Menjadi Non-Muslim sepertinya bukanlah hal yang menyenangkan meskipun beragama
yang diakui oleh pemerintah di Republik Indonesia ini. Sebagaimana dialami oleh Slamet Jumiarto di Dusun Pleret, Bantul, Yokyakarta, dimana dia ditolak warga sekitar hanya karena dia beragama Katolik. Kejadian serupa bukan pertama kali terjadi, bahkan soal tempat tinggal orang yang telah matipun (Makam) bagi orang Non-Muslim sempat menjadi persoalan yang tidak sepeleh di negara ini. Belum lagi soal pelarangan beribadah dan atau pembangunan rumah ibadah serta intimidasi dan perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap umat beragama minoritas lainnya oleh sebagian kelompok masyarakat yang memakai label “muslim”. Peristiwa demi peristiwa ini mengantar kita pada satu pertanyaan penting yakni “Toleransi hanyalah suatu dimensi politik dan ideologi tanpa ada kenyataan sosial sama sekali?” Peristiwa-peristiwa intoleransi hanya sampai pada pernyataan sikap mengecam dan keprihatinan yang tanpa akhir dari semua stakeholder termasuk pemerintah dan bahkan masyarakat mayoritas muslim. Pernyataan sikap dan keprihatinan memang perlu, tetapi tindakan nyata toleransi itu yang lebih diperlukan, setidaknya bagi Slamet Jumiarto dan kaum minoritas lainnya. Pemilu 2019 merupakan dimensi politik yang dapat menjadi solusi tepat penyelesaian persoalan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Karena bangsa Indonesia ini sepertinya akan hancur bukan karena serangan militer negara asing, melainkan karena sikap primordial dan fanatisme berlebihan yang merasuk sesama anak bangsa untuk saling menyerang dan bersikap intoleransi. Akhirnya Pemilu 2019 menjadi penentu praktis toleransi wajib ada atau justru intoleransi makin berkembang meskipun hal itu bertentangan sama sekali dengan ideologi negara yakni PANCASILA. Bagaimana selanjutnya? Memilih dengan benar dan tepat Presiden dan Wakil Presiden serta Partai Politik bersama calon legislatif adalah upaya yang bisa dikatakan sebagai upaya terkahir kita. Tanpa basa-basi Pemilu 2019 ini adalah pertarungan ideologi, ini soal kebangsaan yang berideologi PANCASILA berhadapan dengan Sikap-Sikap nyata Intoleransi yang barangkali dibelakang itu diboncengi oleh kelompok-kelompok anti Pancasila yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan bentuk Pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 17 April 2019 nanti pilihlah Presiden dan Wakil Presiden yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara dan sebagai falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita tidak ingin negara ini dipimpin oleh pemerintah yang nilai PANCASILAnya diragukan sama sekali, yang hanya demi kekuasaan rela menggadaikan rasa nasionalisme dan menjilat kepada ormas-ormas terlarang seperti HTI dan ataupun ormas-ormas Islam lainnya seperti FPI yang secara nyata mau dan bersedia bersikap intoleran terhadap masyarakat minoritas lainnya. Kita tidak bisa memilih calon presiden dan wakil presiden yang tidak ada itikad baik sama sekali untuk merawat kebangsaan yang dengan perjuangan dan darah dikembangkan dan dipertahankan oleh the founding fathers di negara yang Berbhineka ini. Kita tidak bisa memilih calon presiden yang sama sekali tidak ada track record yang baik dalam memperjuangkan hak asasi manusia termasuk kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama bagi pemeluk- pemeluknya. Kita tidak bisa memilih presiden dan wakil presiden yang hanya bernafsu untuk berkuasa dan bahkan rela membagi-bagi kekuasaan itu kepada kelompok-kelompok anti PANCASILA, anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika, dan anti UUD NRI tahun 1945. Karena Pemilu 2019 ini adalah pertarungan Pancasila dan anti Pancasila maka mestinya, Partai yang kita pilih adalah Partai yang secara nyata berideologi dan berkelakuan PANCASILA. Pilih dan Coblos calon legislatif yang secara jelas berkomitmen untuk menjaga dan merawat nilai-nilai kebangsaan Indonesia yakni PANCASILA. Kita tidak memilih calon legislatif yang hanya menjual agama bahkan menjual tuhan untuk mendapatkan kekuasaan. Karena pemilu 2019 adalah pemilu yang mestinya jauh lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya, bukan hanya dari segi prosedural saja melainkan dari aspek substansial negara demokrasi dengan melahirkan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif yang dipilih oleh pemilih waras yang masih mayoritas di negara ini. Sehingga apa yang menjadi harapan kami masyarakat minoritas dalam beragama (mestinya tidak minoritas karena negara Indonesia adalah negara Pancasila, Bhineka Tunggal Ika) adalah hidup rukun dan damai bersama-sama sebagai anak bangsa Indonesia. Akhirnya hidup rukun dan damai, penuh dengan suasana toleransi sebagaimana tujuan hidup dalam negara Pancasila tergantung pada diri kita masing-masing. Jika kita masih waras maka kita akan memilih dan mencoblos Calon Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif yang berwawasan Pancasila. Siapakah mereka? Kita semua sama-sama tahu Sang Juara nomor berapa.