Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH STUDI PERDAMAIAN DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

A. Perdamaian Di Masa Yunani Kuno [Abad Permulaan]


Selama periode ini, konsep perdamaian tergolong absurd. Meski intensitas konflik
antar negara-kota Yunani cukup tinggi, namun keinginan untuk mewujudkan
perdamaian [masih] cenderung lemah. Memang banyak traktat perdamaian yang
dihasilkan, namun urgensi untuk mewujudkan perdamaian urung dilahirkan.
Beberapa penjelasan dari perjanjian perdamaian tersebut masih ambigu,
khususnya penjelasan mengenai situasi yang dapat digolongkan sebagai
pelanggaran berikut sanksinya. Tindakan militer yang berpotensi melanggar hukum
masih bisa dilakukan oleh pihak yang merasa kuat.
Selain itu, masyarakat negara-kota Yunani baik Athena, Sparta, maupun negara
kecil lainnya masih terkendala untuk merumuskan definisi disebabkan oleh tradisi
buruk para politisi Yunani kuno yang kerap mengaburkan makna dari istilah dan
kalimat yang ditulis dalam perjanjian perdamaian.
Selama periode ini, tidak ada inisiatif untuk membentuk institusi khusus atau
sekadar menunjuk tokoh penting sebagai pihak penengah [arbitrer]. Bagi
masyarakat Yunani kuno, perdamaian hanya ada di sela peperangan. Tidak ada
perdamaian bagi masyarakat yang berselisih. Fase gencatan senjata hanya nama
lain dari fase pre-war.

B. Masa Imperium Pax Romana & Konsep Just War Oleh St. Augustine
Dalam konsep kota suci Roma, penyelesaian sengketa kerap menggunakan Paus
sebagai arbitrer [penengah]. Konsep ini menjadi satu-satunya yang dianut Eropa
pada masa itu. Situasi ini bertahan hingga penemuan konsep perdamaian menurut
Perjanjian Westphalia [1648].
Pada awalnya [abad ke-14], Roma hanyalah sebuah kota yang terdiri dari
beberapa anggota dan terletak di sebelah barat Italia. Seiring dengan
meningkatnya jumlah negara yang membentuk aliansi dengan Roma seperti Liga
Latin, Roma mulai berkembang menjadi negara dominan.
Tumbuh sebagai salah satu imperium republik terkuat di era pertengahan
[medieval ages], Pax Romana dihadapkan pada dua perkara yang mengakibatkan
munculnya konflik horizontal dan vertikal. Konflik horizontal berasal dari
ketidakstabilan yang mengancam sistem keyakinan akibat kuatnya pengaruh
reformasi agama. Hal ini diakibatkan oleh meleburnya kepentingan politik dan
ajaran Katolik Roma yang terlihat dari intervensi gereja dalam mengatur tatanan
sosial ekonomi serta tradisi budaya lokal.
Gelombang reformasi agama yang digaungkan oleh kubu Protestan menuai kritik
dari pemerintahan Pax Romana. Alih-alih melakukan pemurnian agama, reformasi
Kristen justru diartikan sebagai upaya politisasi agama untuk mendapatkan status
otonomi dan memisahkan diri dari wilayah administrasi Roma. Para reformis
menginginkan Roma mengurangi pengaruh Paus dalam menjalankan
pemerintahan dan membuka rasionalisasi doktrin agama, politik, dan ekonomi.
Untuk menjaga perdamaian dan stabilitas politik, Pax Romana mengenalkan dua
sistem kebijakan. Sistem kebijakan tersebut adalah balance of power atau
keseimbangan kekuatan dan power monopoly atau monopoli kekuasaan. Kedua
istilah ini sangat mempengaruhi roda pemerintahan dan interaksi dua negara-kota,
yakni Roma dan Hellas.
Sayangnya, sistem perdamaian yang disusun kala itu dijalankan sepihak oleh
negara tanpa melibatkan suara akar rumput. Rezim yang berkuasa saat itu
menerapkan ‘perdamaian dari atas’ dan sistem pax ecclesia yang mendapatkan
pengaruh dari ajaran Katolik Roma dengan melibatkan pope sebagai arbitrer.
Sebagai salah satu negara berbentuk republik yang disegani, Roma juga telah
melakukan beragam usaha untuk menjaga hubungan diplomatik yang kondusif.
Usaha yang diterapkan yaitu dengan menjadikan treaties of alliance sebagai
instrumen utama.
Dalam hal ini, Roma berhasil menegasikan pendekatan kekerasan dan perang
untuk meraih kepentingan nasionalnya. Selain menjalin kerjasama dengan
beberapa negara kota, Roma juga memberikan provision khusus kepada non-state
actors.
KONSEP JUST WAR OLEH ST AUGUSTINE
Selama berabad-abad, perang terus berkecamuk mulai dari belahan timur hingga
barat Eropa. Kerugian akibat perang tersebut memberikan intensif bagi lahirnya
heroisme dan nasionalisme. Gereja berupaya untuk menyelesaikan perselisihan
agama dan gejolak separatisme. Namun, masyarakat Eropa sadar bahwa
ancaman agresi pihak luar, mulai dari kekuatan Muslim, Magyar, dan Viking,
semakin meningkat. Melihat kenyataan di mana perang merupakan konsekuensi
yang tidak bisa dicegah, St. Augustine lalu menawarkan pandangannya yang
terkenal dengan istilah Just War. Konsep Just War merupakan asimilasi antara
prinsip prajurit dan ajaran agama Kristiani.
Menurut St, Augustine, perang berfungsi untuk mempertahankan legitimasi
Christendom dan ajaran Tuhan. Mengingat perang sebagai jalan suci, maka
perang harus mengikuti aturan yang benar. Perang bukan satu-satunya pilihan
kebijakan melainkan jalan terakhir untuk meluruskan kesalahan. Dalam
peperangan melawan siapapun, kerusakan dan korban hendaknya diminimalisir.
Tujuan utama berperang adalah untuk melindungi perdamaian, keadilan, dan
perlindungan bagi seluruh umat Kristiani dan masyarakat secara umum. Konsep
Just War ini didukung oleh kepemimpinan kharismatik St. Augustine, dukungan
politis pihak gereja, hingga Imperium Kota Suci Roma. Konsep ini kemudian dianut
secara luas di Eropa hingga dicetuskannya sistem Westphalia.
C. KERUNTUHAN ROMA & LAHIRNYA WESTPHALIAN PEACE
Meski pengaruh St. Augustine kuat, namun Roma tetap tidak mampu
mempertahankan hegemoninya di Eropa. Pada saat agresi militer asing mulai
mengancam stabilitas politik domestik di Roma, seluruh lapisan masyarakat mulai
buruh, tuan tanah, politisi, pemimpin gereja, hingga bangsawan bersatu dan
‘memainkan perannya’ sebagai prajurit Tuhan. Sayang, hal ini tidak selalu mampu
menyatukan kepentingan politik Eropa, terlebih ketika terjadi konflik sipil antara
pemilik tanah yang memperebutkan hak milik tanah dan bangunan.
Keruntuhan Roma ditandai dengan pembiaran konflik sipil secara sistematis
sehingga menggerogoti ketahanan dan keamanan internal kota suci yang
kemduian memicu terjadinya ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ [Thirty Years War].
Menurut beberapa ahli sejarah dunia, Perang Tiga Puluh Tahun terjadi dalam dua
periode, yaitu periode ‘Perang Dua Belas Tahun’ dan periode ‘Perang Delapan
Belas Tahun’. Perang Tiga Puluh Tahun ini bermula dari perang sipil antara Inggris
dan Prancis di tahun 1328. Periode perang kemudian berlanjut saat Belanda
bertempur melawan Spanyol pada 1566, yang dilatarbelakangi oleh konflik agama.
Pada athun 1648, jurnalis Inggris mencatat bahwa setelah meletusnya
pemberontakan agama oleh Protestan Bohemia melawan Kekaisaran Romawi
Suci [Ferdinand II] di tahun 1618, jumlah perang agama di Eropa meningkat.
Selain itu, di tahun 1630 juga terjadi perang antara Swedia dan Bavaria.
Peperangan yang terjadi selama tiga puluh tahun ini berakhir di atas sebuah
perjanjian damai yang dikenal dengan nama Westphalia Treaty [1648]. Perjanjian
ini menandakan berakhirnya pengaruh gereja dalam politik domestik dan kebijakan
luar negeri masing-masing negara sekaligus menandakan lahirnya sistem sekuler
yang mengatur tatanan politik global dan menjamin perlindungan perdamaian
internasional.

D. KONSEP PERDAMAIAN ANGLO SAXON & PEMBENTUKAN LIGA


BANGSA-BANGSA
Deklarasi Westphalia memberikan ruang untuk dunia yang lebih dama. Pada masa
ini, masyarakar]t internasional menghadapi dua fakta yang saling bertentangan. Di
satu sisi, perjanjian ini melahirkan inisiatif untuk melakukan rekonseptualisasi
perdamaian dan langkah perwujudannya, namun di sisi lain, budaya kekerasan
dan penjajahan belum hilang dan justru semakin menyita perhatian.
Meski krisis politik dan perang antar negara yang memakan waktu lama tersebut
berhasil diselesaikan, namun politik internasional menghadapi ‘endemi’ baru yakni
kekerasan intermasional. Untuk mencegah dominasi perspektif kekerasan ini,
maka negara-negara besar, di awal abad ke-18, melakukan pendekatan balance
of power sebagai salah satu cara menjaga stabilitas politik internasional dan
perdamaian dunia. Meskipun demikian, konstelasi politik internasional saat itu
bergantung pada peta politik Eropa dan interaksi antara negara di kawasan
tersebut. Gagasan perdamaian internasional saat itu dipengaruhi oleh upaya
masyarakat Eropa untuk membentuk rezim perdamaian internasional, yang –
sayangnya – tetap tidak dapat lepas dari pengaruh ancient regime yang mengatur
kehidupan masyarakat berdasarkan ‘hubungan mutualisme antara monarki, gereja,
dan kaum aristokrat’ dan tentunya tidak mampu mencegah meluasnya budaya
kekerasan.
Selain itu, keruntuhan imperium Roma dan kedigdayaan Katolik Roma dalam
kancah perpolitikan Eropa juga memancing inisiatif untuk mencetuskan
rekonseptualisasi just war yang dicanangkan sebelumnya. Di awal abad ke-17,
dalam rentang waktu yang sama dengan Perjanjian Westphalia, seorang
pengacara tenar asal Belanda bernama Hugo Grotius, menyusun kerangka
pemikiran tentang just war. De-sekulerisasi dan rasionalisasi just war merupakan
sasaran utama kajian Grotius. Karya intelektual Grotius memberi harapan baru
untuk mewujudkan tatanan dunia yang jauh lebih beradab. Grotius membangun
fondasi awal tentang definisi hak berperang, dalam artian melindungi keadilan dan
meluruskan kekeliruan. Melengkapi kekurangan konsep just war, Grotius bersama
para ilmuwan lainnya menambahkan konsep jus ad bellum dan jus in bello: sebuah
konsep yang mengharuskan pelaku perang memperhatikan tata cara perang untuk
menghindari kerugian terburuk bagi masyarakat internasional.
Masuk abad ke-17, tatanan politik global mengalami restrukturisasi secara masif
melalui sistem pembagian wilayah kekuasaan yang terdiri dari negara-bangsa
[nation-state]. Sistem lama yang merujuk pada aturan yang diberlakukan oleh
Imperium Roma, dihapus. Pasca deklarasi Westphalia, pengakuan secara penuh
dinobatkan kepada pemimpin Katolik dan Protestan Jerman. Hal ini dianggap
sebagai langkah tepat untuk meredam sumber konflik Eropa.
Sebagai konsekuensi, bekas wilayah kekuasaan Roma kemudian dipecah menjadi
beberapa negara kecil yang [sayangnya] rentan dengan konflik internal. Sementara
itu, sisa-sisa Imperium Roma ini juga harus berhadapan dengan polarisasi
kekuasaan yang terdiri dari sekumpulan negara kuat seperti, Prancis, Rusia,
Austria, dan dua negara yang memiliki kekuatan maritim besar, yaitu Inggris dan
Belanda. Semau negara kuat ini melakukan konsolidasi politik yang merujuk pada
konstitusi yang disepakati bersama. Namun sayangnya, konsolidasi politik dari
negara-negara kuat tersebut tidak melibatkan Jerman karena perbedaan afiliasi
agama. Hal ini ternyata tidak hanya menandai restrukturisasi kekuatan politik
global yang dianggap sebagai harapan baru dari perdamaian dunia, namun juga
menjadi cikal bakal kelahiran fasisme Jerman.
Menanggapi aliansi yang disusun oleh Inggris, Prancis, Rusia, Austria, dan
Belanda, Jerman membentuk negara kesatuan yang diatur berdasarkan ideologi
fasisme. Jerman bertekad mewujudkan ambisi politiknya menjadi kekuatan
hegemoni di Eropa dan dunia. Kepentingan politik Jerman ini kemudian memicu
masalah pada awal abad ke-18, dan meledak saat terjadi pembunuhan politik di
Sarajevo yang disusul oleh krisis keamanan Serbia pada 1914.
Meski demikian, budaya kekerasan internasional ala Jerman bukan satu-satunya
ancaman bagi perdamaian Eropa. Jauh sebelumnya, Prancis, di bawah Napoleon,
juga sempat meningkatkan kekuatan militernya yang tentu menjadi ancaman di
Eropa. Namun, ambisi Napoleon tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Tindakan Napoleon justru menimbulkan justifikasi bahwa perang adalah hal yang
lumrah.
Respon dari negara besar pun beragam. Salah satunya dengan menggelar
pertemuan Wina pada 1814 yang bertujuan merumuskan langkah perdamaian dan
mencegah meluasnya tindakan agresif Prancis dan Jerman. Hasil pertemuan ini
sendiri cukup mengejutkan, di mana sikap negara-negara besar justru berlawanan
dengan Prinsip Westphalia.
Meski demikian, masyarakat internasional saat itu juga memetik positive in
disguise [efek positif terselubung]. Perilaku politik agresif Jerman dan Prancis
justru menimbulkan kesamaan pemahaman antar negara besar lainnya untuk
mengambil tindakan kolektif demi mencegah kerusakan yang lebih masif. Mereka
lalu memutuskan untuk mengubah hak intervensi di manapun jika ada negara yang
berusaha mengancam tatanan internasional. Keinginan untuk menciptakan
perdamaian pun telah menjadi tanggung jawab global. Konsep perdamaian ini
kemudian mengalami institusionalisasi. Negara-negara besar di Eropa pun
menggelar Concert of Europe yang berakhir dengan terbentuknya Liga Bangsa-
Bangsa.
Perjuangan untuk mewujudkan tatanan dunia damai tidak berhenti sampai di sini.
Berlanjut hingga awal abad ke-19, saat konseptualisasi perdamaian dalam kajian
ilmu hubungan internasional mendapat pengaruh kuat dari aliran pemikiran Anglo-
Saxon. Para pemikir seperti Jeremy Bentham, James Mill, William Ladd, dan
Richard Cobben berpendapat bahwa kehadiran organisasi internasional bukan
satu-satunya elemen penting dalam mempertahankan perdamaian internasional.
Melainkan pembangunan ekonomi internasional, investasi asing, dan pencarian
materi lainnya lah yang memberi sumbangsih penting akan perdamaian
internasional tersebut.[]

Sumber: “Kajian Konflik & Perdamaian” ed. Anak Agung Banyu Perwita & Nabilla Sabban,
Graha Ilmu, 2015

Anda mungkin juga menyukai