Anda di halaman 1dari 1

Matahari terbenam mewarnai langit Chiang Mai dengan jingga madu, membelai Wat Phra Singh

dalam cahaya keemasan. Di antara kerumunan biksu berjubah oranye, berdirilah Pim, gadis penjual
bunga melati. Aroma harum menempel di rambutnya, selaras dengan senyum yang selalu merekah di
bibirnya.

Mark terpikat oleh Pim dan senyumnya, seakan bunga melatinya mekar hanya untuknya. Ia membeli
seikat, terpesona oleh keharuman dan kelembutan gadis pemiliknya. Percakapan mengalir, patah-
patah, dijalin dengan bahasa isyarat dan tawa. Pim mengajari Mark bahasa Thailand sederhana, Mark
membalas dengan anekdot dari belahan dunianya.

Hari-hari berikutnya, Mark menjadi pelanggan setia Pim. Mereka menjelajahi pasar Chatuchak yang
riuh, menyusuri Sungai Ping dengan perahu kayu, menertawakan kera nakal di Wat Phra That Doi
Suthep. Mark mengabadikan Pim dalam lensa kameranya, menangkap senyumnya di antara paduan
sutra, kilau matanya saat melepas burung ke langit.

Namun, bahasa dan budaya tetap menjadi jurang di antara mereka. Mark tak bisa mengungkapkan
kedalaman perasaannya, Pim tak kuasa mengerti detak jantungnya saat pria itu menatapnya. Suatu
malam, di bawah langit penuh bintang, mereka duduk di tepi sungai, diiringi musik gamelan yang
melankoli. Mata Mark berbicara, tangan yang menggenggam tangan Pim lebih fasih dari kata-kata.

Mark berjanji kembali, janji yang digantungkan pada bintang-bintang Chiang Mai. Pim
menghadiahkan sekuntum melati terakhirnya, berharap aromanya akan menuntun Mark kembali
padanya. Hari-hari berlalu, senyum Pim memudar. Bunga melatinya tak lagi terjual, hanya dihiasi
embun kesedihan.

Suatu pagi, suara lonceng kuil membangunkan Pim dari mimpi. Di gerbang Wat Phra Singh, berdiri
Mark, rambutnya lebih pirang terbakar matahari, senyumnya lebih cerah dari langit Chiang Mai. Di
tangannya, seikat melati, di matanya, dunia Pim.

Bahasa dan budaya tak lagi jurang, dijembatani oleh cinta yang mekar di bawah matahari terbenam
Chiang Mai. Mark belajar bahasa Thailand, Pim belajar bahasa Inggris, kisah mereka ditulis dalam
tawa dan air mata, diterjemahkan oleh hati yang saling mengerti.

Cinta mereka, semerbak dan abadi, seperti wangi melati yang tak lekang oleh waktu. Di Chiang Mai,
di bawah langit yang sama, dua belahan dunia bersatu, dihiasi janji bunga melati yang mekar
selamanya.

Anda mungkin juga menyukai