B. Masa Imperium Pax Romana & Konsep Just War Oleh St. Augustine
Dalam konsep kota suci Roma, penyelesaian sengketa kerap menggunakan Paus
sebagai arbitrer [penengah]. Konsep ini menjadi satu-satunya yang dianut Eropa
pada masa itu. Situasi ini bertahan hingga penemuan konsep perdamaian menurut
Perjanjian Westphalia [1648].
Pada awalnya [abad ke-14], Roma hanyalah sebuah kota yang terdiri dari
beberapa anggota dan terletak di sebelah barat Italia. Seiring dengan
meningkatnya jumlah negara yang membentuk aliansi dengan Roma seperti Liga
Latin, Roma mulai berkembang menjadi negara dominan.
Tumbuh sebagai salah satu imperium republik terkuat di era pertengahan
[medieval ages], Pax Romana dihadapkan pada dua perkara yang mengakibatkan
munculnya konflik horizontal dan vertikal. Konflik horizontal berasal dari
ketidakstabilan yang mengancam sistem keyakinan akibat kuatnya pengaruh
reformasi agama. Hal ini diakibatkan oleh meleburnya kepentingan politik dan
ajaran Katolik Roma yang terlihat dari intervensi gereja dalam mengatur tatanan
sosial ekonomi serta tradisi budaya lokal.
Gelombang reformasi agama yang digaungkan oleh kubu Protestan menuai kritik
dari pemerintahan Pax Romana. Alih-alih melakukan pemurnian agama, reformasi
Kristen justru diartikan sebagai upaya politisasi agama untuk mendapatkan status
otonomi dan memisahkan diri dari wilayah administrasi Roma. Para reformis
menginginkan Roma mengurangi pengaruh Paus dalam menjalankan
pemerintahan dan membuka rasionalisasi doktrin agama, politik, dan ekonomi.
Untuk menjaga perdamaian dan stabilitas politik, Pax Romana mengenalkan dua
sistem kebijakan. Sistem kebijakan tersebut adalah balance of power atau
keseimbangan kekuatan dan power monopoly atau monopoli kekuasaan. Kedua
istilah ini sangat mempengaruhi roda pemerintahan dan interaksi dua negara-kota,
yakni Roma dan Hellas.
Sayangnya, sistem perdamaian yang disusun kala itu dijalankan sepihak oleh
negara tanpa melibatkan suara akar rumput. Rezim yang berkuasa saat itu
menerapkan ‘perdamaian dari atas’ dan sistem pax ecclesia yang mendapatkan
pengaruh dari ajaran Katolik Roma dengan melibatkan pope sebagai arbitrer.
Sebagai salah satu negara berbentuk republik yang disegani, Roma juga telah
melakukan beragam usaha untuk menjaga hubungan diplomatik yang kondusif.
Usaha yang diterapkan yaitu dengan menjadikan treaties of alliance sebagai
instrumen utama.
Dalam hal ini, Roma berhasil menegasikan pendekatan kekerasan dan perang
untuk meraih kepentingan nasionalnya. Selain menjalin kerjasama dengan
beberapa negara kota, Roma juga memberikan provision khusus kepada non-state
actors.
KONSEP JUST WAR OLEH ST AUGUSTINE
Selama berabad-abad, perang terus berkecamuk mulai dari belahan timur hingga
barat Eropa. Kerugian akibat perang tersebut memberikan intensif bagi lahirnya
heroisme dan nasionalisme. Gereja berupaya untuk menyelesaikan perselisihan
agama dan gejolak separatisme. Namun, masyarakat Eropa sadar bahwa
ancaman agresi pihak luar, mulai dari kekuatan Muslim, Magyar, dan Viking,
semakin meningkat. Melihat kenyataan di mana perang merupakan konsekuensi
yang tidak bisa dicegah, St. Augustine lalu menawarkan pandangannya yang
terkenal dengan istilah Just War. Konsep Just War merupakan asimilasi antara
prinsip prajurit dan ajaran agama Kristiani.
Menurut St, Augustine, perang berfungsi untuk mempertahankan legitimasi
Christendom dan ajaran Tuhan. Mengingat perang sebagai jalan suci, maka
perang harus mengikuti aturan yang benar. Perang bukan satu-satunya pilihan
kebijakan melainkan jalan terakhir untuk meluruskan kesalahan. Dalam
peperangan melawan siapapun, kerusakan dan korban hendaknya diminimalisir.
Tujuan utama berperang adalah untuk melindungi perdamaian, keadilan, dan
perlindungan bagi seluruh umat Kristiani dan masyarakat secara umum. Konsep
Just War ini didukung oleh kepemimpinan kharismatik St. Augustine, dukungan
politis pihak gereja, hingga Imperium Kota Suci Roma. Konsep ini kemudian dianut
secara luas di Eropa hingga dicetuskannya sistem Westphalia.
C. KERUNTUHAN ROMA & LAHIRNYA WESTPHALIAN PEACE
Meski pengaruh St. Augustine kuat, namun Roma tetap tidak mampu
mempertahankan hegemoninya di Eropa. Pada saat agresi militer asing mulai
mengancam stabilitas politik domestik di Roma, seluruh lapisan masyarakat mulai
buruh, tuan tanah, politisi, pemimpin gereja, hingga bangsawan bersatu dan
‘memainkan perannya’ sebagai prajurit Tuhan. Sayang, hal ini tidak selalu mampu
menyatukan kepentingan politik Eropa, terlebih ketika terjadi konflik sipil antara
pemilik tanah yang memperebutkan hak milik tanah dan bangunan.
Keruntuhan Roma ditandai dengan pembiaran konflik sipil secara sistematis
sehingga menggerogoti ketahanan dan keamanan internal kota suci yang
kemduian memicu terjadinya ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ [Thirty Years War].
Menurut beberapa ahli sejarah dunia, Perang Tiga Puluh Tahun terjadi dalam dua
periode, yaitu periode ‘Perang Dua Belas Tahun’ dan periode ‘Perang Delapan
Belas Tahun’. Perang Tiga Puluh Tahun ini bermula dari perang sipil antara Inggris
dan Prancis di tahun 1328. Periode perang kemudian berlanjut saat Belanda
bertempur melawan Spanyol pada 1566, yang dilatarbelakangi oleh konflik agama.
Pada athun 1648, jurnalis Inggris mencatat bahwa setelah meletusnya
pemberontakan agama oleh Protestan Bohemia melawan Kekaisaran Romawi
Suci [Ferdinand II] di tahun 1618, jumlah perang agama di Eropa meningkat.
Selain itu, di tahun 1630 juga terjadi perang antara Swedia dan Bavaria.
Peperangan yang terjadi selama tiga puluh tahun ini berakhir di atas sebuah
perjanjian damai yang dikenal dengan nama Westphalia Treaty [1648]. Perjanjian
ini menandakan berakhirnya pengaruh gereja dalam politik domestik dan kebijakan
luar negeri masing-masing negara sekaligus menandakan lahirnya sistem sekuler
yang mengatur tatanan politik global dan menjamin perlindungan perdamaian
internasional.
Sumber: “Kajian Konflik & Perdamaian” ed. Anak Agung Banyu Perwita & Nabilla Sabban,
Graha Ilmu, 2015