Anda di halaman 1dari 28

Surgical Management of Urologic Trauma and

Iatrogenic Injuries

Rama Yasdi Sinrang

Pembimbing :
Dr. dr. Syakri Syahrir, Sp.U, Subsp. TRK(K)
PENDAHULUAN

Trauma sistem urogenital dapat Kasus trauma merupakan penyebab


1 ditemukan pada trauma tumpul dan
trauma tajam terjadi sekitar 10% dari
kematian terbanyak (>120.000) di 2
Amerika Serikat, 10% diantaranya trauma
seluruh pasien yang dirawat di IGD. urogenital.

Trauma urogenital jarang berakibat fatal, Trauma urogenital biasanya mencederai


namun dapat menjadi penyebab lebih dari 1 organ.
morbiditas jangka pendek dan jangka
Panjang, apabila tidak dikenali sejak dini
3 dalam perjalanan penyakitnya.
4
RENAL INJURY

Trauma tembus CT Scan kontras merupakan


Tanda dan gejala pada trauma
(tembakan/tusukan) harus modalitas gold standar untuk
tumpul (abdomen atau flank) mengevaluasi anatomi dan fungsi
selalu mencurigai adanya
yaitu nyeri, memar, hematuria, dari ginjal dan trakturs urinarius.
trauma pada ginjal.
hemodinamik yang tidak
stabil, hingga sepsis.
Management
Tujuan : mempertahankan jumlah
maksimal ginjal dengan cara seaman
mungkin.

• Nonoperative
• Operative
Nonoperative

Hampir semua trauma ginjal Observasi ketat, bed rest, serial Perdarahan arteri yang aktif
grade I-IV dan beberapa grade Hb/hematokrit, transfusi dengan hemodinamik stabil
V awalnya ditangani secara jika diperlukan, dan evaluasi dapat dilakukan angiography
konservatif manajemen. CT Scan. dan embolisasi selektif

Peningkatan leukosit, demam,


Semua trauma ginjal grade IV-V nyeri pinggang yang semakin
dengan extravsasi urin dilakukan hebat, atau penurunan Hb yang
evaluasi CT Scan 48-72 jam. berkelanjutan harus segera
dilakukan CT Scan ulang
Operative Technique
Approach : Midline transabdominal extending incision

MIDLINE TRANSABDOMINAL EXTENDING INSISION


1. Pasien diposisikan supine
2. Insisi xyphoideus hingga ke simpisis pubis
3. Perdalam lapis demi lapis, evakuasi arteri dan vena ginjal sebelum membuka fascia gerota
4. Setelah vaskularisasi proksimal terkontrol, kolon transversum disisihkan ke dada dan usus halus
dimassukkan ke dalam lahey bag.
5. Dilakukan insisi retroperitoneal diatas aorta superior ke arteri mesenterika superior, memanjang hingga
ke ligamentum Treitz.
• Jika hematom banyak menghalangi aorta, maka insisi di medial vena mesenterika inferior 
dipotong bagian atas dari dinding aorta anterior, sampai terlihat vena renalis .
6. Dilakukan fiksasi (tegel) vena renalis  tampak vaskularisasi yang lainnya dilakukan fiksasi. Apabila
didapatkan perdarahan yang tidak berhenti maka dilakukan klemp dengan mannitol selama 30 menit
untuk mencegah iskemik.
7. Sisihkan kolon kearah medial untuk mengevaluasi ginjal
8. Buka fasia gerota, tanpa insisi kapsul.
• Apabila perdarahan tertangani, maka dilakukan debridement.
• Injeksi metilen blue (2-3 ml) untuk mengidentifikasi adanya parenkim yang tidak tertutup
Operative Technique
RETROPERITONEAL INCISION
9. Defek pada pelvis dan calix ditutup dengan benang absorbable 4/0
10. Evaluasi perdarahan, apabila tidak berhenti dilakukan jahit dengan benang absorbable 4/0.
(hemostatic agent dapat diberikan diatas jahitan)
11. Kemudian dilakukan renorrhapy, jahitan matras menggunakan benang absorbable 3/0 monofilament
12. Omental flap dapat dilakukan dengan menjahit pada defek (optional). Pada kasus trauma ginjal grade
V  diperlukan pemasangan mesh.
13. Pasang drain.
Complications

Pada trauma tembus, delayed


Komplikasi yang dapat bleeding merupakan komplikasi
terjadi antara 3-20% yang sangat jarang dan dapat
Pasien dengan demam nyeri mengancam jiwa
daerah flank yang hebat, dan
peningkatan leukosit harus
dilakukan CT
INJURY TO THE URETER
Initial Evaluation

• Kejadian trauma ureter kurang dari 1% pada trauma urogenital.


• Cedera ureter selalu dicurigai adanya multisystem trauma
• Hematuria dapat ditemukan 25%-83% pada kasus cedera ureter
• Pada pasien stabil, CT Scan dengan fase delayed dilakukan untuk mengevaluasi ureter
Management
(Surgical Exploration)
• Kondisi stabil :
• Anastomosis primer (ureteroureterostomy)
• Psoas hitch
• Boari flap

• Kondisi tidak stabil, operator tidak terbiasa dengan rekonstruksi uretra, atau defek yang
besar  NEPHROSTOMY, tunda rekonstruksi

Evaluasi post operasi :


 Drain dapat dilepas 2-3 hari kecuali produksi masih terdapat urin
 Kateter uretra dilepas setelah 7 hari
 DJ Stent dilepas melalui sistoskopi 4-6 minggu setelah repair uretra
 CT scan dengan fase delayed 3 bulan setelah stent dilepas
URETEROURETEROSTOMY PSOAS HITCH BOARI FLAP
BLADDER INJURY
Initial Evaluation
• Sebagian besar cedera buli-buli diakibatkan oleh trauma tumpul. 14-33% terjadi pada trauma tembus.
• 29% pasien dengan fraktur pelvis dengan gejala gross hematuria curiga terjadi cedera buli-buli
• Tanda dan gejala yang muncul berupa BAK darah, nyeri suprapubic, dysuria, atau inkontinensia. Pada
pemeriksaan fisik : nyeri tekan regio suprapubik.
• CT Cystography merupakan modalitas untuk menilai buli-buli, dengan sensifitas 95-100%. Indikasi :
fraktur pelvis disertai gross hematuria, trauma tembus dengan gejala hematuria.
Nonoperative Management

Ruptur extraperitoneal Kontraindikasi : ISK, fraktur CT scan atau cystography


ditangani secara pelvis yang membutuhkan konventional dievaluasi 10-
konservatif dengan fiksasi internal, ditemukan 14 hari
pemasangan kateter uretra segmen fraktur pada buli-buli,
atau dilakukan sistostomi bladder neck injury, cedera
jika dicurigai adanya pada rectum, laserasi
cedera uretra. uretra/vagina disertai fraktur
pelvis.
Operative Management

• Semua trauma tembus abdomen dan rupture intraperitoneal buli-buli dilakukan eksplorasi
dan rekonstruksi.
• Trauma tembus dapat segera dilakukan laparatomi eksplorasi tanpa perlu dilakukan CT
cystography terlebih dahulu

Intraoperatif :
1. Pasien posisi supine
2. Insisi midline abdomen
3. Inspeksi organ-organ intraabdomen (pelvic viscera, ureter, usus, pembuluh darah)
4. Buka buli-buli dengan elektrokauter (vertical)  inspeksi lumen buli-buli dan benda
asing, evaluasi ureter dan bladder neck.
5. Debridement + sistostomi + repair buli-buli.
6. Irigasi menggunakan normal saline
7. Tutup dinding abdomen lapis demi lapis hingga kulit
Operative Management
URETHRAL INJURIES
Initial Evaluation

Cedera uretra sangat jarang ditemui pada trauma


urogenital dan paling sering disebabkan oleh trauma
tumpul.

• Uretra posterior biasanya disertai dengan fraktur


pelvis
• Uretra anterior dengan mekanisme trauma jatuh
mengangkang, trauma tembus genitalia dan
biasanya disertai fraktur penis

Gejala yang paling sering keluar darah dari meatus (37-


93%), inkontinensia, dan tidak teraba adanya prostat
pada pemeriksaan rektal toucher 
URETRHROGRAPHY
Management

Ruptur urethra posterior


 Rekomendasi penanganan pada kasus ini adalah sistostomi suprapubic dengan rekonstruksi 3-6
bulan kemudian.
 Penanganan ruptur uretra partial secara konservatif dengan pemasangan kateter suprapubic.
Sedangkan rupture uretra komplet dilakukan tindakan operatif dengan endoskopi realignment
atau pemasangan kateter suprapubic dan delayed urethroplasty

Ruptur urethra anterior


 Pada kasus straddle injury, dilakukan cystostomy dan delayed rekonstruksi
 Tindakan operatif segera dilakukan pada kasus trauma tembus atau adanya fraktur penis.
 Luka tembak dengan defek >2cm  sistostomi dilanjutkan rekonstruksi
PENILE INJURY
Initial Evaluation

• Trauma penis sangat jarang terjadi dengan


penyebab bervariasi. Dilaporkan terdapat 1
kasus fraktur penis setiap 175.000 UGD yang
dikunjungi.
• Di Amerika Serikat dan Eropa, fraktur penis
diakibatkan akibat kesalahan pada saat
berhubungan. Diketahui, 16 pasien akibat
berhubungan sexual dengan kondisi stress
• Gambaran klinis berupa penis yang bengkok,
nyeri, ereksi yang tidak disadari.
• Pada kasus trauma tembus disebabkan akibat
upaya mutilasi.
• Sekitar 10-22% ditemukan rupture uretra pada
kasus fraktur penis dan 11-29% pada kasis
trauma tembus penis.
Management

Insisi sirkumferensial, Setelah tunika


preputial, subkoronal albuginea ditutup,
dengan diseksi tumpul dartos dan kulit
pada degloving kulit ditutup dengan jahit
memberikan hasil yang Tunika albugenia primer Kemudian tutup
baik pada kasus fraktur
dijahit dengan
penis dan trauma luka operasi
tembus menggunakan
benang absorbable
menggunakan
penis.
3/0 polydioxanone kassa dengan
sedikit tekanan
untuk mengtasu
perdarahan
AMPUTASI PENIS

• Amputasi penis sangat bergantung pada waktu oleh ahli urologi dan mikrovaskular.
• Keberhasilan fungsi ereksi, sensorik, vaskularisasi, dan fungsi uretra bergantung pada preservasi dari organ yang
diamputasi.
• Bagian yang diamputasi disimpan pada kassa basah (normal saline) kemudian simpan dalam kantung plastic. Kantung ini
dimassukan kedapam kantong berisi es yang mencair. Replantasi dilakukan 16 jam setelah organ tersbut hangat.
SCROTAL AND TESTICULAR INJURY
Initial Evaluation

Trauma pada scrotum dan testis sering terjadi pada laki-laki muda dengan umur
15-40 tahun.

Gambaran klinis yaitu nyeri, edema, ekimosis dan nyeri tekan pada skrotum.

USG dengan frekuensi tinggi merupakan modalitas yang baik untuk evaluasi trauma
skrotum dan testis

Trauma tumpul merupakan trauma yang paling sering dan diakibatkan oleh cedera
atletik (50%), kecelakaan lalu lintas (9% –17%), atau kekerasan.
TRAUMA SCROTUM

TRAUMA TESTIS
Management

TRAUMA SKROTUM
• Tindakan scrotal explorasi dilakukan dengan Insisi vertical pada median raphe.
Evaluasi tunika vaginalis, lalu tunika albuginea.
• Pada rupture tunika albuginea dilakukan debridement pada jaringan nekrotik,
jaringan nonviable diangkat, kemudian ditutup dengan benang monocryl 4/0
• Testis difiksasi pada tunika dartos, lalu skrotum ditutup 2 layer dengan benang
absorbable 4/0 dan ditambahkan drain penrose.

Pada kasus avulsi akibat kecelakaan lalu lintas, dilakukan debridement, lalu dirawat
terbuka dengan dressing lembab kemudian menunggu hingga jaringan bergranulasi.

TRAUMA TESTIS
Kebanyakan trauma testis dapat dijahit primer.
Pada defek yang besar, dilakukan tunika vaginali graft pada parenkim testis yang
terekspos.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai