka pada
saat itu Said mengambil sandalnya dan berdiri beranjak
menuju Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau melihatnya, dia
berkata, “Wahai Abu Muhammad, aku mohon dengan
sangat agar engkau kembali duduk di tempatmu sehingga
utusan kami me-nyampaikan apa hajat kami kepadamu.
Kami tidak mengutusnya untuk meng-undangmu kecuali
mengutusnya untuk bertanya kepadamu”.53
Selama Umar menjadi Gubernur Madinah, dia
melakukan perluasan Masjid Nabawi atas perintah dari
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik. Sehingga luas menjadi

53Ash Shallabi, Op.Cit. h. 38


78
dua ratus hasta persegi. Umar menghiasi Masjid Nabawi
atas perintah al-Walid sekalipun dia tidak menyenangi hal
itu.
Sikap Umar ini terlihat bahwa seorang Gubernur
terkadang harus meng-ikuti instruksi atasannya meskipun
dia sendiri kurang setuju dengan perintah itu. Jika dia
memperkirakan bahwa hal itu mengandung kemaslahatan
lebih besar dari sisi-sisi lain.
Dalam masa jabatannya sebagai Gubernur di
Madinah, pada tahun 91 H/ 701 M Khalifah al-Walid bin
Abdul Malik menunaikan ibadah Haji dan singgah di
Madinah dimana Umar bin Abdul Aziz menyambutnya
dengan baik. Al-Walid menyaksikan sendiri kemajuan
Madinah yang signifikan direalisasikan oleh Umar bin
Abdul Aziz. Sehingga Khalifah memberinya tambahan
wilayah kekuasaan meliputi seluruh wilayah Hijaz
termasuk Makkah dan Thaif.54
Kemasyhuran Umar bin Abdul Aziz menjadikan
kelompok Syi‟ah dari kawasan Iraq yang merupakan
penentang Umayyah mencari perlindungan (suaka) di
Madinah lantaran mereka mendapat penindasan dari
Gubernur Al Hajjaj bin Yusuf. Umar bin Abdul Aziz sebagai
Gubernur Madinah menulis surat kepada al-Walid bin
Abdul Malik mengenai keaddan rakyat Iraq yang banyak
mencari suaka di Madinah. Umar melaporkan bahwa rakyat
Iraq berada dalam kesempitan, ke-zhaliman dan kesulitan
akibat tingkah laku Gubernur al-Hajjaj yang zhalim.
Mengetahui adanya laporan Umar kepada Khalifah
al-Walid maka al-Hajjaj-pun marah dan berusaha membalas
dengan memberikan hasutan kepada Khalifah bahwa para
pembangkan dari orang-orang Iraq yang bersenjata telah
pergi meninggalkan Iraq dan mereka berlindung di
Makkah dan Madinah. Hal ini akan menyebabkan lemahnya
kekhalifaan. Begitupula al-Hajjaj meminta kepada Khalifah
untuk mencopot Umar bin Abdul Aziz.

54Ash Shallabi, Op.Cit. h. 35


79
Karena desakan dan hasutan dari al-Hajjaj bin Yusuf
akhirnya Khalifah al-Walid mencopot Umar bin Abdul Aziz
sebagai Gubernur Madinah pada tahun 92 H/711 M
digantikan oleh Usman bin Hayyan untuk Gubernur
Madinah dan Khalid bin Qasari sebagai Gubernur
Makkah.Setelah dicopot sebagai Gubernur Madinah maka
Umar bin Abdul Aziz meninggalkan Madinah bersama
dengan pembantunya Muzahim. Beliau singgah beberapa
waktu di As-Suwaida dimana beliau memiliki rumah dan
kebun di sana, Sampai akhirnya beliau melanjutkan
perjalanannya ke Damaskus pusat Kekhalifaan dengan
berharap bahwa ke-berangkatannya ke Damaskus untuk
tinggal di sekitar Khalifah al-Walid, dia bisa menasehati
Khalifah agar tidak berbuat zhalim dan sekaligus bisa
menegakkan kebenaran.
Beberapa kali Umar bin Abdul Aziz memberikan
nasihat kepada Khalifah al-Walid termasuk agar Khalifah
membatasi wewenang Gubernurnya dalam me-netapkan
hukuman mati. Sampai akhirnya nasihat itu berhasil hingga
lahirlah keputusan Khalifah yang melarang Gubernur
menghukum mati seseorang kecuali setelah Khalifah
mengetahui dan menyetujuinya.
Tidak ada satupun Gubernur yang membantah surat
keputusan Khalifah itu kecuali al-Hajjaj bin Yusuf. Surat itu
telah membuatnya gerah, berat dan gelisah karena dia
mengira bahwa surat itu hanya dibuat Khalifah untuknya.
Maka dia mencari tahu siapa yang memberikan masukan
kepada Amirul Mukminin. Ketika dia tahu bahwa orang
tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz maka al Hajjaj ber-
kata,”Sulit jika yang mengusulkan Umar dan tidak mungkin
dibatalkan”.
Tapi al-Hajjaj tidak pernah kehabisan akal untuk
menghadapi Umar bin Abdul Aziz, maka dia memanggil
seorang Arab Badui yang beraqidah Khawarij dan hendak
memanfaatkannya untuk menjebak Khalifah al-Walid dan
Umar bin Abdul Aziz.Maka dikirimlah laki-laki itu

80
menghadap Khalifah al-Walid di Syam/ Syiria dengan
menyampaikan surat bahwa kalangan orang ini sering
dibunuhnya tetapi sekarang urusannya diserahkan kepada
Khalifah al-Walid.
Khalifah al-Walid mengajukan pertanyaan kepada
orang Arab Badui itu tentang apa pendapatnya tentang al-
Walid, Abdul Malik, dan Muawiyah. Lelaki itu menjawab,
zhalim lagi sombong dan angkuh lagi durhaka.Akhirnya al-
Walid memerintahkan kepada Ibnu Ar-Rayyan untuk
memancung leher lelaki Arab Badui itu. Al-walid
memanggil Umar untuk meminta pendapatnya tentang
keputusannya tersebut.
Umar bin Abdul Aziz berkata, „Engkau telah keliru
dengan membunuh-nya, ada cara lain yang lebih baik dan
lebih benar yaitu memenjarakannya sampai dia bertaubat
kepada Allah atau kematian menjemputnya”. Maka
Khalifah al-Walid berdiri sambil marah. Ibnu ar-Rayyan
menghampiri Umar dan mengatakan, “Semoga Allah
mengampunimu wahai Abu Hafs karena engkau telah
membantah Amirul Mukminin sehingga aku mengira beliau
akan memerintahkanku untuk memancung lehermu”.
Begitulah al-Hajjaj membuat taktik sehingga dia berhasil
memalingkan al-Walid dari pendapat Umar bin Abdul Aziz
yang mengusulkan untuk membatasi pembunuhan yang
dilakukan oleh penguasa seperti al-Hajjaj.
Umar bin Abdul Aziz tidak sejalan secara total
dengan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik. Karena itu,
keberadaannya di Damaskus (sebagai pusat Ke-khalifaan)
disamping al-Walid tidak bersih dari adanya masalah.
Dalam me-negakkan pilar-pilar Negara, al-Walid adalah
Khalifah yang berpijak kepada dukungan para Gubernur
yang kuat lagi keras yang bisa menundukkan masyarakat
dengan kekuatan, sekalipun tidak jarang diiringi dengan
tindakan semena-mena.Umar bin Abdul Aziz yang melihat
bahwa ditegakkannya keadilan di masyarakat menjamin

81
keberlangsungan kekuasaan dan mereka akan tunduk
kepada Negara.
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “al-Walid di
Syam, al-Hajjaj di Iraq, Muhammad bin Yusuf di Yaman,
Usman bin Hayyan di Hijaz dan Qurrah bin Syarik di Mesir,
Demi Allah, bumi ini penuh dengan kezhaliman.”Di antara
sikap terakhir Umar bin Abdul Aziz di zaman kekhalifaan
al-Walid bin Abdul Aziz adalah nasihatnya kepada Khalifah
al-Walid manakala dia hendak menyingkirkan saudaranya
Sulaiman bin Abdul Malik sebagai Putera Mahkota dan
membai‟at anaknya Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Umar bin Abdul Aziz mengambil sikap tegas dalam
masalah ini, dia tidak menyetujui apa yang hendak
dilakukan oleh Khalifah al-Walid. Ketika al-Walid hendak
memberlakukan keputusannya itu, Umar bin Abdul Aziz
berkata, “ Wahai Amirul Mukminin, kami membai‟at kalian
berdua dalam satu paket Bai‟at, bagai-mana mungkin kami
menyingkirkannya dan meninggalkanmu ?” Maka Khalifah
al-Walid marah kepada Umar bin Abdul Aziz, dia berusaha
memakai cara ke-kerasan terhadap Umar dengan harapan
agar Umar menyetujuinya.
Akhirnya Khalifah al-Walid menyekap Umar bin
Abdul Aziz dalam sebuah ruangan dengan pintu disegel.
Saudara perempuannya Ummul Banin yang merupakan istri
al-Walid turun tangan dan membantu membuka pintu
setelah tiga hari dan mendapati kondisi Umar bin Abdul
Aziz sangat memprihatinkan.55
3. Menjadi Khalifah ke 8 Daulah Umayyah
Tahun 96 H/715 M Khalifah al-Walid bin Abdul
Malik wafat dan saudara-nya Sulaiman bin Abdul Malik
dinobatkan sebagai Khalifah dan memimpin kekhalifaannya
dari Yerusalem (Al-Quds).56Pada masa kekhalifaan
Sulaiman, para pejabat yang berkuasa pada masa
pemerintahan al-Walid dilucuti satu persatu dari jabatan

55Siyar A‟lam an-Nubula, Op.Cit. h. 47


56 Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Abdul-Aziz
82
mereka. Sedangkan al-Hajjad sudah meninggal saat
Sulaiman naik takhta namun kerabat dan sekutunya
diberhentikan dan mendapat hukuman.
Di zaman Sulaiman bin Abdul Malik, kesempatan
terbuka lebar bagi Umar bin Abdul Aziz dalam skala yang
lebih besar. Begitu Sulaiman memegang tampuk khilafah
maka dia langsung mendekatkan Umar bin Abdul Aziz
kepadanya dan diangkatnya sebagai sekretaris dan
penasehat bersama dengan seorang Ulama tabi‟in Raja‟ bin
Haiwah. Umar mendampingi Sulaiman dalam memimpin
rombongan Haji (Amirul Haj) tahun 98 H/716 M dan tugas
penting lainnya.
Kepada Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Sulaiman bin
Abdul Malik berkata, “Wahai Abu Hafs, sesungguhnya saya
diserahi apa yang telah kamu ketahui. Mengaturnya
memerlukan ilmu dan saya tidak memilikinya. Jika kamu
melihat ada kemaslahatan umum, maka tetapkan dan
perintahkan lah ia”.57
Sulaiman menjadikan Umar sebagai penasehat dan
Perdana Menterinya di Istana maupun dalam perjalanan.
Sulaiman melihat dirinya membutuhkan Umar dalam segala
urusan, besar maupun kecil. Sulaiman berkata,”Begitu laki-
laki ini hilang dariku, maka aku tidak menemukan
seseorang yang mengerti aku.”. Di lain kesempatan
Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hafs, tidaklah aku
menghadapi suatu perkara dan dihadang oleh masalah
melainkan pasti dirimu terbetik di benakku”. Demikianlah
besarnya kesempatan yang diberikan Khalifah Sulaiman bin
Abdul Malik kepada sepupunya Umar bin Abdul Aziz
dalam keterlibatannya dalam mengelola pemerintahan.
Menurut Ash Shallabi,58ada beberapa alasan yang
mendorong Sulaiman untuk membuka jalan kepada Umar
dalam Kekhalifaannya: a) Sulaiman tidak mengagumi
pendapatnya dan bersih dari pengaruh factor dari luar,

57 ibid. h, 168
58Ash Shallabi, Op. Cit, h. 48
83
tidak sama seperti saudaranya al-Walid yang ujub pada
dirinya sendiri, hanya percaya pada pendapatnya dan
berada dalam pengaruh sebagian Gubernurnya; b) Sulaiman
yakin bahwa Umar mempunyai pendapat yang benar dan
lurus; dan c) Sikap Umar yang tegas dalam
mempertahankan Sulaiman ketika al-Walid hendak
menyingkirkannya dari putera Mahkota.
Umar bin Abdul Aziz memiliki pengaruh besar
terhadap Sulaiman dalam mengeluarkan beberapa
keputusan yang bermanfaat di antaranya memakzulkan
orang-orang bawahan al-Hajjaj dan sebagian Gubernur
lainnya seperti Gubernur Makkah Khalid al-Qasari dan
Gubernur Madinah Usman bin Hayyan. Keputusan lainnya
adalah mendirikan shalat berjamaah tepat waktu dan
beberapa perkara mulia lainnya.
Meskipun masukannya selalu dipenuhi oleh Khalifah
Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beberapa pandangan
Sulaiman diingkari/ditentang oleh Umar. Suatu waktu
Umar bin Abdul Aziz berbicara kepada Sulaiman terkait
dengan warisan sebagian dari Bani Abdul Malik. Maka
Sulaiman bin Abdul Malik berkata ke-padanya”,
Sesungguhnya Abdul Malik ayahku telah menulis surat dan
tidak memberikan warisan kepada mereka”. Umar diam
sesaat kemudian kembali mempertanyakan surat itu, maka
Sulaiman menyangka bahwa Umar telah menuduhnya
terkait dengan Keputusan Abdul Malik dalam masalah
warisan itu.
Sulaiman meminta anaknya Ayyub untuk membawa
surat kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Amirul
Mukminin apakah engkau meminta Kitab Allah dirubah”.
Ayyub menimpali dengan kalimat mengancam, “Apakah
kalian tidak takut mengucapkan kata-kata yang karenanya
lehernya dipenggal”. Umar pun berkata kepada Ayyub,
“Jika perkara ini diserahkan ketanganmu, maka apa yang
menimpa kaum Muslimin lebih besar daripada apa yang
kau sebutkan”. Maka Sulaiman pun menghardik Ayyub.

84
Sulaiman bin Abdul Malik menganggap bahwa surat
wasiat adalah syari‟at yang tidak mungkin dirubah. Maka
Umar mengingatkan Sulaiman bahwa Kitab Allah yang
tidak bisa dirubah.Inilai sikap Umar bin Abdul Aziz yang
berani menyuarakan kebenaran. Begitu sikap terpuji dari
Sulaiman yang menghardik Ayyub anaknya sendiri yang
mengancam Umar, manakala Umar menyuarakan
kebenaran.
Hal ini merupakan bukti bahwa Sulaiman adalah
orang yang segera kembali kebenaran manakala dia
bersalah.Awalnya ketika berkuasa, Sulaiman menunjuk
salah seorang anaknya Ayyub bin Sulaiman untuk menjadi
putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Tetapi
Ayyub meninggal lebih dahulu pada awal 99 H/717 M.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik yang saat itu
sedang sakit keras kemudian menunjuk anaknya yang lain,
yaitu Dawud bin Sulaiman untuk menggantikannya,tetapi
pe-nasihatnya Raja‟ bin Haiwah al-Kindi tidak sepakat
dengan alasan Dawud sedang berperang di Konstantinopel
dan tidak ada kejelasan kapan kembalinya. 59
Sulaiman bertanya kepada Raja‟. “Siapa menurutmu
wahai Raja”. Raja‟ menjawab, “Terserah engkau wahai
Amirul Mukminin. Saya masih memper-
timbangkan”.Selanjutnya Sulaiman berkata, “Bagaimana
menurutmu Umar bin Abdul Aziz”. Raja‟ bin Haiwah al-
Kindi menjawab, “ Demi Allah, yang aku tahu adalah
bahwa dia seorang laki-laki yang utama, Muslim terpilih.”
Sulaiman ber-kata, “Benar, dialah orangnya. Tetapi jika aku
mengangkatnya dan tidak meng-angkat seorang pun dari
anak-anak Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu fitnah.
Mereka tidak pernah membiarkan Umar memimpin selama-
lamanya. Kecuali jika aku menetapkan seseorang dari
mereka sebagai khalifah sesudah Umar . Aku akan
mengangkat saudaraku Yazid bin Abdul Malik sesudah
Umar bin Abdul Aziz”.

59Ash Sallabi, Op. Cit, h. 55


85
Sulaiman bin Abdul Malik menulis dengan
tangannya: “Dengan Nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah surat
wasita Sulaiman bin Abdul Malik Amirul Mukminin
untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya aku
menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dan
sesudahnya kepada Yazid bib Abdul Malik,
dengarkanlah dan taatilah. Bertaqwalah kepada
Allah. Janganlah berselisih, karena musuh musuh
kalian akan berharap mengalahkan kalian.60
Sulaiman bin Abdul Malik meminta Ka‟ab bin Hamid,
Kepala Pasukan Pengawal Khalifah agar mengumpulkan
keluarganya. Setelah berkumpul, Sulaiman berkata kepada
Raja‟, ”Bawalah surat wasiatku kepada mereka, katakan
kepada mereka bahwa itu surat wasiatku. Minta mereka
untuk membai‟at orang yang aku tunjuk.”
Maka Raja‟ melaksanakannya. Ketika Raja‟
menyampaikan kabar itu, maka mereka berkata, “kami
mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di
dalamnya”. Mereka berkata, “Bolehkah kami menemui
Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam?”. Raja
menjawab, “Silahkan”.
Mereka pun masuk dan Sulaiman berkata kepada
mereka, “Itu adalah surat wasiatku. Itu adalah pesan
terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan bai‟atlah orang yang
aku sebutkan namanya dalam surat wasiat tersebut. Raja‟
kemudian membawa surat yang berstempel itu keluar.
Ketika Keluarga Sulaiman telah meninggalkan tempat
itu, maka datanglah Umar menemui Raja‟ dan berkata,
“Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat
menghormati dan menyayangiku, dia bersikap lemah
lembut dan baik. Aku takut beliau menyerahkan sebagian
dari perkara ini kepadaku, maka aku minta kepadamu
(Dengan Nama Allah kemudian dengan kehormatan dan
kasih sayangku), agar engkau memberitahuku jika

60Ash Sallabi, Op. Cit, h. 55


86
keputusannya demikian. Sehingga aku bisa mengundurkan
diri saat ini sebelum datangnya suatu keadaan dimana aku
tidak mampu merubahnya lagi. Raja menjawab,
“Tidak,demi Allah aku tidak akan mengabarkan satu
hurufpun kepadamu”. Maka Umar pun pergi dengan
kecewa.
Setelah itu saudara Khalifah Sulaiman, Hisyam bin
Abdul Malik menemui Raja dan berkata, “Sesungguhnya
antara diriku dan dirimu terdapat hubungan baik dan kasih
sayang lama, akupun tahu berterima kasih, katakana
kepadaku apakah aku adalah orang yang disebut dalam
surat tersebut ? Jika aku adalah orangnya maka aku tahu.
Tetapi jika orang lain, maka akan akan berbicara, orang
sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata. Perkara
seperti ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku.
Katakan kepadaku, aku berjanji kepadamu dengan Nama
Allah tidak akan menyebutkan namamu selama-lamanya”.
Raja‟ menolak Hisyam dan berkata, “Tidak demi
Allah, aku tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu
dari apa yang sudah dirahasikan oleh Sulaiman kepadaku.”
Maka Hisyam pergi sambil menepukkan satu tangannya ke
tangannya yang lain sambil berkata, “Kepada siapa perkara
ini diserahkan jika tidak kepadaku, apakah kami ini
dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi
Allah,sesungguhnya aku adalah putera Abdul Malik yang
sebenarnya”.
Raja‟ kemudian kembali menemui Sulaiman bin
Abdul Malik, namun mendapatinya saat-saat sakaratul
maut. Sulaiman mengucapkan dengan tersendat sendat,
“Wahai Raja‟ saatnya belum tiba sekarang sampai aku
mengulanginya dua kali.” Pada kali ketiga, Sulaiman
berkata, “Sekarang Wahai Raja‟, jika kami ingin sesuatu,
maka aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusanNya. “Maka Raja‟ menghadapkan wajah Sulaiman

87
kearah kiblat dan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
wafat.61
Raja‟ bin Haiwah al-Kindi kembali memanggil Ka‟ab
bin Hamid untuk mengumpulkan keluarga Amirul
Mukminin di Masjid Dabiq. Kemudian meminta mereka
berbai‟at untuk kedua kalinya. Ketika sudah berbai‟at
kembali maka Raja‟ yakin telah menata urusan dengan baik,
maka kepada keluarga Khalifah disampaikan kabar bahwa
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik telah wafat.Raja‟
kemudian membacakan isi surat wasiat Sulaiman. Ketika
menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, maka Hisyam bin
Abdul Malik menentang keputusan itu dan berkata, “ Kami
tidak akan membai‟atnya selama-lamanya. Raja‟ berkata,
“Demi Allah aku akan memenggal lehermu. bangkitlah dan
berbai‟atlah. Maka Hisyam berdiri memberikan sumpah
setia (Bai‟at) yang diikuti oleh hadirin lainnya.
Saat itu Jum‟at 14 Safar 99 H bertepatan 28 September
717 M, Khalifah Umar bin Abdul Aziz naik di Mimbar
memulai Pidato pertamanya diawali dengan mengucapkan
„Inna lillahi wa inna ilaihi roji‟un karena perkara ini sampai
ke tangan saya padahal saya tidak menyukainya.
Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz
mengucapkan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku
telah diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat,
tidak pernah ditanya dan tidak ada musyawarah dengan
kaum Muslimin. Aku telah membatalkan bai‟at untukku
yang ada di pundak-pundak kalian. Sekarang pilihlah
seseorang untuk memimpin kalian.”. Maka orang menjawab
serempak, “ Wahai Amirul Mukminin, kami telah
memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami
dengan kebaikan dan keberkahan.”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian
melanjutkan pidatonya: “Amma ba‟du, tidak ada lagi Nabi
setelah Nabi kalian. Tidak ada kitab setelah Kitab yang
diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah

61Ash Sallabi, Op. Cit, h. 57


88
halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Ketahuilah aku
bukan seorang Hakim, aku hanyalah pelak-sana. Ketahuilah
aku bukan pelaku bid‟ah akan tetapi pengikut Nabi.
Ketahuilah bahwa tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati
dalam kemaksiatan. Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang
terbaik di antara kalian. Aku hanyalah seorang laki laki dari
kalian, hanya Allah SWT, memberiku beban yang lebih
berat daripada kalian.
Wahai manusia siapa yang mendekat kepada kami
maka hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, jika
tidak maka janganlah mendekat. Pertama, mengadukan hajat
orang yang tidak kuasa mengadukannya. Kedua, membantu
kami dalam kebaikan sebatas kemampuannya. Ketiga,
menunjukkan jalan kebaik-an kepada kami sebagaimana
kami dibimbing kepadanya. Keempat, tidak melaku-kan
ghibah kepada rakyat. Kelima, tidak menyangkal kami
dalam urusan yang bukan urusannya.
Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa
kepada Allah, karena taqwa kepada Allah meninggalkan
akibat yang baik dari segala sesuatu dan tidak ada akibat
baik bila taqwa kepada Allah tidak ada. Beramallah untuk
akhirat kalian karena barangsiapa beramal untuk akhirat
niscaya Allah akan mencukup-kan dunianya. Perbaikilah
rahasia, semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari
amal kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah
dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian,
karena kematian adalah penghancur kenikmatan.
Sesungguhnya ummat ini tidak berselisih tentang
Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya,
akan tetapi ummat ini berselisih karena Dinar dan Dirham.
Sesungguhnya aku, demi Allah tidak akan memberikan
yang bathil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi
hak seseorang.
Wahai manusia, barangsiapa mentaati Allah maka dia
wajib ditaati dan barangsiapa mendurhakai Allah maka
tidak ada ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku

89
mentaati Allah namun jika aku mendurhakainya maka tidak
ada ke-taatan kalian untukku. Di sekitar kalian ada kota-
kota dan desa desa, jika pen-duduknya taat kepadaku, maka
aku adalah pemimpin kalian, namun jika mereka tidak
menerima maka aku bukan pemimpin kalian”.
Setelah itu Umar bin Abdul Aziz turun dari Mimbar.
Demikianlah pidato pertama Umar bin Abdul Aziz sebagai
Khalifah. Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik adalah: a)
Umar berpegang teguh pada Aquran dan As-Sunnah, b)
Umar menetapkan aturan bagi siapa yang ingin bekerja
bersamanya; c) Umar meng-ingatkan akibat buruk dunia
jika tidak digunakan dengan baik; dan d) Umar menetapkan
janji atas dirinya sendiri untuk tidak memberikan kebathilan
kepada siapapun dan tidak menghalangi hak siapapun.
Dalam Daulah Bani Umayyah, Khalifah Umar bin
Abdul Aziz adalah khalifah yang ke-8 yang memerintah
pada periode 99 – 101 H/717 -720 M.Sejak dibai‟at sebagai
Khalifah, Umar bin Abdul Aziz segera bekerja
merealisasikan tanggung jawab besar yang diamanahkan
dunia Islam kepadanya. Apa yang sejak menjadi Gubernur
Madinah dan Penasehat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
belum sempat direalisasikan kini terbuka lebar karena
tampuk kekuasaan berada ditangannya.
Perkara di hari pertama yang dilakukan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz adalah meletakkan dasar
musyawarah (Majelis Syuro). Dengan meletakkan dasar ini,
Khalifah Umar telah keluar dari dasar mewariskan
kekuasaan yang diikuti oleh kebanyakan khalifah dari Bani
Umayyah kepada dasar syuro dan pemilihan (oleh kaum
muslimin).
Adapun silsilah kekhalifaan Bani Umayyah
sebagaimana gambar berikut :

90
Gambar 2. Silsilah Kekhalifaan Daulah Bani Umayyah

Umar tidak merasa cukup dengan musyawarah dari


orang-orang yang ada di sekitarnya, Umar merasa harus
mengetahui pendapat kaum muslimin di seluruh Wilayah
Islam.
Umar bermusyawarah dengan para Ulama, meminta
nasehat mereka dalam banyak masalah. Umar selalu
berkata, “ Aku diuji dengan perkara kekhalifaan ini, maka
berilah aku saran.” Umar juga meminta pendapat dari
orang-orang yang memiliki pikiran cemerlang dan
mumpuni di bidangnya. Umar bin Abdul Aziz berusaha
memperbaiki orang-orang dekatnya. Menjauhkan orang-
orang yang mempunyai tendensi dunia dan mengejar
keuntungan pribadi darinya. Bahkan Umar mendorong
mereka untuk mengoreksinya jika cenderung keluar dari
kebenaran. Sikap Khalifah Umar ini membuat orang
disekitarnya mempunyai peran besar dalam
mendukungnya, meluruskan niat dan fikirannya dan
menyetujui kebijakannya.
91
Secara singkat kebijakan diawal pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz saat menjalankan amanah sebagai Khalifah
Daulah Islamiyah adalah: a) Menghidupkan Majelis Syuro
(Musyawarah); b) Amanah dalam memimpin dan
penyerahan wewenang kepada orang yang Amanah; c)
Menegakkan keadilan; dan d) Menghidupkan Amar Ma‟ruf
dan Nahi Mungkar

B. Kebijakan Moneter dan Reformasi Kebijakan Fiskal

Dalam bidang ekonomi, kebijakan moneter dan fiskal


mempunyai peranan yang sangat penting untuk
mengendalikan jalannya roda perekonomian sebuah negara.
Kebijakan moneter untuk mempengaruhi pencetakan dan
peredaran uang sebagai alat tukar dan kebijakan fiskal untuk
mempengaruhi produksi barang dan anggaran negara. Pada
era pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak banyak
melakukan kebijakan moneter kecuali menjaga kestabilan harga
dipasar apabila ada spekulan yang melakukan kecurangan
seperti penimbunan barang. Fungsi uang pada era itu hanya
sebagai alat tukar bukan menjadi komiditi yang
diperdagangkan. Kebijakan pencetakan tidak dilakukan kecuali
hanya melanjutkan pemakaian mata uang dinar dan dirham
yang dicetak pada era Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada
tahun 74 H / 659 M. Sebelumnya, mata uang yang berlaku
adalah mata uang dinar dan dirham yang berasal dari
Bizantium dan Persia. Kekaisaran Romawi meminta kepada
Khalifah Abdul Malik untuk menghilangkan tulisan
“Bismillahir rahmanir rahiin” yang terdapat pada uang dari
Persia. Namun Khalifah Abdul Malik berkeberatan dan
menolaknya sehingga mencetak sendiri uang dinar (emas) dan
dirham (perak) dengan mencamtukan kalimat “Bismillahir
rahmanir rahiim” dengan menggunakan tulisan Arab. 62 Pada
era Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak segan menjatuhkan

62 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar
92
denda (Ta‟zir) kepada mereka yang berani mencetak mata uang
sendiri di luar percetakan negara.
Khalifah Umar lebih fokus untuk melakukan reformasi
pada kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang dilakukan Khalifah
Umar tidaklah dilakukan secara spontan. Sebagai
penanggungjawab utama kehalifaan maka Khalifah Umar
memperhitungkan dengan cermat setiap langkah yang
diambilnya dan meletakkan prioritas program mana yang
beliau bertekad untuk melaksanakannya.
1. Reformasi Pendapatan Negara dan Pembagian Kekayaan.
Masa-masa awal pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,
sumber-sumber pemasukan negara hanya berasal dari
zakat,ghanimah atau harta rampasan perang, pajak
penghasilan pertanian (diterapkan setelah khalifahberkuasa
beberapa saat karena di awal pemerintahannya situasi
kondisi perekonomian belumkondusif setelah kekuasaan
khalifah sebelumnya), dan hasil pemberian lapangan kerja
produktif kepada masyarakat.
Kebijakan fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah
mereformasi sumber pendapatan negara melalui pajak
tanah (kharaj)63, pajak non muslim (jizyah) pada tiga profesi
yaitu;petani, tuantanah dan pedagang. 64 Petani muslim
dikenakan pajak 10% dari hasil pertanian.
Sumberpendapatan lainnya adalah zakat yang diwajibkan
bagi semua umat islam yang mampu di manasetiap wilayah
memiliki otonomi daerah dalam mengelolanya.
Pengeluaran negara meliputi belanja pegawai, belanja
peralatan adminis-trasi negara, pendidikan dan distribusi
zakat, sertamemberi jaminan sosial kepada seluruh
masyarakat. Penghematan anggaran dalam pemberian
fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam

63Kharaj adalah penerimaan, pajak, sewa, hasil produksi, pendapatan upah

dan sebagai-nya yang diterima dari tanah taklukan.


64Muflihin. M. Dliyaul, Perekonomian di Masa Dinasti Umayyah: Sebuah Kajian

Moneter dan Fiskal, Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE),


(Mojokerto : Jurusan Ilmu Ekonomi Syariah Pesantren KH. Abdul Chalim, Vol. 3
No. 1 Juli 2020), h. 62
93
perayaan peringatan hari besar keagamaan dan
kenegaraan.65
Keseimbangan fiskal dan moneter pada masa Umar
inilah yang berpengaruh padastabilitas nilai mata uang
yang mempunyai dampak terhadap harga-harga komoditas
yang ikut stabil. Telah diakui secara umum bahwa stabilitas
harga membantu merealisasikan tujuanpemenuhan
kebutuhan pokok, disribusi pendapatan dan kekayaan yang
adil, laju pertumbuhanekonomi yang optimum, kesempatan
kerja penuh, dan stabilitas ekonomi.
Sistem manajemen fiskal yang dilakukan Umar bin
Abdul Aziz adalah dengan memberikan hak milik tanah
yang dibuka sebagai milik kaum muslim semuanya. Sebagai
hasilnya, maka para pengelolahtanah harus membayar
pajak, dan diserahkan ke baitul mal, kemudian dibagikan
badan urusan subsidi. Hal ini menimbulkan masalah,
karena banyak masyarakat yang pindah ke kota dan
tidakmau mengurusi tanah mereka lagi, sehingga produksi
semakin berkurang.
Hal diatas menjadi permasalahan yang harus
dicarikan solusi oleh Khalifah Umar binAbdul Aziz. Pada
saat itu permasalah yang timbul adalah para petani yang
sudah beriman dan masih memiliki tanah tetap harus
membayar pajak tanah atau kharaj, karena kharaj pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya pada orang kafir yang
menggarap tanah.
Sejalan dengan itu, maka kebijakan Umar bin Abdul
Aziz adalah dengan meminta upah akan tanah tersebut,
upah tersebut bukanlah pajak, akan tetapi sebagai upah
investasi tanah. Hasilnya tetap sama yang berbeda
hukumnya yaitu dengan hukum sewa. Dan bagi kaum kafir
tetap harus membayar kharaj.
Selain sumber penerimaan negara diatas, Khalifah
Umar juga memberlakukan pajak impor bagi semua barang

65Imaduddin. (2012). Umar bin Abdul Aziz: Perombak Wajah Pemerintahan

Islam.(Cet. 2, Solo: CV.Pustaka Mantiq), h. 8


94
dagangan yang diimpor ke Negara Islam. Abu Musa al-
Asy‟ari Gubernur Irak, mengabarkan kepada Khalifah
bahwa pemerintahan Roma dan Persia menetapkan pajak
impor kepada pedagang Muslim yang memasuki negara
mereka. Sehingga Umar juga menetapkan pajak 10% atas
barang yang diimpor ke negara Islam.
Sumber kecil lainnya seperti: harta wakaf berupa
penghasilan dari harta atau tanah (Hak Guna) yang
disumbangkan oleh para dermawan kepada negara Islam
dengan niat sedekah tanpa merubah hak kepemilikannya,
penerimaan sewa atau lisensi eksploitasi barang tertentu
milik negara, barang yang ditemukan di jalan raya jika tidak
ada yang mengaku pemiliknya, harta yang disita dari
pencuri dan perampok jika tidak ada yang mengaku sebagai
pemiliknya, tanah milik seseorang yang meninggal tanpa
memiliki ahli waris dan wasiat, harta orang murtad yang
disita negara dan harta milik orang dzimmi yang
memberontak atau khianat.
2. Efisiensi dan Efektifitas Belanja Negara
Dalam rangka mewujudkan tujuan dari penataan
ulang perekonomian negara, Umar bin Abdul Azis berusaha
untuk mengalokasikan belanja negara khususnya kepada
orang miskin dan pemberian jaminan kesehatan dan sosial
bagi rakyat. Hal tersebut sesuai dengan tujuan syari‟i yang
diatur dalam Alquran dan Hadis.
a. Belanja Negara untuk Jaminan Sosial
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz memberikan
perhatian yang besar kepada orang sakit yang tidak ada
harapan untuk sembuh, orang cacat yang tidak mampu
bekerja (permanen), pekerja yang mengalami kecelakaan
kerja (cacat) sehingga tidak mampu lagi mencari nafkah,
mujahid yang menjadi korban dalam perjuangan), orang
miskin yang meminta-minta makan sampai mereka
memperoleh kecukupan (setelahnya tidak meminta
minta lagi), para tahanan yang tidak punya kerabat,
pengelola mesjid yang tidak mempunyai pemasukan

95
secara rutin, orang yang memikul hutang bukan untuk
bermaksiat dan musafir yang tidak memiliki tempat
tinggal dan keluarga. Semua orang yang sedang
kesulitan ini mendapat perhatian dalam belanja negara.
Khalifah Umar selalu berupaya memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Seorang laki-laki datang kepada
Umar dan berdiri di depannya, dia berkata, “Wahai
Amiru Mukminin aku dalam kesuliatn yang berat, aku
dalam kemiskinan yang membelit. Allah akan meminta
tanggung jawabmu esok hari tentang diriku. “Saat itu
Umar sedang bersandar sambil memegang tongkat kayu.
Maka Umar menangis sehingga air matanya menetes ke
tongkatnya, kemudian dia memberiknya dan memberi
keluarganya sebanyak lima ratus Dinar sampai jatahnya
dari negara keluar.66Umar memperhatikan kehidupan
para janda dan anak-anak mereka, orang sakit,
penyandang catat, anak yatim.
Di antara kelompok masyarakat yang diperhatikan
oleh Khalifah Umar adalah orang yang menanggung
hutang yang bukan dalam kemaksiatan kepada Allah
dan tidak tertuduh dalam agamanya (Ghorim). Umar me-
merintahkan agar hutang para ghorim tersebut dilunasi.
Umar bin Abdul Aziz memperhatikan para
tawanan dan membelanjakan harta dari Baitul Mal untuk
mereka. Umar menulis surat kepada tawanan di
Konstantinopel. Umar memerintahkan agar mereka
diperhatikan dan dinafkahi. Kebijakan Umar untuk
mengeluarkan belanja untuk tawanan sesuai dengan
firman Allah dalam QS. Al-Insan/76 : 8 – 9.

         

        

66 Ash Shallabi, Op. Cit, h. 487


96
Terjemahnya:
“ Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih.”

Selain tawanan, Umar bin Abdul Aziz juga


memperhatikan para musafir dan ibnu sabil, beliau
memerintahkan para Gubernurnya untuk membangun
rumah-rumah singgah di jalan-jalan untuk membantu
para musafir dan memperhatikan keperluan mereka.
Umar memerintahkan agar memperhatikan Jamaah Haji,
membantu mereka, memperhatikan yang lemah dari
mereka dan mencukupi yang miskin dari mereka.
Perhatian sosial dari Umar terus meluas. Setelah
sebelumnya pemberian tunjangan oleh negara kepada
para Ulama dan Fuqaha supaya bisa berkonsentrasi
mengajarkan ilmu dan dakwah, perhatian Umar
mencakup semua lapisan masyarakat sampai anak-anak
kecil.
Khalifah Umar menetapkan harta dalam jumlah
tertentu yang diberi-kan kepada keluarganya sebagai
bekal pendidikan mereka. Umar juga memperhatikan
rakyatnya dari kalangan ahli dzimmah, membantu
mereka yang miskin dan membutuhkan dana yang
diambil dari Baitul Mal.
b. Belanja Negara untuk Kemaslahatan Ummat
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz pada belanja
negara berpijak kepada dasar efektifitas ekonomi atau
keseimbangan dalam belanja. Menjauhi sikap boros dan
menghambur-hamburkan harta tetapi bukan kikir dan
bakhil. Di antara langkah langkah Umar bin Abdul Aziz
pada belanja demi kemaslahat-an negara adalah:
1) Memangkas hak-hak khusus Khalifah dan Pembesar
Bani Umayyah

97
Khalifah Umar memangkas hak-hak khusus
Khalifah dan Pembesar Umayya sebagai langkah
efisiensi agar belanja negara bukan di-nikmati
khalifah dan kerabatanya tepai untuk kemaslahatan
ummat/rakyat.
Beliau mengembalikan tanah-tanah kavling dan
hak-hak khusus kembali kepada pemiliknya dan hak-
hak umum kepada Baitul Mal. Beliau memulainya
dari diri sendiri dan keluarga beliau. Umar tidak
mengambil sedikitpun dari Baitul Mal. Orang orang
berkata kepadanya, “Seandainya anda mengambil
seperti yang dilakukan Umar bin Khattab (niscaya itu
tidak apa apa),” Maka Umar bin Abdul Aziz
menjawab, “Umar bin al-Khattab tidak mempunyai
harta sementara hartaku sudah mencukupi”.
Suatu ketika, Gubernur Yordania mengirimkan
dua keranjang kurma mengkal (ruthab) kepada
Khalifah. Pengirimannya memakai kendaraan pos.
Manakala kurma tersebut sudah sampai kepada
Umar, beliau memerintahkan untuk dijual dan hasil
penjualnya dipakai untuk ongkos kendaraan pos
tersebut.
2) Mengarahkan Belanja Birokrasi
Umar membiasakan para Gubernur dan
pegawainya untuk berhemat dalam membelanjakan
harta kaum Muslimin. Beliau menjaga harta rakyat.
Beliau mengarahkan Gubernurnya untuk
membelanjakan pendapatan negara seefisien
mungkin.
Manakala Gubernur Madinah memberinya
jatah lilin, maka Umar menjawabnya, “Aku
bersumpah, yang selama ini aku ketahui darima
wahai Ibnu Hazm adalah bahwa kamu keluar dari
rumahmu di malam musim dingin yang gelap tanpa
penerangan. Aku bersumpah bahwa hari itu kamu

98
lebih baik daripada hari ini, lilin keluargamu
sebenarnya sudah cukup”
Begitpula ketika Gubernur Madinah meminta
jatah kertas untuk ke-perluan menulis, maka Umar
menjawab, “Jika suratku ini telah tiba ditanganmu,
maka pertajamlah pena dan perkecillah tulisan,
gabungkan keperluan yang banyak dalam satu
lembar, karena kaum Muslimin tidak memerlukan
kata kata panjang”
Disini dilihat kesungguhan beliau menjaga
harta rakyat. Beliau meng-arahkan Gubernurnya
untuk membelanjakan pendapatan negara seefisien
mungkin. Umar menginginkan agar para pejabat dan
pegawainya agar memanfaatkan kertas untuk
menulis surat seefisien mungkin.
3) Mengurangi Belanja Perang
Daulah Umayyah terlibat dalam berbagai
peperangan baik di dalam maupun di luar.
Peperangan tersebut menuntut biaya negara yang
tidak sedikit, diantaranya adalah penyerangan
Konstantinopel di zaman Sulaeman bin Abdul Malik.
Penyerangan ini menghabiskan harta negara dalam
jumlah yang besar dan para syuhada namun tanpa
hasil. Maka ketika Umar berkuasa, beliau menyurat
ke Maslamah agar menarik pasukannya untuk
menghentikan peperangan.
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz tersebut
berperan besar dalam meningkatkan kekayaan negara
dengan jalan menggenjot pendapatan dan
mengefisienkan pengeluaran sehingga rakyat
berkecukupan dan meningkatkan kekayaannya dalam
semua bidang.
Kebijakan kebijakan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz dilandasi oleh pemahaman terhadap Sabda
Rasulullah SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa
99
yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan
dimintai pertanggungjawaban atas ummatnya...”
(HR Bukhari No. 844).

Kebijakan Umar juga berperan besar dalam


menanamkan semangat beragama dan mencintai
akhirat dalam jiwa masyarakat. Mereka terlecut untuk
meningkatkan kebaikan-kebaikan demi mencari
Ridho Allah.

C. Strategi Pengentasan Kemiskinan

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerapkan sistem


keadilan dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya dengan
menyerahkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya ke
Baitul Mal. Umar melakukan pembenahan disegalabidang dan
di seluruh wilayah kekuasaannya berdasarkan syariat Islam.
Pembangunan bukan saja pada bidang infrastruktur
tetapi juga pem-bangunan sumber daya manusianya. Dalam
kurunwaktu kurang tiga tahun, masyarakat Islam berada
dalam surga dunia, kemakmuran dan kesejahteraan merata di
seluruh wilayah, terbukti tidak ada lagi yang mau menerima
zakat.67Beberapa langkah kebijakan yang dilakukan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz sehingga mampu mewujudkan
wilayah kekhalifaannya makmur tanpa ada kemiskinan yaitu :

1. Mengembalikan Harta kepada yang berhak


Umar bin Abdul Aziz menata kembali pembagian
kekayaan dan pemasukan negara dengan cara yang adil
yang mendatangkan Ridha Allah SWT, mewujudkan nilai-
nilai kebenaran dan keadilan, menghilangkan kedzaliman
yang semuanya diletakkan oleh Umar di depan kedua
matanya. Umar mengawasi penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dari pemerintahan sebelumnya. Beliau
mencermati akibat negatifnya terhadap rakyat. Umar

67Imaduddin. (2012). Umar bin Abdul Aziz: Perombak Wajah Pemerintahan

Islam.(Cet. 2, Solo: CV.Pustaka Mantiq), h. 6


100
mengkritik cara pembagian harta yang dilakukan oleh
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Umar pernah berkata,
“Sungguh aku melihatmu membuat orang kaya makin kaya
dan orang miskin tetap dalam kemiskinannya.” 68
Sasaran kebijakan Umar bin Abdul Aziz dalam
membagi harta negara adalah membawa masyarakatnya ke
tingkat berkecukupan. Hal ini bisa dicermati melalui
khutbah-khutbah beliau. Suatu hari beliau berkhutbah di
hadapan khalayak, beliau berkata, “Aku berharap orang-
orang mampu (kaya) berkumpul lalu mereka membantu-
orang orang miskin sehingga kita semua sama dan orang
pertama yang akan melakukannya adalah aku.” Dalam
khutbahnya yang lain beliau berkata, “tidak seorangpun
dari kalian yang aku dengar dalam keadaan membutuhkan,
kecuali aku akan menutupi kebutuhannya sebatas
kemampuanku dan tidak seorangpun yang membutuhkan
lalu aku tidak kuasa menutupi kebutuhannya kecuali aku
berharap hal itu terjadi pada diriku pertama kali dan
keluarga dekatku sehingga kehidupan kami dengan mereka
adalah sama.”69
Awal diangkatnya Umar bin Abdul Aziz sebagai
khalifah, yang pertama beliau lakukan adalah
mengumpulkan seluruh rakyat lalu mengumumkan serta
menyerahkanseluruh harta kekayaan pribadi dan
keluarganya Bani Umayyah yang diperoleh secara
tidakwajar (madzalim) kepada Baitul Mal. Beliau
memutuskan semua pemberian yang dulu diberikankepada
Bani Umayyah dari Baitul Mal dan memberikan hak yang
sama dengan orang-orang lain.Khalifah Umar juga meminta
istrinya Fatimah bin Abdul Malik mengembalikan semua
perhiasan dan hadiah berharga yang diperoleh dari ayah
dan saudara-saudaranya kepada baitul mal, danistrinya
menuruti perintahnya tanpa marah sedikitpun.

68Ash Shallabi, Op. Cit, h. 461


69Ibid, h. 462
101
Baitul Mal yang digunakan oleh khalifah sebelumnya
sebagai tempat mengambil harta untuk kepentingan pribadi
dan kerabatnya justru di masa Umar bin Abdul Aziz, Baitul
Mal difungsikan sebagai penyimpanan harta negara. Baitul
Mal bukanlah lembaga privat atau swasta melainkan sebuah
lembaga negara yang menyimpan dan mengurusi segala
pemasukan dan pengeluaran keuangan dari kekhalifaan. 70
Umar bin Abdul Aziz menerapkan kebijakannya
mengembalikan harta negara kepada yang berhak dan
membantu fakir miskin bahkan membantu orang yang
berhutang. Suatu saat beliau negara membayar hutang-
hutang orang yang berhutang, sehingga Gubernurnya
menulis surat kepadanya,
“Kami melihat seorang laki-laki mempunyai tempat
tinggal, pelayan, dia juga mempunyai kuda dan perabotan
di rumahnya.”
Khalifah Umar menjawab surat itu,
“Seseorang harus mempunyai tempat tinggal sebagai
tempat istirahat bagi kepalanya, pelayan yang mengurusi
keperluannya, kuda untuk berjihad melawan musuhnya
dan perabot rumah tangga, namun demikian, karena dia
orang yang berhutang, maka bayarlah hutangnya.” 71
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz untuk membagikan
harta negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya
bertujuan untuk mengangkat masyarakat ke tingkat
berkecukupan. Adapun tempat tinggal, kendaraan dan
perabot merupakan kebutuhan yang mendasar bagi
siapapun. Sulit bagi siapapun untuk hidup tanpa semua itu.

2. Membuka Kesempatan Berusaha


Langkah selanjutnya adalah Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan membangun fasilitas-fasilitas umum
dimana dizaman ini dikenal dengan nama proyek

70Kuliman, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik Pada Masa Kekhalifaan

Umar bin Abdul Aziz, (Jurnal Ipteks Terapan, Padang : LLDIKTI X, Vol. 8 No. 2,
2014) h. 61
71 Ibid, h. 462

102
pembangunan sarana penunjang yang mendasar
(infrastruktur) dimana pengembangan ekonomi tidak akan
berjalan kecuali dengan fasilitas-fasilitas tersebut seperti
sungai-sungai, jembatan, lahan-lahan, sarana transportasi
dan jalan-jalan. Umar bin Abdul Aziz telah menyiapkan
proyek-proyek infrastruktur yang menunjang sejak beliau
jadi Gubernur Madinah sampai menjadi Khalifah. Umar
memperhatikan proyek-proyek yang berkhidmat kepada
para saudagar, para petani dan musafir. Ketika menjadi
Gubernur di Madinah, Khalifah Al walid memerintahkan
kepada beliau untuk memperbaiki jalan di perbukitan dan
menggali sumur di Madinah, maka Umar melaksanakannya
dan diantaranya adalah sumur al-Hafir.
Begitupula meneruskan penggalian (terusan selat)
teluk Amirul Mukminan di antara sungai Nil dengan Laut
Merah untuk memudahkan distribusi makanan dari Mesir
ke Makkah. Gubernur Bashrah meminta penduduknya agar
menggali sungai untuk mereka. Umar memberinya izin dan
sungai pun digali, sungai ini diberi nama Sungai Adi.72
Umar bin Abdul Aziz membuka kebebasan ekonomi
tetapi dengan batasan-batasan dengan istilah “kebebasan
ekonomi yang terikat dengan rambu-rambu syari‟at. Maka
masyarakat tergerak untuk berniaga dan mengembangkan
harta mereka.
Beliau menyampaikan kebijakan kepada semua
Gubernur sehubungan dengan sebagian petugas yang
bermental buruk melakukan pungutan liar di bidang
tersebut.
“Hendaknya manusia bebas berniaga di daratan dan
lautan, mereka tidak boleh dihalang-halangi dan
dipersulit. Biarkanlah jembatan-jembatan untuk
penyeberangan orang orang yang berlalu lalang tanpa
pungutan apapun sepanjang taat kepada Allah

72Basyir Kamal Basyir Abidin, As-Siyasah al-Iqtisyadiyah wa al-Maliyah li

Umar bin Abdul Aziz, Tesis Magister,(Yordania : Universitas Yarmuk, t.th), h. 55


dalam Ash Sallabi, h. 472
103
sebagaimana yang diturunkan dalam Kitabnya untuk
mengajak seluruh manusia kepada Islam.”
Di pasar, Umar tidak ikut campur dalam penetapan
harga karena itu bukan wewenangnya. Tetapi Khalifah
Umar bersikap keras terhadap barang-barang haram. Beliau
melarang memperjualbelikannya. Khamar termasuk barang
keji sehingga tidak boleh ada diantara kaum Muslimin.
Umar berkata, “Siapapun yang terbukti meminum sebagian
dari khamar setelah sebelumnya kami memberikan
penjelasan kepadanya, maka kami akan menimpakan
hukuman berat atasnya terhadap diri dan hartanya dan
kami akan jadikan pelajaran bagi orang lain.”
Kebijakan Umar untuk mengembalikan hak-hak
kepada pemiliknya dan membuka pintu kebebasan ekonomi
yang terikat benar-benar membuahkan hasil-nya. Kebijakan
tersebut mampu mendorong masyarakatnya untuk berkarya
dan produktif yang membuat perniagaan berkembang dan
selanjutnya mendongkrak pemasukan negara. Hal ini
otomatis memicu peningkatan penerimaan zakat yang
selanjutnya akan mengatrol derajat kaum miskin dan daya
beli masyarakat sehingga mampu menggerakkan roda
perekonomian.

3. Pembebasan Upeti
Di zaman sebelum Umar banyak kebijakan agar
rakyat membayar baik dalam bentuk jizyah maupun upeti
hasil pertanian dan perdagangan. Upeti itu dihapus oleh
Umar setelah memenuhi berbagai persyaratan.Umar
berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad
sebagai penyeru ke jalan Allah bukan sebagai tukang
pungut upeti”.
Umar bersikap lunak kepada petani diantara mereka,
menetapkan jizyah sebatas kemampuan keuangan mereka.
Umar membaginya menjadi tiga tingkatan yaitu orang
kaya, menengah dan miskin.Pemilik tanah memberikan
jizyah dari hasil tanahnya, pekerja dari hasil kerjanya dan

104
pedagang dari perdagangannya. Pengaruh kebijakan Umar
bin Abdul Aziz dalam menghapus upeti mampu meng-
gairahkan rakyat untuk mengembangkan produksi dan
perniagaannya sehingga meningkatkan penerimaan zakat.

4. Stimulus Sektor Perdagangan


Perniagaan di Era Umar bin Abdul Aziz semakin
bergerak, negara pun mempunyai sumber-sumber
pendapatan baru sehingga bisa mengalokasikannya untuk
dana umum. Langkah kebijakan yang dilakukan Umar
untuk menggerakkan aktifitas perniagaan adalah :
a. Menghapus pajak tambahan yang sempat ditetapkan
untuk lahan-lahan pertanian. Hal ini berdampak positif
dalam bidang pertanian dalam bentuk penurunan harga
hasil pertanian sehingga permintaan barang meningkat
dan meramaikan pasar-pasar. Dalam ekonomi sebuah
negara agraris, peningkatan permintaan hasil pertanian
dan penurunan harga yang sejalan dengan ke-bijakan
dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak hanya
berdampak pada aktifitas ekonomi semata tetapi
merambah kepada sektor lainnya.
b. Menghapus pajak di bidang pertanian dan hanya
membatasinya pada Usyur.
c. Menghapus cara-cara kekerasan dalam mendapatkan
hak negara dari sisi finansial atas para pedagang yang
mendorong pertumbuhan perniagaan dan investasi.
d. Membangun fasilitas peristirahatan di jalur perniagaan.
Para Gubernur diperintahkan untuk menyiapkan
keperluan kaum Muslimin yang melakukan perjalanan
niaga untuk singgah beristirahat di tempat tersebut
sehari semalam dan memberi makan hewan kendaraan
mereka dengan biaya negara. Waktu istirahat satu hari
satu malam tersebut bisa ditambah jika ada yang sakit
atau kehabisan perbekalan, atau perdagangannya
dirampok atau hilang dengan sebab apapun maka Umar
memberi uang secukupnya untuk pulang ke negerinya.

105
e. Membayarkan hutang orang yang memiliki hutang yang
bukan untuk keperluan maksiat dan foya-foya termasuk
pedagang. Kebijakan ini membebaskan tanggung jawab
para pedagang yang bangkrut dan membuka peluang
baru bagi mereka untuk menekuni bidang usaha lainnya.
Termasuk pada pedagang yang memulai bisnisnya
dengan modal dari hasil berhutang dalam jumlah
tertentu.
f. Membuat standar ukuran takaran dan timbangan di
seluruh negeri dan menjadikannya sebagai peraturan
dasar negara.
g. Melarang para Gubernur dan pejabat untuk berniaga
agar kehadiran mereka dalam pasar tidak merusak
persaingan sehat (larangan monopoli). Ini adalah upaya
Umar untuk menjauhkan pasar dari pengaruh luar yang
tidak alami yang secara otomatis berpengaruh terhadap
penetapan harga.
h. Melarang penimbunan barang, termasuk dalam hal ini
penyerahan kios-kios di Hims yang sebelumnya hanya
dimiliki oleh beberapa pedagang Hims, lalu anak-anak
al-Walid menguasainya dan menjadikan milik pribadi.
Maka Umar mencabutnya dan mengembalikan kepada
yang berhak.

5. Regulasi Sektor Pertanian


Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengambil
langkah-langkah kebijakan yang bertujuan meningkatkan
hasil pertanian bagi ummat seperti :
a. Melarang menjual tanah Kharaj
Sebelum era Umar bin Abdul Aziz, orang meminta
kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin
Abdul Malik dan Sulaiman bin Abdul Malik untuk
membeli tanah dari ahli dzimmah, maka khulafa tersebut
memberi izin dengan syarat meletakkan harganya di
Baitul Mal. Katika Umar bin Abdul Aziz memegang
khilafah, beliau membiarkan jual beli seperti semula

106
karena telah tersangkut dengan jual beli dan akad-akad
lainnya seperti waris-an, mahar istri dan pelunasan
hutang sehingga Umartidak kuasa membebas-kannya.
Kemudian Umar membuat keputusan bahwa
“Barangsiapa yang membeli sesuatu setelah tahun
seratus (Hijriyah) maka akadnya ter-tolak.” Sehingga
tidak ada lagi penjualan kharaj setelah tahun 100 H.
Makanya tahun 100 H disebut dengan tahun al-
muddah (batas), maka setelahnya masyarakat menahan
diri dengan tidak melakukan jual beli seperti sebelumnya
karena Umar melaran pemiliknya untuk menjualnya.
Alasannya, tanah tersebut sudah dianggap sebagai Fa‟i
(direbut tanpa peperangan) oleh Khalifah Umar.
Umar menolak pengalihan tanah yang pemiliknya
masuk Islam, dari tanah kharaj kepada tanah Usyur.
Umar tetap memberlakukan kharaj dan usyur bagi
mereka dengan berkata, “Kharaj adalah kewajiban atas
tanah sedangkan usyur itu adalah kewajiban atas
hasilnya.” Dengan itu, Umar bin Abdul Azizmenjaga
sumber pemasukan negara yang utama. Beliau menjadi-
kannya sebagai milik umum bagi ummat daripada
merubahnya menjadi milik perorangan.
b. Meringankan pajak petani
Para khalifah sebelum Umar terbiasa menetapkan
pajak yang berat atas kaum petani, pajaknya beragam
sehingga beban pemilik tanah menjadi berat yang
akhirnya merekapun cenderung membiarkan tanah
mereka. Akibatnya banyak tanah yang terbengkalai yang
merugikan keuangan negara. Para khalifah tersebut
menggunakan cara-cara intimidasi dalam menarik pajak,
maka kaum petani terpaksa menjual hewan ternak
mereka atau pakaian mereka karena beban berat
menimpa mereka.
Manakalah Khalifah Umar menjadi Khilafah,
beliau menghapus semua bentuk pajak yang menyelisihi
syariat Allah. Umar menghapus akad qubalah yang biasa

107
dipraktikkan di Bashrah. Umar menghapus praktik
mengira ngira dalam takaran, dimana para petugas
negara menetapkan harga tinggi atas hasil pertanian
melalui perkiraan semata kemudian meminta kepada
petani untuk membayar kontan. Hal ini mencekik leher
para petani.
Beberapa surat Umar kepada Gubernurnya bisa
ditemukan adanya penyimpangan dan kedzaliman masa
lalu dan Umar tidak membiarkan semua itu karena
meninggalkan dampak buruk terhadap perekonomian
yang mem-buat pemilik tanah tidak mampu mengolah
yang akhirnya meninggalkannya.Karena itu, Umar
melakukan perbaikan di sektor pertanian dengan meng-
hapus pajak-pajak yang zholim sehingga menggerakkan
ekonomi negara.
c. Pembukaan Lahan Baru dan Revitalisasi Lahan Tidur
Umar bin Abdul Aziz mendorong kaum Muslimin
untuk menghidup-kan lahan-lahan yang mati dan tidak
produktif. Kepada para Gubernurnya, Umar
menyampaikan kebijakan, “Jangan gabungkan lahan
tidur ke lahan yang hidup, jangan pula membawa lahan
hidup ke lahan yang tidur. Perhatikannlah lahan-lahan
yang mati, ambillah sebatas yang mampu dilakukan,
garaplah sehingga lahan itu menjadi hidup. Jangan
mengambil dari tanah yang hidup kecuali kharaj dengan
lembut dan menenangkan pemilik tanah.”Umar
memanfaatkan tanah-tanah shawafi,73 Umar memandang
bahwa hak kepemilikannya ada pada Baitul Mal.
d. Memberdayakan Tanah Terlindung (al-Hima)
Umar menghapus tatanan tanah terlindung untuk
orang tertentu dan membukanya untuk seluruh kaum
Muslimin. Ketika Umar membolehkan tanah terlindung
tersebut, beliau tetap mengucualikan al-Naqi(tempat

73Yaitu tanah yang dikhususkan oleh penguasa kepada keluarganua. Ada

juga yang ber-pendapat itu adalah tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya, atau
pemiliknya mati tanpa mem-punyai ahli waris
108
penggembalaan) yang ditetapkan oleh Rasulullah untuk
unta-unta zakat.
Dengan demikian maka tanah terlindung menjadi
milik berjamaah kaum Muslimin, manfaatnya diberikan
kepada mereka. Tanah terlindung tersebut merubah
tanah dari ibahah kepada kepemilikan umum sehingga ia
tetap tertahan sebagai milik berjamaah kaum Muslimin.

6. Optimalisasi Penerimaan dan Distribusi Zakat, Jizyah,


Kharaj, Usyur, Ghanimah & Fa’i dan Pajak (Dharibah)
Unsur terpenting dari pengelolaan negara adalah
tersedianya sumber dana yang cukup untuk membiayai
program program kebaikan yang telah dicanangkan oleh
Khalifah Umar. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz sumber penerimaan negara dioptimalkan yang
meliputi penerimaan Zakat, Jizyah, Kharaj, Usyur,
Ghanimah dan Fa‟i, Pajak (dharibah).
a. Zakat
Umar bin Abdul Aziz mengikuti tuntuan Alquran
dan Hadis dalam menarik zakat. Sebagai bukti Umar bin
Abdul Aziz mengikuti jejak Rasulullah SAW, dalam
perkara zakat adalah usaha beliau untuk mengetahui
surat-surat Rasulullah terkait zakat serta upayanya
untuk mengumpulkan keputusan-keputusan Umar bin
Khattab tentang zakat.
Khalifah Umar memerintahkan agar surat surat
tersebut dinasakh dalam sebuah buku sehingga hadirlah
sebuah buku yang mencakup tentang zakat unta, zakat
sapi dan kambing, zakat emas dan perak, kurma, biji-
bijian dan minyak, lengkap dengan keterangan tentang
nisab masing-masing harta tersebut.
Khalifah sangat gencar untuk berkhutbah dan
berdakwah tentang wajibnya zakat yang setara dengan
wajibnya sholat. Beliau sangat menekan-kan kepada
rakyatnya membayar zakat selain karena perintah
(fardhu) dari Allah SWT, sebagai pensuci harta, zakat
juga berdampak pada kesejahteraan rakyat yang lain.
109
Zakat difungsikan sebagai distribusi pendapatan dan
pemerataan dimana rakyat yang memiliki harta yang
sudah memiliki ke-cukupan disebarkan kepada rakyat
lainnya yang belum memiliki kecukupan.
Melaksanakan amanah pengumpulan zakat,
Khalifah menunjuk petugas yang amanah untuk
memberikan dakwah, memberikan pemahaman
persuasif tentang seluk beluk zakat tanpa berlebih-
lebihan. Petugas tersebut kemudian mengumpulkan
zakat. Umar memerintahkan agar zakat diambil dari
seluruh harta yang memang wajib dizakatkan.
Pengumpulan zakat dicatat dengan baik, diberikan resi
tanda pelunasan kepada pembayar zakat (muzakki) agar
pembayaran nanti dilakukan pada haul berikutnya.74
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar
mengembalikan dan mendistribusikan zakat di daerah
mana ia dikumpulkan. Penyaluran ke tempat lain apabila
rakyat setempat sudah tidak lagi membutuhkan
pemberian zakat.
Perbaikan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul
Aziz terhadap mekanisme pengambilan zakat
mempunyai peran yang sangat penting dalam
meningkatkan penerimaan zakat. Kebijakan kebijakan
Khalifah Umar pada bidang ekonomi, perhatian beliau
pada proyek infrastuktur penunjang sektor pertanian
dan perdagangan, penghapusan pungutan liar,
membawa kepada perkembangan perdagangan dan
pertanian yang pada akhirnya meningkatkan pemasukan
negara melalui pintu zakat.75Dalam meningkatkan
penerimaan zakat (intensifikasi), Umar bin Abdul Aziz
memperluas cakupan obyek zakat. Ini terlihat melalui
fikihnya dalam zakat hasil pertanian, zakat unta, zakat
ikan dan zakat madu. Ini otomatis mendongkrak harta
yang masuk melalui pintu zakat. Untuk penyaluran

74Kuliman, Op. Cit. H. 62


75Ash Shallabi, Op. Cit, h 475.
110
zakat, Khalifah Umar memerintahkan kepada para
Gubernurnya agar mendata rakyat yang berhak
menerima zakat dan menyerahkan kepada-nya. Umar
menekankan suatu kaum lebih berhak mendapatkan
zakat jika mereka belum mencapai kadar kecukupan.
Mendistribusikan zakat, Umar bin Abdul Aziz
mengikuti firman Allah yang terdapat dalam QS. At-
Taubah/9 : 60.

       

          

     


Terjemahnya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”

Umar memerintahkan agar zakat didistribusikan


sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran
supaya zakat benar-benar diterima hanya oleh orang
yang berhak sehingga didistribusikan melalui jalan yang
benar. Penyaluran zakat kepada orang miskin diberikan
dalam bentuk permodalan agar bisa dikembangkan dan
bisa menghasilkan lapangan kerja baru sehingga orang
miskin bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan yang
membuatnya berubah dari penerima zakat menjadi
pembayar zakat.
Berhasilnya dakwah di era Umar bin Abdul Aziz
yang ditandai dengan banyaknya orang kafir dzimmi
memeluk agama Islam. maka hal ini juga meningkatkan
pemasukan melalui zakat. Kaum Muslimin yang baru

111
tersebut (dzimmi) ada yang kaya dan ada yang miskin.
Orang yang kaya akan membayar zakat yang menjadi
kewajibannya.
Sirah dan ketakwaan Umar bin Abdul Aziz juga
memberi pengaruh terhadap pembayaran zakat. Karena
kepercayaan rakyat kepada pemimpin mereka
meningkat. Hal ini terlihat ketika orang berbondong
bondong membayar zakat manakala mereka mengetahui
bahwa Umar menjadi Khalifah. Ini meningkatkan
pendapatan dari zakat dan meningkatkan taraf
kehidupan ekonomi rakyat.
Riwayat sejarah mengabarkan bahwa penerimaan
zakat di era Umar bin Abdul Aziz melebihi kebutuhan
rakyat. Diantara sebab melimpahnya zakat adalah
terdorongnya rakyat untuk bekerja dan menghasilkan,
sehingga para pembayar zakat meningkat sedangkan
penerimanya menurun tajam.76
b. Jizyah
Jizyah adalah upeti yang ditetapkan atas orang-
orang kafir setiap tahunnya, karena mereka tinggal di
negeri Islam. Ketika Umar berkuasa, beliau menghapus
kewajiban Jizyah bagi orang-orang yang sudah memeluk
agama Islam. Jizyah merupakan salah satu sumber
penerimaan negara yang disimpan pada Baitul Mal.
Jizyah wajib ditarik dari orang-orang kafir selama dia
masih kufur, apabila sudah memeluk Islam maka
gugurlah kewajiban jizyah baginya.
Umar dalam perkara ini bersikap tegas, beliau
menulis surat kepada para Gubernurnya,“ Barangsiapa
mengucapkan syahadat sama dengan kita, shalat
menghadap kiblat kita dan dia berkhitan, maka jangan
mengambil jizyah darinya”.77

76AshShallabi, O. Cit, h. 476


77Abu Ubaid al Qasim bin Sallam, Al-Amwal, Beirut : Darul Fikri,
1408H/1988M, No. 127 dalam Ash Shallabi, h. 477
112
Ketika ahli dzimmah mendengar kabar dan
kebijakan Khalifah Umar yang adil, maka mereka
bersegera masuk Islam. Para petugas Baitul Mal
mengadukan hal itu kepada beliau sebab menurunkan
pendapatan Baitul Mal, maka Umar menjawab,
“Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad sebagai
penyeru ke jalan Allah bukan sebagai tukang pungut
upeti”.78
Umar bersikap lunak kepada petani diantara
mereka, menetapkan jizyah sebatas kemampuan
keuangan mereka. Umar membaginya menjadi tiga
tingkatan yaitu orang kaya, menengah dan miskin.
Pemilik tanah memberikan jizyah dari hasil tanahnya,
pekerja dari hasil kerjanya dan pedagang dari
perdagangannya. Besarnya jizyah tidak memiliki ukuran
tertentu, namun ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan
ijtihad Khalifah dengan memperhatikan ke-mampuan
finansial wilayah. Orang Syam lebih tinggi daripada
orang Yaman karena mereka lebih mampu dan lebih
kaya. Jizyah terhadap orang miski dihapus bahkan Umar
membantunya dari Baitul Mal.Pengaruh kebijakan Umar
bin Abdul Aziz dalam menghapus jizyah memang
mengurangi pen-dapatan Jizyah tetapi menambah
pendapatan zakat dimana kadar zakat lebih besar
daripada jizyah.
c. Kharaj
Kharaj adalah hak kaum muslimin atas tanah yang
ditaklukkan dari orang kafir baik melalui peperangan
maupun damai. Penerimaan negara dari Kharaj sangat
tinggi. Penerimaan negara dari kharaj meningkat hingga
men-capai 124 juta Dirham,79 dimana 12,8 juta Dirham di
Irak, 1,2 juta Dinar di Mesir dan 1,4 juta Dinar di Syiria. 80

78Ash Sallabi, Loc. Cit, h. 477


79Ash Shallabi, Op. Cit, h. 478
80Muhammad Sharif Chaudry, Terj. Suherman Rosyidi. Prinsip Dasar Sistem

Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenadamedia. 2014, h. 266

113
Kharaj Khurasan di era Umar bin Abdul Aziz
mampu melebihi ke-butuhan negara, yaitru mencapai
rekor tertinggi. Di Irak, Kharaj merupakan penyumbang
terbesar pendapatan negara. Pendapatan dari kharaj
menunjuk-kan kekuatan finansial negara. Hal ini
membantu terwujudnya sasaran ekonomi dan bentuk
dukungan terhadap proyek pembangunan infrastruktur,
proyek produktif, bantuan kepada masyarakat miskin
dan tidak mampu.
Kharaj yang tinggi disebabkan oleh siasat
reformasi yang dicanangkan oleh Umar dimana salah
satunya adalah melarang jual beli tanah kharaj tetapi
diberikan kepada petani untuk digarap. Kebijakan itu
ternyata meningkatkan produksi pertanian dan petani
merasa hal tersebut sebagai bentuk perhatian Khalifah.
Sebab di samping larangan menjual lahan kharaj, Umar
juga meng-hapus pajak yang zholim yang selama ini
menghambat produksi pertanian.
d. Usyur
Usyr berarti sepersepuluh atau sepuluh persen,
yang merupakan pabean/pajak yang diberlakukan
kepada para saudagar dari kalangan kaum kafir harbi
dan ahli dzimmah manakala mereka masuk ke
perbatasan wilayah negara Islam. Dari kafir harb
dipungut 10% (Usyr) sedangkan dari ahli dzimmah
hanya setengahnya (5%). Dalam setahun, satu barang
hanya kena usyur satu kali. Nishabnya untuk ahli
dzimmah adalah 20 Dinar dan 10 Dinar untuk kafir
harb.
Umar bin Abdul Aziz memperhatikan pendapatan
melalui usyur ini sehingga beliau menjelaskan dasar-
dasarnya bagi petugas yang menangani dan meminta
pegawai tersebut memberi bukti pembayaran kepada
para saudagar untuk setiap tahun sehingga mereka tidak
dipungut dua kali dalam setahun. Untuk itu, Umar

114
melarang pungutan liar yaitu pungutan yang di-ambil
dari masyarakat tanpa hak.
e. Ghanima (al-Khums) dan Fa‟i
Ghanima (al-Khums) adalah harta rampasan
perang, sedangkan Fa‟i adalah harta rampasan dari
orang kafir tanpa perang/penyerangan. Umar bin Abdul
Aziz berkonsentrasi untuk melakukan perbaikan internal
negara. Karena itu, penaklukan-penaklukan di zaman
beliau tidak banyak karena Umar menggantikan dengan
dakwah dan teladan yang baik. Hasilnya justru banyak
raja dan suku-suku seperti Barbar yang masuk Islam
tanpa peperangan.
Karena itu, pendapatan negara yang berasal dari
ghanimah tidak banyak. Ghanimah yang tersisa di Baitul
Mal adalah sisa dari penaklukan sebelumnya.
Yang dilakukan oleh Umar terkait 1/5 dari harta
rampasan perang adalah perbaikan terhadap neracanya.
Dengan tetap berpegang pada Alquran khususnya QS.
Al-Anfal/8 : 41 dimana Allah SWT, berfirman.

          

         

           

 
Terjemahnya:
“ Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah
dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

115
Ketika Andalusia ditaklukkan sebelum masa
beliau, mereka tidak mengeluarkan 1/5 darinya, maka
Umar memerintahkan Gubernurnya untuk memilah
tanahnya yang ditaklukkan dengan kekuatan dan
mengambil 1/5 darinya.Sedangkan untuk Fa‟i, Umar bin
Abdul Aziz mengikuti apa yang diputuskan oleh Umar
bin al-Khattab yakni menggabungkan fa‟i ke ghanimah
kemudian didistribusikan bersama dengan ghanimah.
f. Pajak (Dharibah)
Selain sumber penerimaan negara diatas, Khalifah
Umar juga memberlakukan pajak impor bagi semua
barang dagangan yang diimpor ke Negara Islam. Abu
Musa al-Asy‟ari Gubernur Irak, mengabarkan kepada
Khalifah bahwa pemerintahan Roma dan Persia
menetapkan pajak impor kepada pedagang Muslim yang
memasuki negara mereka. Sehingga Umar juga
menetapkan pajak 10 % atas barang yang diimpor ke
negara Islam.
Pola yang dipakai Khalifah Umar bin Abdul Aziz
di dalam menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi
rakyatnya adalah dengan menyelesaikan akar penyebab
permasalahan tersebut yaitu ketidakadilan dalam
pemilikan sumber daya dan ketimpangan dalam
distribusi kekayaan.
Arah kebijakan tersebut dijabarkan dalam
tindakan yang nyata sehingga memberikan maslahah
kepada segenap ummat/ warga Negara sehingga
kemiskinan dientaskan dari wilayah kekhalifaan Umar
bin Abdul Aziz seluas 15 juta km2 dengan penduduk
sekitar 62 juta orang atau 1/3 dari penduduk bumi saat
itu yang setara dengan 39 negara. Menurut Rizem, 81
dalam waktu 90 tahun banyak bangsa yang masuk dalam
kekhalifaan Islam meliputi Spanyol, seluruh wilayah
Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian

81Aizid, Rizem, Sejaran Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta : Diva

Press, 2015
116
negara Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India dan
negara yang sekarang dinamakan Turkmenistan,
Uzbekistan dan Kirgistan bahkan termasuk juga Soviet
Rusia.

Gambar 3. Wilayah Kekhalifaan Umar bin Abdul Aziz (Bani


Umayyah)

Demikianlah mimpi Khalifah Umar bin Al-Khattab


ini tentang akan adanya keturunannya beliau yang ada
tanda luka diwajahnya dan menjadi Khalifah yang
dinisbatkan ke Umar bin Abdul Aziz menjadi terwujud.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz benar-benar menebar
keadilan dan kemakmuran di muka bumi tanpa adanya
kemiskinan dalam wilayah kekhalifaannya.

117
BAGIAN IV
PERAN NEGARA DALAM
MENGATASI KEMISKINAN

Ajaran Islam telah menugaskan negara untuk menjamin


agar individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya serta terlaksananya solidaritas sosial untuk saling
membantu. Negara bertugas untuk menjaga terlaksananya
kewajiban setiap masyarakat dan terpenuhinya hak masyarakat
lainnya. Lazimnya, negara menjalankan perannya dalam dua
bentuk. Pertama, negara memberikan kesempatan yang luas
kepada individu untuk melakukan kerja produktif sehingga ia
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun jika seorang
individu tidak mampu melakukan kerja produktif atau hasil
kerjanya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka
negara harus melakukan peran kedua yaitu menerapkan prinsip
jaminan sosial baik dengan mendorong masyarakat yang
berkecukupan untuk melakukan kewajiban sosialnya maupun
negara menyediakan anggaran untuk memperbaiki standar
kehidupan masyarakatnya.
Terkait dengan pengentasan kemiskinan, dalam Islam tidak
diserahkan kepada mekanisme pasar (invisible hand) dimana
individu individu diberikan kebebasan tak terbatas untuk
mengejar kemakmurannya sendiri tetapi juga tidak menjadikan
negara sebagai penguasa tunggal semua harta dan kekayaan tetapi
upaya mengatasi kemiskinan negara diserahkan kepada negara
yang memiliki peran dan tugas untuk : 1) melakukan pendataan
dan pemetaan orang yang miskin dan yang berkecukupan/kaya,
2) menjamin hak-hak rakyatnya, 3) membuka kesempatan untuk
bekerja dan membuka lapangan kerja, 3) mengelola zakat (sebagai
amil) dan 4) menyediakan jaminan sosial untuk rakyatnya.

A. Pendataan dan Pemetaan


Peran ini sangat penting dilakukan oleh negara karena
terkait dengan hak dan kewajiban rakyat sesuai dengan

118
syari‟at. Syariat Islam telah menetapkan bagi orang miskin hak-
haknya dan bagi orang kaya dan berkecukupan memiliki
kewajiban-kewajiban. Jika orang miskin tidak terpenuhi hak-
nya berarti negara membiarkan terjadinya pendzoliman
kepadanya. Begitupula jika orang yang berkecukupan tidak
melaksanakan kewajibannya berarti negara membiarkan rakyat
melakukan pelanggaran terhadap syari‟at.
Jika pemerintah yang melaksanaan tugas kenegaraan
untuk melakukan pendataan berdasarkan pengukuran miskin
dan berkecukupan maka akan mudah untuk melakukan
pemetaan jumlah dan sebaran orang yang berkategori miskin.
Atas dasar pendataan tersebut, pemerintah dapat menyusun
program untuk mengatasi kemiskinan termasuk di dalamnya
pendataan masyarakat yang masuk kategori yang berhak
menerima zakat (mustahiq) dan yang berkewajiban membayar
zakat (Muzakki). Atas dasar data tersebut juga pemerintah bisa
memberikan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ).

B. Menjamin Hak-Hak Rakyat


Dalam menjalankan tugas menegakkan keadilan, negara
menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat terkait aksesnya
terhadap sumber daya. Negara harus menyediakan
seperangkat aturan dan kebijakan yang bisa melindungi hak-
hak warganya. Allah SWT dalam Qs Al-An‟am / 6 : 152
berfirman,

           

           

           

    


Terjemahnya :
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan

119
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah
kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.”

Pada ayat ini Allah mengingatkan untuk menjaga harta


anak yatim yang belum dewasa, jangan menyalahgunakan
hartanya sampai dia dewasa. Terhadap usaha perniagaan
diperlukan pengawasan untuk menyempurnakan takaran dengan
timbangan yang adil sehingga tidak terjadi kecurangan dengan
mengambil hak orang lain. Keadilan ditegakkan untuk semua,
termasuk kepada kerabat untuk diberikan haknya secara adil. Jika
hak-hak rakyat terpenuhi maka rakyat akan tenteram dan akan
tunduk kepada aturan pemerintahnya.

C. Membuka kesempatan untuk bekerja


Untuk mengentaskan kemiskinan, negara berperan
sebagai penyedia regulasi agar terbuka kesempatan bagi
masyarakatnya untuk bekerja mencari sumber
penghidupannya. Peran negara sebagai fasilitator untuk
menyediakan berbagai fasilitas seperti ; menjamin ketersediaan
bahan baku, penyediaan sarana produksi, pemasaran,
permodalan dan infrastruktur pendukung. Semua sumber daya
negara haruslah dimanfaatkan agar warga negara bisa mencari
nafkah.

D. Mengelola Zakat (Amil)


Dalam ajaran Islam, negara berperan sebagai pengelola
(amil) zakat yang mengambil dari masyarakat yang berlebih
dari kecukupannya dan menyalurkan kembali kepada yang
berhak. Dalam Qs At-Taubah / 9 : 103 Allah SWT berfirman,
yang terjemahnya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)

120
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Melalui ayat di atas, Allah SWT memerintahkan agar
peran pengelola zakat (amil) dilaksanakan oleh institusi negara
/ pemerintahan atau dengan membentuk Badan Amil Zakat
(BAZ) dan Baitul Maal untuk menjadi tempat pengelolaan
harta yang diperoleh dari zakat agar memiliki kekuatan di
dalam memaksa masyarakat melaksanakan kewajibannya serta
dipercaya untuk menyalurkan hanya kepada yang berkak
menerimanya (mustahik) sebagaimana firman Allah dalam Qs
At Taubah / 9 : 60 yakni : fakir, miskin, amil, muallaf yang
dibujuk hatinya, orang yang berhutang, hamba sahaya, ibnu
sabil dan fi sabilillah.

E. Menyediakan Jaminan Sosial.


Kewajiban negara untuk menyediakan jaminan sosial
berkaitan dengan hak masyarakat karena adanya sumber daya
(kekayaan) publik yang dikuasai oleh negara. Negara bukan
saja wajib menyediakan kebutuhan pokok warganya saja tetapi
juga menjamin kehidupan individu agar sesuai dengan standar
hidup masyarakat Islam. Jaminan sosial yang dimaksud disini
adalah jaminan pemeliharaan yaitu, pemberian bantuan dan
sarana agar individu bisa hidup secara layak. Rasulullah SAW
mencontohkan dalam salah satu sabda-nya :
“Aku adalah orang yang lebih dekat dalam mengurusi setiap
muslim dari dirinya sendiri, Jika ada orang yang mati
meninggalkan harta, maka menjadi hak ahli warisnya.
Barangsiapa yang meninggalkan hutang atau anak terlantar
karena tidak memiliki kekayaan bawalah kesini dan aku akan
mengurusnya.”
(HR. Bukhari No, 2223 dan Muslim No. 3043)

Melalui beberapa ayat dan hadis diatas menunjukkan


bahwa negera/kekhalifaan memegang peran sentral dalam
mengentaskan kemiskinan melalui jaminan atas pemenuhan
hak-hak rakyat, menyediakan fasilitas berusaha, mengelola
zakat dan menyediakan jaminan sosial.

121
DAFTAR PUSTAKA

BUKU / KITAB

Al-Qur‟anul Kariim, Miracle the Reference. Bandung : Sygma


Creative Media Corp, 2007

Abdul Hakam, Abdullah. 2019. Umar bin Abdul Azis: Pribadi Zuhud
Penegak Keadilan. Jakarta: Alam Raya Enterprise.

Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta :


Yayasan Swarna Bhumi, 2012

Agussalim, Mereduksi Kemiskinan : Sebuah Proposal Baru untuk


Indonesia, Makassar : Nala Cipta Litera dan Pusat Studi
Kebijakan dan Manajemen Pembangunan UNHAS, 2009

Ahmad, Arifuddin, Metodologi Pemahaman Hadis : Kajian Ilmu


Ma‟ani al-Hadis, Makassar : Alauddin Univesity Press, 2013

bin Ahmad al-Haritsi, Jaribah, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab,


Terj. Asmuni Solihan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2017

bin Ali al-Ba‟dani, Faishal, Sedekah Luar Biasa, Solo : Al-Qowam,


2012

Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam : Dari Masa Klasik


Hingga Kontemporer, Edisi Revisi, Jakarta : Gramata
Publishing. 2010

Aravik, HavisSejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer, Jakarta :


Kencana, 2017

Al-Arif, M. Nur Rianto dan Euis Amalia, Teori Mikroekonomi : Suatu


Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta
: Prenada Media Group, 2014

122
Azra, Azyumardi . Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (dalam bahasa Indonesia).
Jakarta : Prenada Media, 2014

bin Badri, Muhammad Arifin, Fikih Perniagaan Islam : Berbisnis &


Berdagang Sesuai Sunnah Nabi, Jakarta : Darul Haq, 2015

Badroen, Faisal, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta : Prenada


Media Group, 2012

al-Baqi, Muhammad Fuad, Mu.‟jam Al-Mufahraz li Alfazh al-Qur‟an


al Karim (Mesir : Maktabah Dar al-Kutub, 1364 H)

Bablily, Mahmud Muhammad, Etika Bisnis : Studi Kajian Konsep


Perekonomian Menurut al-Qur‟an dan As-Sunnah, Terj. Rosihin
A. Ghani, Solo : Ramadhani, 1990

Bahtiyar, Eko, Kritik Islam Terhadap Konsep Marxisme Tentang


Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Profetika Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol. 16
No. 2, Desember 2015.

Biro Pusat Statistik. Profil Kemiskinan Indonesia tahun 2019

Chambers, Robert. “Rural Development: Putting the Last First”.


England: Longman Scientific. 1983

Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi, Terj. Ikhwan


Abidin Basri, Jakarta : GIP & Tazkia Institute, 2000

------------. Islam & Economic Development. New Delhi : Adam


Publisher & Distributors. 2007

123
Chaudry, Muhammad Sharif, Terj. Suherman Rosyidi. Prinsip
Dasar Sistem Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenadamedia.
2014

Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta :


Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Engineer, Ali Asghar, Asal Usul dan Perkembangan Islam,


Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001

al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i: Suatu Pengantar,


terj.Suryan A. Jamrah, Jakarta: Raja Grafindo, 2004

Fauzia, Ika Yunia dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi
Islam : Perspektif Maqashid al-Syari‟ah, Jakarta : Prenadamedia,
2015

Firdaus, Achmad. Maslaha Performa : Sistem Kinerja untuk


Mewujudkan Organisasi Berkemaslahatan. Yogyakarta :
Deepublish. 2014

Gaudah, Muhammad Gharib, Terj. Muhyiddin Mas Ridha, 147


Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam, Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2012

Ginanjar. “Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan


Manajemen”. Yogyakarta: Media Widya Mandala. 1997

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Cetakan 4. Yogyakarta : Fak.


Psikologi UGM, 2010

Hafidhuddin, Didin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta :


Gema Insani Press, 2007

124
-------. Zakat Sebagai Tiang Utama Ekonomi Syariah, Makalah
disampaikan pada acara Seminar Bulanan Masyarakat
Ekonomi Syariah, Jakarta : Aula Bank Mandiri Tower, 2006

Hamzah, Amir, Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research),


Jakarta : Litera Nusantara, 2019

Haneef, Mohamed Aslam, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer,


Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Hasan Aedy, Peranan Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Zakat


dan Wakaf untuk Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan
Ekonomi Ummat : Proceeding International Seminar on
Islamic Economics as a Solution (Medan, 2006)

bin Hasan Hammam, Ahmad, Keajaiban Sedekah dan Istighfar,


Jakarta : Darul Haq, 2014

bin Hassan, Tarikuddin,Pemerintahan Kerajaan Bani Umayyah.


Malaysia: Perniagaan Jahabersa, 2010

Hastuti, Yahya, 9 Kunci Bisnis Rasulullah SAW & Khadihah RA,


(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012

Ibrahim, Anwar, Otoritas Moneter dan Kitab Kuning, Jakarta :


Republika, 2000

Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Proceedings of International


Seminar on Islamic Economics as a Solutions. Medan. 18 – 19
September 2005

Imaduddin. Umar bin Abdul Aziz: Perombak Wajah Pemerintahan


Islam. Cet. 2, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 2012

Iqbal, Muhaimin, Sharia Economics 2.0, Jakarta : Penerbit


Republika, 2013

125
Kamal, Abu Malik bin as-Sayyid Salim, Ensiklopedi Shaum & Zakat,
terj. Abu Ammar, Cet. 1, Solo : Cordova Mediatama, 2010

Kara, Muslimin H, Bank Syariah di Indonesia, Analisis Kebijakan


Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari‟ah, Yogyakarta
: UII Press, 2005

Karim, Adhiwarman Azwar, Ekonomi Islam : Suatu Kajian


Kontemporer, Jakarta : Gema Insani, 2001

-----------, Ekonomi Islam, Jakarta : Gema Insani, 2011

-----------, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 4, Jakarta : PT.


RajaGrafindo Persada, 2017

Kariim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada, 2017.

Mannan, Muhammad Abdul, Terj. M. Nastangin, Ekonomi Islam :


Teori dan Praktek, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995

al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi, Mesir: Musthafa


al-Ba‟iy al-Halabiy wa awladihi , 1946

Mardan, Konsepsi al-Qur‟an : Kajian Tematik atas Sejumlah Persoalan


Masyarakat, Makassar : Alauddin Press, 2012

Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT.


RajaGrafindo Persada, 2014

Mohamad Al-Bakri, Zulkifli. 2010. Khalifah Umar Ibnu Abdul Azis;


Imam Yang Adil. Bandar Baru Bangi: Darul Syakir Enterprise

Mufdil Tuhri, Solusi Al-Qur‟an dalam Upaya Pengentasan


Kemiskinan,Makalah : 22 Oktober 2012, diakses 21 Mei 2016.

126
Mujiyadi. B dan Gunawan. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin”.
Jakarta: Batilitbang Depsos. 2000

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet 5 Jilid 1.


Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1985

Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif EKONOMI


ISLAM, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016

Nata, Abuddin, dkk, Kajian Tematik Al-Quran tentang Konstruksi


Sosial, Bandung : Angkasa Raya, 2008

Nik Yusoff, Nik Mohamed Affandi. Islam & Business. Selangor-


Malaysia : Pelanduk Publications. 2002

Prijono, Pranaika. “Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi


Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia”. Jakarta: Izufa
Gempita. 1996

Qardhawi, Yusuf,Hukum Zakat, terj. Salman Harun, dkk (Jakarta :


Litera Antar Nusa), 1996

------------ Terj. Maimun Syamsuddin & Wahid Hasan, Teologi


Kemiskinan : Doktrin Dasan dan Solusi Islam atas Kemiskinan,
Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002

------------. Terj. Didin Hafidhuddin, dkk. Peran Nilai dan Moral


dalam Perekonomian Islam. Jakarta : Robbani Press. 2007

------------Economic Secutiry in Islam. Kuala Lumpur : Dar al Wahi


Publication. Edisi Revisi 2010

Al-Qubbani, Bahauddin, Miskin dan Kaya dalam Pandangan Al-


Qur‟an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999

127
Quresi, Anwar Iqbal, Islam and The Theory of Interest, Lahore : S.M.
Ashraf Publishers, 1946

Quthb, Sayyid, Keadilan Sosial Dalam Islam, Cet. Ke-8, Bandung :


Pustaka Bandung, 2014

Rizem, Aizid, Sejaran Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta :


Diva Press, 2015

Rozalinda, Ekonomi Islam : Teori dan aplikasinya pada Aktivitas


Ekonomi, Jakarta : Rajawali Pers, 2016

Salim, Abdul Muin, dkk. Metodologi Penelitian Tafsir Maudhu‟.i


Yogyakarta : Pustaka Al-Zikra, 2011

bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, terj. Abu Ammar, Ensiklopedi
Shaum & Zakat, Solo : Cordova Mediatama, 2010

Setiyawan, Bambang, The Power of Syirkah : Solusi Modal Bisnis


Tanpa Riba, Jakarta : Kaheel.Co, 2019

Ash Shadr, Muhammad Baqir. Buku Induk Ekonomi Islam :


Iqtishaduna, Terj. Yudi, Jakarta : Zahra, 2014

Al-Shallabi, Ali Muhammad,AmirulMukminin Umar Abdul Aziz,


Kuala Lumpur : Al-Hidayah House of Publishers Sdn. Bhd,
2011

Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Perjalanan Hidup Khalifah Yang


Agung Umar Bin Abdul Aziz : Ulama dan Pemimpin yang Adil,
Cet. IV, Terj. Izzudin Karimi, Jakarta : Darul Haq, 2014

Ash-Shawi, Shalah & al-Mushlih Abdullah. Terj. Abu Umar Basyir.


Fikih Ekonomi Islam. Jakarta : Darul Haq. 2005

128
Ash Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2009

Shihab, M. Quraish Wawasan al-Quran. Cet. 4, Bandung : Mizan,


2006
-------. Membumikan al-Quran. Jilid 2. Jakarta : Lentera Hati, 2011

The Smeru Research Institute, Modul Pelatihan : Analisis Kebijakan


Penanggukangan Kemiskinan, 2020

Subki, Mohammad dan Abdul Rahman Al-Hafiz.2012. Khalifah


Zuhud Umar bin Abdul Aziz, Kuala Lumpur: PSN Publication

Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung :


Penerbit Alfabeta. 2012

Suharto, Edi. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial. Bandung :


STKS.2005

Supadie, Didik Ahmad. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah


dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Semarang : Pustaka
Rizki Putra. 2013

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Rajawali Pers,


2005

Syafiq A. Mughni. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Jakarta :


Logos, 2007

Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet. 12 jilid 1,


Jakarta : Pustaka Al-Husna, 2014

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan


Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta :
Balai Pustaka, 1999

129
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam ; Dirasah Islamiyah II, Cet. 5,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2014

Zakariyya, Maulana Muhammad, Terj. Ali Mahfudzi, Fadhilah


Sedekah, Yogyakarta : Ash Shaff, 2006

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta : Yayasan


Obor, 2008

Zuhri, Muhammad, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. 4,


Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2016

JURNAL ILMIAH

Andriyanto, Irsyad, Strategi Pengelolaan Zakat Dalam Pengentasan


Kemiskinan, Jurnal Walisongo UIN Walisongo Semarang,
Vol. 19 No. 1, Mei 2011.

Amalia, Kasyful Mahalli, Potensi dan Peranan Zakat Dalam


Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Ekonomi & Keuangan
Medan, Vol. 1 No. 1 Desember 2012.

Amelia, Noor, Analisis Potensi Zakat Dalam Upaya Pengentasan


Kemiskinan di Kalimantan Selatan, Jurnal Humaniora
Teknologi LPPM Politala Kalimantan Selatan, Vol. 2 No. 1,
Oktober 2016.

Aprianto, Naerul Edwin Kiky, Kebijakan Distribusi Dalam


Pembangunan Ekonomi Islam, Jurnal Al-Amwal IAIN Syekh
Nurjati Cirebon, Vol. 8 No. 2, 2016.

Aprianto, Naerul Edwin Kiky, Kemiskinan Dalam Perspektif Ekonomi


Politik Islam, Jurnal Islamiconomic FEBI UIN Sultan Maulana
Banten, Vol. 8 No. 2, Desember 2017.

130
Al Arif, M. Nur Rianto, Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya
Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Ekbisi
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 5 No.
1, Desember 2010.

Al Arif, M. Nur Rianto, Wakaf Uang dan Pengaruhnya Terhadap


Program Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Indo
Islamika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 2 No. 1 tahun
2102.

Astuti, Meti, Konsep Pemerataan Ekonomi Umar Bin Abdul Aziz (818
M-820 M), Jurnal At-Tauzi‟ STIE Hamfara Yogyakarta, Vol.
17 Desember 2107.

Aqbar, Khaerul dan Azwar Iskandar, Kontekstualisasi Ekonomi Zakat


Dalam Mengentaskan Kemiskinan : Studi Kebijakan Zakat Umar
Bin Khattab dan Perzakatan di Indonesia, Jurnal Laa Maiysir
FEBI UIN Alauddin Makassar, Vol. 6 No. 2. Juli 2019.

Aziz, Abdul, Pendayagunaan Zakat Sebagai Upaya Pengentasan


Kemiskinan, Jurnal IUS Constituendum Magister Hukum
Iniversitas Semarang, Vol. 1 No. 2, 2018.

Bahri, Syaiful, Kebijakan Pemerintahan Islam Klasik Terhadap


Masyarakat Miskin, Jurnal Iqtishaduna PPM STIE Syari‟ah
Bengkalis Riau, Vol. 2 No. 2, 2013.

Beik, Irfan Syauqi, Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi


Kemiskinan : Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika, Jurnal
Pemikiran dan Gagasan Institut Manajemen Zakat Jakarta,
Vol. II 2019.

Budihardjo, Kemiskinan dalam Perspektif Alquran: Hermeneia : Jurnal


Kajian Islam, Vol. 6 No. 2, Juli – Desember 2007

131
Cahya, Bayu Tri, Kemiskinan Ditinjau dari Perspektif Al-Qur‟an dan
Hadis, Jurnal Penelitian STAIN Kudus, Vol. 9 No. 1, Februari
2015.

Chaniago, Siti Aminah, Pemberdayaan Zakat Dalam Mengentaskan


Kemiskinan, Jurnal Hukum Islam STAIN Pekalongan, Vol. 13
No. 1, Juni 2015.

Djula, Badriyyah dan Agil Bahsoan, Rekonstruksi Model Pengentasan


Kemiskinan di Kota Gorontalo, (Laporan Hasil Penelitian
Hibah Bersaing, Gorontalo : Universitas Negeri Gorontalo),
2013

Dzikron dkk, Efektifitas Organisasi Zakat Dalam Pemberdayaan


Ekonomi, Jurnal Mimbar LPPM Universitas Islam Bandung,
Vol. 21 No. 3, 2005.

Efendi, Mansur, Pengelolaan Zakat Produktif Berwawasan


Kewirausahaan Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan Di
Indonesia, Jurnal Al Ahkam Fakultas Syari‟ah IAIN
Surakarta, Vol. 2 No. 1, Januari – Juni 2017.

Fathurrahman, Ayief, Kebijakan Fiskal Indonesia Dalam Perspektif


Ekonomi Islam : Studi Kasus Dalam Mengentaskan Kemiskinan,
Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Vol. 13 No. 1, April 2012.

Firdaus, Nur, Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendekatan


Kewirausahaan Sosial, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan,
Jakarta : PPE-LIPI, Vol. 22 No. 1, 2014

Firmansyah, Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan dan


Distribusi Pendapatan, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
LIPI Jakarta, Vol. 21 No. 2, Des. 2013.

132
Hakim, Rahmad, Kontekstualisasi Fikih Golongan Penerima Zakat
(Asnaf Tsamaniyah) Zakat dan Relevansinya Dengan
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Proceedings Annual
Conference for Muslim Scholars 2nd KOPERTAIS Wil. IV
Surabaya, April 2018.

Harahap, Kuliman, Kebijakan Pengelolaan Kebijakan Keuangan Publik


Pada Masa Kekhalifaan Umar Bin Abdul Aziz, Jurnal Iptek
Terapan LLDIKTI Wil. X, Vol. 8 No. 2, 2016.

Hasanudin dkk, Analisis Kebijakan Pengelolaan Zakat Umar Bin


Abdul Aziz dan Relevansinya di Indonesia, Jurnal KASABA
Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Vol. 10 No. 2, 2019.

Haryanto, Rudy, Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendekatan Wakaf


Tunai, Jurnal Al Ihkam Fak. Syariah IAIN Madura, Vol. 7
No. 1, Juni 2012.

Indriyati, Rosalia dkk, Pendekatan Tiga Pilar sebagai Model


Pengentasan Kemiskinan Berperspektif Gender, (Jurnal PKS,
Yogyakarta : Univesitas PGRI Yogyakarta, Vol. 14 No. 2),
Juni 2015

Istan, Muhammad, Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan


Ekonomi Umat Menurut Persfektif Islam, Jurnal Al Falah IAIN
Curup Bengkulu, Vol. 2 No. 1, 2017.

Kuliman, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Publik Pada Masa


Kekhalifaan Umar bin Abdul Aziz, Jurnal Ipteks Terapan,
Padang : LLDIKTI X, Vol. 8 No. 2, 2014

Lasmawan, I Wayan dan Made Suryadi, Pengembangan Model


Pengentasan Kemiskinan berbasis nilai-nilai Nyamabraya pada
Masyarakat Perkotaan di Provinsi Bali, (Jurnal JISH, Bali :
LPPM Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 1 No. 1, April
2012

133
Mafruhat, Ade Yunita dkk, Solusi Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia Berdasarkan Perspektif Islam, Proceeding
Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyarakat Universitas Islam Bandung, Vol. 6 No. 1,
Oktober 2017.

Majid, M. Shabri Abd, Mengentaskan Kemiskinan Dalam Perspektif


Ekonomi Syari‟ah, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam P3EI
FE UII Yigyakarta, Vol. 1 No. 2 Juli 2011.

Marpaung, Linda Wahyu, Zakat, Islamic Economics and Poverty


Alleviation In Indonesia, Proceeding International Seminar
on Islamic Studies Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, Vol. 1 No. 1, Desember 2019.

Muflihin. M. Dliyaul, Perekonomian di Masa Dinasti Umayyah :


Sebuah Kajian Moneter dan Fiskal, Indonesian
Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE),
Mojokerto : Jurusan Ilmu Ekonomi Syariah Pesantren KH.
Abdul Chalim, Vol. 3 No. 1 Juli 2020

Mujahidin, Akhmad, Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif


Ekonomi Islam, Jurnal Al Fikra Pascasarjana UIN Sultan
Syarif Kasim Riau, Vol. 7 No. 1, Januari-Juni 2018.

Mustafa, Mujetaba dkk, Zakat dan Penanganan Kemiskinan, Jurnal


Al-Azhar : STAI Al-Azhar Gowa, Volume 2 Nomor 2, Juli
2020,

Ngasifudin, Muhammad, Konsep Pengelolaan Zakat di Indonesia


Pengentasan Kemiskinan Pendekatan Sejarah, Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia Universitas Alma Ata Yogyakarta, Vol. V
No. 2, Desember 2015.

Ningrum, Ririn Tri Puspita, Analisa Metode Penetapan Kriteria


Kemiskinan dan Implikasinya Terhadap Standarisasi Mustahiq di

134
Indonesia, Jurnal Engagement STAI Miftahul Ula Nganjuk,
Vol. 1 No. 1, Mei 2017.

Nor, Radieah Mohd, Pengurusan Baitumal Era Pemerintahan Khalifah


Umar Bin Abdul Aziz (Management of Treasury During Era the
Reign of Caliph Umar bin Abdul Aziz), Jurnal Al-Tamaddun
Universiti Malaya Kuala Lumpur, Edisi 81 – 88, 2013.

Nor, Radieah Mohd, Perbandingan Antara Konsep Kemiskinan :


Antara Pendekatan konsep Konvensional dan Islam, Jurnal
Kemanusiaan Universiti Teknologi Malaysia, Bil. 1,
Desember 2013.

Patmawati, Economic Role of Zakat in Reducing Income inequality and


Poverty in Selangor, (Ph.D Dissertation. Selangor : Universiti
Putra Malaya). 2006

Pratama, Yoghi Citra, Peran Zakat Dalam Penanggulangan


Kemiskinan (Studi Kasus : Program Zakat Produktif Pada badan
Amil Zakat Nasional), Jurnal Tauhidinomics FEB UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Vol. 1 No. 1, 2015.

Ridho, Ali, Zakat Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al-„Adl


Fak. Syariah IAIN Kendari, Vol. 7 No. 1 Januari 2014.

Rini, Nova, Peran Dana Zakat Dalam Mengurangi Ketimpangan


Pendapatan dan Kemiskinan, Jurnal Ekuitas STIESIA Surabaya,
Vol. 17 No. 1, Maret 2013.

Rini, Nova, Peran Dana Zakat Dalam Mengurangi Ketimpangan


Pendapatan dan Kemiskinan, Jurnal Ekuitas STIESIA Surabaya,
Vol. 17 No. 1, Maret 2013.

Rodin, Dede, Pemberdayaan Ekonomi Fakir Miskin Dalam Perspektif


Al-Qur‟an, Jurnal Economika FEBI UIN Walisongo
Semarang, Vol. VI Edisi 1, Mei 2015.

135
Romdhoni, Abdul Haris, Zakat Dalam Mendorong Pertumbuhan
Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam STIE AAS Surakarta, Vol. 03 No. 01, Maret 2017.

Safitri, Junaidi, Implementasi Konsep Zakat Dalam Al-Qur‟an Sebagai


Upaya Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal At Tasyri
STAIN Teungku Dirundeng Aceh Barat, Vol. IX No. 1,
Januari-Juni 2017.

Sakni, Ahmad Soleh, Konsep Ekonomi Islam dalam Mengentaskan


Kesenjangan Sosial : Studi Atas Wacana Filantropi Islam Dalam
Syari‟at Wakaf, Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah
Palembang, Vol. XIV No. 1, Juni 2013.

Sarifudin, Udin, Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi, Jurnal


Bisnis dan Manajemen Islam IAIN Kudus, Vol. 4 No. 2,
Desember 2016.

Setiawan, Deny, Zakat Profesi Dalam Pandangan Islam, Jurnal Sosek


Pembangunan Lembaga Pengembangan Sumberdaya Riau,
Tahun I No.2, Maret 2011.

Thalid, Hamidy dkk, Model Pengelolaan Zakat Untuk Mengatasi


Kemiskinan di Kota Bima, Jurnal Maqdis FEBI UIN Imam
Bonjol Padang, Vol. 2 No. 1, Juni 2017.

Ulya, Husna Ni‟matul, Paradigma Kemiskinan Dalam Perspektif Islam


dan Konvensional, Jurnal El-Barka FEBI IAIN Ponorogo, Vol.
1 No. 1, Januari – Juni 2018.

Wahid, Moh. Abdur Rohman, Integrasi Pajak dan Zakat di Indonesia


Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Jurnal El-Jizya
Magister Ekonomi Islam IAIN Ponorogo, Vol. 4 No.1 ,
Januari – Juni 2016.

136
Yeni Sri Lestari, Perilaku Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz
(Khalifah Umayyah) Dalam Sistem Pemerintahan Islam,
Jurnal Community, Banda Aceh : Universitas Teuku Umar,
Volume 5 No. 2 Oktober 2019

Yuli, Sri Budi Cantika, Strategi Pengentasan Kemiskinan Dalam


Perspektif Islam, Jurnal Innovation in Bisnis & Economics
Universitas Muhammadiyah Malang, Vol. 4 No. 2, Juli 2013.

Yuliyani, Konsep dan Peran Strategis Ekonomi Syari‟ah Terhadap Isyu


Kemiskinan, Jurnal Iqtishadia STAIN Kudus, Vol. 8 No. 1,
Maret 2015.

137
BIODATA PENULIS

Agussalim Rahman, lahir dari pasangan


Drs. H. Abd Rahman Hasan dan Hj.
Kudesiyah Umar pada tanggal 16 Agustus
1969 di Kota Watampone, Kab. Bone.
Memiliki 2 orang anak, Arif Rahman
Hakim (12 Juni 1999) dan Miftahul Rizka
Muthmainnah (28 Juli 2000).
Menyelesaikan Pendidikan Dasar pada
SDN 22 Macege pada tahun 1981,
kemudian melanjutkan pada SMP Negeri
1 Watampone yang tamat pada tahun 1984. Selanjutnya
menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Watampone pada tahun 1987. Setelah itu melanjutkan pendidikan
pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin yang diselesaikan pada
tahun 1994. Kemudian melanjutkan pendidikan pada jenjang
Pascasarjana (S2) pada Prodi Magister Agribisnis pada
Pascasarjana Universitas Hasanuddin dengan memperoleh gelar
M.Si pada tahun 2011. Tahun 2021 menyelesaikan Program Doktor
(S3) pada Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar Konsentrasi Ekonomi Islam dengan Disertasi yang
berjudul “Konsep Ekonomi Islam Dalam Mengentaskan
Kemiskinan (Studi Empirik Pada Masa Pemerintahan Khalifah
Umar Bin Abdul Aziz)”.
Saat ini penulis sedang adalah Dosen Tetap Yayasan Prodi
Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tri Dharma
Nusantara Makassar.

138

Anda mungkin juga menyukai