Anda di halaman 1dari 5

Article Review

ETNOGRAFI LINGUISTIK DALAM MENGKAJI FENOMENA LEGITIMASI


IDENTITAS BARU, PENERIMAAN, DAN PROSES KEHILANGAN IDENTITAS
SEBELUMNYA
Mafasi Eryawan (NIM: 23/514841/PSA/20407)
I. Identitas Jurnal
Judul Penelitian : A Linguistic Ethnography of The Sense of Belonging: Iraqi
Turkmen Women Refugees in Turkey
Penulis : Hasret Saygi
Nama Jurnal : Language and Communication
Volume : 88
Edisi : Januari
Tahun Publikasi : 2023
Penerbit : Elsevier Ltd
Skor Indeks : Scopus Q1
Link/DOI : https://doi.org/10.1016/j.langcom.2022.10.002

II. Ringkasan
Artikel dengan judul “A Linguistic Ethnography of The Sense of Belonging: Iraqi
Turkmen Women Refugees in Turkey” ini ditulis dengan berdasarkan pada penelitian yang
dilakukan selama 18 bulan yang berfokus pada pengungsi perempuan keturunan Irak-
Turkmen yang tinggal di kota Kirsehir, Turki selama setidaknya 2-3 tahun pada tahun
2018 pada saat penelitian ini dilakukan. Penelitian ini memberikan pandangan mengenai
pergumulan afektif serta kekhawatiran yang berhubungan dengan identitas dari pengungsi
wanita keturunan Irak-Turkmen dalam konteks dorongan atau keterpaksaan imigrasi.
Penelitian ini juga mengacu pada metodologi dari etnografi linguistik yang bertujuan
untuk mengkaji bagaimana rasa kepemilikan terhadap masyarakat lokal di Jalan Kadife
diekspresikan melalui wacana keseharian mereka.
Sebelum memulai penelitiannya, penulis artikel ini mencoba memahami situasi
lapangan penelitiannya. Berdasarkan wawancara dengan penduduk lokal, kota Kursehir
terbiasa bangga dengan homogenitas etniknya yang terjaga hingga beberapa tahun lalu.
Seluruh warganya, meski dirundung perubahan demografis dalam kurun waktu beberapa
waktu ke belakang, masih memiliki ikatan emosional dengan kota dan daerahnya yang
bahkan masih merasakan menjadi bagian dari komunitas geografis yang ada tersebut.
Berbeda dengan kota-kota besar lainnya di Turki, kota Kursehir secara umum masih
memiliki ikatan yang kuat dengan nilai budaya dan tradisi yang sebagian besar berbasis
nilai-nilai keislaman.
Meskipun kota Kursehir menjadi kota satelit sejak tahun 90-an, dengan peningkatan
jumlah pengungsi yang kebanyakan berasal dari Irak dan Afganistan, dinamika sosial dan
budaya kota Kursehir mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kedatangan orang-
orang dari luar Turki tidak pernah mencapai tingkat ini sebelumnya. Berdasarkan kajian
sosial budaya dan perubahan populasi akhir-akhir ini dapat memberikan perspektif yang
berbeda dengan meninjau autentisitas dan keaslian sebagai sebuah kota yang masih belum
banyak diteliti.
Selain itu, peneliti juga meninjau etnis Turkmen dari Irak dari sudut pandang
historisnya dan juga aspek linguistik kebahasaannya. Pengungsi yang merupakan etnis
Turkmen Irak yang menjadi fokus dalam kajian etnografi linguistik ini adalah sebuah etnis
minoritas yang masih belum banyak dikaji dan hanya bisa ditemukan di dalam studi timur
tengah. Etnis Turkmen Irak sendiri adalah etnis minoritas terbesar kedua setelah etnis
Kurdish yang berada di Iraq. Dilihat dari sudut pandang linguistik, mayoritas etnis
Turkmen Irak memiliki kemampuan bilingual yaitu bahasa Turki-Irak dan juga bahasa
Arab, meskipun generasi baru kemungkinan tumbuh menjadi monolingual bahasa Arab.
Meskipun bahasa Turki Turkmen dekat dengan dialek Azerbaijan, tapi sangat jelas
berkaitan dengan bahasa Turki, tetapi dipengaruhi oleh bahasa Arab secara signifikan.
Sehingga Turkmen Irak berbagi bahasa yang sama dengan bahasa Turki.
Dalam mengkaji pengungsi wanita beretnis Turkmen Irak, peneliti menggunakan 2
landasan teori, yaitu sense of belonging dan pengecualian dalam wacana migrasi, serta
teori sense of liminality dan status keadaan pengungsi. Wacana migrasi sering
digambarkan sebagai bidang penyelidikan interdisipliner yang sangat afektif. Sebuah
perpindahan dari sebuah tempat yang sangat familier secara sosial, budaya, dan bahasa ke
tempat yang kurang familier memiliki beberapa risiko mulai dari pengecualian secara
sosial hingga kerawanan dari aspek hukum dan ekonomi. Mengembangkan rasa
kepemilikan atau sense of belonging ke sebuah tempat baru sama dengan membangun
ikatan emosional dengan tempat tersebut yang mana sering dideskripsikan sebagai hasil
yang diinginkan dari proses perpindahan tersebut (Yuval-Davis, 2006).
Untuk memahami konsep rasa kepemilikan, peneliti menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Probyn (1996) yang menjelaskan makna kata ‘belonging’ atau
kepemilikan adalah sebuah kata yang mengandung 2 kata yaitu proses ke-‘ada’an dan rasa
‘kerinduan’ yang kemudian dapat memberikan diskusi terkait identitas. Probyn (1996)
kemudian juga menjelaskan bahwa rasa kepemilikan lebih diasosiakan dengan dinamika
dari identitas, persepsi diri yang dihasilkan dari relasi sosial dan sejarahnya, dengan kata
lain adalah sebuah konstruksi yang intersubjektif dan interdiskursif. Peneliti juga mengutip
Bommaert dan Rampton (2011) yang menjelaskan bahwa seorang pakar sosiolinguistik
untuk mengkaji lebih dalam konteks linguistik dan konteks sosial dalam melihat
mobilisasi sebuah kelompok masyarakat. Menurut Silverstein (20023), sebuah cara
tertentu dalam berbicara, bertindak, atau berpakaian dapat memberikan makna sosial
tertentu di dalam sebuah konteks yang spesifik, dan didaftarkan pada sebuah komunitas
tertentu seiring berjalannya waktu. Sejalan dengan konsep di atas, penelitian ini tertarik
dalam mengkaji bagaimana pengungsi wanita beretnis Turkmen Irak merasakan
kepemilikan kepada komunitas Tukrmen Irak dan juga kepada komunitas lokal, dan juga
apa sajakah indeks dan gambaran stereotipikal yang beragam dan kadang-kadang kontras
mengenai kepemilikan komunitas-komunitas ini.
Sementara artikel ini mengkaji konstruksi wanita etnis Turkmen Irak dan negoasiasi
terhadap rasa kepemilikan terhadap komunitas baru mereka, perjuangan afektif mereka
dalam mengubah status lama mereka sebagai warga asli Irak ke yang baru di bawah
kondisi kerawanan sosial dan hukum, dikonseptualisasikan sebagai masa keterbatasan.
Konsep keterbatasan atau liminality yang dikemukakan oleh van Gennep (1960)
mendeskripsikan tahapan-tahapan transisi, yaitu tahapan perpisahan, keterbatasan, dan
inkorporasi. Turner (1979) menjelaskan juga di dalam penelitian ini bahwa fale
keterbatasan adalah fase dimana seorang individu meninggalkan posisi sosial mereka
sebelumnya tapi masih belum memiliki akses masuk ke tempat baru tersebut.
Untuk memahami identitas dari pengungsi, peneliti menggunakan konsep yang
dikemukakan oleh Krzyzanowski dan Wodak (2008) yang menjelaskan bahwa identitas
migran adalah secara inheren ambivalen dan terus-menerus tunduk pada perubahan yang
melekat dan berkelanjutan. Selain itu, van Gennep (1960) juga menjelaskan bahwa
tindakan migrasi berdasarkan konsep dasar keterbatasan dapat dikonseptualisasikan
sebagai kegiatan peralihan dikarenakan pengalaman migrasi memiliki kekuatan untuk
mengubah kehidupan pengungsi. Pengungsi dapat dipaksa untuk mendapatkan status dan
peran sosial yang baru untuk bertahan. Keadaan keterbatasan yang dimiliki oleh pengungsi
dapat menempatkan mereka di luar dari struktur sosial dan keadaan yang tidak pasti
sampai waktu yang tidak dapat dipastikan.
Penelitian ini dilakukan selama 18 bulan mulai dari bulan Agustus 2016 hingga
Februari 2018 di salah satu daerah di kota Kursehir, Turki, yang bernama Jalan Kadife.
Etnis Turkmen Irak sebagai komunitas bilingual bahasa Turki Turkmen dan bahasa Arab,
dapat berkomunikasi dengan penduduk lokal secara lebih baik dibandingkan pengungsi
etnis lain. Kepemilikan bahasa yang sama menjadi data interaksi yang digunakan dalam
penelitian ini, dimana peneliti berusaha mengumpulkan data dari percakapan yang
berlangsung secara spontan antara pengungsi dan warga lokal. Penelitian ini mengacu
pada bingkai etnografi linguistik dalam mengumpulkan dan memahami data, sedangkan
metode analisis memiliki kedekatan dengan bingkai sosiolinguistik interaksional yang
dikemukakan oleh Gumper (1982). Pemahaman antara bahasa dan kehidupan sosial
membawa dimensi etnografis kepada koleksi data dan analisis wacana dari data interaksi.
Pengumpulan data sendiri dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah,
wawancara, dan perekaman audio dari interaksi spontan dengan 15 wanita lokal dan 6
wanita etnis Turkmen Irak.
Penelitian ini menunjukkan hasil dimana para pengungsi wanita keturunan Irak-
Turkmen yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki loyalitas yang kuat terhadap
identitas kenegaraan Irak mereka. Untuk menunjukkan identitas mereka sebagai orang
Irak, mereka memiliki kecenderungan untuk memilih menjadi tidak selaras dengan Ke-
’Turki’-an mereka. Berdasarkan wacana keseharian mereka, dapat dilihat bahwa dasar dari
rasa bangga terhadap kewarganegaraan mereka dapat dilihat dari adat istiadat, serta cara
hidup yang dijalani oleh para pengungsi wanita keturunan Irak-Turkmen. Meskipun
terdapat peristiwa di masa lalu antara kelompok etnik Turkmen Irak dan Turkmen Turki,
namun dapat dilihat pada saat ini di dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasret Saygi ini
bahwa terdapat jarak antara kedua dua kelompok etnis tersebut yang pada akhirnya
memilih untuk mengelompokkan diri mereka berdasarkan hubungan kenegaraan.
Selain itu, penelitian ini juga mendemonstrasikan perlawanan wanita Turkmen Irak
untuk menjadi bagian dari budaya lokal dan identitas yang mengandung wacana yang
berlawanan. Para wanita Turkmen Irak mengklaim kepemilikan terhadap identitas Turki
dengan menekankan pada kesamaan etnis, karakter kebahasaan, dan ikatan keagamaan
dengan para warga lokal. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 2 latar belakang
bahasa (Arab dan Turki) yang dimiliki, membantu mereka membentuk identitas baik
identitas sebagai Turkmen Irak dan Turkmen Turki, serta pencampuran dan penggabungan
antara keduanya.
III. Tinjauan Kritis
1. Teori
Sebagai fokus utama penelitian ini, teori mengenai rasa kepemilikan menjadi sangat
penting dan mutlak. Teori mengenai rasa kepemilikan haruslah dijelaskan secara
mendalam untuk memenuhi pemahaman secara lebih luas dan holistik, utamanya
dengan paradigma etnografi linguistik yang digunakan. Teori rasa kepemilikan yang
digunakan dalam penelitian ini mengutip dari berbagai pendapat seperti Yuval-Davis
(2006), Probyn (1996), Bommaert dan Rampton (2011), dan Silverstein (20023) dari
perspektif sosiolinguistik memang dapat digunakan untuk melihat bagaimana tindak
komunikasi dan berbahasa, utamanya wacana, digunakan dalam mencerminkan rasa
kepemilikan seseorang terhadap komunitas baru tempat mereka berada sekarang. Teori
mengenai rasa kepemilikan ini juga pada akhirnya dapat digunakan untuk menjelaskan
identitas pengungsi di tengah-tengah komunitas lokal.
Teori berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori rasa keterbatasan
dan status kondisi pengungsi. Pada penelitian ini, teori rasa keterbatasan pada dasarnya
tidak digunakan untuk menjelaskan rasa kepemilikan maupun terkait identitas
pengungsi, namun lebih digunakan untuk mengkaji bagaimana para pengungsi
membangun legitimasi para komunitas lokal tempat para pengungsi tersebut tinggal
serta bagaimana mereka memosisikan diri mereka demi mendapatkan peran sosial dan
status untuk dapat bertahan hidup. Hal ini akan menjadi lebih menarik apabila kita
mengetahui bahwa kesamaan etnis dan bahasa yang dimiliki tidak akan berguna hanya
dikarenakan status pengungsi yang dimiliki, sesuai kutipan dari Saygi (2019).
Fenomena ini mengakibatkan pengugsi akan selalu dikecualikan baik dalam hal
kepemilikan dan identitas di dalam komunitas baru mereka. Oleh karena itu teori ini
memang tepat digunakan untuk mengkaji bagaimana usaha dan perjuangan pengungsi
untuk mendapatkan status, peran, dan identitas sosial baru agar diterima oleh komunitas
barunya.

2. Metode
Seperti paradigma etnografi pada umumnya, penelitian ini dilakukan dalam kurun
waktu yang cukup lama, yakni 18 bulan, atau 1,5 tahun. Selain itu peneliti
menempatkan dirinya di tengah-tengah komunitas dari objek penelitian untuk
mendapatkan data berupa percakapan spontan, sehingga data percakapan yang
didapatkan adalah percakapan yang bersifat natural. Wawancara dan kunjungan ke
rumah narasumber juga dilakukan dalam penelitian ini sebagai upaya untuk melakukan
uji validitas dan keabsahan data. Peneliti juga merupakan penutur asli dari bahasa Turki
yang juga menjadi salah satu bahasa yang digunakan oleh para penutur sehingga
memungkinkan metode refleksi peneliti dalam menganalisis data. Hal ini juga sejalan
dengan kajian atau penelitian etnografi di mana data yang dikumpulkan haruslah
bersifat natural atau dalam keadaan alaminya, wawancara sebagai salah satu bentuk uji
validitas dan keabsahan data, serta refleksi diri peneliti dalam mengkaji data yang
sudah dikumpulkan. Namun hal yang paling menarik dari metode yang digunakan
adalah paradigma etnografi linguistik sebagai acuan dari penelitian ini. Penelitian ini
berusaha mengkaji bagaimana tindak komunikasi dan ujaran pengungsi digunakan
untuk melihat rasa kepemilikan serta bagaimana perjuangannya dalam mendapatkan
status, peran, dan identitas sosial yang baru di masyarakat.
3. Peninjauan Hasil
Peneliti dalam memaparkan hasil temuan penelitiannya menggunakan cara yang sangat
sistematis. Pada bagian awal peneliti melihat bagaimana para pengungsi mencari
kepemilikan dan koneksi dengan menggunakan identitas ke-‘Turki’an mereka agar
dapat diterima dan dilegitimasi status sosial mereka oleh para masyarakat lokal tempat
mereka berada. Para narasumber penelitian menggunakan tindak komunikasi dan tindak
tutur mereka untuk menjelaskan identitas mereka yang sejatinya memiliki keturunan
Turki, baik dengan cara memosisikan diri mereka sebagai orang Turki, maupun dengan
menceritakan sejarah keluarga mereka yang memang lahir dan besar pada zaman
dahulu, namun pergi merantau ke Irak. Selain itu juga terjadi tindak tutur di mana
narasumber secara terang-terangan menolak identitasnya sebagai orang Arab.
Setelah berusaha mengkaji bagaimana tindak komunikasi dan tindak tutur para
pengungsi wanita tersebut dilakukan untuk mendapatkan koneksi dengan masyarakat
lokal, peneliti memaparkan hasil penelitian berupa konstruksi dari kepemilikan dan
kerinduan terhadap negara asal mereka, yaitu Irak. Para pengungsi menunjukkan rasa
kerinduannya terhadap tanah air mereka dikarenakan mereka menilai bahwa nilai
budaya dan moral mereka lebih superior dibandingkan dengan yang ada di Turki. Hal
ini terlihat pada tuturan mereka yang membandingkan bagaimana perempuan di Turki
tidak mampu merawat orang lansia, dan bahkan tidak memperlakukan suami mereka
dengan baik. Selain itu cara berpakaian yang dilakukan oleh orang Turki, khususnya
perempuan Turki yang tidak sejalan dengan nilai moral dan budaya yang ada di Irak, di
mana perempuan di Turki banyak yang menggunakan celana. Celana dalam sudut
pandang mereka merupakan identitas orang kristen. Hal ini menyebabkan mereka pada
akhirnya mereka berusaha memberikan jarak dengan nilai moral dan budaya yang ada
di Turki.
Aspek terakhir yang dikaji oleh peneliti adalah fenomena rasa takut yang dimiliki
oleh para pengungsi akan hilangnya identitas mereka sebagai orang Irak, oleh adanya
sebuah fenomena yang peneliti sebut dengan istilah Turkifikasi. Hal ini terlihat melalui
tuturan salah satu narasumber dalam penelitian ini yang menceritakan bagaimana anak-
anaknya mulai meninggalkan nilai-nilai serta praktik-prakti agama mereka. Selain nilai
dan praktik agama, anak-anak pengungsi juga mulai meninggalkan cara hidup orang-
orang Irak yang menjadi identitas mereka sebelum memutuskan untuk mengungsi dan
meninggalkan Irak. Padahal nilai-nilai budaya dan agama tersebut menjadi sebuah
ikatan afektif terhadap tanah air mereka. Bentuk-bentuk turkifikasi juga terlihat pada
budaya pop yang ada pada lagu-lagu yang anak-anak pengungsi dengarkan,
dibandingkan dengan ayat-ayat Al-Quran yang menjadi kebiasaan mereka sebelum
mengungsi. Hal ini menyebabkan ketakutan akan hilangnya identitas mereka sebagai
orang Irak dan muslim dikarenakan gelombang paparan turkifikasi yang ada tersebut.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan penguatan terhadap teori rasa kepemilikan di
mana para pengungsi masih memiliki rasa kepemilikan dan loyalitas yang masih kuat
terhadap tanah air mereka. Namun pada saat yang sama para pengungsi juga memiliki
rasa kepemilikan terhadap darah Turki yang dimiliki, yang ditunjukkan dengan tindak
komunikasi dan tindak tutur mereka dalam kesehariannya. Meskipun begitu, adanya
jarak yang mereka bangun dengan nilai-nilai turkifikasi menyebabkan mereka juga
mulai kehilangan identitas mereka sebagai orang Irak. Keterbatasan yang ada juga
mendorong pengungsi untuk melakukan wacana dan komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai