Pondok pesantren merupakan lembaga keagamaan yang mewadahi bidang pendidikan,
pengajaran, pengembangan dan penyebaran Agama Islam. Pondok Pesantren banyak menggunakan nama-nama bahasa arab yang mengandung hikmah didalamnya seperti Darul Huda, Darul Qur’an, Baiturrahman, Mamba’ul ‘Ulum, Darussalam, Al-Anwar dan lain sebagainya. Namun Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Nusantara, bisa dilihat dari nama-nama Pondok Pesantren yang terkenal di kancah nasional maupun internasional dengan sebutan nama daerah seperti Lirboyo, Sidogiri, Butet, Banten, Gengong dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan Pondok Pesantren menjadi warisan kearifan lokal lembaga keagamaan istimewa di Indonesia. Lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren di Indonesia menggunakan sistem tradisional, modern dan semi tradisional-modern, akan tetapi lebih banyak yang menggunakan sistem tradisional yang menyesuaikan dengan budaya lokal sekitar Pondok Pesantren tersebut. Pondok Pesantren akan selalu inklusif, artinya selalu terbuka terhadap zaman modern dan ramah terhadap tradisi lokal. Pondok Pesantren akan terus mengadopsi sistem berdasarkan perkembangan zaman dan mengembangkan pendidikan pada sisi ketrampilan atau skill diluar pendidikan Islam. Pondok Pesantren di pimpin oleh seorang Kyai yang merupakan pengasuh/pembina dari seluruh santri yang berada pada suatu pondok atau asrama. Aktivitas para santri di dalam lingkup Pondok Pesantren mencakup dua jenis kegiatan inti di dalam Pesantren, pertama kegiatan ma'hadiyah yakni kegiatan yang diselenggarakan di lingkup pesantren seperti kajian kitab-kitab salaf yang diasuh langsung oleh pengasuh/kiai Pesantren dan ustadz-ustadz senior, shalat berjamaah, shalat sunnah, istighotsah, tahfidz (hafalan), kegiatan bahtsul masa'il yaitu diskusi membahas permasalahan agama, dan banyak lagi. Kedua, kegiatan madrasiyah, adalah kegiatan belajar pengajar klasikal di dalam madrasah diniyah, yang memiliki jenjang pendidikan mulai ibtida'iyah (dasar), tsanawiyah/wustha (tengah) hingga aliyah/ulya (tinggi) dengan menerapkan kurikulum Pesantren, seperti hukum Islam (fiqih), hadits, tafsir Al-Qur'an, gramatika bahasa Arab (nahwu-sharaf), akhlak, tasawuf sampai sastra Arab. Untuk menempuh keseluruhannya dibutuhkan bertahun-tahun lamanya. Belum lagi kegiatan kursus-kursus dan ekstra lainnya. Meskipun Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, akan tetapi santri akan tetap menempuh pendidikan formal seperti, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah hingga ke perguruan tinggi. Santri diharapkan cakap dengan cakrawala kailmuan agama Islam dan setara pada pendidikan formal hingga ke perguruan tinggi. Sehingga banyak santri tidak hanya sebatas menjaga tradisi mengaji, pada faktanya santri mampu merespon modernisasi dan globalisasi, mampu beradaptasi dengan transformasi zaman. Banyak output dari santri yang telah menjadi doktor, akademisi, content creator, mekanik, ekonomi, hukum, politisi dan lain sebagainya. Pondok Pesantren adalah salah satu dari lembaga pendidikan tertua masyarakat pribumi di indonesia. Pendidikan Pesantren telah mencatat berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia, baik sejarah sosial budaya, masyarakat Islam, perekonomian dan politik. Pondok pesantren merupakan saksi utama penyebaran agama Islam di Indonesia, karena pada saat itu merupakan wahana penting bagi kegiatan Islamisasi di Indonesia. Terutama kaum nahdliyin (NU) yang tercatat dalam sejarah revolusi jihad untuk mempertahankan NKRI, yang dipelopori oleh KH Hasyim Asyari yang merupakan pendiri NU. Sehingga pesantren menjadi lembaga pendidikan islam yang memiliki tradisi luhur kebangsaan yang akan selalu diwariskan turun-temurun. Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul ulama. PMII tidak lantas menanggalkan sejarahnya bahwa PMII juga dilahirkan oleh kaum sarungan atau yang kita kenal dengan “kaum santri”. Sebagai kader muda NU yang bergerak pada dimensi kemahasiswaan tidak lantas menjadikan PMII sombong dengan strata pendidikannya sebagai seorang “mahasiswa”. PMII memiliki visi, misi dan tujuan yang nilainya sama dengan NU, yakni memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia dan ideologi islam Ahlus sunnah wal jama’ah. Karena didirikan oleh para tokoh Kyai-Kyai besar yang notabane nya memiliki lembaga Pondok Pesantren. Hingga perjalanan PMII dari organisasi eksklusif (karena belum dikenal secara luas) dengan kader yang hampir semuanya dari para santri Pondok Pesantren murni hingga menjadi organisasi yang dikenal inklusif. Kemudian status para santri PMII ini dibagi menjadi dua jenis, yakni santri yang mondok di Pondok Pesantren dan santri yang mondok di PMII. Secara guyonan, kader PMII yang mondok di Pesantren salaf adalah santri tradisional, sedangkan santri PMII adalah santri Kota nya. Penulis mengajak fokus apabila mahasiswa yang bergabung pada PMII adalah mayoritas mereka yang dulu pernah mondok. Proses santri kota ini dimulai saat masuk pada jenjang perguruan tinggi. Walau dengan status santri kota, kader PMII menyadari bahwa mereka memiliki ikatan yang sangat kuat dengan Islam tradisi NU. Dengan latar belakang pernah menjadi santri tradisional, kader PMII tidak hanya mampu menguasai wacana-wacana tradisional semata, melainkan lebih luas dari pada kurikulum tradisional hingga ke progresifitas realitas sosial. PMII tidak bisa lepas dari Pesantren, hal ini karena hubungan historis, akademis, intelektual yang bertujuan sama dalam konteks di kalangan Civitas Akademika. Seorang kader PMII yang mondok dan pernah mengaji kitab kuning tentang tauhid, muamalah, syariah, sosial- politik, hukum tata negara dan atau tentang sebuah jabatan dan lain sebagainya. Hal seperti itulah yang membuat kader PMII alumni Pondok Pesantren kaya akan khazanah keilmuan. Berbeda dengan santri di PMII yang baru mengenal Aswaja dalam oraganisasi PMII. PC PMII Ngawi salah satu dari banyak cabang yang memiliki kultur Pondok Pesantren. Hal ini melihat banyaknya mahasiswa lokal Ngawi yang terdiri dari sebagian bersar alumni Pondok Pesantren yang kemudian menjadi kader PMII. Terutama pada tiga komisariat, yakni komisariat Ad-Dakhil, Staim Kendal dan Iai Ngawi yang memiliki basis kuantitas yang tinggi dari mahasiswa Pondok Pesantren. Sistem di perguruan tinggi di buat untuk menyesuaikan dengan aturan yang ada pada Pondok Pesantren, seperti masuk kuliah sore karena paginya diniyah atau sebaliknya masuk di pagi hari karena sore dan malamnya diniyah. Ada contoh kader PMII yang dari pondok Jambangan yang diniyah setelah waktu ashar sampai jam 10 malam, mamba’ul hikmah yang habis magrib sampai jam 11 malam. Hal ini terjadi karena banyak dari santri di Pondok Pesantren tersebut sebelum lulus diniyah harus sudah menyambung pendidikan formal sebagai mahasiswa dan kader PMII. Maka realitas pada seorang santri kader PMII harus mampu berjalan pada dua aturan, yakni aturan pondok pesantren dan civitas akademika, serta pembagian waktu dalam berproses di PMII. Terutama kader santri PMII ngawi memiliki typologi kader santri PMII yang belum menyelesaikan pendidikan diniyah, terutama pada rayon atau komisariat. Sehingga santri yang memiliki kewajiban belajar disiplin ilmu di perguruan tinggi harus membagi pikiran dan waktu untuk mengaji ataupun berkhidmat pada pondok pesantren dan mengasah diri PMII. PMII hadir dengan tujuan yang sama dengan pendidikan pondok pesantren, yakni tujuan untuk mengabdikan ilmu ke masyarakat. PMII bukan hanya menjadi pondok pesantren kedua tanpa bangunan yang memiliki kegiatan, ngaji, yasin, tahlil atau nilai2 yang dibawa dari pondok pesantren yang di follow up dalam agenda-agenda pada program kerja, akan tetapi santri PMII juga belajar akan ilmu sosial, politik, filsafat, epistemologi, dan ketrampilan-ketrampilan lainnya. Hal ini menjadi bahasan menarik, meskipun semangat sahabat-sahabat PMII dari pondok pesantren di Ngawi ini begitu antusias. Akan tetapi pada realitasnya sahabat-sahabat ini harus tunduk pada aturan dua lembaga pengikat tersebut. Kemudian agar tidak menimbulkan permasalahan negatif dalam berproses di PMII, kader PMII harus memposisikan sebagai pilihan solusi atas aktualisasi diri santri PMII setelah dia purna dari pondok pesantren dan perguruan tinggi untuk mampu terjuan ke masyarakat. Sehingga hal ini bukan menjadi rangsangan timbulnya perspektif, bahwa PMII menjadi menjadi kambing hitam dalam timbulnya suatu masalah di pondok pesantren ataupun di perguruan tinggi. Mau bagaimana pun, yang namanya pesantren mempunyai aturan normatif yang harus ditaati, yang membatasi ruang gerak santri, juga keterbatasan fasilitas dan informasi. Penulis paham betul masalah ini, karena penulis juga berdekatan dengan tradisi pondok pesantren dan sering diskusi dengan sahabat-sahabat santri PMII. Untuk ikut kegiatan saja harus mengeluarkan effort besar, apalagi untuk ikut demo. Terdapat efek negatif dalam kesalahan memproyeksikan PMII, tidak jarang memang kader PMII yang sekaligus merangkap santri tidak bisa sepenuhnya aktif di PMII, berproses atau menempa diri akibat keterbatasan yang menyelimuti mereka. Dari itu, perlu adanya tawaran segar supaya sekat penghalang ini tidak tampak menyeramkan. Sebagaimana tawaran pola kaderisasi yang dapat masuk kedalam pintu mereka dan keluar lewat pintu kita. Ruang akses santri PMII dalam berproses adalah pengembangan potensi dan skill, bisa dalam bentuk pelatihan public speaking, diskusi, menulis, atau pelatihan menjahit bagi kader Santriwati Kopri, pelatihan teknologi dan lainnya sebagai upaya meningkatkan produktivitas serta tak lupa untuk mengasah diskusi yang fundamental, dalam upaya merawat nalar. Hal ini sering dijumpai banyak kesulitan tentang ruang, waktu, transportasi atau segala macam fasilitas pendukung. Sehingga seharusnya kaderisasi jemput bola ke pesantren bukan menjadi penyurut para pengurus PMII untuk terus melanjutkan estafet kaderisasi. Selain itu, lanjutnya, tugas kita adalah memadukan keilmuan pesantren sebagai basis gerakan PMII. Kemudian menjaga nilai-nilai pendidikannya sebagai penguatan ideologi yang tak bisa dipisahkan dengan PMII yakni, Ahlusunah wal Jama’ah.