Anda di halaman 1dari 118

BAB I KONSEP DIASPORA

A. Konsep Umum Diaspora baik sebagai istilah, konsep, fenomena, maupun teori sejauh ini masih
jarang muncul dalam diskursus akademis maupun praksis (rancangan dan program aksi kebijakan) di
belahan mana- pun di dunia utamanya di negara-negara berkembang. Di Indonesia, terminologi itu
juga belum banyak dipahami oleh masyarakat luas. Padahal fenomena diaspora mungkin sudah
terjadi sejak manusia, termasuk nenek moyang kita, meletakkan batu bata pertama ke- budayaan
(nilai-nilai) untuk membangun peradaban human. Lalu apa itu diaspora? Merujuk pada beberapa
referensi dari ilmuwan barat, kata diaspora diduga berasal dari bahasa Yunani diaspeiro, yang secara
sederhana sering diterjemahkan sebagai penyebaran. Dari literatur yang ada, kata diaspeiro mulai
digunakan pada awal abad ke-5 SM. oleh Sophocles, Herodotus, dan Thucydides. Sedangkan
penggunaan kata diaspora sebagai kata baru dilakukan oleh 70 sarjana Yahudi legendaris di
Alexandria pada abad ke-3 SM ketika mereka mener- jemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa
Yunani. Namun dalam Alkitab Septuagint itu, kata diaspora tidak me- ngacu pada disperse bersejarah
(pergerakan dan penyebaran manusia di masa lampau) tetapi diterjemahkan dalam beberapa kata
Yunani seperti apoikia (imigrasi), paroikia (penyelesaian di luar negeri),BAB I: Konsep
Diaspora metoikia (emigrasi), metoikesia (transportasi), aikhmalosia (tahanan
masa perang), dan apokalupsis (wahyu). Seiring dengan berjalannya waktu, kata
diaspora yang dimaknai sebagai penyebaran manusia mulai dipergunakan oleh
para ahli sejak pertengahan abad ke-20. Dalam konteks ini, para ahli cenderung
bersepakat bahwa tahun 1965 merupakan tahun munculnya istilah Jewish
diaspora dan Black/African diaspora. Kajian mengenai pergerakan dan
penyebaran kaum Yahudi (Jewish diaspora) serta situasi kehidupan orang-orang
berkulit hitam/Afrika di luar negara Afrika (Black/African diaspora) mendominasi
khasanah akademis setelah lahirnya istilah tersebut. Selain itu, juga ada kajian
mengenai orang-orang Palestina dan China meskipun dalam lingkup yang lebih
terbatas. Pengalaman pergerakan dan penyebaran Yahudi tersebut me- narik
minat para akademisi karena berkaitan dengan sejarah Yahudi, yang ditandai
dengan perubahan konstan antara sentralitas dari tanah Israel dimana tidak ada
kekuasaan Yahudi yang berdaulat antara abad 586 SM. dan tahun 1948. Aspirasi
mereka untuk kembali ke tanah Israel dari belahan mana pun di dunia pararel
dengan aspirasi orang- orang Afrika yang ada di Amerika Serikat dan Inggris untuk
kembali ke Afrika pada awal 1787 ketika Pemerintah Inggris memberi
dukungan untuk pemukiman dan tempat tinggal di Sierra Leone. Fenomena itu
berlanjut sampai awal abad ke-20. Secara umum, setidaknya sampai per
tengahan abad 20, pengertian diaspora di Eropa hanya berkaitan dengan
teologi atau studi tentang agama. Pada tahun 1974, misalnya, muncul buku Edward Weston yang membahas masyarakat Yahudi di Inggris, Diaspora: Some
Reflection upon the Question relating to the Naturalization of Jews, considered as
a Point of Religion. Istilah diaspora juga sering digunakan di Jerman, Inggris dan
di Amerika Serikat selama abad ke-19. Pembahasan yang dirujuk berasal dari
teks-teks Alkitab Per- janjian Lama khususnya tentang penyebaran orang-orang
Yahudi, dan teks-teks Alkitab Perjanjian Baru tentang situasi gereja Kristen yang
tersebar di lingkungan orang-orang yang belum beragama atau masyarakat nonAlkitab tapi disatukan oleh agama mereka, seperti orang Armenia dan orang
Moravia. Baru pada tahun 1986, Gabriel Sheffer menulis buku berjudul A New Field
of Study: Modern Diasporas in International Politics, yang memberikan definisi yang
lebih luas tentang diaspora, namun jauh lebih rumit. Sheffer menambahkan
elemen mendasar, yaitu pemeli- haraan hubungan dengan tempat asal. Diaspora
modern adalah kelompok etnis minoritas migran asal yang bertempat tinggal dan
bertindak di negara tuan rumah, tetapi mempertahankan hubungan sentimental
dan material yang kuat dengan tanah air atau negara asal mereka.
Sehubungan dengan hal tersebut, pengertian diaspora mengan- dung beberapa
faktor yang menjadi asal-usul migrasi baik secara suka- rela atau secara paksa

(voluntary or forced migrant), mereka bermukiman atau bertempat tinggal di


salah satu atau beberapa negara, melakukan pemeliharaan identitas dan
solidaritas masyarakat sehingga memungkinkan orang menjalin hubungan antara
kelompok dan untuk mengatur kegiatan yang bertujuan melestarikan identitas
tersebut. Selain itu juga adanya hubungan antara negara asal yang ditinggalkan
dengan negara tuan rumah saat ini. Pada tahun 2003, Gabriel Sheffer, seperti
dibahas Stephane Dufoix (2008) meninjau kembali definisi diaspora tersebut
dan memperkenalkan istilah diaspora etno-nasional. Dengan konstruksi seperti
itu, pembahasan mengenai diaspora tentu saja tidak bisa dilepaskan
keterkaitannya dengan migrasi manusia (human migration). Ini berkaitan dengan
usia diaspora itu sendiri yang secara hipotesis sama tuanya dengan dimulainya
migrasi manusia. Pada pengertian klasik, migrasi manusia lebih menekankan
kepada perpindahan manusia dari suatu wilayah/negara ke wilayah/ negara lain
untuk mencari kehidupan yang lebih baik. M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 3

BAB I: Konsep Diaspora Namun di dalam perkembangannya bahwa migrasi


manusia ini tidak sekedar berpindahnya manusia dari satu wilayah ke wilayah
lainnya. Saat ini pengertian migrasi secara modern telah banyak berubah, yaitu
migrasi manusia secara simultan berarti juga me- nyebabkan terjadinya migrasi
aspek-aspek kehidupan lainnya, atau lebih dikenal dengan migrasi transnasional
(transnational migration). Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bukunya
Transnational Mi- gration, Thomas Faist, Margit Fauser, dan Eveline Reisenauer
(2013) menyatakan sebagai berikut : A transnational perspective on migration
and this is what we mean by transnational migration focuses on how the crossbor- der practices of migrants and non-migrants, individuals as well as groups and
organizational, link up in social space criss-crossing national states, mould
economics, political and cultural condi- tions, and are in turn shaped by already
existing structures. The transnational has three components. First, migrants ties
are embedded in broader processes of transnationalization that is, the processes
involving transnational ties and practices in various fields, including the cross-border
transactions of goods, services, capital and ideas and the movement of people.
Second, the trans- actions of migrants and other agents across borders result in
so- cial formations we call transnational social spaces. These social spaces take
various forms, including kinship groups, circuits and communities. Third, individuals
and groups engage in an con- tinuum of cross-border transactions ranging from
activities such as travelling, exchanging goods and services, and sending and
receiving remittances to communicating ideas back and forth. It is thus
transnationality, the degree of connectivity between mi- grants and non-migrants
across national borders, which becomes important. Pendapat tersebut pada
intinya menyatakan bahwa migrasi itu bersifat transnasional atau lintas batas
negara, yaitu para pekerja migran atau bukan yang melintasi perbatasan negara
baik perorangan 4 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan
Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora maupun kelompok atas dasar keadaan ekonomi, politik,
atau budaya. Transnasional mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu (1) kegiatan
transnasional yang lebih luas berupa transaksi lintas batas negara barang-barang,
jasa, modal, dan perpindahan orang-orang; (2) ke- giatan transaksi para migran
yang bersifat sosial seperti kunjungan kekeluargaan dan kemasyarakatan; (3)
Perorangan dan kelompok terlibat dalam serangkaian transaksi lintas batas
negara seperti per- jalanan wisata, pertukaran barang dan jasa, pengiriman dan
pe- nerimaan hasil usaha/uang. Tingkat hubungan antara migran dan bukan
migran yang melintasi batas-batas negara tersebut telah me- nunjukkan kegiatan
yang bersifat transnasional makin penting. B. Tiga Kelompok Definsi Menurut
Stephane Dofoix (2008) konsep umum mengenai diaspora tersebut belum
dikembangkan untuk menjadi teori ilmu sosial. Apabila hal itu dianggap berlebihan,
setidaknya dikembang- kan sebuah definsi yang memadai mengenai diaspora di
dalam cakupan ilmu sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan kajian
kepustakaan yang dilakukan, Stephane Dofoix membagi definsi mengenai diaspora
ke dalam tiga kategori, yaitu open definitions (definisi-definisi ter- buka),
categorical definitions (definisi-definisi yang bersifat kategori), dan oxymoronic
definitions (batasan-batasan yang mempunyai arti berlawanan). Open definitions
merujuk pada pandangan yang longgar dan tidak membeda-bedakan obyek kajian
dan tidak apriori terhadap semua gejala yang terjadi. Jadi meskipun penyebaran
hanya mencakup be- berapa orang seperti para pemburu dan gypsies, sejauh
mereka tidak mempunyai basis teritorial maka mereka termasuk diaspora. Batasan
tersebut dielaborasi lebih dalam oleh Gabriel Shaffer (1986) yang memasukkan
elemen penting yaitu menjaga hubungan dengan negara asal. Dengan istilah lain,
diaspora adalah kelompok- M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan
dan Keimigrasian
5

BAB I: Konsep Diaspora kelompok etnis minoritas yang tinggal dan melakukan
kegiatan di suatu tempat (negara) dan tetap menjaga hubungan material dan
sentimental dengan Tanah Air mereka berasal. Dengan demikian diaspora
adalah sebuah fenomena yang setidaknya mencakup bebe- rapa faktor seperti
sebab musabab perpindahan penduduk (baik se- cara sukarela maupun
paksaan, bermukim di satu atau beberapa negara, menjaga identitas dan
solidaritas di antara mereka, dan men- jaga hubungan antara tempat tinggal
mereka sekarang dan negara asal mereka. Tahun 2003, dalam bukunya yang
berjudul Diaspora Politics: At Home Abroad, Gabriel Shaffer merangkum batasan
ter- buka yang panjang tersebut ke dalam satu terminologi, yaitu ethno- national
disporas. Categorical definitions mencakup batasan-batasan yang yang tegas dan
sesuai dengan kriteria ilmiah. Perbedaan antara batasan yang benar dan salah
mengenai diaspora bersifat mutlak khususnya yang mencakup eksistensi
penduduk. Sebuah diaspora yang benar dapat dilihat dari besarnya penyebaran
orang ke negara lain di- bandingkan dengan total penduduk di negaranya.
Apabila prosentasenya kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk di negara
asalnya, misalnya hanya ada 20 juta orang China di Asia Tenggara, maka itu tidak
bisa disebut diaspora. Jumlah itu terlalu kecil sehingga tidak signifikan
dibandingkan dengan penduduk China yang ber- jumlah lebih dari satu milyar
orang. Dengan mempergunakan batasan tersebut, di dunia ini hanya ada lima
fenomena yang bisa disebut sebagai diaspora, yaitu diaspora Yahudi, Lebanon,
Palestina. Arme- nia, dan Irlandia. Sedangkan oxymoronic definitions berakar dari
pemikiran post- modernisme yang muncul pada era 1980-an, sebuah pemikiran
yang didominasi oleh keraguan, fragmentasi, tanpa narasi besar kebenaran,
perbauran rasial, dan identitas yang cair. Pemikiran ini berlawanan dengan
pemikiran sebelumnya khususnya positivisme yang berpijak pada alasan-alasan,
M. Iman Santoso:
kemajuan, universalitas, dan stabilitas. Dengan 6
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora demikian diaspora di sini tidak dikaitkan dengan Tanah
Air, identitas maupun apa saja yang bersifat asli tetapi pada pengakuan
heterogenitas dan diversitas yang hidup dalam hibriditas (cangkokan- cangkokan)
sosial. Sehingga hidupnya diaspora ide lebih bermakna daripada realitas identitas
dan tanah asal. C. Kategori Diaspora Berdasarkan ketiga definisi tersebut,
seiring dengan jalannya sejarah pergerakan manusia selama berabad-abad,
penyebaran manusia di dunia dengan segala latar belakang dan persoalan yang
menyelimutinya, oleh Robin Cohen (1997) dikelompokkan dalam lima kategori.
Dengan analogi tukang taman yang piawai mengurus bunga pepohonan, Robin
Cohen membagi fenomena diaspora seperti terminologi berkebun, yaitu: 1)
weeding (menyiangi); 2) sowing (menabur benih); 3) transplanting (menyetek); 4)
layering (melapisi); 5) cross-pollinating (membiakkan serbuk). Diaspora model
weeding merujuk pada fenomena penyebaran penduduk karena mereka menjadi
korban atau mengungsi karena konflik sosial maupun politik. Diaspora orang-orang
Yahudi, Afrika, Armenia, Palestina, dan Irlandia masuk dalam kategori ini. Sedangan
sowing merujuk diaspora karena kolonialisme seperti yang terjadi pada orang-orang
Yunani Kuno, Inggris, Rusia, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Pola transplanting
merupakan tipe diaspora yang berkaitan dengan tenaga kerja dan pelayanan
seperti berlaku pada orang-orang India, China, Jepang, Sikh, Turki, dan Italia.
Diaspora layering adalah penyebaran penduduk karena perdagangan, bisnis,
dan kerja profesional. Ini menunjuk pada orang-orang Venesia, Lebanon, China,
India, dan Jepang. Sedangkan cross-pollinating adalah diaspora yang berkaitan
dengan faktor budaya dan fenomena masyarakat postmodernisme seperti
yang terjadi pada orang-orang Karibia, China, dan India.
M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
7

BAB I: Konsep Diaspora Diaspora weeding: kasus Afrika dan Armenia Diaspora
weeding atau biasa disebut diaspora korban (victim diasporas) narasi besarnya
adalah kasus diaspora orang-orang Afrika dan Armenia, Kedua kasus tersebut,
berbeda dengan kasus orang- orang Yahudi, yang meskipun termasuk dalam
diaspora korban, tapi mereka tidak muncul tiba-tiba di dunia baru sebagai budak.
Mereka juga secara fenotipik berbeda dari mayoritas imigran yang ke Amerika
Serikat. Hal inilah yang membuat mereka lebih mudah diserap ke dalam atau
diterima oleh populasi kulit putih dan dengan demikian tidak menjadi target
diskriminasi. Sebaliknya pada diaspora Afrika dan Armenia, diskriminasi terjadi
sejak awal kemunculannya. Pada diaspora Afrika, praktik sosial seper ti
penindasan, pembunuhan, pembakaran, dan kekerasan, sebenarnya menjadi
bagian dari kehidupan lokal mereka sendiri. Namun hal tersebut seringkali
menjadi kedok pembenaran perbudakan Afrika. Bagi banyak orang, Afrika
ditandai dengan perbudakan, kemiskinan, pen- cemaran, eksploitasi, superioritas
kulit putih, maupun hilangnya bahasa dan harga diri. Selain itu, dalam membaca
bagaimana asal- usul diaspora Afrika yang kaya dan kompleks tersebut tidak
bisa dilepaskan dari terjadinya perdagangan budak di Atlantik dan Samudera
Hindia. Dari sini, muncul semacam trauma kolektif bagai- mana para diaspora Afrika
sebagai korban. Sisi lain yang bisa dilihat dari diaspora Afrika adalah bahwa penciptaan diaspora korban sering melahirkan aksi perlawanan bahkan dengan
tokohnya masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh pe- mimpin populis kelahiran
Jamaika Marcus Garvey. Daya tarik Garvey sebagai pemimpin populis adalah
kebutuhan untuk melarikan diri dari keputusasaan, dari kebencian dan kehinaan
diri sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan martabatnya. Seperti diuraikan
oleh penulis Amerika-Afrika Richard Wright, seorang pengamat yang mencermati
awal gerakan kesadaran kulit hitam ini, bahwa Garveyisme menunjukkan
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan
penolakan bergairah 8
dan Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora terhada Amerika Serikat, karena mereka dengan


keterusterangannya merasakan bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk
hidup sebagai manusia yang utuh di Amerika Serikat. Pemimpin lain yang
menjulang dari diaspora Afrika adalah WEB DuBois. DuBois men- jadi tokoh sentral
pada awal gerakan Pan-Afrika. Gerakan ini mem- perlihatkan sebuah komitmen
politik yang visioner yang bersemangat dari Karibia. Gerakan ini diartikulasikan
secara luas terutama di Dunia Baru, dengan tujuan membangun sebuah Afrika
yang kuat, bersatu, dan kaya. Pada diaspora Armenia, masyarakat asli dari
Armenia Barat bermigrasi ke belahan dunia lain bahkan sesuai etnogenesis
mereka juga muncul di Asia Kecil. Armenia menjadi korban pembantaian pada
1915-1916 ketika pemerintah Turki bersekutu dengan Jerman untuk merebut
wilayah Armenia Barat dalam Perang Dunia Pertama. Pada saat ini mereka
dihadang oleh Rusia yang secara sepihak meng- klaim bahwa Armenia Barat
merupakan bagian dari wilayah Rusia. Dengan klaim itu seharusnya Armenia
menjadi kuat karena ditopang Rusia. Namun kelompok relawan Armenia telah
dibubar- kan Rusia karena dianggap sebagai ancaman bagi Kekaisaran Rusia.
Meskipun dalam kesepakatan rahasia Anglo-Rusia, Tsar telah men- dapat
persetujuan Inggris untuk memasukkan Armenia menjadi bagian Rusia setelah
perang. Namun perhitungan tersebut seperti sia-sia karena adanya kejadian luar
biasa di Rusia, yakni revolusi Menshevik. Revolusi Menshevik di musim semi tahun
1917 telah membuka peluang bagi Armenia untuk menentukan nasib sendiri dan
melahir- kan sebuah negara liberal demokratis. Namun, meningkatnya
demoralisasi tentara Rusia dan iming-iming revolusi menyebabkan desersi masal di
antara mereka. Ini mengakibatkan pertempuran berdarah dengan berbagai
kekejamannya antara tentara Turki yang didukung oleh para tentara yang disersi
tersebut dengan Armenia. Di tengah kelaparan, kekurangan atau keterbatasan,
Armenia nyaris seperti bertahan untuk sebuah kematian yang suram. Pada M.
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 9

BAB I: Konsep Diaspora akhir 1920, semua yang tersisa dari mereka sebagai
negara merdeka adalah Soviet Armenia, sepersepuluh dari yang sebuah
bayangan Great Armenia. Orang-orang Armenia yang selamat dari kekejaman
kemudian bergabung dengan komunitas awal Timur Tengah, terutama di Lebanon,
Suriah, Palestina, dan Iran. Sebagian jumlah yang signifikan tersebar lebih jauh ke
Ethiopia, Timur Jauh, Amerika Latin khususnya Argentina, Yunani, Italia dan juga
Inggris. Jumlah lain yang cukup besar dan mapan dari komunitas Armenia juga
muncul di Perancis dan Amerika Serikat. Pada kasus Afrika dan Armenia, dapat
dikatakan bahwa keduanya sesuai dengan atribut dari diaspora korban. Afrika
disebut diaspora korban oleh sebab kemunculan perbudakan Atlantik dan
Armenia disebabkan oleh pembantaian pada tahun 1915-1916. Dalam kasus
Afrika, terdapat elemen yang lebih dari sebuah migrasi sukarela dan prosesnya
agak panjang baik di India dan Samudra Atlantik. Demikian halnya juga pada
Armenia, bahwa sejarah populasi mereka cukup rumit dan berliku. Pada kedua
kasus tersebut melekat memori kolektif dan mitos tentang Tanah Air mereka. Untuk
Afrika, negara asal mereka berpusat terutama di Ethiopia, sebuah entitas yang
baik yang terbangun dari sebuah legenda. Sementara untuk Armenia, seperti
Alkitab yang menunjukkan Bahtera Nuh mendarat di Ararat, Ar- menia
menunjuk pada Great Armenia di pusat Eropa. Diaspora sowing dan
transplanting: kasus India dan Inggris Diaspora karena kolonialisme (sowing)
dan yang bertautan dengan tenaga kerja (transpanting) dapat dilihat dari
orang-orang India yang dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan-perkebunan
tanaman tropis yang ada di Inggris, Belanda dan Perancis pada tahun 1880-an
sampai 1920. Dalam konteks ini, pemahaman diaspora menjadi siapapun yang
melakukan migrasi secara internasional untuk bekerja (mencari kerja), baik secara
individual, keluarga, maupun kelompok kecil, dan tidak berhubungan dengan
praktik kolonialisme, dapat dikategorikan sebagai diaspora proletariat. Sebaliknya,
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan
kalau 10
Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora bersifat mobilisasi, apalagi berkaitan dengan sistem


kolonialisme, maka disebut diaspora mobilisasi. Diaspora tenaga kerja dan
kolonialisme yang terjadi pada orang- orang India bukan saja menggambarkan
buruk dan jauhnya per- jalanan yang harus mereka tempuh, kecilnya gaji yang
diterima, te- tapi juga tidak adanya perlindungan hukum. Tidak mengherankan
jika muncul pula sebutan bahwa diaspora sowing dan transplanting pada
hakekatnya tak lebih dari diaspora perbudakan. Terlebih lagi kalau sistem sosial
yang berlaku dalam masyarakat mereka adalah kasta. Penjajah akan
memanipulasi sistem tersebut demi keuntungan sendiri. Artinya, mereka merasa
sah untuk memindahkan dan mem- pekerjakan kasta bawah, utamanya orangorang sudra untuk men- jadi kuli di perkebunan-perkebunan tanaman tropis
mereka. Selain itu, juga mengirim mereka untuk bekerja di negara-negara lain
yang mereka jajah. Selain itu, diaspora tenaga kerja dan kolonialisme juga berlaku
bagi orang-orang yang melakukan penjajahan. Kasus Inggris, misal- nya, mereka
yang miskin, pengangguran, militer, dan profesional juga menjadi diaspora di
wilayah jajahan karena dikirim oleh kerajaan. Mereka harus bekerja di wilayahwilayah taklukan tersebut. Diaspora layering: kasus China dan Lebanon Kasus
China dan Lebanon merupakan contoh praksis diaspora layering (perdagangan,
bisnis, dan profesional). Dalam konteks ini, sejarah Komunitas Perdagangan
Hokkien dapat digunakan untuk melihat perbedaan penting antara diaspora
perdagangan dengan diaspora kerajaan atau negara. Diaspora perdagangan tidak
disponsori oleh negara. Sedangkan imperial diaspora disponsori negara. Bangsa
China yang terkenal dengan solidaritas keluarga dan klan memiliki kemampuan
adaptasi yang baik. Salah satu contohnya adalah ketika mereka berdiaspora ke
Singapura. Para pedagang China diundang ke Singapura di abad kesembilanbelas
oleh Sir Stamford Raffles untuk membangun pelabuhan. Ketika itu mereka mampu
se- M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 11

BAB I: Konsep Diaspora cara cepat belajar hukum-hukum Eropa dan praktik
perdagangan dan dengan cepat memulai berbahasa Inggris untuk tujuan komersial.
Menurut Raffles, kemakmuran yang dicapai Singapura merupa- kan suatu
keajaiban yang berasal dari kebebasan penuh dari per- dagangan, yang secara
umum dilakukan oleh para pedagang China. Di era kolonial tersebut, Bangsa
China pun bermigrasi ke wilayah kolonial Belanda. Penguasa kolonial Belanda di
Batavia mengatakan bahwa tidak ada masyarakat yang dapat melayani kami lebih
baik dibanding bangsa China. Diaspora China, di era awal berbentuk circular
migration, yang bisa digambarkan sebagai sojourning (persinggahan).
Maknanya, penyebaran orang-orang China tersebut bersifat sementara dan
mereka bergerak terus dari satu tempat ke tempat lain sambil men- jaga
hubungan sosial-politik dengan tanah leluhur. Pola diaspora seperti ini menyusut
ketika Revolusi 1911 terjadi. Strategi berdagang keluar negeri namun dengan tetap
mengelola hubungan politik, sosial, dan budaya dengan tanah leluhur dan sesama
diaspora di belahan lain di dunia semakin sulit. Salah satu alasannya adalah
komunitas di luar negeri, generasi China kedua atau ketiga secara kultural
terlokalisasi dan mulai membuang kebiasaan-kebiasaan lama yang dianggap
kuno. Namun setelah revolusi China 1949, jurang ideologi antara Republik Rakyat
China dan diaspora kembali terjembatani. Dari sini jalinan bisnis antara diaspora
dan para pelaku bisnis di daratan China kembali menguat. Dalam
perdagangannya yang se- makin dinamis dan semakin mengglobal tersebut,
para pedagang China khususnya Hokkien, merupakan contoh etnis yang sukses.
Berbeda dengan Diaspora China yang didominasi pedagang, diaspora bangsa
Libanon terbagi ke dalam dua kelompok berbeda, yaitu pedagang dan pekerja.
Sejak abad ke-17 sampai 19, kaum pe- dagang telah mengatur jaringan
perdagangan yang berkembang antara Timur Tengah dan Eropa. Namun
demikian, warna diaspora Lebanon tidak selalu diwarnai pedagang. Ada
saatnya diaspora didominasi kaum pekerja. 12
M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora Komposisi kelompok diaspora antara pedagang dan


pekerja ter- nyata tidak tetap setiap tahunnya. Perubahan komposisi tersebut
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Contoh perubahan motif berdiaspora
tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1, seperti yang dicatat Pemerintah Argentina
antara Tahun 1876 sampai 1913. Tabel 1 Motif Diaspora Timur Tengah
(Mayoritas Libanon) ke Argentina

Pedagang
Pekerja

Tahun
1876-9
8135
(81,9%)
437 (4,4%)

Tahun 1900 Tahun 1909 Tahun 1913


1146
(72,3%)
111 (7%)

5763 (49%) 904 (4,6%)


1905
(16,2%)

9506
(48,6%)

Sumber: Klich (1992:265) Data tersebut mengindikasikan adanya konsekuensi dari


kebijakan penguasa Lebanon ketika itu, yang menerapkan wajib militer Tahun
1908. Data tersebut juga memperlihatkan adanya sikap pemerintah Lebanon
yang kadang enggan memberikan izin kepada warganegara Lebanon yang memiliki
kemampuan dalam perdagangan dan bisnis meskipun itu memberikan
keuntungan bagi kerajaan. Dengan demikian diaspora Lebanon ini sangat
dinamis; dalam arti para migran tersebut biasanya akan kembali ke kampung
halamannya. Setidaknya hal ini terdata antara Tahun 1926 sampai 1933. Ketika
itu, jumlah migran yang kembali mencapai 41%. Fenomena tersebut sering
digambarkan sebagai fenomena Kupu- kupu yang kembali menjadi ulat. Satu satu
alasan penting pulang kampung adalah meskipun memori mereka dipenuhi oleh
berbagai konflik etnis, bayangan kampung halaman tetap mengalahkan
semangat diaspora mereka. Dengan istilah lain, bagi diaspora Leba- non, rindu
kampung halaman melebihi nyamannya hidup di negeri orang. M. Iman
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 13 BAB I: Konsep
Diaspora Diaspora pollinating: kasus Karibia Theodore Adorno pernah
mengatakan untuk tidak betah tinggal di kampung halamannya sendiri adalah
bagian dari moralitas. Seperti cerita orang-orang Karibia di perantauannya di luar
negeri. Perilaku orang-orang Karibia di perantauan atau di tempat persinggahan
mereka di luar negeri menciptakan sebuah diaspora budaya (cultural diaspora).
Mereka menciptakan diaspora budaya melalui bentuk-bentuk manifestasi budaya
yang mengakar dan bercabang-cabang untuk mengkonstitusi, tidak hanya
kesadaran orang-orang Karibia, namun juga dalam tindakan sosial dan segala
pencapaian di tempat di mana mereka tinggal dan di tempat perantauan mereka.
Diaspora Karibia menunjukkan bahwa kajian budaya adalah sentral dalam
memahami fenomena diaspora. Dengan demikian memahami diaspora haruslah
merupakan usaha memahami kese- luruhan proses produksi kebudayaan secara
lintas sejarah (waktu) dan wilayah (ruang) seperti kasus diaspora Karibia. Dari situ
barulah kita bisa menapaki ragam gagasan dan aneka praktik yang terjadi antar
identitas kolektif yang satu sama lain saling bersilang berinteraksi. Diaspora Karibia
memproduksi budaya yang selalu bergerak, terus-menerus mengkonstruksi
identitas dan subjektivitas baru dalam arus migrasi pengalaman budaya yang
disebut dengan istilah travel- ling cultures. Identitas atau subjektivitas baru itu
merupakan locus temu antara building blocks budaya Karibia dengan yang lain,
yang pasti beragam, bisa saling tumpang tindih, dan terjadi percampuran budaya.
Perbedaan tersebut terartikulasikan dalam budaya yang hidup dan dihidupi oleh
masyarakatnya. Proses ini menghasilkan social outcome dan cultural outcome yang
memberi warna bagi sebuah diaspora budaya seperti pada kasus Karibia. Diaspora
Karibia menyimpan sisi lampiran yang beragam, posisinya berada di antara
nation-state dan travelling culture, di satu sisi melibatkan negara-bangsa dalam
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
artian fisik sebagai tempat 14
Keamanan dan Keimigrasian

BAB I: Konsep Diaspora untuk ditinggali, namun juga secara mental dan spiritual
berciri budaya pengembaraan (travelling culture) yang selalu ingin keluar dari
batas- batas zona ruang dan waktu sebuah negara bangsa. Dengan demikian
diaspora Karibia menggarisbawahi bahwa persoalan mereka sebenar- nya bukan
persoalan darimana mereka datang (berasal) melainkan di mana mereka berada.
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
15

BAB II DIASPORA DI ERA GLOBALISME


Diaspora dan globalisme pada
dasarnya merupakan dua fenomena yang berbeda. Keduanya bisa dianggap
tidak memiliki hubungan langsung. Namun jika ditarik dari sisi waktu dan prosesnya,
sejatinya kita dapat menemukan tautan keduanya, yaitu semakin menguatnya
gejala diaspora di era globalisasi. Hal tersebut bermakna bahwa diaspora
mencapai saat tercepat dalam perkembangannya ketika globalisasi, sebuah era
yang ber- landaskan semangat globalisme, membuka belahan manapun di dunia
sehingga seakan-akan bumi menjadi datar. Globalisme sendiri me- rupakan
sebuah kesadaran bahwa dunia adalah satu, dan batas-batas negara semakin tidak
dirasakan sebagai hambatan besar bagi manusia dalam mencari tempat terbaik
untuk kehidupannya. Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang paling
memungkinkan bagi tersebarnya umat manusia ke seluruh permukaan bumi.
Kepentingan untuk mengejar kehidupan ekonomi yang lebih baik menjadi fenomena
yang semakin hari semakin dominan melatar- belakangi proses diaspora di era
global. Sedangkan alasan lain dari berlangsungnya diaspora seperti konflik,
peperangan, sikap represif kekuasaan, dan perubahan iklim, semakin berkurang
meskipun masih muncul secara sporadis. Peradaban manusia yang semakin tinggi
telah secara efektif mengurangi kekerasan, baik vertikal ataupun horisontal. 16

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Sementara itu jika dilihat dari karakteristik
para migran di era global sekarang ini, mereka berbeda dibanding era
sebelumnya. Para migran sekarang pada umumnya merupakan orang-orang
berpen- didikan dan memiliki kemampuan baik teknis maupun manajerial.
Dengan istilah lain, mereka umumnya ahli dibidangnya. Mereka juga mempelajari
kondisi ekonomi dan kebijakan-kebijakan terkait imigran di negara tujuan1. A.
Globalisme dan Migrasi Internasional Globalisme merupakan faham atau isme
yang menjadi landasan semangat globalisasi. Salah satu tonggak sejarah
perkembangan globalisme adalah era pencerahan. Klaim pencerahan bahwa
manusia pada dasarnya sama dan memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama
menjadi salah satu pandangan yang sering dikemukakan para pe- mimpin
politik serta menjadi salah satu penanda telah munculnya masyarakat global
(Cohen, 1997: 155). Pencerahan membuat dunia menjadi lebih egaliter.
Egalitarianisme yang mulai muncul ke permukaan sejak awal era pencerahan
tersebut memungkinkan terjalinnya komunikasi antar bangsa dalam suasana
sejajar dan saling menghargai. Kondisi ini seakan menjadi pembuka jalan bagi
proses yang kita nikmati sekarang, proses mengglobal dari dunia yang kita tempati.
Secara umum karakteristik dari globalisasi antara lain adalah terjalinnya relasi sosial
yang luas, intensitas komunikasi yang tinggi dengan cakupan yang melampaui
batas-batas negara, penetrasi antar budaya yang tinggi, dan munculnya
infrastruktur global. Dengan globalisasi, masyarakat di berbagai belahan dunia
menjadi lebih saling bertautan satu sama lain. Bentuk relasi sosial pun mengalami
perubahan. Di era sebelum globalisasi relasi bersifat tradisional seperti
kekeluargaan, kekerabatan, 1
Saat ini, setiap negara memiliki kebijakan yang
berbeda-beda terkait migran. Amerika Serikat misalnya. Merupakan negara yang
terbuka terhadap migrasi, berbeda dengan negara-negara di Eropa yang relatif
lebih ketat. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
17

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme dan hubungan darah. Sedangkan diera
globalisasi, muncul dan se- makin nyata relasi-relasi berbasis komunitas seperti
kesamaan pe- kerjaan, minat, hobi, dan bakat. Tidak seperti relasi tradisional yang
sifatnya sangat terbatas, relasi berbasis komunitas memiliki cakupan luas dan
hampir tanpa batas. Selain itu, intensitas komunikasi dalam berbagai relasi sosial
baru tersebut biasanya cukup tinggi; mereka biasanya melakukan pertemuan
secara periodik. Relasi-relasi berbasis komunitas yang semakin kuat terjalin tersebut secara perlahan menjadi sarana bagi terjadinya interaksi antar budaya.
Setiap relasi seperti fungsional atau hobi biasanya terdiri dari anggota-anggota
yang berbeda latar belakang suku bangsa atau bahkan berbeda warga negara.
Setiap orang dalam komunitas ini tentu terlekat di dalam dirinya budaya masingmasing. Dalam setiap pertemuan, terjadilah penetrasi dan pembauran budaya
diantara mereka. War na yang paling kental dari globalisasi adalah sifat
internasionalnya. Globalisasi dimaknai sebagai intensifnya hubungan internasional.
Di era globalisasi tersebut, budaya, komunikasi, pe- ngetahuan, kekuatan kapital,
sampai barang-barang telah melampaui batas-batas teritorial negara dan tersebar
ke berbagai belahan bumi. Dalam konteks inilah globalisasi juga dapat dimaknai
sebagai universalisasi: pengalaman atau peristiwa dalam suatu lokalitas dapat
menjadi pengalaman dan peristiwa bersama seluruh dunia. Sehubungan dengan
hal tersebut, migrasi internasional yaitu per- pindahan manusia di tataran antar
negara, menjadi salah satu inti pembahasan globalisasi. Terdapat tiga jenis migrasi
internasional yang lazim dikenal yaitu imigrasi, emigrasi, dan remigrasi. Imigrasi
adalah perpindahan orang dari suatu negara ke negara lain di mana ia bukan
warganegara di negara lain tersebut. Contohnya adalah orang Paki- stan masuk
ke Indonesia. Sedangkan emigrasi merupakan imigrasi dari perspektif negara asal.
Contohnya adalah orang Indonesia pergi ke luar negeri. Sementara remigrasi
adalah perpindahan penduduk kembali ke negara asal. 18 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Berbagai motif melatarbelakangi terjadinya


migrasi internasional. Sejarah mencatat bahwa migrasi internasional pernah
didasari ber- bagai kekacauan sosial dan politik dan diwarnai kisah tragis migran
seperti tragedi Lapemdusa, razia anti migran di Rusia, dan keber- adaan partai
kanan anti migran di Perancis. Di era abad ke-20 lalu, migrasi seringkali terjadi
akibat peperangan. Di awal abad 20 misalnya, banyak orang meninggalkan
negaranya dan pergi ke benua Amerika untuk mencari keamanan. Diaspora Asia
Tenggara merupakan contoh lain dimana migrasi ber- langsung karena
peperangan di wilayah Asia Tenggara seperti Perang Dunia II dan Perang Vietnam.
Namun di era globalisme ini, migrasi internasional lebih bermotifkan sukarela
untuk mencapai peningkatan kesejahteraan ekonomi. Kemiskinan, mendorong
mereka untuk meninggalkan tanah kelahiran menuju negara yang mereka anggap
dapat memberikan kehidupan yang lebih baik. Migrasi bermotif kepentingan
ekonomi ini mencapai tahapan puncaknya dengan mengemukanya liberalisme dan
kapitalisme seperti akan diuraikan lebih memadai di bawah. Banyak diaspora,
seperti China, India, dan Yahudi, menyebar secara luas. Menguatnya kapitalisme
global yang berujung pada per- kembangan bisnis di berbagai bidang, kemajuan
teknologi dan ber- bagai faktor lain telah membuka tujuan-tujuan migrasi baru.
Selain jalur migrasi lama seperti Amerka Serikat, Eropa Barat, dan Austra- lia,
terbuka pula tujuan-tujuan yang sekarang ini amat menarik bagi imigran seperti
Timur-Tengah dan Asia Timur. Timur Tengah menarik karena melimpahnya uang
sebagai hasil dari kekayaan alam berupa migas, sedangkan Asia Timur menarik
karena penguasaan teknologi yang memunculkan banyak usaha baru yang
semakin meraksasa dan memberikan kemakmuran bagi warganya. Di era global ini,
sebaran imigran dilakukan oleh berbagai bangsa dengan tujuan ke berbagai
bangsa dan negara di dunia. Sebaran mereka seperti sedang membangun basis
global untuk sebuah evolusi jaringan diasporik. M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 19

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Pergerakan diasporik para pedagang China,
misalnya, baik Huaqio (diaspora para perantau dari Cina ke berbagai belahan
bumi) ataupun Huayi (keturunan etnis China yang sudah lama menetap di luar
negeri dan melakukan pergerakan ke Negara lainnya), meng- gambarkan betapa
semangat kapitalisme berada di latar belakang pergerakan mereka. Hasilnya,
sekarang etnis China menguasai per- dagangan dunia di berbagai belahan bumi.
Mereka mempunyai empat pola migrasi, yakni sebagai kuli (Huagong), pedagang
(Huangshang), perantauan (Huaqio), dan sebagai keturunan perantauan China
yang bermigrasi ke tempat lainnya (Huayi) (Gung Wu, 1991; Setyaningrum, 2004). Di
mata para diaspora Cina ini, planet bumi adalah berupa satu kesatuan tempat,
dunia adalah satu, terintegrasi, tempat mereka mengembangkan jaringan
bisnisnya. Diaspora etnis China ini, di akhir abad ke-20, telah muncul se- bagai
kekuatan ekonomi baru yang mengejutkan. Dengan jumlah lebih dari 55 juta
orang, mereka tampil sebagai kekuatan jejaring ekonomi baru, khususnya di wilayah
lingkaran Pasifik (Setyaningrum, 2004: 185). Begitu pula yang terjadi pada
diaspora India, Yahudi, dan juga beberapa bangsa lain di mana diaspora erat
kaitannya dengan semakin menyebarnya jaringan bisnis dari kaum diaspora
bangsa-bangsa tersebut2. 2
Sedangkan diaspora Indonesia sedikit lain.
Dunia melihat diaspora Indonesia bukan sebagai sekelompok profesional atau
intelektual yang sedang mengembangkan bisnis dan pengaruhnya di dunia,
melainkan didominasi sebagai pekerja informal, pembantu rumah tangga. Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, dan
negara-negara lain memang merupakan contoh lain diaspora yang berlatarbelakang ekonomi. Namun apa yang terjadi pada diaspora Indonesia yang
didominasi oleh TKI tersebut adalah bukan karena semangat mengembangkan
jaringan bisnis, me- lainkan untuk menyambung hidup. Kondisi sulitnya memenuhi
kebutuhan hidup di dalam negeri memaksa banyak warganegara mencari
penghidupan ke luar negeri, bahkan dengan menjadi pembantu rumah tangga.
Cara dunia melihat diaspora Indonesia tentu tidak sepenuhnya benar karena
diaspora Indonesia tidak semuanya migran kelas bawah di sektor informal. Banyak
diaspora Indonesia itu juga merupakan profesional, pengusaha besar, menempati
posisi penting pada perusahaan-perusahaan multinasional, pejabat pada
berbagai lembaga internasional, dan posisi penting lain. Masalahnya adalah mereka
yang berhasil meniti karir di tingkat global itu kurang terekspos dibanding dengan
TKI yang seringkali muncul di media dengan berbagai permasalahannya. 20
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Diaspora Yahudi kiranya layak menjadi
catatan. Pengaruh para diaspora Yahudi di Amerika Serikat begitu besar. Selain
kekuatan uang dari perusahaan-perusahaan multinasional milik diaspora Yahudi,
pengaruh besar juga terlihat pada para intelektual yang amat mewarnai politik
Amerika Serikat. Selain pengaruh politik yang besar terhadap kebijakan pemerintah Amerika Serikat, jumlah orang Yahudi di Amerika Serikat dibanding di
negaranya sendiri juga layak menjadi catatan. Pada Tahun 2005, jumlah orang
Yahudi di Amerika Serikat lebih besar dibanding Yahudi yang tinggal di negaranya
yaitu di Israel. Yahudi di Amerika Serikat sebesar 5.280.000 orang, sedangkan
Yahudi di Isreal sebesar 5.235.000 orang. Selain Yahudi, tidak ada bangsa lain
yang memiliki diaspora di suatu negara melebihi jumlah penduduk negara asalnya.
Selain migrasi internasional, sifat yang kental dari globalisasi adalah perdagangan
non-tarif antar negara atau antar kawasan atau setidaknya bertarif minimal.
Dalam konteks inilah kita menyebut liberalisme dan proses ke arahnya, yaitu
liberalisasi. Liberalisme pada dasarnya adalah suatu faham atau aliran filsafat yang
mengagungkan kebebasan. Tujuan liberalisme adalah terciptanya masyarakat
yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, bertindak, serta terjaminnya hak
milik. Liberalisasi sendiri adalah sebuah perubahan, sebuah gerakan, ke arah
terwujudnya cita-cita atau tujuan liberalisme. Liberalisasi biasanya disertai langkah
memperkecil peran pemerintah. Globalisasi dikaitkan dengan liberalisasi adalah
sebuah proses mengglobal untuk semakin terciptanya kebebasan dan hilang
atau berkurangnya berbagai hambatan. Globalisasi dalam konteks liberalisasi
ini misalnya diturunkannya hambatan tarif ekspor-impor, lalu lintas devisa, dan
migrasi. Dalam kaitan inilah kita mengenal berbagai langkah ke arah tatanan
perdagangan antar negara non- tarif seperti perdagangan bebas Asean, APEC
(Asia-Pacific Economic Cooperation), CAFTA (China-Asia Free Trade Associaton),
NAFTA M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
21

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme (North American Free Trade Agreement), dan
berbagai langkah lain- nya. Semuanya mengarah pada usaha mempermudah lalu
lintas perdagangan berupa penghilangan tarif. Dengan ciri-ciri tersebut, globalisasi
memiliki peran untuk mem- buat upaya peraihan kemajuan ekonomi dicapai
secara optimal. Dalam iklim global, kemajuan ekonomi dapat diraih seperti
hampir tanpa batas dan hambatan. Asalkan memiliki kemampuan, setiap orang
di era global yang kental diwarnai liberalisasi ini bisa meraih kesuksesan. Sejalan
dengan hal itu, globalisasi menjadi tempat ideal bagi mengakarnya kapitalisme.
Kapitalisme merupakan faham dalam ekonomi yang menjunjung tinggi
kebebasan individu dan terjamin- nya hak milik pribadi, termasuk kepemilikan
alat-alat produksi. Globalisasi yang di dalamnya terdapat relasi yang setara dan
peng- hormatan terhadap hak hidup setiap manusia juga menjadi semacam
jaminan keamanan bagi terwujudnya kebebasan individu dan ter- jaminnya hak
milik pribadi. Lebih daripada itu, karena begitu men- junjung tinggi kebebasan
dan hak milik individu, para pemikir kapitalisme bahkan menekankan perlunya
pembatasan kewenangan pemerintah. Seluruh perikehidupan rakyat dilepas
mengikuti meka- nisme pasar. Salah seorang pemikir ekonomi kapitalisme, Milton
Friedman, yang hidup di abad 20 lalu berpandangan bahwa dalam masyarakat
tidak ada aturan yang dapat diberlakukan kecuali sebagian besar anggota
masyarakat setuju dengan aturan tersebut. Dengan kata lain, setiap aturan
merupakan hasil konsensus. Konsensus yang dimaksud- kan Friedman adalah
harmoni yang dicapai melalui pertukaran bebas dimana pencapaiannya tanpa
diwarnai koersi. Hal ini merupakan bentuk penerapan rasionalitas ekonomi pada
bidang sosial-politik. Tetapi kita, menurut tokoh yang sering disebut-sebut sebagai
bapak ekonomi neoliberalisme ini, tidak bisa hanya mengandalkan konsensus
M. Iman
untuk menafsirkan dan menjalankan aturan-aturan; kita 22
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme tetap memerlukan wasit, yaitu pemerintah3.
Namun, peran peme- rintah ini harus minimal4. Friedman tidak ingin
mengatakan bahwa peran pemerintah itu penting, melainkan ia ingin menjelaskan
pem- batasan peran pemerintah tersebut. Alasan kenapa peran pemerintah ini
harus dibatasi adalah apa yang bisa dikerjakan oleh pemerintah dapat dikerjakan
oleh swasta secara lebih efisien. Selain itu, terdapat keyakinan klasik yang
beranggapan bahwa pasar dapat memperbaiki dirinya sendiri jika mengalami
krisis. Karena itu, Friedman (1962: 25) membatasi peranan pemerintah hanya
dalam hal: to provide a means whereby we can modify the rules, to mediate
differences among us on the meaning of the rules, and to enforce compliance
with the rules on the part of those few who would otherwise not play the game.
Intervensi pemerintah hanya dapat dibenarkan pada tindakan- tindakan dimana
pasar tidak bisa melakukannya sendiri, misalnya dalam hal penyelenggaraan
aturan. Selain itu, pemerintah diharap- kan dapat mengkaunter praktik-praktik
ekonomi yang menghalangi terciptanya pertukaran bebas. Bagi Friedman,
pemerintah harus bisa membatasi dan menahan diri dari urusan yang bisa
dikerjakan oleh swasta. Karena pemikirannya yang sangat menjunjung tinggi
kebebasan dan hak individu, bahkan individu ditempatkan lebih penting dari
pemerintah ini, Friedman, dapat digolongkan sebagai penganut lassez faire, dalam
3
arti dia percaya bahwa dengan kekuatan, dinamika dan
Keberadaan
pemerintah diperlukan untuk menghindari terciptanya anarki dalam masya- rakat.
Menurut Friedman, kita tidak mungkin menjalankan kebebasan absolut. Kebebasan
manusia dapat berbenturan dengan kebebasan yang lain. Karena itu, kebebasan
sese- orang harus dibatasi untuk melindungi kebebasan yang lain. 4
Pada
dasarnya Friedman menghendaki pemerintah berada di luar pagar perekonomian,
namun untuk menghindari anarki, intervensi pemerintah disetujuinya dengan
syarat intervensi itu minimal dan hanya pada beberapa urusan yang tidak mungkin
dilakukan oleh dunia usaha saja. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan dan Keimigrasian
23

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme logika pasar, masyarakat yang menerapkan
sistem ekonomi bebas pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan5.
Kesejahteraan sebagai ujung dari sistem ekonomi bebas ala kapitalisme inilah yang
telah melahirkan jutaan diaspora sukses. Per- saingan bebas yang selalu mewarnai
praksis kapitalisme tampaknya cocok dengan etos para diaspora yang amat tinggi.
Sebagai pendatang di suatu wilayah negara, para diaspora memiliki semangat kerja
yang melebihi siapapun di negara yang dikunjungi itu. Karena itu dapat dikatakan
bahwa, globalisasi dan kapitalisme merupakan kesempatan bagi mereka yang
berpikiran maju dan ingin mengejar kesuksesan hidup yang setinggi-tingginya.
Mereka telah siap dengan kerasnya kontestasi dan melihatnya sebagai peluang.
Globalisasi merupakan era yang memungkinkan bagi upaya mem- bangun
jaringan yang melampaui batas-batas negara. Dengan semangat kapitalisme
itulah diaspora mencapai tahap perkembangan tercepat. Semangat meraih
kemakmuran membuat tempat di belahan bumi yang manapun menjadi menarik.
Terdapatnya sistem finansial, ekonomi, dan teknologi yang telah mencakup seluruh dunia menjadi alat yang memudahkan penyebaran manusia dengan
berbagai kepentingan ekonomi yang dikejarnya. Dengan adanya berbagai sistem
yang memudahkan merupakan insentif untuk dimulainya investasi. Dunia yang
hampir tanpa batas-batas negara telah bertemu dengan iklim kontestasi dan
semangat mengumpulkan kekayaan berbau keserakahan tanpa batas yang
menjadi karakter para kapitalis. 5
Posisi Friedman dapat kita hadapkan dengan
John Maynard Keynes (1883-1946) yang tidak percaya pada sistem laissez faire.
Keynes menawarkan jalan tengah untuk menye- lesaikan krisis. Dia berpendapat
bahwa untuk keluar dari kondisi ekonomi yang buruk, kita harus bersedia
meninggalkan ideologi laissez faire yang murni. Dengan kata lain, pemerintah
harus melakukan campur tangan lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional. Keynes mengatakan bahwa kegiatan produksi dan pemilikan
faktor- faktor produksi masih tetap bisa dipegang oleh swasta, tetapi pemerintah
wajib melaku- kan kebijakan-kebijakan yang secara aktif akan mempengaruhi
gerak perekonomian. Sebagai contoh, pada saat terjadi depresi ekonomi,
pemerintah harus melakukan intervensi berupa pembuatan program atau
kegiatan yang langsung dapat menyerap tenaga kerja yang masih menganggur,
meskipun itu membutuhkan biaya besar. 24
M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Kondisi ini seperti tanaman yang telah
menemukan tempat per- tumbuhannya yang paling ideal. Maka bertumbuhlah
berbagai bisnis seiring dengan semakin derasnya aliran migrasi. Perantauan Cina,
India, Yahudi, dan beberapa negara di Amerika Latin, merupakan contoh paling jelas
untuk menggambarkan diaspora berlatarbelakang kepentingan ekonomi. Negara
asal pun tampak memberi dukungan bagi sebaran warganya ke berbagai belahan
bumi. Sebaran mereka ke berbagai belahan bumi diwarnai semangat kapitalisme
global. B. Ekonomi Global Globalisme, sebagai sebuah kesadaran bahwa dunia
adalah satu, dengan ditunjang oleh semakin dipercayanya kapitalisme sebagai
aliran dan pola pikir ekonomi yang membuat manusia hidup lebih sejahtera pada
akhirnya memunculkan ekonomi yang bersifat ter- integrasi yang disebut ekonomi
global. Ekonomi global atau ekonomi dunia merupakan salah satu aspek penting
dalam perkembangan diaspora. Transaksi yang semakin cepat dan dengan volume
yang besar. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, biaya transportasi yang
semakin murah, dan peran berbagai aktor sosial dan ekonomi me- rupakan
penunjang munculnya tatanan ekonomi global. Aktor sosial dan ekonomi tersebut
antara lain negara, organisasi internasional, dan perusahaan multinasional
(TNCs). Dengan perannya masing- masing, ketiga aktor tersebut seakan
bersinergi membangun sistem ekonomi global. Di era ekonomi yang terintegrasi di
pasar teknologi, kapital, per- dagangan dan migrasi adalah faktor-faktor penyusun
ulang tatanan dunia dan menyampingkan semua bentuk lokalisme (Dufoix, 2008:
158). Proses globalisasi ekonomi merupakan proses di mana per- saingan antar
perusahaan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas negara. Semua yang berbentuk
lokal akan terpengaruh oleh kondisi global. M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 25

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Artinya, dalam ekonomi yang terintegrasi secara
global ini kondisi perekonomian di suatu negara memiliki pengaruh bagi kondisi
per- ekonomian di negara lain. Selain itu, ekonomi nasional setiap negara selalu
memiliki hubungan dengan ekonomi global. Di sinilah terlihat ketergantungan dan
keterikatan ekonomi nasional setiap negara ter- hadap ekonomi global. Tidak ada
lagi pasar yang tidak terpengaruh kondisi global. Semua bentuk lokalisme
memudar. Krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, berpengaruh pada ekonomi di belahan bumi lain seperti Indonesia. Karena krisis itu,
ekspor berbagai produk yang biasa dikirim ke Eropa dan Amerika Serikat terganggu
yang berakibat pada terganggu pula cashflow berbagai perusahaan yang
memproduksi barang-barang tersebut serta berimbas pada berkurangnya
penerimaan negara. Contoh lain yang memperlihatkan telah terintegrasinya
ekonomi dunia adalah ketika Indonesia terkena kesulitan ekonomi tahun 1997 dan
2008. Pada 1997, krisis yang menimpa Republik ini berawal dari krisis di Thailand
yang berimbas ke berbagai negara lain. Sementara itu, sebelas tahun kemudian,
kesulitan ekonomi berawal dari kredit macet sektor perumahan di Amerika
Serikat. Kredit macet tersebut berimbas pada masalah di pasar modal AS dan
ditambah dengan faktor eksternal melambungnya harga minyak dunia
menyebabkan ambruknya ekonomi AS. Krisis di AS tersebut akhirnya
menyebabkan perlambatan ekonomi dunia yang mengakibatkan melemahnya
tingkat permintaan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama krisis AS sampai ke
Indonesia dalam bentuk anjloknya perdagangan, terutama ekspor ke AS dan
Eropa. Di dunia yang terintegrasi, krisis di belahan bumi lain me- rupakan
warning akan datangnya bencana ekonomi dalam waktu beberapa saat. Di luar
daya rambat krisis, ekonomi global memiliki banyak sisi positif. Setiap negara
misalnya, dapat memasarkan produk-produk unggulan di pasar global yang
M. Iman Santoso: Diaspora:
amat luas. Untuk itu, negara harus 26
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme mencari produk-produk sendiri yang unggul
dan dapat bersaing dengan kompetitor lain. Dengan memiliki keungulan, suatu
negara dapat memetik keuntungan dari ekonomi global ini. Kuncinya adalah
dimilikinya kualitas serta brand image produk yang memenuhi standar internasional.
Dengan dikuasainya pasar global, banyak keuntungan dapat diraih. Pemilik produk
mendapatkan keuntungan dan negara men- dapat penerimaan berupa pajak.
Dengan demikian, negara dapat lebih mudah mewujudkan kesejahteraan
rakyatnya. Ekspor men- datangkan keuntungan yang dapat didistribusikan sebagai
pem- bangunan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Kuncinya adalah seperti
disebutkan di atas, miliki produk unggulan dan kuasai pasar global. Selain itu, dari
sisi konsumsi, ekonomi global merupakan kesempatan untuk memiliki banyak
pilihan barang. Di pasar global akan tercipta harga kompetitif. Kondisi persaingan
yang memuncul- kan harga kompetitif ini menguntungkan konsumen di mana pun.
Keuntungan lain dari ekonomi global adalah kemudahan me- narik investasi. Di
era global, investor siap menanamkan modalnya di tempat yang menurut
perhitungannya menguntungkan. Pemerintah suatu negara hanya perlu
menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menarik. Setelah itu, investasi pasti
akan masuk. Dengan masuknya investasi ini, akan muncul keuntungan bagi suatu
negara. Investasi menciptakan lapangan kerja baru. Investasi juga pada akhirnya
menghasilkan penerimaan negara dari pajak. Namun demikian, ekonomi global
juga memiliki sisi negatif. Sisi negatif ini muncul jika suatu negara tidak mampu
bersaing di pasar global. Negara yang tidak mampu bersaing, biasanya hanya bisa
jadi sasaran produk global. Negara tersebut hanya menjadi pasar bagi hasil
produksi berbagai barang dari negara lain. Ketidakmampuan suatu negara untuk
bersaing di pasar global biasanya disebabkan pemerintahnya yang tidak serius
memperkuat dunia usaha di negara- nya. Pemerintahan seperti ini biasanya
merupakan pemerintahan yang M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan dan Keimigrasian
27

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme korup yang hanya memikirkan kepentingan
kekuasaannya tanpa sedikitpun tersisa waktu dan goodwill untuk membangun dan
mem- perkuat negara. Negara yang demikian akan semakin terpuruk dalam
persaingan global. Sektor industri di negara yang tidak kompetitif ini semakin
lama semakin lemah dan pada akhirnya akan menemui kehancuran. Jika sudah
demikian, Negara tersebut hanya menjadi mangsa ekonomi global. Ekonomi
global adalah sebuah arena persaingan yang keras. Siapapun yang tidak mampu
menemukan dan mengembangkan produk unggulan akan menjadi korban
persaingan keras tersebut. Diaspora yang berhasil adalah diaspora yang
memenangkan per- saingan pada ekonomi global. C. Jejaring Bisnis Dengan
dukungan teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi dunia terbentuk seperti
kumpulan jejaring, di mana dengan adanya jaringan-jaringan tersebut, roda
ekonomi dapat berputar kencang dan melingkupi seluruh belahan bumi. Di satu
sisi, aktivitas bisnis tidak lagi terpusat di suatu negara atau suatu kota melainkan
tersebar di berbagai negara. Di sisi lain, berbagai perusahaan di berbagai belahan
bumi terkoneksi satu sama lain melalui hubungan bisnis yang mereka jalin. Pada
puncak tatanan ekonomi global ini kita mengenal WTO (World Trade Organization)
dan institusi keuangan seperti Bank Dunia. Sedangkan di pasar global, pengaruh
berbagai perusahaan multi- nasional begitu mewarnai. Perusahaan-perusahaan
yang telah ber- hasil menancapkan cengkraman kekuasaannya di berbagai
negara ini menjadi pihak dominan dalam investasi di berbagai belahan bumi. Dilihat
dari polanya, operasi perusahaan multinasional antara lain penanaman modal
asing, usaha patungan, dan sistem lisensi. Penana- man modal asing biasa dalam
M. Iman Santoso: Diaspora:
berbagai bidang usaha yang bertek- 28
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme nologi tinggi seperti bisnis hulu migas yang
membutuhkan modal kerja luar biasa besar, bisnis otomotif, bisnis elektronik, dan
komputer. Bidang-bidang usaha bermodal besar juga bisa beroperasi dalam
format usaha patungan. Sedangkan sistem lisensi biasa kita dapati pada
berbagai bisnis seperti perhotelan, rumah sakit, sampai bisnis restoran.
Perusahaan multinasional tersebut berperan besar dalam tersedia- nya lapangan
kerja, produksi berbagai barang, dan perdagangan dunia. Sekitar 20-25 persen
produksi dunia dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional itu. Dilihat
dari kacamata per- dagangan, andil perusahaan multinasional tersebut jauh lebih
besar. Dari total perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang, misal- nya, 50
persen transaksi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Untuk lebih
memperjelas peran perusahaan multinasional, terlihat jika kita menyamakan satu
perusahaan multinasional sebagai satu negara. Setiap negara dan setiap
perusahaan dianggap satu unit. Fakta yang terungkap adalah 100 unit ekonomi
terpenting, 50 di antaranya adalah milik negara dan 50 lainnya adalah perusahaan
multinasional. Artinya, jika di PBB terdapat 180 negara, maka 130 negara memiliki
ekonomi lebih kecil dari 50 perusahaan multinasional terbesar. Di lihat dari sisi
bidang yang digeluti, perusahaan-perusahaan di era global pada umumnya
merupakan spesialis di bidang tertentu. Perusahaan-perusahaan otomotif
misalnya, tidak mengerjakan segalanya sendiri. Ia bekerja sama dengan ratusan
perusahaan yang masing-masing merupakan spesialis di bidangnya. Ada
perusahaan yang khusus membuat ban, memproduksi kaca, pengadaan berbagai
baut, lampu, dan lain-lain. Perusahaan otomotif tersebut hanya mem- buat
mesinnya sedang perakitan belum tentu mereka lakukan. Perusahaan otomotif
Honda misalnya, meskipun membuat mesinnya di Jepang, perakitannya tersebar di
berbagai negara, seperti Jepang, Thailand, Indonesia, dan Australia. Inilah
wajah perusahaan- perusahaan multinasional, berupa jejaring bisnis lintas
negara. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
29

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Langkah-langkah berbagai perusahaan


multinasional menghasil- kan fondasi bagi berkembangnya ekonomi global.
Penyebaran tenaga kerja berbagai level, pergerakan bahan baku dan produk jadi
mem- buat ekonomi global terbentuk. Mengikuti Kotkin dalam Stephane Dofoix
(2008: 159) perkembangan tersebut disebut diaspora by design. Pada setiap
pembukaan suatu perusahaan multinasional di suatu negara selalu diikuti diaspora
atau terjadinya migrasi dari negara tempat asal perusahaan tersebut untuk
menempati posisi-posisi penting di perusahaan yang baru dibuka itu. Dengan
demikian apa- bila banyak perusahaan-perusahaan Jepang, Korea Selatan, dan
Tai- wan berinvestasi di Indonesia, misalnya, maka secara otomatis banyak pula
warga negara dari ketiga wilayah itu yang bekerja di perusahaan- perusahaan
tersebut dan menjadi diaspora di Indonesia. D. Migrasi dan Perubahan Politik
Perkembangan diaspora amat erat kaitannya dengan perubahan politik. Saat
dunia terpolarisasi ke dalam dua kutub, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, tak
terbayangkan adanya progress diaspora dari kedua kutub politik dunia tersebut.
Ketika itu, bisa dikatakan tidak ada relasi sosial diantara kedua kutub politik
dunia tersebut. Warganegara Uni Soviet dan sekutunya tidak mungkin
melakukan migrasi ke wilayah Amerika Serikat dan sekutunya, vice versa.
Komunisme yang runtuh dengan ditandai oleh bubarnya Uni Soviet dan robohnya
Tembok Berlin, mengubah segalanya. Paska momentum tersebut, berbagai
hambatan terhadap migrasi menjadi tidak mungkin. Kemungkinan migrasi dari
negara yang relatif miskin, misalnya dari Eropa Timur, ke negara kaya, seperti
Eropa Barat dan Amerika Serikat, menjadi terbuka lebar. Akibatnya, pasca perang
dingin ini terjadi arus migrasi yang me- ningkat ke negara-negara maju. Mereka
yang sebelumnya hidup dalam kemiskinan dan terkungkung rezim otoriter seakan
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan
menemu- 30
Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme kan kembali kebebasan untuk menentukan
masa depan sendiri. Para migran ini berasumsi bahwa hidup di negara maju akan
lebih mudah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Contoh lain migrasi yang
terpengaruh perubahan konstelasi politik adalah migrasi rakyat Cuba. Bantuan
ekonomi dari Uni Soviet yang terhenti pasca bubarnya pusat komunis tersebut
membuat ekonomi Cuba bangkrut. Akibatnya muncul keinginan kuat rakyat Cuba
untuk melakukan migrasi ke Amerika Serikat. Sejak saat itu, diaspora Cuba ke
Amerika Serikat terus meningkat. Stabilitas politik juga merupakan faktor yang
mempengaruhi migrasi. Negara dengan stabilitas politik yang baik biasanya
akan mampu melakukan pembangunan ekonomi secara baik. Kondisi ini akan
menarik bagi terjadinya migrasi dari negara lain. Kenapa diaspora berkaitan
dengan perubahan politik. Selain karena diaspora selalu terjadi ketika terdapat
celah politik, diaspora juga adalah kelompok orang yang memiliki kemampuan
merespon suatu rezim dan perubahan politik. Banyak diaspora adalah kaum
intelektual-terpelajar, mereka adalah para pelajar, profesional, peneliti, dan
akademisi. Mereka merupakan kekuatan intelektual. Mereka ter- libat dalam
berbagai penelitian di perusahaan kelas dunia, perancangan pembangunan
di berbagai negara, bahkan menjadi pejabat penting di Bank Dunia, Asia
Development Bank, dan lembaga dunia lainnya. Mereka tidak hanya memiliki
keahlian, melainkan juga jaringan yang luas. Sehubungan dengan hal tersebut, di
satu sisi migrasi banyak dipe- ngaruhi kondisi dan perubahan politik. Semakin
stabil dan berkepastian hukum suatu negara, semakin menarik bagi pendatang.
Di sisi lain, politik di suatu negara, sesungguhnya bisa juga dipengaruhi oleh
kekuatan diaspora yang bersandar pada suatu kekuatan intelektual. Diaspora
Aceh beberapa waktu lalu merupakan contoh bahwa diaspora dapat
berpengaruh kuat pada politik dalam negeri. Mereka M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian
31

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme bisa mempengaruhi pemerintah Swedia untuk
menekan pemerintah Republik Indonesia agar menghentikan kekerasan militer dan
memulai perundingan. Contoh lainnya adalah diaspora Afrika Selatan yang
mempengaruhi kebijakan senat Amerika Serikat untuk turut menentang politik
apartheid. E. Kota Global dan Kosmopolitanisme Lokus penting dalam jaringan
kekuatan ekonomi global dan me- rupakan tempat terpadat migrasi internasional
adalah apa yang di- sebut kota global. Kota-kota global seperti New York, London,
Frank- furt, Tokyo, Singapura, dan beberapa kota lainnya merupakan tempat
dimana globalisasi berkembang cepat. Di kota-kota global inilah globalisme
tumbuh subur sebagai semangat dan kesadaran pandangan dunia. Kota-kota
global ini pada umumnya merupakan tempat di mana berbagai perusahaan
multinasional berada. Kota-kota ini merupa- kan pusat kegiatan finansial dan
aktivitas ekonomi lainnya. Berbagai fungsi dijalankan sebuah kota global. Kota
seperti ini merupakan pusat transportasi, baik sebagai tujuan ataupun sebagai
transit. New York, London, Frankfurt, dan Singapura merupakan contoh kota pusat
transportasi. Kota global juga merupakan pusat komunikasi. Maka tak heran jika
kota global merupakan kota yang jenuh dengan berbagai modus komunikasi
seperti telepon, fax, dan jaringan internet. Jumlah digit nomor telepon misalnya,
terus bertambah. Selain itu, kota global merupakan pusat informasi, berita, dan
produk-produk budaya dan hiburan. Sebuah kota global biasanya terhubung melalui
transportasi udara dengan kota global lainnya. Selain itu, mereka juga tentu
terhubung melalui berbagai media komunikasi dan informasi. Kondisi ini me- miliki
implikasi pada struktur dan karakter sosial dari kota-kota global itu sendiri. Kota-kota
M. Iman Santoso:
global juga bisa dikatakan selalu mengalami 32
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme perubahan sosial dalam arti selalu terjadi
proses sosial di mana masya- rakat di kota-kota tersebut selalu secara sadar
dipengaruhi oleh unsur- unsur eksternal. Masyakarat di kota-kota global tersebut
terbiasa setiap hari menyesuaikan diri dengan sistem dan pola-pola budaya dan
sosial baru Dengan adanya integrasi pada transportasi dan komunikasi, kota- kota
tersebut menjadi berkarakter internasional dan kosmopolitan. Kondisi ini
tergambarkan ketika orang menyebut kota ini sebagai kota multi etnik, multi
bahasa, pluralis, dan multi budaya. Berbagai gaya hidup yang terlihat pun lebih
bercirikan budaya global daripada budaya nasional. Kota global juga bercirikan
beranekaragamnya pekerjaan dan profil budaya. Di sebuah kota global, struktur
pekerjaan terlihat ber- sifat dikotomi. Di sana terdapat pengusaha, profesional,
akuntan, ahli teknologi informasi, desainer, media. Namun juga terdapat pekerja
rendahan dan informal. Pekerja rendahan ini mengerjakan pekerjaan- pekerjaan
yang tidak lagi diminati warga setempat. Sebuah kota global, banyak diantara
penduduknya bukan me- rupakan warga kota tersebut ataupun bukan
warganegara tempat kota tersebut berada. Para pendatang yang tidak merasa
perlu memiliki status kependudukan di kota tersebut, biasanya datang atas
tugas dari perusahaan tempatnya bekerja. Mereka biasanya adalah
profesional, manajer yang ditugaskan perusahaan untuk mengelola bisnis
perusahaan di kota tersebut. Seperti sudah disebut sebelumnya, integrasi antara
transportasi dan komunikasi membuat sebuah kota global berciri kosmopolitan.
Apa yang dimaksud berciri kosmopolitan? Kosmopolitan erat kaitan- nya dengan
kesadaran sebagai warganegara dunia, dimana warga dunia ini terdiri dari
barbagai latar belakang agama, budaya, dan status sosial. Transportasi dan
komunikasi yang baik tentu saja hanya unsur penunjang munculnya
kosmopolitanisme. Dengan transportasi dan M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 33

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme komunikasi yang baik, akan lebih mudah
munculnya kesadaran se- bagai salah satu warga dunia yang terdiri dari berbagai
latar belakang. Di luar itu semua, kebijakan pemerintah setempat tentu menjadi
faktor penguat terwujudnya kesadaran kosmopolit ini. Kebijakan pemerintah yang
ramah terhadap multikulturalisme akan menjadi lahan yang subur bagi
terciptanya relasi yang baik antar manusia yang berbeda latar belakang. Kondisi
yang ramah terhadap multikultur ini yang pada akhirnya akan melahirkan
masyarakat kosmopolitan. Pada tataran pemikiran, masyarakat kosmopolitan
berlandaskan pada aliran pemikiran kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme sendiri
adalah aliran pemikiran yang menjunjung tinggi multikulturalitas. Dengan
demikian, kosmopolitanisme menerima dan menghargai perbedaan budaya.
Kosmopolitanisme merealitas pada saat warga, baik penduduk setempat atau
pun migran, dengan berbagai latar belakang budaya hidup dengan penuh
toleransi. Immanuel Kant, seorang filosof Jerman abad ke-18, banyak mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang tampak menjadi salah satu referensi
kosmopolitanisme. Berkaitan dengan hal ini, Kant me- ngangkat istilah hukum
warga dunia. Tentu saja Kant tidak memaksud- kan istilah hukum warga dunia ini
sebagai hukum yang bersifat materi undang-undang saja. Hukum di sini kurang
lebih artinya sebagai kerangka atau panduan hidup dalam tataran pemikiran bagi
manusia yang telah menerapkan kosmopolitanisme. Kant mengatakan The Law
of World Citizenship shall be limited to conditions of Universal Hospitality (Kant,
1980: 20). Kant me- nempatkan hukum warga dunia ini sebagai hak. Antara lain
hak manusia mendapatkan keramahtamahan. Seorang pendatang ber- hak
untuk tidak diperlakukan sebagai musuh. Seorang pendatang juga memiliki hak
singgah. Selain itu, menurut Kant setiap manusia memiliki hak atas muka bumi.
Bagi Kant, bumi merupakan milik manusia bersama.
34 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Dari pandangan bahwa bumi adalah milik
manusia bersama inilah, kiranya kita dapat menyebut Kant sebagai salah satu
pendahulu pemikiran kosmopolitanisme. Bagi Kant, manusia berhak pergi ke
manapun dan tinggal di manapun tanpa ada ancaman bagi kehidupannya.
Pandangan ini tampak semakin menguat saat ini. Kosmopolitanisme semakin
menjadi aliran yang penting sejak di- mulainya era globalisasi. Perubahan sosial
yang terus terjadi di era global di mana di sana-sini terjadi pertemuan kebudayaan
yang mem- buat berbagai lokalisme semakin terkikis, masyarakat semakin
menyadari dirinya sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Kosmopolitanisme
terkait erat dengan istilah kewarganegaraan dunia. Dimanakah letak diaspora
dalam konteks ini? Diaspora pada akhirnya berperan dalam terbentuknya
budaya kosmopolitan. Penyebaran manusia dari berbagai belahan bumi ke
berbagai belahan bumi lain, saling bertemu, berkomunikasi, membentuk jejaring,
pada akhirnya merupakan pertemuan antar budaya, saling menghargai, saling
menghormati, berbaur. Setiap hari terjadi pembauran dan se- cara perlahan
menciptakan suatu perubahan sosial dan budaya ke arah tatanan sosial dan
budaya baru, budaya kosmopolitan. Perantauan China terdidik dengan budaya
yang unik yang me- rupakan contoh perbauran budaya asal dengan budaya
tempat baru mereka. Perbaura n ini pada akhir nya membentuk budaya
kosmopolitan. Mereka menyebut diri cosmopolitan Chinese. India merupakan
contoh lain bangsa yang semakin kosmopolit. Mereka menyebutnya Global Indian
Family (Bhat dan Narayan, 22). India merupakan contoh negara yang banyak
mengirimkan pekerja migran keluar negeri. Mereka banyak mempelajari kemajuan
teknologi negara lain dan kemudian berusaha menerapkannya di negara sen- diri
ketika kembali. Untuk keperluan itu, banyak diantara mereka yang sampai menjadi
warganegara tujuan. Hal ini dimungkinkan karena India merupakan negara yang
membolehkan dua kewarganegaraan. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan dan Keimigrasian
35

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme India bagi mereka sekarang bukan hanya
tempat, ruang, dan wilayah tertentu yang membentuk suatu negara-bangsa,
melainkan juga sudut lain di muka bumi di mana orang India tinggal. Ia bisa saja
menjadi berkebangsaan Inggris, Kanada, Amerka Serikat, atau Singapura, tetapi
ia tetap India. Dan mereka tetap sadar dengan ke- India-annya. Itulah Global India
Family. F.
Kesadaran Sebagai Warga Dunia Terdapat berbagai bentuk
pengorganisasian baik secara vertikal ataupun secara horisontal. Secara vertikal,
kita mengenal berbagai level pemerintahan hingga mencapai tahapnya yang
autarki dalam negara-bangsa. Sementara secara horisontal, terdapat berbagai
pengorganisasian dalam berinteraksi, kepercayaan, etnisitas dan agama, gaya
hidup, fashion, musik, dan lain-lain. Diaspora merupa- kan salah satu bentuk
pengorganisasian sosial secara horisontal. Seperti disinggung di atas, globalisasi,
dan juga proses diaspora, dapat berujung pada munculnya budaya kosmopolitan.
Interaksi intensif antar warga di kota-kota global yang banyak diwarnai oleh
berbagai kelompok diaspora menghasilkan pembauran dan me- munculkan
tatanan sosial dan budaya baru. Seiring dengan itu, ter- jadi proses lepasnya
identitas sosial lama dan berubah membentuk identitas baru dari setiap warga di
wilayah itu. Warga Singapura, misalnya, meskipun berasal dari berbagai latarbelakang sosial dan budaya asal, pada akhirnya terjadi sedikit banyak peleburan
dengan dibarengi lepasnya berbagai identitas sosial dan budaya asal. Akhirnya,
terciptalah warga Singapura seperti sekarang, sebuah komunitas kosmopolit yang
lebih berwarna global dibanding nasional. Mereka setiap hari mengalami perubahan
sosial, terpengaruh oleh berbagai perubahan eksternal. Salah satu lokus interaksi
budaya dan pada akhirnya menghasil- kan budaya baru, budaya kosmopolit
adalah media massa. Peran media, terutama televisi, film, dan musik, amat
besar dalam peru- bahan sosial dan budaya dari hari ke hari. 36 M. Iman
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme Salah satu hal positif dari perubahan sosial
akibat globalisasi adalah terdapat pada arah perubahan itu sendiri. Perubahan
pada era global ini adalah perubahan dari masyarakat yang memiliki sifat irasional
menjadi masyarakat yang sepenuhnya rasional. Namun demikian, perubahan
sosial akibat globalisasi juga me- nyimpan hal negatif antara lain semakin
dominannya sikap individualistik dan pola hidup konsumtif. Manusia semakin tidak
peduli dengan sesama dan hanya memikirkan kebutuhan hidupnya sendiri. Selain
itu, globalisasi dengan liberalisme dan kapitalisme memuncul- kan kesenjangan
sosial yang tinggi. Di luar itu semua, masyarakat selalu bersifat dinamis. Identitas
sosial politik, perilaku individu dan komunitas, selalu mengalami pe- rubahan.
Diaspora, yang terjadi di era globalisme mendorong lebih kuat dinamika itu.
Kesadaran yang semakin memuncak bahwa dunia ini satu, bumi adalah milik
bersama, semakin mempermudah terjadi- nya interaksi dan saling penetrasi antar
budaya. Semuanya melebur dalam kesadaran sebagai warga dunia. Sehubungan
dengan hal tersebut, jika kita mengambil jarak yang cukup jauh terhadap fenomena
diaspora, akan terlihat bahwa diaspora merupakan cara alam untuk memunculkan
suatu kondisi baru relasi antar manusia di muka bumi. Manusia yang sebelumnya
terkotak- kotak dalam bungkus nasionalisme masing-masing, secara alamiah,
keluar dari kotaknya, sebagian dengan melepaskan bungkus nasionalismenya,
kemudian berelasi, saling mengenal satu sama lain menuju kehidupan yang lebih
baik. Globalisme memberi lingkungan terbaik bagi penyebaran ber- bagai bangsa
ke berbagai bangsa tersebut. Dengan kesadaran bahwa bumi adalah satu dan
milik bersama, aktivitas lintas batas negara dengan berbagai motif kepentingan
dapat berlangsung tanpa hambatan berarti. Alih-alih memberi hambatan, banyak
pemerintahan sekarang ini memiliki kebijakan yang bersifat multikultural. Kebijakan
seperti ini amat kondusif bagi proses pembauran pendatang dengan M. Iman
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian 37

BAB II: Diaspora Di Era Globalisme warga lokal. Kondisi seperti ini
mempermudah terjadinya proses akulturasi budaya. Liberalisme dan kapitalisme
seakan menjadi darah segar tambahan bagi terwujudnya migrasi antar negara
tersebut. Semangat meraih kemajuan, mencapai kesejahteraan, dan hasrat
mengumpul- kan kekayaan sebanyak-banyaknya seakan menjadi cambuk untuk
semakin cepatnya perkembangan diaspora. Kondisinya menjadi mestakung
(semesta mendukung), meminjam istilah Profesor Yohanes Surya yang berarti
semesta mendukung, ketika pemerintah di berbagai negara menerbitkan
kebijakan yang bersifat multikultural. Kebijakan multikultural ini menjadi sarana bagi
terciptanya masyarakat yang dapat menerima berbagai latar belakang budaya.
Inilah suatu masyarakat kosmopolitan, masyarakat yang se- cara sadar faham
bahwa mereka merupakan bagian dari warga dunia yang satu. Mungkin terlalu jauh
dan menyesatkan jika kita berpikiran bahwa diaspora yang memunculkan budaya
kosmopolitan tersebut akan berujung pada terciptanya sebuah negara dunia.
Namun bukankah telah semakin bertumbuh kota-kota global yang memiliki warna
uni- versal. Pemikiran Immanual Kant tentang terbentuknya sebuah federasi
negara-negara, dimana federasi negara-negara tersebut me- rupakan titik tengah
antara dua ekstrimitas, yaitu, antara negara-negara yang sepenuhnya berserak
tanpa ikatan dan suatu negara dunia tampaknya merupakan gambaran
teleologis yang paling mendekati kondisi riil. Diaspora yang semakin pesat akan
menjadi sarana bagi terciptanya perserikatan bangsa-bangsa yang semakin kuat.
Setidak- nya, diaspora akan menjadi sarana bagi terciptanya kehidupan manusia
yang lebih damai, makmur, dan sejahtera.

38

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan dan Keimigrasian

BAB III DIASPORA: MIGRASI INTERNASIONAL, KEAMANAN, DAN STABILITAS NEGARA


Migrasi internasional sebagai salah satu bentuk fenomena diaspora, seperti
dinyatakan Thomas Faist, Margit Fauser, dan Eveline Reisenauer (2013) secara
simultan menyebabkan terjadinya migrasi aspek-aspek kehidupan lain termasuk
keamanan dan stabilitas se- buah negara. Masalah tersebut tetap menjadi
perhatian internasional, bahkan setelah berakhirnya ketegangan antara Blok Barat
dan Timur. Pada satu sisi, banyak negara melihat bahwa meningkatnya migrasi
internasional tidak dapat dicegah seiring dengan perkembangan dunia yang meliputi
aspek-aspek seperti lalu lintas modal (capital), teknologi, dan informasi global.
Proses ini diperkuat oleh bentuk-bentuk teknologi komunikasi dan fasilitas
transportasi yang lebih murah dan lebih mudah, serta insfrastruktur global yang
muncul dari layanan yang menghubungkan perekonomian nasional dan yang
mendasari pembentukan jaringan migrasi internasional (Adamson, 2007).
Sementara pada sisi lain, migrasi internasional yang memperlihatkan adanya
pergerakan populasi yang tidak kecil dapat dianggap sebagai ancaman
kedaulatan, identitas, keamanan, maupun stabilitas sebuah negara. Diaspora
yang bersumber pada migrasi internasional tersebut secara umum dilatarbelakangi
oleh harapan ingin mendapatkan ke- hidupan yang lebih baik maupun
memperoleh kebebasan dari kekerasan maupun represi yang mereka alami di
negeri asal. Dengan kata lain, terdapat beragam faktor mulai dari politik, sosial,
ekonomi,

39

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


maupun keamanan, yang membuat jutaan orang melakukan keberanian
mengambil keputusan untuk menjadi migran. Dengan demikian, diaspora model
imigrasi internasional tersebut secara prediktif tidak akan pernah berhenti di masa
depan sehingga sebuah pemerintahan dunia (the world government) menjelma,
meminjam Thomas Friedman (2005), dalam dunia yang semakin datar. A.
Perkembangan Global Imigrasi Dunia bisa menyaksikan, salah satu peristiwa
dramatis yang me- munculkan migrasi internasional saat itu adalah eksodus orangorang dari Jerman Timur ke Austria melalui Cekoslovakia dan Hungaria pada Juli
dan Agustus 1989. Sebuah diaspora orang-orang Jerman Timur yang pada
ujungnya membuat pemerintahan Jerman Timur jatuh (Weiner, 1990). Dunia juga
mencatat bagaimana diaspora Palestina di Kuwait melakukan kolaborasi dengan
orang-orang Iraq sehingga memperkuat invasi Iraq ke Kuwait, namun pada saat
ber- samaan mengancam posisi imigran Palestina di negara-negara lain di Teluk.
Juga, bagaimana suku Tutsi yang menjadi diaspora di Uganda menjadi gerakan
bersenjata dan melancarkan invansi ke Rwanda dalam upaya menggulingkan
pemerintah yang didominasi suku Hutu dan mengembalikan dominasi Tutsi
(Weiner, 1990). Mengenai hal tersebut, Weiner (1996) melihat bahwa migrasi internasional sebagai salah satu akar diaspora akan tetap menjadi per- soalan krusial
dunia internasional. Di antaranya, karena migrasi sejauh ini tidak menunjukkan
tanda-tanda mereda. Sejak berakhirnya Perang Dingin, masih kerap terjadi
kebangkitan gerakan sparatis dengan beragam aksi kekerasan yang
memunculkan arus pengungsi. Pecahnya negara menjadi unit-unit yang kecil
membuat kelompok minoritas tidak aman. Konflik sipil, kelaparan, degradasi
lingkungan, juga perbedaan antara pendapatan dan kesempatan kerja di negaranegara tersebut membangkitkan motivasi orang-orang untuk melintasi perbatasan
internasional dan menjadi diaspora di negara-negara lain yang menjadi tujuan
mereka.

40

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Selain
itu, banyak orang yang ingin meninggalkan negara mereka, sambil berharap menjadi
diaspora di negara-negara lain yang bersedia menerima mereka. Namun tidak
semua harapan tersebut terpenuhi. Ada keengganan sebagian negara untuk
membuka perbatasan mereka bagi orang-orang yang ingin masuk ke negara
tersebut dikarenakan perasaan khawatir khususnya menyangkut dampak
ekonomi yang bisa ditumbulkan oleh para migran tersebut. Selain itu, juga adanya
kekhawatiran bahwa dengan masuknya orang-orang itu maka akan
memunculkan xenophobia, sentimen antar etnis, konflik atau per- tentangan
antara penduduk asli dan pendatang. Sehubungan dengan hal tersebut,
persoalan diaspora yang berakar dari migrasi internasional telah mendapatkan
perhatian se- jumlah kalangan dari berbagai disiplin keilmuan. Para ekonom, misalnya, melihat bagaimana perbedaan antar negara mempengaruhi migrasi.
Ilmuwan politik juga menelaah mengenai konflik di dalam negara yang akhirnya
menyebabkan diaspora. Banyak literatur kontemporer mengenai migrasi
internasional yang memberikan fokus perhatiannya pada kondisi perekonomian
global sebagai faktor dominan dari terjadinya diaspora di dunia. Weiner (1996)
misalnya, mencatat bahwa menurut teori ekonomi migrasi, individu akan
melakukan perpindahan jika manfaat yang diharapkan melebihi biaya yang
dikeluarkan, serta kecenderungan untuk bermigrasi dari satu daerah ke daerah
lain dipandang sebagai hal yang ditentukan oleh tingkat upah, biaya perjalanan
dan kondisi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, perubahan ekonomi global, seperti
peningkatan harga minyak dunia atau pergeseran arus modal inter- nasional
akan meningkatkan permintaan tenaga kerja di beberapa negara dan
menguranginya di tempat lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pembangunan ekonomi yang tidak merata antar negara dan ketimpangan
distribusi pendapatan dapat menyebabkan individu maupun keluarga melakukan
migrasi. Namun, gejala diaspora tersebut juga dapat dinilai sebagai ancaman
terhadap ekonomi, ketidakseimbangan etnis, pelemahan M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
41

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


identitas nasional, dan pergolakan politik. Untuk itu, banyak negara menerapkan
aturan ketat untuk membatasi pergerakan arus manusia tersebut. Karena tidak
sedikit contoh yang memperlihatkan bahwa arus migrasi telah melahirkan konflik
baik di dalam maupun di antara negara-negara. Oleh sebab itu, arus migrasi
kerap dipandang oleh publik nasional dari negara-negara penerima (the host
states) sebagai ancaman terhadap keamanan nasional mereka, serta ancaman
bagi stabilitas internasional (Stivachtis, 2008). Diaspora dan keamanan sendiri
memiliki literatur terpisah yang telah berkembang sejak awal 1990-an. Nazli
Choucri, misalnya, me- ngatakan bahwa hubungan antara migrasi dan keamanan
sangat rumit dan kerap bermasalah karena secara konseptual keduanya inheren
subyektif (secara otomatis saling berkaitan). Sedangkan bobot ke- terkaitan
tersebut tergantung kepada siapa yang mendefinisikan istilah itu (Stivachtis, 2008).
Selain itu, persoalan hubungan antara migrasi dan keamanan sendiri tidak jarang
berkelindan dengan identitas. Misalnya, ketika intensitas konflik etnis cenderung naik
pada era Perang Dingin maka persoalan identitas kemudian menjadi penting
dalam studi-studi keamanan domestik maupun internasional. Cermatan antara
identitas, keamanan dan migrasi sekarang ini telah dikondisikan oleh
perkembangan politik. Stivachtis mencatat, sebagai contoh, Peristiwa 11
September 2001 (9/11) di Amerika Serikat telah memicu diskusi keterkaitan
antara identitas dan ke- amanan. Peristiwa tersebut ikut memberikan kontribusi
dalam me- ngarahkan perhatian publik Amerika Serikat mengenai jenis imigran
asing tertentu, yakni Arab atau Muslim. Sejak itu, dalam pikiran se- bagian orang
Amerika Serikat, diaspora Arab dan Muslim di Amerika Serikat dipandang memiliki
potensi yang menyediakan lahan subur untuk berkembang biak dan
persembunyian para teroris. Selain itu, mereka juga percaya bahwa orang-orang
Arab atau Muslim tidak hanya sulit berbagi dengan nilai dan keyakinan yang
sama dengan mereka, namun juga identitas bersama Arab atau Muslim tersebut
M.
mengancam identitas sosial dan politik Amerika Serikat secara umum. 42
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


Keyakinan seperti itu menurut Stivachtis setidaknya memiliki be- berapa
konsekuensi: 1) memperkuat gagasan mengenai identitas Amerika yang memilih
berdiri sebagai oposisi terhadap orang Arab atau Muslim; 2) memperkuat
identifikasi diri diaspora Arab maupun Muslim yang tinggal di Amerika Serikat dengan
daerah asal dan agama mereka. Selain itu, relatif kurangnya integrasi minoritas
Arab atau Muslim pada masyarakat Amerika Serikat juga merupakan faktor
penting yang berkontribusi pada penguatan identitas Arab atau Mus- lim; 3)
membuka peluang untuk mempersempit kesenjangan sosial dan politik di antara
mereka dengan upaya multikulturalisme. Tidak saja di Amerika Serikat, Uni Eropa
juga memiliki kecenderungan yang sama mengenai kaitan antara diaspora, keamanan, dan stabilitas internasional. Di Eropa, setidaknya dapat di- lihat
bagaimana arus migrasi yang disebabkan oleh pengungsi baik dari dalam
maupun luar Eropa akibat kekacauan internal yang melanda negeri asal. Selain
itu, arus migrasi dan diaspora di Eropa juga didorong oleh keinginan sejumlah
orang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Karena arus migrasi
yang tidak kecil seperti itu, maka kekhawatiran di sejumlah negara penerima meningkat khususnya yang berkaitan dengan semakin sempitnya lapangan
pekerjaan, ketidakmampuan negara penerima untuk mengakomodasi migran,
ancaman meningkatnya kriminalitas, tero- risme, dan sebagainya. Kekhawatiran
ini membuat beberapa negara menerapkan aturan ketat untuk membatasi
masuknya migran. Alasan mengenai mengapa diaspora dianggap sebagai
ancaman bagi negara penerima, memang merupakan masalah yang rumit. Ini
berkaitan dengan bagaimana masyarakat setempat mendefinisikan dirinya,
menilai kebudayaan yang berbeda antara mereka dan kaum diaspora, dan
perbedaan norma-norma yang berlaku. Norma yang berlaku akan meliputi aturan
mengenai identitas antara pendatang dan penduduk asli. Ini dapat menyangkut
hak biasa, hak khusus atau istimewa yang diberikan negara penerima kepada para
migran, dan potensi ancaman budaya dari para pendatang tersebut. Stivachtis
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
43

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara (2008)
melihat bahwa sebuah pelanggaran norma-norma sosial dan budaya akan
dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dasar dan keamanan nasional.
Namun demikian, bisa saja potensi ancaman tersebut berasal dari sikap masyarakat
asli yang ingin menonjolkan diri dan mengambil sikap bermusuhan dengan migran
meskipun tidak terjadi pelanggaran norma di antara mereka. Selain itu, diaspora
juga dianggap sebagai ancaman terhadap identitas negara penerima karena
cara-cara migran dalam berurusan dengan mereka. Padahal apabila para migran
tidak melakukan pe- langgaran norma, maka negara penerima dan penduduk
asli juga tidak menunjukkan sikap bermusuhan terhadap migran. Artinya, semakin sebuah komunitas migran berusaha untuk mengintegrasikan dirinya ke
dalam masyarakat negara penerima, dan semakin mereka memperlihatkan sikap
adaptasi dengan cara hidup masyarakat se- tempat, maka mereka tidak akan
dianggap sebagai ancaman. Se- baliknya, semakin sedikit migran yang berusaha
untuk mengin- tegrasikan dirinya dengan masyarakat negara penerima, maka
mereka akan dianggap sebagai ancaman potensial bagi negara penerima. Kaitan
antara diaspora dan konteks keamanan memang muncul dengan ditandai oleh
dislokasi geopolitik yang terkait dengan ber- akhirnya Perang Dingin, dan juga
pergeseran sosial dan politik yang lebih luas terkait dengan globalisasi (Huysmans
dan Squire, 2009). Fenomena tersebut mencerminan adanya perubahan, baik
mengenai sifat migrasi itu sendiri, maupun pemikiran mengenai migrasi. Jika
sebelumnya migrasi dianggap sebagai sebuah fenomena sosial ekonomi yang
dipelajari oleh bidang sejarah sosial ekonomi, sejarah sosiologi, dan antropologi,
maka migrasi saat ini menjadi persoalan penting dalam perdebatan politik
internasional. Sehingga hubungan antara migrasi dan keamanan, menurut
Hyusmans dan Squire (2009) dapat dilihat dari dua arah yang berbeda: dari
perspektif keamanan dan perspektif studi migrasi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan
bahwa studi keamanan dan migrasi adalah kompleks karena keterkaitan yang erat
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
antara keduanya. 44
dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Studi
keamanan dapat didekati secara strategis sebagai nilai atau kondisi yang ingin
dicapai; namun juga dapat didekati secara kritis sebagai pengetahuan, wacana,
dan teknologi. Sementara dalam studi migrasi, dapat merujuk pada hal yang relatif
sempit mengenai migrasi ekonomi atau dapat didekati secara lebih luas dengan
menggabung- kan antara jenis migrasi yang terpaksa, pengungsi maupun
tenaga kerja, ke bidang penelitian yang lebih luas, yaitu fenomena diaspora.
Meminjam Russel King (2012), studi tentang migrasi telah diperkaya dengan
pengenalan kerangka konseptual baru seperti mobilitas, transnasionalisme, dan
diaspora. Oleh karena itu, migrasi mencakup berbagai dimensi sosial dan menuntut
pendekatan yang interdisipliner. Untuk mengetahui gambaran lebih jelas mengenai
kaitan antara migrasi, keamanan, dan stabilitas sebuah negara, bagian ini
mem- bahas perspektif migrasi dari beberapa pendekatan. B. Mengartikan
Migrasi Migrasi internasional sebagai salah satu penyebab diaspora se- cara
umum didefinisikan sebagai perpindahan orang dari satu negara ke negara lain.
Oleh Everett Lee dalam A Theory of Migration (1966), migrasi didefinisikan secara
luas sebagai perubahan tempat tinggal baik secara permanen maupun semi
permanen. Tidak terdapat pem- batasan dalam hal ini, baik pada jarak
bepergiannya atau pada sifat sukarela maupun terpaksa. Sementara Jan Kok
dalam The Family Factor in Migration Decision dalam Migration History in World
His- tory: Multidisciplinary Approaches (Lucassen, Leo Lucassen dan Manning,
2010: 216) mengartikan migrasi sebagai mereka yang ber- gerak secara geografis
relatif jauh dan relatif permanen. Migrasi menyiratkan perubahan kegiatan seharihari, koneksi dan reorganisasi di tempat baru. Sementara Faist, Fauser, dan
Reisenauer (2013: 5) memahami bahwa migrasi internasional sebagai sebuah
perubahan tempat tinggal dari satu negara ke negara lain untuk beberapa periode
waktu. Sedangkan International Organization for Migration (2004) memberikan
pengertian, bahwa migrasi internasional tidak lain me- M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
45

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara rupakan
pergerakan orang yang meninggalkan negara asal mereka atau tempat tinggal
dan kebiasaan mereka untuk membangun diri baik secara permanen atau
sementara waktu di negara lain. Seluruh batasan tersebut mempertegas fakta
bahwa migrasi internasional adalah salah satu penyebab diaspora yang akan terus
mengemuka di masa depan. Istilah migran sendiri, jika merujuk catatan Unesco
sebagaimana ditulis dalam laman mereka: www.unesco.org, migran dipahami sebagai setiap orang yang tinggal sementara atau permanen di negara di mana ia
tidak dilahirkan, dan telah memperoleh beberapa ikatan yang besar untuk negeri
itu. Namun definisi seperti itu dirasa sempit, karena beberapa negara sesuai
kebijakannya sudah mempertimbang- kan bahwa seseorang dapat dianggap
sebagai migran ketika ia lahir di negara itu. Konvensi PBB tentang Hak-hak Migran
mendefinisikan bahwa pekerja migran sebagai orang yang akan terlibat atau telah
terlibat dalam pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara di mana ia bukan
warga negara dari negara tersebut. Mengacu pada hal itu, tidak mudah untuk
membedakan definisi tentang migrasi karena masing-masing mempunyai latar
belakang sendiri-sendiri. Ada migran yang meninggalkan negaranya karena
penganiayaan politik, konflik, persoalan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan
mencari kehidupan atau kesejahteraan yang tidak mereka dapatkan di negara
asal. Se- hubungan dengan hal tersebut beberapa sarjana membuat perbedaan
antara migrasi sukarela dan tidak sukarela. Menurut Unesco, terdapat beberapa
kategori migran internasional. Pertama, migran sementara (temporary labour
migrants). Dikenal juga dengan pekerja pendatang atau kontrak (guest workers
atau over- seas contract workers). Yang disebut dengan migran sementara adalah
mereka yang melakukan perpindahan wilayah ini bekerja dalam rentang
waktunya tertentu, dan mengirimkan penghasilannya ke negeri asal mereka
tinggal. Kedua, migran dengan skill atau keterampilan tinggi (highly skilled
and business migrants). Yakni, 46
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara orangorang dengan kualifi kasi sebagai manager, eksekutif, profesional, dan
sejenisnya, yang bergerak dalam perusahaan atau pasar tenaga kerja
internasional. Terhadap kategori migran ini, banyak negara yang memberikan
kesempatan atau mendorong masuknya mereka, bahkan dengan programprogram yang spesifik. Ketiga, migran gelap (irregular migrants), migran yang
tidak memiliki dokumen apapun (undocumented) atau ilegal (illegal migrants).
Mereka adalah migran yang mencari pekerjaan dengan memasuki suatu wilayah
negara tertentu tanpa disertai dengan kelengkapan dokumen resmi. Keempat,
migrasi yang dilakukan dengan terpaksa (forced mi- gration). Mereka yang masuk
dalam kategori ini secara luas adalah tidak hanya pengungsi dan pencari suaka,
melainkan juga orang- orang yang terpaksa pindah karena faktor eksternal
seperti terkena bencana alam, maupun proyek-proyek pembangunan. Kelima,
anggota keluarga (family member), atau disebut dengan reuni keluarga (family
reunion/family reunification migrants). Yakni, migran yang bersatu kembali dengan
anggota keluarga lainnya. Migran dalam kategori ini adalah orang yang
mempunyai ikatan kekeluargaan bersatu kembali dengan orang yang sudah
melakukan migrasi. Banyak negara mengakui hak untuk reuni ini bagi mereka
yang secara sah tinggal di suatu negara. Keenam, migran yang telah kembali
(return migrants). Mereka yang masuk kategori ini adalah migran yang kembali ke
negara asalnya setelah sekian waktu bermigrasi di negara orang. C. Perspektif
Migrasi Dalam Konteks Diaspora Perspektif Neo-Klasik Untuk mengetahui
gambaran umum mengenai migrasi sebagai salah satu akar diaspora, catatan
Hein de Haas dalam Migration and Development A Theoretical Perspective (2008)
bisa memberikan se- dikit arahan mengenai beberapa perspektif mengenai
migrasi. Dalam M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 47

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara melihat
diaspora dari perspektif neoklasik, Hein de Haas berpijak pada kontribusi Ravenstein
(1885; 1889). Ravenstein telah merumuskan teori migrasi dan dianggap sebagai
hukum migrasi. Ia melihat bahwa migrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pembangunan, dan ia menegaskan bahwa penyebab utama dari migrasi
adalah ekonomi. Dalam pengertian ini, pola migrasi diasumsikan dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti jarak dan kepadatan penduduk. Berdasarkan pemikiran
Ravenstein tersebut, Haas (2008) ber- pendapat bahwa perpindahan orang terjadi
dari daerah yang ber- penghasilan rendah ke daerah yang berpenghasilan tinggi,
dan dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya. Dengan bahasa
lain, migrasi dapat diartikan sebagai diaspora yang mengarah pada keseimbangan
spasial ekonomi tertentu. Perspektif ini juga me- rupakan asumsi yang mendasari
teori push-pull. Penjelasan ekonomi telah menyumbang berkembangnya pemikiran populer dan ilmiah tentang diaspora, meskipun isu diaspora itu sendiri
tidak menjadi perhatian utama dalam mainstream teori ekonomi. Pada tingkatan
makro, teori ekonomi neoklasik menjelas- kan bahwa migrasi sebagai salah satu
akar diaspora ditentukan oleh perbedaan geografis dan pasokan tenaga kerja
(permintaan dan pe- nawaran). Selisih upah menyebabkan pekerja berpindah dari
wilayah yang memberi upah rendah ke tinggi. Dengan demikian, ada perbedaan keseimbangan relatif pasar tenaga kerja di beberapa negara. Sementara
pada tingkatan mikro, teori ini melihat diaspora sebagai tindakan individu. Ia
merupakan aktor rasional yang secara otonom dapat memutuskan untuk
melakukan perpindahan atas pertimbangan biaya dan manfaat. Dengan asumsi
bahwa manusia memiliki pilihan bebas, dan memiliki akses penuh informasi,
diharapkan mereka dapat pindah atau pergi ke manapun dengan pertimbangan
produktivitas dan perolehan gaji yang tinggi. Namun demikian, pertimbangan tersebut jelas bergantung pada spesifikasi keterampilan yang dimiliki individu serta
struktur jabatan yang dibutuhkan. 48 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Teori itu
menurut Haas sebagaimana ia mengutip pendapat Lewis (1954) melihat bahwa
migrasi desa-kota pada dasarnya merupakan bagian dari seluruh proses
pembangunan, dimana surplus tenaga kerja di sektor pedesan memasok tenaga
kerja untuk industri perkotaan. Maka teori migrasi ini disebut sebagai
developmentalisme, sebuah teori modernisasi yang didasarkan pada
pandangan teleologis yang menafsirkan sebuah pembangunan sebagai hal linier,
yang memiliki tahapan-tahapan secara berturut-turut, sebagaimana dipaparkan
oleh Rostow. Dalam melihat perspektif ini, Haas (2008) dengan meminjam analisis
Harris dan Todaro (1970), dikembangkan dalam rangka men- jelaskan adanya
fenomena bertentangan yang tampak dalam keber- langsungan migrasi desakota di negara-negara berkembang di samping meningkatnya pengangguran di
kota-kota. Mereka berpen- dapat bahwa dalam rangka memahami fenomena ini
perlu kiranya memodifikasi dan memperluas pendekatan upah yang sederhana
dengan melihat tidak hanya pada perbedaan pendapatan yang ber- laku antara
desa dan kota. Jadi, penghasilan yang diharapkan di daerah tujuan tidak hanya
bergantung pada yang semestinya di tempat tujuan tersebut, melain- kan juga
pada kemungkinan pada pekerjaan. Asumsinya, bahwa asalkan perbedaan
pendapatan desa-kota tetap cukup tinggi, dan resiko untuk menjadi penganggur
lebih besar, maka iming-iming pen- dapatan permanen yang relatif lebih tinggi
akan terus menarik aliran migran dari desa. Meskipun model ini awalnya
dikembangkan untuk migrasi internal, namun juga telah dilakukan beberapa
modifikasi untuk diterapkan pada migrasi inter nasional. Modifi kasi ini
mendalilkan gagasan pasar migrasi internasional, dimana para calon migran
mendasarkan pilihan tujuan individu, berupa perhitungan biaya-manfaat.
Perluasan model ini juga memungkinan penafsiran bahwa dalam kerangka kerja
modal manusia, imigrasi dianggap sebagai keputusan investasi (Haas, 2008). Dalam
teori ekonomi, bahwa modal manusia makin diakui sebagai faktor penting dalam
proses pembangunan M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 49

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


ekonomi pada modernisasi masyarakat. Teori human capital mengasumsikan
bahwa aset pribadi seperti keterampilan, pendidikan, dan kemampuan fisik
merupakan modal penting yang dapat me- ningkatkan produksi ekonomi. Teori
ini juga memungkinkan secara teoritis menjelaskan selektivitas migrasi melampaui
penjelasan yang berfokus hanya pada biaya. Artinya, menimbang bahwa
perbedaan individu dalam hal keterampilan pribadi, pengetahuan, kemampuan
fisik, usia, jenis kelamin, dan sebagainya itu, akhirnya juga terdapat perbedaan
dalam sejauh mana orang-orang diharapkan memperoleh hasil dari migrasi, yaitu
mereka yang mengharapkan pengembalian investasi akan migrasi mereka.
Banyak kekurangan dari perspektif neoklasik. Misalnya, teori ter- sebut tidak mampu
menangani dan menghambat faktor-faktor pem- batasan pemerintah mengenai
migrasi. Neoklasik tidak jarang dikritik sebagai teori migrasi yang ahistoris dan terlalu
Eropa sentris. Teori ini dapat diposisikan dalam paradigma teori sosial-fungsional
dengan argumen utama yakni pemerataan faktor harga mengasumsikan bahwa
kekuatan ekonomi cenderung menuju keseimbangan karena sebagian besar orang
mengabaikan ketidaksempurnaan pasar dan kendala struktural pembangunan
terutama di negara-negara ber- kembang. Dengan kata lain, banyak pendapat
yang mengatakan bahwa teori tersebut sudah ketinggalan jaman. Menurut King
(2012), senada dengan pendapat Samers (2010), perspektif ini cenderung
dideterminasi ekonomi, metodologi yang individualis, dan amat kuno sehingga
apabila ditarik dalam perspektif diaspora khususnya kajian sebab musababnya,
maka pendekatan tersebut menjadi sangat parsial (sempit) karena mengabaikan
beberapa variabel lain seperti dinamika sosial dan politik yang sedang berlangung
di masyarakat. Perspektif Struktural-Historis Menurut Haas (2008), selain perspektif
neoklasik, penafsiran yang sangat berbeda mengenai migrasi sebagai salah
satu penyebab diaspora terjadi tahun 1960 ketika paradigma struktural-historis
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
pem- 50
Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


bangunan berkembang. Paradigma ini berakar pada pemikiran ekonomi politik
Marxisme dan teori sistem dunia (world system theory). Menurut King (2012), teori
tersebut terinspirasi oleh penafsiran kaum Marxis akan kapitalisme, di bawah
pembangunan dan penataan ekonomi dunia. Teori ini melihat bahwa migrasi
internasional sebagai bagian dari fenomena diaspora merupakan realitas sejarah
yang di- bentuk oleh kekuatan struktur makro, dan tekanan eksploitasi yang
inheren, serta ketidakseimbangan kekuatan ekonomi yang mem- bentuk
kapitalisme global. Teori struktural-historis tersebut muncul sebagai tanggapan
ter- hadap paradigma fungsional atau neoklasik dan pendekatan
developmentalis-modernisasi. Teori struktural-historis menyatakan bahwa kekuatan
ekonomi dan politik antara negara maju dan negara berkembang, yang orangorangnya memiliki akses terhadap sumber daya yang tidak seimbang, ser ta
ekspansi kapitalis memiliki kecenderungan untuk memperteguh
ketidaksetaraan. Menurut dalil teori ini, alih-alih modern dan secara bertahap
maju ke arah pem- bangunan ekonomi, negara-negara terbelakang justru terjebak
dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam struktur geopolitik global.
Kelompok masyarakat yang menjadi korban struktural tersebut akhirnya terpaksa
melakukan perpindahan melintasi batas-batas negara. Seperti halnya di sebagian
besar bidang ilmu sosial, strukturalisme- historis menurut Massey dan kawan-kawan
(1998) sebagaimana ditulis Haas, telah mendominasi penelitian migrasi pada tahun
1970-an dan 1980-an. Teori ini memandang bahwa migrasi merupakan hasil kerja
alami dari gangguan dan dislokasi yang intrinsik pada proses akumu- lasi kapital.
Mereka menafsirkan migrasi sebagai salah satu kesalahan manifestasi penetrasi
kapitalisme dan semakin meningkatnya ketidakmerataan perdagangan antara
negara maju dan berkembang. Dengan kata lain, Massey dan kawan-kawan
(1993) mengatakan bahwa penetrasi ekonomi kapitalis pada negara peripheral
(pinggiran) M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 51

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara telah
menciptakan masyarakat non-kapitalis yang bermigrasi ke luar negaranya dan
menjadi diaspora. Sehubungan dengan hal tersebut salah satu tokoh
terkemuka dalam teori ketergantungan adalah Andre Gunder Frank. Hipotesis
Frank adalah bahwa kapitalisme global, yang salah satu wujud manifestasinya
adalah migrasi, telah berkontribusi terhadap keter- belakangan masyarakat
dunia. Pandangan dari teori dependensia ini adalah bahwa migrasi tidak hanya
merugikan perekonomian negara- negara terbelakang tetapi juga sebagai salah
satu penyebab keter- belakangan itu sendiri, bukan sebagai jalan menuju
pembangunan. Dalam konteks ini, migrasi yang disebabkan kesalahan struktural
pe- nguasa menjadi faktor penarik menyebarnya orang-orang berkuali- tas ke
negara-negara lain yang lebih baik keadaannya. Akibatnya negara asal menjadi
lebih miskin karena sumberdaya yang baik me- ninggalkan negeri itu dan menjadi
diaspora di negara-negara lain. Selain itu, menurut pandangan tersebut,
migrasi juga meruntuhkan stabilitas masyarakat petani, merusak ekonomi, sekaligus mencabut akar populasi mereka. Dalam konteks ini, dalam teori sistem dunia,
Emmanuel Wallerstein telah mengklasifikasikan negara- negara menurut tingkat
ketergantungan dan membedakan antara negara kapitalis inti (core nations),
negara semi pinggiran (semi-pe- ripheral), pinggiran (peripheral), dan negara
terisolasi di wilayah eksternal yang tidak atau belum termasuk dalam sistem kapitalis
(Haas, 2008). Penggabungan negara pinggiran ke dalam ekonomi kapitalis
tersebut dikaitkan dengan menempatkan para migran di wilayah itu sehingga
pemiskinan dan keterbelakangan masyarakat utamanya kaum diaspora terjadi.
Perspektif strukturalis-historis dengan demikian berada dalam posisi yang
berlawanan dengan teori neoklasik dan mengkritiknya dengan menyatakan
bahwa individu tidak memiliki pilihan yang bebas. Karena pada kenyataannya,
mereka secara fundamental telah dibatasi oleh kekuatan struktural.
Ketidakbebasan individu seperti itu 52 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara karena
orang dipaksa untuk pindah karena struktur ekonomi tradisional mereka telah
dirusak akibat penggabungan ke arah sistem ekonomi politik dunia yang
kapitalistik. Melalui cara itu, populasi pedesaan telah dirampas dari mata
pencaharian tradisional mereka. Populasi mereka kemudian menyusut dan
menjadi bagian dari kota proletariat untuk kepentingan daerah-daerah atau
negara inti yang mengandalkan tenaga kerja murah. Teori struktural-historis
tersebut tidak luput dari kritik. Menurut Haas dalam The Determinants of
International Migration: Conceptu- alizing Policy, Origin and Destination Effects
(2011), teori struktural- historis dinilai terlalu deduktif dan deterministik. Teori
tersebut cenderung melihat migrasi dan terjadinya diaspora sebagai akibat dari
penyebaran kapitalisme global, serta proses marginalisasi di dalamnya. Artinya,
teori tersebut hanya melihat individu sebagai korban yang pasif beradaptasi
dengan kekuatan makro, dan sebagian besar mengesampingkan peran dari agenagen individual. Haas (2008) melihat bahwa kakunya bentuk struktural-historis
telah disangkal oleh sejarah karena berbagai bentuk pembangunan dan negara
yang mengekspor tenaga kerja rupanya juga mencapai per- tumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dalam dekade terakhir, meski- pun kata Amartya Sen hal itu
mungkin berkat koneksi perusahaan di negara-negara miskin dengan kapitalisme
global (Haas, 2008). Se- tidaknya, terdapat peningkatan konsensus, bahwa
kapitalisme dalam hal penciptaan keterbelakangan tidak menjadi satu-satunya
biang penyebab yang harus diposisikan sebagai penyandang kesalahan dan
terjadinya diaspora. Secara khusus, efek pembangunan pada penggabungan
daerah atau negara ke dalam sistem kapitalisme global tampaknya lebih bergantung pada situasi yang sedang berlangsung. Menurut Haas (2008),
penggabungan daerah terjadi dalam struktur yang lebih luas, yaitu negara, serta
kohesi sosial politik internal dan kekuatan ekonomi negara tersebut. Jadi,
penggabungan ke dalam sistem kapitalisme global dapat memiliki efek positif
maupun negatif di berbagai wilayah M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian
53

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


pembangunan dan di kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam arti
lain, kritik terhadap pandangan struktural-historis muncul karena migrasi tidak
dapat secara otomatis dimaknai sebagai jalan untuk mengakhiri penderitaan,
bukan pula dilihat bahwa yang bermigrasi adalah orang miskin saja, melainkan
juga karena migrasi memberikan kemungkinan memfasilitasi pembangunan
melalui arus balik modal (flows of capital) atau remitansi (remittances), pengetahuan, keahlian, pengalaman, ide, dan sikap orang-orang yang pulang dari
migrasi (return migration). Dalam konteks diaspora, inti dari kritik terhadap
pendekatan strukturalisme-historis adalah faktanya diaspora menjadi kekuatan
ekonomi dan ilmu pengetahuan bagi negara asal bukan semata-mata membuat
kemiskinan dan keter- gantungan. Perspektif Push-Pull Menurut pandangan yang
diungkapkan oleh Massey dan kawan- kawan (1993), dan Haas (2008), baik teori
neoklasik maupun struktural-historis umumnya telah gagal menjelaskan mengapa
hanya beberapa orang di suatu negara atau wilayah tertentu melakukan
migrasi dan menjadi bagian dari diaspora dunia, sementara orang lain tidak
melakukan hal yang sama. Adalah Everett Lee (1966), yang merevisi hukum
migrasi-nya Reveinstein dengan mengusulkan analisis kerangka kerja baru untuk
melihat migrasi. Dalam pandangan Lee, keputusan melakukan migrasi ditentukan
oleh beberapa faktor di antaranya kondisi daerah asal, rintangan intervensi
(seperti jarak, hambatan fisik, hukum), pilihan pekerjaan, serta alasan pribadi lainnya. Lee berpendapat bahwa migrasi cenderung menuju ke tempat yang
dianggap baik. Ini bukan hanya terkait dengan peluang ekonomi yang dapat mereka
raih tetapi juga kemudahan yang diberikan negara penerima yang memfasilitasi
kehadiran mereka sebagai migran (Haas, 2008). Menurut Lee, migrasi selektif
berhubungan dengan karakteristik individu para migran karena baik dan buruknya
faktor asal-usul dan 54
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara tujuan,
serta kemampuan berbeda tiap migran untuk mengatasi variabel-variabel
pengganggu. Situasi ini membuat para migran se- cara individu cenderung
menjadi pribadi yang otonom sehingga mereka jarang mewakili komunitas asal
mereka. Ini konsisten dengan perspektif neoklasik yang menjelaskan soal migrasi
selektif karena adanya perbedaan kapasitas tiap individu dan aspek biaya serta
resikonya. Menurut Haas (2008), pendekatan yang dikemukakan Lee kerap dinamai
dengan push-pull (faktor pendorong dan penarik). Kerangka push-pull pada
dasarnya merupakan model pilihan individu dan keseimbangan. Oleh karena itu,
pendekatan tersebut dianggap sebagai model mikro dalam paradigma neoklasik
dan sangat populer dalam literatur soal migrasi. Dalam kerangka push-pull,
sebagian besar mengasumsikan bahwa penyebab dari migrasi adalah faktor
lingkungan, demografis, dan ekonomi. Faktor pendorong dan penariknya adalah:
(1) per- tumbuhan penduduk pedesaan menyebabkan tekanan Malthus pada
sumber daya alam dan pertanian, mendorong orang untuk keluar dari wilayah
pedesaan yang marginal dan menjadi diaspora di wilayah-wilayah lain; (2) kondisi
ekonomi (tingginya upah), memikat orang untuk tertarik ke kota-kota dan negaranegara industri. Me- nurut Haas (2008), kerangka push-pull tampaknya menarik,
karena mampu menggabungkan semua faktor yang berperan dalam pengam- bilan
keputusan migrasi. Namun demikian, pendekatan itu juga me- ngandung
kelemahan karena kerangka push-pull cenderung bersifat penjelasan ad-hoc yang
menyediakan keterangan agak ambigu me- ngenai penyebab utama penyebaran
manusia ke negara-negara lain di dunia. Tidak hanya itu, kerangka push-pull
juga cenderung membingungkan jika dilihat dari perbedaan skala analisis
sehingga tidak memungkinkan untuk menetapkan bobot relatif terhadap faktor
yang berbeda dalam mempengaruhi keputusan migrasi (Haas, 2008). Pada
umumnya paradigma faktor penarik dan pendorong tersebut menyimpulkan
bahwa upah yang rendah, tekanan penduduk yang M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
55

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara tinggi,
dan parahnya degradasi lingkungan menjadi argumen utama penyebab migrasi.
Haas (2008) juga menggaris bawahi bahwa kerangka push-pull juga cenderung
mengabaikan heterogenitas dan stratifikasi internal masyarakat, sedangkan faktor
kontekstual biasa- nya didefinisikan sebagai dorongan atau faktor penarik yang
cenderung bekerja berbeda pada tingkat individu. Setidaknya, dari ketiga teori
umum tentang migrasi di atas bisa dilihat bagaimana teori-teori atau pendekatan
mengenai migrasi telah mengalami perkembangan. Perkembangan perspektif
mengenai migrasi telah membuat literatur tentang migrasi memiliki dimensi yang
bisa dilihat dari beberapa sudut atau multi-faced. Teori-teori umum mengenai
migrasi tersebut merupakan teori yang memiliki fokus tentang penyebab migrasi
dan mekanisme umpan balik dari pergerakan populasi sehingga berpengaruh
pada situasi, konteks, transformasi ekonomi, maupun pembangunan nasional,
baik di negara asal maupun negara tujuan diaspora. Dengan kata lain, teori- teori
umum tersebut menyediakan beberapa kerangka analisis terkait tentang
penyebab, dampak, baik migrasi internal maupun inter- nasional terhadap
pembangunan di masyarakat. Bahkan dalam per- kembangannya, migrasi
sebagai salah satu penyebab penyebaran manusia di negara-negara di dunia
akhirnya juga dihubungkan dengan perbincangan menyangkut isu-isu dan kajian
keamanan maupun stabilitas internasional. Pendeknya, diaspora telah menjadi
bagian integral dari globalisme dengan segala dimensinya. D. Sintesa Beberapa
Perspektif Salah satu upaya kontemporer untuk memajukan teori tentang
penyebaran manusia adalah menyintesiskan beberapa teori migrasi yang
berbeda-beda (Haas, 2011). Bagaimanapun juga saat ini telah terjadi
pengembangan yang lebih terpadu dari pandangan-pandangan ilmu sosial tentang
migrasi, dimana tidak terkungkung dalam batas- batas disiplin ilmu. Dengan
M. Iman Santoso: Diaspora:
demikian, perbedaan disiplin ilmu serta 56
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


perangkat metodologi yang digunakan tidak membuat teori migrasi menjadi
eksklusif. Sehubungan dengan hal tersebut, perspektif ekonomi baru me- ngenai
migrasi tenaga kerja (the new economics of labour migration/ NELM), misalnya,
dianggap sebagai salah satu kemajuan besar dalam teori ekonomi migrasi. Teori
tersebut terinspirasi oleh komposisi rumah tangga dan strategi penghidupan yang
dilakukan oleh para antropolog dan sosiolog. Namun, cara yang eklektik dengan
menggabungkan banyak wawasan tentu tidak dapat langsung memecahkan
persoalan mendasar, terutama jika dikaitkan dengan teori yang memiliki akar
paradigmatik yang berbeda. Haas mencontohkan bahwa tidak mungkin untuk
menggabungkan teori migrasi neo-klasik dan neo- Marxis karena mereka memiliki
perbedaan asumsi yang paling men- dasar, yang pertama berpijak pada
kebebasan individu dan yang kedua pada kontrol pemerintah. Migrasi sebagai isu
keamanan dan stabilitas internasional Seperti sudah disebutkan sebelumnya,
perkembangan global me- ngenai fenomena migrasi mempunyai intensitas yang
kian tak terbendung, yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu keamanan dan
stabilitas internasional. Perbedaan etnis dan budaya pada masyarakat migran,
dengan masih adanya sikap untuk tetap mempertahankan budayanya dalam
pergaulan internasional, dianggap sebagai salah satu penyebab lahirnya isu
keamanan dalam kajian diaspora. Seperti dicatat Stivachtis (2008), perkembangan
pola migrasi glo- bal saat ini telah menempatkan diaspora sebagai fenomena di
jantung politik internasional. Penyebabnya antara lain, skala gerakan migrasi
secara eksponen meningkat di seluruh dunia. Seiring dengan itu, ter- jadi pula
peningkatan keragaman dalam pergerakan populasi inter- nasional dan
peningkatan jumlah lembaga global yang membentuk pola dan tingkatan migrasi
internasional. Selain itu keterlibatan pe- merintah juga semakin meningkat baik di
negara asal maupun negara penerima. Secara umum kini hampir tidak ada lagi
upaya pembatasan M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 57

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara migran
baik di negara asal maupun penerima karena mereka menyadari berbagai
manfaat politik dan ekonomi di masing-masing negara. Peningkatan skala migrasi
seperti itu tentunya juga ikut mengubah wajah global karena dunia tidak lagi
dihuni oleh etnis dan budaya tertentu namun sudah menjadi campuran beragam
(melting pot). Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa peningkatan skala migrasi
juga mendorong munculnya paranoid pada masyarakat negara pe- nerima.
Dalam konteks ini, salah satu aspek transnasional yang terpenting adalah
masalah hubungan antara diaspora etnis di dalam suatu negara dan lintas negara.
Seringkali diaspora dianggap sebagai kelompok yang menolak asimilasi penuh ke
dalam masyarakat tuan rumah karena mereka berkeinginan untuk tetap
mempertahankan hubungan yang kuat dengan tanah air mereka (Stivachtis,
2008). Hubungan transnasional itu melahirkan kecurigaan terkait loyalitas mereka
pada negara penerima meskipun bagi sebagian anggota diaspora, hal itu
merupakan kohesi kelompok dan rasa perbedaan dengan masyarakat negara
penerima. Kecurigaan bahwa diaspora akan menimbulkan gangguan keamanan dan stabilitas di beberapa negara memberi arti penting untuk
merumuskan sebuah kebijakan dan pelaksanaan dari migrasi itu sen- diri. Belum
lagi jika kemudian migrasi bersinggungan dengan isu hak azasi manusia khususnya
yang terkait dengan kesempatan untuk bebas dari berbagai ketakutan dan ancaman
keberlangsungan hidup migran di negara asal. Hal itu yang kemudian mendorong
banyak negara untuk me- laksanakan berbagai aturan ketat terhadap calon
migran. Memang, jika migrasi tidak dikaitkan dengan isu ancaman keamanan
dan stabilitas negara maka migrasi hanya lekat dengan problem hak asasi manusia.
Di sini, para migran yang masuk dalam kategori para pengungsi dan pencari
suaka, misalnya, tidak lagi dianggap sebagai persoalan keamanan dan stabilitas
beberapa negara tetapi persoalan 58 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


internasional dengan nilai-nilai universal terutama hak azasi manusia yang
diterapkan dan disepakati bersama. Migrasi dan konstruksi identitas Sejak Perang
Dingin berakhir pada akhir tahun delapan puluhan, masalah identitas pada migran
dan besarnya arus migrasi menjadi bahasan khusus isu keamanan internasional.
Stivachtis (2008) dengan meminjam Guild dan Selm (2005), mencoba untuk
memahami hubungan antara migrasi, identitas dan keamanan tersebut, untuk
kemudian mengadopsi perspektif sosiologis pada politik keamanan nasional yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya. Dalam konteks ini, identitas mengacu pada
konstruksi makna atas dasar atribut budaya yang berlandaskan sumber-sumber
makna. Untuk individu atau kelompok, barangkali terdapat sejumlah identitas; akan
tetapi pluralitas seperti itu seringkali menimbulkan goncangan dan kontra- diksi
dalam representasi diri dan aksi sosial kaum diaspora di tengah masyarakat
negara penerima. Menurut Manuel Castells dalam The Power of Identity (2010: 7),
tak ubahnya dengan konsep keamanan, konsep identitas juga di- bangun
dengan menggunakan bahan-bahan sejarah, geografi, biologi, dari institusi produksi
dan reproduksi, memori kolektif, fantasi pribadi, aparat kekuasaan, dan juga agama.
Namun, bahan-bahan tersebut oleh individu, kelompok sosial dan juga masyarakat
kemudian diolah dan diatur ulang maknanya menurut norma sosial dan proyek
budaya mereka yang berakar pada struktur sosial, kerangka ruang dan waktu
mereka. Dengan demikian, identitas merupakan eksistensi manusia berkaitan
dengan makna dan pengalaman. Dengan bahasa lain, Castells memahami
identitas sebagai proses konstruksi makna atas dasar atribut budaya atau
seperangkat atribut budaya yang diberi- kan prioritas lebih dibandingkan dengan
sumber makna yang lain. Untuk individu tertentu, atau untuk aktor kolektif,
barangkali ada se- jumlah identitas yang bisa disematkan para mereka. Oleh sebab
itu, apabila jumlah identitas yang bisa disematkan itu terlalu banyak (plu- M. Iman
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
59

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara ral)
maka ia akan menjadi sumber tekanan dari representasi diri dan sosial mereka.
Mereka menjadi bingung mengidentifikasi diri. Ini menunjukkan bahwa secara
tradisional dan sosiologis, konsep iden- titas adalah berbeda dengan peran (role).
Konsep terakhir merupa- kan irisan dari identitas karena peran dibentuk oleh
aturan-aturan lembaga dan organisasi masyarakat yang sudah terstruktur. Tidak
mengherankan apabila Castells menyatakan bahwa iden- titas merupakan sumber
makna bagi para aktor itu sendiri, yang proses pembentukannya dibangun secara
individual. Dengan bahasa lain, identitas itu sebenarnya mirip sebuah lembaga
yang kuat, yang bisa terwujud jika aktor-aktor sosial menginternalisasi diri mereka ke
dalam lembaga tersebut. Yang jelas, beberapa definisi diri juga berkaitan dengan
peran sosial seseorang sehingga bisa dikatakan bahwa iden- titas seseorang
mengorganisasi makna, sedangkan peran orang ter- sebut mengatur fungsinya.
Castells mendefinisikan makna sebagai identifikasi simbolik oleh aktor sosial
terhadap tujuan-tujuan tindakannya. Dalam jaringan sosial, makna diatur oleh
identitas primer, yang mandiri, dan melintasi ruang dan waktu. Dengan demikian,
siapapun yang membangun identitas kolektif, apapun tujuannya, kekuatannya
sangat ditentukan oleh isi identitas simbolik ini. Jika isi identitas simbolik yang dimiliki
dan dibangun para migran ini dianggap mengancam eksistensi masyarakat
negara penerima maka mereka akan dianggap sebagai ancaman. Untuk
menghindari generalisasi terhadap isi identitas simbolik tersebut, Castells
memberikan usulan mengenai perbedaan antara tiga bentuk dan asal-usul
bangunan identitas (Castells 2010: 7-8). Ini diharapkan dapat membantu
menghindari konflik antara para migran dan masyarakat tuan rumah karena
mereka bisa membedakan dan memahami identitas simbolik para migran.
Pertama adalah identitas pembenaran (legitimizing identity). Iden- titas ini
diperkenalkan oleh institusi kemasyarakata n guna melembagakan dan
merasionalisasi dominasi mereka atas aktor-aktor 60 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara sosial.
Ini bukan saja sejalan dengan inti teori kewenangan dan dominasi namun juga
cocok dengan berbagai teori nasionalisme. Namun identitas ini tidak selalu menjadi
ancaman bagi masyarakat negara penerima. Kedua adalah identitas perlawanan
(resistance identity). Identitas ini dihasilkan oleh aktor-aktor yang menentang logika
dominan yang dilakukan oleh institusi kemasyarakatan tersebut. Mereka
membangun parit resistensi dan menjaga kelangsungan hidupnya berdasarkan
prinsip-prinsip oposisi. Jika para migran membawa nilai identitas ini ke negara
penerima maka mereka akan dianggap sebagai ancaman. Ketiga adalah identitas
proyek (project identity). Identitas ini melihat seorang aktor sosial yang
membangun sebuah identitas baru atas dasar nilai budaya tertentu sehingga
dapat mengubah posisi mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, terjadi
transformasi struktur sosial secara keseluruhan. Ini identitas yang tidak perlu dianggap bahaya oleh negara penerima. Salah satu contoh dari hal tersebut
adalah masalah feminisme. Ketika kaum feminis bergerak melawan patriarki dan
secara perlahan perjuangan mereka diterima publik, maka seluruh struktur
produksi, reproduksi, seksualitas, dan kepribadian mereka akhirnya menjadi bagian
dari kehidupan sehari- hari di negara penerima dan sejarah yang tengah berlangsung
di dunia. Bagi Castells, identitas yang diawali dari suatu resistensi secara proyektif
akan menjadi identitas dominan dalam lembaga-lembaga masyarakat karena
legitimasinya menjadi sangat kuat. Ini disebab- kan kuatnya rasionalisasi dalam
membangun identitas tersebut. Se- suai dengan teori sosial, dinamika identitas
menunjukkan bahwa se- benarnya tidak ada identitas yang memiliki progresivitas
atau nilai regresif yang di luar konteks historisnya. Dalam konteks ini yang ber- beda
adalah manfaat dari setiap identitas tersebut bagi pemiliknya. Sebab setiap
identitas menghasilkan akibat yang berbeda bagi masya- rakat. Legitimizing identity,
misalnya, menghasilkan masyarakat sipil, yaitu seperangkat organisasi dan
lembaga serta serangkaian aktor M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian
61

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara sosial
yang terstruktur dan terorganisasi. Namun, legitimizing identity sering mereproduksi
konflik. Pernyataan ini mungkin mengejutkan karena masyarakat sipil pada
umumnya menunjukkan konotasi positif pada perubahan sosial yang demokratis
dan bukan konflik. Namun hal itu sebenarnya merupakan konsepsi asli masyarakat
sipil seperti yang dirumuskan oleh Gramsci (Castells, 2010: 9). Memang,
dalam konsepsi Gramsci, masyarakat sipil dibentuk oleh serangkaian aparatur,
seperti pada gereja, serikat pekerja, partai politik, koperasi, asosiasi
kemasyarakatan, dan sebagainya, yang pada satu sisi merupakan kepanjangan
dari negara dan di sisi lain institusi-institusi tersebut telah berakar di masyarakat.
Karakter ganda dari masya- rakat sipil tersebut yang membuatnya menjadi arena
perubahan politik yang istimewa di dalam suatu negara karena tanpa harus
melancarkan serangan kekerasan secara langsung, negara bisa dikuasai oleh
institusi-institusi tersebut. Penaklukan negara oleh kekuatan perubahan yang ada di
masyarakat sipil itu dimungkinkan karena adanya kontinuitas kerjasama antara
lembaga-lembaga masyarakat sipil dan aparat pemerintah yang diikat oleh
identitas yang sama. Sementara itu, resistance identity merujuk pada
pembentukan suatu komune atau komunitas. Identitas ini mungkin paling penting
dalam jenis atau tipe identitas dalam masyarakat. Ini merupakan kons- truksi
resistensi kolektif guna melawan penindasan yang luar biasa baik yang dilakukan
oleh masyarakat tuan rumah, negara penerima, maupun migran yang sangat
kuat kebencian dan sikap oposisinya. Biasanya hal itu didasarkan pada identitas
yang tampak, yang secara jelas didefinisikan oleh latar belakang sejarah, geografi,
dan biologi dari pemilik identitas. Hal ini bisa dilihat pada perasaaan nasionalisme
yang berbasis pada etnis. Di sini sering muncul rasa keterasingan di satu sisi, juga
kebencian terhadap diskriminasi terhadap keadilan sosial, politik atau ekonomi di
sisi lain. Dengan demikian, dapat di- katakan bahwa identitas resisten adalah
identitas defensif yang menjadi ideologi dominan dalam memperkuat lembaga dan
gerakan masyarakat. 62 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Dalam
kasus itu, muncul isu tentang penularan timbal balik antara orang-orang yang
dikucilkan. Identitas seperti itu kata Stivachtis (2008) mereproduksi identitas yang
merasionalisasi sumber dominasi struktural. Ini mungkin jenis identitas dalam
masyarakat yang men- diskriminasi para migran. Sementara pada project identity,
menghasil- kan aktor sosial kolektif dimana individu mencapai makna holistik
melalui pengalaman hidup yang mereka jalani. Di sini, identitas yang tertindas
ditransformasi menjadi identitas rekonsiliasi bagi semua orang yang tinggal di
negara tersebut baik itu penduduk asli maupun kaum diaspora. Pembahasan
mengenai konstruksi identitas tersebut memang di- buat Castells untuk mengacu
pada konteks tertentu, yang dalam bahasa Giddens disebut dengan istilah
identitas modernitas akhir (late modernity). Sebuah periode sejarah yang disebut
sebagai era pencapaian akhir. Lebih lanjut Giddens menyatakan bahwa identitas
diri bukanlah sifat khas yang dimiliki oleh individu tapi merupakan refleksi diri
yang dipahami oleh orang lain dalam biografi orang ter- sebut. Giddens,
sebagaimana ditulis Castells (2010: 11) memberikan pandangan menarik
mengenai late-modernity: one of the distinctive features of modernity is an
increasing inter- connection between the two extremes of extensionality and intentionality: globalising influences on the one hand and personal dispositions on the
other The more tradition loses its hold, and the more daily life is reconstituted in
terms of the dialectical inter- play of the local and the global, the more individuals
are forced to negotiate lifestyle choices among a diversity of options Re- flexively
organized life-planning becomes a central feature of the structuring of selfidentity. Merujuk Giddens, munculnya jaringan sosial di dalam masya- rakat
menimbulkan pertanyaan tentang proses konstruksi identitas selama periode
tertentu yang menyebabkan perubahan sosial dalam M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
63

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara bentuk
baru. Hal itu didasarkan pada disfungsi sistemik antara ruang lokal dan global bagi
sebagian besar individu dan kelompok sosial. Oleh karena itu menurut Castells,
membangun keintiman yang di- dasarkan pada kepercayaan memerlukan
redefinisi identitas yang sepenuhnya otonom. Dalam kondisi seperti itu kekuatan
masyarakat sipil melemah dan kehilangan artikulasi karena tidak ada lagi
kontinuitas antara logika berserikat dan kekuasaan dalam jaringan global serta
representasi masyarakat dan budaya tertentu. Dengan demikian pencarian makna
berlangsung dalam rekonstruksi identitas yang defensif berdasarkan prinsip-prinsip
komunal. Sehubungan dengan hal tersebut sebagian aksi sosial mengarah pada
pertentangan yang terorganisasi antara aliran-aliran yang tidak dikenal dan
identitas asing. Sehingga munculnya project identity itu tergantung pada resistensi
masyarakat. Maknanya, semakin kuat resistensi mereka maka semakin kuat pula
upaya (proyek) untuk membangun identitas diri. Ini adalah arti sebenarnya dari
keutamaan baru politik identitas dalam masyarakat utamanya bagi diaspora. Era
globalisasi saat ini juga kerap diartikan sebagai masa kebangkitan nasionalisme.
Nasionalisme yang dianggap paling sukses adalah nasionalisme yang menyediakan
bahan baku untuk proyek- proyek kebangkitan intelektual kebangsaan. Sedangkan
terkait dengan nasionalisme kontemporer, Castells (2010, 32-34) menawarkan
empat argumen yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan teori-teori sosial
tentang nasionalisme. Pertama, nasionalisme kontemporer tidak berorientasi pada
pem- bangunan negara-bangsa yang berdaulat; dan entitas bangsa baik secara
historis maupun analitis tidak bergantung pada negara. Dengan demikian apabila
suatu kegiatan ekonomi lebih efisien bagi rakyat, seperti impor pangan lebih
murah dibandingkan menanam sendiri, maka pilihan kebijakan diletakkan pada
impor. Masalah kedaulatan pangan yang mencerminkan pembangunan negara
bangsa yang ber- daulat tidak dijadikan pertimbangan utama dalam
nasionalisme kontemporer. 64
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Kedua,
bangsa dan negara-bangsa secara historis tidak hanya mencakup negaranegara modern yang dibentuk di Eropa dalam dua ratus tahun setelah Revolusi
Perancis, tetapi juga sebelumnya. Pe- ngalaman politik memperlihatkan bahwa
nasionalisme sebenarnya tidak semata-mata hanya berkaitan dengan periode
pembentukan negara-bangsa modern yang berpuncak pada abad kesembilan
belas, tetapi juga masa-masa sebelumnya termasuk ketika Barat melaku- kan
kolonialisasi di kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Ketiga, nasionalisme tidak selalu
merupakan fenomena elite. Seperti halnya dalam semua gerakan sosial, meskipun
pemimpin pada umumnya lebih berpendidikan dan melek huruf, tetapi mobilisasi
massa untuk mewujudkan tujuan nasionalisme berada di tangan orang-orang
kecil yang menjadi bagian dari massa rakyat. Secara umum gerakan
nasionalisme memang dipelopori para elit yang sebagiannya merupakan bentuk
manipulasi massa oleh para elit demi kepentingan mereka sendiri. Keempat, karena
nasionalisme kontemporer lebih reaktif daripada proaktif, hal itu cenderung lebih
bersifat kultural daripada politik. Dengan demikian nasionalisme kontemporer lebih
berorientasi pada pertahanan budaya yang sudah dilembagakan dibandingkan
terhadap konstruksi atau pertahanan negara. Ketika lembaga politik masih ber- usia
muda, nasionalisme mereka merupakan instrumen pertahanan identitas
daripada niatan untuk meluncurkan platform mengenai ke- daulatan politik.
Berdasarkan keempat argumen tersebut dapat disimpulkan bahwa nasionalisme,
khususnya nasionalisme kontemporer merupakan entitas yang dibangun oleh
aksi dan reaksi sosial baik oleh para elite politik maupun oleh massa. Oleh sebab
itu, dalam konteks diaspora, nasionalisme untuk negara asal bisa dibangun di
mana saja mereka berada karena itu merupakan bagian dari identitas kultural
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
mereka.
65

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Migrasi
dan perspektif keamanan Definisi identitas yang membedakan antara kelompok
sendiri dan yang lain secara implisit mengandung ancaman sehingga me- miliki
efek kuat bagi kebijakan keamanan nasional termasuk yang berkaitan dengan
realitas diaspora di suatu negara. Berkaitan dengan itu, Barry Buzan dan kawankawan menawarkan perspektif keamanan yang cukup komprehensif (Stivachtis,
2008). Perspektif keamanan komprehensif (the comprehensive security perspective)
melihat bahwa setiap upaya untuk mendefinisikan keamanan perlu tunduk
dengan dua parameter: diferensiasi negara dan keamanan politik. Perspektif ini
menyatakan bahwa keamanan internasional perlu melihat faktor- faktor antara
lain ukuran wilayah, budaya, migrasi internasional, ke- kuasaan, dan ideologi.
Diferensiasi antara negara-negara, menurut Buzan, dapat dilihat dari segi kohesi
sosial-politik dan hal-hal lain yang penting untuk ke- amanan nasional masingmasing negara. Dengan demikian Buzan telah memperkenalkan adanya
perbedaan antara negara kuat dan negara lemah sebagai alat analisis untuk
menunjukkan bahwa negara-negara kuat biasanya dihadapkan pada ancaman
keamanan yang berbeda dari apa yang dihadapi oleh negara lemah. Keanekaragaman itu membuat wajah masalah-masalah keamanan nasional berbeda
secara substansial antara satu negara dengan negara lain. Untuk itu, tidak mudah
merancang sebuah definisi universal mengenai keamanan nasional, meskipun
secara konsep, keamanan dapat dipetakan dalam suatu pemahaman yang
bersifat umum. Sedangkan untuk keamanan dapat dimaknai sebagai ancaman
eksistensial sehingga memerlukan langkah-langkah darurat. Dalam perspektif
keamanan, segala sesuatu yang didefinisikan sebagai isu keamanan
sesungguhnya karena masalah tersebut dianggap lebih penting dari persoalan
lainnya. Dengan demikian keamanan dapat dikatakan sebagai politisasi dari
persoalan rasa aman warga yang sebenarnya menjadi bagian dari kebijakan
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
publik. Keamanan, dengan 66
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


demikian telah menjadi semacam praktik referensi diri (self-referen- tial practice).
Dalam arti, subyek dalam praktik tersebut dianggap se- bagai sebuah isu
keamanan karena sudah dikaitkan dengan sebuah ancaman apapun bentuknya.
Sehubungan dengan hal tersebut Stivachtis (2008) menjelaskan bahwa ada
kelompok-kelompok masyarakat yang menganggap bahwa keberadaan migran di
negara mereka adalah ancaman bagi keamanan. Sedangkan ada pula kelompok
masyarakat lain yang menganggap bahwa diaspora bukan merupakan ancaman.
Bagi beberapa negara penerima, migran mungkin tidak dianggap sebagai ancaman
nyata. Namun tidak demikian bagi kelompok sosial tertentu dalam negara
tersebut. Mereka memandang para migran sebagai persoalan keamanan. Dalam
kajian diaspora, migran secara obyektif dapat dilihat se- bagai ancaman internal
maupun eksternal baik bagi negara pengirim maupun penerima. Merujuk pada
perspektif keamanan komprehensif, sistem internasional merupakan ranah politik
terpenting untuk mem- bahas persoalan keamanan regional dan internasional.
Setiap upaya untuk memahami bagaimana migran dapat mempengaruhi
keamanan baik di tingkat regional maupun internasional, maka perlu dirujuk
struktur internasional dan saling ketergantungan antar negara. Dalam konteks itu,
arus migrasi menyebabkan beberapa negara mendorong kerja sama untuk
menangani masalah yang dimunculkan, namun arus migrasi juga dapat memberikan
lahan subur bagi konflik antar negara. Biasanya, karena disebabkan kedekatan
geografis, konflik yang muncul pada wilayah tertentu memicu terjadinya
ketidakstabilan re- gional. Oleh karena itu, dalam menghadapi konflik seperti itu;
dunia internasional melakukan kerjasama dan membangun manajemen konflik
untuk meminimalkan ancaman ketidakstabilan di dunia utamanya yang
M. Iman Santoso: Diaspora:
berkaitan dengan fenomena diaspora.
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
67

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


Perspektif Myron Weiner Melihat dinamika hubungan antara migrasi, keamanan,
dan stabilitas, Myron Weiner, ilmuwan politik dari Center for International Studies,
Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, me- nyarankan perlunya
kerangka keamanan atau stabilitas (security/sta- bility framework) bagi kajian
migrasi internasional. Kerangka ini berfokus pada kebijakan negara terhadap
emigrasi dan imigrasi yang menitikberatkan pada stabilitas internal dan keamanan
internasional. Menurut Weiner (1996), kerangka tersebut mempertimbangkan perubahan politik dalam negara sebagai penentu utama arus migrasi internasional,
termasuk pengungsi yang diakibatkan oleh konflik inter- nasional. Kerangka tersebut
oleh Weiner dibedakan dengan kerangka ekonomi politik internasional
(international political economy frame- work) yang menjelaskan bahwa migrasi
internasional pada dasarnya memfokuskan diri pada ketidaksetaraan global,
hubungan ekonomi antara negara penerima dan negara asal, pergerakan modal,
teknologi dan peran yang dimainkan oleh lembaga transnasional dan perubahan struktural di pasar tenaga kerja yang terkait dengan pemisahan tenaga kerja
secara internasional. Bagi Weiner, dua kerangka tersebut memiliki kesamaan
karena dapat mengarahkan kita untuk mempe- lajari perbedaan aspek-aspek
migrasi internasional dan menawarkan berbagai penjelasan mengenai arus migrasi
internasional serta pisau analisis yang berbeda. Migrasi dianggap sebagai
ancaman baik oleh negara penerima maupun negara asal karena berkaitan
dengan konstruksi keamanan yang dibangun. Tiap masyarakat pada dasarnya
memiliki konstruksi yang berbeda. Weiner (1996) menggambarkan, suatu
masyarakat yang homogen secara etnis, misalnya, dapat memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang heterogen. Oleh sebab itu, setiap
usaha untuk melakukan klasifikasi secara sistematis me- ngenai jenis ancaman
M. Iman Santoso:
yang ditimbulkan oleh imigran menjadi sulit 68
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara karena
adanya perbedaan persepsi dalam memandang ancaman. Ada yang menganggap
ancaman tersebut nyata tapi ada pula yang ber- sifat absurd karena didasarkan
pada xenophobia. Namun demikian, terdapat beberapa kategori situasional yang
dirumuskan Weiner ter- kait dengan kapan migran dianggap sebagai suatu ancaman
oleh suatu kelompok masyarakat dan negara. Pertama, ketika migran atau
pengungsi dianggap seperti duri dalam hubungan antara negara pengirim dan
penerima. Situasi seperti itu memang kerap muncul ketika migran maupun
pengungsi me- nempatkan diri sebagai penentang rezim negara asal mereka.
Kedua, ketika migran dianggap sebagai ancaman politik bagi rezim negara
penerima. Ketiga, ketika mereka dipandang sebagai ancaman budaya. Keempat,
ketika imigran dilihat sebagai ancaman karena timbulnya masalah sosial dan
ekonomi bagi masyarakat negara penerima. Ter- akhir, kelima, adalah ketika
masyarakat negara penerima mengguna- kan imigran sebagai instrumen ancaman
terhadap negara asal, seperti yang terjadi di Teluk Persia. Dalam tilikan pertama,
Weiner (1996) menerangkan, bagaimana imigran dan pengungsi dilihat sebagai
penentang rezim negara asal mereka. Sering terlihat bahwa konflik
menciptakan pengungsi, demikian sebaliknya, pengungsi juga dapat membuat
konflik. Seperti timbulnya konflik internasional ketika sebuah negara mengklasifikasikan individu sebagai pengungsi sementara negara asal mereka me- lakukan
penganiayaan terhadap rakyatnya. Weiner memberi gambaran, bahwa pada
Januari 1990, terjadi perdebatan dalam Kongres Amerika Serikat mengenai apakah
mahasiswa China diijinkan untuk tetap berada di Amerika Serikat karena
penganiayaan para oposisi yang dilakukan pemerintah China. Di satu sisi, Presiden
Bush siap untuk mengizinkan mahasiswa yang lulus dan masyarakat China lain di
Amerika Serikat untuk memperpanjang visa mereka, tetapi tidak sejauh pada
langkah memberikan suaka. Sementara kaum oposisi di Kongres mendukung
pemberikan status suaka politik for- mal dalam rangka menghukum China. M.
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
69

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


Bagaimanapun rezim demokratis seperti Amerika Serikat mem- beri hak pada
pengungsi untuk berbicara dan menentang rezim negara asal mereka, memiliki
akses ke media, dan mengirim informasi dan uang ke negara asal guna
mendukung gerakan oposisi di negara asal. Keputusan negarapenerima seperti itu
sering memunculkan hubungan permusuhan dengan negara asal pengungsi.
Menurut Weiner, negara penerima pada dasarnya tidak memiliki niatan untuk
berkonflik dengan negara asal karena motifnya tak lebih dari kemanusiaan. Namun
demikian, pemberian suaka hampir selalu memunculkan hubungan yang
antagonis. Dunia melihat sebuah episode suaka dalam abad ini ketika para
revolusioner Iran menempuh kekerasan terhadap keputusan Amerika Serikat yang
mengizinkan Shah Iran memasuki Amerika Serikat untuk alasan medis. Banyak
orang Iran menganggap hal ini sebagai bentuk suaka, dan beberapa
menggunakannya se- bagai kesempatan untuk mengambil sandera Amerika.
Sebuah negara yang menerima pengungsi secara aktif mungkin mendukung para
pengungsi tersebut dalam upaya mereka untuk mengubah rezim negara asal. Di
sini, pengungsi menjadi alat konflik antar negara. Berkaitan dengan hal ini Weiner
mencatat beberapa contoh seperti tindakan tentara Amerika Serikat yang melawan
praktik pengasingan di Nikaragua, Cina menyediakan senjata kepada pengungsi
Khmer Merah untuk membantu menggulingkan rezim yang didukung Vietnam di
Kamboja, pemerintah India mempersenjatai pejuang kemerdekaan Bengali untuk
melawan militer Pakistan, dan pengungsi Palestina mendapat dukungan Arab
terhadap Israel. Oleh karena itu, dalam amatan Weiner, negara-negara yang
memproduksi pengungsi harus khawatir pada kemungkinan terjadinya aliansi antara
musuh-musuh mereka dan ekspatriat mereka. Tidak saja imigran pengungsi yang
menciptakan konflik, imigran non-pengungsi juga dapat menjadi sumber konflik
antara negara pe- nerima dan negara asal. Sebuah diaspora karena latar
belakang ekonomi dapat pula menjadi sumber konflik antara negara penerima dan
M.
negara asal terutama jika negara penerima sistem politiknya 70
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


demokratis sementara pemerintah negara asalnya represif. Salah satu contoh
konkrit adalah banyaknya orang China yang tinggal di luar negeri kehilangan
simpati mereka pada pemerintah Cina pada tahun 1989, yang saat itu melakukan
represi terhadap para aktivis demokrasi di Tiananmen Square. Setelah peristiwa
tersebut, banyak orang China pembangkang yang tinggal di luar negeri menekan
pemerintah di mana mereka tinggal untuk menarik dukungan dan kerjasama
ekonomi dengan China. Sejak saat itu, menurut Weiner, pemerintah Beijing mulai
menganggap banyak orang China perantauan sebagai sumber dukungan bagi
para oposan yang masih tinggal di China. Negara asal memandang miring
kegiatan warganya di luar negeri dan me- nganggap negara penerima
bertanggung jawab atas kegiatan mereka di sana. Namun, negara-negara tuan
rumah terutama yang mem- punyai sistem politik demokratis enggan untuk
membatasi migran terlibat dalam kegiatan yang sah terutama karena beberapa
migran telah menjadi warga negara. Pada tilikan kedua, Weiner (1996)
menjelaskan bagaimana imigran dan pengungsi dilihat sebagai resiko politik pada
negara pe- nerima. Asumsinya, berangkat dari penilaian terhadap pengungsi yang
telah mendapatkan perlindungan dari pemerintah penerima tetapi
menimbulkan kekhawatiran balik. Pemerintah penerima khawatir mereka akan
melawan negara penerima jika tidak mau membantu pengungsi dalam
melakukan perlawanan terhadap pemerintah asal. Tentu akan menjadi paradoks
apabila tuntutan para pengungsi ter- hadap pemerintah penerima adalah
termasuk untuk mempersenjatai mereka guna melawan negara asal. Jika hal itu
dilakukan maka pe- merintah penerima telah bertindak terlalu jauh. Di sini, para
pengungsi akan mempunyai kekuatan dan berusaha mendikte kebijakan negara
penerima terhadap negara asal. Paradoks seperti itu bisa dilihat, misalnya, pada
keputusan negara- negara Arab untuk memberikan dukungan politik dan
persenjataan M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 71

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara ke


pengungsi Palestina dari Israel, yang kemudian menciptakan se- buah populasi
dimana mereka mampu mempengaruhi kebijakan politik luar negeri dan politik
internal negara-negara Arab. Orang- orang Palestina kemudian menjadi persoalan
politik dan keamanan bagi Lebanon, Suriah, Yordania, Israel, Perancis, dan Amerika
Serikat. Selain itu, yang terkait dengan resiko bagi negara penerima adalah
adanya imigran dan pengungsi yang justru melancarkan serangan teroris di
negara penerima mereka. Secara ilegal mereka bisa menyelundupkan senjata,
bersekutu dengan oposisi dalam negeri terkait kebijakan politik negara penerima,
berpartisipasi dalam perdagangan narkoba, dan sebagainya. Weiner memberikan
contoh tentang orang-orang Armenia, Kroasia, Kurdi, Irlandia Utara, Palestina, Sikh,
dan Tamil Sri Lanka, yang dipandang dengan penuh kecurigaan oleh intelijen dan
otoritas negara lain, per- mintaan suaka mereka diteliti secara cermat khususnya
menyangkut alasan mengapa mereka memutuskan untuk melakukan migrasi.
Ketakutan seperti itu sebenarnya terlalu ekstrim. Akan tetapi, demi melindungi
diri sendiri terhadap ancaman yang paling rendah sekalipun, kekhawatiran
seperti itu dibenarkan dalam pergaulan inter- nasional. Untuk cermatan ketiga,
Weiner menerangkan bagaimana migran dianggap sebagai ancaman bagi
identitas budaya. Dalam konteks ini, hal yang terpenting adalah pandangan
mengenai bagaimana masyarakat setempat mendefinisikan budaya mereka
sendiri. Faktanya, terdapat perbedaan budaya di tiap negara sehingga hal
yang terpenting adalah praksis mengenai penerimaan budaya para migran dan
pengungsi oleh negara penerima. Sebaliknya, para migran juga harus
memperhatikan norma-norma sosial dan hukum yang hidup di negara penerima.
Sebuah pelang- garan norma-norma yang dilakukan oleh migran, misalnya,
dapat dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dasar negara penerima dan
M.
keamanan nasional. Norma kerap tertanam dalam hukum ke- 72
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


warganegaraan yang ditentukan berdasarkan tempat kelahiran, keturunan, dan
tentang hak untuk menjadi warga negara, dan siapa yang diijinkan untuk menjadi
warga negara melalui naturalisasi. Di sini, menurut Weiner, perbedaan utama
terjadi antara undang-undang kewarganegaraan berbasis jus sanguinis, dimana
kewarganegaraan seseorang mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, dan
yang di- dasarkan pada jus soli, yakni aturan bahwa anak mendapatkan kewarganegaraannya dari tanah atau tempat kelahirannya. Republik Federal
Jerman, misalnya, memiliki norma hukum jus sanguinis. Di bawah hukum yang
disahkan pada tahun 1913, dan masih berlaku, kewarganegaraan Jerman saat
lahir didasarkan se- cara eksklusif pada keturunan (jus sanguinis). Dengan demikian,
anak- anak migran yang lahir di Jerman tidak otomatis berhak atas kewarganegaraan Jerman (tidak memakai jus soli). Undang-Undang Dasar Jerman
(konstitusi Jerman pascaperang) juga memberikan kewarga- negaraan untuk orangorang Jerman yang tidak lagi tinggal di Jerman dan yang mungkin tidak berbicara
dalam bahasa Jerman, namun berasal dari Jerman dan terusir dari wilayah
Jerman setelah perang. Dengan demikian, ribuan imigran yang masuk ke Republik
Federal dari Jerman Timur atau dari Polandia setelah Perang Dunia II di- anggap
sebagai warga Jerman yang kembali ke rumahnya. Negara-negara lain, seperti
dicatat Weiner, juga berbagi konsep yang sama dengan Jerman. Israel, misalnya,
memiliki Hukum Kembali (Law of Return), dimana semua orang Yahudi, terlepas
di mana mereka saat ini hidup, berhak kembali ke Israel untuk memperoleh
kembali kewarganegaraannya. Nepal juga memiliki hukum Nepal asli. Bisa saja
orang Nepal tinggal di India, Singapura, Hongkong, atau tempat lain selama
beberapa generasi, namun mereka berhak memperoleh kembali
kewarganegaraannya jika kembali ke Nepal. Secara umum, Weiner mencatat
bahwa di negara-negara yang mem- punyai norma-norma kekerabatan yang kuat,
maka tidak mudah untuk memasukkan migran asing, termasuk pengungsi, ke
dalam warga negaranya. Negara-negara ini juga cenderung memiliki M.
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
73

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


kelompok politik yang mendukung pengiriman kembali imigran ke negara asal
mereka bahkan dengan pengusiran sekalipun. Selain itu, menurut Weiner,
sebuah norma indigenisasi (pribumisasi) diberikan keistimewaan secara luas
oleh negara dan bahkan dimasukkan ke dalam sistem hukumnya. Norma ini
mengatur hak yang berbeda bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai pribumi dan
orang-orang yang tidak diklasifikasikan, terlepas dari lamanya waktu mereka atau
nenek moyang mereka tinggal di negara tersebut. Sebuah masyarakat adat kerap
mengklaim lebih unggul atas tanah, pekerjaan, pendidikan, kekuasaan politik, dan
simbol-simbol lain yang tidak diberikan kepada warga masyarakat yang lain meskipun
mereka juga warga negara. Pada perkembangannya, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat, kewarganegaraan di sana diperoleh atas dasar kelahiran atau
naturalisasi. Awalnya, hukum di Amerika Serikat mengatur bahwa naturalisasi
hanya dimungkinkan untuk orang kulit putih. Namun pada perkembangannya
naturalisasi diizinkan tanpa memandang ras. Akan tetapi pemerintah Amerika Serikat
tetap mengharuskan para pemohon naturalisasi untuk menunjukkan
pengetahuan mereka tentang Konstitusi Amerika dan bentuk
pemerintahannya, serta bersumpah setia kepada prinsip-prinsip konstitusi.
Pendeknya, dukungan peme- rintah Amerika Serikat terhadap imigran lebih baik
dibandingkan dengan negara-negara lain. Hampir sama dengan Amerika Serikat
yang terbuka bagi migran, Perancis yang meskipun diberati oleh persepsi ancaman
yang ditimbul- kan oleh migran, tetap mengutamakan kepedulian terhadap
kesatuan budaya sebagai elemen utama konsepsi kebangsaan. Selain itu,
Perancis memiliki konsepsi kewarganegaraan yang berasal dari asal- usul revolusi
dan gagasan kewarganegaraan. Tidak mengherankan apabila Perancis lebih
bersedia untuk menaturalisasi imigran daripada Jerman, dan telah lebih terbuka
untuk pengungsi politik daripada negara-negara Eropa Barat lainnya. Meskipun
begitu, Perancis juga 74 M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


memiliki gerakan anti-imigran yang kuat: The National Front, yang dipimpin Jean
Marie Le Pen, seorang Perancis kelahiran Afrika Utara, yang telah memenangkan
dukungan yang besar untuk posisinya guna menyatakan bahwa pekerja tamu dari
Afrika Utara dan anak-anak- nya harus kembali pulang ke Afrika Utara.
Pengamatan Weiner yang keempat adalah bagaimana imigran dianggap menjadi
beban sosial ekonomi bagi negara penerima. Ke- khawatiran ini dikarenakan
reaksi terhadap imigran yang selain me- nyangkut biaya ekonomi, juga perilaku
sosial mereka yang dipersepsi melakukan kenakalan dan kriminalitas. Dengan
masuknya populasi yang jumlahnya tidak sedikit dengan latar belakang mereka
yang umumnya miskin, akan memunculkan beban ekonomi, seperti pe- nyediaan
tempat tinggal, pendidikan, serta fasilitas transportasi. Dalam masyarakat industri
maju, pelayanan kesejahteraan yang diberikan oleh negara, khususnya negara
yang menganut paham kesejahteraan dapat menimbulkan kekecewaaan
masyarakat lokal (negara pe- nerima). Sedangkan di negara-negara berkembang,
para pengungsi dapat menduduki lahan swasta atau negara secara ilegal. Selain
itu, mereka juga sering membakar hutan, menangkap hewan penggembalaan,
menebang kayu bakar, mengkonsumsi air, menghasilkan limbah, yang semuanya
dianggap oleh negara penerima sebagai ancaman ekologi. Beban seperti itu akan
dirasa biasa oleh negara penerima apabila mereka percaya bahwa pemerintah
negara asal terlibat dalam ke- bijakan penduduk dumping. Maksudnya,
pengungsi tersebut me- rupakan bagian dari kesepakatan informal yang
diinginkan negara penerima untuk menambah jumlah penduduknya baik untuk
ke- pentingan politik maupun ekonomi. Selain itu, ada pula gejala dimana negara
mendorong etnis minoritas untuk meninggalkan negara mereka seperti kasus
orang- orang Yahudi di Uni Soviet, dan yang dipaksa untuk melarikan diri seperti
yang terjadi pada orang-orang Turki Bulgaria dan Tamil Sri M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
75

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Lanka.
Perpindahan penduduk secara paksa terhadap etnis minoritas yang terjadi di
Eropa Timur selama periode perang tersebut mem- buat tekanan ekonomi dan
sosial yang besar di negara-negara pe- nerima dan akhirnya juga menyebabkan
memburuknya hubungan antara negara. Namun untuk beberapa kasus, ada
pula unsur pe- nerimaan tanpa konflik terhadap etnis minoritas yang pindah ke
suatu negara karena etnis tersebut mayoritas di negara penerima sehingga konflik
internasional bisa dihindari. Sedangkan pada tilikan terakhir, Weiner melihat
bagaimana migran kerap dianggap sebagai sandera dan mendatangkan masalah
bagi negara penerima. Hal ini bisa dilihat dari tindakan pemerintah Iran, Irak, dan
Libya yang lalu, yang semuanya menunjukkan bahwa migran dapat digunakan
sebagai instrumen kenegaraan untuk memaksa pemerintah negara asal tunduk
pada kemauan negara pe- nerima. Setelah invasi Kuwait pada tanggal 2 Agustus
1990, peme- rintah Irak mengumumkan serangkaian langkah-langkah untuk menggunakan migran sebagai instrumen guna mencapai tujuan politik. Irak menyatakan
bahwa orang-orang Barat yang tinggal di Irak dan Ku- wait akan dipaksa digunakan
sebagai perisai terhadap serangan ber- senjata, dalam upaya untuk mencegah
Amerika Serikat dan sekutu- sekutunya melancarkan serangan udara terhadap
fasilitas militer di mana para sandera mungkin berada. Terlepas dari itu semua,
suatu pemerintahan bisa saja mengako- modasi pengungsi yang mengalir dari
negara-negara tetangga meski- pun hal itu dirasa tidak menguntungkan bagi
mereka terutama ber- kaitan dengan potensi konflik sosial yang mungkin terjadi.
Umum- nya konflik akan terjadi apabila pemerintah negara asal menanggapi
laporan warga negaranya di luar negeri bahwa mereka dianiaya. Pendeknya,
seperti dikatakan Weiner, reaksi negara terhadap arus penduduk internasional
itu dapat menjadi sumber konflik inter- nasional.
M. Iman Santoso:
76
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Dalam
melihat perspektif yang dikemukakan Weiner, Margit Fauser (2006) mengatakan
bahwa kategori Weiner tersebut juga bisa dilihat secara lebih mendalam dalam
dimensi politik, budaya, sosio- ekonomi, dan hukum. Secara politis, migrasi
dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan dan stabilitas negara karena
mereka melawan rezim negeri asal. Selain itu, negara penerima pengungsi juga
dapat memprovokasi ketegangan dengan negara asal. Namun, hal yang
sebaliknya juga bisa terjadi. Negara asal mereka memperoleh keamanan ketika
lawan meninggalkan negara itu, baik secara suka- rela sebagai pengungsi politik
atau karena mereka diusir dari negara asalnya. Fauser melihat hal seperti itu
pernah dilakukan oleh Republik Demokratik Jerman dan negara-negara sosialis
Eropa Timur. Sementara untuk negara penerima, pengungsi politik merupakan
se- buah resiko ketika mereka memanfaatkan pengasingan sebagai tempat untuk
memberi advokasi bagi perubahan rezim di negara asal mereka. Dengan kata lain,
mereka bisa saja dipolitisasi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik
di negara asal. Pada dimensi budaya, migran mungkin dianggap sebagai
ancaman bagi identitas budaya masyarakat negara penerima. Ancaman ini
disebabkan oleh latar belakang kebiasaan dan nilai-nilai budaya masyarakat yang
berbeda. Thomas Faist (2002) seperti dikutip Fauser berpendapat bahwa arus
migrasi internasional memberikan kontribusi terhadap kemungkinan terjadinya
benturan peradaban. Meluasnya ketakutan budaya dan bentrokan antara warga
dari Barat dan Non-Barat, misalnya, memperkuat dugaan itu. Selain itu, para
migran dan pencari suaka mungkin juga menjadi ancaman bagi kehidupan sosioekonomi masyarakat negara pe- nerima. Karena mereka mungkin dilihat dapat
menyediakan kesulitan pada pasar tenaga kerja nasional. Dan jika dilihat dari
sudut hukum dikaitkan dengan tindak kriminalitas dan kenakalan mereka. Dalam
konteks imigrasi, beberapa pelanggaran mungkin dilakukan, seperti
penyelundupan manusia. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
dan Keimigrasian
77

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara E.


Sektor-Sektor Keamanan Untuk melihat kaitan antara migrasi dan keamanan
atau stabilitas negara, terdapat beberapa sektor yang bisa ditinjau. Stivachtis
(2008) dengan merujuk Buzan (1998) menjelaskan bahwa sektor-sektor ter- sebut
adalah militer, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Sektor- sektor tersebut saling
bergantung, dalam arti bahwa perubahan dalam satu sektor baik positif maupun
negatif akan mempengaruhi sektor lain. Dengan kata lain, jika migran
mempengaruhi perubahan salah satu sektor di sebuah negara, maka besar
kemungkinan perubahan juga terjadi terhadap lainnya. Sektor militer dilihat
sebagai sasaran keamanan terutama yang berkaitan dengan ancaman dari luar.
Hal ini bisa terjadi jika migran menggunakan negara penerima sebagai wilayah
untuk memulai kegiatan militer terhadap negara asal. Demikian juga dapat
terjadi ketika negara penerima mungkin me- miliki kepentingan dalam menantang
rezim berkuasa di negara asal para migran. Pada sektor politik tinjauan difokuskan
pada posisi suatu negara yang terancam baik secara internal maupun eksternal.
Ancaman in- ternal bisa timbul sebagai akibat dari tindakan pemerintah yang melakukan represi dan membatasi hak-hak individu maupun kelompok. Sehingga
perlawanan kepada pemerintah, upaya penggulingan, atau gerakan yang
bertujuan untuk kemerdekaan menjadi ancaman bagi stabilitas dan keamanan
nasional. Secara eksternal, negara dapat terancam oleh ideologi-ideologi
lain, seper ti nasionalisme, fundamentalisme, demokrasi liberal, komunisme
dan sebagainya. Praksisnya, bisa dilihat ketika migran dan negara penerima
berbagi ide yang sama, maka kondisi tersebut dapat menimbulkan ancaman
terhadap ideologi negara asal migran. Hal yang sama juga bisa ter- jadi ketika
migran memiliki ideologi yang berbeda dengan negara penerima. Mereka dapat
dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi negara itu.
M. Iman
78
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Senada
dengan pandangan Weiner tentang migran yang dapat dianggap menentang
rezim negara asal dan terlibat dalam kegiatan anti-rezim di negara tuan rumah,
Buzan juga melihat hal yang sama. Dalam arti, konflik dapat berkembang antara
migran dan rezim asal mereka, namun konflik di sini berlangsung di wilayah
negara pe- nerima. Dengan demikian terjadi internasionalisasi konflik. Stabilitas
internal negara tuan rumah menjadi terganggu. Para migran ini dapat mengancam
keamanan politik negara asal mereka dengan memberi- kan bantuan keuangan
dan militer kepada kelompok pemberontak atau dengan menyusun publikasi
internasional melalui kampanye- kampanye yang ditujukan kepada masyarakat dan
lembaga-lembaga internasional (Stivachtis, 2008). Sementara pada sektor
ekonomi, hubungan migran dan masalah keamanan terjadi jika para migran
mengancam kerugian material negara penerima sehingga ketegangan pada
berbagai lembaga negara terjadi. Migran jenis ini biasanya berjumlah banyak dan
relatif miskin sehingga menciptakan beban ekonomi yang besar. Negara penerima
perlu menyediakan fasilitas perumahan, pendidikan, sanitasi, trans- portasi,
komunikasi, serta konsumsi. Untuk mengatasi ini tidak jarang negara penerima
harus meningkatkan pajak yang harus dibayar oleh warga negara mereka sendiri.
Sehingga persoalan ekonomi seperti itu jika tidak diantisipasi berpotensi
mengganggu kohesi sosial-politik negara penerima dan ujungnya mempengaruhi
keamanan di wilayah tersebut. Untuk sektor lingkungan, para migran atau
pengungsi pada umumnya akan menggunakan secara signifikan jumlah sumber
daya alam, seperti air, dan ini dapat mengakibatkan limbah. Oleh sebab itu,
mereka juga akan dianggap sebagai ancaman bagi lingkungan hidup karena
dinilai bersikap acuh tak acuh atau tidak ramah ter- hadap standar lingkungan
negara tuan rumah. Sedangkan di sektor sosial, identitas kolektif menjadi objek
referensi independensinya dari negara, seperti halnya agama dan negara.
Berbagai interaksi ide, komunikasi, pola hidup, menurut Buzan, dapat
menghasilkan M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 79

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


ancaman sosial dan budaya seperti yang digambarkan oleh bagai- mana reaksi
negara-negara Barat terhadap fundamentalisme Islam (Stivachtis, 2008). Artinya,
bahasa, agama, budaya, dapat memainkan peran mereka dalam hubungan
tersebut. Meneropong hubungan antara migrasi dan keamanan seperti itu
memang berpotensi memunculkan masalah. Huysmans dan Squire (2009)
mengatakan bahwa mendekatkan term migrasi dengan ancaman keamanan
merupakan sinyal kuat bahwa setiap kali mem- persoalkan kebijakan migrasi akan
selalu dikembangkan ke arah ke- amanan negara. Dengan ar ti lain, hal seper
ti itu justru akan mengkonsolidasikan setiap artikulasi migrasi sebagai ancaman
ke- amanan. Artinya, tidak semua definisi tentang migrasi adalah ancaman.
Melainkan melegitimasi adanya perbedaan eksklusif, seperti yang meluas di seluruh
Eropa, Amerika Utara, dan Australia, dengan mengidentifikasi mereka sebagai yang
tak diinginkan. Ini berlaku bagi imigran gelap dan pencari suaka, sehingga harus
mengintensifkan kontrol. Dengan demikian, kecenderungan mengarahkan ke
sudut keamanan akan cenderung mereduksi kompleksitas sosial dan politik migrasi
dalam interaksinya antar negara-bangsa. Memang, antara migrasi dan keamanan,
yang juga kerap dikait- kan pula dengan persoalan identitas yang berbeda antara
migran dan masyarakat penerima sekarang ini menempati salah satu posisi penting
dalam debat politik kontemporer di hampir setiap negara maupun organisasi
internasional yang menangani masalah imigrasi dan pengungsi. Di sini, berbagai
definisi keamanan nasional yang dilihat dari sudut sempit, yaitu hanya
menekankan pentingnya meminimal- kan resiko bisa mengarahkan pada
kesimpulan yang sempit pula dengan mengatakan bahwa semua pergerakan
populasi internasional ujungnya membawa potensi yang membahayakan terutama
bagi negara penerima. Oleh karena keamanan nasional sendiri sebenarnya juga
tidak bisa dilepaskan dari kontribusi-kontribusi lain seperti peran kesejah- 80
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara teraan
sosial dan ekonomi penduduknya, serta sikap simpati, hormat, dan saling
menghargai antar negara dalam berbagai hubungan inter- nasional. Dari sini,
kesalahpahaman atau ketidaktahuan akan ber- bagai konsep yang mengaitkan
antara migrasi dan keamanan, me- miliki implikasi politik yang serius dalam
merumuskan kebijakan-ke- bijakan migrasi. Untuk keperluan tersebut, setidaknya
yang dapat dilakukan adalah dialog yang jujur secara terus menerus antara masyarakat atau negara yang menjadi tuan rumah dan para migran yang mendatanginya,
serta tekad bersama untuk mencegah dan menangani secara efektif berbagai
tindak menyimpang dari proses migrasi akan membantu mencegah
kecenderungan penempatan migran sebagai suatu hal yang memiliki potensi
mengancam keamanan dan stabilitas negara. F. Keamanan dan Manajemen
Perbatasan Berkaitan dengan fenomena diaspora, perspektif keamanan suatu
negara biasanya tak terlepas dari persoalan manajemen perbatasannya. Ini
berkaitan dengan sikap dan reaksi negara ketika mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa sejumlah besar migran masuk ke negaranya. Sehingga negara
penerima dipaksa untuk me- rumuskan pengelolaan hubungan antara migrasi
dan keamanan dalam program aksi kebijakannya. Hal ini bisa menyangkut
pene- rapan kontrol kewarganegaraan, integrasi kebijakan, atau kebijakan khusus
mengenai diaspora yang dirancang sedemikian rupa sehingga memetik
keuntungan yang maksimal dan meminimalkan potensi resiko keamanan
(Adamson, 2007). Sementara itu dalam amatan Weiner (1996), jumlah orang yang
meninggalkan negaranya karena keinginan sendiri atau dipaksa akan terus
bertambah di masa mendatang. Untuk itu, diperlukan strategi guna menghadapi
arus besar ini. Bagi banyak negara industri, migrasi memberikan keuntungan.
Migrasi menyediakan lebih banyak orang muda bahkan tenaga kerja terampil
untuk bisa memasuki negara M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian
81

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara industri
tersebut. Dengan kata lain, negara-negara industri relatif ter- buka dengan migran
ekonomi ini. Menurut Adamson (2007), kebijakan negara mengenai arus migrasi
dan konsekuensinya setidaknya dapat dibagi menjadi tiga hal. Yaitu,
pengawasan perbatasan dan manajemennya, kebijakan kewarganegaraan dan
integrasi, serta kebijakan terhadap diaspora. Negara memiliki kepentingan
dalam mengontrol teritorial perbatasannya untuk berbagai alasan seperti
memelihara kontrol atas populasi, membatasi akses ke pasar tenaga kerja dan
barang-barang publik, serta untuk menjaga keamanan dalam negeri. Sehubungan
dengan hal tersebut, Adamson juga mencatat bahwa kegagalan mengontrol
perbatasan dapat memicu persoalan keamanan yang serius. Negara yang lemah
dan gagal mengontrol perbatasannya dengan baik membahayakan sejumlah
wilayah di negara itu. Arus pengungsi besar-besaran, misalnya, dapat
mengganggu kemampuan negara untuk memberikan pelayanan publik dan
menyebabkan konflik atas sumber daya yang ada di negara tersebut. Perbatasan
yang rapuh di negara-negara lemah dapat dimanfaatkan oleh aktor non-negara
untuk masuk ke akses politik dan memobilisasi komunitas diaspora untuk menjadi
prajurit (kekuatan oposisi atau pemberontak) di negara tersebut. Menyangkut hal
keamanan, migrasi pada umumnya memang dianggap sebagai masalah dan
banyak negara merasa perlu untuk melindungi diri dari ancaman ini. Dalam
beberapa tahun terakhir, khususnya yang berkaitan dengan terorisme,
kekhawatiran itu telah mendorong meluasnya pembahasan tentang terorisme dan
masalah keamanan perbatasan (Pcoud dan Guchteneire, 2006). Dalam
konteks ini, migrasi dianggap sebagai fenomena sentral yang melegitimasi
pentingnya perbatasan dan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap
wilayah tersebut. Pada daerah perbatasan antara negara-negara Barat dan
tetangga mereka yang kurang kaya telah dibangun sistem pengawasan, bahkan
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
sebagian melalui penggunaan 82
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara metode
kontrol yang canggih. Dalam konteks ini, kasus yang sudah banyak diketahui publik
adalah antara Amerika Serikat dan Meksiko dimana di sepanjang perbatasan
antara kedua negara tersebut telah dibangun pembatas dan patroli keamanan
yang bekerja dengan per- alatan teknologi maju, termasuk pencahayaan dengan
intensitas tinggi, pagar baja yang tinggi, sensor yang mendeteksi panas dan suhu
tubuh, dan video pengawasan (Pcoud dan Guchteneire, 2006). Untuk negaranegara industri maju, dengan tingkat kapasitas in- ternal yang sangat tinggi,
pengawasan mereka akan perbatasan juga sangat ketat. Sepanjang tahun 1990an, Amerika Serikat dan Eropa memperluas peran keimigrasian pada perbatasan
mereka, meningkat- kan penggunaan teknologi untuk memonitor perbatasan
umum- nya dilengkapi dengan peralatan militer, dan meningkatkan penga- wasan
lintas perbatasan dengan teknologi modern. Penggunaan teknologi biometrik
untuk memantau pendatang ke Amerika Serikat, yang dimulai pada bulan Januari
2004, adalah salah satu contoh (Adamson, 2007). Sejak perjanjian Schengen yang
mulai berlaku pada tahun 1995, satu perbatasan eksternal Uni Eropa telah
berlaku. Hal ini telah disertai dengan langkah-langkah untuk meningkatkan kerjasama keimigrasian dan pengadilan, termasuk pertukaran informasi. Dari catatan
tersebut memperlihatkan, manajemen kontrol per- batasan yang efektif secara
otomatis memerlukan tingkat kerjasama antar negara yang lebih kokoh. Eropa
adalah contoh yang paling menonjol dari kecenderungan ini karena berhasil
menyelaraskan banyak kebijakan mengenai kontrol dan pengawasan
perbatasan, yang memungkinkan pergerakan secara bebas dalam wilayah
Schengen. Dengan demikian, migrasi internasional menciptakan insentif bagi
negara untuk secara selektif melepaskan kepentingan otonomi mereka dalam
rangka untuk meningkatkan kapasitas mereka guna mengontrol perbatasan.
Kerjasama internasional mengenai migrasi dan kontrol perbatasan terlihat penting
untuk mempertahan- kan kapasitas negara untuk mengatur arus penduduk
(Adamson, 2007). M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 83

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara Banyak
negara melakukan kontrol perbatasan secara eksternal seperti itu yang disertai
dengan pengendalian internal memiliki maksud untuk mengidentifikasi migran yang
tak berdokumen. Cara lain me- ngendalikan migrasi ini terletak pada kerja sama
antar negara. Di- hadapkan pada migran yang tidak diinginkan masuk,
pemerintah dalam hal ini negara penerima menurut Weiner (1996), semakin beralih ke strategi untuk menghentikan emigrasi dari negara pengirim. Setidaknya
terdapat tiga strategi yang bisa diidentifikasi yakni, dengan memberikan bantuan
ekonomi, menerapkan pemaksaan politik, dan menggunakan intervensi
bersenjata. Strategi tersebut mengemuka- kan bahwa infus bantuan dan
investasi, peningkatan perdagangan, penyelesaian krisis utang, dan langkahlangkah lain yang akan me- ningkatkan pendapatan di negara-negara
penghasilan rendah akan mengurangi tingkat emigrasi. Memang dalam strategi
tersebut belum ada bukti bahwa dalam jangka pendek emigrasi terkurangi.
Karena tingginya tingkat ekonomi kerap dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Bantuan ekonomi, bagaimanapun mungkin tidak dimaksudkan untuk
memperbaiki pengangguran yang tinggi di suatu negara, me- lainkan untuk
memberikan pembayaran kepada pemerintah untuk menghentikan aliran
pengungsi. Hal yang sama juga dapat diguna- kan oleh pemerintah untuk
membujuk negara-negara lain untuk mem- pertahankan pengungsi. Amerika
Serikat dan Perancis ketika itu, di- katakan oleh Weiner bahwa kedua negara
tersebut bersedia mem- berikan bantuan ekonomi ke Thailand, jika Thailand
menerima pengungsi Vietnam daripada mengizinkan mereka untuk masuk ke
Amerika Serikat atau Perancis. Contoh lain, Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi
dan lembaga-lembaga internasional lain yang se- bagian besar dibiayai oleh
Barat dan Jepang, menyediakan sumber daya untuk negara penerima pengungsi,
terutama di Afrika. Hal itu tidak hanya sebagai ekspresi keprihatinan kemanusiaan,
melainkan juga sebagai sarana untuk memungkinkan pengungsi untuk tetap berada
di negara suaka pertama daripada membiarkan gerakan 84 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara mereka
untuk negara industri maju. Demikian halnya juga dukungan keuangan
internasional juga penting dam mendorong pengungsi kembali ke rumahnya ketika
nanti konflik reda. Dana untuk transpor- tasi, pemukiman, dan pembersihan ranjau
penting untuk memper- cepat proses pemulangan. Pada strategi kedua, Weiner
menguraikan bahwa jika kemurahan bantuan finansial tidak bekerja maksimal,
negara-negara penerima dapat menggunakan berbagai ancaman untuk
menghentikan emigrasi. Tekanan diplomatik, termasuk pemaksaan diplomatik bisa
diberikan. Seperti yang terlihat pada kasus pemerintah India yang menekan
pemerintah Bangladesh untuk menghentikan per mukiman Bangladesh di
Chittagong Hills, yang telah menyebabkan suku asli Chakma melarikan diri ke
India. Pemerintah India saat itu melakukan pengrusakan akses perdagangan jika
pemerintah Bangladesh tidak mengakomodasinya. Diplomasi koersif, kata Weiner
(1996), mendorong suatu negara untuk menghentikan tindakan kekerasan yang
menyebabkan orang mengungsi mungkin dirasa lebih efektif apabila
dikombinasikan dengan sanksi kolektif internasional. Tetapi sejauh ini sangat sulit
bagi negara-negara yang dibebani oleh arus pengungsi untuk membujuk
masyarakat internasional bahwa sanksi harus diterapkan pada negara yang telah
menyebabkan terjadinya arus pengungsi. Perlu sanksi ekstrim dengan intervensi
bersenjata untuk mengubah kondisi politik dalam negeri negara asal. Sebagai
gambaran, pada tahun 1971, di- perkirakan 10 juta pengungsi melarikan diri dari
Pakistan Timur ke India menyusul pecahnya perang sipil antara provinsi-provinsi
Timur dan Barat Pakistan. India menganggap aliran pengungsi ini sebagai hasil
dari kebijakan yang disengaja oleh militer Pakistan untuk me- nyelesaikan
masalah-masalah politik internalnya sendiri dengan memaksakan populasi Hindu
Pakistan Timur ke India. Banyak pe- jabat India saat itu percaya bahwa pemerintah
Pakistan berusaha untuk mengubah keseimbangan demografi dalam
mendukung Pakistan Barat dengan menggeser jutaan orang Pakistan Timur ke
India. M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
85

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


Pemerintah India, catat Weiner (1996), merespon dengan me- ngirimkan
angkatan bersenjatanya ke Pakistan. Selain India yang bisa dijadikan potret,
pemberontakan Kurdi di Irak setelah Perang Teluk juga memberikan contoh lain
penggunaan kekuatan dalam meng- hadapi aliran pengungsi yang tidak
diinginkan. Saat pengungsi Kurdi masuk Turki, pemerintah Turki menjelaskan
ketidakmauannya me- nambah penduduk Kurdi dan menggunakan pasukannya
untuk me- nutup perbatasan. Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu Perang Teluk
lainnya menggunakan kekuatan militer mereka untuk memaksa Irak untuk
menempatkan wilayah Kurdi di bawah perlindungan sekutu. Bisa dilihat bahwa
dalam setiap profil kasus perpindahan penduduk yang konfliktual telah
mempengaruhi lembaga yang membuat aturan dan terlibat dalam berbagai
negosiasi internasional. Keputusan ter- sebut tidak datang begitu saja dengan
melibatkan departemen tenaga kerja, pejabat pengawas perbatasan atau
pengadilan, karena sudah melibatkan pejabat pada tingkat tertinggi
pemerintahan, dalam hal ini kepala pemeritahan. Bentuk dan intensitas respon
terhadap migrasi yang tidak diingin- kan tersebut menurut Weiner (1996) merupakan
indikasi dari penilaian suatu negara bahwa arus penduduk tersebut dianggap
sebagai ancaman terhadap keamanan atau stabilitas. Respon tersebut juga
menunjukkan bahwa negara tidak menganggap arus pengungsi dan emigrasi
sebagai suatu persoalan internal yang murni, meskipun Per- serikatan BangsaBangsa dan lembaga internasional lainnya menyata- kan bahwa negara-negara
baru tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam urusan internal negara
yang menjadi penyebab ter- jadinya arus pengungsi. Sementara gagasan
kedaulatan secara retoris masih diakui, ber- bagai jenis tindakan internal oleh
negara-negara semakin dianggap oleh negara-negara lain sebagai ancaman.
Karena bagaimanapun pemuntahan limbah nuklir dan bahan-bahan berbahaya
lainnya ke atmosfir dan kontaminasinya saluran air yang mengalir ke negaraM.
negara lain tidak lagi dianggap sebagai masalah internal. Dalam 86
Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


semangat yang sama, sebuah negara yang memaksa warganya untuk
meninggalkan tanah kelahirannya telah menjadikan masalah inter- nal ke ranah
internasional. Mengontrol migrasi memang mahal. Martin (2003) dalam Pcoud dan
Guchteneire (2006), mencatat bahwa menurut International Or- ganization for
Migration (IMO) melaporkan, dua puluh lima negara terkaya menyediakan 25-35
milyar dolar per tahun atas penegakan hukum keimigrasian. Biaya ini tidak hanya
dari mengendalikan per- batasan, tetapi juga dari pemberian visa dan izin tinggal,
menuntut penahanan dan pencegahan migran yang tidak berdokumentasi,
melakukan inspeksi tenaga kerja dan menerapkan sanksi pada majikan,
mengobati pencari suaka, membuka kembali permukiman pengungsi, dan mencari
migran yang tidak terdokumentasi. Investasi ini belum menjerakan pada para
calon migran. Yang perlu dicatat bahwa gerakan migrasi sekali dimulai ia akan
menjadi mandiri. Me- lalui migrasi negara-negara yang terhubung melalui
jaringan yang menjangkau dunia, ikut memfasilitasi kegiatan migrasi. Kelompokkelompok lobi, seperti pengusaha, bisa saja memaksakan kendala terhadap
pemerintah dalam negeri untuk memungkinkan migrasi dengan alasan pasar. G.
Kontrol Perbatasan dan Hak Asasi Manusia Sikap dan kebijakan berbagai
negara untuk melakukan kontrol ketat atas perbatasan mereka dengan alasan
bahwa arus perpindahan penduduk yang intensitasnya tinggi dapat mengancam
keamanan dan stabilitas, kerap kali dihadapkan pada persoalan moral
kemanusiaan. Dari perspektif hak asasi manusia, menurut Pcoud dan Guchteneire
(2006), pengawasan perbatasan yang ketat disertai dengan hambatan
perdagangan, suaka politik, kesengsaraan hidup, dan kematian para migran
mengancam pondasi moral demokrasi liberal. Padahal me- nurut Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (the Universal Declara- tion of Human Rights) Pasal 132, bahwa setiap orang memiliki hak M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian
87

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara untuk
meninggalkan negaranya, termasuk dalam hal ini kembali ke negaranya. Di sini,
Weiner (1996) melihat bahwa terdapat sebuah persoalan mendasar bagi rezim
demokrasi liberal Barat. Bagaimanapun mereka enggan menyatakan bahwa
pemerintah tidak mengijinkan warganya untuk melakukan migrasi hanya karena
mereka atau orang lain tidak mau menerima mereka. Ini disebabkan mereka
percaya akan hak emigrasi individu. Tetapi mereka sekaligus percaya bahwa
pemerintah mempertahankan hak untuk menentukan siapa dan berapa banyak
yang akan diizinkan masuk wilayahnya. Rezim liberal dapat men- dorong atau
bahkan mengancam negara-negara yang menghasilkan pengungsi dan imigran
yang tidak diinginkan dalam upaya untuk mengubah kondisi yang memaksa orang
untuk pergi, namun mereka juga sering enggan memaksa orang untuk pulang
kembali yang ber- tentangan dengan keinginan mereka atau untuk menekan
pemerintah mencegah orang meninggalkan Tanah Air mereka. Mereka ini tidak
menginginkan suatu rezim untuk mencegah pembangkang politik atau minoritas
teraniaya meninggalkan daerah mereka, melainkan mereka ingin pemerintah
menghentikan represi terhadap mereka. Negara industri maju yang mengakui
imigran lebih memilih ke- bijakan migrasi yang menciptakan sedikit masalah
politik baik domestik maupun internasional. Salah satu pilihan kebijakan untuk
mengakui mereka sesuai dengan persyaratan negara penerima adalah mereka
yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja, menciptakan
modal bisnis baru, atau kerabat yang akan mem- fasilitasi integrasi mereka ke
masyarakat (Weiner, 1996). Namun se- bagian besar kebijakan imigrasi berbasis
keterampilan terbatas untuk negara-negara Eropa Barat atau Amerika Serikat.
Sebuah alternatif kebijakan berdasarkan kebutuhan imigran dan pengungsi,
meskipun secara moral lebih menarik, lebih sulit untuk dirumuskan, diimplementasikan, dan secara hukum dan politik lebih kontroversial. Namun tidak ada
kebijakan yang bisa ringkas dari pemusnahan batas-batas internasional dan
negara-negara berdaulat, sekaligus berurusan 88 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara dengan
sejumlah besar orang-orang yang ingin meninggalkan negara mereka untuk mencari
peluang yang lebih besar serta kehidupan yang lebih aman. Menyangkut hubungan
kontrol perbatasan dan hak asasi, setidak- nya menurut Pcoud dan Guchteneire
(2006), terdapat tiga tantangan yang bisa dilihat. Pertama, menyangkut suaka.
Langkah-langkah negara untuk menghentikan migrasi yang ilegal (irregular
migration) akan memiliki konsekuensi langsung pada prinsip suaka, bahwa setiap
orang sesuai hak asasinya berhak untuk mencari perlindungan dari persekusi
(persecution). Kurangnya saluran migrasi legal dapat menghasut beberapa
migran ekonomi untuk merepresentasikan diri sebagai pencari suaka. Kebingungan
antara pencari suaka dan migran ekonomi mengarah tidak hanya pada prosedur
untuk membuktikan adanya penganiayaan, namun juga pada pelanggaran hak
asasi manusia dan penderitaan bagi mereka. Selain itu, upaya untuk mengendalikan arus migrasi sebelum mereka mencapai negara tujuan
mempengaruhi kemampuan pengungsi untuk mencari suaka. Dalam hal itu,
Pcoud dan Guchteneire mencontohkan di Eropa, yang be- berapa negara
semakin membahas kemungkinan yang mendorong pengungsi untuk tinggal di
negara-negara dekat wilayah asal mereka, daripada mempertimbangkan untuk
menempati wilayah di tanah Eropa. Kedua, penyelundupan dan perdagangan
manusia. Mobilitas manusia yang lintas batas saat ini menjadi usaha bisnis dan
berbagai jenis pelanggaran pidana. Meskipun sifat tersembunyi dari fenomena
tersebut tidak mudah untuk diselidiki, tidak pasti, dan cenderung kontroversi,
namun bukti-bukti yang ada juga meningkat. Biasanya, kata Pcoud dan
Guchteneire, kontrol perbatasan yang ketat diper- kirakan ikut menyumbang
memerangi perdagangan manusia. Hal tersebut juga jelas bahwa semakin sulit
untuk masuk ke sebuah negara, semakin memerlukan ketergantungan pada
penyelundup dan lebih menguntungkan dari aspek bisnis. Sementara untuk
tantangan ke- tiga, berkaitan dengan ongkos biaya migrasi bagi migran sendiri. Hal
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
89

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara yang
paling tragis dan ilustrasinya jelas adalah mengenai ongkos kebohongan pada
sejumlah manusia yang meninggal saat menuju negara tujuan. Sebagai contoh,
setidaknya satu migran meninggal setiap hari di perbatasan Amerika SerikatMeksiko. Sebagian besar dari mereka karena hipotermia, dehidrasi, sengatan
panas matahari, atau tenggelam. Di Eropa, Eschbach (1999) dalam Pcoud
dan Guchteneire (2006), diperkirakan bahwa setidaknya 920 migran meninggal
ketika mencoba untuk mencapai Eropa antara tahun 1993 dan 1997. Sebuah
pernyataan tahun 2002 yang disampaikan ke- pada Sekretaris Jenderal PBB,
lebih dari 3000 migran meninggal antara tahun 1997 dan 2000, sebagian besar
dari mereka meninggal saat mencoba menyeberangi Selat Gibraltal. Angka-angka
mungkin diremehkan karena sesungguhnya tidak ada yang tahu berapa jumlah
mayat yang tidak ditemukan. Secara umum, kerentanan pada migran yang tidak
terdokumentasi dan ekposur mereka untuk pelanggaran dan eksploitasi sebagian
besar berasal dari kebijakan yang gagal untuk mencegah migrasi yang ilegal,
sehingga menyisakan banyak celah hukum. Dengan demikian, kebijakan
perbatasan telah menjadi tantangan etika yang besar. Setidaknya, menurut
Pcoud dan Guchteneire (2006), terdapat empat pengamatan yang bisa
dilakukan berkaitan dengan hal itu. Pertama, tegangan antara keamanan dan
hak asasi manusia meliputi respon terhadap fenomena ini. Sejak akhir Perang
Dingin, migrasi telah semakin dipahami sebagai ancaman keamanan dan dengan
pertumbuhan migrasi yang meningkat luar biasa dan krisis suaka tahun 1990-an
dirasakan sebagai sumber potensi bagi destabilisasi negara-negara. Hal ini
meningggalkan ruang kecil bagi hak asasi manusia. Selain itu, gagasan tentang
keamanan sendiri ambigu. Meskipun pemahaman keamanan komprehensif harus
men- cakup keamanan nasional dan juga manusia. Kedua, fenomena yang
berbeda akan menarik berbagai tingkat perhatian dan diperlakukan dengan cara
yang berbeda. Misalnya, 90
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


perdagangan manusia telah jelas diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia
dan memeranginya telah menjadi prioritas bagi banyak pe- merintah. Terdapat
kesepakatan yang luas pada kebutuhan untuk respon multilateral seperti yang
tercantum dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi,
yang memiliki protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan
Manusia (Protocol to Prevent, Suppres, and Punish Trafficking in Per- sons
Esspecially Women and Children) dan Penyelundupan Migran (Protocol Against the
Smuggling of Migrant by Land, Sea, and Air). Hubungan antara kebijakan restriktif
suaka, penyelundupan manusia dan kerentanan migran tidak diakui. Memang,
tampaknya tidak ada koheren dan pemahaman komprehensif, antara negaranegara pe- nerima di Barat, dari keterkaitan tren ini dan isu-isu hak asasi manusia
yang diajukan oleh pendekatan tertentu pada migrasi. Bahkan ketika pelanggaran
hak asasi manusia diakui, seperti dalam kasus per- dagangan, mereka telah
memahaminya sebagai masalah sendiri dan tidak berkaitan dengan gambaran
yang lebih luas dari kebijakan per- batasan dan migrasi. Ketiga, mengaitkan
hubungan antara kontrol perbatasan, ke- bijakan migrasi, dan hak asasi manusia
adalah hal yang sulit karena kompleksitas moral yang dipertaruhkan dan
hubungan sebab-akibat yang ambigu antara pemerintah, kebijakan, dan lembaga
kema- nusiaan. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kematian
migran? Para pelaku perdagangan manusia biasanya disalahkan karena dianggap
kejam dengan mengeksploitasi penderitaan migran ilegal. Namun, dalam konteks
kebijakan suaka yang ketat, beberapa penyelundup sebenarnya memungkinkan
orang lain untuk melari- kan diri dari penganiayaan, sementara yang lain hanya
memberikan bantuan kepada calon migran. Migran sendiri bisa dikritik karena telah
mempertaruhkan hidup mereka, namun banyak dari mereka yang salah
informasi atau hanya menggantungkan pada upaya migrasi bahwa itulah yang
dianggap sebagai langkah untuk bertahan hidup. M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
91

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


Keempat, terkait dengan pertanyaan apa yang terjadi di per- batasan? Migrasi
dan kebijakan suatu pemerintah saat ini pada akhirnya merupakan ancaman,
tidak hanya bagi para migran, namun juga untuk hak asasi manusia dan prinsipprinsip demokrasi yang merupakan inti dari negara-negara Barat. Langkahlangkah pengen- dalian barangkali tidak kompatibel dengan fungsi harmoni
demokrasi. Nilai-nilai keutamaan yang memandu masyarakat tidak dapat berhenti pada perbatasan suatu negara, tetapi nilai-nilai tersebut harus juga
menginspirasi sikap orang lain. Cara masyarakat menangani nasib orang-orang asing
pada dasarnya mencerminkan tingkat penghargaan mereka pada nilai-nilai
tersebut. Dan, evolusi kontrol migrasi, me- nurut Pcoud dan Guchteneire (2006),
akhirnya menjadi bumerang dan mengancam prinsip-prinsip kebebasan yang
menjadi inti dari masyarakat demokratis. H. Pemerintahan Dunia: Sebuah
Cermatan Selain mengenai hubungan antara migrasi, keamanan, dan stabilitas
negara, gejala internasional yang mengemuka dalam bebe- rapa dekade terakhir
adalah gagasan pembentukan pemerintah dunia (the world goverment). Gagasan
ini bahkan menjadi arus utama dalam hubungan internasional saat ini. Di beberapa
universitas di Amerika Utara dan Eropa, gagasan pemerintahan global tersebut
secara terus menurus dikembangkan dan dipromosikan (Craig, 2008). Sarjana
terkemuka yang bergulat dengan topik ini, Alexander Wendt, yang mungkin bisa
dikatakan sebagai teoritikus hubungan internasional Amerika yang paling
berpengaruh, baru-baru ini menyarankan bahwa tatanan pemerintah dunia tak
terelakkan. Gagasan mengenai pemerintah dunia tersebut begitu sentral dalam
debat publik di Amerika Serikat sejak dekade 1930-an dan 1940-an (Weiss,
2009). Meskipun negara masih dapat memecahkan sebagian besar masalahnya
namun pemerintahan dunia tetap men- jadi tujuan yang harus dicapai demi
terjadinya pemerataan keadilan, kemakmuran, dan penghargaan pada
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
demokrasi dan hak azasi 92
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


manusia. Paradoksnya, sekarang negara tampak kerepotan mengatasi
pertumbuhan sejumlah ancaman lintas batas manusia sehingga bentuk
pemerintahan dunia menjadi tak terbayangkan. Selain itu organisasi internasional
yang besar sering memandang curiga pada ide pem- bentukan pemerintahan
global (Weiss, 2009). Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Nicholas Hagger
dalam bukunya The World Goverment (2010), gagasan seperti itu memang
menyangkut per- kembangan peradaban. Sejarah peradaban berkembang dari
kondisi primitif menuju peradaban kota yang lebih kompleks, kemudian ber- gerak
ke organisasi nasional dan kemudian menuju pemerintahan dunia. Menurut Craig
dalam The Resurgent Idea of World Goverment (2006), memimpikan dunia tanpa
perang, atau pemerintah tanpa tirani, menganjurkan semacam dunia atau
negara universal telah muncul sejak periode klasik. Penyair Italia, Dante,
menganggap pe- merintah dunia adalah semacam utopia. Sementara sarjana
Belanda Hugo Grotius, yang sering dianggap sebagai pendiri hukum inter- nasional,
percaya pada pembentukan formasi pemerintah dunia ini. Banyak gagasan
visioner yang menarik dalam akhir abad kesembilan belas dan awal abad dua
puluh, termasuk H.G. Wells dan Aldous Huxley. Pada tahun 1942, salah satu calon
presiden Partai Republik, Wendell Willkie, mempublikasikan buku yang cukup terkenal
dengan topik: satu dunia. Setelah Perang Dunia Kedua, momok perang atom
menggerakkan para sarjana dan aktivis Amerika seperti Albert Einstein, Presiden
Universitas Chicago Robert Hutchins, dan kolumnis Dor- othy Thompson, dengan
kepercayaannya menganjurkan sebuah negara bangsa yang keluar dari mimpi
idealis, yang bisa mencegah perang. Kampanye tersebut seperti ditulis Craig
berlanjut sampai akhir 1950, ketika majalah populer Reader Digest, menerbitkan
serial buku mengenai pemerintahan dunia oleh advokat Emery Reves. Sementara
pada saat yang sama Sub-Komite Senat Hubungan Luar Negeri sedang
mempertimbangkan beberapa gerakan guna mendesak pe- M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
93

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara


merintahan Truman untuk mengadopsi kebijakan federalisme dunia. Namun pada
tahun 1950-an, pembicaraan serius mengenai peme- rintah dunia sebagian
besar lenyap. Hal itu merupakan kegagalan Rencana Baruch (Baruch Plan) untuk
membangun kontrol inter- nasional atas persenjataan nuklir di akhir tahun 1946.
Salah satu kegagalan yang paling jelas dari sistem negara-bangsa dalam beberapa
tahun terakhir adalah ketidakmampuan untuk me- ngatasi masalah yang
membahayakan bagi banyak populasi dunia. Ketika dunia menjadi lebih
terintegrasi secara global khususnya di bidang ekonomi dan interkoneksitas
budaya, masing-masing negara semakin menolak untuk berurusan dengan
masalah-masalah inter- nasional yang tidak disebabkan oleh satu negara. Terlebih
lagi kalau masalah itu sulit diselesaikan bahkan oleh usaha keras bersama yang
dilakukan beberapa negara. Dilema ini disebut sebagai masalah tindakan
kolektif (Craig, 2008). Umumnya hanya beberapa aktor yang mau bertindak dan
membayar biaya dari tindakan tersebut. Selebihnya adalah pihak-pihak yang hanya
menumpang secara gratis (free rider) dan mengambil keuntungan dari tindakan
tersebut. Sehubungan dengan keterbatasan negara bangsa dalam
menyelesaian masalah tersebut, maka diperkenalkan inisiatif Global governance.
Ini mengacu pada upaya kolektif untuk mengidentifi- kasi, memahami, atau
mengatasi masalah-masalah di seluruh dunia yang melampaui kapasitas
masing-masing negara dalam hal memecahkannya, yang sekaligus
mencerminkan kapasitas sistem inter- nasional untuk menyediakan pelayanan
pemerintah seperti seakan- akan ini bukan pemerintahan dunia (Weiss, 2009).
Pemerintahan glo- bal menurut Weiss, meliputi sangat beragam kerjasama
pemecahan masalah yang dapat terlihat tetapi tidak formal (misalnya, praktik atau
pedoman), atau hasil dari unit temporer (koalisi yang diinginkan). Pengaturan
mungkin juga lebih formal dengan cara mengambil bentuk aturan yang lebih keras
seperti hukum dan perjanjian, seperti institusi- institusi dengan strukur yang
administratif, dan membangun praktik untuk mengelola urusan kolektif oleh
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
berbagai aktor, termasuk otoritas 94
Keamanan, dan Keimigrasian

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara negara,
organisasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan
aktor-aktor masyarakat sipil lainnya. Pendukung pemerintahan global
berpendapat bahwa bahaya yang diciptakan oleh globalisasi dapat diselesaikan
oleh penguatan bertahap pada lembaga-lembaga internasional yang ada.
Anthony McGrew, seorang sarjana globalisasi terkemuka di Inggris, seperti dikatakan Craig (2008), menunjukkan bahwa masalah dunia dapat secara efektif
ditangani oleh lembaga-lembaga internasional yang liberal, seperti World Trade
Organization (WTO), lembaga swadaya masyarakat (non-governmental
organizations), seperti Green Peace dan Doctors Without Borders, dan badanbadan keamanan, seperti Dewan Keamanan PBB (the UN Security Council). Menurut
McGrew, kuncinya adalah dengan memberikan kekuasaan formal yang me- ningkat,
sehingga memberi mereka efektivitas yang lebih besar dan memiliki pengaruh di
panggung internasional, daripada hanya cakupan negara-bangsa. Sarjana
Inggris lain, David Held juga me- nekankan pentingnya membuat lembaga
internasional yang bertang- gungjawab untuk mengontrol demokrasi. Held
menyatakan bahwa populasi dunia harus memiliki suara langsung dalam
komposisi dan kebijakan internasional. Uni Eropa, misalnya, menurut Craig (2008)
kerap ditawarkan sebagai model yang bisa dilakukan di tingkat internasional.
Secara bertahap, beberapa negara telah melakukan kerja sama untuk mengembangkan bentuk-bentuk pemerintahan transnasional. Bangsa yang menolak
untuk menerima pembentukan lembaga dan birokrasi yang secara perlahan
menciptakan ikatan politik transnasional ter- sebut secara prediktif akan
mengurangi kedaulatannya sendiri. Dari sini dapat dikatakan, sebuah proses di
tingkat internasional yang mendukung integrasi global, merupakan arah praktis
untuk mem- bangun pemerintahan global. Uni Eropa telah menciptakan bentuk
pemerintahan transnasional tetapi keputusan dalam bidang keamanan dan
pertahanan masih me- M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 95

BAB III: Diaspora: Migrasi Internasional, Keamanan, dan Stabilitas Negara rupakan
hak prerogatif tiap negara anggotanya. Dengan begitu, Uni Eropa tetap efektif
untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggotanya
(seperti Inggris yang terlibat dalam perang Irak). Ini merupakan rasionalisasi dari
perlunya pemerintahan global. Oleh karena itu, apabila banyak negara berdaulat
saling bersitegang dan rezim pemerintahan global tidak mampu untuk
menghentikan hal tersebut, maka hal itu akan menghilangkan otoritas dan
legitimasi dari pemerintahan global tersebut. Jika ini terjadi, diaspora akan tetap
dianggap sebagai ancaman keamanan dan potensial diperlakukan tidak adil di
beberapa belahan negara di dunia.

96

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB IV DIASPORA: BRAIN DRAIN, BRAIN GAIN, DAN REMITANCE


A. Sejarah
Singkat Brain Drain dan Brain Gain Istilah brain drain pertama kali
diperkenalkan oleh Royal Soci- ety. Istilah ini bertujuan untuk menggambarkan
emigrasi ilmuwan dan teknolog Eropa ke Amerika Utara pasca perang, khususnya
Perang Dunia Kedua. Sumber lain menunjukkan bahwa istilah ini pertama kali
digunakan di Inggris untuk menggambarkan masuknya ilmuwan dan teknolog dari
India. Hal itu membuktikan bahwa fenomena diaspora secara alamiah juga lekat
dengan kemampuan inletektual, ilmu pengetahuan, dan penyebarannya. Brain
drain adalah emigrasi besar-besaran dari kelompok individu dengan keterampilan
teknis atau pengetahuan yang sangat memadai, jika tidak boleh disebut mumpuni.
Alasan yang paling sering muncul adalah karena adanya masalah di negara
mereka tinggal yang tidak berkesudahan sehingga kesempatan untuk berkembang
sangat ber- kurang. Beberapa alasan klasik yang sering kali muncul dan menjadi
penyebab terjadinya emigrasi seper ti ketidakstabilan politik, penindasan,
depresi ekonomi, masalah kesehatan dan alasan lain- nya. Ketika probabilitas
kebijakan yang diharapkan mampu menye- lesaikan kondisi instabilitas ini kecil,
maka semakin besar probabilitas seseorang atau kelompok untuk pindah ke
negara lain. Sementara

97

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance itu, negara yang
menjadi tujuan, justru memberi peluang dan harapan untuk dapat hidup lebih
layak baik karena kuatnya stabilitas politik dan kebebasan, perekonomian yang
mampu berkembang pesat, dan hak-hak individu yang terlindungi. Alasan lainnya
yang juga menjadi faktor pendorong seseorang untuk melakukan emigrasi adalah
kepentingan individu dan keluarga seperti kerabat yang tinggal di luar negeri atau
bahkan preferensi pribadi seperti mengejar ambisi untuk dapat berkarir lebih baik.
Pendeknya, secara umum alasan seseorang atau kelompok individu terdidik dan
profesional pindah ke negara lainnya lebih disebabkan oleh harapan untuk dapat
meraih kehidupan yang lebih baik dan keuntungan ekonomi. Brain drain selaras
dengan pelarian modal sumber daya manusia sehingga dapat dianggap sebagai
kerugian biaya ekonomi, terutama bagi mereka yang mengenyam pendidikan
dibiayai oleh negara atau organisasi yang ditinggalkan. Bagi negara yang menjadi
tujuan emigran akan mengalami de-skilling, sedangkan negara yang ke- hilangan
tenaga terampil akan mengalami pengeringan sumber daya manusia terampil.
Inilah yang terjadi pada Spanyol ketika Raja Spayol memerintahkan untuk mengusir
semua orang Yahudi dari kerajaan Castile, Catalonia, Aragon, Galicia, Majorca,
Minorca, Provinsi Basque, pulau Sardinia dan Sisilia pada tanggal 7 Januari
1492. Monarki Katolik ini tidak menyadari bahwa pengusiran kaum Yahudi yang
pada waktu itu menguasai jasa keuangan, justru menimbulkan masalah ekonomi
ke depan. Demikian juga ketika terjadi pengusiran pada Kaum Huguenot
(penganut Protestan dari Perancis) oleh Louis XIV pada 1685, dengan mencabut
Dekrit Nantes dan menyatakan Protestan menjadi ilegal di Dekrit Fontainebleau.
Karena kebijakan ini terjadi eksodus besar- besaran (diperkirakan dari 200.000
jiwa sampai 1.000.000 jiwa) melarikan diri ke negara-negara yang mayoritas
beragama Protestan seperti Inggris, Belanda, Swiss, Norwegia, Denmark dan
Prusia. Eksodus ini justru memberi manfaat positif bagi salah satu koloni

98

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Belanda yaitu Cape
(Afrika Selatan) di mana mereka berperan penting dalam membangun industri
anggur. Kondisi sebaliknya justru terjadi di Prancis di mana banyak orang yang
meninggal akibat kelaparan. Beberapa di antara kaum Huguenot justru lahir
menjadi orang besar seperti Henri Basnage de Beauval yang menetap di
Belanda, di mana ia menjadi seorang penulis berpengaruh dan sejarawan
terkenal. Abel Boyer, menetap di London dan menjadi guru untuk Keluarga
Kerajaan Inggris. Henry Fourdrinier, keturunan pemukim Huguenot di Inggris,
mampu mendirikan industri kertas modern. Augustin Courtauld melarikan diri ke
Inggris menetap di Essex dan mendirikan sebuah dinasti industri sutra di Inggris.
Gabriel Cramer, catatan matematikawan Swiss yang lahir dari keluarga pengungsi
Huguenot di Jenewa. Sir John Houblon, Gubernur pertama Bank of England, juga
dilahirkan dari keluarga Huguenot di London. Isaac Barr, anak Huguenot yang
bermukim di Irlandia, menjadi seorang tentara Inggris dan politisi berpengaruh.
Gustav dan Peter Carl Faberge, keturunan pengungsi Huguenot, mendirikan
perusahaan dunia Faberge terkenal di Rusia. Pengungsi Huguenot juga banyak
pergi ke Amerika Utara. Mereka mendirikan masyarakat baru di New Rochelle dan
New Paltz di kota New York. Para Huguenot dan keturunan mereka berperan
penting dalam menciptakan pertumbuhan di Amerika Serikat. Pemimpin
revolusioner John Sevier, Francis Marion dan Paul Revere adalah keturunan
pengungsi Huguenot. Bahkan tujuh presiden Amerika Serikat yaitu George
Washington, Ulysses S. Grant, Theodore Roosevelt, William Taft, Harry Truman,
Gerald Ford dan Lyndon Johnson telah mendokumentasikan leluhur Huguenot.
Eksodus Huguenot dari Perancis telah menciptakan pengeringan modal sumber
daya manusia dan justru menyumbang perkembangan kewirausahaan, dan
pekerjaan teknis di negara baru. Hilangnya ke- ahlian teknis ini merupakan pukulan
bagi kerajaan dan tidak sepenuh- nya pulih selama bertahun-tahun. M. Iman
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian
99

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Sekitar 400 tahun
setelah terjadi pengusiran etnis tertentu seperti kaum Huguenot di Spanyol dan
Prancis, perekonomian dunia mulai berevolusi. Evolusi ini dimulai dari Inggris, Eropa
Barat dan Amerika Utara dan Jepang di mana sebagian besar wilayah ini adalah
wilayah tujuan migrasi. Di negara-negara ini perekonomian berkembang pesat dan
mulai tumbuh ide-ide baru tentang pendekatan produksi. Pola kegiatan ekonomi
bergeser dari padat karya menjadi padat modal. Di negara-negara inilah awal
lahirnya revolusi industri. Ketika negara-negara tersebut mulai mengalami surplus
produksi akibat perkembangan teknologi industri, maka lahirlah ide globalisasi
modern di mana seluruh output nasional harus dijual ke luar negeri. Kini ide
mengenai brain drain mulai menjadi salah satu kajian ke- bijakan yang cukup
efektif guna membangun sebuah negara. Per- kembangan pendekatan ini
mengarah pada brain circulation dimana sebuah kondisi yang menggambarkan
ilmuwan dari negara mana- pun, ras manapun akan mencari tempat di mana ia
dapat melakukan penelitian dengan sangat baik. Menyadari hal tersebut, tentu saja
dengan kebijakan brain gain, bukan hanya meminta orang-orang cerdas di
negaranya untuk bersama-sama membangun bangsanya tetapi juga
mempersiapkan infrastruktur dan sokongan dana yang cukup untuk menunjang
riset mereka. Perekonomian yang semakin global lebih menuntut negara untuk
lebih kreatif dalam mengatur kebijakan migrasi. Bagi negara yang mampu
mengakomodasi kepentingan perkembangan ilmu penge- tahuan tanpa harus
menyekolahkan berarti menggunakan kebijakan yang bersifat antisipatif pada
brain drain dengan memberi insentif yang lebih besar dari pada tawaran yang
diberikan oleh negara asal. Inilah yang dilakukan oleh Singapura dengan kebijakan
yang dikenal dengan Open-Door. Sebagai sebuah negara kecil tanpa sumber daya
alam yang cukup, Singapura menyadari akan risiko terjadinya brain drain tersebut.
Negara yang hanya memiliki luas 716.1 km2, meng- gunakan kekuatan
finansialnya untuk mengundang para profesional datang membangun Singapura.
Hal ini dapat dibaca dari data jumlah
100 M.
Iman

Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan


Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance remmitance yang
dibayar mencapai US$ 6,71 juta lebih pada tahun 2012 dan dengan jumlah
remmitance yang diterima US$0. Warga negara Singapura yang ingin bekerja dan
belajar di luar negeri men- capai 297.234 jiwa. Namun orang asing yang masuk
ke Singapura untuk melakukan tindakan serupa mencapai 1.966.865 jiwa atau 40
persen dari total jumlah penduduk. Kesuksesan Singapura menerap- kan kebijakan
Open-Door sebagai kebijakan membangun Singapura dapat dianggap sukses. Jika
kita melakukan perbandingan antara jumlah remmitance, brain drian dan brain
gain antara negara maju dengan negara ber- kembang, termasuk negara miskin,
maka dapat disimpulkan bahwa jumlah remmitance yang dibayar oleh negara
maju lebih besar dari pada jumlah remmitance yang diterima. Namun justru
fenomena ini berbalik di negara berkembang dan miskin. Jumlah remmitance yang
diterima oleh negara berkembang dan miskin lebih besar dibanding- kan jumlah
remmitance yang dibayar. Fenomena ini berbanding ter- balik dengan karakter
pekerja dimana jumlah pekerja yang keluar dari negara maju lebih sedikit
dibandingkan mereka yang masuk, sementara jumlah pekerja yang keluar dari
negara berkembang dan miskin lebih besar dibandingkan jumlah pekerja yang
masuk ke negara berkembang dan miskin (lihat tabel 2). Tabel 2. Jumlah
Remmitance, dan Arus Pekerja Dunia 2012
Karakter Negara
Berdasarkan Bank Dunia
Negara Maju
Negara Berkembang dan Miskin

Remmitance
(millions of US$)
Keluar
Masuk

Keluar

Masuk

316,86
6.77

36,13
1,998

111,94
5,053

179,63
1,576

103,81
8,520

120,66
2.97

211,902. 408,10
28
6.09
Sumber: Bank Dunia 2013 (diolah). Yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa fenomena tersebut
terjadi? Ada beberapa alasan yang sering
dikemukakan. Pertama, M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian 101

Pekerja

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance ingin mendapat
opportunity yang lebih baik. Faktor ini bagian dari intuisi manusiawi untuk meraih
hidup lebih layak. Seperti kata pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga
lebih hijau dibandingkan dengan di halaman sendiri. Memang, mencari peluang
yang lebih baik memaksa orang untuk menjauh dari situasi mereka saat ini.
Keinginan itu tidak dapat berhenti dan bagian dari naluri untuk men- dapat
kelangsungan hidup. Apapun masalahnya, peluang yang lebih baik datang dalam
bentuk yang lebih tinggi seperti tawaran gaji tinggi, fasilitas yang lebih baik, potensi
kemajuan berkarir dan bahkan lebih dari itu. Dalam kasus perusahaan, tingkat
turn-over karyawan yang tinggi mungkin disebabkan oleh ketidakpuasan dengan
tingkat upah saat ini. Eksekutif puncak dan manajer tertarik dengan paket
kompensasi yang lebih kompetitif. Dalam olahraga, kita sering men- dengar kasus
pemain beralih ke tim baru dengan menawarkan paket gaji yang lebih tinggi.
Selanjutnya, kasus pemain sepak bola mentransfer ke klub lain karena
kurangnya kesempatan bermain. Dalam bidang penelitian, peneliti sering kali
tertarik dengan dana, hibah dan peralatan teknologi yang lebih canggih. Di sisi
lain, lulusan dengan spesialisasi sempit mungkin akan merasa sulit untuk
mencari pekerjaan di mana industri lokal tidak memiliki sumber daya teknologi
atau alat pendukung. Contoh ahli atom, fisikawan nuklir dan ahli antariksa yang
berasal dari Indonesia. Para lulusan mungkin perlu untuk beremigrasi ke negaranegara di mana industri seperti ini mendapat perhatian sehingga karir yang
sukses dapat diraih. Dengan kata lain, bakat tertentu yang keluar dan berpindah ke
negara lain karena keterampilan dan keahlian mereka dihargai dan diminati di
negara tujuan. Banyak pemain olah raga dari China mencari tempat-tempat yang
memiliki peluang lebih besar bagi bakat mereka. Li Jiawei, menjadi pemain tenis
meja Singapura karena Singapura memberi peluang lebih baik dengan
menjadikannya pemain olimpiade dengan gaji yang lebih tinggi. Tawaran inilah
yang memotivasi pemain dari provinsi
102 M.
Iman

Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan


Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Beijing, China,
berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Mendapatkan
kehidupan yang lebih baik adalah penyebab kedua dari brain drain. Kondisi ini
terjadi karena adanya dorongan untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang
lebih baik sehingga mereka berpindah secara permanen ke negara yang lebih
menjanjikan. Kondisi tersebut berlaku untuk negara-negara berkembang seperti
Afrika. Di Ethiopia, misalnya, dari total sekitar 23.000 siswa yang belajar ke Eropa
atau Amerika Serikat, kurang dari 6.000 siswa yang pulang. Salah satu alasan
untuk tidak kembali ke negara mereka adalah ancaman kehilangan nyawa
karena ketidakstabilan politik. Alasan kedua terjadinya diaspora jenis brain-drain dan
brain-gain adalah berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan ini sering kali
bertentangan dengan keinginan individu atau kelompok tertentu seperti
perpindahan pianis Melvyn Tan yang berpindah ke negara lain karena adanya
wajib militer yang diberlakukan di Singapura. Menghindar dari kewajiban tertentu
bisa jadi akibat dari bujukan negara lain agar pindah kewarganegaraan. Kebijakan
pemerintah yang memberatkan kelompok tertentu di- terapkan di Malaysia di mana
di negara ini diterapkan undang-undang nasional yang menerapkan hak-hak
khusus kepada warga pribumi. Undang-undang dasar negara ini menciptakan
diaspora di kalangan China dan India yang tinggal di Malaysia. Hak-hak istimewa
seperti mendapat subsidi tempat tinggal, beasiswa pemerintah dan perguruan
tinggi sulit mereka dapatkan. Tidak mengherankan apabila kaum minoritas
Malaysia lebih suka pindah ke tempat di mana hak-hak mereka diakui berdasarkan
kemampuan bukan berdasarkan warna kulit atau keyakinan tertentu. Di Malaysia,
kebebasan berbicara juga dibatasi. Pembatasan hak ini menurut pemerintah untuk
melestarikan harmonisasi sosial di antara warga asli Melayu dengan ras lainnya.
Kebebasan berekspresi politik, termasuk demonstrasi untuk memperoleh hak-hak
dasar juga
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,
dan Keimigrasian 103

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance dilarang. Pelarangan
ini juga membatasi kebebasan pers baik pers nasional maupun internasional.
Sementara itu di China, ada kebijakan pengendalian jumlah populasi melalui One
Child Policy. Kebijakan ini membuat orang- orang berbakat dan kaya raya
meninggalkan negara tersebut untuk menghindari pembatasan keturunan. Banyak
orang kaya dan berbakat ingin menikmati hidup dengan memiliki keluarga besar
dengan banyak anak. Alasan ketiga yang mendorong terjadinya diaspora adalah
sistem pendidikan yang lebih baik di negara lain. Negara-negara berkembang
seringkali memiliki keterbatasan fasilitas pendidikan baik sarana mau- pun
prasarana. Negara maju, lebih baik dalam menyediakan sarana dan prasarana
tersebut. Bagi mereka yang memiliki anak berprestasi tentu berharap anak mereka
dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik sehingga memiliki masa depan lebih
baik pula. Ketika anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan yang lebih
baik terutama di negara lain, setelah mereka lulus, besar kemungkinan mereka
akan bekerja, berkeluarga dan menetap secara permanen di negara ter- sebut.
Keuntungan mengenyam sistem pendidikan yang lebih baik inilah yang
mendorong banyak anak muda China lebih suka me- ngambil program bahasa
Inggris ketimbang gaokao dengan harapan mereka dapat melanjutkan pendidikan
di negara-negara maju. Lebih dari 400.000 siswa pergi ke luar negeri untuk
melanjutkan studi mereka setiap tahun. Adapun penyebab masalah brain drain
lainnya adalah kombinasi atau interaksi dari berbagai faktor seperti tingginya
populasi usia tua. Sementara itu, di negara lain sedang terjadi booming ekonomi
se- hingga kebutuhan akan ketersediaan tenaga profesional seperti tenaga medis,
tenaga ahli konstruksi sangat tinggi. Kebutuhan inilah yang akhirnya menciptakan
kebijakan mengundang tenaga profesional dari negara lain. Bagi negara yang
ditinggalkan tentu saja akan mengalami masalah yang sangat serius pada
pertumbuhan dan prospek ekonomi ke depan.
104 M.
Iman

Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan


Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance B. Negara Maju Lebih
Menjanjikan Seperti dibahas sebelumnya bahwa keinginan untuk dapat hidup
lebih baik dan layak menjadi faktor pendorong seseorang atau kelompok tertentu
berpindah dan menetap di negara lain. Oleh karena itu, negara yang
berpenghasilan tinggi selalu menjadi tujuan bagi mereka yang ingin mendapat
hidup lebih layak (lihat Tabel 3). Tabel 3. Perilaku Brain Drain dan Brain Gain
di Negara Maju
No.

Negara Maju (Versi GDP per


Bank Dunia 2013) capita PPP

1
Australia
2
Austria
3
Belgium
4
Canada
5
Chile
6
Czech Republic
7
Denmark
8
Estonia
9
Finland
10
France
11
Germany
12
Greece
13
Iceland
14
Ireland
15
Israel
16
Italy
17
Japan
18
Luxembourg
19
Netherlands
20
New Zealand
21
Norway
22
Poland
23
Portugal
24
Slovak Republic
25
Slovenia
26
Spain
27
Sweden
28
Switzerland
M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi,
dan Keimigrasian 105

(USD)
40.510
42.030
39.070
41.390
19.820
24.440
41.920
20.850
37.650
36.120
40.190
25.110
31.430
33.510
28.070
32.460
34.890
64.100
43.150
28.800
61.390
20.200
24.620
23.580
26.970
31.440
42.530
52.530
Keamanan,

Jumlah TK
Masuk
5.079.776
712.579
1.011.155
6.016.948
-313.604
83.304
224.356
13.251
-103.623
4.946.836
7.228.601
-77.019
-5.470
-647.026
1.919.929
983.133
1.404.973
115.445
759.956
337.449
301.508
-2.328.056
-1.310.994
-389.034
31.999
5.527.523
988.415
1.355.216

Keterangan

Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain
Brain

Gain
Gain
Gain
Gain
Drian
Gain
Gain
Gain
Drian
Gain
Gain
Drian
Drian
Drian
Gain
Gain
Gain
Gain
Gain
Gain
Gain
Drian
Drian
Drian
Gain
Gain
Gain
Gain

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Lanjutan Tabel 3
29
30
31
Sumber:
Bank Dunia
2013
(diolah) Dari
31 negara
maju
(menurut
Bank Dunia
2013),
hanya 9
negara yang
mengalami
brain drain.
Pengeringan
intelektual
terbesar
dialami oleh
Polandia
dengan
jumlah
imigran yang
keluar dari

United Kingdom
35.950
2.289.566
Brain Gain
United States
48.820
40.390.106 Brain Gain
Korea, Rep.
29.860
-1.542.913
Brain Drian
Total
75.813.055 Brain Gain
negara ini mencapai 2,3 juta tenaga kerja lebih.
Kemudian diikuti oleh Korea Selatan dengan jumlah
tenaga kerja yang hilang mencapai 1,5 juta lebih.
Selanjutnya diikuti oleh Portugal (1.310.994 tenaga
kerja), Irlandia (647.026 tenaga kerja), Republik
Slovakia (389.034 tenaga kerja), Chile (313.604 tenaga
kerja), Finlandia (103.623 tenaga kerja), Yunani (77.019
tenaga kerja) dan Islandia (5.470 tenaga kerja). Namun
demikian dari 31 negara maju, 22 negara menikmati
brain gain. Sebagai negara yang memiliki income per
kapita yang sangat tinggi, negara maju lebih banyak
menyediakan fasilitas bagi siapa pun yang masuk ke
negara tersebut, termasuk pendapatan besar yang
mungkin didapat. Dalam konteks ini, faktor yang paling
utama yang mendorong individu atau kelompok masuk
dan berpindah ke negara lainnya adalah keinginan
untuk meraih penghasilan dan kesejahteraan yang lebih
tinggi. Dari sisi internal negara, negara tersebut juga
lebih mampu mengakomodir kepentingan warna
negara lainnya untuk mendapat hak-hak dasar
106 M. Iman Santoso: Diaspora:
manusia.
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

.....

...

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Gambar 1. Jumlah
Migrasi Brain Drain dan Brain Gain di Negara Maju Uni ted States United
Kingdom Swi tzerland Sweden Slovenia Spain 31Q(eDUDI
Norway
New Zealand Netherlands Luxembourg Japan Italy Israel re1an lceland::::l
Greece I Germany France Fintaruf::J Estonia Denmark Czech Republic
Canada Belgui m Austria Australia -1 -O.S 0
0.5
1 Sumber: Bank
Dunia, 2013 M. hnan Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian 107 BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance

Pemenuhan hak-hak ini juga dapat dibaca dari kemauan peme- rintah negara
maju untuk defisit pada pembayaran remmitance. Se- makin besar income per
kapita negara tersebut, semakin besar peluang untuk defisit pembayaran
remmitance. Namun demikian perilaku data ini tidak dapat dibaca dengan logika
terbalik. Negara-negara maju yang mengalami defisit pembayaran remmitance
justru mendapat- kan keuntungan berupa brain gain. Terjadi pengayaan tenaga
terdidik dan lebih memiliki potensi mendapat tenaga kerja terdidik dibanding
negara yang surplus pada pembayaran remmitance (lihat Tabel 4). Tabel 4.
Selisih Remmitance Negara Maju (Versi Bank Dunia 2013)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
108 M.
Iman

Negara Maju (Versi Bank Selisih Remmitance


Dunia 2013)
(millions of US$)
Australia
-13,429.27
Austria
-1,956.27
Belgium
4,933.19
Canada
-23,908.69
Chile
-703.52
Czech Republic
732.74
Denmark
-463.95
Estonia
292.66
Finland
391.85
France
167.34
Germany
-7,375.99
Greece
-820.75
Iceland
-87.20
Ireland
-2,050.04
Israel
-2,581.57
Italy
-4,915.11
Japan
-8,519.94
Luxembourg
660.49
Netherlands
-2,977.45
New Zealand
-1,656.52
Norway
-651.14
Poland
5,198.97
Portugal
1,180.43
Slovak Republic
1,076.97
Slovenia
347.12
Spain
-8,462.29
Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan
Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Lanjutan Tabel 4.
27
28
29
30
31

Sweden
-2,478.87
Switzerland
-2,386.75
United Kingdom
-15,269.22
United States
-118,750.00
Korea, Rep.
8,258.97
Total
-196,203.80
Bagi negara maju, mendapat brain gain, berarti dapat memotong waktu
pendidikan yang seharusnya menjadi tanggungan negara. Selain itu, dengan
kebijakan yang selektif dan ketat, negara yang menjadi tujuan migrasi terdidik,
justru akan mendapat tenaga kerja ahli. Pola kebijakan inilah yang dalam jangka
panjang akan lebih menguntungkan negara tujuan, dan sebaliknya akan
merugikan negara yang mengalami brain drain. Untuk lebih jelas melihat
hubungan antara negara yang memiliki potensi mengalami brain drain, brain
gain dengan income per kapita dan potensi kehilangan dan menerima
remmitance dengan uji Binar Logistic Regression. Negara yang mengalami brain
gain diberi angka 1 sedangkan negara yang mengalami brain drain diberi angka 0.
Perilaku migrasi pada negara tersebut merupakan variabel dependen. Sedangkan
variabel independennya adalah income per kapita masing-masing negara maju
dengan memasukkan purchasing power parity (PPP) income per kapita sebagai
variabel pembentuk kejadian brain gain dan brain drain. Variabel independen
lainnya adalah surplus dan defisit remmitance yang ditanggung negara tujuan.
Negara yang mengalami defisit diberi tanda 0 dan negara yang mengalami surplus
diberi nilai 1. Pseudo R-Square
Cox and Snell

.710

Nagelkerke

1.000

McFadden

1.000

Link function: Logit.


M. Iman Santoso: Diaspora:
Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian 109

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Dari pendekatan binary
logistic regression maka didapat nilai R- Square Cox and Snell sebesar 0,71
menjelaskan bahwa model bi- nary logistic regression interaksi antara variabel
independen dengan dependen significant menjelaskan hubungan timbal balik
sebesar 71 persen. Jika menggunakan pendekatan R-Square Nagelkerke dan
McFadden, maka hubungan antara variabel dependen dan variabel independen
sangat erat mencapai 100 persen. Parameter Estimates
Std.
EstimatError

Wald df Sig. 95% Confidence


Interval

Location

Link function:
Logit. a. This
parameter
is set to zero
because it is
redundant.
Data

parameter estimasi diketahui bahwa negara yang


memiliki income perkapita diatas USD 20.564 akan
menjadi negara yang berpeluang lebih besar
mendapat brain gain. Sementara negara yang memiliki
income per kapita di bawah USD 20.564 berpeluang
men- jadi brain drain. 110 M. Iman Santoso:
Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Dependent Variable:
BRAIN Method: Least Squares Date: 10/28/13 Time: 01:28 Sample: 1 29
Included observations: 29
Variable

Coefficient

C
PPP
REMMITAN

-0.069676
1.95E-05
0.105548

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.261881
0.205102
0.419772
4.581.429
-1.439.259
4.612.332
0.019304

Std. Error
tStatistic
0.262800
7.29E-06
0.265130
0.167515
0.630082
Mean dependent

Prob.
0.7930
0.0129
0.5341

0.68965
S.D.
var dependent var 0.47082
5
Akaike info criterion 1.199.48
Schwarz criterion
1.340.93
Hannan-Quinn criter.1.243.78
Durbin-Watson stat 1.865.71

Persamaan yang diperoleh adalah Ln P/1-P= -0.069676+ 1.95*PPP +


0.105548*Remmitance. Nilai probabilitas purchas- ing power parities (PPP)
adalah 0.01 (< 0.05) sehingga dapat di- katakan model ini adalah signifikan.
Melihat nilai probabilitas rem- mitance sebesar 0,5 >0.05 maka dapat katakan
bahwa nilai remmi- tance tidak significant menjelaskan perilaku brain dain dan brain
drain. Dependent Variable: BRAIN Method: Least Squares Date: 10/28/13
Time: 16:59 Sample: 1 29 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PPP

-0.050543
2.08E-05

R-squared 0.250610 Adjusted Rsquared


0.222855 S.E. of
regression
0.415058 Sum squared
resid 4.651.385 Log likelihood 1.461.232 F-statistic
9.029.314
Prob(F-statistic)
0.005677 Mean
dependent var S.D. dependent var

0.258108 -0.195821 0.8462


6.91E-06 3.004.882 0.0057

Akaike info
criterion
Schwarz
criterion
Hannan-Quinn
criter. DurbinWatson stat

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan,


dan Keimigrasian 111

0.689655
0.470824
1.145.677
1.239.974
1.175.210
1.804.857

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Persamaan yang
diperoleh adalah Ln P/1-P= -0.050543+ 2.08*PPP. Nilai probabilitas
purchasing power parity (PPP) adalah 0.005 (< 0.05) sehingga dapat dikatakan
model ini adalah signifikan. Setiap penambahan purchasing power parity USD 1,
maka akan meningkatkan probabilitas 5 persen dapat menikmati brain gain.
Melihat perilaku data tersebut, maka tak heran jika negara yang menjadi
primadona tujuan tenaga kerja profesional dunia adalah Amerika Serikat, Jerman,
Kanada, Spanyol, Australia dan Prancis. Bahkan dari total 111.945.053 emigran
yang masuk ke negara maju yang berasal dari berbagai negara di dunia, sekitar
40.390.106 emigran atau 38,2% masuk ke Amerika Serikat. Dari total arus jumlah
orang yang keluar dan masuk dari dan ke Amerika Selatan, sekitar 89,2% adalah
lebih memilih masuk dan tinggal di Amerika Serikat. Melihat perilaku data ini, maka
dapat disimpulkan bahwa brain gain hanya terjadi ketika negara tersebut memiliki
income per kapita yang tinggi. Hal sebaliknya justru terjadi pada negara berkembang
di mana negara yang rata rata memiliki income per kapita di bawah USD
20.564 maka negara tersebut tidak menjadi tujuan bagi diaspora brain gain. C.
Korupsi, Brain Drain, dan Brain Gain Negara yang sejahtera dan memiliki
kemapanan politik dapat dilihat dari indeks korupsi. Semakin tinggi indeks korupsi,
maka se- makin stabil politik dalam negeri. Begitu juga sebaliknya, semakin
rendah indeks korupsi, maka semakin labil stabilitas politik dalam negara. Itu
mengapa korupsi di sektor publik merupakan salah satu bentuk tindakan yang
lebih berbahaya dibandingkan korupsi di korporasi karena korupsi di sektor publik
dapat mengakibatkan efek luas.
112 M.
Iman

Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan


Keimigrasian

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan


Remitance Gambar 2. Grafik Indeks Korupsi
Dengan Brain Drain-Brain Gain di 174 Negara
Keterangan:
Garis biru yang berada di titik 1
adalah negara yang menikmati brain gain. Garis
biru yang berada di titik 0 adalah negara yang
mengalami brain drain Garis merah adalah indeks
korupsi Selain itu, korupsi juga mengganggu alokasi
sumber daya yang efektif dan efisien. Karenanya,
negara yang korup, pasti mengalami masalah
pertumbuhan karena kinerja perekonomian
terganggu. Tingginya gangguan korupsi pada alokasi
sumber daya membuat para pekerja kehilangan
harapan untuk dapat meraih kehidupan yang lebih baik.
Negara yang memiliki indeks korupsi rendah (negara
korup) akan lebih mudah mengalami braid drain
daripada negara yang memiliki indeks korupsi tinggi
(bersih dari tindak korupsi). Karena itu, hubungan

antara
korupsi
dengan
brain gain
sangat
tinggi
seperti
terdapat
pada
gambar 2.
M. Iman
Santoso:
Diaspora:
Globalisasi,
Keamanan,
dan
Keimigrasian
113

BAB IV: Diaspora: Brain Drain, Brain Gain, dan Remitance Dependent Variable: Y
Method: Least Squares Date: 10/28/13 Time: 16:08 Sample: 1 174 Included
observations: 174 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
X

-0.036257
0.901536

R-squared
0.134180 Adjusted Rsquared
0.129146 S.E. of regression
0.446559 Sum squared resid
3.429.940 Log likelihood
1.056.136 F-statistic2.665.564 Prob(Fstatistic)
0.000001 Mean
dependent var S.D. dependent var

0.082218 -0.440981 0.6598


0.174618 5.162.910 0.0000

Akaike info
criterion
Schwarz
criterion
Hannan-Quinn
criter. DurbinWatson stat

0.350575
0.478527
1.236.938
1.273.249
1.251.668
2.054.495

Dengan menggunakan pendekatan binary logistic regression teridentifikasi


bahwa variabel dependen adalah variabel brain di mana brain gain = 1 dan brain
gain = 0. Adapun variabel indeks korupsi merupakan variabel independen yang
membentuk variabel perilaku suatu negara. Koefisien antara variabel bernilai
negatif yang artinya semakin tinggi indeks korupsi maka semakin tinggi pula
negara menikmati brain gain. Begitu juga sebaliknya. Persamaan yang diperoleh
adalah Ln P/1-P= -0.036257+ 0.901536*Indeks Korupsi. Nilai probabilitas
indeks korupsi adalah 0.000 (< 0.05) sehingga dapat dikatakan model ini adalah
signifikan. Setiap penambahan indeks sebesar 0,01, maka akan meningkatkan
probabilitas 3 persen bagi negara untuk dapat menikmati brain gain.

114

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

BAB V EPILOG: KEWARGANEGARAAN DAN KEIMIGRASIAN Seluruh fenomena


diaspora, yang mengalami akselerasi seiring dengan globalisme, tentu saja
menuntut penyesuaian jika tidak boleh disebut revolusi kebijakan keimigrasian.
Tanpa langkah itu, sebuah negara akan kesulitan untuk menangani lalu lintas
manusia yang se- makin cepat untuk segala keperluan, baik dalam kunjungan
pendek, berkehendak tinggal sementara maupun secara permanen. Sehubungan
dengan hal tersebut, khusus untuk kasus Indonesia, diskursus tentang diaspora
Indonesia mulai sering dibicarakan sejak Congress of Indonesian Diaspora (CID)
di Los Angeles, Amerika Serikat, Juli 2012. Kini para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang semula tidak pernah menyentuh masalah tersebut dalam
pembicaraan sehari-hari mereka, misalnya, kini sebagian dari mereka mulai
membicarakan realitas diaspora Indonesia meskipun perspektifnya masih
sempit sebatas suara politik diaspora pemegang paspor Indonesia dan kontribusi
mereka dalam penerimaan devisa negara sekitar 7 miliar dollar Amerika Serikat
(sekitar 70 triliun ru- piah) per tahun (Wold Bank, 2011), serta sebagian kecil
diaspora Indonesia memegang paspor asing. Pembicaraan mengenai diaspora
Indonesia yang lebih sering ter- jadi, berlangsung secara informal di kafe-kafe,
restoran, warung kopi, dan ruang rapat sebelum pertemuan resmi dimulai. Semua
pem- bicaraan mengarah ke satu titik, yaitu, potensi besar yang dimiliki diaspora
Indonesia. CID telah menjadi titik pijak bangkitnya kesadaran

115

BAB V: Epilog: Kewarganegaraan dan Keimigrasian bangsa Indonesia mengenai


potensi besar mereka baik secara politik, ekonomi, intelektualitas, dan kebudayaan.
Selain itu, ada pula pem- bicaraan mengenai aspirasi dwi kewarganegaraan sebagai
bagian dari hak azasi diaspora Indonesia. Dari perspektif keimigrasian, fonemena
tersebut menuntut harmonisasi antara konvensi internasional sebagai cerminan
adanya pemerintahan dunia (Hagger, 1988) dan azas hukum nasional (Santoso,
2007), utamanya penyesuaian kebijakan dan kelembagaan sehingga dispora
Indonesia, yang dalam hal ini berarti mereka yang bermukim di luar negeri,
termasuk warga negara asing yang memiliki ikatan keluarga dengan Indonesia, dan
warga negara asing yang mencintai Indonesia, merasa aman dan nyaman ketika
berhubungan dengan Indonesia. Tapi di sisi lain, keamanan nasional juga tetap
harus terjaga. A. Dilema Indonesia Mencermati gerak dunia saat ini, arus
budaya global akan mengalir pada lima arus, yaitu ethnoscapes,
mediascapes, technoscapes, finanscapes, dan ideoscapes (Appadurai, 2003).
Se- cara hipotesis, diaspora Indonesia juga akan dipengaruhi atau ber- ada
dalam lingkaran arus kebudayaan global meskipun tingkat keterpengaruhan tiap
diaspora Indonesia bisa berbeda. Akan tetapi, mustahil bangsa Indonesia
menghindar dari kombinasi aliran budaya global tersebut. Realitas itu, suka atau
tidak, menuntut para pembuat keputusan di Tanah Air melakukan penyesuaian
kebijakan. Bangunan ekonomi harus semakin terbuka dan desain politik
demokratis harus semakin substansial. Produk hukum pun harus
mempertimbangkan realitas diaspora Indonesia. Dengan demikian, ketika aliran
kelima arus budaya global (ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, finanscapes,
ideoscapes) tersebut melanda Indonesia, dengan kemungkinan ada- nya peran
diaspora Indonesia di dalamnya, bangsa ini sudah siap.

BAB V: Epilog: Kewarganegaraan dan Keimigrasian Dilemanya adalah Indonesia


secara alamiah memang majemuk dengan Tanah Air formal membentang dari
Merauke sampai Sabang, terdiri dari 17.000 pulau lebih. Konflik politik dan sosial
juga acapkali pecah. Sementara itu, Republik sampai hari ini belum mempunyai
kemampuan yang optimal untuk membangun TNI dan POLRI yang profesional.
Situasi itu, secara tidak sadar tertanam dalam sub-consiousness bangsa Indonesia
secara umum, khususnya pengambil keputusan, bahwa gangguan terhadap
pertahanan dan keamanan nasional dapat datang dari siapa saja termasuk, tentu
saja, diaspora Indonesia. Kecurigaan semacam ini terus hidup dan cenderung
menguat apa- bila kesenjangan sosial melebar, dan radikalisme semakin jumud. Di
luar aspek yang positif, kelima arus budaya global yang disebut se- belumnya,
membuat semua ini mungkin terjadi. Pada titik ini, imigrasi memainkan peranan
penting untuk membunuh kekhawatiran semacam tersebut. Kepastian mengenai
status diaspora Indonesia menjadi jawaban awal terhadap kekhawatiran semacam
itu. B. Langkah Rintisan Mengingat realitas obyektif beberapa faktor seperti
tingginya pe- ngangguran dan arus pencari kerja ke luar negeri, keberhasilan
diaspora Indonesia di sektor ekonomi, kepakaran di bidang science dan teknologi,
serta keluasan pemahaman mereka di bidang agama, dan lain-lain, adalah tidak
masuk akal apabila tidak segera dibuat langkah rintisan di bidang keimigrasian.
Dengan bahasa lain, potensi diaspora Indonesia dari waktu ke waktu akan semakin
besar. Kontribusi mereka pada bangsa dan negara, otomatis juga semakin
signifikan. Oleh sebab itu, ikatan ke-Indonesiaan harus dipererat sehingga sense of
belonging mereka tetap kuat. Namun demikian, usulan tentang kewarganegaraan
ganda saat ini rasanya belum memungkinkan diwujudkan. Tidak ada desain
politik untuk itu. Alih-alih produktif, tak tertutup kemungkinan malah
117

BAB V: Epilog: Kewarganegaraan dan Keimigrasian menyulut perdebatan panas


khususnya menyangkut nasionalisme, hak memilih dalam pemilu, dan lain-lain.
Harus diakui bahwa kesenjangan sosial dan konstruksi masyarakat Indonesia
yang majemuk juga mengandung di dalamnya benih-benih kecurigaan terhadap
yang lain. Oleh sebab itu, apabila suatu saat hal itu menjadi kebijakan, sosialisasi
masif perlu dilakukan jauh hari sebelumnya. Oleh sebab itu, lebih produktif apabila
sebagai langkah awal, layanan keimigrasian bertumpu pada kategorisasi diaspora
Indone- sia. Menurut Dino Pati Djalal, ada 4 kategori diaspora Indonesia, yaitu: (1)
orang Indonesia yang berpaspor Indonesia; (2) orang Indonesia yang kemudian
menjadi warga negara lain; (3) orang-orang yang menjadi keturunan dari
Indonesia; dan (4) para pecinta Indonesia. Intinya, mereka harus dimudahkan.
Misalnya, khusus untuk kategori 2 dan 3, mereka bisa diberikan Kartu Keturunan
Orang Indonesia dan bebas masuk Indonesia tanpa visa. Mereka juga bisa
membeli properti (dengan batasan tertentu), membuka bisnis, dan membuka
rekening. Namun kepada mereka tidak diberikan hak politik (tidak dapat
mengikuti pemilu). Tentu saja (termasuk kategori 4), mereka bisa mendapatkan
ijin tinggal khusus di Indonesia walaupun sulit untuk menetapkan kriteria bagi
kelompok ini.

118

M. Iman Santoso: Diaspora: Globalisasi, Keamanan, dan Keimigrasian

Anda mungkin juga menyukai