Anda di halaman 1dari 15

Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman

E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

UNDANG-UNDANG PESANTREN SEBAGAI LANDASAN


PEMBARUAN PONDOK PESANTREN DI INDONESIA
(STUDI KEBIJAKAN UU NO. 18 TAHUN 2019)
Sahara Adjie Samudera1*
1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
*Surel Penulis Koresponden: saharaadjiesamudera@gmail.com

Riwayat Artikel:
Dikirim: 31/12/2022 Ditinjau: 27/3/2023 Diperbaiki: 30/5/2023 Diterima: 30/5/2023

Abstrak
Jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan library research (studi
kepustakaan). Hasil analisis dari artikel ini menunjukkan bahwa pondok pesantren sebagai
institusi pendidikan berfokus pada pendalaman ilmu agama Islam diiringi pengamalan nilai-nilainya
sebagai panduan hidup dengan menitikberatkan pada aspek moral dalam bermasyarakat melalui
pengkajian kitab klasik (kitab kuning) oleh ustaz atau kiai dan umumnya bermukim di sebuah
pondok (asrama). Penyelenggaraan pendidikan di pesantren diterangkan dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pengesahan UU ini adalah upaya pemerintah Indonesia
untuk menguatkan eksistensi pendidikan pesantren. UU Pesantren menerangkan bahwa pesantren
berperan dalam fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Perkembangan
pendidikan pesantren di era modern ini ditandai dengan hadirnya pesantren yang menggunakan sistem
pendidikan formal selayaknya sekolah dan madrasah. Meskipun demikian, penyelenggaraan
pendidikan pesantren menghadapi beberapa permasalahan yang kerap kali dikritik, seperti tata kelola
pesantren, sarana prasarana, dan pembiayaan pendidikan di pesantren. Permasalahan tersebut
didiskusikan dan melahirkan upaya pembaruan dan modernisasi pondok pesantren yang meliputi:
reformasi dan reformulasi tujuan pendidikan pesantren guna memperkukuh kedudukan pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang mapan, berorientasi pada dunia dan akhirat. Langkah
pembaruan berikutnya ditempuh melalui transformasi sistem pendidikan pesantren yang dinilai
terlalu klasik dan tradisional ke arah modernisasi dan menunjang kecakapan abad 21. Selain itu
diperlukan transformasi sistem manajemen pesantren, penyesuaian sarana dan prasarana pesantren,
dan lain sebagainya.
Kata Kunci: transformasi, pembaruan, inovasi, Undang-Undang Pesantren

Abstract
This article uses qualitative research methods with a literature study approach. The results of the
analysis show that pesantren (Islamic boarding schools) are educational institutions that aim to explore
Islamic religious science and practice it as a guide for daily life by emphasizing morals in society through
the teaching of classical Islamic books by kyai and generally living in a dormitory. The implementation
of education in Islamic boarding schools is regulated in UU Pesantren No. 18/2019 concerning Islamic
Boarding Schools. The ratification of this law is an effort by the Indonesian government to strengthen the
existence of Islamic boarding school education. The Pesantren Law explains that pesantren mainly carry
out the function of education, the function of proselytizing, and the function of community empowerment.

Published by Postgraduate Program UNU Surakarta. This is an open-access


article under the CC-BY-SA license. © 2023 author(s)
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

The development of Islamic boarding school education in the modern era is marked by the presence of
Islamic boarding schools that use a formal education system like schools and madrasahs. However, the
implementation of Islamic boarding schools faces several problems that are often discussed, such as the
governance of Islamic boarding school education, infrastructure, and education financing. These issues
were discussed and gave birth to efforts to renew and modernize Islamic boarding schools which include:
reform and reformulation of the objectives of pesantren education in order to strengthen the position of
pesantren as an established, world-oriented Islamic educational institution and the hereafter. The next
step of renewal is taken through the transformation of the pesantren education system which is considered
too classical and traditional towards a modern education system and supports 21 st-century skills. In
addition, it is important to transform the management system of pesantren, adjust the facilities and
infrastructure of pesantren, etc.

Keywords: transformation, renewal, innovation, UU Pesantren

A. PENDAHULUAN
Pendidikan dipahami sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan kualitas
sumber daya manusia agar lebih baik sehingga dapat memaksimalkan potensi
yang dimilikinya. Pendidikan berperan dalam membimbing peserta didik agar
mengembangkan potensi mereka secara aktif berupa kekuatan spiritual
keagamaan yang diiringi kemampuan mengendalikan diri, memiliki kepribadian
baik, kecerdasan yang bermanfaat, akhlak yang mulia, serta kemahiran yang
diperlukan bagi dirinya sendiri, masyarakat sekitarnya, serta bangsa dan negara.
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, 2003). Sebagaimana kita tahu, ada beberapa pilihan
lembaga atau institusi pendidikan di Indonesia dengan ciri khas masing-
masing. Salah satunya pondok pesantren yang menerapkan sistem mukim
(boarding) bagi para santrinya. Istilah pesantren dalam sistem pendidikan di
Indonesia bukan hal yang asing. Bahkan, eksistensi pesantren dipercaya
sebagai satu di antara pelopor lahirnya lembaga pendidikan di Indonesia. Hal
ini dikarenakan sistem pembelajaran pesantren sudah berjalan di Indonesia
beriringan dengan masuknya dakwah Islam di Nusantara sehingga sistem ini
menjadi sistem pendidikan klasik dan tertua yang merupakan produk budaya asli
Indonesia. Argumen itu diperkuat karena istilah pesantren hanya dikenal dan
berkembang di dataran Nusantara.
Jika dilihat lebih lanjut dari segi sejarahnya, pesantren awalnya hanya
lembaga pendidikan agama Islam yang mengalami perkembangan dari masa lalu
hingga kini sehingga penyelenggaraannya menjadi semakin terkelola secara baik
dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Akan tetapi sistem “pondok
pesantren” ini baru muncul dan semakin terlihat perkembangannya dengan
didirikannya tempat-tempat atau pondok bermukim para santri. Meskipun dahulu

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
pesantren termasuk ke dalam pendidikan nonformal, bukan berarti pesantren jauh
tertutup dari pembaruan dan inovasi. Banyak penelitian mengatakan bahwa
pesantren telah berhasil memainkan perannya menjadi penggerak dalam isu
ekonomi, politik, gejolak sosial, dan budaya.
Setelah Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaan, pesantren semakin
berkembang dan menunjukkan geliat modernisasi. Hal ini terindikasi dari
peningkatan secara cepatnya jumlah alumni pesantren yang melanjutkan
pendidikan di lembaga-lembaga non agama, menguasai berbagai bidang ilmu,
dan meningkatnya tenaga pengajar pesantren yang memiliki latar belakang
pendidikan umum non pesantren. Eksistensi sistem pesantren ini dapat
dikatakan pula sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat karena
keberadaannya selalu berkaitan dengan peran masyarakat, yaitu didirikan secara
mandiri, berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dan menekankan partisipasi
masyarakat (Panut dkk., 2021).
Kehadiran pondok pesantren identik dengan sistem pendidikannya yang
bersifat tradisional perihal pendalaman ilmu-ilmu keagamaan Islam sebagai
panduan hidup sebagai realisasi pentingnya karakter dan akhlak dalam hidup
bermasyarakat. C. Geertz dan Abdurrahman Wahid menyebut pondok pesantren
sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia, terutama di tanah Jawa. Pada
era globalisasi ini, pendidikan pesantren menjadi semakin terarah, tersistem, dan
kurikulum pesantren memiliki “paten” tertentu. Misalnya, pesantren memberikan
mapel umum dan agama dengan menerapkan dua kurikulum, yaitu kurikulum
Kemendiknas dan kurikulum Kemenag. Meskipun demikian, karena otoritas
tertinggi pesantren ada pada kiai, pesantren kerap ditemui sering membuat
kurikulum sendiri sebagai intrakurikuler atau program tambahan dari materi
kurikulum Kemendiknas dan Kemenag, karena dianggap kurikulum yang sudah
ada belum dapat mengakomodasi institusi pesantren tersebut (Syafe’i, 2017).
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menyusun dan mengesahkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang memberikan landasan
penyelenggaraan pendidikan pesantren telah diakui sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional sehingga berperan aktif dalam membentuk, menjaga tradisi,
membudayakan nilai dan norma dengan nilai-nilai keagamaan dan keindonesiaan.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

B. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah library research (studi kepustakaan). Penelitian
pustaka adalah penelitian yang objek kajiannya menggunakan data-data yang
berupa buku dan literatur-literatur lain sebagai sumbernya (Afifudin, 2012).
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif analitik yang
akan memaparkan upaya pembaruan pondok pesantren melalui Undang-Undang
Pesantren. Teknik analisis isi berusaha menganalisis berbagai literatur sehingga
penulisan dapat melakukan interpretasi adar memperoleh makna terkait topik
yang dikaji.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara etimologi, kata “pesantren” diambil dari padanan kata pe-“santri”-
an, yang mana kata “santri” bermakna murid dalam bahasa Jawa. Adapun
kata “'pondok'” diambil dari Bahasa Arab, yaitu “funduq” yang bermakna
penginapan. Beberapa ahli berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari istilah
“santri” yang diambil dari bahasa Tamil yang dimaknai sebagai “guru mengaji”.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata “sattiri” yang
bermakna orang yang bertempat tinggal di sebuah asrama, rumah, gubuk atau
bangunan keagamaan secara umum. Abuddin Nata dalam karyanya Kapita Selekta
Pendidikan Islam mendefinisikan pesantren bermakna asrama dan tempat murid-
murid belajar mengaji yang di dalamnya terdapat pondokan kiai, santri, masjid
dan kitab (Nata, 2013).
Pesantren dari dahulu hingga kini terus berkembang menjadi pusat
terjadinya proses pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam. Di institusi ini kaum
muslim mulai mengenal dan mendalami dogma dasar ajaran Islam, terutama
perihal praktik kehidupan keagamaan yang dibudayakan oleh masyarakat yang
baru memeluk Islam. Pada tahap perkembangan berikutnya, pesantren juga
menjadi institusi yang berperan sebagai pencetak ahli agama yang juga
melestarikan tradisi Islam yang ada di masyarakat. Sebagai sebuah lembaga
pendidikan, pesantren secara sederhana harus memenuhi beberapa unsur di
antaranya memiliki pondok/asrama, masjid (surau), peserta didik (santri), kitab
klasik (kitab kuning), dan kiai (Dhofier, 1984). Dalam tradisi pondok pesantren
sebagaimana dikenal di Indonesia umumnya dikenal dengan dua macam
kelompok santri. Pertama, santri mukim, yakni para santri yang umumnya datang
dari tempat-tempat jauh untuk menginap karena tidak memungkinkan baginya

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
untuk pulang ke rumah; Kedua, santri kalong, yakni para santri yang berasal dari
daerah sekitar yang relatif dekat sehingga memungkinkan mereka kembali pulang
ke tempat tinggal masing-masing (Sukamto, 1999).
Pesantren diidentikkan sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak
tradisional. Hal ini dikarenakan penuturan dan sistem yang diterapkan di
dalamnya merupakan bagian dari perjalanan panjang pertumbuhan pesantren
itu sendiri. Metode pengajaran yang melekat pada pondok pesantren semakin
menjelaskan bahwa pesantren memiliki sistem yang diturunkan dari generasi
ke generasi. Dengan begitu, banyak para pemikir Islam mengkritisi sistem
yang sudah mengakar ini agar dapat melakukan pembaharuan dan upaya
modernisasi pondok pesantren sehingga dapat memiliki daya saing dengan
lembaga pendidikan formal- konvensional lainnya.
Analisis Kebijakan Pendidikan Pesantren Melalui UU No. 18 Tahun 2019
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren diatur dalam UU No.
18/2019 tentang Pesantren. Pengesahan UU ini merupakan bagian dari
langkah pemerintah Indonesia dalam mengakui dan menghargai kaum santri
dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih
dari itu, dalam UU tersebut dipaparkan bahwa pesantren sebagai sebuah
sistem yang memiliki keunikan dan telah berkembang di tengah masyarakat
dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi pendidikan, wadah penyebaran
dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Dari sini pula kita
mengenal bahwa pesantren sendiri hidup di masyarakat dan didirikan oleh
perseorangan, organisasi masyarakat, yayasan Islam dan/atau masyarakat yang
ditujukan sebagai realisasi penanaman nilai keimanan dan ketakwaan kepada
Allah Swt., serta memegang teguh ajaran Islam yang tercermin dari sikap hidup
yang baik (akhlaqul karimah) diiringi nilai luhur bangsa Indonesia (Shubhie,
2021). Terbitnya UU ini tidak lepas dari bagaimana proses realisasi penetapan
Hari Santri Nasional sebagai momentum memperingati sumbangsih besar
kaum pesantren (kiai dan santri) dalam memperjuangkan kemerdekaan
melawan imperialisme dan penjajahan bangsa asing, serta bertepatan dengan
resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pesantren merupakan lembaga
berbasis masyarakat, maka sumber utama pendanaan pesantren berasal dari
masyarakat. Pemerintah baik itu pusat, provinsi, dan kota/kabupaten ikut
membiayai pendirian pesantren dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dalam lingkup kewenangannya serta peraturan perundang-undangan tentang

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

anggaran pendapatan dan belanja. Selain itu, sumber pembiayaan


penyelenggaraan pondok pesantren juga dapat berasal dari sumber lain yang sah
(sesuai regulasi) dan tidak mengikat, sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan. Negara menyediakan dan mengelola dana pesantren untuk
menjamin ketersediaan dan kecukupan anggaran pembangunan pesantren.
Pesantren dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan nasional dan/atau
internasional lainnya. Kerja sama akan dilakukan dalam bentuk pertukaran
pelajar, kompetisi, sistem pendidikan, kurikulum, dukungan keuangan, pelatihan
dan peningkatan kapasitas, dan bentuk kerja sama lainnya dan akan sesuai dengan
persyaratan hukum. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan
pondok pesantren secara individu, kelompok, instansi dan/atau melalui
organisasi kemasyarakatan. Keterlibatan masyarakat dapat mencakup
pemberian dukungan program dan pendanaan, pemberian kontribusi dari
pemerintah negara bagian dan lokal, mendukung operasi, mendorong
pengembangan kualitas dan standar, menciptakan alat untuk mempromosikan
pendidikan karakter dan pengembangan moral, dan penguatan kemandirian dan
pengembangan moral. kinerja keuangan pondok pesantren (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, 2019)
Upaya Pembaruan Pondok Pesantren
Dilihat dari sejarahnya, pendidikan pesantren telah lebih dahulu
berkembang. Selain sudah menjadi akar budaya bangsa, nilai agama juga sudah
menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan. Hal itu didukung karena
mata pelajaran/kuliah pendidikan keagamaan yang dianggap memiliki
berbagai keterbatasan sehingga butuh pembaruan. Keberadaan pondok
pesantren sangat penting bagi perkembangan masyarakat, selain itu pondok
pesantren lahir dari aspirasi masyarakat, yang sekaligus mencerminkan
kebutuhan nyata masyarakat dalam hal layanan pendidikan dan lain-lain. Oleh
karenanya, sebagai langkah menjamin penyelenggaraan pendidikan pesantren
dalam menjalankan fungsinya, maka diperlukan aturan guna memberikan
pengakuan/rekognisi, afirmasi, dan fasilitas kepada pesantren dengan tetap
menjaga tradisi dan kekhasannya. Terkait dengan permasalahan yang ada saat ini,
dinilai belum hanya menyesuaikan dengan perkembangan, aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat, serta peraturan hukumnya belum terintegrasi
dalam suatu kerangka hukum yang utuh dan menyeluruh. Hal ini
menyebabkan perlakuan hukum yang tidak standar karena kekhasan
pengembangan pesantren dan kekurangan sumber daya yang besar. Karena
pesantren merupakan bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya
masyarakat Indonesia yang keunikannya harus dilestarikan, maka harus diberi

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitasnya dari seluruh
pelosok tanah air, termasuk pemerintah pusat dan daerah.
Proses pengembangan dunia pesantren selain menjadi tanggung jawab
semua pihak, baik internal maupun eksternal. Upaya penguatan dan
pengembangan lebih lanjut peran pesantren dalam pembangunan di era otonomi
daerah merupakan salah satu langkah strategis untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan. Apalagi dalam keadaan
suatu bangsa mengalami kebobrokan moral. Jika dilihat sejak kurun waktu tahun
2000-an, pondok pesantren sudah mulai mengalami perubahan dan
perkembangan berarti. Salah satu di antara perkembangan tersebut ditandai
dengan bermunculan pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan formal
seperti yang diselenggarakan pemerintah, bahkan beberapa pondok pesantren
sudah membuka perguruan tinggi baik berbentuk institut maupun universitas
(Husni Rahim, 2001).
Adaptasi sistem pendidikan pesantren dengan pendidikan formal tidak
lepas dari permasalahan, seperti permasalahan tata kelola pendidikan pondok
pesantren, ketersediaan sarana prasarana, dan pembiayaan pendidikan di pondok
pesantren. Jumlah pesantren di Indonesia terus berkembang dengan sangat pesat.
Sayangnya, peningkatan jumlah tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan
mutu, bahkan merosot tajam. Hal ini dikarenakan banyak pesantren dengan label
“modern” yang lebih mengutamakan pendidikan formal daripada pendidikan
anak usia dini. Oleh karena itu, saat ini sangat sulit menemukan pesantren
yang dapat memberikan pendidikan formal dan pendidikan anak usia dini
yang seimbang. Pembaruan pondok pesantren dalam pembahasan yang dimaksud
ini adalah upaya modernisasi yang dilakukan oleh pondok pesantren demi
mengikuti perkembangan zaman. Umumnya yang dibicarakan tentang
modernisasi adalah penyediaan fasilitas berupa teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) saja. Padahal yang menjadi objek inovasi lebih luas dari
itu. Pembaruan pesantren meliputi reformasi dan formulasi ulang tujuan
pendidikan pesantren, transformasi sistem pendidikan pesantren, transformasi
sistem manajemen pesantren, penyesuaian sarana dan prasarana pesantren,
dan lain sebagainya.
1. Pembaruan Tujuan Pendidikan Pesantren
Sebelum memulai dengan langkah dan gebrakan besar dalam pondok
pesantren, maka yang perlu ditetapkan dan diformulasikan kembali adalah
tujuan pendidikan di pondok pesantren. Beberapa permasalahan yang muncul
pada sub bagian ini adalah banyaknya pesantren yang sudah berdiri sejak lama

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

namun belum memiliki tujuan yang jelas dalam merealisasikan eksistensinya


sebagai sebuah lembaga pendidikan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, menetapkan tujuan adalah hal yang
paling mendasar, baik itu tujuan instruksional, tujuan kurikuler, tujuan
institusional, dan tujuan pendidikan nasional. Hal itu dikarenakan dengannya
akan menentukan kebijakan, isi, dan prosedur yang akan dikembangkan.
Penetapan tujuan tersebut tidak akan lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh
subjek pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya sangat mungkin terjadi
perbedaan tujuan antara satu lembaga dengan lembaga pendidikan lainnya
dikarenakan berbedanya kepentingan yang ingin digapai. Pondok pesantren
hendaknya memiliki tujuan yang bersandar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai
ajaran agama Islam. Selama ini, tujuan pendidikan pondok pesantren berfokus
untuk mencetak generasi ahli agama dengan menghayati, mendali, dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan giat, ikhlas semata-mata untuk
berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah Swt. dan mampu menerapkan
sunah Rasul dan menyebarkan nilai-nilai ajarannya secara kafah (utuh).
Sehingga hasil pendidikan yang dicapai adalah lulusan yang berakhlak mulia,
memiliki jiwa dinamis, memiliki kemampuan berpikir kritis, istiqamah,
berjiwa besar, kuat psikis dan fisik, memahami pola hidup sederhana, tawadu,
menebar kasih dan sayang terhadap sesamanya, mahabbah (kecintaan) dan
khasyah, serta tawakal kepada Allah Swt (Amrizal, 2011).
Jika ditinjau dari tujuan tersebut, secara konseptual cenderung
terkonsentrasi pada masalah-masalah yang orientasinya akhirat (ukhrawiyah),
namun hampir lepas dari urusan-urusan keduniaan (dunyawiyah) sebagaimana
pesantren hanya mendatangkan kajian-kajian agama seperti tafsir, mustalah
hadis, akidah/tauhid, fikih, ushul fikih, nahwu/saraf, dan sebagainya. Pada
tahap ini, pesantren dinilai telah berhasil menggapai tujuannya mencetak para
ahli agama dan ulama. Akan tetapi kebutuhan mempelajari ilmu-ilmu umum
dinilai belum terpenuhi dengan baik mengingat persaingan lulusan setelah
mengenyam pendidikan di pesantren yang belum tergambar dengan jelas.
Dengan begitu permasalahan pondok pesantren dalam hal ini dapat
dideskripsikan bahwa sosok muslim yang dibentuk di pondok pesantren
merupakan individu muslim yang terampil dan cakap dalam ilmu agama
namun belum memiliki kecakapan jika berhadapan dengan urusan ilmu dunia.
Hal ini diyakini karena fondasi atau landasan filosofis pesantren rapuh.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
Kerapuhan tersebut diyakini muncul karena dualisme dikotomi antara apa
yang diklasifikasikan dengan ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum.
Pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum inilah yang menyebabkan
timbulnya pandangan bahwa mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama
adalah fardu `ain sedangkan mempelajari ilmu-ilmu umum hukumnya fardu
kifayah, sehingga banyak terabaikan. Padahal untuk berperan aktif di dunia,
ilmu-ilmu “umum” merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki. Di
samping itu, pemahaman istilah “ulama” yang menjadi tujuan pendidikan
pesantren perlu dikaji lagi. Sebagaimana dalam realitasnya, definisi “alim-
ulama” yang merujuk pada orang yang berilmu pada ranah keagamaan saja
dinilai kurang tepat sehingga perlu dikaji ulang. Padahal dalam untaian ayat
Al- Quran pun menyatakan bahwa yang dimaksud ulama yaitu para hamba
Allah yang paling takut (taat dan patuh) kepada Allah. Jika kita melihat pada
tafsiran ayatnya, awalan ayat tersebut memberikan deskripsi lebih lanjut
bahwa “ulama” juga dapat dimaknai sebagai ahli ilmu kealaman yang mau
melakukan penelitian, kajian, hingga perenungan tentang apa yang
berkenaan dengan hidupnya (Khallaf, 1992).
Pondok pesantren tumbuh bersama masyarakat, sehingga peran serta
masyarakat dalam keberlangsungan pesantren menjadi salah satu faktor yang
menguatkan eksistensi pesantren hingga saat ini. Oleh karena itu pondok
pesantren perlu melakukan reorientasi fungsi berdirinya pondok pesantren.
Sebagaimana diterangkan dalam Undang-Undang Pesantren, pesantren perlu
memiliki fungsi sebagai:
a. Realisasi Fungsi Dakwah dan Pengajaran Islam
Dakwah dan Pendidikan Islam adalah inti dari kehadiran
pesantren di Indonesia. Hal ini sejalan dengan sejarah mula berdirinya
lembaga pesantren adalah tempat di mana nilai-nilai agama Islam
diajarkan dan disebarluaskan secara damai. Oleh karena itu, penguatan
fungsi dalam misi dakwah dan pengajaran Islam perlu dilakukan.
Dalam UU 18/2019 dirincikan bahwa pesantren harus menjalankan
fungsi dakwah yang secara substansi melalui:
1) Upaya menyeru manusia ke jalan Allah Swt. dengan cara yang baik
dan menjauhi keburukan.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

2) Mengajarkan untuk memahami dan mengamalkan dengan


mencontohkan nilai-nilai Islam yaitu nilai-nilai rendah hati, toleran,
moderat, dan luhur bangsa Indonesia.
3) Mempersiapkan dai Islam yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-
nilai luhur bangsa Indonesia.
Dalam rangka menjalankan fungsi dakwah, pesantren perlu
melakukan internalisasi nilai ajaran agama dan menjaga tingkat moralitas
umat, memperhatikan tradisi dan kebudayaan yang ada di tengah
masyarakat, mengikuti perkembangan dan melestarikan kerukunan hidup
umat beragama, padu dengan nilai kebangsaan dan rasa cinta tanah
air, serta menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai school of excellence
dalam praktik keberagamaan yang moderat di dunia. Semua prinsip di atas
dapat direalisasikan menggunakan pendekatan pengajaran dan
pembelajaran, ceramah, kajian ilmiah, dan diskusi, media dan teknologi
informasi, seni dan budaya, bimbingan dan konseling, keteladanan,
pendampingan, maupun pendekatan lainnya. Jika dikaitkan dengan Profil
Pelajar Pancasila yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, maka fungsi pesantren sebagai
realisasi misi dakwah dan pengajaran Islam memiliki kesamaan tujuan,
yakni mendidik santri yang memiliki kecakapan dalam ilmu keagamaan
dan berjiwa Pancasila.
b. Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Pesantren diharapkan mampu melaksanakan kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan pesantren
dan masyarakat melalui berbagai kegiatan atau program yang menyiapkan
sumber daya manusia yang mandiri dan aktif. peran dalam pembangunan,
seperti B. Pelatihan dan praktik penelitian lapangan, penguatan
potensi dan kemampuan keuangan pesantren dan masyarakat,
mendirikan koperasi, lembaga keuangan dan usaha mikro, kecil dan
menengah, memberikan dukungan produk koperasi dan dukungan
pemasaran, pemberian pinjaman dan dukungan pembiayaan, konsultasi
pengelolaan keuangan, optimalisasi dan pengendalian mutu, pelaksanaan
kegiatan- kegiatan sosial, pemanfaatan dan pengembangan teknologi
industri dan/atau pengembangan program lainnya. Langkah tersebut
perlu didukung dan dimonitor oleh pemerintah sebagaimana
implementasi UU 18/2019 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat
dan pemerintah daerah diamanatkan untuk memberikan dukungan
kepada pesantren
1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
dalam hal bantuan keuangan, bantuan sarana dan prasarana, bantuan
teknologi, dan bantuan pelatihan keterampilan.
2. Transformasi Sistem Pengajaran di Pesantren
Mukti Ali menilai sistem pengajaran dan pendidikan pesantren sangat
baik, bahkan sistem pendidikan pesantren diyakini sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran agama terbaik di Indonesia. (Abdurrahman, 1993).
Akan tetapi metode pengajaran yang diterapkan di pesantren selalu
dikesankan dengan pembelajaran tradisional yang dianggap tertinggal dengan
lembaga pendidikan lain seperti sekolah dan madrasah. Oleh karenanya
sistem pengajaran di pesantren perlu dikembangkan dan bervariasi tanpa
menghilangkan nilai-nilai kekhasan pendidikan pesantren.
a. Menguatkan dan Mengukuhkan Basis Intelektual Pesantren
Pada dasarnya semua lembaga pendidikan perlu memiliki basis
intelektual lembaganya. Hal ini dikarenakan sebagai sebuah lembaga
pendidikan perlu memiliki pengakuan dan reputasi sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan. Adapun hasil dari lembaga pendidikan
tertentu yaitu individu yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di
bidangnya masing-masing. Dalam konteks pondok pesantren, lulusan
pesantren seharusnya memiliki kualifikasi pemahaman ilmu agama yang
dalam disertai karakter yang kukuh. Oleh karenanya untuk mencapai
tujuan tersebut maka diperlukan pendidik yang memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang didukung oleh fasilitas pendukung yang memadai. Oleh
karenanya pesantren perlu mampu mendorong para santri dan
pengajarnya untuk menggalakkan tradisi ijtihad, yaitu kegiatan meliputi
literasi membaca, mengkaji, mensyarah, dan menulis apa yang didapat
dari prosesnya agar ilmu yang didapat terus berkembang dan
dilestarikan dalam bentuk kekayaan karya tulis dan intelektual para
santri.
b. Upaya Pengkajian Kitab Secara Kontekstual
Pondok pesantren dikenal dengan lembaga pendidikan yang
menjadikan kitab klasik (dikenal juga kitab kuning) sebagai rujukan
utamanya. Kendati begitu banyak kritik dilayangkan karena banyaknya
pesantren yang mengajarkan kitab klasik semata secara tekstual. Sebagai
konsekuensi logis dari perkembangan zaman, maka kitab klasik perlu
ditafsirkan tidak hanya secara tekstual saja, melainkan juga perlu disyarah
secara kontekstual. Di samping itu, pembelajaran kitab kuning lebih

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

berfokus pada upaya mendalami dan memperkaya materi saja, namun


sangat sedikit yang mengarahkan pada aspek pengembangan ilmu-ilmu
umum dasar berupa teori, metodologi, dan wawasan. Hal itu dapat
ditinjau dari metode pengajaran yang umumnya diterapkan di
pesantren, seperti bandongan dan sorogan yang lebih menerapkan
penekanan tekstual atau literal, berpusat pada kiai sehingga kurang
terbangunnya budaya dialog kritis. Dampaknya adalah ketika tidak ada
interaksi antara kiai dan santri sedangkan kegiatan belajar mengajar
hanya berpusat pada kiai, maka santri akan menjadi pasif. Maknanya,
daya dukung, kreativitas, dan aktivitas santri menjadi kurang terlatih.
Maka sangat wajar ketika ranah teori dan metodologi diabaikan, materi
pun menjadi sulit dikembangkan, diperkaya, dan diekspresikan secara
kontekstual dan mengesankan, termasuk berani melakukan inovasi
pemikiran.
c. Pembaruan Metode Pengajaran
Pada aspek metode pengajaran yang dilaksanakan sebuah pondok
pesantren dapat menerapkan metode-metode pendidikan yang
berkombinasi, yaitu mempertahankan kelebihan metode-metode lama
kemudian meminimalisasi kekurangan metode-metode baru. Metode
tradisional yang sudah diterapkan sejak lama dapat disesuaikan,
diperbaharui, dan diadaptasikan menggunakan metode diskusi, tanya-
jawab, proyek, pemecahan masalah, dan sebagainya. Secara umum,
metode pembelajaran siswa aktif seperti tanya-jawab, diskusi kelompok,
jigsaw, seminar, dan semacamnya merupakan kebalikan dari wetonan dan
sorogan. Jika dalam metode wetonan dan sorogan pembelajaran yang terjadi
hanya satu arah, yakni kiai menjelaskan isi kitab dan santri diam
mendengarkan. Maka strategi pembelajaran siswa aktif perlu diterapkan
sehingga terjadi interaksi dua arah antara kiai dan santri.
3. Transformasi Manajemen Pesantren
Manajemen pesantren merupakan bagian dari sistem dan proses kegiatan
menyeluruh yang dilakukan menggapai tujuan pesantren. Manajemen
pendidikan pesantren yang benar ialah yang selaras dengan konsep, tujuan,
dan visi-misi yang telah dirumuskan dan menyesuaikan dengan kondisi
santrinya. Pengaplikasian manajemen pesantren hendaknya dilandaskan oleh
nilai-nilai dan budaya luhur pesantren yang dipadukan dan diselaraskan
dengan sistem manajemen modern yaitu integrasi sistem pesantren dengan
sistem sekolah ataupun madrasah.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
Pesantren sangat identik dan dekat dengan sosok kiai yang merupakan
sentral, otoritas, pusat keseluruhan kebijakan maupun perubahan, dan
umumnya kepemimpinan pesantren yang bersifat individual (atau keluarga)
bukan komunal (Mastuki, 2005). Sistem seperti ini perlu ditinjau kembali agar
jauh dari kepentingan sebagian individu saja, melainkan tetap menjalankan
fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadi penggerak dalam
pembentukan karakter peserta didik dengan pembekalan ilmu pengetahuan
agama.
Sistem manajerial pondok pesantren umumnya turun temurun
diselenggarakan oleh masyarakat melalui para ulama, kiai, dan seseorang yang
ditokohkan kemudian diwariskan kepada generasi setelahnya. Kendati begitu,
orang yang bertanggung jawab dengan jalannya roda pendidikan di pesantren
perlu memiliki kompetensi yang baik untuk mengelola institusinya, baik
berupa pengetahuan (kognitfi), keterampilan (psikomotorik), maupun sikap
(afektif) yang sesuai dengan bidang yang dikerjakannya. Dalam kasus ini,
pimpinan pesantren perlu mampu membawa perubahan dan inovasi untuk
lembaga yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik. Oleh karenanya
perubahan sistem kepemimpinan pesantren hendaknya tidak bersifat
absolut (Atmari, 2022). Penyelenggara pendidikan pondok pesantren harus
memahami dan menerapkan fungsi- fungsi manajemen. Di samping itu,
upaya optimalisasi sumber daya pondok pesantren juga perlu diperhatikan
guna mencapai tujuan tersebut secara efektif dan efisien (Panut dkk., 2021).
4. Pembaruan Fasilitas, Sarana, dan Prasarana Pesantren
Pendidikan pesantren hendaknya dikelola dengan baik dan tersistem
dengan profesional, termasuk dalam hal pengelolaan sarana dan prasarana
pendidikan. Hal tersebut ditujukan agar mampu memberikan kontribusi yang
maksimal terhadap proses pembelajaran. Secara umum, manajemen/
pengelolaan sarana dan prasarana meliputi perencanaan, pengadaan dan
inventarisasi, penataan, dan pemeliharaan. Sebagai upaya menjawab tantangan
pondok pesantren di masa depan, para intelektual muslim mengusulkan
berbagai gagasan modernisasi yang muncul dalam berbagai kekhasannya.
Modernisasi pesantren adalah suatu bagian penting dalam melahirkan
peradaban Islam yang modern, proses perubahan pesantren ke arah
penyempurnaan keadaan dengan menggalakkan kembali nilai-nilai hidup
positif yang telah ada sembari mengadaptasi nilai-nilai baru yang dianggap lebih
baik.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli 2023

Pengadaan sarana dan prasarana yang menunjang merupakan salah satu


bentuk modernisasi, terlebih jika dibarengi dengan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi. Demi menunjang era globalisasi dan pendidikan
abad 21, maka keterampilan menggunakan perangkat teknologi bukanlah
sebuah pilihan lagi, melainkan dianggap sebagai kecakapan wajib yang harus
dimiliki seseorang. Oleh karenanya, pesantren perlu beradaptasi dan
memfasilitasi para santri agar memiliki kemampuan TIK dan melek digital
sebagaimana di antara fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat di atas
meliputi pemanfaatan media teknologi.

D. KESIMPULAN
Sistem pendidikan pesantren pada awalnya bertujuan untuk mendalami
ilmu keagamaan dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama tersebut sebagai
panduan hidup sehari-hari dengan menekankan moral dalam bermasyarakat
melalui pengkajian kitab dan sistem mukim. Penyelenggaraan pendidikan di
pesantren diatur dalam UU Pesantren 18/2019. UU Pesantren bertujuan
untuk mengakomodasi sistem pesantren yang menerapkan fungsi pendidikan,
dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Perkembangan pendidikan pesantren
ditandai dengan maraknya pesantren yang mengadaptasi dan menerapkan
sistem pendidikan formal seperti yang diselenggarakan pemerintah, bahkan
beberapa pondok pesantren sudah menyelenggarakan pendidikan tinggi baik
berbentuk institut maupun universitas.
Meskipun demikian, penyelenggaraan pesantren tersebut tidak lepas dari
permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain tata kelola
pendidikan pondok pesantren, ketersediaan sarana prasarana, dan pembiayaan
pendidikan di pondok pesantren. Permasalahan tersebut didiskusikan dan
melahirkan upaya pembaruan dan modernisasi pondok pesantren yang meliputi:
reformasi dan reformulasi tujuan pendidikan pesantren guna memperkukuh
kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mapan,
berorientasi pada dunia dan akhirat. Langkah pembaruan berikutnya
ditempuh melalui transformasi sistem pendidikan pesantren yang dinilai
terlalu klasik menuju sistem pendidikan yang modern diiringi upaya
mentransformasi sistem manajemen pesantren, penyesuaian sarana dan
prasarana pesantren, dan lain sebagainya.

1
Fahima: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-747X | Volume 2 No. 2 Juli
E. REFERENSI
Abdurrahman. (1993). 70 Tahun Mukti Ali: Agama dan Masyarakat. IAIN Sunan
Kalijaga Press.
Afifudin. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Pustaka Setia.
Amrizal. (2011). Pembaruan Pendidikan Pesantren dalam Kerangka Sistem
Pendidikan Nasional. Jurnal Sosial Budaya, 8(2).
Atmari. (2022). Pendidikan Pesantren Pasca UU Nomor 18 Tahun 2019: Studi Tata
Kelola dan Strategi Pengarusutamaan Pesantren di Indonesia. UIN Kiai Haji
Achmad Siddiq Jember.
Dhofier, Z. (1984). Tradisi Pesantren. LP3ES.
Husni Rahim. (2001). Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Logos Wacana Ilmu.
Khallaf, A. M. M. (1992). Agama dalam Perspektif Rasional. Pustaka Firdaus.
Mastuki. (2005). Manajemen Pondok Pesantren. Diva Pustaka.
Nata, A. (2013). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Raja Grafindo Persada.
Panut, Giyoto, & Rohmadi, Y. (2021). Implementasi Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2019 tentang Pesantren Terhadap Pengelolaan Pondok Pesantren.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(02).
Shubhie, M. (2021). Tantangan Lahirnya Undang-Undang Pesantren dan Perpres
Dana Abadi Pesantren bagi Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Jurnal UIN Banten.
Sukamto. (1999). Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. LP3ES.
Syafe’i, I. (2017). Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan
Karakter. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren, (2019).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (2003).

Anda mungkin juga menyukai