PROGRAM STUDI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PELITA BANGSA CIKARANG
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala rahmat dan kemurahan hati-Nya,
makalah ini dapat tersusun. Kami ucapkan pula terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat menjadi sumber ilmu dan memberikan dampak
positif kepada pembaca. Kami sungguh bersyukur apabila ilmu yang didapatkan dari makalah
ini dapat diamalkan dan diajarkan oleh pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
ditemukan, tidak lain dari keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Untuk itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Dalam perselisihan hubungan industrial, ada yang disebut bipartit dan tripartit.
Dan bagi kalangan pekerja/buruh, mungkin sudah sering mendengar kedua istilah
tersebut. Namun tidak sedikit pula dari kita yang belum mengetahui apa itu
bipartit dan tripartit. Bipartit dan tripartit sendiri terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU KETENAGAKERJAAN)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja). Di samping itu, juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU
PPHI) serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Perusahaan yang memiliki fokus pada sektor produksi barang akan berusaha untuk
memaksimalkan output yang dihasilkan dari faktor produksinya, termasuk dengan
melakukan kontrol proses kerja terhadap buruhnya. Di negara berkembang seperti
Indonesia, para buruh—sebagai bagian dari faktor produksi—dikontrol melalui
berbagai tindakan yang, seringkali, menyalahi aturan ketenagakerjaan dan
menjadikan para buruh tersebut tereksploitasi.
Hal tersebut berdampak pada berkurangnya hak-hak dan kesempatan sosial yang
dimiliki oleh para buruh. Eksploitasi di tempat kerja sangatlah erat dengan aspek-
aspek dari proses kerja yang tidak dipenuhi oleh perusahaan. Maka dari itu,
Politics of Production dalam bentuk saling respon antara buruh dan manajemen
perusahaan dapat terjadi dengan maksud mengubah proses kerja yang lebih
inklusif.
Kasus proses kerja yang terjadi di PT. Alpen Food Industry (PT. AFI) sebagai
produsen dari Es Krim AICE untuk melihat bagaimana aspek dari proses kerja
buruh. Adanya eksploitasi yang dilakukan oleh PT. AFI terhadap para pekerja
melalui dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang tertera di dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti jam kerja melebihi batas
8 jam per hari dan upah dibawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2017
sebesar Rp3.530.438 (Surjaya, 2016).
Keseluruhan buruh AICE merupakan buruh kontrak yang diberi upah pokok
sebesar Rp3.500.000,- perbulan untuk kemudian dipotong dengan perhitungan
upah pokok dibagi dengan jumlah hari kerja pada satu bulan (FSEDAR, 2017).
4
Proses kerja juga diperparah dengan status para pekerja produksi, dimana status
outsourcing menimbulkan efek fleksibilitas status kerja yang membuat perusahaan
juga fleksibel terhadap pemenuhan hak dan kewajiban pekerja. Kondisi ini telah
dialami oleh para buruh, setidaknya, selama 4 tahun—sejak tahun 2013 hingga
tahun 2017.
Setelah sekian lama bekerja di tempat yang sama, para buruh di PT AFI pun mulai
berani untuk mengungkapkan keresahannya kepada pihak manajemen perusahaan
pada tanggal 7 dan 16 Oktober 2017. Tetapi, keresahan ini diabaikan oleh pihak
manajemen yang mengakibatkan bertambahnya kekecewaan yang dialami oleh
para buruh.
5
terjadi kebuntuan proses industri, inilah yang menjadi pentingnya peran Lembaga
Kerjasanma Bipartit dalam sebuah perusahaan untuk menjaga proses industri agar
tetap lancar.
Melihat latar belakang diatas, maka kami selaku penulis merumuskan beberapa
permasalahan terkait Peran dan Fungsi Lembaga Bipatrit dan Tripatrit pada kasus
PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE)
A. Bagaimana peran dan fungsi lembaga Bipatrit dan Tripatrit dalam menanggapi
kasus tersebut?
B. Apa Peran pemerintah dan masyarakat dalam pembukaan kasus PT. ALPEN
FOOD INDONESIA (AICE)?
C. Apa saja pelanggaran yang dilakukan oleh PT. ALPEN FOOD INDONESIA
(AICE)?
D. Bagaimana proses negosiasi dan mediasi antara Para Buruh dan pihak
manajemen PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE)
III. TUJUAN
A. Untuk mengetahui peran dan fungsi lembaga Bipatrit dan Tripatrit dalan
menanggapi kasus PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE).
B. Untuk mengetahui peran pemerintah dan masyarakat dalam pembukaan kasus
PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE).
C. Untuk mengetahui pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh PT. ALPEN
FOOD INDONESIA (AICE)
D. Untuk mengetahui proses negosiasi dan mediasi antara para buruh dan pihak
manajemen PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE).
IV. MANFAAT
6
Makalah ini dibuat dengan harapan dapat memberikan pengetahuan tentang
peranan dan fungsi Lembaga Bipatrit dan Tripatrit, sehingga dapat menambah
wawasan terkait materi dalam mata kuliah Hubungan Industrial dan Hukum
Perburuhan. Yang diharapkan dapat dipahami dan dimengerti oleh
mahasiswa/mahasiswi
Selain itu, makalah ini dibuat dengan harapan dapat memberikan insight terkait
kasus yang menimpa para buruh dari PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE).
BAB II
TINJUAN LITERATUR DAN PUSTAKA
Bipartit dan tripartit sendiri terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Di samping itu,
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) serta peraturan perundang-undangan
lainnya. Secara terpisah, di bawah ini memberikan pengertian bipartit dan tripartit.
Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
Munculnya Bipartit dan Tripartit karena terjadi perselisihan. Baik itu perselisihan
hubungan industrial, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, maupun perselisihan antar serikat pekerja.
7
Sehingga, dari adanya perselisihan tersebut dilakukan perundingan bipartit dan
tripartit. Menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) menyebutkan bahwa:
Dalam hubungan industrial, kita mengenal yang disebut dengan Lembaga Kerjasama
Bipartit dan Lembaga Kerjasama Tripartit. Tidak semua orang, bahkan pekerja atau
pemberi kerja yang mengerti atau memahami fungsi dan maksud dari bipartit dan
tripartit itu sendiri.
Bipatrit dapat digunakan Sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan wakil serikat pekerja/buruh dan atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/ buruh. Sedangkan
Lembaga Tripartit adalah sebagai pihak yang memberikan pertimbangan, saran, dan
pendapat kepada Gubernur dan DPR dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
1. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Artinya, pada perusahaan
dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan
konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada
perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
2. Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
3. Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
8
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan
9
Tujuan adanya lembaga Bipatrit dan Tripartit dalam sebuah perusahaan dan daerah
adalah karena berorientasi pada Saat orang bekerja sama, mereka harus saling
bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Dalam proses ini, mereka
belajar untuk saling menghargai dan mengandalkan satu sama lain, sehingga
membangun kepercayaan yang kuat.
Tujua adanya Lembaga kerjasama ini diharapkan dapat menjalankan fungsi nya
sebagai forum komunikasi dan konsultasi pekerja dengan pengusaha dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan perusahaan untuk kesejahteraan buruh.
Dalam dunia ketenagakerjaan pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan
diwujudkan dalam prinsip tripartisme, suatu prinsip yang bertumpu pada semangat
bahwa kepentingan masing-masing unsur pelaku proses produksi yaitu pengusaha,
pekerja/buruh dan pemerintah menjadi kepentingan bersama. Kepentingan tersebut
adalah peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya serta terjaminnya
kelangsungan usaha.
Munculnya Bipartit dan Tripartit karena terjadi perselisihan. Baik itu perselisihan
hubungan industrial, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, maupun perselisihan antar serikat pekerja. Sehingga, dari
adanya perselisihan tersebut dilakukan perundingan bipartit dan tripartit.
Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Artinya, pada perusahaan dengan
jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan konsultasi
masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan
dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih, komunikasi dan
konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
Bipartit juga dibentuk sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah
10
Lembaga kerja sama tripartit diharapkan dapat memberikan pertimbangan, saran, dan
pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan. Sehingga dapat mencapai kesepakatan yang
disetujui bersama, agar tidak menimbulkan konflik kembali.
BAB III
PEMBAHASAN
Perselisihan tim manajemen Aice dan serikat buruh sudah berlangsung lama.
Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial. Sejak 2017,
SGBBI mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan
Undang-undang yang berlaku. Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap pada
2017 buruh mogok karena berbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan.
Misalnya, penurunan upah, kondisi kerja ibu hamil pada malam hari, kontaminasi
lingkungan, mutasi pekerja terhadap anggota serikat, hingga pemutusan hubungan
kerja (PHK). Perusahaan juga sering tidak proporsional memberikan hukuman. Ada
yang meninggalkan pekerjaan karena urusan serikat yang buru-buru, langsung ke SP-
3. Sedangkan ada yang 12 kali alpa, tidak dapat sanksi apa-apa.
Pada 2018, buruh Aice yang berstatus kontrak diangkat menjadi karyawan tetap,
namun hal ini tetap tidak mengubah keadaan dan kesejahteraan buruh Aice. Beban
kerja buruh pabrik Aice semakin ditambahkan. Penambahan beban kerja ini tidak
dibarengi dengan kondisi kerja yang baik, malah ada laporan pelanggaran aturan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
11
Poin lainnya yang dipermasalahkan oleh SKBBI, adalah jam kerja malam masih
diberlakukan kepada perempuan hamil meski telah dikeluarkan surat rekomendasi
oleh Komnas Perempuan. Hal itu menurutnya menjadi pemicu tingginya angka
keguguran karyawan wanita. Diketahui Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
menyatakan: Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil
yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00.
Sejak 21 Februari, 600 buruh pabrik es krim Aice di Cikarang, Jawa Barat, melakukan
pemogokan setelah perundingan soal upah yang berlangsung sejak pertengahan 2019
gagal mencapai persetujuan. Para buruh ini juga menyuarakan ketidakadilan yang
mereka terima dari pihak perusahaan, PT Alpen Food Industry (PT AFI), seperti
pengabaian kesehatan dan keselamatan pekerja, serta pemutusan hubungan kerja
secara sepihak.
Sejak 2019 hingga awal Maret 2020, ditemukan 15 insiden keguguran dan enam
insiden bayi lahir meninggal. Saat mengoperasikan mesin packing, buruh perempuan
harus berdiri selama delapan jam. Setiap 40 menit, mereka juga harus mengganti
gulungan plastik kemasan es krim dengan mengangkatnya dan memasangkan
gulungan seberat lebih dari 12 kilogram itu ke mesin packing.
LANGKAH PENYELESAIANN
Sejak 2 November 2017, 644 orang buruh yang berjasa dalam memproduksi es krim
ini melakukan mogok kerja. Mogok kerja akan dilakukan selama 15 hari hingga
tanggal 16 November 2017. Keputusan untuk mogok kerja ini diambil setelah dua
kali perundingan dengan pihak perusahaan mengalami jalan buntu.
Perwakilan dari pihak buruh ingin melaporkan kepada kementerian (tenaga kerja).
Agar AICE diaudit termasuk soal limbah. Karena pekerja tidak mau disuruh-suruh
buang limbah malam-malam atau memeriksa amoniak yang bocor keluar. Pekerja
juga bisa tunjukkan gorong-gorong di bawah tanah tempat limbahnya dibuang.
SGBBI mengajukan tuntutan kenaikan upah di tahun 2019 sebesar 15% dari sales di
tahun 2018 dengan alasan agar upah lebih manusiawi. Berdasarkan rumus yang
diajukan oleh buruh, upah yang diminta adalah sebesar Rp 11.623.616.
12
Sementara PT AFI mempersilahkan SGGBI mempertimbangkan di 2019 akan
diberikan bonus, ketimbang menuntut kenaikan upah di 2019. Dalam surat
kronologis, PT AFI menegaskan perusahaan bukan menjanjikan bonus di 2019.
PT Alpen Food Industry (AFI) menyatakan telah menerima dan tengah menjalankan
seluruh Anjuran dalam proses mediasi perselisihan hubungan industrial tentang
pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan para mantan pekerjanya. Tiga anjuran yang
dikeluarkan oleh Mediator Hubungan Industrial dari Dinas Ketenagakerjaan
Kabupaten Bekasi pada Agustus lalu tersebut terkait dengan proses PHK yang terjadi
atas tiga kelompok mantan pekerja perusahaan es krim nasional ini.
telah terjadi proses mediasi atas kasus perselisihan PHK yang terjadi pada kelompok
12, 72 dan 469 pekerja PT AFI dalam beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya pada
bulan lalu regulator ketenagakerjaan mengeluarkan tiga anjuran pada kasus tersebut.
Anjuran Mediator meliputi para pekerja yang dilanjutkan proses mediasinya sebanyak
4, 17 dan 461 pekerja.
13
BAB IV
KESIMPULAN
Setiap perusahaan atau pihak produsen pasti menginginkan keuntungan yang maksimal,
namun hal ini tidak bisa menjadikan pihak produsen semena-mena terhadap karyawan. Setiap
produsen harus memenuhi hak-hak karyawannya, mematuhi peraturan K3, dan beberapa hal
lain terkait pengupahan dan pemberian hak cuti. Hal ini dilakukan agar para karyawan yang
bekerja dapat menunjukkan loyalitas terhadap produsen.
Dalam kasus PT. ALPEN FOOD INDONESIA (AICE) ini, lembaga Bipartit dan Tripartit
sangat berperan penting dalam menangani kasus perselisihan antara para karyawan dan pihak
produsen. Adanya peran peraturan perundang-undangan serta keterlibatan pihak-pihak terkait
seperti dinas ketenagakerjaan kerjaan serta pemerintah setempat, membantu menyelesaikan
konflik yang terjadi.
Pihak Bipartit senantiasa mengadakan forum diskusi dan menjebatani antara karyawan yang
bermasalah dengan pihak produsen/ manajemen perusahaan, sebelum pada akhirnya tidak
menemukan titik terang yang kemudian naik melibatkan pihak ketiga yaitu; Tripartit.
Berakhirnya konflik ini, memang tidak dapat memenuhi segala tuntutan dari pihak
karyawan/butuh, namun dapat dijadikan pelajaran dan evaluasi bagi manajemen PT ALPEN
14
FOOD INDONESIA agar selalu senantiasa dapat mensejahterakan para karyawannya,
sehingga tidak terulang hal-hal serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Sugeng Adji Soenarso, Proses mediasi selesai, Alpen Food Industry penuhi anjuran regulator,
https://www.google.com/amp/s/amp.kontan.co.id/news/proses-mediasi-selesai-alpen-food-
industry-penuhi-anjuran-regulator
Elma Adisya, Magdalene Primer: Ada Apa dengan Aice,
https://magdalene.co/story/magdalene-primer-ada-apa-dengan-aice/
Hukum ekspert, Bipatrit dan Tripartit, https://hukumexpert.com/bipartit-dan-tripartit/?
detail=ulasan#google_vignette
CNN Indonesia, “Kronologi Serikat Buruh ‘Geruduk’ Manajemen Es Krim Aice”
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200229162547-92-479349/kronologi-serikat-
buruh-geruduk-manajemen-es-krim-aice#.
LKS TRIPARTIT NTB GELAR SIDANG, BAHAS 3 ISU PENTING,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://
disnakertrans.ntbprov.go.id/lks-tripartit-ntb-gelar-sidang-bahas-3-isu-penting/%23:~:text%3D
15
%25E2%2580%259CSesuai%2520tugas%2520dan%2520fungsi%2520LKS,kebijakan
%2520dan%2520pemecahan%2520masalah
%2520ketenagakerjaan.&ved=2ahUKEwiowpWI-
N6BAxX_1DgGHZH3AVoQFnoECA4QBQ&usg=AOvVaw0BkRGEAYcexqZtUDrVI9Se
Braatas, K. (2018). Case Studies and Lessons Learned from International Disasters: Don’t
Forget Your Employee. New York: Routledge.
Coombs, T. W., & Holladay, S. J. (2010). The Handbook of Crisis Communication (1st ed.).
Wiley-Blackwell.
Isna, T. D. (2020, September 28). Waduh!! Produsen Es Krim Aice Kena Geruduk Lagi!
Warta Ekonomi. https://www.wartaekonomi.co.id/read306315/waduh-produsen-es-krim-aice-
kena-geruduk-lagi
16