Penanggung Jawab:
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari
Chief Editor:
Siti Nurbaya
Editor:
Agus Justianto, Istanto, Krisdianto, Drasospolino, Khairi Wenda, Rahmat Budiono,
Deden Nurochman, Ja Posman Napitu, Drajad Kurniadi, Ristianto Pribadi, Fahrurrazi,
Kiki Mirdiawan, Dian Puspitarini, Arizia Dwi Handoko, Irwan Maulana.
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
i
KATA PENGANTAR
ii
management, environmental governance, dan carbon governance,”. Inti dari kegiatan
Indonesia FOLU Net Sink 2030 adalah kegiatan teknis di tingkat tapak melalui tiga
aksi prioritas. Pertama, aksi pengurangan emisi GRK, misalnya dengan mengurangi
deforestasi dan degradasi hutan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Kedua, aksi meningkatkan serapan emisi, dengan cara menjaga dan
mempertahankan kondisi tutupan hutan-hutan yang ada. Ketiga, meningkatkan
serapan emisi melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta membuat hutan-
hutan tropis baru.
Untuk mendukung aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan serapan emisi
GRK sektor kehutanan diperlukan tata kelola karbon, salah satunya melalui
perdagangan karbon. Perdagangan karbon dikembangkan karena dinilai berpotensi
mengurangi emisi GRK dengan biaya ekonomis. Pilihan pendekatan perdagangan
karbon penting bagi pembuat kebijakan yang akan menjadikan pasar karbon sebagai
upaya mendorong pengurangan emisi dalam satu atau beberapa sektor ekonomi.
Perdagangan karbon diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-
negara yang mampu mempertahankan hutan dan lingkungannya. Mekanisme
perdagangan karbon juga akan berkontribusi untuk mencapai target pengurangan
emisi GRK dan pencapaian Net Zero Emission secara global.
Direktur Jenderal
Pengelolaan Hutan Lestari,
iii
DAFTAR ISI
iv
VIII. PENUTUP .................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN ....................................................................................................... 53
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Estimasi biaya penurunan emisi sektor energi ..........Error! Bookmark not
defined.
DAFTAR GAMBAR
vi
GLOSSARY
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat GRK adalah gas-gas yang
dikeluarkan ke atmosfir baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia
(antropogenik) dan dapat menimbulkan pemanasan global.
Emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam
jangka waktu tertentu akibat aktivitas manusia atau kejadian alami.
Aksi Mitigasi Perubahan Iklim adalah kegiatan yang dapat mengurangi Emisi
GRK, meningkatkan serapan karbon dan/atau penyimpanan/penguatan cadangan
karbon.
Batas Atas Emisi GRK adalah tingkat Emisi GRK paling tinggi yang ditetapkan
dalam suatu periode tertentu.
Perdagangan Emisi adalah mekanisme jual beli karbon antara Pelaku Usaha yang
memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang ditentukan (defisit emisi)
dengan Pelaku Usaha dengan tingkat emisi di bawah batas atas emisi GRK yang
ditentukan (surplus emisi).
vii
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya disingkat PBPH
adalah perizinan berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai
dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan hutan.
Pengimbangan Emisi GRK yang selanjutnya disebut Offset Emisi GRK adalah
pengurangan Emisi GRK yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan untuk
mengkompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.
viii
Validasi adalah proses sistematis dan terdokumentasi oleh pihak yang tidak terlibat
dalam kegiatan mitigasi untuk memastikan bahwa rancangan pelaksanaan
kegiatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan
bisnis dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
ix
LAMPIRAN
x
I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim telah menjadi isu yang dikenal oleh banyak orang. Kejadian
cuaca ekstrim seperti banjir, kekeringan, dan badai semakin sering terjadi. Para
ilmuwan menyimpulkan bahwa pemanasan global disebabkan oleh peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. GRK , seperti karbon dioksida (CO2)
dan metana (CH4), dilepaskan oleh kegiatan manusia seperti pembakaran bahan
bakar fosil dan penebangan hutan. Jenis-jenis GRK lainnya adalah nitrous oxide
(N2O), gas-gas yag mengandung fluor seperti HFCs, perfluorocar-bons (PFCs),
and sulphur hexafluoride (SF6), and nitrogen triflouride (NF3).
Konsentrasi GRK di atmosfer terus meningkat karena kegiatan manusia. Untuk
menghitung dampak emisi GRK terhadap pemanasan global, digunakan unit
pengukuran yang disebut potensi pemanasan global (Global Warming Potential -
GWP). Karena jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfir adalah yang terbesar
dibandingkan dengan GRK lainnya, maka CO2 digunakan sebagai acuan relatif,
dengan nilai GWP = 1; sementara GRK lainnya memiliki nilai GWP yang jauh lebih
tinggi walaupun waktunya relatif lebih singkat dibandingkan CO2. Misalnya, metana
(CH4) memiliki GWP = 21, yang berarti 1 ton metana dapat menyebabkan pemanasan
global 21 kali lebih besar dibandingkan dengan 1 ton CO2.
1
baru (ENDC) sebesar 31,89% – 43,2% pada tahun 2030. Upaya ini melibatkan
kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan limbah.
2
II. PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN TARGET
PENURUNAN EMISI GRK NASIONAL
A. Sumber Pembiayaan
Pembiayaan pencapaian target penurunan emisi GRK Nasional dapat berasal
dari berbagai sumber yaitu dari mekanisme pasar maupun non-pasar. Pembiayaan
melalui mekanisme pasar dapat berasal dari perdagangan emisi dan Offset emisi.
Pembiayaan melalui mekanisme non-pasar dapat berasal dari anggaran pemerintah,
donor internasional (bilateral dan multilateral) maupun dari swasta. Saat ini, sumber
pembiayaan non-pasar yang berkembang lebih banyak didominasi oleh donor
internasional dan bersifat jangka pendek serta tidak mengikat.
3
PPN untuk barang modal, PPh DTP Geothermal, Pembebasan Bea Impor Barang
Modal) (BKF, 2018).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, dalam tahun anggaran 2018-
2020 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk perubahan iklim sebesar Rp
307,84 triliun. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa sejak
2018-2020, besarnya anggaran rata-rata untuk menangani perubahan iklim mencapai
Rp 102,65 triliun atau 4,3% per tahun 1.
Saat ini Kemenkeu sudah mengusulkan adanya pajak karbon sebagai salah
satu sumber penerimaan dan dapat digunakan nantinya untuk mendukung program
kegiatan penurunan emisi. Terminologi “pajak karbon” biasanya diterapkan atas
kandungan karbon, seperti misalnya pajak karbon yang dikenakan untuk bahan bakar,
atau atas emisi GRK langsung (direct emission). Dengan kata lain, obyek pajak akan
membayar pajak berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang ia
produksi/konsumsi atau berdasarkan jumlah emisi GRK yang ia lepaskan sesuai hasil
pengukuran dan verifikasi. Contoh negara-negara yang menerapkan pajak karbon
atas bahan bakar adalah Denmark, India, Jepang dan Meksiko. Sedangkan yang
menerapkan pajak atas emisi GRK adalah Chile dan Afrika Selatan. Sedangkan
terminologi “pajak atas karbon” mencakup variasi pajak karbon yang lebih luas seperti
pemberian insentif atau disinsentif pajak berbasis kinerja emisi, pertukaran pajak (tax
swap), pajak atas emisi tidak langsung, dan lain-lain.
1
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210330132332-4-233958/atasi-peru-bahan-iklim-
pemerintah-habiskan-dana-rp-307-t
4
antara lain Global Environment Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), Indonesia-
Norway Partnership, FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) Carbon Fund World
Bank, Bio Carbon Fund World Bank, Adaptation Fund, Bilateral and Multilateral
Agency, dan lain-lain.
Dalam hal RBP, saat ini Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan.
Hal ini ditunjukkan dengan disetujuinya proposal RBP REDD+ Indonesia dalam
kerangka Indonesia-Norwegia Partnership, Green Climate Fund (GCF) dan The World
Bank Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF), pada tahun 2020.
Pemerintah Norwegia menyetujui pembayaran sebesar USD 56 juta, Green Climate
Fund (GCF) menyetujui USD 103,8 juta dan Bank Dunia menyetujui komitmen
pembayaran berbasis hasil sebesar USD 110 juta untuk mendukung pengurangan
emisi di Indonesia.
Pembayaran tersebut dilakukan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan
Hidup (BPDLH) yang diresmikan oleh Pemerintah Indonesia pada Oktober 2019.
BPDLH dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Dana Lingkungan. Peraturan ini menyatakan bahwa dana
degradasi/pencemar lingkungan dan dana hibah konservasi akan dikelola oleh
pemerintah pusat dengan menggunakan skema BLU.
5
dan berperan aktif dalam pengurangan emisi tanpa terlalu banyak tergantung kepada
negara-negara lainnya.
B. Mekanisme Pembiayaan
Green sukuk digunakan untuk pembiayaan : (1) Energi terbarukan; (2) Efisiensi
Energi; (3) Ketahanan terhadap Perubahan Iklim untuk Wilayah dan Sektor yang
Sangat Rentan dan Pengurangan Resiko Bencana; (4) Transportasi Berkelanjutan;
(5) Pengelolaan Sampah dan Sampah untuk Energi; (6) Pengelolaan
Berkesinambungan atas Sumber Daya Alam; (8) Green Tourism; (9) Green Buildings;
(10) Sustainable Agriculture. Hasil net dari green sukuk akan dikelola dalam rekening
Pemerintah sesuai dengan kebijakan pengelolaan treasury yang sehat dan prudent.
Atas permintaan dari Kementerian/Lembaga, Dana hasil green sukuk akan dikreditkan
ke rekening yang ditunjuk dari kementerian terkait untuk mendanai proyek secara
eksklusif sebagaimana didefinisikan dalam Kerangka Kerja. Dana yang belum
digunakan karena adanya Penundaan proyek hijau akan dipegang dalam bentuk kas
di rekening umum Pemerintah di Bank Indonesia.
6
Sektor swasta diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pengendalian
emisi karbon dengan membangun proyek yang ramah lingkungan. Untuk mendukung
hal tersebut, Pemerintah telah menyediakan berbagai insentif fiskal seperti
menggunakan instrumen perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk bisa
meningkatkan peranan swasta dalam membangun berbagai proyek-proyek yang
sifatnya climate change friendly. Sebagai contoh adalah Kebijakan Pemerintah untuk
mendukung pengembangan energi baru terbarukan melalui pemberian stimulus.
Stimulus serupa juga akan diberikan kepada bidang usaha yang ramah lingkungan.
Beberapa stimulus yang telah tersedia yakni tax holiday, tax allowance, pembebasan
bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan
(PPh) ditanggung pemerintah (DTP), serta pengurangan pajak bumi dan bangunan
(PBB) untuk mendukung pengembangan proyek tenaga listrik bertenaga panas bumi
dan energi terbarukan lainnya2.
B.1.2 Donor Internasional
Pendanaan publik yang berasal dari luar negeri dapat berasal dari pendanaan
bilateral maupun multilateral melalui mekanisme hibah ataupun pinjaman. Pinjaman
untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur dengan mitigasi langsung dan manfaat
adaptasi (misalnya pembangkit listrik panas bumi, dan proyek rehabilitasi drainase),
sedangkan hibah diarahkan untuk membangun lingkungan yang memungkinkan dan
bentuk lain dari kesiapan. Kerjasama bilateral yang telah dijalin pemerintah Indonesia,
selama ini antara lain kerjasama dengan Kerajaan Norwegia, Pemerintah Jepang,
Korea, Denmark, dan lain-lain. Sedang pendanaan multilateral yang telah atau yang
dapat dimanfaatkan antara lain dengan FCPF-CF (Forest Carbon Partnership Facility-
Carbon Fund) World Bank, Adaptation Fund (AF), Global Environment Facility (GEF),
Green Climate Fund (GCF) dan lain-lain.
2
https://news.ddtc.co.id/beri-insentif-pajak-sri-mulyani-ajak-investor-bangun-proyek-ini-
30495?page_y=989.
7
akan memobilisasi dana lingkungan hidup yang bersumber dari dalam dan luar negeri
secara optimal, mengelola dana lingkungan hidup secara transparan dan akuntabel,
serta menyalurkan dana lingkungan hidup secara efektif dan efisien.
B.1.3. Swasta
Pembiayaan swasta murni, skema PPP (Public Private Partnership) dan CSR
merupakan bentuk-bentuk peluang dukungan pembiayaan dari sektor swasta secara
murni dan kerjasama dengan pihak-pihak lainnya tanpa melibatkan subsidi
pemerintah.
Pembiayaan secara blended finance merupakan kombinasi pembiayaan dari
publik, swasta, yang bisa melibatkan subsidi, pertama kali diperkenalkan di Indonesia
sejak awal tahun 2015, yang cakupan pihak-pihak yang terlibat lebih luas daripada
mekanisme pembiayaan secara KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha),
PINA (Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah) dan Skema PPP (Public
Private Partnership).
Contoh nyata blended finance di Indonesia adalah program perlindungan
keanekaragaman hayati laut Indonesia di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Komitmen blended finance telah dimulai sejak Desember 2018 melalui LOI Bappenas
(Program ICCTF) dan PT SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur) untuk insentif dukungan
pendanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam konservasi hayati laut. Untuk
sektor kehutanan, pihak swasta yang memberikan bantuan finansial dalam program
penurunan emisi di sektor kehutanan dapat diberikan insentif berupa pengurangan
8
pajak, kemudahan ijin dan insentif lainnya yang bersifat non-monetary. Dalam hal ini,
perlu diatur lebih lanjut terkait regulasi insentif yang akan diberikan kepada pihak-
pihak swasta yang akan terlibat dalam program penurunan emisi melalui mekanisme
pembiayaan blended finance di sektor kehutanan.
9
sebanyak 60 ton CO2, sedangkan perusahaan B sebanyak 40 ton CO 2. Akibatnya,
perusahaan A memiliki kewajiban untuk menutupi (Offset) defisit permits-nya
sebanyak 10 juta ton CO2 di pasar karbon, sedangkan perusahaan B dapat menjual
surplus permits-nya sebanyak 10 juta ton CO2 di pasar karbon.
Kedua perusahaan dapat bertransaksi di bursa karbon sesuai dengan status
permits yang dimiliki. Perusahaan A dapat membeli permits sebanyak 10 juta ton CO2
dari perusahaan B. Setelah transaksi selesai, jumlah permits perusahaan A menjadi
50 juta ton CO2, sesuai dengan jumlah permits yang diizinkan, dan perusahaan B
mendapatkan pendapatan dari penjualan permits-nya sebesar 10 juta ton CO2
dikalikan dengan harga pasar karbon yang berlaku atau disepakati.
Permits disediakan oleh pemerintah atau regulator. Permits dapat diperoleh
secara bebas/gratis dari pemerintah, atau perusahaan dapat memperoleh permits
melalui lelang (auction). Melalui lelang permits, pemerintah dapat memperoleh
penerimaan yang selanjutnya dapat digunakan untuk program yang berhubungan
dengan penurunan emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim (Irama, 2020).
Menurut Metcalf dan Weisbach (2009) Beberapa kelemahan skema C&T yaitu
berupa volatilitas harga karbon yang relatif tinggi (selisih sangat besar
antara harga terendah dan harga tertinggi dalam suatu waktu). Selain itu, Avi-Yonah
et al (2009) menyebutkan bahwa skema C&T lebih rumit karena harus menentukan
baseline, pembagian permits, monitoring perdagangan karbon, Offsetting emisi
karbon antar negara, dan juga perizinan transaksi komoditas berjangka (futures) yang
belum diatur oleh regulator.
Menurut ICAP (2019) beberapa negara/daerah/institusi yang sudah
menerapkan kebijakan C&T yaitu Negara Bagian California, China, Uni Eropa,
Kazakhstan, Korea Selatan, Selandia Baru, Provinsi Nova Scotia dan Kota Quebec di
Kanada, dan RGGI (Regional Greenhouse Gas Initiative).
Uni Eropa (EU ETS) mulai menerapkan skema C&T pada bulan Januari 2005.
EU ETS merupakan skema perdagangan karbon terbesar yang melayani 12.000
institusi di 25 negara. Satuan penurunan emisi karbon yang digunakan di EU ETS
disebut EU Allowances.
Menurut Deatherage (2011), skema Cap & Trade juga mempunyai karakteristik
untuk memanfaatkan fitur carbon Offsets (pengurangan karbon). Melalui fitur ini,
penurunan karbon dapat dibantu melalui Offset dari pihak lain yang berada di luar
bursa perdagangan karbon. Salah satu insentif yang mendasari munculnya fitur
10
carbon Offsets yaitu karena apabila target penurunan emisi karbon tidak terpenuhi,
maka terdapat pengenaan denda yang jumlahnya jauh lebih besar daripada biaya
yang harus dikeluarkan melalui carbon Offsets.
11
Kelemahan Carbon Offset ini adalah peluang terjadinya
kebocoran/leakage/displacement of emission. Karena sifatnya ex-post (akhir periode
kontrak), maka jika terjadi kebocoran/leakage/displacement of emission pada suatu
wilayah pada suatu waktu tertentu maka akan menyebabkan pengurangan
pembayaran/insentif yang diberikan. Semakin besar resiko
kebocoran/leakage/displacement of emission yang terjadi maka akan semakin besar
pula resiko pengurangan pembayaran/insentif yang diberikan. Perlu kerja keras
semua pihak untuk menjaga terjadinya kebocoran/leakage/displacement of emission
seminimal mungkin.
12
III. NILAI EKONOMI KARBON
13
(A) Setiap pelaku usaha/kegiatan mempunyai profil biaya mitigasi yang berbeda.
(B) Tanpa perdagangan, kedua pelaku usaha/kegiatan akan menghasilkan jumlah pengurangan emisi yang sama dengan
biaya yang berbeda.
(C) Dengan memanfaatkan perdagangan, kedua pelaku usaha/kegiatan akan menghasilkan jumlah pengurangan emisi
yang berbeda dengan biaya yang sama. Aksi mitigasi dengan biaya yang lebih rendah akan selalu dilakukan terlebih
dahulu sehingga total biaya mitigasi akan lebih rendah (cost-effective).
Gambar 1. Biaya mitigasi pelaku usaha/kegiatan tanpa dan ada perdagangan karbon
14
Dalam sistem perdagangan karbon atau yang biasa disebut juga sebagai
sistem cap and trade, setiap peserta pasar, umumnya pelaku usaha (perusahaan atau
organisasi), diharapkan mengurangi emisinya sesuai dengan batas atas emisi atau
emission cap yang telah ditetapkan. Praktek yang umum diterapkan adalah di awal
periode (biasanya awal tahun) setiap peserta pasar dialokasikan sejumlah izin emisi
karbon sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap), misal X
tonCO2. Di akhir periode, para peserta harus melaporkan jumlah emisi aktual yang
telah mereka lepaskan. Peserta yang melepaskan emisi lebih dari batas atas yang
telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli tambahan izin emisi dari
mereka yang izin emisinya tidak seluruhnya terpakai (surplus) sebagaimana
diilustrasikan dalam Gambar 2. Pelaku usaha/kegiatan yang diakhir masa yang
ditentukan tidak dapat memenuhi jumlah izin emisi maksimumnya (kekurangan izin
emisi dan tidak membeli izin emisi karbon dari pihak lain atau melakukan carbon
Offset), akan dikenakan sanksi, umumnya dalam bentuk denda.
15
MRV (Measurement, Evaluation and Verification) atau pengukuran/pemantauan,
pelaporan dan verifikasi. Kredit karbon ini kemudian digunakan oleh pembeli untuk
menghapus (Offset) emisinya sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi
tingkat emisi GRK-nya tanpa melakukan aksi mitigasi sendiri.
Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan jumlah pengurangan emisi atau
peningkatan penyerapan emisi GRK sebanyak satu ton CO 2. Bentuk-bentuk aksi
mitigasi yang dapat menghasilkan kredit karbon antara lain: pembangunan proyek
energi terbarukan, pengurangan emisi gas metana dari tempat pembuangan sampah,
atau kegiatan di bidang kehutanan tertentu yang terkait sekuestrasi (penyerapan
karbon).
16
Di Indonesia, RBP biasanya dikaitkan dengan insentif bagi kegiatan Reduction
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dalam kegiatan
REDD+, pelaku kegiatan/proyek (termasuk di negara) dapat memperoleh
pembayaran, misal dari semacam trustfund (dari berbagai negara maju) jika
kegiatan/proyek yang dilakukan berhasil menurunkan emisi GRK atau menyerap
kabon dengan jumlah tertentu. Perlu dicatat bahwa kegiatan terkait RBP tidak hanya
harus berasal dari kegiatan terkait REDD+. RBP dapat pula dilakukan berdasarkan
perjanjian dua pihak (misalnya antara masyarakat/organisasi di Indonesia dan pihak
luar negeri) dimana pihak pelaksana melakukan aksi mitigasi dan pihak lain memberi
insentif/pembayaran secara proporsional dengan jumlah hasil aksi mitigasinya.
17
B. Pasar Karbon Menurut Kesepakatan Paris
Dalam Persetujuan Paris, prinsipnya semua negara mempunyai target
penurunan emisi sehingga setiap hasil aksi mitigasi sudah seharusnya akan
digunakan untuk memenuhi target NDC terlebih dahulu. Berbeda dengan Protokol
Kyoto, tidak ada pengaturan spesifik tentang jenis-jenis perdagangan karbon yang
dapat diterapkan di bawah Persetujuan Paris. Setidaknya ada tiga skema yang tersirat
dalam Persetujuan Paris (Pasal 5 dan 6): pemanfaatan pembayaran berbasis kinerja
(RBP); kerjasama sukarela antara negara secara umum; penggunaan mekanisme
non-market (termasuk pajak atas karbon), dengan sebagai berikut:
a. Result-based Payment. Pasal 5 ayat (1) Persetujuan Paris mendukung dan
mendorong negara-negara untuk mengembangkan pembayaran berbasis
kinerja (RBP) untuk REDD+ di negara berkembang.
b. Cooperative Approach. Pasal 6 secara umum mengatur jenis dan framework
kerjasama antar negara (cooperative approaches), termasuk untuk mencapai
target NDC. Ada tiga substansi pokok dalam pasal tersebut: (a) bahwa negara
pihak dapat memilih untuk melakukan kerjasama secara sukarela (termasuk
dengan negara lain) untuk melakukan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi dan
pencapaian target NDC secara ambisius, serta mendorong pembangunan
berkelanjutan dan integritas lingkungan (Pasal 6 ayat (1)) dengan instrumen
yang disediakan oleh Pasal 6 ayat (2) dan (4).
Pasal 6 ayat (2) dan (3) mengatur mengenai permindahan pencatatan output
dari kegiatan mitigasi di suatu negara ke negara lain secara sukarela
(Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) dengan ketentuan
ketat untuk memastikan tidak terjadi pencatatan ganda (double counting) dari
transaksi dimaksud.
Pasal 6 ayat (4) mengatur mekanisme sukarela aksi mitigasi pada tingkat
proyek untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan aksi mitigasi. Pasal
6 ayat (2) dan (4) di atas dikategorikan sebagai instrumen pasar.
c. Instrumen Non-pasar. Pasal 6 ayat (8) menyatakan bahwa negara pihak
meyadari pentingnya melakukan pendekatan, antara lain, non-market seperti
transfer teknologi, peningkatan kapasitas, keuangan (misalnya pajak atas
18
karbon3) untuk mendorong partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam
mencapai target NDC.
3
https://www.wri.org/blog/2019/12/article-6-paris-agreement-what-you-need-to-know
19
untuk memberikan masukan pada upaya penetapan harga yang sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan oleh entitas yang melakukan upaya penurunan emisi.
Pada saat ini pemerintah telah memiliki regulasi tentang Nilai Ekonomi Karbon
(NEK) yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. NEK merupakan salah satu
bagian dari kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Harapannya,
melalui aturan ini dapat tercapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41%
pada 2030 dengan dukungan internasional, sekaligus mendukung pembangunan
rendah karbon. Pada prinsipnya, nilai ekonomi karbon merupakan salah satu
instrumen dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan
emisi gas rumah kaca, melalui pemilihan aksi adaptasi dan mitigasi yang paling
efisien, efektif, dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang
ditetapkan secara nasional.
20
tidak dimasukkan kembali dalam penghitungan.
Sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7
Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, kegiatan-
kegiatan yang termasuk dalam aksi mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut
sebagai berikut :
a. pengurangan laju deforestasi lahan mineral;
b. pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove;
c. pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral;
d. pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove;
e. pembangunan hutan tanaman;
f. pengelolaan hutan lestari;
g. rehabilitasi dengan rotasi;
h. rehabilitasi nonrotasi;
i. restorasi gambut;
j. perbaikan tata air gambut;
k. rehabilitasi mangrove;
l. aforestasi pada kawasan bekas tambang;
m. pembangunan persemaian permanen;
n. rehabilitasi tanaman di bawah 5 (lima) tahun;
o. konservasi keanekaragaman hayati;
p. perhutanan sosial;
q. pendampingan pada hutan adat;
r. introduksi replikasi ekosistem; pembangunan ruang terbuka hijau;
s. ekoriparian
t. dan penegakan hukum untuk mendukung perlindungan dan pengamanan
Kawasan Hutan; dan/atau
u. kegiatan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
21
mencerimankan/kebutuhan dana yang riil karena beberapa komponen untuk kegiatan
tersebut belum masuk dalam alokasi yang mampu disediakan oleh Pemerintah.
Sementara itu dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), dengan
mengacu pada target NDC dan rata-rata realisasi RHL, dapat disusun skenario
penurunan emisi. Dalam hal ini angka rata-rata realisasi RHL dianggap sebagai
Business As Usual (BAU). Penghitungan biaya untuk mencapai NDC dengan strategi
rehabilitasi hutan dan lahan dapat didekati dari pengeluaran pemerintah dalam
melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan (termasuk reboisasi). Strategi
utama NDC terkait dengan restorasi lahan gambut adalah dengan menargetkan untuk
merestorasi areal seluas 2 juta ha hingga tahun 2030 dengan tingkat kesuksesan
sebesar 90%. Biaya penurunan per ton CO2e emisi dari restorasi lahan gambut dapat
didekati dari besaran biaya restorasi gambut yang diperlukan, dengan turut
mempertimbangkan tingkat inflasi tahunan.
Selain pendekatan total cost, penetapan harga karbon (carbon pricing) dapat
mempertimbangkan tarif pajak karbon (carbon tax) dan harga pasar karbon (Emission
Trade System) di lingkup internasional. Secara teori, harga karbon harus di bawah
nilai tarif pajak karbon sehingga para wajib pajak karbon (buyers) akan lebih memilih
membeli unit karbon daripada membayar pajak karbon. Kondisi demikian akan
mendorong terciptanya iklim investasi hijau di sektor kehutanan.
Berdasarkan data World Bank (2023) tarif pajak karbon di dunia berkisar pada
angka $ 0,82 (Ukraina) hingga $ 155 (Uruguay) sedangkan harga pasar karbon
(Emission Trade System) berkisar antara $ 1,08 (Japan) hingga $ 96,30 (Uni Eropa).
Sesuai dengan Pasal 13 Undang Undang Nomor & Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, tarif pajak karbon di Indonesia ditetapkan lebih tinggi atau
sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp 30 per
kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
22
IV. KEBIJAKAN TATA KELOLA KARBON SEKTOR
KEHUTANAN
A. Pendahuluan
B. Dasar Hukum
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris di bawah
23
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Perubahan Iklim.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang diantaranya mengatur tentang
Bursa Karbon.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan , yang
diantaranya mengatur tentang Pajak Karbon.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah.
Dalam hal ini adalah usaha bersama antara daerah dengan daerah lain,
antara daerah dan pihak ketiga, dan/atau antara daerah dan Lembaga atau
Pemerintah daerah di luar negeri.
e. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai
Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan
Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam
Pembangunan Nasional.
f. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022
tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas
Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
g. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023
tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
h. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Kerja Sama Daerah dengan Pemerintah Daerah di Luar Negeri dan Kerja
Sama Daerah dengan Lembaga di Luar Negeri.
i. Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum
Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah.
j. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Sub Sektor
Pembangkit Tenaga Listrik.
k. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
168/MENLHK/PKLT/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other
Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
l. Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023
Tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerja Sama Karbon.
24
C. Tata Kelola Karbon
2. Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
telah teregistrasi dalam SRN PPI dilakukan melalui kegiatan yang mendukung
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang mencakup yaitu:
Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi PBPH yang
melaksanakan kegiatan Multiusaha Kehutanan yang di dalamnya terdapat kegiatan
usaha pemanfaatan jasa lingkungan penyerapan dan/atau penyimpanan (Rap/Pan)
karbon, maka pemegang PBPH harus menerapkan ketentuan terkait Nilai Ekonomi
Karbon, yaitu:
1. memiliki RKUPH MUK Jasling Rap/Pan Karbon yang disahkan, memiliki baseline
emisi GRK dan data cadangan karbon hutan sesuai peraturan perundang-
undangan.
2. mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam SRN PPI
sesuai peraturan perundang-undangan.
3. melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim untuk tercapainya target NDC
Indonesia.
4. menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) berdasarkan Rencana
Operasional (RO) Aksi Mitigasi FOLU, yang terintegrasi dengan RKUPH serta
melaksanakan kegiatan tahunan yang disusun oleh pelaku usaha, serta
memperhatikan Peta Jalan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
5. menghitung penurunan emisi GRK yang sesuai dengan prinsip measurable,
reportable, verifiable menurut aturan dan metode sesuai ketentuan perundang-
undangan.
27
6. terhadap capaian dan kinerja suatu Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, telah dilakukan
pengukuran, pelaporan dan verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, maka
diusulkan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) - GRK melalui proses
sertifikasi, dan SPE GRK tersebut dapat diperdagangkan atau ditukarkan antara
subsektor.
7. memperoleh otorisasi pemerintah untuk perdagangan karbon luar negeri.
8. menyediakan cadangan SPE-GRK yang telah diterbitkan untuk Offset Emisi GRK
dalam negeri dan Offset Emisi GRK luar negeri, sesuai ketentuan peraturan
perundangan. Penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) dilakukan untuk:
a. Perdagangan Emisi yang memiliki SPE-GRK;
b. Offset Emisi GRK dalam negeri:
c. Offset Emisi GRK luar negeri; dan
d. Offset Emisi GRK luar negeri di luar ruang lingkup NDC.
Besaran penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) ditetapkan dalam peta
jalan Perdagangan Karbon sektor Kehutanan yang ditetapkan oleh Menteri.
9. dalam hal PBPH yang dikenakan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku
Usaha (PTBAE-PU) memiliki emisi aktual berada di atas PTBAE-PU, Pelaku
Usaha harus melakukan pengimbangan dengan membeli Unit Karbon dari Pelaku
Usaha lain.
10. PBPH yang melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan mitra
pembeli dalam Perdagangan karbon, maka tidak mengakibatkan
pemindahtanganan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan ditetapkan
dengan dalam bentuk Perjanjian dalam Akta Notaris.
11. Dalam hal terjadi pemindahtanganan PBPH yang tidak sesuai ketentuan,
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
1. Perdagangan Emisi
a. penyusunan dan penetapan peta jalan Perdagangan Karbon sektor
Kehutanan;
b. penetapan penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer);
c. penetapan PTBAE pengelolaan gambut pada sub sektor pengelolaan gambut
dan mangrove;
28
d. penentuan PTBAE-PU;
e. penetapan kuota pengelolaan gambut pada sub sektor pengelolaan gambut
dan mangrove;
f. pengukuran emisi aktual;
g. penyampaian laporan PTBAE-PU;
h. verifikasi laporan PTBAE-PU;
i. laporan hasil Verifikasi.
29
E. Proses Bisnis Perdagangan Karbon Oleh PBPH
30
4. DRAM paling sedikit memuat:
a. Penjelasan tentang Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang diusulkan (Judul,
kegiatan, penanggung jawab, pihak pembeli, lokasi, durasi proyek, nara
hubung dan sebagainya,
b. Penerapan metodologi yang telah disetujui
c. Perhitungan Penurunan Emisi GRK (Baseline dan target dan potensi
penurunan emisi dan sebagainya)
d. Analisa Dokumen Lingkungan
e. Sumber Daya (Jumlah dana diperlukan, dana tersedia, sumber pendanaan,
struktur pendanaan-pinjaman, PMA, PMDN dan sebagainya)
f. Pustaka (Reference)
g. Lembar Struktur dan lembar Pemantauan (dilampirkan di DRAM)
h. Riwayat Perbaikan DRAM
5. Melakukan registrasi di SRN PPI yaitu Formulir DRAM: Penyampaian Proposal,
Pendaftaran di Web SRN, Pengisian Formulir DRAM/metodologi; Input data :
Profil Pelaku Usaha (integrasi ke SIPASHUT), Baseline atau PTBAE,
Pengurangan Emisi GRK
6. Tahap verifikasi dan validasi oleh validator pihak ketiga
7. Melaksanakan perdagangan karbon baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai
banyaknya SPE GRK. Khusus perdagangan luar negeri perlu dipastikan
penentuan perpindahan unit karbon, syarat target NDC pada Sub Sektor atau sub
Sub Sektor sudah tercapai dan dapat otorisasi Menteri.
Catatan : Perdagangan karbon sesuai dengan Peta Jalan Perdagangan karbon
sektor/sub-sektor Menyediakan side aside atau buffer untuk perdagangan
sebelum 2030:0-5% dari SPE-GRK untuk perdagangan dalam negeri; 10%-20%
dari SPE-GRK untuk perdagangan luar negeri; >=20% dari SPE-GRK,
perdagangan luar negeri kegiatan di luar ruang lingkup NDC. Dikembalikan
apabila 2 tahun berturut-turut target NDC sektor/sub-sektor tercapai (Pasal 7
Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022).
31
F. Larangan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
32
H. Laporan, Evaluasi Dan Pembinaan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
1. Pelaku Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
yang dilakukan oleh pemegang PBPH wajib menyampaikan laporan kegiatan
usahanya secara periodik setiap bulan.
2. Laporan disampaikan kepada Direktur Jenderal PHL dan ditembuskan kepada
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan
Kepala Balai.
3. Laporan disampaikan melalui SRN PPI dan sistem informasi yang dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (SIPASHUT) atau dalam
keadaan tertentu disampaikan secara luar jaringan.
4. Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan pelaporan dikenai sanksi
administrative
5. Laporan kegiatan usaha perdagangan karbon menjadi dasar Menteri
melakukan evaluasi kinerja terhadap:
a. realisasi pembangunan sarana prasarana usaha Perdagangan Karbon;
b. kebenaran metodologi usaha Perdagangan Karbon;
c. kebenaran perhitungan potensi karbon dari usaha Perdagangan Karbon;
dan
d. penggunaan dokumen dan persyaratan usaha Perdagangan Karbon.
6. Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh Direktur Jenderal dengan menugaskan
tim evaluasi kinerja Pelaku Usaha Perdagangan Karbon untuk memeriksa
kesesuaian laporan kegiatan dengan dokumen perencanaan dan
pemeriksaan lapangan.
7. Hasil evaluasi kinerja Pelaku Usaha dituangkan dalam berita acara dan
menjadi dasar tindak lanjut pembinaan. Evaluasi kinerja Pelaku Usaha
Perdagangan Karbon dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun
33
VI. FREQUENTLY ASKED QUESTION (FAQ)
34
yang berpartisipasi diwajibkan oleh undang-undang untuk berpartisipasi di
pasar dan memenuhi target pengurangan emisi karbon untuk memenuhi target
NDC.
Voluntary Carbon Market atau biasa disebut VCM adalah skema perdagangan
karbon antara pelaku bisnis, di mana salah satu pihak melakukan proyek
penurunan emisi sementara pihak lain membeli karbon kredit untuk melakukan
“Offsetting”. VCM tidak dibentuk oleh pemerintah dan pelakunya bersifat
sukarela. Tidak ada dasar hukum untuk berpartisipasi dalam VCM, tetapi
didasarkan pada komitmen sukarela untuk mengimbangi emisi mereka.
Pasar ini memungkinkan perusahaan, pemerintah, dan organisasi lain untuk
mengimbangi emisi karbon mereka secara sukarela, baik untuk memenuhi
tujuan keberlanjutan mereka sendiri ataupun untuk menunjukkan komitmen
mereka dalam mengurangi jejak karbon mereka. Contoh-contoh VCM adalah
ETS, VCS, Gold Standard, Plan Vivo, CCBS, dll
35
7. Apakah Paris Agreement (PA) itu?
Paris Agreement (PA) atau Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang
mengikat secara hukum tentang pengendalian perubahan iklim. PA diadopsi
oleh 196 Negara Pihak yang meratifikasi UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change), dimana Indonesia menjadi salah satu negara
anggotanya. PA disahkan secara aklamasi oleh Para Pihak (Party countries)
pada Konferensi Perubahan Iklim PBB yang disebut Conference of the Parties
(COP) UNFCCC ke 21 tahun 2015 di Paris, Prancis, dan mulai diberlakukan
mulai tanggal 4 November 2016.
12. Kegiatan kehutanan apa saja yang bisa dimasukkan untuk menunjang
target NDC dan kredit karbonnya bisa dijual?
37
Pengelolaan Hutan Meningkatkan regenerasi hutan
Lestari alam / Teknik SILIN
Rehabilitasi hutan dengan rotasi
Rehabilitasi Hutan
Rehabilitasi hutan tanpa rotasi
Restorasi lahan gambut
Pengelolaan lahan
gambut Restorasi tata air gambut
Peningkatan hutan
konservasi Konservasi biodiversitas
13. Apakah yang dimaksud dengan LTS-LCCR, serta FOLU Net Sink 2030?
Paling tidak terdapat tiga Pasal atau Article yang harus dipahami terkait dengan
perdagangan karbon hutan, yaitu Article 4 tentang Nationally Determined
Contribution (NDC), Article 5 tentang REDD+, dan Article 6 tentang mekanisme
perdagangan karbon.
39
• Pengembang/ Manajer proyek harus menggunakan metodologi yang
disetujui UNFCCC; atau yang ditetapkan Direktur Jenderal; atau yang
ditetapkan Badan Standarisasi Nasional kemudian harus mendapatkan
persetujuan otorisasi Menteri untuk penjualan kredit unit karbonnya.
• Pasal 6.4 menyebutkan bahwa mekanisme ini mirip dengan perdagangan
karbon di bawah Protokol Kyoto, jauh sebelum disepakatinya Paris
Agreement yang disebut Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism - CDM). CDM membuat aturan seputar jenis
kegiatan dan metodologi apa yang diperbolehkan, kemudian harus
diverifikasi, dan aturan-aturan2 lainnya. Jadi pada dasarnya Mekanisme 6.4
yang baru akan mengikuti pendekatan terpusat yang serupa dengan CDM
Kyoto Protokol tetapi dengan pendekatan dan metodologi yang
disempurnakan.
41
20. Kapan Corresponding Adjusment (CA) harus diterapkan?
21. Apakah tahapan yang harus dilalui sebelum kegiatan perdagangan karbon
domestik dan internasional (Voluntary dan Mandatory) dapat dilaksanakan
pada Kawasan PBPH?
42
No Kegiatan Pelaksana Keterangan
3 Validasi DRAM Validator Hasil validasi dituangkan dalam
laporan dan dicatatkan pada SRN
4 Koreksi dan Perbaikan DRAM Pelaku Usaha DRAM yang telah diperbaiki
dicatatkan kembali pada SRN
5 Pengesahan DRAM KLHK
DRAM atau Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi yang sebelumnya disebut Project
Design Document (PDD) adalah usulan kegiatan mitigasi yang dirancang untuk
menggambarkan rencana kegiatan aksi mitigasi pengurangan emisi GRK
maupun peningkatan serapan emisi GRK dalam suatu Kawasan PBPH. DRAM
berisi informasi dan penjelasan bagaimana rencana kegiatan penurunan emisi
GRK maupun peningkatan serapan emisi GRK akan dilakukan, termasuk
metodologi perhitungan yang digunakan, penentuan baseline, dampak
lingkungan, serta data dan informasi pihak pengusul kegiatan tersebut. DRAM
disusun dengan mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2022.
Penyusunan DRAM bertujuan untuk memudahkan pelaksana aksi mitigasi dalam
proses pengurusan untuk memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) yang
kemudian dapat diperjual belikan/diperdagangkan.
Baseline adalah emisi GRK yang dijadikan sebagai referensi (acuan) untuk
mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan aksi mitigasi dalam rangka
penurunan emisi GRK dalam suatu Kawasan PBPH. Baseline menggambarkan
tingkat emisi gas rumah kaca di masa depan tanpa adanya upaya apa-apa atau
biasa disebut dengan skenario BAU (Business as Usual).
FREL atau Forest Reference Emission Level adalah tingkat rujukan emisi hutan
yang menjadi Baseline dalam menentukan tingkat serapan suatu kegiatan
penurunan emisi dalam kawasan hutan, baik di tingkat nasional maupun sub
nasional. FREL Nasional pertama (FREL 1) telah melalui proses penilaian teknis
pada tahun 2016 dan secara hukum telah digunakan sebagai acuan dalam
mengukur kinerja REDD+ untuk mendapatkan Pembayaran Berbasis Hasil
(RBP) periode 2013 – 2020. FREL Nasional 1 mencakup 2 kegiatan, yaitu
deforestasi dan degradasi hutan, termasuk dekomposisi lahan gambut di wilayah
yang mengalami deforestasi dan degradasi hutan.
44
Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam
Pembangunan Nasional.
b. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022
tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas
Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
c. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023
tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
168/MENLHK/PKLT/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other
Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
e. Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023
Tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerja Sama Karbon
Mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui
kegiatan jual beli unit karbon. Secara umum proses dari perdagangan karbon
adalah unit Kehutanan yang menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan
Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU), maka diharuskan membeli
emisi dari unit Kehutanan yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU
(surplus) dan/atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK) melalui
mekanisme Offset emisi GRK.
45
BELI JUAL
Emisi GRK
Yangdikeluarkan
Emisi GRK
Yangdikeluarkan
Defisit Surplus
Harus membeli allowance/kuota Bisa menjual allowance/kuota
emisi atau karbon kredit emisinya pada perusahaan lain
Off-set Emisi
ICER
USD
33. Apakah yang dimaksud dengan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi
Gas Rumah Kaca Kehutanan (PTBAE)?
Persetujuan teknis yang ditetapkan oleh Menteri LHK mengenai tingkat Emisi
GRK Kehutanan paling tinggi yang ditetapkan dalam suatu periode tertentu.
Dengan kata lain, PTBAE adalah batas satas (cap) emisi GRK dari Sektor
Kehutanan, Sub Sektor Gambut dan Mangrove
Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi PBPH yang
melaksanakan kegiatan Multi Usaha Kehutanan (MUK) yang di dalamnya
terdapat kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (jasling) penyerapan
dan/atau penyimpanan (Rap/Pan) karbon, maka pemegang PBPH harus
menerapkan ketentuan terkait Nilai Ekonomi Karbon, yaitu:
a. memiliki RKUPH MUK Jasling Rap/Pan Karbon yang disahkan, memiliki
baseline emisi GRK dan data cadangan karbon hutan.
b. mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam SRN PPI
sesuai peraturan perundang-undangan.
c. melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim untuk tercapainya target NDC
Indonesia.
d. menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) berdasarkan Rencana
Operasional (RO) Aksi Mitigasi FOLU, yang terintegrasi dengan RKUPH serta
47
melaksanakan kegiatan tahunan yang disusun oleh pelaku usaha, serta
dengan memperhatikan Peta Jalan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
e. menghitung penurunan emisi GRK yang sesuai dengan prinsip MRV
(Measurable, Reportable, Verifiable) menurut aturan dan menggunakan
metode yang sesuai dengan standar nasional dan dalam hal telah ada metode
yang diterapkan, agar dilakukan penyesuaian kompatibilitasnya.
f. terhadap capaian dan kinerja suatu Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, telah
dilakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim,
maka diusulkan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) - GRK melalui
proses sertifikasi, dan SPE GRK tersebut dapat diperdagangkan atau
ditukarkan antara sub-sektor.
g. memperoleh otorisasi pemerintah untuk perdagangan karbon luar negeri.
h. menyediakan cadangan SPE-GRK yang telah diterbitkan untuk Offset Emisi
GRK dalam negeri dan Offset Emisi GRK luar negeri, sesuai ketentuan
peraturan perundangan. Penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer)
dilakukan untuk:
1. Perdagangan Emisi yang memiliki SPE-GRK;
2. Offset Emisi GRK dalam negeri:
3. Offset Emisi GRK luar negeri; dan
4. Offset Emisi GRK luar negeri di luar ruang lingkup NDC.
Besaran penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) ditetapkan dalam
peta jalan Perdagangan Karbon sektor Kehutanan yang ditetapkan oleh
Menteri.
i. dalam hal PBPH yang dikenakan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku
Usaha (PTBAE-PU) memiliki emisi aktual berada di atas PTBAE-PU, Pelaku
Usaha harus melakukan pengimbangan dengan membeli Unit Karbon dari
Pelaku Usaha lain.
j. PBPH yang melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan mitra
pembeli dalam Perdagangan karbon, maka tidak mengakibatkan pemindah
tanganan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan ditetapkan dengan
dalam bentuk Perjanjian dalam Akta Notaris.
k. Dalam hal terjadi pemindah tanganan PBPH yang tidak sesuai ketentuan,
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
48
35. Apakah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK)?
SPE-GRK adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau
kegiatan yang telah melalui Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi, atau
Measurement, Reporting, and Verification serta tercatat dalam Sistem Registri
Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dalam bentuk nomor
dan/atau kode registri. Untuk keperluan perdagangan karbon, Sertifikat
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) diterbitkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sertifikasi pengurangan emisi juga
dapat diterbitkan oleh lembaga sertifikasi lain dan dapat dinyatakan setara
dengan SPE-GRK melalui kerja sama saling pengakuan oleh KLHK.
36. Apa saja yang dapat dijadikan sebagai Offset Emisi GRK di perdagangan
karbon sub-sektor Kehutanan?
Semua kegiatan aksi mitigasi indonesia’s Folu Net Sink 2030, mulai dari RO 1
s.d. RO 12, yaitu : 1. Pencegahan Deforestasi Mineral (RO1); 2. Pencegahan
Deforestasi Gambut (RO2); 3. Pencegahan Degradasi Konsesi (RO3); 4.
Pembangunan Hutan Tanaman (RO4); 5. Penerapan Pengayaan Hutan Alam
(RO5); 6. Penerapan RIL-C (Pengurangan Dampak Pembalakan) – (RO6); 7.
Peningkatan Cadangan Karbon dengan Rotasi (RO7); 8. Peningkatan Cadangan
Karbon tanpa Rotasi (RO8); 9. Pengelolaan Tata Air Gambut (RO9); 10.
Pelaksanaan Restorasi Gambut (RO10); 11. Perlindungan Areal Konservasi
Tinggi (RO11); dan 12. Pengelolaan Mangrove (RO12).
37. Berapa acuan harga karbon bagi pelaku usaha yang ingin bertransaksi
perdagangan karbon?
49
VIII. PENUTUP
Nilai Ekonomi Karbon (NEK) akan menjadi salah satu instrumen untuk
mengurangi emisi GRK di Indonesia. Dua instrumen NEK yang digunakan adalah
instrumen perdagangan dan non perdagangan. Instrumen perdagangan emisi (Cap
and trade) muncul untuk melengkapi carbon tax, yaitu penetapan level emisi oleh
pemerintah dan harga emisi ditentukan oleh pelaku usaha. Instrumen non
perdagangan mencakup pajak/pungutan atas karbon (carbon tax) dimana harga
karbon ditentukan oleh pemerintah dan level emisi diserahkan kepada pelaku usaha.
Instrumen perdagangan emisi akan memunculkan pasar karbon yang mampu menjadi
sumber pendanaan untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK)
maupun penyerapan/penyimpanan emisi GRK di bawah payung kesepakatan
pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Ruang bagi pasar karbon
agar tetap terbuka juga tak lepas dari perlu didorongnya peran Aktor di Luar Negara
(Non State Actors), seperti swasta dan pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam
mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, pengendalian perubahan iklim memerlukan
kerjasama seluruh pihak di tingkat nasional, daerah sampai ke tingkat tapak dengan
melibatkan masyarakat secara luas.
50
DAFTAR PUSTAKA
Avi-Yonah, Reuven S., dan David, M. U. 2009. Combating Global Climate Change:
Why A Carbon Tax Is A Better Response To Global Warming Than Cap and
trade, Stanford Envir. Law J., Vol. 28(3).
Badan Kebijakan Fiskal. 2018. Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia. Bahan
Paparan Workshop Pendanaan Perubahan Iklim, 16 Januari 2018.
Kementerian Keuangan.
Bappenas. 2010. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
Beetz S, Liebersbach H, Glatzel S, Jurasinski G, Buczko U, Hoper H (2013) Effects of
land use intensity on the full greenhouse gas balance in
an Atlantic peat bog. Biogeosciences 10: 1067-1082.
https://doi.org/10.5194/bg-10-1067-2013.
Carbon Market Watch. nd. Carbon Market 101. The Ultimate Guide to Global
Offsetting Mechanisms. Carbon Market Watch.
Damanhuri, Enri. 2008. A Future Prospect of Municipal Solid Waste Management in
Indonesia. The 5th Asian-Pacific Landfill Symposium in Sapporo, Japan.
Deatherage, S. D. 2011. Carbon trading Law and Practice, Published by Oxford
University Press, Inc.
[Direktorat MSSR] Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional (2017).
Menuju Operasionalisasi Pendanaan Iklim. Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
[Ditjen PPI] Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Menuju
Operasionalisasi Pendanaan Iklim. Ditjen PPI-Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan
Djaenudin D., Ginoga, K.L., dan Purnomo, H., (Ed.). 2014. Sintesis Penelitian
Integratif Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor,
Indonesia.
https://news.ddtc.co.id/beri-insentif-pajak-sri-mulyani-ajak-investor-bangun-proyek-
ini-30495?page_y=989). Diunduh tanggal 17 Juni 2021.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210330132332-4-233958/atasi-perubahan-
iklim-pemerintah-habiskan-dana-rp-307-t. Diunduh tanggal 17 Juni 2021.
Husen, M.A.M. 2018. Implementasi Perdagangan Karbon Indonesia-Jepang Dalam
Skema Joint Crediting Mechanism (JCM) 2013-2015. Journal Ilmu Hubungan
Internasional, Vol. 6(1).
International Carbon Action Partnership. ETS Brief #8. April 2019.
Irama, A. B. 2020. Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan
Keuangan Negara. Info Artha Vol. 4 (1).
51
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2017). Pendanaan NDC
sektor energi. Makalah disampaikan pad Workshop Pendanaan NDC sektor
energi, 24 Juli 2017.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017.
P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation, Role of
Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest
Carbon Stocks.
Kumar P, Imam B (2013) Footprints of air pollution and changing environment on the
sustainability of built infrastructure. Sci Total Environ 444: 85-101. doi:
10.1016/j.scitotenv.2012.11.056
Kumar P, Adelodum AA, Khan MF, Krisnawati H, Garcia-Menendez F (2020) Towards
an improved understanding of greenhouse gas emission and fluxes in tropical
peatlands of Southeast Asia. Sustainable Cities and Society 53: 101881.
https://doi.org/10.1016/j.scs.2019.101881
Metcalf, G. dan Weisbach, D. 2009. The Design Of A Carbon Tax. John M. Olin Law
& Economics Working Paper No. 447 (2d Series), Public Law and Legal Theory
Working Paper No. 254, The Law School The University Of Chicago.
Myhre, G., D. Shindell, F.‐M. Br on, W. Collins, J. Fuglestvedt, J. Huang, D. Koch, J.‐
F. Lamarque, D. Lee, B. Mendoza, T. Nakajima, A. Robock, G. Stephens, T.
Takemura and H. Zhang, 2013: Anthropogenic and Natural Radiative Forcing.
In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.‐K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J.
Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
PMR. 2018. Pasar Karbon: Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan
Iklim. PMR dan UNDP. Jakarta.
Republic of Indonesia (2016) First Nationally Determined Contribution Republic of
Indonesia. Jakarta: Government of the Republic of Indonesia.
World Bank. (2018). World Development Indicators.
52
LAMPIRAN
Penentuan besaran jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri Pelaku Usaha dilakukan melalui mekanisme antara lain Perdagangan Emisi
dan Offset Emisi GRK.
Penentuan besaran jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri dilakukan untuk:
A. PERDAGANGAN EMISI
Penetapan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri melalui Perdagangan Emisi atau yang disebut dengan KPE bagi Pelaku
Usaha yang target NDC sub sub sektor telah tercapai dilakukan, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
EA PU
KPE = ----------------- x (∑ TP PTBAE - ∑ TEA )
∑ EA PU
Keterangan:
KPE = jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Emisi luar
negeri Pelaku Usaha
EA PU = emisi aktual di bawah PTBAE Pelaku Usaha
∑EA PU = total emisi aktual di bawah PTBAE-PU
∑TP PTBAE = total PTBAE PU
∑TEA = total emisi aktual
Dengan Contoh sebagai berikut:
Pelaku PTBAE Emisi Emisi Aktual Emisi Aktual Kuota
Usaha PU (Ton Aktual di bawah di atas (Ton
CO2e) (Ton CO2e) PTBAE PU PTBAE PU CO2e)
(Ton CO2e)*) (Ton CO2e)
1 2 3 4 5 6
A 30 15 15 10
B 70 90 -20 0
C 40 10 30 20
D 60 45 15 10
Jumlah 200 160 60 -20 40
53
Keterangan:
*) : diterbitkan dalam bentuk SPE-GRK atas hasil Validasi data dan rencana
kegiatan rendah emisi dan/atau rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim
yang telah diverifikasi dengan kinerja surplus PTBAE-PU.
Contoh perhitungan:
Penghitungan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan:
total PTBAE-PU (∑ TP PTBAE) : 200 Ton CO2e
total emisi aktual (∑TEA) : 160 Ton CO2e
emisi aktual di bawah PTBAE Pelaku Usaha (EA PU) : 15 Ton CO2e
total emisi aktual di bawah PTBAE-PU (∑EA PU) : 60 Ton CO2e
Penghitungan:
jumlah tertinggi yang dapat dilakukan A = 15/60 x (200-160)
= 10 Ton CO2e
B. OFFSET EMISI GRK
Penetapan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri melalui Offset Emisi GRK bagi Pelaku Usaha yang target NDC sub sub
sektor (unconditional yaitu kerja sama dengan luar negeri) telah tercapai
dilakukan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
CS PU
KO = x ( ∑TEA - ∑TPE )
∑CS PU
Keterangan:
KO = jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon
melalui Offset Emisi GRK luar negeri Pelaku Usaha
TEA = hasil inventarisasi penurunan emisi aktual Pelaku Usaha
TPE = target penurunan emisi Pelaku Usaha
CS PU = capaian pengurangan emisi (surplus) Pelaku Usaha
∑TEA = total hasil inventarisasi penurunan emisi aktual
∑TPE = total target penurunan emisi Pelaku Usaha
∑CS PU = total capaian surplus Pelaku Usaha (TPE – TEA)
54
Dengan contoh sebagai berikut:
Target Capaian
Tingkat
Pengurangan pengurangan Capaian
Tingkat emisi penurunan KO
Pelaku Emisi emisi pengurangan
baseline emisi aktual (Ton
Usaha (TPE) *) (surplus) emisi defisit
(Ton CO2e) (TEA) CO2e)
(CS PU) (Ton CO2e)
(Ton CO2e)
(Ton CO2e) (Ton CO2e)
1 2 3 4 5 6 7
A 15 30 45 15 10
B 90 70 50 -20 0
C 10 40 70 30 20
D 45 60 75 15 10
Jumlah 160 200 240 60 -20 40
Contoh Perhitungan:
Penghitungan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan:
Total target penurunan
emisi Pelaku Usaha (∑TPE) : 200 Ton CO2e
Total hasil inventarisasi
penurunan emisi aktual (∑TEA) : 240 Ton CO2e
Capaian Surplus PU-A (CS PU) : 15 Ton CO2e
Total Capaian Surplus PU (∑CS PU) : 60 Ton CO2e
Penghitungan:
jumlah tertinggi yang dapat dilakukan A = 15/60 x (240 – 200)
= 15/60 x 40
= 10 Ton CO2e
55