TUGAS AKHIR A
Diajukan sebagai syarat menyelesaikan jenjang sarjana Strata Satu (S-1) di Program
Studi Teknik Geologi, Fakultas Imu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung
Oleh:
ACHMAD NAZAR ABRORY
NIM: 12014057
TUGAS AKHIR A
Diajukan sebagai syarat menyelesaikan jenjang sarjana Strata Satu (S-1) di Program Studi
Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Mahasiswa Pengusul,
Menyetujui
Pembimbing,
i
ABSTRAK
Oleh:
Achmad Nazar Abrory
NIM: 12014057
Gunung Bromo merupakan gunungapi aktif di Provinsi Jawa Timur. Tatanan tektonik di
Provinsi Jawa Timur berkontribusi terhadap tatanan geologi termasuk magmatisme yang
terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tatanan geologi, seri magma, diferensiasi
magma dan tatanan tektonik Gunung Bromo menggunakan prinsip vulkanostratigrafi dan
petrogenesis.
Analisis citra satelit dan observasi lapangan dilakukan untuk mempelajari tatanan geologi
berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Analisis petrografi dan geokimia
digunakan untuk menjelaskan seri magma, diferensiasi magma, dan tatanan tektonik.
Dari penelitian ini, diketahui bahwa area penelitian merupakan bagian dari bentang alam
gunungapi yang memiliki 12 satuan bentuk muka bumi. Vulkanostratigrafi area penelitian
terbagi menjadi tiga khuluk, yaitu Khuluk Tengger, Khuluk Cemorolawang, dan Khuluk
Bromo. Khuluk Tengger berevolusi membentuk Kaldera Ngadisari, Khuluk Cemorolawang
terdiri atas Gumuk Argowulan dan Gumuk Cemorolawang yang terbentuk di dalam Kaldera
Ngadisari. Aktivitas Gumuk Cemorolawang berakhir dengan pembentukan Kaldera Lautan
Pasir. Khuluk Bromo terdiri atas lima gumuk, yaitu Gumuk Widodaren, Gumuk Kursi,
Gumuk Segarawedi, Gumuk Batok, dan Gumuk Bromo yang terbentuk di dalam Kaldera
Lautan Pasir. Kegiatan vulkanisme pada area penelitian menghasilkan produk berupa batuan
beku dan batuan/endapan piroklastik. Struktur geologi yang terdapat pada area penelitian
terdiri atas struktur geologi primer dan struktur geologi sekunder. Struktur geologi primer
berupa kekar berlembar, kekar kolom, autobreksi, vesikuler, laminasi sejajar, dan silang siur.
Struktur geologi sekunder berupa Sesar Normal Kaldera Ngadisari dan Sesar Normal
Kaldera Lautan Pasir.
Analisis data geokimia menggunakan diagram variasi senyawa oksida dan diagram variasi
unsur jejak menunjukkan bahwa seluruh gumuk pada area penelitian memiliki sumber
magma yang sama. Proses diferensiasi magma berupa fraksionasi kristal, magma mixing,
dan asimilasi diinterpretasikan melalui analisis geokimia menggunakan variasi senyawa
oksida, analisis variasi kelimpahan komposisi plagioklas, dan keterdapatan tekstur pada
sayatan tipis batuan. Afinitas batuan pada area penelitian termasuk dalam (medium-high K)
calc-alkaline yang berasal dari aktivitas magmatisme pada tatanan tektonik active
continental margin.
ii
ABSTRACT
By:
Achmad Nazar Abrory
NIM: 12014057
Bromo Volcano is an active volcano in East Java Province. The tectonic setting of East Java
Province contributes to the geological setting including the magmatism in the area. This
research was done to determine the geological aspect, magma series, magma differentiation
and the tectonic setting of Bromo Volcano using the principle of volcano stratigraphy and
petrogenesis.
Remote Sensing analysis and field observation are conducted to identify the geomorphology,
stratigraphy, and geological structure. The petrographic and geochemical analysis is used
to determine the magma series, magma differentiation, and tectonic setting.
This research showed that the research area is part of the volcanic landscapes that has 12
landforms. The volcano stratigraphy of the research area is divided into three Crowns.
Those are Tengger Crown, Cemorolawang Crown, and Bromo Crown. Tengger Crown
evolved to be Ngadisari Caldera. Cemorolawang Crown consists of Argowulan Hummock
and Cemorolawang Hummock which located in Ngadisari Caldera. The Cemorolawang
activity ended with the formation of the Sand Sea Caldera. Bromo Crown consists of
Widodaren Hummock, Kursi Hummock, Segarawedi Hummock, Batok Hummock, and
Bromo Hummock which located in Sand Sea Caldera. Volcanism processes in the research
area produced igneous rocks and pyroclastic rocks/deposits. Geological structure in the
research area consists of the primary structure and secondary structure. Primary structure
consists of sheeting joint, columnar joint, autobreccia, vesicular, parallel lamination, and
cross lamination. The secondary structure consists of Ngadisari Caldera Normal Fault and
Sand Sea Caldera Normal Fault.
Geochemical analysis using trace elements variation diagram shows that the hummocks in
the research area came from a magma series which have the same magma source. Magma
differentiation processes including crystal fractionation, magma mixing, and assimilation
were interpreted based on geochemical analysis using oxide elements variation diagram,
plagioclase composition abundance variation, and petrographic textural evidence. The
Affinity of the rock suites in the research area categorized as (medium-high K) calc-alkaline
originated from magmatism at the active continental margin.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan dan
penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Penulisan skripsi dengan judul
“Vulkanostratigrafi dan Petrogenesis Gunung Bromo dan Sekitarnya, Kabupaten
Probolinggo, Provinsi Jawa Timur” ini diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi
jenjang sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari dukungan,
bimbingan, nasihat, saran, kritik dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Keluarga,
2. Dr. Aswan, S.T., M.T. selaku Ketua Program Studi Teknik Geologi ITB,
Selain itu, kritik serta saran mengenai penulisan dan penyusunan skripsi ini akan penulis
terima dengan sangat terbuka. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi
kemajuan ilmu geologi khususnya pada bidang kegunungapian.
iv
DAFTAR ISI
Isi
v
IV.3 Pembahasan ............................................................................................................... 51
IV.3.1 Seri Magma ....................................................................................................... 51
IV.3.2 Diferensiasi Magma ............................................................................................... 54
IV.3.3 Tatanan Tektonik ................................................................................................... 60
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Lokasi area penelitian. ................................................................................... 3
Gambar II.1 Fisiografi Regional Jawa Timur modifikasi dari van Bemmelen (1949).
Area penelitian ditunjukkan dengan persegi berwarna merah. ..................... 5
Gambar II.2 Area penelitian pada peta geologi lembar Malang (Santosa dan Suwarti,
1992). Area penelitian dibatasi dengan kotak berwarna merah. .................... 6
Gambar II.3 Lokasi penelitian pada peta tatanan tektonik Asia Tenggara menurut Hall
dan Sevastjanova (2012). ............................................................................... 7
viii
Gambar III.21 Singkapan Satuan Jatuhan Piroklastik pada Gumuk Bromo yang berada di
pos pengamatan D13-C (Lampiran A1). ...................................................... 36
Gambar III.22 Sayatan tipis batuan piroklastik pada Gumuk Bromo dengan kode D13-C
(Lampiran B). ............................................................................................... 36
Gambar III.23 Stratigrafi masing-masing Gumuk dalam Kaldera Lautan Pasir. ................ 37
Gambar III.24 Kenampakan konfigurasi struktur geologi primer pada area penelitian. ..... 41
ix
x
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1 Komposisi plagioklas pada sampel sayatan tipis batuan beku. ......................... 44
Tabel IV.2 Keterdapatan tekstur batuan pada sampel batuan. ............................................ 50
Tabel IV.3 Interpretasi diferensiasi magma......................................................................... 60
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia setidaknya memiliki 129 gunungapi aktif dengan karakteristik yang beragam.
Setiap tahunnya, sekitar 10 hingga 12 gunungapi aktif di Indonesia menunjukkan
peningkatan aktivitas, selain itu dua hingga empat gunungapi mengalami erupsi dengan
karakter yang berbeda-beda (Zaennudin, 2010). Studi mengenai tatanan geologi gunungapi
memiliki peranan penting sebagai dasar perencanaan mitigasi agar aktivitas gunungapi di
Indonesia tidak menimbulkan bencana yang merugikan. Selain itu, melimpahnya data dan
analisis terhadap suatu gunungapi dapat mendorong pemanfaatan potensi gunungapi
tersebut, seperti pengembangan pariwisata, konservasi, hingga pemanfaatan sumber energi
terbarukan berupa panasbumi.
Aktivitas magmatisme Gunung Bromo dipicu oleh adanya interaksi antara lempeng tektonik.
Konfigurasi subduksi lempeng Indian-Australian kebawah Lempeng Eurasia telah
mengalami perubahan-perubahan sejak kala Eosen, hal ini berpengaruh terhadap aktivitas
magmatisme dan tatanan busur gunungapi yang ada (Hall dan Smyth, 2008). Salah satu
perubahan yang terjadi diakibatkan oleh adanya fragmen mikro-kontinen yang lepas dari
Super-kontinen Gondwana yang diperkirakan bergerak menuju kearah barat laut dan
menabrak kompleks subduksi berumur Kapur Akhir hingga Tersier Awal (Sribudiyani dkk,
2003). Konfigurasi lempeng-lempeng tektonik ini akan mempengaruhi karakteristik
batuan/endapan hasil erupsi gunungapi yang berada diatasnya termasuk Gunung Bromo.
1
I.2 TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tatanan geologi meliputi geomorfologi, stratigrafi,
dan struktur geologi pada area penelitian melalui pemetaan geologi dengan skala 1:25.000
berdasarkan prinsip vulkanostratigrafi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui seri magma, diferensiasi magma, dan tatanan tektonik pada area penelitian
melalui studi petrogenesis. Sejarah geologi dari area penelitan disusun berdasarkan
interpretasi dari studi tatanan geologi dan petrogenesis.
2
Gambar I.1 Lokasi area penelitian.
Akses untuk mencapai area penelitian ini dapat melalui jalan raya dari Kabupaten Malang,
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, maupun Kabupaten Lumajang. Akses
termudah yakni melalui jalan raya dari arah Kota Probolinggo dengan waktu tempuh sekitar
satu setengah jam.
3
3. Tahap analisis data
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap data yang meliputi analisis geomorfologi,
analisis vulkanostratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis petrogenesis.
Analisis geomorfologi yang dilakukan berupa pembuatan peta geomorfologi yang
merupakan elaborasi dari hasil analisis geomorfologi pada tahap pendahuluan dan
hasil observasi langsung di lapangan. Analisis vulkanostratigrafi yang dilakukan
meliputi pembuatan peta geologi, penampang peta geologi, dan kolom korelasi
satuan peta geologi. Analisis petrogenesis yang dilakukan berupa analisis seri
magma, analisis diferensiasi magma, dan analisis tatanan tektonik dengan
memanfaatkan hasil pengamatan petrografi dan data geokimia batuan. Sejarah
geologi disusun berdasarkan analisis-analisis tersebut.
4. Tahap penyusunan hasil
Pada tahap ini dilakukan penyusunan hasil akhir penelitian dalam suatu naskah
skripsi yang dilengkapi dengan lampiran berupa peta lokasi observasi geologi, peta
geomorfologi, peta profil stratigrafi, dan peta geologi.
4
BAB II
TATANAN GEOLOGI REGIONAL
Gambar II.1 Fisiografi Regional Jawa Timur modifikasi dari van Bemmelen (1949). Area
penelitian ditunjukkan dengan persegi berwarna merah.
Zona Gunungapi Kuarter terdiri atas susunan gunungapi hasil aktivitas vulkanisme pada
periode Kuarter yang sebagian besar masih aktif hingga saat ini. Susunan gunungapi ini
membentang dengan arah barat-timur relatif sejajar dengan kelurusan penunjaman lempeng
Samudra Hindia kebawah lempeng Benua Eurasia. Susunan Gunungapi ini berada di sebelah
utara dari Zona Pegunungan Selatan yang merupakan hasil aktivitas vulkanisme terdahulu
yang kini sudah tidak menunjukkan adanya aktivitas lagi. Tatanan bentang alam ini
menunjukkan adanya pergeseran kegiatan vulkanisme akibat aktivitas dari lempeng-
lempeng tektonik yang ada.
5
II.2 STRATIGRAFI REGIONAL
Tatanan batuan pada area penelitian dan hubungannya dengan tatanan batuan di sekitarnya
secara regional telah dijelaskan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi pada tahun
1992 yang terangkum dalam peta geologi lembar Malang dengan skala 1:100.000 (Gambar
II.2). Pada peta geologi tersebut area penelitian memiliki lima satuan batuan/endapan
terpetakan.
Gambar II.2 Area penelitian pada peta geologi lembar Malang (Santosa dan Suwarti, 1992).
Area penelitian dibatasi dengan kotak berwarna merah.
Korelasi satuan peta geologi menunjukkan satuan tertua yang terpetakan pada area penelitian
adalah Satuan Batuan Gunungapi Tengger Tua (Qpvt) yang berumur Plistosen Tengah.
Satuan ini terdiri atas breksi gunungapi, tuf, lava, aglomerat, dan lahar. Setelah berakhirnya
aktivitas Gunungapi Tengger Tua (Qpvt), pada Plistosen Akhir terdapat Satuan Batuan
Gunungapi Tengger (Qvt). Satuan ini terdiri atas tuf pasiran, tuf batuapung, tuf abu, dan
aglomerat. Satuan Gunungapi Tengger ini memiliki umur yang sama dengan Satuan Batuan
Gunungapi Arjuna-Welirang (Qvaw). Selanjutnya, pada kala Holosen terdapat Satuan Pasir
Gunungapi Tengger (Qvs), Satuan Batuan Gunungapi Bromo (Qvb), dan Satuan Endapan
Rombakan Cemaratiga. Satuan Pasir Gunungapi Tengger terdiri atas pasir gunungapi, bom
gunungapi, dan batuapung. Satuan Batuan Gunungapi Bromo (Qvb) terdiri atas breksi
gunungapi, lava, tuf, tuf breksi, dan lahar. Sementara satuan endapan rombakan Cemaratiga
terdiri atas Breksi tuf, lahar, dan reruntuhan batuan gunungapi.
6
II.3 TATANAN TEKTONIK REGIONAL
Kalimantan bagian barat daya, Jawa bagian timur, dan Sulawesi bagian barat memiliki
basement berupa kerak kontinen yang berasal dari pecahan kerak Benua Australia (Hall dan
Sevastjanova, 2012). Pecahan kerak benua ini mulai lepas dari Benua Australia pada akhir
zaman Jurasik yang kemudian terbagi menjadi dua blok yakni Blok Banda dan Blok Argo.
Kalimantan bagian barat daya terletak di Blok Banda yang awalnya merupakan kemenerusan
dari Blok Argo. Sedangkan Blok Argo meliputi Jawa bagian timur dan Sulawesi bagian
barat. Keberadaan kerak benua ini didasarkan pada umur zirkon di pegunungan Selatan Jawa
Timur yang memiliki umur yang lebih mirip dengan zirkon yang ditemukan pada Cekungan
Perth di kerak Benua Australia (berumur Arkean – Proterozoikum) dibandingkan dengan
umur zirkon yang berada di Paparan Sunda (Smyth, dkk., 2007).
Berdasarkan peta tatanan blok tektonik menurut Hall dan Sevastjanova (2012), area
penelitian berada pada Blok Argo yang merupakan pecahan kerak Benua Australia (Gambar
II.3). Keberadaan kerak benua ini akan memberikan karakteristik tersendiri pada
endapan/batuan hasil erupsi Gunung Bromo.
Gambar II.3 Lokasi penelitian pada peta tatanan tektonik Asia Tenggara menurut Hall dan
Sevastjanova (2012).
7
BAB III
TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
III.1 GEOMORFOLOGI
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk muka bumi dan proses-proses
pembentukannya (Hugget, 2017). Dalam pembentukannnya, bentuk muka bumi suatu
wilayah akan sangat dipengaruhi oleh proses-proses geologi (proses endogen) dan
interaksinya dengan atmosfer (proses eksogen). Dengan mempelajari geomorfologi suatu
wilayah, kondisi geologi wilayah tersebut dapat dipelajari pula. Kajian geomorfologi ini
bertujuan untuk memahami kondisi bentuk muka bumi dan membantu interpretasi pada
analisis vulkanostratigrafi.
Analisis geomorfologi dilakukan dengan melakukan pengolahan dan interpretasi pada data
dan didukung dengan observasi langsung di lapangan. Data yang digunakan untuk
melakukan analisis geomorfologi yaitu citra satelit Landsat 8 OLI (Operational Land
Imager), DEM (Digital Elevation Model), dan data dasar peta rupa bumi Indonesia untuk
skala 1:25.000.
Data tersebut diolah sehingga dapat digunakan untuk menginterpretasi bentuk muka bumi
dan proses-proses yang membentuknya. Proses endogen dijelaskan dengan melakukan
identifikasi pusat erupsi gunungapi dan sebaran produknya. Sementara proses eksogen
dijelaskan dengan mengidentifikasi pola aliran sungai dan tahapan erosinya. Hasil analisis
tersebut dielaborasikan menjadi satuan-satuan geomorfologi yang sesuai dengan prinsip-
prinsip klasifikasi bentuk muka bumi menurut Brahmantyo dan Bandono (2006).
Tatanan gunungapi di sekitar area penelitian dipelajari dengan melakukan pengolahan dan
interpretasi terhadap data DEM. Pemrosesan data DEM dilakukan dengan menambahkan
iluminasi buatan dari arah barat laut dengan sudut 45°. Hasil pemrosesan DEM tersebut
8
digunakan untuk menginterpretasi fitur-fitur gunungapi berupa puncak-puncak kerucut, fitur
sirkular dan batas kaki gunungapi dengan dataran di sekelilingnya. Batas dari suatu
gunungapi diinterpretasikan dengan mengamati kenampakan batas antara kaki gunungapi
dengan dataran di sekelilingnya yang memiliki tekstur relatif lebih halus.
Tatanan gunungapi disekitar area penelitian terdiri atas beberapa kompleks pegunungan
(Gambar III.1). Area pemetaan geologi berada pada Kompleks Pegunungan Tengger. Pada
bagian selatan terdapat Kompleks Pegunungan Semeru dan Kompleks Pegunungan Selatan.
Sementara, pada bagian barat terdapat Kompleks Pegunungan Nongkojajar.
9
Identifikasi karakteristik bentuk muka bumi dan proses geomorfik yang berlangsung akan
membantu interpretasi kondisi geologi pada wilayah tersebut. Agar fitur-fitur bentuk muka
bumi dapat diidentifikasi secara komprehensif, analisis geomorfologi lebih lanjut dilakukan
pada area yang lebih luas yakni pada area yang dibatasi garis berwarna biru.
Pusat erupsi pada area analisis geomorfologi diidentifikasi dengan melakukan pengolahan
dan interpretasi terhadap data citra satelit Landsat 8 OLI. Pengolahan data citra ini dimulai
dengan melakukan koreksi terhadap data citra yang meliputi koreksi radiometrik, koreksi
atmosferik dengan metode FLAASH, dan pemotongan citra sesuai dengan cakupan area
analisis geomorfologi. Selanjutnya, dilakukan proses penajaman citra dengan algoritma
Gram-Schmidth sehingga didapatkan citra dengan resolusi spasial sebesar 15 meter. Dari
proses-proses pengolahan tersebut dihasilkan tujuh saluran citra Landsat 8 OLI yang masing-
masing titik datanya menunjukkan nilai reflekstansi pada permukaan bumi dengan luas 15 x
15 meter.
Ketujuh saluran yang telah diolah tersebut diamati distribusi datanya menggunakan
histogram frekuensi data reflektansi permukaan. Semakin berbeda distribusi data untuk tiap-
tiap saluran maka semakin banyak variasi warna yang akan muncul apabila saluran-saluran
tersebut disusun menjadi citra komposit warna RGB (Red-Green-Blue). Variasi warna yang
muncul pada citra komposit warna RGB akan mencerminkan perbedaan nilai reflektansi
pada permukaan permukaan bumi. Saluran 5, 6, dan 4 dipilih untuk disusun menjadi citra
komposit warna RGB karena memiliki distribusi data yang paling menunjukkan variasi
apabila dibandingkan dengan saluran-saluran lainnya.
Decorrelation stretch merupakan metode yang digunakan untuk mentransformasi data pada
saluran-saluran citra sehingga didapatkan variasi warna yang semakin beragam. Metode
10
tersebut diterapkan pada saluran 5,6, dan 4 yang kemudian dipasang pada saluran komposit
warna RGB. Proses tersebut menghasilkan citra satelit dengan variasi warna yang sangat
beragam sehingga fitur-fitur geomorfik pada area analisis geomorfologi terlihat lebih jelas.
Interpretasi terhadap fitur-fitur geomorfik yang menjadi indikasi keberadaan pusat-pusat
erupsi dilakukan pada hasil olahan citra Landsat 8 OLI ini (Gambar III.2).
Gambar III.2 Delineasi fitur geomorfik dan pusat erupsi gunungapi pada hasil olahan citra
Landsat 8 OLI.
11
potong-memotong. Hal tersebut dapat digunakan sebagai penentuan umur relatif dari
masing-masing kerucut gunungapi yang ada.
Sebaran produk gunungapi pada area analisis geomorfologi diidentifikasi dengan melakukan
pengolahan dan interpretasi terhadap data DEM. Pengolahan data DEM ini dilakukan
dengan membuat peta arah kemiringan lereng. Suatu luasan area pada peta ini akan memiliki
warna yang sama apabila memiliki arah kemiringan lereng yang sama. Selanjutnya, peta ini
dianalisis menggunakan diagram roset yang menggambarkan sebaran arah kemiringan
lerengnya. Variasi kemiringan lereng pada suatu area dikontrol oleh proses endogen dan
eksogen, selain itu arah kemiringan lereng juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi fitur
topografi yang berhubungan dengan endapan produk gunungapi, aktivitas tektonik, dan
struktur volkanik (Miliraes, dkk., 2009).
Cakupan area analisis menggunakan diagram roset dibagi menjadi beberapa domain. Suatu
domain didefinisikan sebagai entitas pada area analisis geomorfologi yang diinterpretasikan
merupakan kumpulan produk dari kegiatan vulkanisme pada periode tertentu. Penarikan
batas-batas domain ditentukan berdasarkan hasil delineasi pusat erupsi yang telah dibahas
sebelumnya.
Area analisis geomorfologi ini dibagi menjadi empat domain (Gambar III.3). Domain I
mencakup Kompleks Gunungapi dalam Kaldera Lautan Pasir. Pada domain ini terdapat
beberapa pusat erupsi yang saling potong-memotong. Konfigurasi ini menghasilkan arah
penyebaran produk gunungapi cenderung ke segala arah dengan dominasi ke arah selatan.
Domain II mencakup Lereng produk gunungapi dalam Kaldera Ngadisari. Domain ini
diinterpretasikan terbentuk oleh aktivitas gunungapi tua yang pusatnya kegiatannya berada
di dalam Kaldera Lautan Pasir. Arah penyebaran pada domain ini cenderung menuju ke arah
timur mengikuti lembahan yang dibentuk oleh gawir-gawir dinding Kaldera Ngadisari.
12
Domain III mencakup Lereng Gunungapi Pra-Kaldera. Domain ini mencakup endapan
produk hasil aktivitas Kompleks Gunungapi Tengger sebelum terbentuknya Kaldera
Ngadisari dan Kaldera Lautan Pasir. Produk gunungapi pada domain ini menyebar ke segala
arah. Domain IV mencakup sisa kerucut Gunungapi Sekunder Jantur. Domain ini
diinterpretasikan sebagai bagian dari aktivitas gunungapi sebelum pembentukan Kaldera.
Produk Gunungapi Sekunder Jantur cenderung memiliki penyebaran kearah tenggara
mengikuti arah kemiringan lereng sebelumnya.
13
demikian, kajian mengenai pola aliran sungai pada area analisis geomorfologi secara tidak
langsung akan dapat membantu dalam melakukan interpretasi terhadap proses-proses
vulkanisme yang terjadi.
Pola aliran sungai merupakan suatu jaringan yang terbentuk oleh kumpulan dari alur-alur
sungai pada suatu area terlepas apakah alur sungai tersebut merupakan alur sungai permanen
atau bukan (Howard, 1967). Peta alur sungai yang didapat dari data dasar peta rupa bumi
Indonesia dianalisis dengan menggunakan klasifikasi pola aliran sungai menurut Howard
(1967). Hasilnya, Area analisis geomorfologi memiliki lima jenis pola aliran sungai yaitu
radial, sentripetal, parallel, sub-parallel, dan annular (Gambar III.4).
Gambar III.4 Pola aliran sungai menunjukkan adanya proses erosi pada produk yang
membentuk tubuh gunungapi.
14
III.1.5 Tahapan Erosi
Pola aliran sungai yang berkembang pada suatu kompleks gunungapi disebabkan oleh
adanya proses erosi. Suatu tubuh gunungapi dapat memiliki tahapan perkembangan erosi
yang berbeda-beda. Proses-proses endogen (struktur geologi, tekstur permukaan, jenis
batuan, pengelasan, dll) dan proses eksogen seperti hujan dan salju akan mempengaruhi
keberadaan batuan impermeabel yang merupakan kontrol utama dari bermulanya proses
erosi pada tubuh gunungapi (Karátson dkk., 1999).
Berdasarkan klasifikasi tahapan erosi pada tubuh gunungapi menurut Karátson (1999) area
analisis geomorfologi memiliki dua tahapan erosi, yaitu tahap inisiasi dan tahap dewasa.
Tahapan inisiasi ditemukan pada Kompleks Pegunungan Bromo terutama pada tubuh
Gunung Bromo (Gambar III.5). Tahapan ini dicirikan dengan mulai terbentuknya alur-alur
sungai pada bagian puncak yang kemudian semakin mendalam menuju bagian bawah dari
tubuh gunungapi. Tahapan dewasa ditemukan pada Kompleks Pegunungan Tengger dan
beberapa bagian pada Kompleks Pegunungan Bromo (Gambar III.6). Tahapan ini dicirikan
oleh adanya alur-alur sungai yang telah mengalami erosi cukup intens sehingga membentuk
bentukan lembahan yang sangat dalam.
Gambar III.5 Erosi tahap inisiasi pada tubuh Gunung Bromo. Alur berwarna biru muda
menunjukkan mulai adanya erosi sedangkan alur berwarna biru tua
menunjukkan erosi yang semakin mendalam pada bagian bawah.
15
Gambar III.6 Erosi tahap dewasa pada Kompleks Pegunungan Tengger. Garis berwarna biru
menunjukkan alur sungai yang telah sangat intens mengerosi tubuh gunungapi
hingga membentuk lembahan yang sangat dalam.
16
dengan jelas diamati bentuk-bentuk muka bumi yang ada pada area analisis geomorfologi
ini (Gambar III.5).
Tatanan geologi khususnya mengenai pembagian satuan stratigrafi gunungapi pada area
pemetaan geologi akan mengacu pada satuan-satuan geomorfologi berikut ini:
17
satuan geomorfik ini. Satuan ini memiliki morfologi berupa dataran dengan torehan-torehan
aliran sungai dan gundukan-gundukan kecil hasil akumulasi debu vulkanik yang mengalami
transportasi oleh media hembusan angin dan aliran air. Satuan ini memiliki elevasi rata-rata
pada 2.120 mdpl. Litologi pada satuan ini didominasi oleh batuan/endapan piroklastik dan
terdapat batuan beku di bagian timur laut.
18
III.1.6.8 Satuan Dinding Kaldera Ngadisari
Satuan ini ditandai dengan warna biru pada peta geomorofologi. Satuan ini menempati 2,1%
area analisis geomorfologi. Satuan ini memiliki morfologi berupa dinding dengan
kemiringan yang sangat curam. Dinding ini tampak terpotong oleh Kaldera Tengger dan
Punggungan sisa kerucut Gunungapi Argowulan. Litologi pada satuan ini terdiri atas
batuan/endapan piroklastik dan batuan beku yang membentuk perlapisan.
19
Gambar III.7 Foto satuan geomorfologi.
20
III.2 VULKANOSTRATIGRAFI
Analisis terhadap sebaran dan deskripsi satuan batuan/endapan digunakan sebagai dasar
untuk menginterpretasikan karakter erupsi gunungapi dan mekanisme pengendapannya.
Karakter erupsi gunungapi dibedakan menjadi eksplosif dan efusif. Sementara, mekanisme
pengendapan satuan/batuan gunungapi dibedakan menjadi aliran atau jatuhan. Interpretasi-
interpretasi tersebut mengacu pada prinsip yang dijelaskan oleh Lockwood dan Hazlet
(2010).
21
Umur relatif antar satuan batuan/endapan ditentukan berdasarkan posisi stratigrafinya dan
hubungan potong-memotong antar satuan batuan/endapan tersebut. Berdasarkan posisi
stratigrafinya, satuan batuan/endapan yang lebih muda akan diendapakan pada bagian paling
atas. Sementara itu, berdasarkan hubungan potong-memotongnya, batuan yang lebih muda
akan memotong satuan batuan/endapan yang lebih tua. Selain itu, masing-masing satuan
batuan/endapan akan diamati kesamaan sebarannya dengan peta geologi lembar Malang
(Santosa dan Suwarti, 1992) untuk mengetahui kesetaraan umurnya.
Area penelitian dibagi menjadi tiga khuluk yakni Khuluk Tengger, Khuluk Cemorolawang,
dan Khuluk Bromo (Tabel III.1). Terdapat dua bentukan kaldera yang diinterpretasikan
sebagai morfologi yang terbentuk akibat berakhirnya suatu periode kegiatan vulkanisme,
yaitu Kaldera Ngadisari dan Kaldera Lautan Pasir. Khuluk Tengger ber-evolusi membentuk
Kaldera Ngadisari. Khuluk Cemorolawang terdiri atas Gumuk Argowulan dan Gumuk
Cemorolawang yang terbentuk di dalam Kaldera Ngadisari. Aktivitas Gumuk
Cemorolawang berakhir dengan pembentukan Kaldera Lautan Pasir. Khuluk Bromo terdiri
atas lima gumuk, yaitu Gumuk Widodaren, Gumuk Kursi, Gumuk Segarawedi, Gumuk
Batok, dan Gumuk Bromo yang terbentuk di dalam Kaldera Lautan Pasir. Masing-masing
Khuluk dan Gumuk tersusun atas batuan/endapan gunungapi berupa batuan beku dan batuan
piroklastik yang terbagi menjadi beberapa satuan batuan/endapan. Berikut ini penjelasan
mengenai satuan batuan/endapan yang terpetakan pada peta geologi dengan urutan dari yang
paling tua hingga yang paling muda.
22
Tabel III.1 Korelasi pada satuan peta geologi.
Pada dinding Kaldera Lautan Pasir bagian barat dapat diamati perlapisan antara batuan
piroklastik dan batuan beku (Gambar III.8). Batuan Piroklastik pada singkapan tersebut
menunjukkan perlapisan tuf berwarna abu-abu yang secara umum dalam kondisi segar
hingga agak lapuk, memiliki tekstur pemilahan baik, sortasi baik, dan struktur perlapisan
yang menghalus keatas. Perlapisan tuf ini tersusun atas debu halus hingga lapilli berupa
fragmen litik andesitik yang terkonsolodasi dengan baik hingga lepas-lepas. Batuan beku
pada singkapan tersebut menunjukkan batuan berupa lava andesitik berwarna abu-abu yang
memiliki kekar-kekar.
23
Gambar III.8 Singkapan Satuan Khuluk Tengger pada pos pengamatan D17-J.
Selain pada singkapan tersebut di atas, penyusun satuan batuan ini juga dijelaskan pada
(Lampiran A4) dan deskripsi sayatan tipisnya pada (Lampiran B). Berdasarkan sebaran dan
karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini diinterpretasikan sebagai hasil
erupsi eksplosif dan efusif yang diendapkan dengan mekanisme jatuhan dan aliran sehingga
membentuk tubuh gunungapi berbentuk strato. Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini
dengan persebaran pada peta geologi lembar Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka
satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala Plistosen Akhir.
a. Gumuk Argowulan
Satuan Aliran Piroklastik Argowulan (Aa)
Satuan ini menempati 4,74% dari area peta geologi. Satuan ini melingkupi sebagian besar
bentukan kawah Gunung Argowulan. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna
24
biru tua dan ditandai dengan keterangan “Aa”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat
pada dinding kawah Gunung Argowulan bagian utara dengan dengan kode pos pengamatan
D18-A (Lampiran A1). Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini
memiliki ketebalan 30-125 meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa breksi tuf (Gambar III.9). Secara umum
satuan ini ditemukan dalam kondisi lapuk dan berwarna coklat. Breksi tuf pada satuan ini
tersusun atas fragmen litik andesitik dan skoria, tertanam dalam matriks berupa debu kasar.
Tekstur dari fragmen penyusunnya menyudut hingga membundar tanggung dengan
pemilahan buruk dan kemas terbuka.
Gambar III.9 Singkapan Satuan Aliran Piroklastik pada Gumuk Argowulan yang berada
di pos pengamatan D18-A (Lampiran A1).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme aliran.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Plistosen Akhir.
25
b. Gumuk Cemorolawang
Satuan Aliran Piroklastik Cemorolawang (Ca)
Satuan ini menempati 8,06% dari area peta geologi. Satuan ini melingkupi sebagian besar
wilayah Ngadisari. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna hijau dan ditandai
dengan keterangan “Ca”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat pada Sungai Jetis
dengan dengan kode pos pengamatan D29-E (Lampiran A1). Berdasarkan rekonstruksi
penampang peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 8-120 meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa breksi piroklastik (Gambar III.10). Secara
umum satuan ini ditemukan dalam kondisi lapuk dan berwarna coklat terang. Breksi
piroklastik pada satuan ini tersusun atas fragmen litik andesitik, tertanam dalam matriks
berupa debu kasar. Tekstur dari fragmen penyusunnya menyudut tanggung hingga
membundar tanggung , kemas terbuka, pemilahan buruk, dan menunjukkan normal gradded
bedding.
Gambar III.10 Singkapan Satuan Aliran Piroklastik pada Gumuk Cemorolawang yang
berada di pos pengamatan D29-E (Lampiran A1).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme aliran.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
26
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Plistosen Akhir.
a. Gumuk Widodaren
Satuan Jatuhan Piroklastik Widodaren (Wj)
Satuan ini menempati 11,99% dari area peta geologi. Satuan ini melingkupi sebagian besar
tubuh Gunung Widodaren. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna biru dan
ditandai dengan keterangan “Wj”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat pada lereng
bagian barat Gunung Widodaren dengan kode pos pengamatan D05-C (Lampiran A1).
Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 25-345
meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa tuf yang menunjukkan perlapisan (Gambar
III.11). Secara umum satuan ini ditemukan dalam kondisi segar hingga agak lapuk, berwarna
abu-abu hingga kecoklatan. Tuf pada satuan ini tersusun atas butiran debu halus - debu kasar,
pemilahan baik, terdapat struktur paralel laminasi, dan silang siur. Selain itu juga terdapat
sisipan lapisan skoria dengan tebal 8-15 cm.
Sayatan tipis pada tuf dengan kode D05-C (Gambar III.12) menunjukkan bahwa batuan
adalah tuf kristal (Le Maitre, 2002) dengan karakteristik tekstur klastik, terpilah sedang-baik,
kemas terbuka, dan porositas (10%). Tuf kristal ini tersusun atas plagioklas (30%), piroksen
(10%), mineral opak (5%), litik (2%), dan gelas (43%).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme jatuhan.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
27
Gambar III.11 Singkapan Satuan Jatuhan Piroklastik pada Gumuk Widodaren yang
berada di pos pengamatan D05-C (Lampiran A1).
Gambar III.12 Sayatan tipis Batuan Piroklastik pada Gumuk Widodaren dengan kode
D05-C (Lampiran B).
b. Gumuk Kursi
Satuan Jatuhan Piroklastik Kursi (Kj)
Satuan ini menempati 4,98% dari area peta geologi. Satuan ini melingkupi sebagian besar
tubuh Gunung Kursi. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna merah muda
dan ditandai dengan keterangan “Kj”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat pada
28
lereng bagian timur Gunung Kursi dengan dengan kode pos pengamatan D21-B (Lampiran
A1). Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 18-
166 meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa tuf yang menunjukkan perlapisan (Gambar
III.13). Secara umum satuan ini ditemukan dalam kondisi segar hingga agak lapuk, tersusun
atas perlapisan selang-seling antara tuf berwarna abu-abu dan coklat. Tuf pada satuan ini
tersusun atas butiran debu halus - debu kasar, pemilahan baik, struktur berupa paralel
laminasi, dan menghalus keatas. Tebal masing-masing lapisan tuf berkisar antara 8-15 cm.
Gambar III.13 Singkapan Satuan Jatuhan Piroklastik pada Gumuk Kursi yang berada di
pos pengamatan D21-B (Lampiran A1).
Sayatan tipis pada tuf dengan kode D21-B (Gambar III.14) menunjukkan bahwa batuan
adalah tuf gelas (Le Maitre, 2002) dengan karakteristik tekstur klastik, terpilah sedang-
buruk, kemas terbuka dengan porositas (15%). Tuf gelas ini tersusun atas butiran plagioklas
(15%), piroksen (5%), mineral opak (5%), dan gelas (60%).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme jatuhan.
29
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
Gambar III.14 Sayatan tipis batuan piroklastik pada Gumuk Widodaren dengan kode D21-
B (Lampiran B).
c. Gumuk Segarawedi
Satuan Aliran Piroklastik Segarawedi (Sa)
Satuan ini menempati 2,85% dari area peta geologi. Satuan ini melingkupi sebagian besar
tubuh Gunung Segarawedi. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna hijau
muda dan ditandai dengan keterangan “Sa”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat
pada dinding kawah Gunung Segarawedi bagian timur dengan dengan kode pos pengamatan
D21-G (Lampiran A1). Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini
memiliki ketebalan 12-115 meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa breksi piroklastik (Gambar III.15). Secara
umum satuan ini ditemukan dalam kondisi sedikit lapuk dan berwarna abu-abu kecoklatan.
Breksi piroklastik pada satuan ini tersusun atas fragmen litik andesitik, pumis, dan skoria,
tertanam dalam matriks berupa debu kasar hingga lapilli. Tekstur dari fragmen penyusunnya
menyudut hingga membundar tanggung dengan pemilahan buruk dan kemas terbuka.
Sayatan tipis pada matriks dari breksi piroklastik dengan kode D21-G (Gambar III.16)
menunjukkan bahwa batuan adalah lapilli tuf (Le Maitre, 2002) dengan karakteristik tekstur
klastik, terpilah buruk, kemas terbukan, dan porositas (16%). Lapili tuf ini tersusun atas
fragmen litik pumis (48%), plagioklas (5%), piroksen (1%), mineral opak (2%), dan matriks
berupa gelas (30%).
30
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme aliran.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
Gambar III.15 Singkapan Satuan Aliran Piroklastik pada Gumuk Segarawedi yang berada
di pos pengamatan D21-G (Lampiran A1).
Gambar III.16 Sayatan tipis matriks batuan piroklastik pada Gumuk Segarawedi dengan
kode D21-G (Lampiran B).
31
d. Gumuk Batok
Satuan Jatuhan Piroklastik Batok (Baj)
Satuan ini menempati 1,54% dari area peta geologi. Satuan ini membentuk tubuh Gunung
Batok. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna oranye dan ditandai dengan
keterangan “Baj”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat pada lereng Gunung
Segarawedi bagian bagian barat dengan kode pos pengamatan D21-G (Lampiran A1).
Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 12 -250
meter.
Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berupa perlapisan antara breksi tuf dan breksi
piroklastik (Gambar III.17). Secara umum satuan ini ditemukan dalam kondisi segar hingga
sedikit lapuk dan berwarna hitam dan hitam kemerahan. Batuan piroklastik pada satuan ini
tersusun atas fragmen skoria dan litik basaltik, tertanam dalam matriks berupa debu kasar.
Tekstur dari fragmen penyusunnya menyudut hingga membundar tanggung dengan
pemilahan buruk dan kemas tertutup.
Sayatan tipis pada batuan dengan kode D10-C (Gambar III.18) menunjukkan bahwa batuan
adalah skoria (Le Maitre, 2002) dengan karakteristik tekstur hipokristalin, porfiritik,
glomeroporfiritik, hyalopilitik, intergranular, intersertal, poikilitik. Fenokris terdiri atas
plagioklas (8%), piroksen (6%), mineral opak (1%) dengan masadasar terdiri atas plagioklas
(3%), gelas (13%), piroksen (2%), mineral opak (2%). Struktur vesikuler (65%) berbentuk
membulat – membulat tanggung.
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme jatuhan.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
32
Gambar III.17 Singkapan Satuan Jatuhan Piroklastik pada Gumuk Batok yang berada di
pos pengamatan D10-C (Lampiran A1).
Gambar III.18 Sayatan tipis skoria pada Gumuk Batok dengan kode D10-C(Lampiran B).
e. Gumuk Bromo
Satuan Aliran Lava Bromo (Brl)
Satuan ini menempati 2,83% dari area peta geologi. Satuan ini berada pada dasar Gunung
Bromo hingga dasar Kaldera Lautan Pasir bagian timur. Pada peta geologi (Lampiran A3),
satuan ini berwarna merah dan ditandai dengan keterangan “Brl”. Singkapan yang mewakili
satuan ini terdapat pada daerah Watu Kuto di Dataran Kaldera Lautan Pasir dengan kode pos
33
pengamatan D09-C (Lampiran A1). Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi,
satuan ini memiliki ketebalan 14-30 meter.
Satuan ini terdiri dari batuan beku berupa lava basaltik (Gambar III.19). Secara umum satuan
ini ditemukan dalam kondisi segar dan berwarna abu-abu gelap. Batuan beku pada satuan
ini tersusun atas fenokris berupa olivin dan plagioklas yang tertanam dalam masadasar
afanitik berwarna abu-abu gelap. Struktur vesikuler berbentuk memanjang, memiliki kekar-
kekar yang orientasinya relatif tegak lurus terhadap arah memanjang rongga. Pada aliran
lava ini juga ditemukan beberapa xenolith berupa andesit porfiritik.
Gambar III.19 Singkapan Satuan Aliran Lava pada Gumuk Bromo yang berada di pos
pengamatan D09-C (Lampiran A1).
Sayatan tipis pada batuan dengan kode D09-C (Gambar III.20) menunjukkan bahwa batuan
adalah basalt porfiritik (Le Maitre, 2002) dengan karakteristik tekstur hipokristalin,
porfiritik, glomeroporfiritik, intergranular, intersertal, trakitik. Fenokris terdiri atas
plagioklas (3%), piroksen (1%), olivin (1%), mineral opak (1%) dengan masadasar terdiri
atas plagioklas (28%), piroksen (4%), olivin (3%), opak (2%) dan gelas (50%). Terdapat
struktur vesikuler (7%).
34
Gambar III.20 Sayatan tipis batuan Lava pada Gumuk Bromo dengan kode D09-C
(Lampiran B).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan beku pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi efusif yang diendapkan dengan mekanisme aliran. Jika
diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar Malang
(Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
Satuan ini menempati 56,03% dari area peta geologi. Satuan ini merupakan produk dari
aktivitas terakhir Gunung Bromo yang sebarannya melingkupi tubuh Gunung Bromo dan
sekitarnya. Pada peta geologi (Lampiran A3), satuan ini berwarna kuning dan ditandai
dengan keterangan “Brj”. Singkapan yang mewakili satuan ini terdapat pada lereng bagian
bagian timur laut Gunung Bromo dengan kode pos pengamatan D13-C (Lampiran A1).
Berdasarkan rekonstruksi penampang peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 9 – 73
meter.
Satuan ini terdiri dari endapan piroklastik berupa abu vulkanik yang menunjukkan perlapisan
(Gambar III.21). Secara umum satuan ini ditemukan dalam kondisi segar, tersusun atas
selang-seling perlapisan antara abu vulkanik berwarna abu-abu, kuning, dan coklat. Abu
vulkanik pada satuan ini tersusun atas butiran debu halus - debu kasar dan lapilli, pemilahan
baik dan struktur berupa paralel laminasi yang masing-masing lapisan memiliki tebal
berkisar antara 30-150 cm.
35
Sayatan tipis pada abu vulkanik dengan kode D13-C (Gambar III.22) menunjukkan bahwa
sampel ini memiliki karakteristik tekstur klastik, pemilahan buruk, butiran berbentuk
menyudut hingga menyudut tanggung dengan ukuran 0,025 – 6 mm. Sampel ini terdiri atas
butiran litik (7%), plagioklas (25%), piroksen (20%), mineral opak (7%), dan gelas (41%).
Gambar III.21 Singkapan Satuan Jatuhan Piroklastik pada Gumuk Bromo yang berada di
pos pengamatan D13-C (Lampiran A1).
Gambar III.22 Sayatan tipis pada abu vulkanik Gumuk Bromo dengan kode D13-C
(Lampiran B).
Berdasarkan sebaran dan karakteristik litologinya, batuan piroklastik pada satuan ini
diinterpretasikan sebagai hasil erupsi eksplosif yang diendapkan dengan mekanisme jatuhan.
Jika diamati kesamaan persebaran satuan ini dengan persebaran pada peta geologi lembar
Malang (Santosa dan Suwarti, 1992), maka satuan ini diinterpretasikan diendapkan pada kala
Holosen.
36
III.2.2 Stratigrafi masing-masing Gumuk dalam Kaldera Lautan Pasir
Profil stratigrafi dari masing-masing Gumuk dalam Kaldera Lautan Pasir disusun berdasarkan hasil observasi pada satuan batuan/endapan
terpetakan dan satuan batuan/endapan yang tak terpetakan. Berikut ini profil stratigrafi dari masing-masing Gumuk dalam Kaldera Lautan Pasir
(Gambar III.23). Gumuk-gumuk di dalam Kaldera Lautan Pasir ini memiliki kemiripan karakteristik stratigrafi, yaitu terdapat hasil aktivitas erupsi
efusif berupa aliran lava pada bagian bawah dan diatasnya terdapat hasil aktivitas erupsi eksplosif berupa aliran piroklastik dan jatuhan piroklastik.
37
III.2.3 Perbedaan komposisi penyusun satuan Batuan/Endapan
Masing-masing satuan batuan/endapan yang ada pada area penelitian memiliki karakteristik
litologi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan dampak dari variasi komposisi
magma, tipe erupsi, mekanisme pengendapan, dan proses-proses yang terjadi setelahnya.
Dalam memahami perbedaan pada masing-masing satuan batuan/endapan, maka dilakukan
analisis melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis.
Pengamatan secara mikroskopis dilakukan pada beberapa sampel yang mewakili satuan
batuan/endapan pada masing-masing gumuk (Lampiran B). Secara umum sayatan tipis
batuan piroklastik tersusun atas kristal mineral, gelas, dan litik. Komposisi masing-masing
sampel menunjukkan perbedaan kelimpahan (Tabel III.3). Sementara sayatan tipis pada
batuan beku didominasi oleh plagioklas, piroksen, mineral opak, dan gelas serta beberapa
sampel menunjukkan kehadiran olivin dan hornblenda (Tabel III.4).
38
Tabel III.3 Kelimpahan komponen batuan piroklastik berdasarkan pengamatan sayatan tipis.
Mineral
Gelas Litik Porositas
Gumuk Litologi Kode Olivin Piroksen Hornblenda Plagioklas Mineral (%) (%) (%)
(%) (%) (%) (%) Opak (%)
Bromo Abu vulkanik D13-C 20 25 7 41 7
Segarawedi Lapili Tuff D21-G 1 5 30 48 16
Kursi Tuf D21-B 5 15 5 60 15
Widodaren Tuf D05-C 10 30 5 43 2 10
Tabel III.4 Kelimpahan komponen batuan beku berdasarkan pengamatan sayatan tipis.
Mineral
Gelas Vesikuler
Khuluk Gumuk Litologi Kode Olivin Piroksen Hornblenda Plagioklas Mineral
(%) (%)
(%) (%) (%) (%) Opak (%)
Basaltik D16-E 12 19 1 28 40
Bromo
Basaltik D09-C 4 5 31 3 50 7
Batok Basaltik D10-C 8 11 3 13 65
Bromo
Segarawedi Andesitik D27-E 1 7 38 4 32 15
Kursi Basaltik D24-A 3 10 55 10 24 3
Widodaren Basaltik D25-E 20 45 5 10 20
Cemorolawang Andesitik D22-A 15 50 5 30
Cemaralawang Argowulan Andesitik D19-F 15 35 5 38 7
Andesitik D15-B 7 1 55 5 32
Andesitik D17-F 15 55 15 15
Andesitik D17-F2 20 38 2 38 2
Tengger Andesitik D26-A 7 50 5 33 5
39
III.3 STRUKTUR GEOLOGI
Tatanan geologi pada bentang alam gunungapi juga dipengaruhi oleh pembentukan dan
keberadaan struktur geologi. Struktur geologi merupakan kondisi arsitektural dan
kenampakan dari suatu tubuh batuan. Berdasarkan mekanisme pembentukannya, struktur
geologi dibagi menjadi dua, yaitu struktur geologi primer dan struktur geologi sekunder.
Berikut ini penjelasan mengenai keberadaan struktur geologi pada area penelitian.
Keberadaan struktur geologi primer pada batuan piroklastik berhubungan dengan proses
pengendapan batuan tersebut. Laminasi sejajar terbentuk akibat adanya sortasi pada saat
proses transportasi jatuhnya piroklas-piroklas. Sementara itu, piroklas-piroklas yang
mengalami transportasi dengan mekanisme traksi akan cenderung membentuk struktur
silang siur (McPhie dkk., 1993).
Keberadaan struktur geologi primer pada batuan beku berhubungan dengan proses
pembentukan batuan tersebut. Vesikuler merupakan gelembung gas yang terjebak saat
pembekuan batuan. Gelembung-gelembung ini terbentuk akibat adanya pengurangan
tekanan pada larutan magma yang menuju permukaan, selain itu kristalisasi mineral juga
akan meningkatkan proporsi volatil yang berada pada cairan hingga berada diatas batas
ambang saturasi (Lockwood dan Hazlett, 2010). Aliran lava akan cenderung mengalami
fragmentasi pada beberapa bagiannya. Kekar kolom terbentuk akibat adanya proses
kontraksi akibat pendinginan pada aliran lava. Fragmentasi terjadi pada bagian dari lava
yang lebih dingin, lebih kental, atau mengalami laju regangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian lava disekitarnya. Proses ini cenderung mempengaruhi bagian
permukaan dari suatu aliran lava dan membentuk fragmentasi yang berbentuk blok
(autobreksi) maupun berlembar (kekar berlembar) (McPhie dkk., 1993).
40
Gambar III.23 Struktur geologi primer pada area penelitian.
Gambar III.24 Kenampakan konfigurasi struktur geologi primer pada area penelitian.
41
Kaldera merupakan bentuk muka bumi akibat menghilangnya bagian dari tubuh gunungapi
tersebut. Berdasarkan mekanisme pembentukannya, kaldera menurut Lockwood dan Hazlet
(2010) digolongkan menjadi dua yaitu drainage caldera dan explosive caldera. Kaldera
Lautan Pasir dan Kaldera Ngadisari merupakan explosive caldera yang terbentuk akibat
runtuhnya tubuh gunungapi setelah terjadinya erupsi eksplosif yang mengurangi volume
cairan magma di dalam gunungapi secara signifikan. Hal ini didukung dengan adanya
penelitian oleh Hadisantono (1990) yang menyatakan bahwa ignimbrit yang berada di
wilayah Sukapura dan sekitarnya merupakan hasil dari erupsi yang memicu runtuhnya tubuh
Gunung Tengger.
42
BAB IV
PETROGENESIS
IV.1 PENDAHULUAN
Petrogenesis merupakan cabang ilmu petrologi yang membahas mengenai asal dan
pembentukan batuan. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, batuan-batuan yang
ada pada area penelitian didominasi oleh batuan beku dan batuan piroklastik. Batuan-batuan
ini terbentuk dari magma di bawah permukaan tatanan gunungapi yang telah mengalami
serangkaian proses. Komposisi magma juga akan dipengaruhi oleh komposisi kerak dari
tatanan tektonik tempat aktivitas magmatisme tersebut berlangsung (Wilson, 2007). Kajian
petrogenesis ini bertujuan untuk mengetahui proses-proses yang terjadi dan tatanan tektonik
selama pembentukan Kompleks Gunung Bromo dan sekitarnya. Pada penelitian ini, kajian
petrogenesis yang akan dibahas meliputi seri magma, diferensiasi magma, dan tatanan
tektoniknya.
43
laba-laba yang selanjutnya dilakukan interpretasi untuk memahami seri magma, proses
diferensiasi dan tatanan tektonik pada area penelitian.
Tabel IV.1 Komposisi plagioklas pada sampel sayatan tipis batuan beku.
Kode Komposisi
Periode Kegiatan Khuluk Gumuk
Sampel Plagioklas
44
Penentuan komposisi plagioklas ini dilakukan dengan menggunakan metode Michel-Levy
yang dijelaskan dalam Kerr (1977). Metode ini memanfaatkan pemadaman dari kristal-
kristal plagioklas untuk mengestimasi komposisi plagioklas. Hasil analisis ini dinyatakan
dalam perbandingan batas atas dan batas bawah dari komposisi anortit pada suatu sampel
batuan yang diamati.
a. Kristalinitas
Batuan beku memiliki derajat kristalinitas yang bervariasi antara sepenuhnya gelas
(holohyalin) hingga sepenuhnya kristal (holokristalin), beberapa batuan
menunjukkan derajat kristalinitas yang berada diantaranya (hipokristalin)
(MacKenzie dkk., 1982). Sebagian besar sampel yang dianalisis menunjukkan
derajat kristalinitas hipokristalin dan beberapa kristal menunjukkan holokristalin.
Magma yang membeku dapat membentuk kristal-kristal atau gelas. Pembentukan
kristal pada suatu larutan magma dimulai dengan proses nukleasi dan pertumbuhan
kristal, proses tersebut dikontrol oleh derajat pendinginan yang dialami oleh larutan
magma tersebut (Vernon, 2004). Semakin cepat pendinginan magma maka akan
cenderung membentuk gelas, demikian sebaliknya.
45
masing sampel sayatan tipis antara lain porfiritik, glomeroporfiritik, vitrofirik,
poikilitik, ofitik, dan sub-ofitik.
Tekstur porfiritik merupakan tekstur dimana kristal yang ukurannya relatif besar
(fenokris) dikelilingi oleh kristal-kristal yang berukuran halus pada masadasarnya
(MacKenzie dkk., 1982). Kristal-kristal pada suatu larutan magma yang sama
umumnya menunjukkan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal dengan derajat
yang sama pula (Vernon, 2004). Distribusi kristal pada suatu batuan yang memiliki
beberapa populasi ukuran kristal diinterpretasikan sebagai hasil dari adanya proses
pencampuran magma dan/atau asimilasi.
Tekstur vitrofirik merupakan variasi dari tekstur porfiritik dengan fenokris tertanam
pada masadasar berupa gelas (MacKenzie dkk., 1982). Gelas terbentuk melalui
proses pendinginan yang sangat cepat, hal ini dibuktikan dengan susunan atom pada
gelas yang menyerupai susunan atom pada larutan magma (Vernon, 2004). Dengan
demikian, tekstur vitrofirik diinterpretasikan sebagai hasil dari perubahan laju
pendinginan yang cenderung menjadi sangat cepat. Salah satu penyebab perubahan
laju ini adalah adanya proses asimilasi antara larutan magma dengan batuan
sekitarnya yang suhunya jauh lebih rendah.
Tekstur poikilitik merupakan tekstur dari suatu kristal yang relatif besar (oikris)
melingkupi beberapa kristal yang ukurannya relatif lebih kecil (kadakris)
(MacKenzie dkk., 1982). Tekstur ofitik merupakan variasi dari tekstur poikilitik
dimana kadakris yang tersusun secara acak diliputi oleh oikris seluruhnya. Sementara
46
tekstur sub-ofitik merupakan tekstur ofitik ketika kadakris tidak terlingkupi
seluruhnya oleh oikris (MacKenzie dkk., 1982). Hal ini merupakan efek dari
perbedaan rasio nukleasi dan pertumbuhan kristal antara oikris dan kadakris (Vernon,
2004). Kadakris cenderung untuk berhenti bertumbuh lebih dahulu dibandingkan
dengan oikris. Tekstur seperti ini tidak dapat digunakan untuk menentukan urut-
urutan pembentukan kristal, kecuali terdapat bukti berupa bekas reaksi (Vernon,
2004).
47
e. Rongga pada batuan
Batuan beku dapat memiliki rongga-rongga baik berisi maupun tidak, tekstur yang
menjelaskan rongga-rongga ini adalah tekstur vesikuler dan amigdaloidal
(MacKenzie dkk., 1982). Tekstur vesikuler menjelaskan keberadaan lubang-lubang
pada suatu tubuh batuan. Rongga-rongga ini merupakan akibat dari ekspansi gas
yang terlarut dalam magma. Ketika batuan tersebut membeku, gas-gas yang terlarut
dalam magma tersebut terjebak dan membentuk lubang-lubang. Tekstur
amigdaloidal menjelaskan bahwa rongga-rongga tersebut telah terisi oleh mineral-
mineral hasil aktivitas yang terjadi setelah pembekuan batuan berongga tersebut.
f. Fitur Mineral
Kristal mineral pada suatu batuan beku dapat memiliki fitur dan bentuk khas yang
dapat menggambarkan proses yang telah terjadi pada mineral tersebut. Beberapa fitur
mineral yang dapat diidentifikasi pada sampel sayatan tipis yaitu corona, growth
twinning, compositional zoning, sieve, dan embayed crystal.
Tekstur Corona menunjukkan adanya mineral yang diselubungi oleh mantel berupa
mineral lainnya. Hubungan ini merupakan bukti membekunya batuan ketika
berlangsungnya reaksi yang belum selesai antara mineral yang berada di bagian
dalam dengan larutan magma yang membeku di sekelilingnya (MacKenzie dkk.,
1982). Perubahan komposisi magma dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari
adanya proses diferensiasi magma berupa fraksionasi kristal apabila mineral yang
berada di bagian luar memiliki komposisi yang lebih asam. Sebaliknya, apabila
mineral yang berada dibagian luar memiliki komposisi yang lebih basa, maka dapat
diinterpretasikan sebagai akibat terjadinya proses pencampuran magma dan/atau
asimilasi.
48
Ketika magma mendingin, mineral yang merupakan hasil dari seri solid-solution
bereaksi secara kontinu dengan larutan magma disekitarnya. Proses difusi dan
pertukaran ion pada beberapa mineral umumnya terlalu lambat, sehingga hanya
bagian tepi dari kristal yang dapat menyetimbangkan kondisi dengan larutan
disekitarnya. Hal ini membentuk suatu kristal yang memiliki fitur compositional
zoning (Vernon, 2004). Compositional zoning dapat berupa concentric zoning,
patchy zoning, dan sector zoning. Umumnya, pertumbuhan suatu kristal akan
membentuk satu jenis compositional zoning, proses pencampuran magma akan
membuat jenis zonasi pada suatu kristal berubah (Vernon, 2004).
Tekstur sieve menunjukkan adanya inklusi gelas yang sangat banyak sehingga kristal
tersebut seolah tampak seperti spons atau berpori (MacKenzie dkk., 1982).
Berdasarkan bentuk dan ukuran inklusi gelasnya, tekstur ini terbagi menjadi fine sive
dan coarse sieve. Disolusi yang disebabkan oleh magma yang memiliki komposisi
berbeda menyebabkan kristal-krislal plagioklas memiliki tekstur sieve (Renjith,
2014).
49
Tabel IV.2 Keterdapatan tekstur batuan pada sampel batuan.
Tekstur Orientasi
Kristali- Tekstur pada batuan Tekstur
pengisi dan Fitur Mineral
nitas Inequigranular Rongga
celah kesejajaran
Compositional Zoning
Glomeroporfiritik
Growth Twinning
Embayed Crystal
Kode
Intergranular
Amigdaloidal
Hipokristalin
Holokristalin
Khuluk Gumuk
Intersertal
Vitrofirik
Vesikular
Porfiritik
Poikilitik
Subofitik
Takitoid
Trakitik
Corona
Ofitik
Sieve
Felty
Bromo D09-C ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Batok D10-C ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Bromo Segarawedi D27-E ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Kursi D24-A ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Widodaren D25-E ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Cemoro- Cemorolawang D22-A ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
lawang Argowulan D19-F ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
D26-A ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
D17-F2 ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Tengger
D15-F ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
D15-B ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
50
IV.3 PEMBAHASAN
Data geokimia dan hasil pengamatan sayatan tipis akan dielaborasikan untuk menjelaskan
petrogenesa pada area penelitian. Studi petrogenesa ini akan membahas mengenai seri
magma, diferensiasi magma, dan tatanan tektonik. Berikut ini penjelasan dari masing-
masing sub-bahasan.
Identifikasi mengenai sumber magma dari masing-masing batuan di area penelitian didekati
menggunakan analisis terhadap data geokimia batuan terutama unsur jejak inkompatibel.
Unsur inkompatibel merupakan unsur-unsur yang memiliki ukuran, muatan, dan valensi
yang susah untuk bergabung dalam struktur kristal pada mineral-mineral pembentuk batuan.
Sejak pelelehan parsial, unsur-unsur ini cenderung berada di cairan magma dan kecil
kemungkinan untuk berada di dalam struktur kristal (White dkk., 2018). Pada data unsur
jejak inkompatibel dilakukan analisis menggunakan plot bivariat. Unsur-unsur inkompatibel
cenderung tidak terpengaruh oleh proses fraksionasi kristal. Oleh karena itu, plot bivariat
dari dua unsur inkompatibel menunjukkan rasio konsentrasi unsur pada sumbernya
(Rollinson, 1993).
51
Plot bivariat yang dibuat antara lain adalah Ba-Rb, Nb-La, dan Zr-Nb (Gambar IV.1).
Seluruh plot bivariat ini menunjukkan nilai korelasi yang tinggi. Hal ini diinterpretasikan
bahwa masing-masing sampel batuan tersebut berasal dari suatu seri magma dengan sumber
magma yang sama.
Gambar IV.1 Plot bivariat pada unsur jejak inkompatibel. a) Ba-Rb. b) Nb-La. c) Zr-Nb.
52
IV.3.1.2 Klasifikasi dan Afinitas Batuan
Batuan-batuan pada suatu area akan memiliki karateristik yang berbeda-beda meskipun
dierupsikan dari sumber magma yang sama. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka
data geokimia yang mewakili masing-masing gumuk tersebut diklasifikasikan menggunakan
plot bivariat yaitu diagram TAS. Klasifikasi batuan menggunakan diagram TAS ini
memanfaatkan data senyawa oksida berupa total alkali (Na2O + K2O) dan kandungan silika
(SiO2) (Le Maitre, 2002). Hasilnya, menunjukkan bahwa sampel batuan yang mewakili
masing-masing gumuk terdiri atas Basalt, Basaltik Andesit, Basaltik Traki-andesit, dan
Traki-andesit (Gambar IV.2).
Selain klasifikasi penamaan batuan, data geokimia juga dapat digunakan untuk menentukan
afinitas batuan. Secara umum kelompok batuan dibagi menjadi dua afinitas utama, yaitu
alkaline, dan sub-alkaline. Untuk menentukan afinitas batuan masing-masing sampel maka
digunakan garis diskriminan yang di ajukan oleh Irvine dan Baragar (1971; dalam Rollinson,
1993). Diagram ini membagi seri alkaline dan sub-alkaline pada diagram TAS (Gambar
IV.3). Hasilnya, seluruh sampel terletak di bawah garis diskriminan afinitas, hal ini
menunjukkan bahwa afinitas batuan untuk seluruh sampel termasuk dalam sub-alkaline.
53
Afinitas batuan sub-alkaline dapat dibagi lagi menjadi low-K tholeiite, calc-alkaline, high K
calc-alkaline dan shosonite. Untuk mendiskriminasi data geokimia sampel batuan tersebut
maka digunakan diagram diskriminasi afinitas magma menurut Peccerilo dan Taylor (1976;
dalam Rollinson, 1993). Hasilnya, data geokimia sampel batuan tersebut tergolong dalam
seri calc-alkaline dan high K calc-alkaline.
Gambar IV.3 Afinitas batuan berdasarkan diagram K2O – SiO2 dengan batas klasifikasi
menurut Peccerillo dan Taylor (1976).
Perubahan karakteristik batuan yang terekam dalam data geokimia batuan dan sayatan tipis
batuan dapat menggambarkan proses-proses diferensiasi magma yang telah terjadi. Dalam
menginterpretasikan proses diferensiasi yang terjadi pada area penelitian maka digunakan
data geokimia dan hasil pengamatan sayatan tipis. Data geokimia yang digunakan berupa
senyawa oksida yang terdiri dari unsur-unsur yang mendominasi komposisi mineral-mineral
54
penyusun batuan. Sementara itu, hasil pengamatan sayatan tipis yang digunakan adalah
komposisi plagioklas dan tekstur batuan. Data tersebut diamati berdasarkan urutan waktu
pembentukan batuannya. Hal ini dilakukan agar proses diferensiasi dapat diinterpretasikan
sesuai urutan waktu kejadiannya.
Analisis menggunakan data geokimia berupa senyawa oksida menunjukkan adanya fluktuasi
pada kandungan masing-masing senyawa oksida seiring waktu (Gambar IV.4). Pola
perubahan komposisi senyawa SiO2, K2O, dan Na2O relatif sama. Komposisi senyawa
Fe2O3, CaO, dan MgO juga memiliki pola fluktuasi yang relatif sama dan cenderung
menunjukkan pola yang berlawanan dengan SiO2, K2O, dan Na2O. Peningkatan komposisi
SiO2, K2O dan Na2O serta penurunan Fe2O3, CaO, dan MgO diinterpretasikan sebagai hasil
dari proses diferensiasi magma berupa fraksionasi kristal. Sebaliknya penurunan komposisi
SiO2, K2O dan Na2O serta peningkatan Fe2O3, CaO, dan MgO diinterpretasikan sebagai hasil
dari proses diferensiasi magma berupa pencampuran magma dan/atau asimilasi.
55
Gambar IV.4 Fluktuasi Senyawa Oksida pada Masing-Masing Gumuk Seiring Waktu.
56
IV.3.2.2 Evolusi Komposisi Plagioklas
Plagioklas merupakan mineral yang sering dijumpai dalam batuan beku vulkanik. Plagioklas
terdiri dari deret kontinu antara anortit (kaya unsur Ca) dan albit (kaya unsur Na). Seiring
mendinginnya magma, plagioklas cenderung ber-evolusi dari anortit menuju albit. Dengan
melakukan analisis perubahan komposisi plagioklas seiring waktu, maka proses diferensiasi
dapat diinterpretasikan.
Gambar IV.5 Fluktuasi komposisi kandungan anortit pada masing-masing gumuk seiring
waktu.
57
IV.2.2.3 Bukti Tekstur Batuan
Tekstur batuan dan fitur-fitur pada mineral dapat menggambarkan proses diferensiasi
magma yang terjadi. Pada sampel batuan sayatan tipis dapat diindentifikasi beberapa tekstur
batuan dan fitur-fitur mineral yang diinterpretasikan sebagai hasil dari suatu proses
diferensiasi (Gambar IV.6).
Aktivitas magmatisme pada Khuluk Tengger didominasi oleh proses fraksionasi kristal dan
pencampuran magma, hal ini diinterpreasikan dari adanya tekstur porfiritik dan fine sieve
pada sampel yang mewakili Khuluk Tengger. Aktivitas magmatisme yang terjadi pada
Gumuk Argowulan adalah fraksionasi kristal dan pencampuran magma, hal ini
diinterpretasikan dari adanya tekstur fine sieve dan embayed crystal. Aktivitas magmatisme
selanjutnya terjadi pada pembentukan Gumuk Cemorolawang. Aktivitas ini menunjukkan
adanya diferensiasi berupa fraksionasi kristal dan pencampuran magma, hal ini
diinterpretasikan dari adanya tekstur porfiritik. Pembentukan Kaldera Lautan Pasir membuat
suplai magma baru memiliki waktu yang cukup untuk membentuk kristal-kristal dengan
ukuran yang lebih besar. Hal ini terlihat pada sampel yang mewakili Gumuk Widodaren
yang memiliki dominasi kristal yang berukuran relatif lebih besar. Selain itu pembentukan
Gumuk Widodaren juga melibatkan proses diferensiasi berupa fraksionasi kristal dan
pencampuran magma, Hal ini diinterpretasikan dari adanya tekstur fine sieve dan patchy
zoning. Aktivitas magmatisme berlanjut dengan proses diferensiasi berupa fraksionasi kristal
dan pencampuran magma hingga membentuk Gumuk Kursi, hal ini diinterpretasikan
berdasarkan adanya tekstur fine sieve dan patchy zoning. Pada pembentukan Gumuk
Segarawedi aktivitasi magmatisme didominasi oleh proses diferensiasi berupa fraksionasi
kristal dan pencampuran magma, hal ini diinterpretasikan oleh keberadaan tekstur fine sieve
dan fine oscillatory zoning. Tekstur fine sieve dan coarse sive yang di temukan pada sayatan
tipis yang mewakili Gumuk Batok diinterpretasikan sebagai hasil adanya proses diferensiasi
berupa fraksionasi krisal dan pencampuran magma. Proses diferensiasi berupa fraksionasi
kristal dan pencampuran magma terus berlangsung hingga pembentukan Gumuk Bromo, hal
ini diinterpretasikan dari adanya tekstur coarse sieve dan embayed crystal.
58
Gambar IV.6 Tekstur batuan penciri proses diferensiasi magma pada tiap gumuk.
59
IV.2.2.4 Interpretasi Diferensi Magma
Proses diferensiasi magma akan mengubah karakter batuan baik dari komposisi kimianya
maupun kenampakannya pada sayatan tipis. Hasil analisis dan interpretasi terhadap fluktuasi
data senyawa oksida, komposisi kandungan plagioklas, dan tekstur batuan dirangkum dalam
(Tabel IV.3). Ketiga pendekatan interpretasi terebut kemudian dielaborasikan sehingga
proses diferensiasi pada area penelitian dapat diketahui. Hasilnya, diferensiasi magma pada
area penelitian terdiri atas proses fraksionasi kristal, pencampuran magma dan/atau
asimilasi.
Tabel IV.3 Interpretasi diferensiasi magma.
Satuan Stratigrafi
Interpretasi Interpretasi Interpretasi
Periode Interpretasi
Major Tekstur Diferensiasi
Kegiatan Khuluk Gumuk An Content
Element Mineral Magma
Pasca Cemoro-
F + M/A F + M/A F +M F + M/A
Pembentukan Cemoro- lawang
Kaldera lawang
Argowulan F + M/A F F+M F + M/A
Ngadisari
Tengger F F F +M F + M/A
Keterangan :
F = Fraksionasi Kristal; M = Pencampuran Magma; A = Asimilasi
Analisis tatanan tektonik pada area penelitian akan berdasarkan data geokimia dan didukung
dengan hasil pengamatan sayatan tipis batuan. Sampel-sampel yang digunakan untuk
menganalisis tatanan tektonik adalah sampel batuan basalt, karena sampel batuan basalt ini
60
merupakan batuan yang diasumsikan belum mengalami proses diferensiasi secara signifikan.
Sehingga, penggunaan data geokimia pada sampel basalt dapat mendekati komposisi magma
primer hasil pelelehan parsial batuan pada lempeng-lempeng yang berinteraksi. Berdasarkan
klasifikasi batuan menggunakan diagram TAS maka batuan yang merupakan basalt adalah
sampel yang mewakili Gumuk Bromo, Batok, Segarawedi, dan Kursi. Data geokimia dari
ke-empat sampel ini akan digunakan untuk menganalisis tatanan tektonik menggunakan
beberapa plot diagram variasi tektonomagmatik dan diagram laba-laba.
Gunungapi dapat terbentuk pada batas-batas lempeng tektonik maupun di tengah lempeng
tektonik. Berdasarkan hasil plot data geokimia pada diagram Zr/Y -Ti/Y menurut Pearce dan
Gale (1977; dalam Rollinson, 1993) sampel batuan basalt yang mewakili masing-masing
Gumuk tersebut berasal dari aktivitas magmatisme pada batas lempeng (plate margin basalt)
(Gambar IV.7).
Gambar IV.7 Plot data geokimia pada diagram Zr/Y – Ti/Y (Pearce dan Gale, 1977;
dalam Rollinson, 1993).
Hal ini juga didukung dengan hasil plot data geokimia pada diagram Nb/Y – Ti/Y (Pearce
1982; dalam Rollinson, 1993) yang menunjukkan masing-masing sampel batuan basalt
merupakan batuan hasil dari aktivitas vulkanisme pada busur gunungapi (Gambar IV.8).
Busur gunungapi terbentuk akibat adanya proses subduksi antara dua lempeng yang berbeda
densitas. Hal ini juga didukung dengan adanya tekstur porfiritik pada seluruh sampel batuan.
Tekstur porfiritik ini merupakan penciri utama batuan-batuan yang merupakan hasil dari
magmatisme akibat adanya proses subduksi (Wilson, 2007). Diagram ini juga secara tidak
61
langsung menyatakan bahwa sampel batuan basalt tersebut bukan hasil aktivias magmatisme
pada MORB dan gunungapi pada tengah lempeng.
Gambar IV.8 Plot data geokimia pada diagram Nb/Y – Ti/Y menurut Pearce (1982; dalam
Rollinson, 1993).
Subduksi dapat terjadi antara lempeng samudra dengan lempeng benua maupun antara
lempeng samudra dengan lempeng samudra. Subduksi lempeng samudra ke bawah lempeng
benua menghasilkan aktivitas magmatisme yang membentuk busur gunungapi batas benua
(continental arc margin). Sedangkan subduksi yang terjadi antara lempeng samudra dengan
lempeng samudra akan menghasilkan busur gunungapi kepulauan (island arc). Data
geokimia sampel yang diplot pada diagram Ti-Zr-Y (Pearce dan Cann, 1973; dalam
Rollinson, 1993) menunjukkan bahwa sampel batuan tersebut berada pada Area C dan D.
Menurut (Pearce dan Cann, 1973 dalam Rollinson, 1993) apabila data geokimia jatuh pada
Area C dan D maka direkomendasikan untuk menggunakan diagram Ti-Zr-Sr untuk
mendiskriminasi lebih lanjut. Hasilnya, sampel batuan yang mewakili area penelitian
tergolong dalam calc-alcaline basalt. Hal ini sesuai dengan analisis afinitas batuan pada
pembahasan sebelumnya (Gambar IV.3). Batuan gunungapi yang memiliki karakteristik
afinitas calc-alkaline berhubungan dengan aktivitas magmatisme pada batas lempeng
destruktif dengan fitur vulkanik berupa Island arc dan Continental arc margin (Wilson,
2007). Diagram Ti-Zr-Sr juga secara tidak langsung menunjukkan bahwa sampel basalt
bukan berasal dari ocean floor basalt dan island arc basalt.
62
Gambar IV.9 Plot data geokimia pada diagram Ti-Zr-Y dan Ti-Zr-Sr menurut Pearce dan
Cann (1973; dalam Rollinson, 1993).
Analisi selanjutnya dilakukan dengan melakukan plot data geokimia pada diagram TIO2-
K2O-P2O5 menurut Pearce (1975; dalam Rollinson, 1993). Hasil plot ini menunjukkan
menunjukkan bahwa sampel geokimia batuan tersebut berasosiasi dengan fitur vulkanik
berupa continental arc.
Gambar IV.10 Plot data geokimia pada Diagram TIO2-K2O-P2O5 menurut Pearce (1975;
dalam Rollinson, 1993).
63
Berdasarkan analisis menggunakan berbagai macam tektonomagmatik diagram, sampel
basalt yang mewakili area penelitian merupakan hasil dari aktivitas magmatisme pada active
continental margin. Untuk mendukung pernyataan ini maka dilakukan analisis
menggunakan diagram laba-laba. Sampel data geokimia Gunung Bromo berupa unsur jejak
yaitu Sr, K, Rb, Ba, Ce, P, Zr, Ti dinormalisasi kandungannya terhadap data geokimia
MORB menurut Pearce (1983; dalam Rollinson, 1993). Kemudian, data ini dibandingkan
dengan data sampel geokimia basalt dengan tatanan tektonik yang telah diketahui
sebelumnya. Sampel data geokimia yang mewakili tatanan tektonik island arc berasal dari
basalt pada Pulau Pagan di Mariana Arc, Filipina (Marske, dkk., 2011). Sedangkan sampel
data geokimia yang mewakili tatanan tektonik active continental margin berasal dari
Gunung Cay di Andean Arc, Chili (Futa dan Stern, 1988). Hasilnya, sampel data geokimia
batuan Bromo menunjukkan pola yang mirip dengan sampel geokimia batuan pada Gunung
Cay di Andean Arc (Gambar IV.11). Unsur Rb dan Zr pada sampel geokimia Bromo
menunjukkan adanya pengayaan serupa dengan yang terjadi pada sampel Gunung Cay.
Sementara itu, Rb dan Zr pada sampel Pulau Pagan menunjukkan tren sebaliknya.
Pengayaan ini diinterpretasikan sebagai pengaruh dari adanya subduksi lempeng samudra
pada lempeng benua yang relatif kaya akan unsur Zr. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh Smyth dkk. (2007) yang menyatakan bahwa Jawa Timur berada pada kerak
benua pecahan dari Gondwana yang kaya akan zirkon berumur Arkean-Proteroziokum.
64
Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada Gunungapi disekitar Gunung Bromo
juga menunjukkan bahwa tatanan tektoniknya berupa active continental margin (Gambar
IV.12) . Gunungapi yang memilik tatanan tektonik active continental margin tersebut antara
lain di sebelah barat terdapat Gunung Kelud menurut Indriyanto (2016), disebelah timur
terdapat Gunung Ijen menurut Siddiq (2015) dan Gunung Raung menurut Sabila (2018).
Mengingat lokasinya yang relatif dekat dengan area penelitian ini, maka pernyataan pada
penelitian-penelitian tersebut mendukung hasil analisis penelitian ini. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Gunung Bromo merupakan gunungapi hasil dari aktivitas
magmatisme pada active continental margin.
65
BAB V
SEJARAH GEOLOGI
Sejarah evolusi gunungapi pada area penelitian dijelaskan melalui elaborasi dari hasil
analisis-analisis sebelumnya yang meliputi analisis geomorfologi, analisis
vulkanostratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis petrogenesa. Hasil elaborasi
tersebut kemudian disusun menggunakan diagram blok yang menggambarkan sejarah
perkembangan gunungapi pada area penelitian. Sejarah ini terbagi menjadi tiga periode
utama yang masing-masing dibatasi oleh dua kejadian pembentukan Kaldera yakni Kaldera
Ngadisari dan Kaldera Lautan Pasir.
a) b)
Gambar V.1 Diagram blok sejarah geologi periode pra-pembentukan Kaldera Ngadisari.
a) Pembentukan Gunung Tengger b) Pembentukan Kaldera Ngadisari.
66
magmatisme yang terjadi pada pembentukan Gunungapi Argowulan ini adalah diferensiasi
magma berupa fraksionasi kristal, pencampuran magma dan/atau asimilasi. Erupsi eksplosif
dan efusif yang terjadi menghasilkan produk-produk gunungapi berupa aliran lava, aliran
piroklastik, dan jatuhan piroklastik. Aktivitas gunungapi Argowulan ini berakhir dengan
terbentuknya kawah Gunung Argowulan (Gambar V.2b).
a) b)
Gambar V.2 Diagram blok sejarah geologi periode pasca pembentukan Kaldera Ngadisari
a) Pembentukan Gunung Argowulan b) Berakhirnya aktivitas Gunung
Argowulan.
a) b)
Gambar V.3 Diagram blok sejarah geologi periode pasca pembentukan Kaldera Ngadisari
a) Pembentukan Gunung Cemorolawang b) Berakhirnya aktivitas Gunung
Cemorolawang.
67
V.3 PERIODE PASCA PEMBENTUKAN KALDERA LAUTAN PASIR
Setelah pembentukan Kaldera Lautan Pasir, aktivitas vulkanisme kembali muncul di dalam
Kaldera Lautan Pasir. Aktivitas ini dimulai pada kala Holosen hingga saat ini. Aktivitas di
dalam kaldera ini dimulai dengan pembentukan Gunung Widodaren (Gambar V.4a).
Aktivitas magmatisme selama pembentukan Gunung Widodaren didominasi oleh
fraksionasi kristal, pencampuran magma dan/atau asimilasi. Erupsi efusif pada awal
pembentukan Gunung Widodaren menghasilkan aliran lava. Setelah itu, terjadi erupsi
eksplosif yang menghasilkan produk yang didominasi oleh jatuhan piroklastik hingga
aktivitas pada gunung ini berakhir.
a) b)
Gambar V.4 Diagram blok sejarah geologi periode pasca pembentukan Kaldera Lautan Pasir
a) Pembentukan Gunung Widodaren b) Pembentukan Gunung Kursi.
68
Aktivitas vulkanisme selanjutnya berupa pembentukan Gunung Batok (Gambar V.5b).
Aktivitas magmatisme selama pembentukan Gunung Batok didominasi oleh fraksionasi
kristal, pencampuran magma dan/atau asimilasi. Erupsi Gunung Batok menghasilkan produk
berupa jatuahan piroklastik yang didominasi oleh skoria.
a) b)
Gambar V.5 Diagram blok sejarah geologi periode pasca pembentukan Kaldera Lautan Pasir
a) Pembentukan Gunung Segarawedi b) Pembentukan Gunung Batok.
a) b)
Gambar V.6 Diagram blok sejarah geologi periode pasca pembentukan Kaldera Lautan Pasir
a) Erupsi efusif Gunung Bromo b) Erupsi eksplosif Gunung Bromo.
69
BAB VI
KESIMPULAN
Tatanan geologi meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan petrogenesa yang
meliputi seri magma, diferensiasi magma, dan tatanan tektonik pada area penelitian telah
dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Begitu juga dengan sejarah geologi
dari area penelitan telah disusun berdasarkan interpretasi dari studi tatanan geologi dan
petrogenesa. Kesimpulan dari bahasan-bahasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Geomorfologi pada area penelitian dibagi menjadi 12 satuan bentuk muka bumi,
yaitu Satuan Kawah Gunungapi dalam Kaldera Lautan Pasir, Satuan Pegunungan
dalam Kaldera Tengger, Satuan Kerucut Sinder Batok, Satuan Dataran Kaldera
Lautan Pasir, Satuan Dinding Kaldera Lautan Pasir, Satuan Punggungan Kawah sisa
Gunungapi Ijo, Satuan Lereng Produk Gunungapi Ngadisari, Satuan Dinding
Kaldera Ngadisari, Satuan Punggungan Kawah Argowulan, Satuan Dinding Lembah
Sapikerep, Satuan Lereng Gunungapi Tengger, Satuan Sisa Kerucut Gunungapi
Sekunder Jantur.
2. Stratigrafi pada area penelitian terbagi menjadi tiga khuluk yang di dalamnya
terdapat delapan gumuk dan sembilan satuan batuan/endapan terpetakan pada peta
geologi. Satuan batuan tersebut antara lain Satuan Batuan Gunungapi Tengger (Tlaj),
Satuan Aliran Piroklastik Argowulan (Aa), Satuan Aliran Piroklastik Cemorolawang
(Ca), Satuan Jatuhan Piroklastik Widodaren (Wj), Satuan Jatuhan Piroklastik Kursi
(Kj), Satuan Aliran Piroklastik Segarawedi (Sa), Satuan Jatuhan Piroklastik Batok
(Baj), Satuan Aliran Lava Bromo (Brl), Satuan Jatuhan Piroklastik Bromo (Brj).
3. Struktur geologi yang diamati pada area penelitian berupa struktur geologi primer
dan struktur geologi sekunder. Struktur geologi primer yang diamati antara lain
vesikuler, kekar berlembar, kekar kolom, autobreksi, laminasi sejajar dan silang siur.
Sementara struktur geologi sekunder yang diamati antara lain sesar normal Kaldera
Ngadisari dan sesar normal Kaldera Lautan Pasir.
4. Seluruh gumuk pada area penelitian merupakan produk dari satu sumber magma
yang sama dengan afinitas magma berupa calc-alkaline dan high K calc-alkaline.
70
5. Sejak aktivitas Gunung Tengger hingga aktivitas Gunung Bromo, magma telah
mengalami diferensiasi berupa fraksionasi kristal, pencampuran magma, dan
asimilasi.
71
DAFTAR PUSTAKA
Brahmantyo, B. dan Bandono (2006): Klasifikasi bentuk muka bumi (landform) untuk
pemetaan geomorfologi pada skala 1:25.000 dan aplikasinya untuk penataan ruang.
Jurnal Geoaplika, 1, 71 – 78.
Corvec, N.L., Spörli, B., Rowland, J., dan Lindsay, J. (2013): Spatial distribution and
alignments of volcanic centers: Clues to the formation of monogenetic volcanic
fields. Earth-Science Reviews, 124, 96–114.
Futa, K., dan Stern, C. R. (1988): Sr and Nd isotopic and trace element compositions of
Quaternary volcanic centers of the Southern Andes, Earth and Planetary Science
Letters, 88, 253–262.
Gill, R. (2010): Igneous Rocks and Processes: A Practical Guide, Wiley-Blackwell, New
Jersey, 438 halaman.
Hadisantono, R.D. (1990): The Sukapura and other ignimbrites in the Sapikerep-Sukapura
Valley, and their relation to caldera formation of Bromo Tengger Volcanic
Complex, Probolinggo, East Java, Indonesia, Tesis Master, Victoria University of
Wellington, 207 halaman.
Hall, R. dan Sevastjanova, I. (2012): Australian crust in Indonesia. Australian Journal of
Earth Sciences, 59, 827–844.
Hall, R. dan Smyth, H. (2008): Cenozoic arc processes in Indonesia: Identification of the
key influences on the stratigraphic record in active volcanic arcs, The Geological
Society of America, 436, 27–54.
Howard, A.D. (1967): Drainage analysis in geologic interpretation: A Summation, The
American Association of Petroleum Geologist Bulletin, 51, 2246-2259.
Hugget, R.J. (2017): Fundamental of Geomorphology Forth Edition, Taylor & Francis Ltd,
New York, 543 halaman.
Indriyanto, J.N. (2016): Volkanostratigrafi dan studi petrogenesis Gunung Kelud dan
sekitarnya, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Skripsi Sarjana,
Institut Teknologi Bandung, 97 halaman.
Karátson, D., Thouret, J.C., Moriya, I., dan Lomoschitz, A. (1999): Erosion calderas:
origins, processes, structural and climatic control, Bulletin of Volcanology, 61, 174–
193.
Kerr, P.F. (1977): Optical Mineralogy Third Edition, McGraw-Hill, New York,
442 halaman.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia IAGI (1996): Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, Jakarta, 34 halaman.
Le Maitre, R.W. (2002): Igneous Rocks: A Classification and Glossary of Terms
Recommendations of the International Union of Geological Sciences, Sub-
Commission on the Systematics of Igneous Rocks, Cambridge University Press, New
York, 236 halaman.
Lockwood, J.P. dan Hazlett, R.W. (2010): Volcanoes Global Prespectives, John Wiley &
Sons, Chichester, 552 halaman.
MacKenzie, W., Donaldson, C., dan Guiford, C. (1982): Atlas of Igneous Rocks and Their
Textures, Wiley, New York, 148 halaman.
Marske, J.P., Pietruszka, A.J., Trusdell, F.A., dan Garcia, M.O. (2011): Geochemistry of
southern Pagan Island lavas, Mariana arc: The role of subduction zone processes,
Contributions to Mineralogy and Petrology, 162, 231-252.
72
Martí, J., Planagumà, L., Geyer, A., Canal, E., dan Pedrazzi, D. (2011): Complex interaction
between strombolian and phreatomagmatic eruptions in the quaternary monogenetic
volcanism of the Catalan Volcanic Zone (NE of Spain), Journal of Volcanology and
Geothermal Research, 201, 178-193.
McPhie, J., Doyle, M., dan Allen, R. (1993): Volcanic Textures: A guide to The
Interpretation of Textures in Volcanic Rocks, Tasmanian Government Printing
Office, Tasmania, 198 halaman.
Miliraes, G.C., Ventura, G., dan Vilardo, G. (2009): Terrain modelling of the complex
volcanic terrain of Ischia Island, Italy, Canadian Journal of Remote Sensing, 35,
285-398.
Pierson, T.C., dan Major, J.J. (2014): Hydrogeomorphic effects of explosive volcanic
eruptions on drainage basins, Annual Review of Earth and Planetary Sciences, 49,
469-507.
Renjith, M.L. (2014): Micro-textures in plagioclase from 1994-1995 eruption, Barren
Island. Geoscience Frontiers, 5, 113-126.
Rollinson, H.R. (1993): Using Geochemical Data: Evaluation, Presentatation,
Interpretation, Longman Scientific and Technical, New York, 354 halaman.
Sabila, F.S.N. (2018): Vulkanostratigrafi dan petrogenesis Gunung Raung dan sekitarnya,
Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, Skripsi
Sarjana, Institut Teknologi Bandung, 126 halaman.
Schmincke, H. (2004): Volcanism, Springer, Berlin, 324 halaman.
Sengupta, P. dan Ray, A.R. (2006): Primary volcanic structures from a type section of
Deccan Trap Flows around Narsingpur-Harrai-Amarwara, central India:
Implications for cooling history, Journal of Earth System Science, 51, 631-642.
Siddiq, F., (2015): Vulkanostratigrafi dan petrogenesa Gunung Ijen dan sekitarnya,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Skripsi Sarjana, Institut Teknologi Bandung,
175 halaman.
Smyth, H.R., Hamilton, P.J., Hall, R., dan Kinny, P.D., (2007): The deep crust beneath
island arcs: Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment beneath East
Java, Indonesia, Earth and Planetary Science Letters, 258, 269–282.
Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B.
Asikin, S., Harsolumakso, dan A.H. Yulianto, I., (2003): The collision of The East
Java microplate and its implication for hydrocarbon occurences in The East Java
basin, Proceedings of The 29th Annual Convention - Indonesian Petroleum
Association, Jakarta, 335-346.
Santosa, S. dan Suwarti, T. (1992): Peta Geologi Lembar Malang, Jawa Timur, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Triastuty, H., Mulyana, I., dan Kuswandarto, H. (2016): Erupsi bromo desember 2015 –
februari 2016, GEOMAGZ, 6, 18-21.
van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia Vol.1A General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Goverment Printing Office, The Hague, 766
halaman.
Vernon, R.H. (2004): A Practical Guide to Rock Microstructure, Cambridge University
Press, Cambridgeshire, 594 halaman.
White, W.M., Casey, W., Marty, B., dan Yurimoto, H. (2018): Encyclopedia of
Geochemistry A Comprehensive Reference Source on The Chemistry of The Earth,
Springer International Publishing, Cham, 1557 halaman.
Wilson, M. (2007): Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach, Springer,
Dordrecht, 480 halaman.
73
Zaennudin, A. (1990), The Stratigraphy and Nature of The Stratocone of Mt. Cemara
Lawang in The Bromo - Tengger Caldera East Java, Indonesia, Tesis Master,
University of Victoria, 229 halaman.
Zaennudin, A. (2010): The characteristic of eruption of Indonesian active volcanoes in the
last four decades. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 1, 113 - 129.
74