Anda di halaman 1dari 2

Kisah Penarik Becak di Karawang, Bertahan Usai Disisihkan Zaman

Karawang MR
Sebagai salah satu alat transportasi yang masih ada, becak mencoba bertahan di tengah perkembangan
zaman. Nasib para penarik becak kini tak sebagus dulu. Namun, mereka tetap berjuang hidup mengandalkan
otot kaki untuk menafkahi keluarganya. Salah satunya para penarik becak di kawasan Pasar Baru Karawang.
Kisah perjuangan itu datang dari Kosim (54) warga Poponcol, Desa Karawang Kulon, Kecamatan Karawang
Barat, Kabupaten Karawang. Kosim bercerita dia harus menghidupi kelima anggota keluarganya dengan
penuh keterbatasan, mengandalkan penghasilan seadanya selama belasan tahun. "Kalau jadi joki becak ini
kebetulan sudah 16 tahun, dulu mulai jadi joki (penarik) ikut teman sekitar tahun 2003," ujar Kosim, saat
ditemui di Pasar Baru Karawang, Rabu (2023).
Pada awal 2003, Kosim mengaku menjadi penarik becak merupakan profesi yang cukup menjanjikan.
Namun hal itu berubah drastis pada 2007 saat banyak masyarakat mampu membeli sepeda motor dan tarif
kendaraan umum yang semakin murah. "Dulu masih lumayan, sehari itu bisa sampai 20 penumpang. Kalau
awal-awal di tahun 2003 itu ongkos masih murah, 4 kilometer itu paling Rp5 ribu. Jadi sehari kadang saya
dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Uang segitu kan lumayan banyak di tahun 2003. Bandingannya
mungkin Rp300 ribu sekarang lah," kata dia.
"Hancurnya (penghasilan) sekitar tahun 2007, kan sudah banyak yang mampu membeli sepeda motor. Saat
itu juga mobil angkot mulai banyak, dan dengan rute yang dekat. Orang jadi mikir, daripada naik becak
Rp10 ribu tahun 2007 itu. Mending naik angkot cuma Rp2 ribu yah," sambungnya.
Kosim menyebut peran becak sebagai alat transportasi manusia mulai terkikis. "Sejak tahun 2007 sampai
sekarang ini, sehari kita dapat 2 kali narik penumpang saja sudah untung, paling saya manfaatkan waktu ikut
bongkar muat sayur, sama antar barang di pasar saja," ungkapnya.
Para penarik becak di Pasar Baru Karawang kini beralih kegiatan yang biasanya mangkal subuh hingga sore
hari berubah menjadi malam hari. "Sekarang datangnya malam, karena mobil sayur kan datang malam
bongkar muat, kalau ke sini lagi siang sampai sore itu bukan narik penumpang, tapi narik barang belanjaan
dari dalam pasar keluar pasar, itu saja yang masih bisa dikerjakan. Antar barang itu dari dalam keluar pasar
paling ongkosnya cuma Rp10 ribu ditambah bongkar muat," ucap Kosim.
Luput dari Perhatian Pemerintah
Becak juga tak dianggap resmi dan dianggap jadi biang kemacetan di jalanan, karena statusnya yang bukan
kendaraan bermotor. "Rute kita hanya dari dalam keluar pasar, sekalinya ke jalan raya, sering dibilang
macet. Kadang saya suka turun terus dorong. Kita juga nggak pernah dapat bantuan pemerintah semacam
teman kami sopir angkot dan ojek, dulu pas pandemi saya dengar mereka (sopir angkot dan ojek) dapat
bantuan sembako sedangkan kami tidak," keluh Kosim.
Selain itu, di jalan raya juga tak ada rute khusus untuk untuk becak. Sehingga para joki becak hanya
beroperasi di wilayah pasar saja. Seperti halnya di Jalan Ahmad Yani pusat Kota Karawang, hanya terdapat
rute sepeda selebar 80 sentimeter di samping kiri badan jalan. Rute tersebut juga tak cukup untuk becak
yang rata-rata memiliki lebar badan 120 sentimeter.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kabupaten Karawang Ade Syarifudin mengatakan pihaknya
membenarkan bahwa becak kerap luput dari perhatian pemerintah karena tak termasuk transportasi resmi.
"Kalau becak itu gak ada data di kami, soalnya itu kan sepeda," kata Ade
Ade juga menjelaskan penyebab tak resminya tasnportasi dikarenakan becak tak memberikan pajak kepada
pemerintah. "Yah kalau ojek atau angkutan darat lain seperti angkot, elf, itu jelas berpajak, becak mah
enggak, karena termasuk sepeda pake tenaga manusia bukan mesin," katanya.
Iyan Warsiyan

Anda mungkin juga menyukai