Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERAN MICROFINANCE DALAM PEREKONOMIAN DESA

Dosen Pengampu : Tias Ismi Tamami, SE, ME.


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Ekonomi Pedesaan
Oleh:
Kelompok 6
1. Elna Almanisa Chaerisma (N01211186)
2. Aida Maqbullah (N01211208)
3. Azizah Istikomah (N01211212)
4. Indah Mawarni (N01211219)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................. i


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pengertian Microfinance .................................................................................... 3
B. Dasar Hukum Microfinance ............................................................................... 4
C. Karakteristik Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance) .................................. 4
D. Jenis-Jenis Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance) ..................................... 5
E. Fungsi Microfinance .......................................................................................... 8
F. Target Microfinance ........................................................................................... 8
G. Peranan Microfinance Bagi Perekonomian Desa .............................................. 9
H. Tantangan Microfinance di Indonesia .............................................................. 10
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 13

i
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Microfinance atau pembiayaan mikro memiliki peran yang sangat penting
dalam mendorong peningkatan perekonomian masyarakat desa. Menurut
pendapat Umar & Rafique mengatakan bahwa microfinance diperuntukkan bagi
masyarakat yang non bank-able karena mereka tidak memiliki jaminan yang
dapat melindungi lembaga keuangan terhadap risiko keuangan. Lembaga
microfinance ini memberikan kesempatan bagi masyarakat yag mengalami
kesulitan dalam mengakses pinjaman seperti di bank. Sehingga dapat membuka
pespektif baru serta dapat memberdayakan masyarakat unuk merealisasikan ide-
ide bisnisnya dengan sumber daya yang mereka miliki.
Meskipun dengan nominal yang tidak terlalu besar, microfinance secara
strategis mampu mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan
menentaskan kemiskinan. Kemudahan akses terhadap jasa keuangan yang
berkelanjutan akan meningkatkan kemampuan dan kapasitas ekonomi bagi
masyarakat miskin dan pengusaha mikro.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari microfinance?
2. Apa saja dasar hukum microfinance?
3. Bagaimana karakteristik microfinance?
4. Apa saja jenis-jenis microfinance?
5. Apa saja fungsi microfinance?
6. Siapa saja target microfinance?
7. Bagaimana peranan microfinance bagi perekonimian desa?
8. Apa saja tantangan microfinance di Indonesia?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari microfinance.
2. Untuk mengetahui dasar hukum microfinance.
3. Untuk mengetahui karakteristik microfinance.
4. Untuk mengetahui jenis-jenis microfinance.
5. Untuk mengetahui fungsi microfinance.
6. Untuk mengetahui target microfinance.
7. Untuk mengetahui perananan microfinance bagi perekonimian desa.
8. Untuk mengetahui tantangan microfinance di Indonesia.

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Microfinance
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mengacu pada Undang Undang No.1
tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan sebagai lembaga
keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha
dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam
usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata
mencari keuntungan.
Arsyad (2008) mengemukakan bahwa lembaga keuangan mikro adalah
sebagai penyedia layanan keuangan untuk masyarakat berpendapatan rendah
termasuk pedagang kecil pedagang kaki lima petani kecil penjual jasa (penata
rambut penarik becak), tukang dan produsen kecil. Arsyad juga menjelaskan
bahwa lembaga keuangan mikro sebagai penyediaan jasa-jasa keuangan dalam
ragam yang luas seperti tabungan pinjaman jasa pembayaran pengiriman uang
dan asuransi untuk rumah tangga miskin dan berpenghasilan rendah dan usaha-
usaha mikro lainnya.
Lembaga keuangan mikro (LKM) atau lebih populer disebut mikrofinance
didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro
serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan. (Amalia
Euis, 2008).
Menurut Gary M woller, & Warner Woodworth (2001) menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan microfinance adalah program pemberian
pembiayaan berjumlah kecil kepada warga yang paling miskin untuk membiayai
proyek yang dikerjakan sendiri untuk menghasilkan dan memungkinkan mereka
peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Definisi keuangan microfinance
adalah micro-enterprises finance yang berarti pelayanan keuangan bagi usaha
mikro dan usaha kecil (Maria Otero, 2005). Menurut John Johnson 2007

3
mendefinisikan microfinance sebagai jasa keuangan yang melayani orang-orang
yang berpendapatan rendah.

B. Dasar Hukum Microfinance


Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas
operasionalisasi LKM, dibentuklah undang – undang sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
(Undang-Undang LKM).
2. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman
Atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.
3. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK), SEOJK Nomor
29/SEOJK.05/2015 tentang Laporan Keuangan Lembaga Keuangan Mikro.
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK):
a. POJK Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
b. POJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.
c. POJK Nomor 14/POJK.05/2014 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Lembaga Keuangan Mikro.
d. POJK Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
e. POJK Nomor 62/POJK.05/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro.

C. Karakteristik Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance)


Menurut kajian Direktorat Pembiayaan (2004) dalam Setiani (2012),
microfinance sebaiknya memiliki karakteristik sebagai berikut.

4
a. Proses administratif yang mudah dan tidak menggunakan pola pelayanan
seperti perbankan konvensional
b. Sasarannya adalah masyarakat golongan bawah dan para pengusaha mikro
dimana jasa yang diberikan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik kelompok sasaran tersebut
c. Lingkup kegiatan microfinance dapat mencakup pembiayaan kegiatan
ekonomi produktif maupun konsumtif, pendampingan dan pendidikan serta
kegiatan lain yang dibutuhkan pengusaha mikro dan masyarakat.

D. Jenis-Jenis Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance)


Di Indonesia terdapat berbagai lembaga keuangan mikro yang tumbuh di
kalangan masyarakat, Menurut M. Kwartono Adi dalam bukunya yang berjudul
Analisis Usaha Kecil Dan Menengah (2007:33) secara garis besar lembaga
keuangan mikro dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu lembaga keuangan
mikro formal dan informal
a. Lembaga keuangan mikro formal
1) Bank
BKD (Badan Kredit Desa), BPR (Bank Perkreditan Rakyat), BKK (Badan
Kredit Kecamatan), BRI Unit, 29 Mandiri Unit Mikro, DSP (Danamon
Simpan Pinjam), ULM BNI (Unit Layanan Mikro BNI)
2) Non Bank
LDKP (Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan), KSP(Koperasi Simpan
Pinjam), dan KUD (KoperasiUnit Desa), Perum Pegadaian
b. Lembaga keuangan mikro non formal
LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat), KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat), BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), LEPM (Lembaga Ekonomi
Produktif Masyarakat Mandiri), UEDSP (Unit Ekonomi Desa Simpan
Pinjam), dan lain-lain.

5
Berdasarkan jurnal dari Shufi Ramadhani yang berjudul lembaga
keuangan mikro di Indonesia (2013) lembaga keuangan mikro yang terdapat di
Indonesia saat ini diantaranya yaitu :
a. Badan Kredit Desa (BKD)
Badan Kredit Desa atau BKD memiliki sejarah yang cukup panjang.
Badan Kredit Desa (BKD) merupakan salah satu lembaga keuangan mikro
formal yang pertama kali berdiri di Indonesia. BKD diawali dengan berdirinya
AVB (Algemene Volkerediet Bank) yang kemudian menjadi BRI pada sekitar
tahun 1896. Sejarahnya diawali dengan berdirinya Lumbung Desa di daerah
Banyumas karena pada saat itu terjadi paceklik dan gagal panen.
b. Lembaga Dana Kredit Pedesaan
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) berdiri sejak tahun 1980an
oleh pemerintah Indonesia dalam upayanya untuk mengelompokkan lembaga
keuangan mikro non-bank yang banyak beroperasi di seluruh wilayah
Indonesia khususnya pulau Jawa. Kebijakan ini bertujuan agar dapat
membedakan lembaga kredit berbasis desa dengan bank unit desa serta
lembaga perkreditan berbasis desa yang sudah lama ada di Jawa. Beberapa
lembaga keuangan mikro yang masuk dalam jenis LDKP baik yang
berbasiskan desa, desa adat maupun kecamatan diantaranya yaitu :
1) Badan Kredit Kecamatan (BKK)
Badan Kredit Kecamatan beroperasi pada wilayah kecamatan
dengan supervisi beserta pengelolaan berada dibawah pemerintah
provinsi. Jenis produk yang ditawarkan adalah pinjaman dan simpanan,
namun awalnya hanya berupa simpanan wajib yang diambil dari
presentase dari pinjaman. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu,
BKK mulai memperkenalkan simpanan sukarela (tabungan) yang diberi
nama Tamades (Tabungan Masyarakat Desa). Selain mengumpulkan dana
dari simpanan pihak ketiga, dana juga didapat dari pemerintah provinsi
melalui Bank Pembangunan Daerah. Pinjaman yang diberikan berdurasi
mingguan, bulanan dan maksimal adalah satu tahun.

6
2) Lembaga perkreditan kecamatan (LPK)
Pengelolaan LPK dilakukan oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten dengan dibantu oleh BPD. Walaupun laporan
keuangan LPK dilaporkan ke BPD, pengawasan dan supervisi tidak
dilakukan oleh BPD, namun dilakukan oleh sebuah komite yang
beranggotakan perwakilan dari pemerintah dan juga BPD. Permodalan
diperoleh disamping dari pemerintah juga didapatkan melalui simpanan
wajib. LPK tidak diperkenankan untuk mengumpulkan dana dari tabungan
sukarela. Pinjaman hanya diberikan kepada anggota melalui rekomendasi
pejabat desa dan kecamatan. Pinjaman juga tanpa jaminan (collateral free)
dengan sanksi atau denda bagi adanya keterlambatan cicilan.
3) Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
Pengelolaan LPD sepenuhnya dilakukan oleh desa adat, dengan
pembinaan beserta pengawasannya dilakukan oleh pemerintah provinsi
dan BPD. Simpanan dan pinjaman LPD hanya di perbolehkan untuk
ditujukan kepada anggota desa adat. Jumlah simpanan baik tabungan
maupun deposito tidak dibatasi, namun biasanya jumlah pinjaman
disesuaikan dengan likuiditas LPD dan juga terdapat collateral atau
jaminan.
c. Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
Lembaga ini merupakan lembaga keuangan mikro yang berdasarkan
prinsip syariah dan berlandaskan ajaran Islam. Secara operasional BMT
dijalankan dengan organisasi seperti koperasi. Baitul Maal memiliki prinsip
tersendiri, yaitu dalam menghimpun dan menyalurkan dana hanya menunggu
kesadaran masyarakat dari dana zakat, infaq dan shadaqahnya saja tanpa ada
paksaan melakukan pengambilan ataupun pemungutan secara langsung
kepada mereka yang sudah memenuhi kewajiban tersebut. Selain sumber dana
tersebut BMT juga menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf
serta sumber -sumber dana yang bersifat sosial.

7
E. Fungsi Microfinance
1. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat
2. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat.
3. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama
masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.
4. Membantu pengentasan kemiskinan.
5. Mendorong bisnis baru untuk tumbuh

F. Target Microfinance
Secara garis besar sasaran atau target dari produk microfinance lebih
diutamakan bagi masyarakat menengah ke bawah yang dibagi dalam empat
kelompok yaitu:
1. The Poorest of The Poor
Masyarakat dalam kategori ini yaitu masyarakat yang tidak
mempunyai penghasilan karena beberapa faktor, seperti sakit, memiliki
keterbatasan fisik (disabilitas), usia tua, dan sebagainya. Kelompok ini
merupakan yang termiskin sehingga sangat membutuhkan bantuan keuangan.
2. Labouring Poor
Sesuai dengan artinya, labouring poor beranggotakan para buruh yang
memiliki pendapatan sangat kecil. Dengan penghasilan buruh yang tidak pasti
dan belum mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kelompok buruh patut
diberikan bantuan dana dari microfinance. Sehingga microfinance juga
menyasar golongan ini melalui program padat karya.
3. Self-Employed Poor
Self-employed poor merupakan masyarakat yang memiliki pekerjaan
namun status ekonominya menengah ke bawah misalnya mengumpulkan
barang rongsokan, berjualan keliling, dan sebagainya. Meski punya
penghasilan, kelompok ini tetap tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya, sehingga menjadi salah satu target pinjaman microfinance.

8
4. Economically Active Poor
Economically active poor terdiri dari masyarakat kelas menengah ke
bawah tetapi sudah mempunyai penghasilan tetap dan bisa menabung.
Kelompok ini diberi pinjaman microfinance agar usahanya berkembang dan
dapat menaikan taraf ekonominya lebih baik lagi.

G. Peranan Microfinance Bagi Perekonomian Desa


Peranan microfinance bagi perekonomian desa meliputi:
1. Akses Permodalan
Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha
skala mikro dan kecil dimana petani dan pedagang kecil sebagai pelaku
utama. Akses permodalan sering menjadi permasalahan klasik. Permasalah
permodalan pada umumnya disebabkan oleh adanya keterbatasan akses
sumber-sumber permodalan. Lembaga keuangan mikro (LKM) berperan
dalam menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat. LKM dianggap lebih efisien karena
lebih dekat dengan masyarakat desa, sehingga dapat menghemat biaya-biaya
transaksi, dan memberikan bantuan non keuangan. Oleh karena itu, LKM
dapat mencegah masyarakat perdesaan untuk meminjam dana kepada rentenir.
2. Menciptakan lapangan kerja mandiri
Dana yang diperoleh dari LKM dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
desa untuk menciptakan lapangan kerja di sektor informal. Masyarakat desa
dapat mendirikan usaha kecil-kecilan misalnya mendirikan usaha makanan
atau minuman dari pengelolaan komoditas pertanian. Kemudian, pemberian
kredit pada usaha kecil diharapkan dapat meningkatkan produksi dan
pendapatan masyarakat perdesaan. Oleh karena itu, dapat menyumbang
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), mengurangi tingkat pengangguran
dan kemiskinan di perdesaan.
3. Pengentasan kemiskinan

9
Microfinance dapat membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah
kemiskinan di perdesaan melalui lembaga keuangan mikro yang ada di
perdesaan. LKM tersebut menjadi salah satu alat pembangunan yang efektif
untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan yang diberikan LKM
memungkinkan masyarakat desa yang berpenghasilan rendah untuk
memanfaatkan peluang ekonomi melalui aktivitas berwirausaha sehingga
masyarakat tersebut memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya

H. Tantangan Microfinance di Indonesia


Beberapa tantangan microfinance di Indonesia meliputi:
1. Adanya penyalahgunaan Kredit
LKM memberikan kemudahan dalam akses permodalan bagi usaha
rakyat kecil. Dimana proses pencairan dananya cukup mudah. Akan tetapi,
dikhawatirkan masyarakat belum mengalokasikan dana tersebut dalam
kegiatan usaha produktif. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dari pihak
pemberi dana kepada masyarakat yang bersangkutan mengenai pengelolaan
keuangan pada skala rumah tangga. Kemudian, adanya pelatihan mengenai
optimalisasi keuangan pada pelaku usaha kecil.
2. Dimensi LKM masih terus ditingkatkan
Menurut Sobirin (2007) LKM memiliki dua dimensi utama, yaitu
dimensi struktural dan kontekstual. Dimensi struktural berhubungan dengan
strukturalisasi organisasi. Sedangkan dimensi kontekstual berhubungan
dengan ukuran organisasi, teknologi yang digunakan, tujuan dan strategi
organisasi. LKM yang memiliki dimensi struktural yang rendah dan sedang
pada umumnya belum didukung fasilitas fisik sehingga keberadaannya sulit
dikenali masyarakat. Kemudian, dari sisi dimensi kontekstualnya yaitu
persebaran jumlah LKM di setiap daerah belum menyebar secara merata. Oleh
karena itu, perlu adanya pembentukan LKM, sosialisasi LKM, pelatihan,
pendampingan, dan pembinaan bagi para pengurus LKM.

10
3. LKM belum menjalankan peran dan fungsinya secara optimal
Masih sedikit masyarakat yang menginginkan LKM sebagai
pengumpul dana dari masyarakat, dengan alasan LKM masih kesulitan
mengakses dana bank atau sumber lainnya baik untuk memenuhi kebutuhan
dana masyarakat maupun menanggulangi kesulitan likuiditas. Oleh karena itu,
perlu adanya kolaborasi antara lembaga keuangan mikro yang tidak berbadan
hukum dengan lembaga alternatif lainnya seperti: Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes), Lembaga Usaha Simpan Pinjam (USP), perbankan (BPR), dan
Lembaga Kredit Desa (LKD) untuk menggerakkan ekonomi masyarakat desa.

11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga keuangan mikro (LKM) atau lebih populer disebut mikrofinance
didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro
serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan. Kegiatan
operasional LKM sudah didasarkan pada landasan hukum sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Secara
historis, LKM sudah ada sejak masa penjajahan Hindia Belanda dan masa
kemerdekaan yang dikenal dengan Badan Kredit Rakyat atau Bank Rakyat.
Karakteristik dari LKM tersebut meliputi: kemudahan dalam proses administratif,
sasaran utama masyarakat golongan menengah bawah dan para pengusaha mikro,
dan pembiayaan dipriotitaskan untuk kegiatan ekonomi produktif.
Secara garis besar lembaga keuangan mikro dikelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu lembaga keuangan mikro formal dan informal. Lembaga keuangan
mikro formal meliputi: Bank dan Non Bank. Sedangkan lembaga keuangan mikro
informal meliputi: LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat), KSM (Kelompok
Swadaya Masyarakat), BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), LEPM (Lembaga
Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri), UEDSP (Unit Ekonomi Desa Simpan
Pinjam), dan lain-lain. Lembaga-lembaga tersebut memudahkan masyarakat desa
dalam akses permodalan, menciptakan lapangan kerja mandiri, dan membantu
mengentaskan kemiskinan desa.
B. Saran
LKM di perdesaan perlu dikembangkan dan ditingkatkan lagi. Masih
terdapat LKM yang tidak berbadan hukum dan kesulitan dalam akses permodalan.
Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi antara LKM yang tidak berbadan hukum
dengan lembaga alternatif lainnya seperti (BUMDes untuk menggerakkan
ekonomi masyarakat desa. Selain itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat
desa terkait peranan dan manfaat LKM sehingga masyarakat desa memilih
menggunakan jasa LKM untuk membantu akses permodalan usaha.

12
DAFTAR PUSTAKA
Adi, M Kwartono. 2007. Analisis Usaha Kecil Dan Menengah. Yogyakarta: Andi
Firmansyah, M., dkk. 2020. Ekonomi Keuangan dan Kemandirian Desa di Tengah
Pandemi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
(Undang-Undang LKM). Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 12.
Lembaran Tambahan Negara RI Nomor 5394. Jakarta. Sekretaris Negara.
Indriani, E, dkk. (2020). Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat Inklusi Keuangan
Dengan Pendekatan Ekonomi Kelembagaan. Yogyakarta : Deepublish.
Ismail, Z., dkk. 2014. Peranan LKM (Lembaga Keuangan Mikro) Non-Bank dalam
Pembiayaan Usaha Mikro. Jakarta: LIPI Press.
Karsidi, Ravik. 2005. Peran dan Fungsi Lembaga Keuangan Pedesaan. Tersedia dari
http://www.uns.ac.id/data/0019.pdf
OCBC NISP. 2021. Bisnis Microfinance, Solusi Penggerak Inklusi Keuangan
Nasional. Tersedia dari https://www.ocbcnisp.com
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2017). Informasi Umum Lembaga Keuangan Mikro.
Diakses dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/pages/lembaga-keuangan-
micro.aspx
Ramadhani, Shufi. (2013). Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Jurnal Buletin
Studi Ekonomi. 18(2), 114-125.
Sobirin, A. 2007. Budaya Organisasi Pengertian, Makna, dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Organisasi. Yogyakarta: IBPP STIM YKPN.
Setiani, Cahyati. 2012. Model Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Sebagai
Pendukung Adopsi Teknologi. Rekomendasi Paket Teknologi Pertanian Jawa
Tengah.
Umar, Ahmad & Ahmad Rafique. 2009. Islamic Microfinance: The Evidence from
Australia. Humanimics Journal.Vol. 25 (3): 207-235.

13

Anda mungkin juga menyukai