Anda di halaman 1dari 66

BUKU PINTAR

TATA CARA PERDAGANGAN KARBON


SEKTOR KEHUTANAN
Pengarah:
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Penanggung Jawab:
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari

Tim Penyusun & Kontributor:


Haruni Krisnawati, I Wayan Susi Dharmawan, Deden Djaenudin, Yanto Rochmayanto,
Virny Budi Arifanti, Mimi Salminah, Doddy S. Sukadri.

Chief Editor:
Siti Nurbaya

Editor:
Agus Justianto, Istanto, Krisdianto, Drasospolino, Khairi Wenda, Rahmat Budiono,
Deden Nurochman, Ja Posman Napitu, Drajad Kurniadi, Ristianto Pribadi, Fahrurrazi,
Kiki Mirdiawan, Dian Puspitarini, Arizia Dwi Handoko, Irwan Maulana.

Penerbit:
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

i
KATA PENGANTAR

Perubahan iklim merupakan fenomena pemanasan global, dimana terjadi


peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer yang berlangsung dalam jangka
waktu yang lama. Penyebab utama terjadinya perubahan iklim, adalah pemanasan
global yang diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer Bumi
yang mengubah peran sebagai bentuk efek rumah kaca. Aktivitas manusia saat ini
mendorong perubahan iklim melalui pemanasan global yang akan berdampak kepada
peningkatan tinggi permukaan air laut, meningkatnya jumlah bencana alam,
pergeseran rentang geografis, dan kerusakan ekosistem.
Saat ini berbagai pihak pun mendorong pengendalian perubahan iklim melalui
menekan emisi gas rumah kaca secara global dengan dinaungi kesepakatan global,
salah satunya Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian Paris merupakan
perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim yang
diadopsi oleh 196 Negara pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris,
Prancis, pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016.
Implementasi Perjanjian Paris membutuhkan transformasi ekonomi dan sosial
dengan menyampaikan rencana aksi iklim nasional atau kontribusi yang ditentukan
secara nasional (Nationally Determined Contribution). Setiap negara
mengkomunikasikan tindakan yang akan mereka ambil untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca (GRK) guna mencapai tujuan Perjanjian Paris. Negara-negara juga
mengkomunikasikan dalam tindakan NDC mereka yang akan mereka ambil untuk
membangun ketahanan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris
memiliki target penurunan emisi GRK (NDC) sebesar 29% dari Business As Usual
(BAU) dan bisa mencapai 41% apabila ada dukungan international. Bahkan dengan
Enhanced NDC (ENDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi nasional yang
lebih ambisius, yaitu naik menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% pada
tahun 2030 jika dengan bantuan asing.
Dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK sesuai ENDC, sektor
kehutanan memiliki porsi terbesar dari total kewajiban Indonesia untuk menurunkan
emisi GRK nya. Dasar pijakan utama sektor kehutanan, antara lain: sustainable forest

ii
management, environmental governance, dan carbon governance,”. Inti dari kegiatan
Indonesia FOLU Net Sink 2030 adalah kegiatan teknis di tingkat tapak melalui tiga
aksi prioritas. Pertama, aksi pengurangan emisi GRK, misalnya dengan mengurangi
deforestasi dan degradasi hutan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Kedua, aksi meningkatkan serapan emisi, dengan cara menjaga dan
mempertahankan kondisi tutupan hutan-hutan yang ada. Ketiga, meningkatkan
serapan emisi melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta membuat hutan-
hutan tropis baru.
Untuk mendukung aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan serapan emisi
GRK sektor kehutanan diperlukan tata kelola karbon, salah satunya melalui
perdagangan karbon. Perdagangan karbon dikembangkan karena dinilai berpotensi
mengurangi emisi GRK dengan biaya ekonomis. Pilihan pendekatan perdagangan
karbon penting bagi pembuat kebijakan yang akan menjadikan pasar karbon sebagai
upaya mendorong pengurangan emisi dalam satu atau beberapa sektor ekonomi.
Perdagangan karbon diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-
negara yang mampu mempertahankan hutan dan lingkungannya. Mekanisme
perdagangan karbon juga akan berkontribusi untuk mencapai target pengurangan
emisi GRK dan pencapaian Net Zero Emission secara global.

Direktur Jenderal
Pengelolaan Hutan Lestari,

Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc


NIP 19630807 198803 1 001

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
GLOSSARY .......................................................................................................vii
LAMPIRAN ......................................................................................................... x
I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
II. PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN TARGET PENURUNAN EMISI GRK
NASIONAL .......................................................................................................... 3
A. Sumber Pembiayaan .................................................................................. 3
A.1. Sumber Pembiayaan Melalui Mekanisme Pasar ...................................... 3
A.2. Sumber Pembiayaan Melalui Mekanisme Non-Pasar ............................... 3
B. Mekanisme Pembiayaan ............................................................................ 6
B.1 Mekanisme Pembiayaan Non-Pasar ..................................................... 6
B.2. Mekanisme Pembiayaan Pasar............................................................ 9
III. NILAI EKONOMI KARBON ............................................................................ 13
A. Skema Perdagangan Karbon .................................................................... 13
A.1 Carbon Offset .................................................................................... 15
A.2 Pembayaran Berbasis Kinerja............................................................. 16
A.3 Pajak atas Karbon ............................................................................. 17
B. Pasar Karbon Menurut Kesepakatan Paris ................................................ 18
C. Pendekatan Estimasi Harga Karbon dari Hutan dan Pengelolaan Lahan ..... 20
IV. KEBIJAKAN TATA KELOLA KARBON SEKTOR KEHUTANAN ............................... 23
A. Pendahuluan .......................................................................................... 23
B. Dasar Hukum ......................................................................................... 23
C. Tata Kelola Karbon ................................................................................. 25
D. Tahapan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan ................................... 28
E. Proses Bisnis Perdagangan Karbon Oleh PBPH ...................................... 30
F. Larangan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan .................................. 32
G. PNBP Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan ....................................... 32
H. Laporan, Evaluasi Dan Pembinaan Perdagangan Karbo Sektor
Kehutanan ............................................................................................ 33
VI. FREQUENTLY ASKED QUESTION (FAQ)..................................................... 34

iv
VIII. PENUTUP .................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN ....................................................................................................... 53

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Estimasi biaya penurunan emisi sektor energi ..........Error! Bookmark not
defined.

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Biaya mitigasi pelaku usaha/kegiatan tanpa dan ada perdagangan


karbon ................................................................................................ 14
Gambar 2. Ilustrasi sistem cap and trade ............................................................... 15
Gambar 3. Ilustrasi carbon Offset .......................................................................... 16
Gambar 4. Flowcart Proses Bisnis Perdagangan Karbon Oleh PBPH ................... 30
Gambar 5. Flowchart PNBP Perdagangan Karbon ................................................ 32

vi
GLOSSARY

Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi Emisi


GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon.

Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,


Kawasan Hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau Nationally Determined


Contribution yang selanjutnya disingkat NDC adalah komitmen nasional setiap
negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam rangka mencapai tujuan
Persetujuan Paris

Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat GRK adalah gas-gas yang
dikeluarkan ke atmosfir baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia
(antropogenik) dan dapat menimbulkan pemanasan global.

Emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam
jangka waktu tertentu akibat aktivitas manusia atau kejadian alami.

Aksi Mitigasi Perubahan Iklim adalah kegiatan yang dapat mengurangi Emisi
GRK, meningkatkan serapan karbon dan/atau penyimpanan/penguatan cadangan
karbon.

Aksi Adaptasi Perubahan Iklim adalah kegiatan yang dapat meningkatkan


ketahanan dan mengurangi kerentanan sosial, ekonomi, lingkungan dan
biodiversity akibat dampak perubahan iklim

Batas Atas Emisi GRK adalah tingkat Emisi GRK paling tinggi yang ditetapkan
dalam suatu periode tertentu.

Perdagangan Emisi adalah mekanisme jual beli karbon antara Pelaku Usaha yang
memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang ditentukan (defisit emisi)
dengan Pelaku Usaha dengan tingkat emisi di bawah batas atas emisi GRK yang
ditentukan (surplus emisi).

vii
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya disingkat PBPH
adalah perizinan berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai
dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan hutan.

Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah pemberian akses legal


pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh kelompok perhutanan sosial untuk
kegiatan pengelolaan hutan desa, pengelolaan hutan kemasyarakatan,
pengelolaan hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat pada
Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan produksi, atau Kawasan Hutan
konservasi sesuai dengan fungsinya.

Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi atau Measurement, Reporting, and


Verification yang selanjutnya disingkat MRV adalah kegiatan pengukuran
serapan dan emisi karbon untuk memastikan bahwa data dan/atau informasi Aksi
Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim telah dilaksanakan sesuai dengan tata cara
dan/atau standar yang telah ditetapkan UNFCCC serta dijamin kebenarannya.

Pengimbangan Emisi GRK yang selanjutnya disebut Offset Emisi GRK adalah
pengurangan Emisi GRK yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan untuk
mengkompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.

Baseline Business as Usual Emisi GRK yang selanjutnya disebut Baseline


Emisi GRK adalah perkiraan tingkat emisi dan proyeksi GRK pada sektor atau
kegiatan yang telah diidentifikasi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tanpa
intervensi kebijakan dan/atau teknologi mitigasi.

Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang selanjutnya disebut


DRAM adalah dokumen yang dihasilkan oleh Pelaku Usaha dalam rangka
memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi GRK.

Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi yang selanjutnya disingkat PTBAE


adalah persetujuan teknis mengenai Batas Atas Emisi GRK pada sub sektor atau
sub sub sektor.

PTBAE bagi Pelaku Usaha yang selanjutnya disebut PTBAE-PU adalah


penetapan Batas Atas Emisi GRK bagi Pelaku Usaha dan/atau penetapan kuota
emisi dalam periode penaatan tertentu bagi setiap Pelaku Usaha.

viii
Validasi adalah proses sistematis dan terdokumentasi oleh pihak yang tidak terlibat
dalam kegiatan mitigasi untuk memastikan bahwa rancangan pelaksanaan
kegiatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Verifikasi adalah kegiatan untuk memastikan kebenaran dan penjaminan kualitas


data hasil pengukuran serapan aksi mitigasi dan emisi GRK yang disampaikan oleh
penanggung jawab aksi ke dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian
Perubahan Iklim.

Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim yang selanjutnya


disingkat SRN PPI adalah sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi
berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk mitigasi perubahan iklim,
adaptasi perubahan iklim, dan nilai ekonomi karbon di Indonesia.

Sertifikat Pengurangan Emisi GRK yang selanjutnya disingkat SPE-GRK


adalah surat bukti pengurangan emisi oleh Pelaku Usaha dan/atau pelaku kegiatan
yang telah melalui MRV, serta tercatat dalam SRN PPI dalam bentuk nomor
dan/atau kode registrasi.

Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan
bisnis dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.

ix
LAMPIRAN

Penentuan Besaran Jumlah Tertinggi Yang Dapat Dilakukan Perdagangan Karbon


Luar Negeri ....................................................................................................... 53

x
I. PENDAHULUAN

Perubahan iklim telah menjadi isu yang dikenal oleh banyak orang. Kejadian
cuaca ekstrim seperti banjir, kekeringan, dan badai semakin sering terjadi. Para
ilmuwan menyimpulkan bahwa pemanasan global disebabkan oleh peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. GRK , seperti karbon dioksida (CO2)
dan metana (CH4), dilepaskan oleh kegiatan manusia seperti pembakaran bahan
bakar fosil dan penebangan hutan. Jenis-jenis GRK lainnya adalah nitrous oxide
(N2O), gas-gas yag mengandung fluor seperti HFCs, perfluorocar-bons (PFCs),
and sulphur hexafluoride (SF6), and nitrogen triflouride (NF3).
Konsentrasi GRK di atmosfer terus meningkat karena kegiatan manusia. Untuk
menghitung dampak emisi GRK terhadap pemanasan global, digunakan unit
pengukuran yang disebut potensi pemanasan global (Global Warming Potential -
GWP). Karena jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfir adalah yang terbesar
dibandingkan dengan GRK lainnya, maka CO2 digunakan sebagai acuan relatif,
dengan nilai GWP = 1; sementara GRK lainnya memiliki nilai GWP yang jauh lebih
tinggi walaupun waktunya relatif lebih singkat dibandingkan CO2. Misalnya, metana
(CH4) memiliki GWP = 21, yang berarti 1 ton metana dapat menyebabkan pemanasan
global 21 kali lebih besar dibandingkan dengan 1 ton CO2.

Pentingnya penurunan emisi GRK diakui secara internasional sebagai upaya


mitigasi perubahan iklim. Kesepakatan untuk menurunkan emisi global dituangkan
dalam Persetujuan Paris. Setiap negara menentukan kontribusinya sendiri, yang
dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC). NDC menguraikan aksi
mitigasi dan adaptasi yang akan diambil oleh setiap negara untuk mengurangi emisi
dan meningkatkan ketahanan serta menurunkan kerentanan agar bisa beradaptasi
dengan perubahan iklim.

Persetujuan Paris mengharuskan semua negara meningkatkan upayanya


untuk menurunkan emisi GRK guna menghindari kenaikan suhu rata-rata global di
bawah 2o C dibandingkan suhu rata-rata sebelum jaman revolusi industri pada abad
18. Indonesia, sebagai contoh, telah menetapkan target penurunan emisinya yang

1
baru (ENDC) sebesar 31,89% – 43,2% pada tahun 2030. Upaya ini melibatkan
kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan limbah.

Pencapaian target penurunan emisi membutuhkan kolaborasi dan kerjasama


global. Seluruh negara harus berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
melalui kebijakan dan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Selain itu, adaptasi
terhadap perubahan iklim juga menjadi bagian penting dalam NDC, termasuk
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan ketahanan dan
menurunkan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.

Pentingnya penurunan emisi GRK untuk pencapaian NDC adalah untuk


melindungi planet kita dan mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah di
masa depan. Dengan tindakan yang cepat dan tepat dengan kolaborasi internasional,
kita dapat menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam upaya mencapai target NDC, diperlukan pengembangan instrumen


kebijakan yang efektif dan dukungan pendanaan yang tidak sedikit. Salah satu
pendekatan yang saat ini sedang berkembang adalah melalui perdagangan karbon,
dimana penurunan emisi GRK dapat diperdagangkan sebagai aset yang dapat
diperjualbelikan. Pendekatan ini memungkinkan negara atau entitas yang berhasil
mengurangi emisinya untuk menjual kelebihan pengurangan emisi tersebut kepada
negara atau entitas lain yang membutuhkannya. Dengan demikian, perdagangan
karbon dapat mendorong efisiensi dalam pengurangan emisi dan memberikan insentif
ekonomi untuk mengadopsi praktek ramah lingkungan.

Buku ini membahas perdagangan karbon dalam sektor kehutanan sebagai


strategi untuk mengurangi emisi GRK dan memperoleh sumber pembiayaan untuk
mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tujuannya adalah untuk
menjelaskan konsep dasar perdagangan karbon, pentingnya sektor kehutanan dalam
konteks ini, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengimplementasikan
mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan Indonesia. Selain itu, juga
dibahas tantangan dan peluang yang mungkin akan dihadapi dalam
mengimplementasikan perdagangan karbon yang dapat memberikan wawasan lebih
lanjut tentang topik ini.

2
II. PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN TARGET
PENURUNAN EMISI GRK NASIONAL

A. Sumber Pembiayaan
Pembiayaan pencapaian target penurunan emisi GRK Nasional dapat berasal
dari berbagai sumber yaitu dari mekanisme pasar maupun non-pasar. Pembiayaan
melalui mekanisme pasar dapat berasal dari perdagangan emisi dan Offset emisi.
Pembiayaan melalui mekanisme non-pasar dapat berasal dari anggaran pemerintah,
donor internasional (bilateral dan multilateral) maupun dari swasta. Saat ini, sumber
pembiayaan non-pasar yang berkembang lebih banyak didominasi oleh donor
internasional dan bersifat jangka pendek serta tidak mengikat.

A.1. Sumber Pembiayaan Melalui Mekanisme Pasar


Pembiayaan melalui sumber mekanisme pasar dapat berasal dari
perdagangan emisi atau Offset emisi. Mekanisme perdagangan emisi diterapkan
untuk usaha dan/atau kegiatan yang memiliki batas atas emisi yang telah ditetapkan.
Sementara itu, mekanisme Offset emisi diterapkan dalam hal suatu usaha dan/atau
kegiatan yang tidak memiliki batas atas emisi memberikan pernyataan penurunan
emisi dengan menggunakan hasil aksi mitigasi dari usaha dan/atau kegiatan lain.
Dengan demikian, skema pembiayaan yang ada dapat dijadikan sebagai
stimulasi untuk meningkatkan kesadaran publik dalam melakukan kegiatan
konservasi atau pembangunan rendah emisi dalam jangka panjang. Untuk mengatasi
permasalahan pembiayaan pencapaian target penurunan emisi NDC diperlukan
political will dan komitmen yang tinggi dari semua stakeholder melalui koordinasi lebih
baik dengan semua pemangku kepentingan (pusat dan daerah). Mekanisme
pembiayaan melalui anggaran pemerintah dipandang lebih efektif terkait dengan
ketersediaan infrastruktur dan aturan main (Djaenudin et al., 2014).

A.2. Sumber Pembiayaan Melalui Mekanisme Non-Pasar


A.2.1. Pembiayaan dari Anggaran Pemerintah
Pembiayaan dari anggaran pemerintah bisa berasal dari APBN, APBD,
penerbitan green sukuk serta insentif fiskal (Tax Holiday, tax allowance, Pembebasan

3
PPN untuk barang modal, PPh DTP Geothermal, Pembebasan Bea Impor Barang
Modal) (BKF, 2018).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, dalam tahun anggaran 2018-
2020 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk perubahan iklim sebesar Rp
307,84 triliun. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa sejak
2018-2020, besarnya anggaran rata-rata untuk menangani perubahan iklim mencapai
Rp 102,65 triliun atau 4,3% per tahun 1.

Anggaran perubahan iklim di pemerintah pusat lebih banyak digunakan untuk


kegiatan mitigasi perubahan iklim, baik di tahun 2018 dengan porsi 66,2% dan tahun
2019 dengan porsi 55,6%. Kemudian, berdasarkan peta jalan Nationally Determined
Contribution (NDC) tahun 2020-2030, kebutuhan pendanaan mitigasi untuk target
NDC sekitar Rp 343 triliun. Dengan demikian, APBN tahun 2020 berkontribusi sekitar
13% dari total kebutuhan pendanaan mitigasi untuk mencapai target NDC.

Saat ini Kemenkeu sudah mengusulkan adanya pajak karbon sebagai salah
satu sumber penerimaan dan dapat digunakan nantinya untuk mendukung program
kegiatan penurunan emisi. Terminologi “pajak karbon” biasanya diterapkan atas
kandungan karbon, seperti misalnya pajak karbon yang dikenakan untuk bahan bakar,
atau atas emisi GRK langsung (direct emission). Dengan kata lain, obyek pajak akan
membayar pajak berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang ia
produksi/konsumsi atau berdasarkan jumlah emisi GRK yang ia lepaskan sesuai hasil
pengukuran dan verifikasi. Contoh negara-negara yang menerapkan pajak karbon
atas bahan bakar adalah Denmark, India, Jepang dan Meksiko. Sedangkan yang
menerapkan pajak atas emisi GRK adalah Chile dan Afrika Selatan. Sedangkan
terminologi “pajak atas karbon” mencakup variasi pajak karbon yang lebih luas seperti
pemberian insentif atau disinsentif pajak berbasis kinerja emisi, pertukaran pajak (tax
swap), pajak atas emisi tidak langsung, dan lain-lain.

A.2.2. Pembiayaan dari Donor Internasional

Pembiayaan dari donor internasional biasanya terkait dengan pembayaran


berbasis hasil (RBP/Results Based Payment). Sumber-sumber donor internasional

1
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210330132332-4-233958/atasi-peru-bahan-iklim-
pemerintah-habiskan-dana-rp-307-t
4
antara lain Global Environment Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), Indonesia-
Norway Partnership, FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) Carbon Fund World
Bank, Bio Carbon Fund World Bank, Adaptation Fund, Bilateral and Multilateral
Agency, dan lain-lain.

Dalam hal RBP, saat ini Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan.
Hal ini ditunjukkan dengan disetujuinya proposal RBP REDD+ Indonesia dalam
kerangka Indonesia-Norwegia Partnership, Green Climate Fund (GCF) dan The World
Bank Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF), pada tahun 2020.
Pemerintah Norwegia menyetujui pembayaran sebesar USD 56 juta, Green Climate
Fund (GCF) menyetujui USD 103,8 juta dan Bank Dunia menyetujui komitmen
pembayaran berbasis hasil sebesar USD 110 juta untuk mendukung pengurangan
emisi di Indonesia.
Pembayaran tersebut dilakukan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan
Hidup (BPDLH) yang diresmikan oleh Pemerintah Indonesia pada Oktober 2019.
BPDLH dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Dana Lingkungan. Peraturan ini menyatakan bahwa dana
degradasi/pencemar lingkungan dan dana hibah konservasi akan dikelola oleh
pemerintah pusat dengan menggunakan skema BLU.

A.3.3. Pembiayaan dari Swasta


Pembiayaan dari swasta bisa melalui swasta murni, skema PPP (Public Private
Partnership), skema blended finance dan Corporate Social Responsibility (CSR)
(BKF, 2018). Skema swasta murni, skema PPP dan CSR sudah banyak digunakan
untuk mendukung kegiatan-kegiatan pemulihan lingkungan, peningkatan kapasitas
masyarakat, infrastruktur dan lain-lain bersama-sama dengan kelompok-kelompok
masyarakat. Namun, masih sedikit penggunaanya untuk mendukung pembiayaan
program-program kegiatan penurunan emisi GRK.

Skema blended finance saat ini merupakan peluang mekanisme pembiayaan


yang sangat bagus untuk Indonesia ditengah keterbatasan anggaran dalam
melaksanakan program penurunan emisi. Blended finance ini juga memungkinkan
kemampuan Indonesia sendiri dari sektor swasta untuk meningkatkan kontribusinya

5
dan berperan aktif dalam pengurangan emisi tanpa terlalu banyak tergantung kepada
negara-negara lainnya.

Prinsip dari blended finance ini adalah penggunaan secara strategis


pembiayaan dan hibah untuk mobilisasi dana swasta agar didistribusikan pada
wilayah yang tengah membangun. Karakteristik dan kelebihan dari Blended Finance
(BF) ini adalah unsur hibah selalu hadir dalam BF (meskipun tidak wajib), adanya de-
risking atau garansi dan proyek yang dibiayai BF harus memenuhi kaidah dan prinsip
kelestarian pembangunan.

B. Mekanisme Pembiayaan

B.1 Mekanisme Pembiayaan Non-Pasar


B.1.1 Anggaran Pemerintah

Anggaran pemerintah untuk pembiayaan program penurunan emisi berasal


dari APBN (Pemerintah Pusat) dan APBD (Pemerintah Daerah), penerbitan green
sukuk serta insentif fiskal (Tax Holiday, tax allowance, Pembebasan PPN untuk
barang modal, PPh DTP Geothermal, Pembebasan Bea Impor Barang Modal) (BKF,
2018). Sumber APBN maupun APBD dianggarkan rutin setiap tahun dan setiap
Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah diharapkan sudah memasukkan
penganggaran program kegiatan penurunan emisi kedalam setiap perencanaan
anggarannya.

Green sukuk digunakan untuk pembiayaan : (1) Energi terbarukan; (2) Efisiensi
Energi; (3) Ketahanan terhadap Perubahan Iklim untuk Wilayah dan Sektor yang
Sangat Rentan dan Pengurangan Resiko Bencana; (4) Transportasi Berkelanjutan;
(5) Pengelolaan Sampah dan Sampah untuk Energi; (6) Pengelolaan
Berkesinambungan atas Sumber Daya Alam; (8) Green Tourism; (9) Green Buildings;
(10) Sustainable Agriculture. Hasil net dari green sukuk akan dikelola dalam rekening
Pemerintah sesuai dengan kebijakan pengelolaan treasury yang sehat dan prudent.
Atas permintaan dari Kementerian/Lembaga, Dana hasil green sukuk akan dikreditkan
ke rekening yang ditunjuk dari kementerian terkait untuk mendanai proyek secara
eksklusif sebagaimana didefinisikan dalam Kerangka Kerja. Dana yang belum
digunakan karena adanya Penundaan proyek hijau akan dipegang dalam bentuk kas
di rekening umum Pemerintah di Bank Indonesia.

6
Sektor swasta diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pengendalian
emisi karbon dengan membangun proyek yang ramah lingkungan. Untuk mendukung
hal tersebut, Pemerintah telah menyediakan berbagai insentif fiskal seperti
menggunakan instrumen perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk bisa
meningkatkan peranan swasta dalam membangun berbagai proyek-proyek yang
sifatnya climate change friendly. Sebagai contoh adalah Kebijakan Pemerintah untuk
mendukung pengembangan energi baru terbarukan melalui pemberian stimulus.
Stimulus serupa juga akan diberikan kepada bidang usaha yang ramah lingkungan.

Beberapa stimulus yang telah tersedia yakni tax holiday, tax allowance, pembebasan
bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan
(PPh) ditanggung pemerintah (DTP), serta pengurangan pajak bumi dan bangunan
(PBB) untuk mendukung pengembangan proyek tenaga listrik bertenaga panas bumi
dan energi terbarukan lainnya2.
B.1.2 Donor Internasional
Pendanaan publik yang berasal dari luar negeri dapat berasal dari pendanaan
bilateral maupun multilateral melalui mekanisme hibah ataupun pinjaman. Pinjaman
untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur dengan mitigasi langsung dan manfaat
adaptasi (misalnya pembangkit listrik panas bumi, dan proyek rehabilitasi drainase),
sedangkan hibah diarahkan untuk membangun lingkungan yang memungkinkan dan
bentuk lain dari kesiapan. Kerjasama bilateral yang telah dijalin pemerintah Indonesia,
selama ini antara lain kerjasama dengan Kerajaan Norwegia, Pemerintah Jepang,
Korea, Denmark, dan lain-lain. Sedang pendanaan multilateral yang telah atau yang
dapat dimanfaatkan antara lain dengan FCPF-CF (Forest Carbon Partnership Facility-
Carbon Fund) World Bank, Adaptation Fund (AF), Global Environment Facility (GEF),
Green Climate Fund (GCF) dan lain-lain.

Pembiayaan donor internasional semuanya melalui mekanisme penyaluran di


BPDLH. Sesuai amanah Pasal 43 (2) UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi dana
penanggulangan pencemaran, kerusakan, pemulihan LH dan hibah untuk konservasi,
serta Pasal 30 PP No. 46/2017: Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, maka BPDLH

2
https://news.ddtc.co.id/beri-insentif-pajak-sri-mulyani-ajak-investor-bangun-proyek-ini-
30495?page_y=989.

7
akan memobilisasi dana lingkungan hidup yang bersumber dari dalam dan luar negeri
secara optimal, mengelola dana lingkungan hidup secara transparan dan akuntabel,
serta menyalurkan dana lingkungan hidup secara efektif dan efisien.

Mekanisme pembiayaan dari BLU-BPDLH sampai ke penerima adalah sebagai


berikut (KLHK, 2017):
a. Kepala BLU-BPDLH memberikan keputusan apakah usulan RBP dapat
dibayarkan atau tidak,
b. Perjanjian kontrak dilakukan antara BLU-BPDLH,
c. Bank Kustodian dan Pemohon Kepala BLU-BPDLH memberikan perintah
bayar kepada Bank Kustodian untuk melakukan pembayaran kepada
pemohon, dalam hal ini lembaga perantara,
d. Bank Kustodian melakukan pembayaran kepada pelaksana,
e. Pelaksana menambahkan informasi pendanaan RBP yang telah didapat pada
SRN.

B.1.3. Swasta
Pembiayaan swasta murni, skema PPP (Public Private Partnership) dan CSR
merupakan bentuk-bentuk peluang dukungan pembiayaan dari sektor swasta secara
murni dan kerjasama dengan pihak-pihak lainnya tanpa melibatkan subsidi
pemerintah.
Pembiayaan secara blended finance merupakan kombinasi pembiayaan dari
publik, swasta, yang bisa melibatkan subsidi, pertama kali diperkenalkan di Indonesia
sejak awal tahun 2015, yang cakupan pihak-pihak yang terlibat lebih luas daripada
mekanisme pembiayaan secara KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha),
PINA (Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah) dan Skema PPP (Public
Private Partnership).
Contoh nyata blended finance di Indonesia adalah program perlindungan
keanekaragaman hayati laut Indonesia di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Komitmen blended finance telah dimulai sejak Desember 2018 melalui LOI Bappenas
(Program ICCTF) dan PT SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur) untuk insentif dukungan
pendanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam konservasi hayati laut. Untuk
sektor kehutanan, pihak swasta yang memberikan bantuan finansial dalam program
penurunan emisi di sektor kehutanan dapat diberikan insentif berupa pengurangan

8
pajak, kemudahan ijin dan insentif lainnya yang bersifat non-monetary. Dalam hal ini,
perlu diatur lebih lanjut terkait regulasi insentif yang akan diberikan kepada pihak-
pihak swasta yang akan terlibat dalam program penurunan emisi melalui mekanisme
pembiayaan blended finance di sektor kehutanan.

B.2. Mekanisme Pembiayaan Pasar


Mekanisme pembiayaan pasar secara global dapat dikategorikan menjadi 2
(dua), yaitu: (a). Crediting, umumnya berbasis proyek dan kredit karbonnya adalah
selisih antara emisi sebelum dan sesudah adanya proyek (ex-post); (b). Trading,
memperdagangkan selisih antara batas emisi yang diberikan (ex-ante) dengan emisi
aktual yang dilepaskan (Husen, 2018). Hal ini sejalan dengan konteks Valuasi
Ekonomi Karbon di Indonesia, mekanisme pembiayaan pasar melalui perdagangan
karbon terdiri dari perdagangan emisi dan Offset emisi.

B.2.1. Perdagangan Emisi


Perdagangan emisi karbon harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
kepastian entitas dalam bentuk kejelasan perijinan. Dalam hal ini, para pihak yang
telah memiliki ijin perdagangan karbon bisa melakukan transaksi perdagangan karbon
dengan terlebih dahulu melalui otorisasi Kementerian terkait.
Dalam mekanisme pembiayaan melalui perdagangan karbon, sebagai contoh
adalah mekanisme Cap and trade (C&T), setiap perusahaan diberikan batas
(permiting allowance) emisi karbon yang boleh dikeluarkan selama periode tertentu,
misal 50 ton CO2 selama setahun. Setelah perusahaan tersebut beroperasi selama
setahun, dan emisi karbonnya diverifikasi, jumlah emisi karbon perusahaan tersebut
dapat melebihi atau tidak melebihi batas emisi karbon yang sudah ditetapkan.
Apabila jumlah emisi karbon perusahaan melebihi batas tersebut (permits),
maka perusahaan tersebut wajib mengurangi (Offset) emisi karbonnya sebesar selisih
antara jumlah emisi karbon yang dihasilkan dengan ambang batas emisi yang
diberikan. Sebaliknya, ketika jumlah emisi karbon perusahaan tidak melebihi ambang
batas , maka selisihnya dapat diperdagangkan (tradable) di pasar karbon yang diatur
pemerintah.
Sebagai contoh, perusahaan A dan B diberikan permits sebanyak 50 ton CO2
selama setahun. Setelah diverifikasi, ternyata jumlah emisi karbon perusahaan A

9
sebanyak 60 ton CO2, sedangkan perusahaan B sebanyak 40 ton CO 2. Akibatnya,
perusahaan A memiliki kewajiban untuk menutupi (Offset) defisit permits-nya
sebanyak 10 juta ton CO2 di pasar karbon, sedangkan perusahaan B dapat menjual
surplus permits-nya sebanyak 10 juta ton CO2 di pasar karbon.
Kedua perusahaan dapat bertransaksi di bursa karbon sesuai dengan status
permits yang dimiliki. Perusahaan A dapat membeli permits sebanyak 10 juta ton CO2
dari perusahaan B. Setelah transaksi selesai, jumlah permits perusahaan A menjadi
50 juta ton CO2, sesuai dengan jumlah permits yang diizinkan, dan perusahaan B
mendapatkan pendapatan dari penjualan permits-nya sebesar 10 juta ton CO2
dikalikan dengan harga pasar karbon yang berlaku atau disepakati.
Permits disediakan oleh pemerintah atau regulator. Permits dapat diperoleh
secara bebas/gratis dari pemerintah, atau perusahaan dapat memperoleh permits
melalui lelang (auction). Melalui lelang permits, pemerintah dapat memperoleh
penerimaan yang selanjutnya dapat digunakan untuk program yang berhubungan
dengan penurunan emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim (Irama, 2020).
Menurut Metcalf dan Weisbach (2009) Beberapa kelemahan skema C&T yaitu
berupa volatilitas harga karbon yang relatif tinggi (selisih sangat besar
antara harga terendah dan harga tertinggi dalam suatu waktu). Selain itu, Avi-Yonah
et al (2009) menyebutkan bahwa skema C&T lebih rumit karena harus menentukan
baseline, pembagian permits, monitoring perdagangan karbon, Offsetting emisi
karbon antar negara, dan juga perizinan transaksi komoditas berjangka (futures) yang
belum diatur oleh regulator.
Menurut ICAP (2019) beberapa negara/daerah/institusi yang sudah
menerapkan kebijakan C&T yaitu Negara Bagian California, China, Uni Eropa,
Kazakhstan, Korea Selatan, Selandia Baru, Provinsi Nova Scotia dan Kota Quebec di
Kanada, dan RGGI (Regional Greenhouse Gas Initiative).
Uni Eropa (EU ETS) mulai menerapkan skema C&T pada bulan Januari 2005.
EU ETS merupakan skema perdagangan karbon terbesar yang melayani 12.000
institusi di 25 negara. Satuan penurunan emisi karbon yang digunakan di EU ETS
disebut EU Allowances.
Menurut Deatherage (2011), skema Cap & Trade juga mempunyai karakteristik
untuk memanfaatkan fitur carbon Offsets (pengurangan karbon). Melalui fitur ini,
penurunan karbon dapat dibantu melalui Offset dari pihak lain yang berada di luar
bursa perdagangan karbon. Salah satu insentif yang mendasari munculnya fitur
10
carbon Offsets yaitu karena apabila target penurunan emisi karbon tidak terpenuhi,
maka terdapat pengenaan denda yang jumlahnya jauh lebih besar daripada biaya
yang harus dikeluarkan melalui carbon Offsets.

B.2.2 Offset Emisi


Dalam sistem ini, komoditi yang digunakan disebut kredit karbon (carbon credit)
yaitu hasil sertifikasi penurunan emisi akibat pelaksanaan proyek. Dengan demikian,
komoditi yang diperdagangkan didapat setelah akhir suatu periode atau ex-post. Hal
ini juga yang membedakan sistem ini dengan sistem trading dimana komoditi yang
diperdagangkan didapat di awal periode atau ex-ante. Kredit yang dihasilkan dari
suatu proyek dapat dijual dan digunakan oleh pembeli (buyer) untuk memenuhi target
penurunan emisi atau bahkan untuk menjadikan kegiatan yang dilakukan pembeli
menjadi “netral karbon” (carbon neutral) atau “nol emisi” (zero emission).
Mekanisme Carbon Offset ini menggunakan unit penyerapan karbon dalam
jutaan ton per periode waktu, per area dan spesifik lokasi, pemantauan emisinya
menggunakan dukungan citra satelit. Semakin besar luasan lokasi yang akan
diikutkan dalam Carbon Offset maka akan semakin besar additionality atau nilai
tambah yang didapat.
Saat ini, mekanisme Carbon Offset melalui pembayaran kredit karbon yang
sedang berjalan di Indonesia adalah Program FCPF Carbon Fund di Provinsi
Kalimantan Timur dan Program BioCF di Provinsi Jambi dengan dukungan dana dari
berbagai negara maju, dimana Bank Dunia (World Bank) sebagai trustee-nya.
Pelaksanaan program penurunan emisi di kedua provinsi tersebut menggunakan
pendekatan Yurisdiksi Provinsi dimana keberhasilan penurunan emisinya dihitung
berdasarkan capaian dalam satu wilayah provinsi dan akan mendapatkan Results
Based Payment (RBP). Penanggung jawab kegiatan FCPF Carbon Fund dan BioCF
adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Model FCPF Carbon Fund
dan BioCF ini sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembayaran kredit karbon
karena menggunakan pendekatan di tingkat nasional dan implementasinya di tingkat
sub-nasional (provinsi). Pendekatan ini memungkinkan koordinasi dan komunikasi
yang sangat intensif antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
mengimplementasikan program penurunan emisi secara yurisdiksi agar berhasil
secara maksimal.

11
Kelemahan Carbon Offset ini adalah peluang terjadinya
kebocoran/leakage/displacement of emission. Karena sifatnya ex-post (akhir periode
kontrak), maka jika terjadi kebocoran/leakage/displacement of emission pada suatu
wilayah pada suatu waktu tertentu maka akan menyebabkan pengurangan
pembayaran/insentif yang diberikan. Semakin besar resiko
kebocoran/leakage/displacement of emission yang terjadi maka akan semakin besar
pula resiko pengurangan pembayaran/insentif yang diberikan. Perlu kerja keras
semua pihak untuk menjaga terjadinya kebocoran/leakage/displacement of emission
seminimal mungkin.

12
III. NILAI EKONOMI KARBON

A. Skema Perdagangan Karbon


Pasar karbon secara konteks lebih tepat untuk dipahami sebagai kumpulan
kebutuhan/keinginan terhadap hak atas emisi GRK (Hindarto et.al., 2018). Hak
tersebut dapat berupa hak untuk melepaskan GRK ataupun hak atas penurunan emisi
GRK. Dengan pemahaman pasar karbon di atas, maka secara sederhana
perdagangan karbon dapat diartikan sebagai “proses pengalihan hak atas karbon
(emisi GRK) dengan dan kompensasi ekonomi”.
Pada prinsipnya, semua jenis emisi GRK dapat diperdagangkan yakni karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs),
perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksa-fluorida (SF6). Karena jenis dan dampak
perubahan iklimnya yang beragam, unit perdagangan karbon biasanya menggunakan
satuan “setara-ton-CO2” (ton CO2_equivalent).
Perdagangan karbon menjadikan total biaya mitigasi lebih murah. Salah satu fitur
dalam perdagangan karbon adalah fleksibilitas dimana salah satu pihak, umumnya
pelaku usaha/kegiatan, dapat mengklaim hasil mitigasi pihak lain sebagai hasil
mitigasinya dan menggunakannya sebagaimana yang diperbolehkan peraturan
perundangan. Perdagangan karbon itu sendiri akan terjadi sebagai akibat adanya
perbedaan struktur biaya mitigasi dari setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan.
Sebagai ilustrasi, misalnya Pelaku Usaha A mempunyai biaya mitigasi rata-
rata Rp50.000,- per tonCO2 dan Pelaku Usaha B Rp. 100.000,- per tonCO2, ketika
kedua pihak diwajibkan mengurangi emisinya sebanyak 10 ton maka total biaya yang
harus dikeluarkan adalah sebesar Rp. 1.500.000,- (Gambar 1B). Penyelenggaraan
perdagangan karbon untuk kasus tersebut dengan asumsi ketentuan maksimal
pembelian adalah 50% dari kewajiban maka pihak B hanya akan mengurangi emisi
dengan upaya sendiri sebanyak 5 ton CO2 dan membeli sisanya dari A yang biaya
mitigasinya lebih murah sedangkan A akan menambah pengurangan emisinya
menjadi 15 ton CO2 sehingga total biaya mitigasi akan menjadi Rp. 1.250.000,-
(Gambar 1C).

13
(A) Setiap pelaku usaha/kegiatan mempunyai profil biaya mitigasi yang berbeda.

(B) Tanpa perdagangan, kedua pelaku usaha/kegiatan akan menghasilkan jumlah pengurangan emisi yang sama dengan
biaya yang berbeda.

(C) Dengan memanfaatkan perdagangan, kedua pelaku usaha/kegiatan akan menghasilkan jumlah pengurangan emisi
yang berbeda dengan biaya yang sama. Aksi mitigasi dengan biaya yang lebih rendah akan selalu dilakukan terlebih
dahulu sehingga total biaya mitigasi akan lebih rendah (cost-effective).

Gambar 1. Biaya mitigasi pelaku usaha/kegiatan tanpa dan ada perdagangan karbon

14
Dalam sistem perdagangan karbon atau yang biasa disebut juga sebagai
sistem cap and trade, setiap peserta pasar, umumnya pelaku usaha (perusahaan atau
organisasi), diharapkan mengurangi emisinya sesuai dengan batas atas emisi atau
emission cap yang telah ditetapkan. Praktek yang umum diterapkan adalah di awal
periode (biasanya awal tahun) setiap peserta pasar dialokasikan sejumlah izin emisi
karbon sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap), misal X
tonCO2. Di akhir periode, para peserta harus melaporkan jumlah emisi aktual yang
telah mereka lepaskan. Peserta yang melepaskan emisi lebih dari batas atas yang
telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli tambahan izin emisi dari
mereka yang izin emisinya tidak seluruhnya terpakai (surplus) sebagaimana
diilustrasikan dalam Gambar 2. Pelaku usaha/kegiatan yang diakhir masa yang
ditentukan tidak dapat memenuhi jumlah izin emisi maksimumnya (kekurangan izin
emisi dan tidak membeli izin emisi karbon dari pihak lain atau melakukan carbon
Offset), akan dikenakan sanksi, umumnya dalam bentuk denda.

Gambar 2. Ilustrasi sistem cap and trade

A.1 Carbon Offset


Dalam carbon Offset, yang diperjualbelikan adalah hasil penurunan emisi atau
peningkatan penyerapan emisi, yang biasa disebut sebagai kredit karbon, yang mana
tidak akan terjadi jika tidak dilakukannya sebuah kegiatan/aksi mitigasi, sebagaimana
terlihat dalam Gambar 2. Karena itu biasanya pada awal aksi mitigasi harus dibuktikan
bagaimana praktek atau teknologi yang sebelumnya digunakan (common practice) -
yakni praktek/teknologi sebelum ada aksi mitigasi- dan berapa emisi yang sebelumnya
lepas karena hal tersebut (emisi baseline) untuk kemudian, diakhir proyek,
diukur/diverifikasi pencapaian hasil aksi mitigasinya melalui proses yang biasa disebut

15
MRV (Measurement, Evaluation and Verification) atau pengukuran/pemantauan,
pelaporan dan verifikasi. Kredit karbon ini kemudian digunakan oleh pembeli untuk
menghapus (Offset) emisinya sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi
tingkat emisi GRK-nya tanpa melakukan aksi mitigasi sendiri.
Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan jumlah pengurangan emisi atau
peningkatan penyerapan emisi GRK sebanyak satu ton CO 2. Bentuk-bentuk aksi
mitigasi yang dapat menghasilkan kredit karbon antara lain: pembangunan proyek
energi terbarukan, pengurangan emisi gas metana dari tempat pembuangan sampah,
atau kegiatan di bidang kehutanan tertentu yang terkait sekuestrasi (penyerapan
karbon).

Gambar 3. Ilustrasi carbon Offset

A.2 Pembayaran Berbasis Kinerja


Bentuk lain perdagangan karbon ini adalah Pembayaran berbasis kinerja atau
biasa disebut sebagai Result Based Payment (RBP) yaitu insentif finansial
(pembayaran) yang diberikan kepada negara, pelaku usaha atau kegiatan atas hasil
capaian pengurangan emisi yang telah diverifikasi (MRV). Dalam RBP tingkat harga
karbon ditetapkan pada saat penyusunan dokumen.

16
Di Indonesia, RBP biasanya dikaitkan dengan insentif bagi kegiatan Reduction
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dalam kegiatan
REDD+, pelaku kegiatan/proyek (termasuk di negara) dapat memperoleh
pembayaran, misal dari semacam trustfund (dari berbagai negara maju) jika
kegiatan/proyek yang dilakukan berhasil menurunkan emisi GRK atau menyerap
kabon dengan jumlah tertentu. Perlu dicatat bahwa kegiatan terkait RBP tidak hanya
harus berasal dari kegiatan terkait REDD+. RBP dapat pula dilakukan berdasarkan
perjanjian dua pihak (misalnya antara masyarakat/organisasi di Indonesia dan pihak
luar negeri) dimana pihak pelaksana melakukan aksi mitigasi dan pihak lain memberi
insentif/pembayaran secara proporsional dengan jumlah hasil aksi mitigasinya.

Dari uraian di atas, RBP menyerupai mekanisme perdagangan, khususnya


carbon Offset. Perbedaan pokok keduanya adalah dalam RBP tidak ada pengalihan
hak atas karbon (unit karbon), khususnya secara internasional. Artinya, jika negara X
atau pelaku usaha dalam negara X memberikan insentif finansial (membayar) atas
hasil aksi mitigasi yang dilakukan oleh negara Y atau pelaku usaha/kegiatan dalam
negara Y, maka pelaku usaha atau negara X tidak memperoleh hak atas karbon dari
hasil aksi mitigasi tersebut, dan tidak dapat menggunakannya untuk mengurangi
(meng-Offset) tingkat emisi pihak pemberi pembayaran.

A.3 Pajak atas Karbon


Terminologi “pajak karbon” biasanya diterapkan atas kandungan karbon,
seperti misalnya pajak karbon yang dikenakan untuk bahan bakar, atau atas emisi
GRK langsung (direct emission). Dengan kata lain, obyek pajak akan membayar pajak
berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang diproduksi/dikonsumsi atau
berdasarkan jumlah emisi GRK yang ia lepaskan sesuai hasil pengukuran dan
verifikasi. Contoh negara-negara yang menerapkan pajak karbon atas bahan bakar
adalah Denmark, India, Jepang, dan Meksiko. Sedangkan yang menerapkan pajak
atas emisi GRK adalah Chile dan Afrika Selatan. Sedangkan terminologi “pajak atas
karbon” mencakup variasi pajak karbon yang lebih luas seperti pemberian insentif atau
disinsentif pajak berbasis kinerja emisi, pertukaran pajak (tax swap), pajak atas emisi
tidak langsung, dan lain-lain.

17
B. Pasar Karbon Menurut Kesepakatan Paris
Dalam Persetujuan Paris, prinsipnya semua negara mempunyai target
penurunan emisi sehingga setiap hasil aksi mitigasi sudah seharusnya akan
digunakan untuk memenuhi target NDC terlebih dahulu. Berbeda dengan Protokol
Kyoto, tidak ada pengaturan spesifik tentang jenis-jenis perdagangan karbon yang
dapat diterapkan di bawah Persetujuan Paris. Setidaknya ada tiga skema yang tersirat
dalam Persetujuan Paris (Pasal 5 dan 6): pemanfaatan pembayaran berbasis kinerja
(RBP); kerjasama sukarela antara negara secara umum; penggunaan mekanisme
non-market (termasuk pajak atas karbon), dengan sebagai berikut:
a. Result-based Payment. Pasal 5 ayat (1) Persetujuan Paris mendukung dan
mendorong negara-negara untuk mengembangkan pembayaran berbasis
kinerja (RBP) untuk REDD+ di negara berkembang.
b. Cooperative Approach. Pasal 6 secara umum mengatur jenis dan framework
kerjasama antar negara (cooperative approaches), termasuk untuk mencapai
target NDC. Ada tiga substansi pokok dalam pasal tersebut: (a) bahwa negara
pihak dapat memilih untuk melakukan kerjasama secara sukarela (termasuk
dengan negara lain) untuk melakukan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi dan
pencapaian target NDC secara ambisius, serta mendorong pembangunan
berkelanjutan dan integritas lingkungan (Pasal 6 ayat (1)) dengan instrumen
yang disediakan oleh Pasal 6 ayat (2) dan (4).
Pasal 6 ayat (2) dan (3) mengatur mengenai permindahan pencatatan output
dari kegiatan mitigasi di suatu negara ke negara lain secara sukarela
(Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) dengan ketentuan
ketat untuk memastikan tidak terjadi pencatatan ganda (double counting) dari
transaksi dimaksud.
Pasal 6 ayat (4) mengatur mekanisme sukarela aksi mitigasi pada tingkat
proyek untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan aksi mitigasi. Pasal
6 ayat (2) dan (4) di atas dikategorikan sebagai instrumen pasar.
c. Instrumen Non-pasar. Pasal 6 ayat (8) menyatakan bahwa negara pihak
meyadari pentingnya melakukan pendekatan, antara lain, non-market seperti
transfer teknologi, peningkatan kapasitas, keuangan (misalnya pajak atas

18
karbon3) untuk mendorong partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam
mencapai target NDC.

Pendekatan semacam CDM (yang berakhir tahun 2020) kemungkinan besar


akan sangat berkurang karena perdagangan internasional hanya akan dilakukan jika
ada kondisi “surplus” dimana suatu negara capaiannya melebih target NDC-nya dan
“defisit” dimana ada negara yang tidak dapat mencapai target NDC-nya dengan upaya
sendiri. Hal mana sulit diprediksi karena total NDC sekarang ini bahkan masih kurang
untuk mencapai target pengendalian pemanasan global dibawah 2 derajat Celcius.
Hal ini berhubungan pula dengan larangan “pencatatan berganda” (double counting)
yaitu ketika hasil mitigasi yang sama dicatat dan dilaporkan oleh lebih dari satu pihak,
sehingga berimplikasi setiap ton emisi GRK yang dijual ke luar negeri untuk
pencapaian NDC negara lain harus dihitung sebagai emisi negara penjual. Antara lain
karena faktor-faktor itulah volume permintaan (demand) dari pasar karbon
internasional dalam kerangka Persetujuan Paris UNFCCC saat ini masih sulit
diperkirakan.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan karbon, lebih


diperlukan bagi Indonesia untuk mendorong aksi mitigasi di dalam negeri dan
mencapai pemenuhan target NDC secara cost-effective, bahkan sebagai opsi sumber
pendapatan negara untuk melakukan aksi adaptasi. Perdagangan karbon juga akan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aksi penurunan emisi sehingga dapat
mengurangi beban negara dalam mencapai target NDC. Perdagangan karbon ke luar
negeri masih bisa dilakukan mengingat potensi manfaatnya namun harus dilakukan
dengan hati-hati dan terkendali (termasuk dengan membatasi perdagangan ke luar
negeri) untuk memastikan tercapainya target NDC.

C. Penetapan Harga Karbon Hutan


Pendanaan upaya penurunan emisi dalam kerangka pencapaian Nationally
Determined Contribution (NDC) melalui mekanisme pasar karbon memerlukan
informasi biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi tersebut. Hal ini diperlukan

3
https://www.wri.org/blog/2019/12/article-6-paris-agreement-what-you-need-to-know
19
untuk memberikan masukan pada upaya penetapan harga yang sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan oleh entitas yang melakukan upaya penurunan emisi.

Pada saat ini pemerintah telah memiliki regulasi tentang Nilai Ekonomi Karbon
(NEK) yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. NEK merupakan salah satu
bagian dari kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Harapannya,
melalui aturan ini dapat tercapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41%
pada 2030 dengan dukungan internasional, sekaligus mendukung pembangunan
rendah karbon. Pada prinsipnya, nilai ekonomi karbon merupakan salah satu
instrumen dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan
emisi gas rumah kaca, melalui pemilihan aksi adaptasi dan mitigasi yang paling
efisien, efektif, dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang
ditetapkan secara nasional.

Secara singkat, Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing) merupakan instrumen


ekonomi mendasarkan perhitungannya dengan 2 (dua) instrumen pokok yaitu satuan
unit karbon itu sendiri dan harga yang layak dibayarkan per satuan ton karbon dioksida
ekuivalen (CO2e). Dengan kata lain, Nilai Ekonomi Karbon adalah nilai terhadap setiap
unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan
ekonomi. Kebijakan pengaturan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) ini akan
menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia. NEK
inilah yang pada dasarnya dapat disebut sebagai harga karbon. Berikut adalah
pembahasan singkat terkait konsep penetapan harga karbon pada beberapa aktivitas
utama penurunan emisi di Indonesia.

C. Pendekatan Estimasi Harga Karbon dari Hutan dan Pengelolaan Lahan

Penghitungan pembiayaan NDC sektor kehutanan dapat menggunakan


pendekatan total cost dalam kegiatan mitigasi perubahan iklim. Perhitungan biaya
didasarkan pada asumsi alokasi anggaran APBN dan dana investasi pihak swasta
yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan mitigasi perubahan iklim yang sejalan
dengan strategi implementasi NDC sektor kehutanan. Alokasi anggaran APBN
tersebut belum merefleksikan kebutuhan pembiayaan kegiatan-kegiatan perubahan
iklim secara ideal karena mungkin belum/tidak memasukkan komponen pembiayaan
untuk menciptakan/menjaga kondisi pemungkin (enabling condition), komponen-
komponen intangible yang belum divaluasikan ataupun modal yang sudah dimiliki dan

20
tidak dimasukkan kembali dalam penghitungan.
Sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7
Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, kegiatan-
kegiatan yang termasuk dalam aksi mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut
sebagai berikut :
a. pengurangan laju deforestasi lahan mineral;
b. pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove;
c. pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral;
d. pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove;
e. pembangunan hutan tanaman;
f. pengelolaan hutan lestari;
g. rehabilitasi dengan rotasi;
h. rehabilitasi nonrotasi;
i. restorasi gambut;
j. perbaikan tata air gambut;
k. rehabilitasi mangrove;
l. aforestasi pada kawasan bekas tambang;
m. pembangunan persemaian permanen;
n. rehabilitasi tanaman di bawah 5 (lima) tahun;
o. konservasi keanekaragaman hayati;
p. perhutanan sosial;
q. pendampingan pada hutan adat;
r. introduksi replikasi ekosistem; pembangunan ruang terbuka hijau;
s. ekoriparian
t. dan penegakan hukum untuk mendukung perlindungan dan pengamanan
Kawasan Hutan; dan/atau
u. kegiatan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Biaya untuk pengurangan laju deforestasi dapat dihitung dengan pendekatan


total anggaran pemerintah (APBN) yang digunakan untuk penurunan deforestasi
secara nasional. Besaran biaya tersebut kemudian dibandingkan dengan laju
deforestasi pada tahun yang sama, sehingga diperoleh basis estimasi biaya yang
dialokasikan melalui APBN untuk penurunan deforestasi secara nasional. Namun
demikian, penghitungan ini baru berdasarkan alokasi anggaran, belum

21
mencerimankan/kebutuhan dana yang riil karena beberapa komponen untuk kegiatan
tersebut belum masuk dalam alokasi yang mampu disediakan oleh Pemerintah.

Biaya pembangunan hutan tanaman dapat didekati dari standar biaya


pembangunan hutan tanaman yang ditetapkan oleh pemerintah atau usulan dari
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Besar biaya pembangunan hutan
tanaman akan bervariasi berdasarkan jenis komoditas dan jenis lahan
(mineral/gambut). Total biaya pembangunan hutan tanaman tersebut dibandingkan
dengan total unit karbon per hektar pada hutan tanaman.

Sementara itu dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), dengan
mengacu pada target NDC dan rata-rata realisasi RHL, dapat disusun skenario
penurunan emisi. Dalam hal ini angka rata-rata realisasi RHL dianggap sebagai
Business As Usual (BAU). Penghitungan biaya untuk mencapai NDC dengan strategi
rehabilitasi hutan dan lahan dapat didekati dari pengeluaran pemerintah dalam
melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan (termasuk reboisasi). Strategi
utama NDC terkait dengan restorasi lahan gambut adalah dengan menargetkan untuk
merestorasi areal seluas 2 juta ha hingga tahun 2030 dengan tingkat kesuksesan
sebesar 90%. Biaya penurunan per ton CO2e emisi dari restorasi lahan gambut dapat
didekati dari besaran biaya restorasi gambut yang diperlukan, dengan turut
mempertimbangkan tingkat inflasi tahunan.

Selain pendekatan total cost, penetapan harga karbon (carbon pricing) dapat
mempertimbangkan tarif pajak karbon (carbon tax) dan harga pasar karbon (Emission
Trade System) di lingkup internasional. Secara teori, harga karbon harus di bawah
nilai tarif pajak karbon sehingga para wajib pajak karbon (buyers) akan lebih memilih
membeli unit karbon daripada membayar pajak karbon. Kondisi demikian akan
mendorong terciptanya iklim investasi hijau di sektor kehutanan.

Berdasarkan data World Bank (2023) tarif pajak karbon di dunia berkisar pada
angka $ 0,82 (Ukraina) hingga $ 155 (Uruguay) sedangkan harga pasar karbon
(Emission Trade System) berkisar antara $ 1,08 (Japan) hingga $ 96,30 (Uni Eropa).
Sesuai dengan Pasal 13 Undang Undang Nomor & Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, tarif pajak karbon di Indonesia ditetapkan lebih tinggi atau
sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp 30 per
kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
22
IV. KEBIJAKAN TATA KELOLA KARBON SEKTOR
KEHUTANAN

A. Pendahuluan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan


peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Pemanfaatan hutan pada kedua kawasan hutan tersebut dilakukan dengan
Multiusaha Kehutanan (MUK), melalui pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan
hutan (PBPH) pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi. Permohonan PBPH diajukan
kepada Menteri melalui mekanisme OSS (online single submission) yang harus
dilengkapi dengan persyaratan permohonan.

Pada dasarnya MUK dapat diselenggarakan dengan melakukan:

1. pemanfaatan pada Hutan Lindung, yaitu dengan melakukan pemanfaatan


kawasan, melaksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan
hasil hutan bukan kayu (HHBK);

2. pemanfaatan hutan pada Hutan Produksi, yaitu berupa pemanfaatan kawasan,


pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan
HHBK, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan HHBK ;

3. penyesuaian perubahan usaha kegiatan pemanfaatan hutan melalui Multiusaha


Kehutanan (MUK).

4. penyesuaian perubahan usaha kegiatan pemanfaatan hutan dengan mengajukan


permohonan perubahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Pemanfaatan Hutan
(RKUPH) kepada Direktur Jenderal.

B. Dasar Hukum
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris di bawah

23
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Perubahan Iklim.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang diantaranya mengatur tentang
Bursa Karbon.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan , yang
diantaranya mengatur tentang Pajak Karbon.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah.
Dalam hal ini adalah usaha bersama antara daerah dengan daerah lain,
antara daerah dan pihak ketiga, dan/atau antara daerah dan Lembaga atau
Pemerintah daerah di luar negeri.
e. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai
Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan
Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam
Pembangunan Nasional.
f. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022
tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas
Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
g. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023
tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
h. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Kerja Sama Daerah dengan Pemerintah Daerah di Luar Negeri dan Kerja
Sama Daerah dengan Lembaga di Luar Negeri.
i. Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum
Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah.
j. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Sub Sektor
Pembangkit Tenaga Listrik.
k. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
168/MENLHK/PKLT/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other
Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
l. Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023
Tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerja Sama Karbon.
24
C. Tata Kelola Karbon

Tata kelola Karbon sektor kehutanan dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan


hukum oleh semua pihak, serta merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk
ditegakkan dan dipatuhi. Pemerintah telah membuka ruang yang cukup bagi semua
pihak, termasuk masyarakat, kelompok masyarakat hutan dan pelaku usaha, untuk
tetap bisa menjalankan rencana-rencana bisnisnya dalam pemanfaatan nilai ekonomi
karbon secara berkelanjutan, namun harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan. Beberapa hal terkait tata kelola karbon sektor kehutanan, antara lain:
1. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang terdiri dari:
a. Pemegang PBPH, hak pengelolaan, dan pemilik hutan hak milik yang telah
memiliki sertifikat verifikasi legalitas dan kelestarian;
b. Pemegang PBPH yang telah memiliki RKUPH MUK dengan salah satu
kegiatannya adalah pemanfaatan Jasa Lingkungan Penyerapan dan
Penyimpanan Karbon (RapPan Karbon).
c. Pemegang PBPH yang melaksanakan aksi mitigasi untuk mendukung capaian
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dengan membuat perancangan aksi mitigasi
sebagai dasar penyusunan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM).
d. Pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial yang membentuk
kelompok usaha perhutanan sosial yang telah mendapatkan paling rendah
kategori silver sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
e. Masyarakat hukum adat yang telah mendapatkan Surat Keputusan Penetapan
sesuai perundang-undangan.
f. Semua pelaku usaha harus teregistrasi dalam Sistem Registrasi Nasional
Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan mengikuti tata kelola
perdagangan karbon sesuai perundang-undangan.

2. Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
telah teregistrasi dalam SRN PPI dilakukan melalui kegiatan yang mendukung
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang mencakup yaitu:

a. pengurangan laju deforestasi lahan mineral;


b. pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove;
c. pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral;
25
d. pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove;
e. pembangunan hutan tanaman;
f. pengelolaan hutan lestari;
g. rehabilitasi dengan rotasi;
h. rehabilitasi nonrotasi;
i. restorasi gambut;
j. perbaikan tata air gambut;
k. rehabilitasi mangrove;
l. aforestasi pada kawasan bekas tambang;
m. pembangunan persemaian permanen;
n. rehabilitasi tanaman di bawah 5 (lima) tahun;
o. konservasi keanekaragaman hayati;
p. perhutanan sosial;
q. pendampingan pada hutan adat;
r. introduksi replikasi ekosistem;
s. pembangunan ruang terbuka hijau;
t. ekoriparian;
u. pengawasan dan penegakan hukum untuk mendukung perlindungan dan
pengamanan Kawasan Hutan; dan/atau
v. kegiatan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3. Perdagangan Karbon sektor Kehutanan dilakukan pada:
a. sub sektor Kehutanan; dan
b. sub sektor pengelolaan gambut dan mangrove.
4. Sub sektor Kehutanan dan sub sektor pengelolaan gambut dan mangrove
meliputi sub sub sektor:
a. kawasan hutan negara yang tidak dibebani izin;
b. areal kerja unit perizinan/persetujuan;
c. areal kerja hak pengelolaan hutan;
d. kawasan hutan adat;
e. areal hutan hak; dan
f. hutan negara yang bukan merupakan Kawasan Hutan.
5. Perdagangan dalam negeri dapat dilakukan dalam sektor dan antar sektor,
namun untuk perdagangan karbon luar negeri harus mendapatkan Otorisasi
26
Menteri dan tanpa mempengaruhi target Nationally Determined Contributions
(NDC) serta mematuhi ketentuan Corresponding Adjustment (CA).
6. Perdagangan karbon dilakukan melalui mekanisme:
a. Perdagangan emisi.
b. Offset emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
7. Perdagangan karbon dilakukan dengan memenuhi ketentuan:
a. Sesuai dengan ketentuan Peta Jalan Perdagangan Karbon.
b. Menyediakan cadangan pengurangan emisi (buffer).
c. Berbentuk Sertifikat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK) untuk
perdagangan lintas sektor.
8. Pelaksanaan perdagangan karbon, pelaporan, evaluasi, dan pembinaan
dilakukan dengan berpedoman pada peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang tata cara perdagangan sektor Kehutanan.

Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi PBPH yang
melaksanakan kegiatan Multiusaha Kehutanan yang di dalamnya terdapat kegiatan
usaha pemanfaatan jasa lingkungan penyerapan dan/atau penyimpanan (Rap/Pan)
karbon, maka pemegang PBPH harus menerapkan ketentuan terkait Nilai Ekonomi
Karbon, yaitu:
1. memiliki RKUPH MUK Jasling Rap/Pan Karbon yang disahkan, memiliki baseline
emisi GRK dan data cadangan karbon hutan sesuai peraturan perundang-
undangan.
2. mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam SRN PPI
sesuai peraturan perundang-undangan.
3. melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim untuk tercapainya target NDC
Indonesia.
4. menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) berdasarkan Rencana
Operasional (RO) Aksi Mitigasi FOLU, yang terintegrasi dengan RKUPH serta
melaksanakan kegiatan tahunan yang disusun oleh pelaku usaha, serta
memperhatikan Peta Jalan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
5. menghitung penurunan emisi GRK yang sesuai dengan prinsip measurable,
reportable, verifiable menurut aturan dan metode sesuai ketentuan perundang-
undangan.
27
6. terhadap capaian dan kinerja suatu Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, telah dilakukan
pengukuran, pelaporan dan verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, maka
diusulkan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) - GRK melalui proses
sertifikasi, dan SPE GRK tersebut dapat diperdagangkan atau ditukarkan antara
subsektor.
7. memperoleh otorisasi pemerintah untuk perdagangan karbon luar negeri.
8. menyediakan cadangan SPE-GRK yang telah diterbitkan untuk Offset Emisi GRK
dalam negeri dan Offset Emisi GRK luar negeri, sesuai ketentuan peraturan
perundangan. Penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) dilakukan untuk:
a. Perdagangan Emisi yang memiliki SPE-GRK;
b. Offset Emisi GRK dalam negeri:
c. Offset Emisi GRK luar negeri; dan
d. Offset Emisi GRK luar negeri di luar ruang lingkup NDC.
Besaran penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) ditetapkan dalam peta
jalan Perdagangan Karbon sektor Kehutanan yang ditetapkan oleh Menteri.
9. dalam hal PBPH yang dikenakan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku
Usaha (PTBAE-PU) memiliki emisi aktual berada di atas PTBAE-PU, Pelaku
Usaha harus melakukan pengimbangan dengan membeli Unit Karbon dari Pelaku
Usaha lain.
10. PBPH yang melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan mitra
pembeli dalam Perdagangan karbon, maka tidak mengakibatkan
pemindahtanganan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan ditetapkan
dengan dalam bentuk Perjanjian dalam Akta Notaris.
11. Dalam hal terjadi pemindahtanganan PBPH yang tidak sesuai ketentuan,
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

D. Tahapan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan

1. Perdagangan Emisi
a. penyusunan dan penetapan peta jalan Perdagangan Karbon sektor
Kehutanan;
b. penetapan penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer);
c. penetapan PTBAE pengelolaan gambut pada sub sektor pengelolaan gambut
dan mangrove;

28
d. penentuan PTBAE-PU;
e. penetapan kuota pengelolaan gambut pada sub sektor pengelolaan gambut
dan mangrove;
f. pengukuran emisi aktual;
g. penyampaian laporan PTBAE-PU;
h. verifikasi laporan PTBAE-PU;
i. laporan hasil Verifikasi.

2. Offset Emisi GRK


a. penyusunan dan penetapan peta jalan Perdagangan Karbon sektor
Kehutanan;
b. penetapan penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer);
c. penetapan Baseline Emisi GRK sektor Kehutanan;
d. penetapan target pengurangan emisi sektor Kehutanan;
e. penyusunan DRAM;
f. Validasi DRAM;
g. laporan hasil Validasi DRAM;
h. laporan hasil pelaksanaan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim;
i. Verifikasi laporan hasil pelaksanaan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim;
j. penyusunan laporan hasil Verifikasi pelaksanaan Aksi Mitigasi Perubahan
Iklim;
k. pembentukan dan pembentukan dan penelaahan oleh tim MRV; dan
l. penerbitan SPE-GRK.

29
E. Proses Bisnis Perdagangan Karbon Oleh PBPH

Gambar 4. Flowcart Proses Bisnis Perdagangan Karbon Oleh PBPH

Tahapan proses perdagangan karbon oleh PBPH sebaimana Gambar di atas


adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan Pelaku Usaha untuk perdagangan karbon antara lain :
a. Memiliki legalitas PBPH
b. Memiliki Rencana Kerja Usaha MUK (RKUPH dan RKTPH) dengan kegiatan
pemanfaatan jasa lingkungan-rap/pan karbon.
2. Penyusunan RKU MUK berbasis FOLU Net Sink: RKUPH MUK tetap
mempertahankan jenis usaha sesuai dengan izin awal dan penambahan kegiatan
Pemanfaatan Jasa lingkungan – rap/pan karbon).
3. Menyusun perancangan aksi mitigasi (RO 1 s.d. RO 12) sebagai bagian dari
Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM), menjadi suplisi dari dokumen RKUPH
a. Pencegahan deforestasi: RO 1, 2 dan 11 (penyimpanan karbon)
b. Pencegahan degradasi hutan: RO 3 dan 5 (penyimpanan karbon)
c. Peningkatan cadangan karbon: RO 4, 6, 7 dan 8 (penyerapan karbon)
d. Pengelolaan mangrove dan gambut: RO 9, 10 dan 12 (penyerapan karbon)

30
4. DRAM paling sedikit memuat:
a. Penjelasan tentang Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang diusulkan (Judul,
kegiatan, penanggung jawab, pihak pembeli, lokasi, durasi proyek, nara
hubung dan sebagainya,
b. Penerapan metodologi yang telah disetujui
c. Perhitungan Penurunan Emisi GRK (Baseline dan target dan potensi
penurunan emisi dan sebagainya)
d. Analisa Dokumen Lingkungan
e. Sumber Daya (Jumlah dana diperlukan, dana tersedia, sumber pendanaan,
struktur pendanaan-pinjaman, PMA, PMDN dan sebagainya)
f. Pustaka (Reference)
g. Lembar Struktur dan lembar Pemantauan (dilampirkan di DRAM)
h. Riwayat Perbaikan DRAM
5. Melakukan registrasi di SRN PPI yaitu Formulir DRAM: Penyampaian Proposal,
Pendaftaran di Web SRN, Pengisian Formulir DRAM/metodologi; Input data :
Profil Pelaku Usaha (integrasi ke SIPASHUT), Baseline atau PTBAE,
Pengurangan Emisi GRK
6. Tahap verifikasi dan validasi oleh validator pihak ketiga
7. Melaksanakan perdagangan karbon baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai
banyaknya SPE GRK. Khusus perdagangan luar negeri perlu dipastikan
penentuan perpindahan unit karbon, syarat target NDC pada Sub Sektor atau sub
Sub Sektor sudah tercapai dan dapat otorisasi Menteri.
Catatan : Perdagangan karbon sesuai dengan Peta Jalan Perdagangan karbon
sektor/sub-sektor Menyediakan side aside atau buffer untuk perdagangan
sebelum 2030:0-5% dari SPE-GRK untuk perdagangan dalam negeri; 10%-20%
dari SPE-GRK untuk perdagangan luar negeri; >=20% dari SPE-GRK,
perdagangan luar negeri kegiatan di luar ruang lingkup NDC. Dikembalikan
apabila 2 tahun berturut-turut target NDC sektor/sub-sektor tercapai (Pasal 7
Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022).

31
F. Larangan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan

Perdagangan Karbon tidak dapat dilakukan dengan ketentuan:


1. Kegiatan Aksi Mitigasi yang telah dilakukan Pembayaran Berbasis Kinerja tidak
dapat diajukan dalam mekanisme Perdagangan Karbon dalam masa periode
Pembayaran Berbasis Kinerja; atau
2. Kegiatan Aksi Mitigasi yang sudah ada dokumen perjanjian kerja sama
Internasional atau komitmen tertulis lainnya yang dipersamakan terkait
Pembayaran Berbasis Kinerja pengurangan emisi.

G. PNBP Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan

1. PNBP perdagangan karbon sektor kehutanan, atas Kegiatan penyerapan karbon


& penyimpanan karbon, Pembayaran penerimaan negara bukan pajak dilakukan
melalui sistem informasi penerimaan negara bukan pajak (SIPNBP).
2. Pungutan atas karbon sektor Kehutanan dilakukan penatausahaan dan
pengelolaan.

Gambar 5. Flowchart PNBP Perdagangan Karbon

32
H. Laporan, Evaluasi Dan Pembinaan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan

1. Pelaku Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
yang dilakukan oleh pemegang PBPH wajib menyampaikan laporan kegiatan
usahanya secara periodik setiap bulan.
2. Laporan disampaikan kepada Direktur Jenderal PHL dan ditembuskan kepada
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan
Kepala Balai.
3. Laporan disampaikan melalui SRN PPI dan sistem informasi yang dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (SIPASHUT) atau dalam
keadaan tertentu disampaikan secara luar jaringan.
4. Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan pelaporan dikenai sanksi
administrative
5. Laporan kegiatan usaha perdagangan karbon menjadi dasar Menteri
melakukan evaluasi kinerja terhadap:
a. realisasi pembangunan sarana prasarana usaha Perdagangan Karbon;
b. kebenaran metodologi usaha Perdagangan Karbon;
c. kebenaran perhitungan potensi karbon dari usaha Perdagangan Karbon;
dan
d. penggunaan dokumen dan persyaratan usaha Perdagangan Karbon.
6. Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh Direktur Jenderal dengan menugaskan
tim evaluasi kinerja Pelaku Usaha Perdagangan Karbon untuk memeriksa
kesesuaian laporan kegiatan dengan dokumen perencanaan dan
pemeriksaan lapangan.
7. Hasil evaluasi kinerja Pelaku Usaha dituangkan dalam berita acara dan
menjadi dasar tindak lanjut pembinaan. Evaluasi kinerja Pelaku Usaha
Perdagangan Karbon dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun

33
VI. FREQUENTLY ASKED QUESTION (FAQ)

1. Apakah yang dimaksud dengan perdagangan karbon hutan?


Perdagangan karbon hutan (forest carbon trading) adalah kegiatan jual beli unit
karbon (carbon unit) yang dihasilkan dari kegiatan hutan yang baik. Pembeli unit
karbon hutan adalah pihak pengemisi karbon yang mengeluarkan karbon
melebihi batas kuota, sedangkan penjualnya adalah pihak yang memiliki hutan
yang berfungsi sebagai penyerap karbon dari atmosfir. Jatah atau target kuota
emisi karbon bisa diberikan oleh Pemerintah atau bisa juga ditetapkan sendiri
secara sukarela oleh entitas berwenang lain. Satu unit karbon sama dengan
pengurangan emisi yang setara dengan 1 ton CO 2.

2. Apa yang dimaksud dengan pasar karbon (carbon market)?


Pasar karbon adalah transaksi unit karbon yang mengacu pada sistem yang
memungkinkan perusahaan, pemerintah, dan entitas lain untuk membeli dan
menjual unit karbon sebagai cara untuk mengimbangi atau menangani emisi
karbon mereka melalui bursa karbon dan/atau perdagangan langsung.

3. Bagaimana prospek pasar karbon domestik dan global di masa depan?


Permintaan unit karbon terus meningkatdan mungkin terus tumbuh di tahun-
tahun mendatang sebagai tanggapan atas komitmen nol emisi perusahaan (net
zero emission). Permintaan unit karbon dari instrumen pasar domestik wajib
(domestic market obligation) relatif kecil dibandingkan dengan mekanisme
independen, tetapi diperkirakan akan tumbuh cepat seiring dengan tersedianya
instrumen kebijakan dari pemerintah.

4. Apakah yang dimaksud dengan pasar karbon kepatuhan (mandatory


carbon market)?
Mandatory Carbon Market ditetapkan oleh pemerintah sebagai sarana untuk
mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai kontribusi yang ditetapkan
secara Nasional (Nationally Determined Contribution). Pasar ini beroperasi
secara wajib sesuai ketentuan dan perundang-undangan, artinya organisasi

34
yang berpartisipasi diwajibkan oleh undang-undang untuk berpartisipasi di
pasar dan memenuhi target pengurangan emisi karbon untuk memenuhi target
NDC.

5. Apakah yang dimaksud dengan pasar karbon sukarela (voluntary carbon


market)?

Voluntary Carbon Market atau biasa disebut VCM adalah skema perdagangan
karbon antara pelaku bisnis, di mana salah satu pihak melakukan proyek
penurunan emisi sementara pihak lain membeli karbon kredit untuk melakukan
“Offsetting”. VCM tidak dibentuk oleh pemerintah dan pelakunya bersifat
sukarela. Tidak ada dasar hukum untuk berpartisipasi dalam VCM, tetapi
didasarkan pada komitmen sukarela untuk mengimbangi emisi mereka.
Pasar ini memungkinkan perusahaan, pemerintah, dan organisasi lain untuk
mengimbangi emisi karbon mereka secara sukarela, baik untuk memenuhi
tujuan keberlanjutan mereka sendiri ataupun untuk menunjukkan komitmen
mereka dalam mengurangi jejak karbon mereka. Contoh-contoh VCM adalah
ETS, VCS, Gold Standard, Plan Vivo, CCBS, dll

6. Mengapa perdagangan karbon harus dikaitkan dengan Paris Agreement,


NDC, ENDC, LTS-LCCR, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Net Zero
Emission?

Mekanisme perdagangan karbon diatur dalam Paris Agreement, yang tujuannya


untuk mendukung pembiayaan aksi mitigasi dan adaptasi mitigasi perubahan
iklim yang ditargetkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC),
mendukung pelaksanaan Long Term Strategy for Low Carbon and Climate
Resilience (LTS-LCCR) melalui target pencapaian Indonesia’s Forestry and
Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, untuk menuju Net Zero Emission (NZE)
pada tahun 2060 atau lebih cepat.

35
7. Apakah Paris Agreement (PA) itu?

Paris Agreement (PA) atau Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang
mengikat secara hukum tentang pengendalian perubahan iklim. PA diadopsi
oleh 196 Negara Pihak yang meratifikasi UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change), dimana Indonesia menjadi salah satu negara
anggotanya. PA disahkan secara aklamasi oleh Para Pihak (Party countries)
pada Konferensi Perubahan Iklim PBB yang disebut Conference of the Parties
(COP) UNFCCC ke 21 tahun 2015 di Paris, Prancis, dan mulai diberlakukan
mulai tanggal 4 November 2016.

8. Apakah tujuan utama Paris Agreement?

Tujuan keseluruhannya adalah untuk mengurangi kenaikan suhu rata-rata


global di bawah 2°C dibandingkan dengan suhu rata rata bumi pada jaman pra-
industri pada abad 18, dan mengupayakan untuk membatasi kenaikan suhu
tersebut Hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri dan mencapai emisi bersih
pada pertengahan abad ini.

9. Mengapa kita perlu memahami Paris Agreement?

Indonesia telah meratifikasi PA sehingga sifatnya mengikat secara hukum


internasional. Pemerintah kemudian mengesahkan PA melalui Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2016, yang selanjutnya diturunkan dalam Perpres 98 tahun
2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang kemudian dijabarkan dalam
Permen LHK No 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi
Karbon dan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara
Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

10. Apakah yang dimaksud dengan NDC dan ENDC?

NDC (Nationally Determined Contribution) adalah jantung (core) dari Perjanjian


Paris yang memuat upaya masing-masing negara untuk mengurangi emisi dan
menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim. Pasal 4 Perjanjian Paris
mewajibkan setiap negara pihak (Party countries) untuk menyusun dan
36
mengkomunikasikan kegiatan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim
pasca 2020.
ENDC (Enhanced NDC) adalah NDC dengan target yang lebih tinggi
dibandingkan dengan NDC sebelumnya. Dalam ENDC, target penurunan emisi
nasional bila kita melakukannya dengan upaya sendiri naik dari 29% menjadi
31,89% atau setara dengan 2,87 miliar ton emisi CO2 pada tahun 2030.
Sementara target penurunan emisi karbon jika ada bantuan asing naik dari 41%
menjadi 43,2%.

11. Apa hubungan perdagangan karbon dengan NDC?

Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya pendanaan untuk


mendukung kegiatan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim dalam
rangka mencapai target NDC yang telah ditetapkan. Selain itu, perdagangan
karbon juga ditujukan untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi global.
Dalam Permen LHK Nomor 21 tahun 2022 dan Permen LHK Nomor 7 tahun
2023 dijelaskan bahwa perdagangan karbon luar negeri dapat dilakukan kalau
target NDC telah terpenuhi.

12. Kegiatan kehutanan apa saja yang bisa dimasukkan untuk menunjang
target NDC dan kredit karbonnya bisa dijual?

Pada dasarnya kegiatan-kegiatan Sektor Kehutanan dalam Indonesia’s FOLU


Net Sink 2030 yang dapat meningkatkan serapan serta mengurangi emisi
karbon dan mendukung pencapaian target NDC. Pada tabel di bawah ini bisa
dilihat jenis-jenis program dan kegiatan kehutanan yang dapat dimasukkan ke
dalam NDC.

Mengurangi laju deforestasi


Pengurangan emisi dari (lahan mineral dan gambut)
deforestasi dan
Mengurangi laju degradasi hutan
Kegiatan degradasi lahan
(lahan mineral dan gambut)
NDC sektor
Kehutanan Pengembangan hutan Penanaman/ Pembangunan lahan
tanaman HTI
Reduce Impact Logging

37
Pengelolaan Hutan Meningkatkan regenerasi hutan
Lestari alam / Teknik SILIN
Rehabilitasi hutan dengan rotasi
Rehabilitasi Hutan
Rehabilitasi hutan tanpa rotasi
Restorasi lahan gambut
Pengelolaan lahan
gambut Restorasi tata air gambut
Peningkatan hutan
konservasi Konservasi biodiversitas

13. Apakah yang dimaksud dengan LTS-LCCR, serta FOLU Net Sink 2030?

Secara bertahap target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia


akan dilaksanakan sejalan dengan kebijakan jangka panjang Long-term
Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050)
untuk menuju Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih ce pat.
Dalam jangka pendek, keseriusan Indonesia dalam upaya pengendalian
perubahan iklim tergambar dalam Indonesia’s FOLU Net Sink 2030,
dimana emisi dari Sektor kehutanan dan lahan (FOLU) akan mencapai
net sink pada tahun 2030. FOLU Net Sink 2030 merupakan sebuah
kondisi yang ingin dicapai Pemerintah Indonesia melalui penurunan
emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan
dengan kondisi dimana tingkat serapan gas rumah kaca sama atau lebih
tinggi dari tingkat emisinya.

14. Apakah yang dimaksud dengan Net Zero Emission (NZE)?

NZE adalah keadaan yang menggambarkan netralitas karbon, dimana jumlah


emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer karena berbagai
aktivitas pemangku kepentingan (individu, organisasi, perusahaan, negara, dll.)
telah sama dengan atau lebih kecil dari jumlah keseluruhan emisi GRK yang
diserap. Untuk mencapai netralitas karbon, unit karbon dari entitas yang
mengurangi atau menyerap emisi GRK diterima oleh entitas yang melepaskan
emisi GRK. Kenetralan karbon dimungkinkan pada tingkat pemangku
kepentingan, bukan pada tingkat global/planet. Perjanjian Paris menargetkan
NZE global bisa dicapai pada pertengahan abad ini (2050).
38
15. Pasal mana dalam Paris Agreement yang terkait dengan perdagangan
karbon?

Paling tidak terdapat tiga Pasal atau Article yang harus dipahami terkait dengan
perdagangan karbon hutan, yaitu Article 4 tentang Nationally Determined
Contribution (NDC), Article 5 tentang REDD+, dan Article 6 tentang mekanisme
perdagangan karbon.

16. Apakah isi Pasal 5 Paris Agreement itu?

Pasal 5 PA pada hakekatnya menyebutkan fungsi hutan sebagai penyerap dan


penyimpan karbon, dan oleh karenanya mendorong negara pemilik hutan untuk
melestarikan dan meningkatkan fungsi tersebut sebagaimana mestinya. Secara
specific, Pasal 5 menyebutkan kegiatan REDD+ dan kerja sama
sukarela/pendekatan berbasis pasar dan non-pasar seperti Pembayaran
Berbasis Kinerja (Resource-based Payment – RBP).

17. Apakah isi Pasal 6 Paris Agreement itu?

Pasal 6 PA pada hakekatnya merupakan kesepakatan mekanisme


perdagangan karbon, yang terdiri dari tiga sub-pasal. Pasal 6.2 dan 6.4 terkait
dengan mekanisme pasar, dan Pasal 6.8 adalah mekanisme non-pasar.

• Pasal 6.2 menyebutkan bahwa Negara dapat memperdagangkan


pengurangan emisi karbonnya secara bilateral atau multilateral. Negara
penjual dapat menjual jatah emisi yang masih dimilikinya setelah target
NDC-nya tercapai. Negara pembeli adalah negara mana pun yang telah atau
akan gagal memenuhi target NDC-nya.

39
• Pengembang/ Manajer proyek harus menggunakan metodologi yang
disetujui UNFCCC; atau yang ditetapkan Direktur Jenderal; atau yang
ditetapkan Badan Standarisasi Nasional kemudian harus mendapatkan
persetujuan otorisasi Menteri untuk penjualan kredit unit karbonnya.
• Pasal 6.4 menyebutkan bahwa mekanisme ini mirip dengan perdagangan
karbon di bawah Protokol Kyoto, jauh sebelum disepakatinya Paris
Agreement yang disebut Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism - CDM). CDM membuat aturan seputar jenis
kegiatan dan metodologi apa yang diperbolehkan, kemudian harus
diverifikasi, dan aturan-aturan2 lainnya. Jadi pada dasarnya Mekanisme 6.4
yang baru akan mengikuti pendekatan terpusat yang serupa dengan CDM
Kyoto Protokol tetapi dengan pendekatan dan metodologi yang
disempurnakan.

Pasal 6.8 (mekanisme non-pasar): Mekanisme ini secara umum akan


Pengembang proyek Pengembang/Manajer proyek Pengembang/ Manajer
harus mendapatkan harus menggunakan proyek harus
persetujuan dari negara metodologi yang disetujui mendapatkan
tuan rumah UNFCCC persetujuan untuk
penerbitan kredit
karbon oleh Badan
Pengawas UNFCCC

• Pasal 6.8 adalah mekanisme non-pasar. Mekanisme ini secara umum


memberikan kerangka kerja sama antar negara, dimana sesungguhnya tidak
melibatkan kegiatan perdagangan karbon, akan tetapi memberikan bantuan
langsung kepada negara penerima yang telah membuktikan hasil nyata
40
dalam penurunan emisi GRKnya. Contohnya Pembayaran yang berbasis
kinerja (Resource-Based Payment -RBP) dalam proyek-proyek REDD+.

18. Apakah yang dimaksud dengan ITMO?

ITMO (International Transferred Mitigation Outcomes) tercantum dalam Pasal


6 Perjanjian Paris, yaitu kerjasama internasional sukarela antara dua negara
atau lebih untuk mencapai tujuan NDC mereka dengan cara mentransfer hasil
mitigasi dari salah satu negara ke negara lainnya. Jadi dua negara dapat
mencapai kesepakatan dimana salah satu pihak mengurangi emisi gas rumah
kaca (GRK) dan mengalihkan pengurangan emisi GRK tersebut ke pihak lain
untuk diperhitungkan sebagai bagian dari pencapaian target NDC mereka.
Namun demikian, pengurangan emisi tersebut tidak diperhitungkan sebagai
hasil mitigasi pihak yang mengurangi emisi gas rumah kacanya.

19. Apakah yang dimaksud dengan Corresponding Adjustment (CA)?

Corresponding Adjustment adalah penyesuaian perhitungan emisi karbon yang


tujuannya untuk memastikan bahwa dua negara tidak menghitung pengurangan
emisi yang sama. Ketika unit karbon dijual ke negara lain atau entitas lainnya
(misalnya melalui ITMO), maka negara penjual harus melakukan penyesuaian
terhadap emisinya dengan memperhitungkan emisi yang telah ditransfer ke
tempat lainnya dan digunakan untuk memenuhi target NDC di tempat lain.
Proses ini menjamin bahwa 1 ton CO2 hanya dapat dipertanggungjawabkan
satu kali, baik oleh negara yang menghasilkan kredit karbon maupun oleh
negara mitra yang membelinya.

41
20. Kapan Corresponding Adjusment (CA) harus diterapkan?

Corresponding Adjustment (CA) diperlukan dalam perdagangan karbon yang


berbasis pasar karbon (pasal 6.2 dan 6.4), namun tidak diperlukan untuk
Certified Emission Reduction (CER) sebelum 2020, baik oleh negara penjual
maupun negara pembeli. CA juga diperlukan jika diizinkan untuk melakukan
International Transferred Mitigation Outcomes (ITMO) ataupun untuk tujuan
mitigasi internasional lainnya di luar NDC, termasuk pasar karbon sukarela
(Voluntary Carbon Market -VCM).

21. Apakah tahapan yang harus dilalui sebelum kegiatan perdagangan karbon
domestik dan internasional (Voluntary dan Mandatory) dapat dilaksanakan
pada Kawasan PBPH?

No Kegiatan Pelaksana Keterangan


1 Penyusunan DRAM dengan Pelaku Usaha Data dan peta yang kurang
data baseline, metode lengkap dan atau tidak tersedia.
penghitungan emisi dan Pada hutan PBPH Karbon,
serapannya, serta data dan mungkin perlu merubah RKU
informasi lainnya yg diperlukan harus memuat rencana aksi
sesuai Pedoman. mitigasi. Rencana aksi mitigasi
dalam RKU dikembangkan
menjadi menjadi DRAM, dan ini
memerlukan proses yang
Panjang.
2 Registrasi melalui SRN dan Pelaku Usaha Seluruh Pelaku Usaha yang akan
submisi DRAM ke KLHK (Ditjen melaksanakan perdagangan
PPI) karbon wajib registrasi dalam SRN

42
No Kegiatan Pelaksana Keterangan
3 Validasi DRAM Validator Hasil validasi dituangkan dalam
laporan dan dicatatkan pada SRN
4 Koreksi dan Perbaikan DRAM Pelaku Usaha DRAM yang telah diperbaiki
dicatatkan kembali pada SRN
5 Pengesahan DRAM KLHK

6 Verifikasi Pihak ke 3 Saat ini belum ada verifikator yang


yang ditunjuk ditunjuk KLHK
KLHK
7 Pemberian Sertipikat KLHK
Penguragan Emisi (SPE)
8 Penjualan karbon domestik dan Pasar Karbon Perdagangan karbon luar negeri,
internasional (Langsung Target NDC harus telah terpenuhi
atau Bursa dan mendapat otorisasi Menteri
Karbon)

22. Apakah DRAM itu?

DRAM atau Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi yang sebelumnya disebut Project
Design Document (PDD) adalah usulan kegiatan mitigasi yang dirancang untuk
menggambarkan rencana kegiatan aksi mitigasi pengurangan emisi GRK
maupun peningkatan serapan emisi GRK dalam suatu Kawasan PBPH. DRAM
berisi informasi dan penjelasan bagaimana rencana kegiatan penurunan emisi
GRK maupun peningkatan serapan emisi GRK akan dilakukan, termasuk
metodologi perhitungan yang digunakan, penentuan baseline, dampak
lingkungan, serta data dan informasi pihak pengusul kegiatan tersebut. DRAM
disusun dengan mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2022.
Penyusunan DRAM bertujuan untuk memudahkan pelaksana aksi mitigasi dalam
proses pengurusan untuk memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) yang
kemudian dapat diperjual belikan/diperdagangkan.

23. Apakah Baseline itu?

Baseline adalah emisi GRK yang dijadikan sebagai referensi (acuan) untuk
mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan aksi mitigasi dalam rangka
penurunan emisi GRK dalam suatu Kawasan PBPH. Baseline menggambarkan
tingkat emisi gas rumah kaca di masa depan tanpa adanya upaya apa-apa atau
biasa disebut dengan skenario BAU (Business as Usual).

24. Bagaimana Baseline ditentukan dalam kawasan hutan?

Baseline ditentukan berdasarkan data historis dengan memperhatikan


kecenderungannya ke depan (trend), awal perhitungan, lama periode referensi
43
dan ketersediaan serta keandalan data historis yang digunakan. Pola perubahan
emisi GRK di masa lalu sebelum ada kebijakan/upaya mitigasi diasumsikan akan
terus berlanjut terus ke depan. Periode referensi adalah periode waktu tertentu
yang digunakan untuk penentuan emisi dasar.

25. Apakah yang disebut FREL?

FREL atau Forest Reference Emission Level adalah tingkat rujukan emisi hutan
yang menjadi Baseline dalam menentukan tingkat serapan suatu kegiatan
penurunan emisi dalam kawasan hutan, baik di tingkat nasional maupun sub
nasional. FREL Nasional pertama (FREL 1) telah melalui proses penilaian teknis
pada tahun 2016 dan secara hukum telah digunakan sebagai acuan dalam
mengukur kinerja REDD+ untuk mendapatkan Pembayaran Berbasis Hasil
(RBP) periode 2013 – 2020. FREL Nasional 1 mencakup 2 kegiatan, yaitu
deforestasi dan degradasi hutan, termasuk dekomposisi lahan gambut di wilayah
yang mengalami deforestasi dan degradasi hutan.

26. Apakah yang dimaksud dengan FRL?


FRL (Forest Reference Level) tidak lain merupakan FREL yang ke 2.
Cakupannya ditambah, bukan hanya pencegahan deforestasi dan degradasi
hutan saja, tetapi termasuk peningkatan stok karbon hutan, dekomposisi
gambut, kebakaran di lahan gambut dan lahan mineral, serta emisi dari konversi
hutan mangrove menjadi kawasan budidaya. Kemudian karbon yang dihitung
mencakup semua bagian biomasa pohon (di atas tanah, di bawah tanah, kayu
mati, serasah, dan tanah). Selain itu, dalam penghitungan emisi bukan hanya
CO2 saja, tetapi juga CH4 dan N2O, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan
di wilayah yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan. FRL digunakan
sebagai baseline nasional untuk periode aksi mitigasi dari tahun 2022 s/d 2030.

27. Apa dasar hukum pelaksanaan perdagangan karbon di sektor


kehutanan?

a. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai


Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan

44
Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam
Pembangunan Nasional.
b. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022
tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas
Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
c. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023
tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
168/MENLHK/PKLT/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other
Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
e. Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023
Tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerja Sama Karbon

28. Apakah perdagangan karbon itu?

Mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui
kegiatan jual beli unit karbon. Secara umum proses dari perdagangan karbon
adalah unit Kehutanan yang menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan
Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU), maka diharuskan membeli
emisi dari unit Kehutanan yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU
(surplus) dan/atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK) melalui
mekanisme Offset emisi GRK.

29. Bagaimana mekanisme perdagangan karbon di sektor Kehutanan?

Perdagangan karbon dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu:


a. Perdagangan Emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang
memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang ditentukan; dan
b. Offset Emisi adalah pengurangan Emisi GRK yang dilakukan oleh usaha
dan/atau kegiatan untuk mengompensasi emisi yang dibuat di tempat lain

45
BELI JUAL

Emisi GRK
Yangdikeluarkan
Emisi GRK
Yangdikeluarkan

Defisit Surplus
Harus membeli allowance/kuota Bisa menjual allowance/kuota
emisi atau karbon kredit emisinya pada perusahaan lain

Off-set Emisi

ICER

USD

30. Bagaimana pelaksanaan perdagangan karbon di Sektor Kehutanan?


Perdagangan karbon dilaksanakan melalui: Perdagangan langsung, dan/atau
Bursa karbon.

31. Apakah itu bursa karbon?

Suatu sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon,


perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.

32. Bagaimana rencana perdagangan karbon melalui bursa karbon?

a. Perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
46
b. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, bursa karbon diatur
sebagai berikut:
1) unit karbon yang diperdagangkan adalah efek
2) hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3) Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh izin dari OJK
4) Bursa karbon akan dilakukan di Bursa Efek Indonesia

33. Apakah yang dimaksud dengan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi
Gas Rumah Kaca Kehutanan (PTBAE)?

Persetujuan teknis yang ditetapkan oleh Menteri LHK mengenai tingkat Emisi
GRK Kehutanan paling tinggi yang ditetapkan dalam suatu periode tertentu.
Dengan kata lain, PTBAE adalah batas satas (cap) emisi GRK dari Sektor
Kehutanan, Sub Sektor Gambut dan Mangrove

34. Apa saja kewajiban peserta perdagangan karbon sektor Kehutanan

Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi PBPH yang
melaksanakan kegiatan Multi Usaha Kehutanan (MUK) yang di dalamnya
terdapat kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (jasling) penyerapan
dan/atau penyimpanan (Rap/Pan) karbon, maka pemegang PBPH harus
menerapkan ketentuan terkait Nilai Ekonomi Karbon, yaitu:
a. memiliki RKUPH MUK Jasling Rap/Pan Karbon yang disahkan, memiliki
baseline emisi GRK dan data cadangan karbon hutan.
b. mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam SRN PPI
sesuai peraturan perundang-undangan.
c. melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim untuk tercapainya target NDC
Indonesia.
d. menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) berdasarkan Rencana
Operasional (RO) Aksi Mitigasi FOLU, yang terintegrasi dengan RKUPH serta

47
melaksanakan kegiatan tahunan yang disusun oleh pelaku usaha, serta
dengan memperhatikan Peta Jalan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
e. menghitung penurunan emisi GRK yang sesuai dengan prinsip MRV
(Measurable, Reportable, Verifiable) menurut aturan dan menggunakan
metode yang sesuai dengan standar nasional dan dalam hal telah ada metode
yang diterapkan, agar dilakukan penyesuaian kompatibilitasnya.
f. terhadap capaian dan kinerja suatu Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, telah
dilakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim,
maka diusulkan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) - GRK melalui
proses sertifikasi, dan SPE GRK tersebut dapat diperdagangkan atau
ditukarkan antara sub-sektor.
g. memperoleh otorisasi pemerintah untuk perdagangan karbon luar negeri.
h. menyediakan cadangan SPE-GRK yang telah diterbitkan untuk Offset Emisi
GRK dalam negeri dan Offset Emisi GRK luar negeri, sesuai ketentuan
peraturan perundangan. Penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer)
dilakukan untuk:
1. Perdagangan Emisi yang memiliki SPE-GRK;
2. Offset Emisi GRK dalam negeri:
3. Offset Emisi GRK luar negeri; dan
4. Offset Emisi GRK luar negeri di luar ruang lingkup NDC.
Besaran penyediaan cadangan pengurangan emisi (buffer) ditetapkan dalam
peta jalan Perdagangan Karbon sektor Kehutanan yang ditetapkan oleh
Menteri.
i. dalam hal PBPH yang dikenakan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku
Usaha (PTBAE-PU) memiliki emisi aktual berada di atas PTBAE-PU, Pelaku
Usaha harus melakukan pengimbangan dengan membeli Unit Karbon dari
Pelaku Usaha lain.
j. PBPH yang melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan mitra
pembeli dalam Perdagangan karbon, maka tidak mengakibatkan pemindah
tanganan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan ditetapkan dengan
dalam bentuk Perjanjian dalam Akta Notaris.
k. Dalam hal terjadi pemindah tanganan PBPH yang tidak sesuai ketentuan,
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

48
35. Apakah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK)?

SPE-GRK adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau
kegiatan yang telah melalui Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi, atau
Measurement, Reporting, and Verification serta tercatat dalam Sistem Registri
Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dalam bentuk nomor
dan/atau kode registri. Untuk keperluan perdagangan karbon, Sertifikat
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) diterbitkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sertifikasi pengurangan emisi juga
dapat diterbitkan oleh lembaga sertifikasi lain dan dapat dinyatakan setara
dengan SPE-GRK melalui kerja sama saling pengakuan oleh KLHK.

36. Apa saja yang dapat dijadikan sebagai Offset Emisi GRK di perdagangan
karbon sub-sektor Kehutanan?

Semua kegiatan aksi mitigasi indonesia’s Folu Net Sink 2030, mulai dari RO 1
s.d. RO 12, yaitu : 1. Pencegahan Deforestasi Mineral (RO1); 2. Pencegahan
Deforestasi Gambut (RO2); 3. Pencegahan Degradasi Konsesi (RO3); 4.
Pembangunan Hutan Tanaman (RO4); 5. Penerapan Pengayaan Hutan Alam
(RO5); 6. Penerapan RIL-C (Pengurangan Dampak Pembalakan) – (RO6); 7.
Peningkatan Cadangan Karbon dengan Rotasi (RO7); 8. Peningkatan Cadangan
Karbon tanpa Rotasi (RO8); 9. Pengelolaan Tata Air Gambut (RO9); 10.
Pelaksanaan Restorasi Gambut (RO10); 11. Perlindungan Areal Konservasi
Tinggi (RO11); dan 12. Pengelolaan Mangrove (RO12).

37. Berapa acuan harga karbon bagi pelaku usaha yang ingin bertransaksi
perdagangan karbon?

Harga karbon bisa ditetapkan secara langsung secara B to B antara peserta


perdagangan karbon. Saat ini pemerintah masih membahas harga karbon dasar
untuk perdagangan karbon.

49
VIII. PENUTUP

Nilai Ekonomi Karbon (NEK) akan menjadi salah satu instrumen untuk
mengurangi emisi GRK di Indonesia. Dua instrumen NEK yang digunakan adalah
instrumen perdagangan dan non perdagangan. Instrumen perdagangan emisi (Cap
and trade) muncul untuk melengkapi carbon tax, yaitu penetapan level emisi oleh
pemerintah dan harga emisi ditentukan oleh pelaku usaha. Instrumen non
perdagangan mencakup pajak/pungutan atas karbon (carbon tax) dimana harga
karbon ditentukan oleh pemerintah dan level emisi diserahkan kepada pelaku usaha.
Instrumen perdagangan emisi akan memunculkan pasar karbon yang mampu menjadi
sumber pendanaan untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK)
maupun penyerapan/penyimpanan emisi GRK di bawah payung kesepakatan
pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Ruang bagi pasar karbon
agar tetap terbuka juga tak lepas dari perlu didorongnya peran Aktor di Luar Negara
(Non State Actors), seperti swasta dan pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam
mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, pengendalian perubahan iklim memerlukan
kerjasama seluruh pihak di tingkat nasional, daerah sampai ke tingkat tapak dengan
melibatkan masyarakat secara luas.

50
DAFTAR PUSTAKA

Avi-Yonah, Reuven S., dan David, M. U. 2009. Combating Global Climate Change:
Why A Carbon Tax Is A Better Response To Global Warming Than Cap and
trade, Stanford Envir. Law J., Vol. 28(3).
Badan Kebijakan Fiskal. 2018. Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia. Bahan
Paparan Workshop Pendanaan Perubahan Iklim, 16 Januari 2018.
Kementerian Keuangan.
Bappenas. 2010. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
Beetz S, Liebersbach H, Glatzel S, Jurasinski G, Buczko U, Hoper H (2013) Effects of
land use intensity on the full greenhouse gas balance in
an Atlantic peat bog. Biogeosciences 10: 1067-1082.
https://doi.org/10.5194/bg-10-1067-2013.
Carbon Market Watch. nd. Carbon Market 101. The Ultimate Guide to Global
Offsetting Mechanisms. Carbon Market Watch.
Damanhuri, Enri. 2008. A Future Prospect of Municipal Solid Waste Management in
Indonesia. The 5th Asian-Pacific Landfill Symposium in Sapporo, Japan.
Deatherage, S. D. 2011. Carbon trading Law and Practice, Published by Oxford
University Press, Inc.
[Direktorat MSSR] Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional (2017).
Menuju Operasionalisasi Pendanaan Iklim. Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
[Ditjen PPI] Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Menuju
Operasionalisasi Pendanaan Iklim. Ditjen PPI-Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan
Djaenudin D., Ginoga, K.L., dan Purnomo, H., (Ed.). 2014. Sintesis Penelitian
Integratif Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor,
Indonesia.
https://news.ddtc.co.id/beri-insentif-pajak-sri-mulyani-ajak-investor-bangun-proyek-
ini-30495?page_y=989). Diunduh tanggal 17 Juni 2021.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210330132332-4-233958/atasi-perubahan-
iklim-pemerintah-habiskan-dana-rp-307-t. Diunduh tanggal 17 Juni 2021.
Husen, M.A.M. 2018. Implementasi Perdagangan Karbon Indonesia-Jepang Dalam
Skema Joint Crediting Mechanism (JCM) 2013-2015. Journal Ilmu Hubungan
Internasional, Vol. 6(1).
International Carbon Action Partnership. ETS Brief #8. April 2019.
Irama, A. B. 2020. Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan
Keuangan Negara. Info Artha Vol. 4 (1).

51
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2017). Pendanaan NDC
sektor energi. Makalah disampaikan pad Workshop Pendanaan NDC sektor
energi, 24 Juli 2017.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017.
P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation, Role of
Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest
Carbon Stocks.
Kumar P, Imam B (2013) Footprints of air pollution and changing environment on the
sustainability of built infrastructure. Sci Total Environ 444: 85-101. doi:
10.1016/j.scitotenv.2012.11.056
Kumar P, Adelodum AA, Khan MF, Krisnawati H, Garcia-Menendez F (2020) Towards
an improved understanding of greenhouse gas emission and fluxes in tropical
peatlands of Southeast Asia. Sustainable Cities and Society 53: 101881.
https://doi.org/10.1016/j.scs.2019.101881
Metcalf, G. dan Weisbach, D. 2009. The Design Of A Carbon Tax. John M. Olin Law
& Economics Working Paper No. 447 (2d Series), Public Law and Legal Theory
Working Paper No. 254, The Law School The University Of Chicago.
Myhre, G., D. Shindell, F.‐M. Br on, W. Collins, J. Fuglestvedt, J. Huang, D. Koch, J.‐
F. Lamarque, D. Lee, B. Mendoza, T. Nakajima, A. Robock, G. Stephens, T.
Takemura and H. Zhang, 2013: Anthropogenic and Natural Radiative Forcing.
In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.‐K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J.
Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
PMR. 2018. Pasar Karbon: Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan
Iklim. PMR dan UNDP. Jakarta.
Republic of Indonesia (2016) First Nationally Determined Contribution Republic of
Indonesia. Jakarta: Government of the Republic of Indonesia.
World Bank. (2018). World Development Indicators.

52
LAMPIRAN

PENENTUAN BESARAN JUMLAH TERTINGGI YANG DAPAT DILAKUKAN


PERDAGANGAN KARBON LUAR NEGERI

Penentuan besaran jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri Pelaku Usaha dilakukan melalui mekanisme antara lain Perdagangan Emisi
dan Offset Emisi GRK.
Penentuan besaran jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri dilakukan untuk:
A. PERDAGANGAN EMISI
Penetapan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri melalui Perdagangan Emisi atau yang disebut dengan KPE bagi Pelaku
Usaha yang target NDC sub sub sektor telah tercapai dilakukan, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
EA PU
KPE = ----------------- x (∑ TP PTBAE - ∑ TEA )
∑ EA PU

Keterangan:
KPE = jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Emisi luar
negeri Pelaku Usaha
EA PU = emisi aktual di bawah PTBAE Pelaku Usaha
∑EA PU = total emisi aktual di bawah PTBAE-PU
∑TP PTBAE = total PTBAE PU
∑TEA = total emisi aktual
Dengan Contoh sebagai berikut:
Pelaku PTBAE Emisi Emisi Aktual Emisi Aktual Kuota
Usaha PU (Ton Aktual di bawah di atas (Ton
CO2e) (Ton CO2e) PTBAE PU PTBAE PU CO2e)
(Ton CO2e)*) (Ton CO2e)
1 2 3 4 5 6
A 30 15 15 10
B 70 90 -20 0
C 40 10 30 20
D 60 45 15 10
Jumlah 200 160 60 -20 40

53
Keterangan:
*) : diterbitkan dalam bentuk SPE-GRK atas hasil Validasi data dan rencana
kegiatan rendah emisi dan/atau rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim
yang telah diverifikasi dengan kinerja surplus PTBAE-PU.

Contoh perhitungan:
Penghitungan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan:
total PTBAE-PU (∑ TP PTBAE) : 200 Ton CO2e
total emisi aktual (∑TEA) : 160 Ton CO2e
emisi aktual di bawah PTBAE Pelaku Usaha (EA PU) : 15 Ton CO2e
total emisi aktual di bawah PTBAE-PU (∑EA PU) : 60 Ton CO2e

Penghitungan:
jumlah tertinggi yang dapat dilakukan A = 15/60 x (200-160)
= 10 Ton CO2e
B. OFFSET EMISI GRK
Penetapan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon luar
negeri melalui Offset Emisi GRK bagi Pelaku Usaha yang target NDC sub sub
sektor (unconditional yaitu kerja sama dengan luar negeri) telah tercapai
dilakukan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

CS PU
KO = x ( ∑TEA - ∑TPE )
∑CS PU

Keterangan:
KO = jumlah tertinggi yang dapat dilakukan Perdagangan Karbon
melalui Offset Emisi GRK luar negeri Pelaku Usaha
TEA = hasil inventarisasi penurunan emisi aktual Pelaku Usaha
TPE = target penurunan emisi Pelaku Usaha
CS PU = capaian pengurangan emisi (surplus) Pelaku Usaha
∑TEA = total hasil inventarisasi penurunan emisi aktual
∑TPE = total target penurunan emisi Pelaku Usaha
∑CS PU = total capaian surplus Pelaku Usaha (TPE – TEA)

54
Dengan contoh sebagai berikut:
Target Capaian
Tingkat
Pengurangan pengurangan Capaian
Tingkat emisi penurunan KO
Pelaku Emisi emisi pengurangan
baseline emisi aktual (Ton
Usaha (TPE) *) (surplus) emisi defisit
(Ton CO2e) (TEA) CO2e)
(CS PU) (Ton CO2e)
(Ton CO2e)
(Ton CO2e) (Ton CO2e)
1 2 3 4 5 6 7
A 15 30 45 15 10
B 90 70 50 -20 0
C 10 40 70 30 20
D 45 60 75 15 10
Jumlah 160 200 240 60 -20 40

Contoh Perhitungan:
Penghitungan jumlah tertinggi yang dapat dilakukan:
Total target penurunan
emisi Pelaku Usaha (∑TPE) : 200 Ton CO2e
Total hasil inventarisasi
penurunan emisi aktual (∑TEA) : 240 Ton CO2e
Capaian Surplus PU-A (CS PU) : 15 Ton CO2e
Total Capaian Surplus PU (∑CS PU) : 60 Ton CO2e

Penghitungan:
jumlah tertinggi yang dapat dilakukan A = 15/60 x (240 – 200)
= 15/60 x 40
= 10 Ton CO2e

55

Anda mungkin juga menyukai